Topik Hangat

Bengkoang
“Unit Dua Satu Empat Dua, memasuki aula istanaaa ….”
“I-itu mereka?”
“Benar, itu sisa unit yang menerobos Koukus dan menangkap Pu Seren hidup-hidup ….”
Tanggal 3 Bulan Dua Belas, Musim Dingin 340 Mirandi. Tiga hari usai serbuan Mantel Putih ke Koukus.
Aku, Lamda, Maxwell, bersama tujuh orang lain di Unit Dua Satu Empat Dua, mendapat undangan untuk menghadap Bura Parami, Kepala Batalion sekaligus orang yang mengatur strategi penyerbuan ke Koukus.
“Salam, Bura!”
Pria berewok dengan zirah berat yang lagi duduk di singgasana itu boleh juga, auranya sebagai Komandan Legiun Mantel Putih cukup membuatku terkesan.
Meski tetap belum menumbuhkan rasa hormatku ….
“Hoi, Ure!” Maxwell menyikut kakiku. “Kenapa kau tidak berlutut?”
“Aku tidak ingin melakukannya,” balasku kemudian maju selangkah, “Bura!”
“Kau Ure, prajurit yang membuat rencana gila menerobos istana sambil mengacaukan kota musuh?”
“Rencanaku tidak lebih gila dari pengorbanan Anda, Bura.”
“Lancang!”
Tentu saja, aku akan dicap pembangkang jika mengatakannya sebelum punya pencapaian. Apalagi, orang di depanku adalah satu dari empat bura utama di pasukan pemberontak Panji Beruang.
Bisa kumaklumi bila ajudan sebelahnya meneriakiku.
Sebagai informasi, pemberontakan ini dipimpin oleh salah seorang keturunan Mapu Brave ke-81, Brararia de Julius. Pemegang nama keluarga Braran, keturunan Pu Beardi yang terkenal akan kekuatan mereka di medan tempur pada masaku.
Orang di depanku juga, tangan kanannya, merupakan salah satu keturunan Braran.
‘Sayang, kekuatannya belum membuatku tertarik macam kakek mereka,’ batinku sebelum lanjut berkata, “aku, Ure. Tangan kanan Upa Vina yang telah mengorbankan diri demi menyelamatkan dua ribu saudara kita pada pertempuran di Gerbang Koukus.”
“Lancang!” pekik ajudan sebelahnya untuk kedua kali, “Bura, biarkan aku menebas orang i—”
Menenbasku? Mustahil, Bura saja menahan tangannya.
“Aku ingin tahu apa yang terjadi pada upa kalian, kenapa bukan dirinya yang menyandera Pu Seren ketika pasukanku memasuki Istana Kota?”
“Izin menjawab, Bura!” Salah seorang di unitku maju. “Upa kami menjadi martir di pintu air pertama yang gagal kami masuki.” Dia kemudian memohon. “Tolong, berikan beliau tanda jasa karena keberanian—”
“A.” Bura Parami kelihatan kesal. “Upa kalian melanggar perintah dan bergerak atas kemauannya sendiri, meski kalian berhasil menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita dengan menangkap Pu Seren hidup-hidup orang seperti dirinya tidak layak berada di bawah panjiku.”
Aku tahu, buat orang ini cuma bidak hidup saja yang berguna. Cih!
“Terlebih, seluruh keluarga istana dan pasukan musuh berhasil melarikan diri dari Koukus,” lanjut sang bura, “bagaimana kalian akan menjelaskan hal itu?”
Menjelaskan? Bukan kami yang seharusnya menjelaskan, Bura Sialan.
“So-soal itu—”
“Aku menangkap Pu Seren dengan tanganku sendiri, Bura,” selaku lantas membuat alasan, “saat itu istana memang sudah setengah kosong ketika unitku menerobos. Jika Anda menyetir kesalahan pada kami atas tuduhan membiarkan keluarga istana meloloskan diri, bukankah itu berlebihan.”
Kami berdua saling tatap.
“Benar juga,” ujarnya kemudian, “kalian tidak sepenuhnya salah kalau mereka memang mempersiapkan diri untuk kabur begitu kita datang.”
Tidak sepenuhnya? Dia benar-benar ingin membebankan tanggung jawab pada unitku.
“Namun, jika kau bilang begitu …, Ure, apa kau menuduh ada mata-mata yang membocorkan rencana ini di pasukan kita?”
“Hah ….” Kuhela napasku menghadapi orang nomor satu di Panji Mantel Putih tersebut. “Kalau benar ada mata-mata di pasukan kita, dia pastilah pejabat atau paling tidak sekaliber orang yang mampu mengakses seluruh rencana, Bura.”
Aku maju selangkah lagi.
“Apa Anda pikir aku yang cuma prajurit di peringkat paling bawah berani mengatakan itu?”
“Hahaha!” Ia terbahak dengar jawabanku. “Kalian dengar itu, ‘kan? Omongannya bisa kuterima … Ure dan semua Unit Dua Satu Empat Dua, hari ini aku mengundang kalian untuk ….”
