01 - Eldhera Pascaperang Besar

Bengkoang

Bengkoang

“Kau serius mau melakukan ini, Ayah Angkat?”

357 Mirandi, perang besar antara Timur dan Barat pecah di perbatasan Cun Dok dengan batas luar zona netral milik Kuil Widupa. Ratusan ribu tentara kiriman aliansi delapan negara datang dari barat benua lalu merangsek menuju jantung Matilda Timur, mengabaikan batas-batas wilayah sembari mati-matian menembus rintangan penutup sebelum status quo bersejarah ratusan tahun tersebut benar-benar runtuh.

Alasan mereka sepele, yakni seorang pemuda bergelar pahlawan yang katanya lebih mencintai mapu kekaisaran timur ketimbang tanah kelahirannya di barat.

Dua tahun berikutnya, 359 Mirandi, Matilda kalah perang. Mapu atau kaisar mereka hilang tanpa jejak dan pahlawan diboyong paksa oleh semua orang untuk kembali ke tanah di mana ia seharusnya berada.

Tahun kesedihan, kalau kata orang-orang timur.

Namun, yang tidak banyak orang tahu, tahun itu juga menjadi tahun kesedihan bagi orang-orang Kara.

Sebab di tahun tersebut pulalah Pu Kara pertama, diriku, ditulis ‘hilang’ dalam catatan sejarah mengikuti jejak Matilda dan pelan-pelan lenyap dari perhatian benua.

Hingga hari ini ….

“Kau sudah dua puluh tahun, Lexa,” ujarku, tersenyum menepis tatapan sedih anak angkatku yang kini sudah lebih tinggi daripada diriku dan Merike. “Lihat dirimu. Sudah segagah ini, tapi masih mengikutiku.”

“Ayah Angkaaat ….”

“Jangan merengek!” bentakku, buang muka lalu membelakanginya. “Aku gak mengajarimu buat jadi laki-laki cengeng, Bocah. Janjiku pada ibumu sudah kupenuhi, kau sekarang harus kembali kepada mereka ….”

Kulirik dirinya sekilas.

“Sana pergi, mereka menunggu—” Aku berhenti tatkala tangan kokohnya memelukku dari belakang. “Hah. Kau tetap putraku, Lexa. Maaf aku sudah jadi ayah yang buruk selama kita bersama.”

“Kau bicara apa …, selama ini dirimu selalu baik padaku.”

Aku berbalik. Kuusap pipinya sebentar kemudian tersenyum.

“Meski bukan Miria, kau tetap putra kebanggaanku ….”

368 Mirandi, perjanjianku dengan Bura Bella dua puluh tahun lalu telah kupenuhi. Putranya dan Bura Parami, Alexa, kini kukembalikan setelah lima tahun upacara kedewasaan si anak.

“Sampai kapan kita mau melambai pada mereka, Tuan?”

“Gak usah pura-pura tegar …,” timpalku pelan, berusaha menahan senyum dan terus melambai gembira pada keluarga Alexa di dermaga sana. “Re, kau yang paling dekat sama anak itu. Kenapa bisa sejudes tadi?”

Merike, elf sebelahku, tidak menjawab. Ia cuma terus melambai hingga kapal yang kami tumpangi dirasa telah benar-benar jauh dari pelabuhan Seren.

“Hah.” Aku terduduk lemas. “Re, aku gak percaya hari ini betulan datang. Kena—”

“Lompat saja kalau gak rela berpisah, mah!” sambar Rere, ikut duduk sebelahku. “Kenapa harus pura-pu—”

“Kau menyebalkan, Re,” balasku, melihat dirinya pakai delik heran. “Lagi datang bulan?”

Ia balas melihatku. Hanya lihat, tanpa suara dan tanpa ada gerakan lain sesudahnya. Benar-benar cuma melihat.

“Re.” Gak suka momen senyap di antara kami, aku pun berinisatif untuk membuka topik supaya keheningan tersebut cair. “Tolong jangan jadi aneh ….”

Akan tetapi, respons yang kudapat di luar dugaan.

Merike sontak memeluk lantas sesenggukan di bahuku. Dekapannya amat erat, dan lelehan air matanya benar-benar dingin. Belum pernah kulihat dirinya begitu sebelum ini sampai diriku tiba-tiba sadar.

Sadar bila dialah sosok yang rasa sayang dan perhatiannya pada Alexa melebihiku ….

***

“Apa rencanamu ke depan?”

Merike menggeleng menanggapiku.

Ia tersenyum, memelukku sebentar ‘tuk terakhir kali, kemudian merapal peringan tubuh lalu terbang menuju barat laut. Aku tidak tahu, mungkin sang elf hendak kembali ke kampung halamannya di Hutan Hijau.

Siapa tahu ….

“Sekarang. Chloe.”

Ting! Pengelola menaraku menyahut.

Urusanku di Eldhera baru sudah selesai.