Hari itu. Aku, Lamda, Maxwell dan tujuh anggota Unit 2142 dibubarkan lalu masing-masing menerima titel dengan pangkat baru. Kami diberi sejumlah pasukan kemudian akan dikirim untuk kampanye terpisah ke tempat-tempat berbeda musim depan.
Tentu saja, Maxwell bersama tujuh orang lainnya riang gembira menyambut keputusan tersebut dan akan segera bersiap untuk berangkat ke medan perang selanjutnya.
Namun, aku dengan Lamda punya pemikiran berbeda.
Kami berdua mengajukan diri untuk mundur dan menata barisan belakang agar tidak keropos ….
“Apa alasan kalian tidak ingin maju dan membuat banyak prestasi di pasukanku?”
“Apa artinya berkuasa bila keberadaan kita nanti masih tetap tidak diharapkan, Bura?” balasku yang lalu memberi perumpamaan, “kami berpikir, selain mempertajam bilah, gagang pedang pun harus kokoh agar bisa menopang kekuatan penebasnya ….”
***
“Selain mempertajam bilah, gagang pedang juga harus kokoh.” Maxwell mengulangi apa yang kukatakan di Istana Kota Koukus beberapa hari lalu. “Dari mana kau dapat kata-kata sebagus itu, Ure?”
Kujulingkan mataku ke arahnya.
“Makanya sekolah, biar gak buta hurup terus.”
“We, we, we ….” Ia langsung berontak, pasang kuda-kuda dua langkah di depanku. “Kenapa tiba-tiba jadi ke sana, tanpa sekolah pun aku sudah bisa menghasilkan dua setengah kuintal ‘kati’ per hari dulu.”
“Itu dulu,” kataku terus tanya, “kalau sekarang?”
“Sekarang ….” Ia garuk pipi. “Sekarang sih aku baru bisa—”
“Paman Ureee!” teriak anak-anak dari kejauhan, menjedaku dan Maxwell.
Mereka, anak-anak itu, berlari ke arah kami dengan mata cerah. “Kau Ure, ‘kan?”
“Benar, paman ini Ure yang katanya berhasil menangkap Pu Seren itu, ‘kan?”
“Jawab kami, Paman.”
Ffft! Maxwell memegangi perut.
“Paman—mwahaha ….” Ia tepingkal, kelihatannya puas sekali. “Kau dipanggil paman, hahaha ….”
“Hah ….” Kuhela napasku dan menggeleng, seharusnya aku sudah dipanggil nenek moyang oleh anak-anak ini. “Jangan pedulikan kakak di sana, ya,” kataku sambil senyum, “kenapa kalian mencariku?”
“Kakak?” Salah seorang anak menoleh ke Maxwell, “Om-om kusut di sana memang masih muda, ya?”
“Apa kau bilang, Bocaaah?” Membuat sobatku itu melotot sembari mendekat. “Bilang sekali lagi kalau kau berani, hah!”
Aku ingin tertawa dengar ucapan polos anak tersebut, Maxwell yang sudah mulai punya berewok memang kelihatan agak berantakan.
“Kenapa kau melihatku begitu, Ure? Apa kau juga mau mengataiku, hah?”
“Mereka cuma anak-anak, jangan kau takut-takuti—”
“Mereka harus kukasih pelajaran, biar ka—”
AAA! Dan, ya, delapan anak yang lagi mengerubungiku itu pun menangis.
“Terima kasih, sekarang mereka menangis.”
“Eh, eh, aku tidak berniat menakuti kalian ….”
Meski penampilannya macam berandalan dan gak punya aturan, Maxwell bukan orang jahat. Dia masih punya sisi lembut yang mau mengalah pada anak-anak.
“Kau sudah seperti guru mereka.”
“Berisik kau, Ure!”
Aku tersenyum.
“Kalau bukan karena tidak ingin mereka menangis, aku ogah duduk bareng bocah-bocah ingusan di taman ini,” akunya lantas melipat tangan dan balik meladeni anak-anak tadi, “jadi kalian mau dengar cerita kami masuk kota dan menangkap Pu Seren?”
“Benar, Om!”
“Hah ….” Maxwell kelihatan pasrah. “Dengar, ya, cerita ini akan jadi legendaku dengan Unit 2142.”
“Bosan, aku mau dengar bagian kalian berpencar dan Paman Ure menyerbu istana sendirian.”
“Eh?! Bukan cuma dia yang hebat di unitku pas penyerangan kemarin, tahu ….”
Aku tidak tahu siapa yang mulai menyebarkan cerita penyusupan kami ke orang-orang di Zara, tetapi hal itu kini sudah menjadi topik hangat.
Sebagian menganggapnya hanya sebagai rumor, dilebih-lebihkan, bahkan ada yang menjadikannya alasan untuk ‘mendisiplinkan’ unitku sejak dini karena dirasa kami berbahaya dan berpotensi jadi benalu.
Aku maklum. Toh, siapa juga yang senang jika calon pesaing baru muncul di tempat usahanya, ‘kan?
Namun, aku memilih buat gak ambil pusing.
Biarkan saja cerita unitku waktu menyelinap ke Koukus digoreng dan jadi bahan gosip. Toh, dengan begitu nama kami akan lebih cepat sampai ke telinga atasan.
Mwehehe ….
***