Kara kini berdaulat, dan Nazila Trira menjadi pu selanjutnya menggantikan diriku. Dorothe, Rere, juga Kubo pun kembali merdeka. Terus Lamda, Maxwell, bahkan Alexa sekarang punya kehidupan yang baik.

“Gak ada lagi yang harus kulakukan di sini, jadi ayo pulang ….”

Tahun itu, aku pun kembali ke Altar 12 Naga di Pegunungan Es Utara. Hendak menghabiskan waktu sembari menunggui istriku hingga ia terbangun dari tidur panjang akibat rapalan Ayat Senyap. Tidak ada rencana lain.

Begitu pikirku tadinya.

Namun, setibanya di sana mataku langsung dibikin terbelalak.

“Sa-sayang?” Kristal tempat istriku terlelap tengah retak.

Kalian tentu bisa menebak apa adegan selanjutnya, ‘kan?

Ya. Benar. “Sa-sayang?”

“Kenapa kau cuma bengong di sana, Mi?” Letta, Ratu Istana Naga Danau Tengah Daratan, istriku, kini telah membuka matanya. “Kepalaku masih pening—akh! Mi, tolong ….”

Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi rasa senang mendorongku agar segera memapak lalu mendekap dirinya erat-erat. Jadi itulah yang kulakukan di saat itu ….

***

Hari-hariku berlanjut.

Sekian minggu usai terbangun pascatidur panjang akibat rapalan Ayat Senyap istriku langsung minta digendong sampai rumah, Istana Naga di Danau Tengah Daratan. Dua kolom benua ke barat daya dari pegunungan salju tempat kami berada sekarang. Namun, tidak boleh ambil jalan cepat dan harus memutar pelan-pelan.

Ia bilang, kami sudah lama gak menghabiskan momen berdua dan hal itu harus menjadi kesan terspesial.

“Kau yakin, Sayang?” tanyaku, memastikan apa yang baru saja kudengar. “Kita gak boleh langsung lari ke Danau Tengah Daratan—”

“Aku mau lihat Eldhera baru yang kaubilang kemarin!” jelasnya, mengeratkan pelukan ke pinggang dengan pundakku. “Pokoknya gendong aku sampai rumah, tapi harus ….”

Mau gak mau, aku pun setuju buat menggendongnya sampai rumah.

Sehari, dua hari, tiga, empat, seminggu, sebulan, setahun dan bertahun-tahun hingga sembilan ratus dua puluh lima ribu dua ratus tiga puluh dua tahun kemudian.

Kugendong dirinya tanpa keluhan sampai kami mencapai pinggiran Gurun Aester ….

“Lihat,” kataku, mengasongkan batu mana terakhir pada Letta. “Satu langkah lagi dan kita sudah menyentuh danaumu, Sayang.”

“Jangan jalan dulu,” pintanya, mengecup pipiku kemudian mencamili batu mana yang kudapat dari kanal lain tersebut. “Biar kuhabiskan dulu makananku.”

Selain diriku dan Letta, ada orang lain di perjalanan ini.

“Kau gak lapar, Soran?” tanyaku, mengasongkan sisa batu kutukan dari Kantong Hati Naga ke gadis di sebelah.

Dia, gadis rambut panjang macam hantu tersebut, adalah makhluk yang pernah mencegatku sepulang merebut Mutiara Delapan Bintang Benua.

Benar, dialah saintess gadungan waktu itu. “Lagi.”

“Sudah habis, Soran. Tuh ….”

Kami bertemu di tempat yang sama dengan saat diriku menghadapi Delapan Bintang Benua terakhir.

Dia masih berkeliaran di sana dan langsung menyerang ketika melihatku. Namun, ia segera berhenti saat Letta menunjukkan jantung benua. Semenjak itulah dirinya kami beri nama Soran lalu seperti yang kalian lihat.

Gadis ini menjadi orang ketiga di perjalan kami ….

“Kau tahu kita akan berpisah setelah aku sampai rumah, ‘kan, Mi?”

Aku tersenyum lalu megusap pipi Letta.

“Kenapa?” tanyanya, makin melekatkan pipi kami. “Harusnya aku sudah lama menghilang dari Eldhera ….”

Kuraih tangannya terus kukecup.

“Mi, kau pun tahu risiko ini ….” Letta menggelayut ke bahuku. “Perapal Ayat Senyap memang mengorbankan diri merka. Jadi jangan keras kepala lagi, ya. Kau dengar?”

Aku ingin menangis.

“Kaugendong ke mana-mana sembilan ratus ribu tahun ini sudah lebih dari cukup, Mi.”

“Sudah selesai, ‘kan?” timpalku, berusaha untuk tersenyum walau pahit. “Kita masih punya sehari ….”

***

Gimana, suka gak dengan tulisan ini?

Wah makasih 5 bintangnya!

Kasih tip buat penulis

qris

Makasih banyak tip nya ya!