Pahlawan

Bengkoang
Minggu lalu. Ketika sisa Unit 2142 hendak menyerbu istana ….
“Ure, kau yakin kita akan berhasil—”
“Siapa kalian?”
“Ah! Bagus kalian lewat, cepat kemari!” teriakku, memanggil dua prajurit yang memergoki separuh unitku sedang memuat tong minyak ke atas gerobak di depan persembunyian. “Tolong bantu kami mengangkut semua minyak ini lalu menyebarkannya ke sekitar lumbung dan gudang senjata—”
“Hoi, hoi, hoi!” Salah seorang prajurit tadi menepis tanganku. “Apa yang kalian lakukan, hah?”
Sring! Prajurit lain bahkan menghunus pedang dan waspada.
“Siapa yang memerintah kali—”
Sebelum dia banyak bicara kutendang lututnya sampai ia terjatuh. Duk!
“Apa kau belum dapat kabar soal penyusup yang masuk kota dan sedang mengincar Pu Seren?” tanyaku pada prajurit tersebut, “jika kau tidak ingin membantu tugas kami, paling tidak jangan menghalangiku.”
“Hei, Kau!” Temannya maju, hendak mengayunkan pedangnya padaku. “Katakan siapa ka—”
“Sedang apa kalian?!” pekik seseorang dari ujung blok, seorang prajurit berkuda, menjeda kami. “Kita sedang berperang, kenapa kalian malah berkumpul di sini?”
“Tuan Tentara!” Aku cepat-cepat menghampiri prajurit kavaleri tersebut dan mengasongkan daftar yang kubawa. “Ini daftar barang yang diperintahkan Bura untuk kubawa ke gudang senjata dan lumbung kita, tapi mereka menolak membantu dan malah menghadang kami—”
“Tidak!” teriak dua prajurit tadi.
Mereka menyusulku menghadap si prajurit kavaleri. “Kami tidak menghadang, Upa. Mereka men—”
“Lalu membuatku dan orang-orangku telat mengirim barang-barang di sana itu apa?” selaku, mengganggu mereka agar tidak sempat menjelaskan situasi. “Upa, aku tidak tahu Anda dari unit mana, tapi tolong bantu kami untuk mengirimkan barang-barang di sana ke gudang dan lumbung segera.”
“Akh!” Prajurit berkuda itu malah putar badan. “Kalian urus sendiri, aku malas mengurus hal-hal remeh.”
Begitu dirinya pergi.
“Kalian sudah membuatku terlambat,” kataku melotot pada dua prajurit tersebut, “cepat panggil unit lain untuk membantu—”
“Gawaaat!” pekik Juini, anggota unitku yang kebagian pura-pura sebagai prajurit terluka, berlari ke arahku dan dua prajurit tersebut. “Gawat, Kapten!”
“Kenapa tanganmu?” tanyaku, pura-pura panik melihat kondisinya.
Ia mendorongku. “Tidak penting, Kapten!”
“Kau?”
“Cepat …, cepat, suruh semua orang mundur ….”
“Mundur?” Salah seorang prajurit tadi menghampiri kami. “Apa maksudnya mundur?”
“Muri memerintahkan kita membakar gudang dan lumbung, bahkan Pu kini sudah menyuruh semua orang di istana untuk keluar lewat jalan rahasia.”
“A-apa?”
Bagus, keduanya mulai panik.
“Bagaimana bisa—”
“Sudah kubilang penyusup berhasil masuk ke kota, Kalian Sialan!” bentakku kemudian membantu Juini berdiri, “tunjukkan padaku token perintahmu.”
“Ba-baik … Ka-kapten ….”
Ia melotot padaku setelah beberapa kali memegangi pinggang.
“Kenapa kau cuma melihatku, hah? Mana token perintah yang diberikan padamu?”
Juini segera berlutut.
“Aku minta maaf!” teriaknya sambil menunduk, “aku menghilangkannya—”
“Apa?!” Aku pura-pura kaget. “Bagaimana bisa … benda sepenting itu kenapa bisa hilang—”
“Tadi …,” lanjut Juini, “tadi aku ditabrak beberapa orang prajurit berkuda, mereka bilang keadaan darurat dan akan menuju istana untuk mengamankan Bate—”
“Bate?” Salah seorang prajurit tadi mendekati Juini. “Bate sedang tidak di kota sekarang, mana mungkin mereka me—”
“Mereka pasti penyusup!” potongku kemudian lari ke gerobak, melepas seekor kuda, lalu menghampiri mereka lagi. “Salah satu dari kalian pakai kudaku dan susul penyusup tadi ke istana—Ini!”
Kulempar kertas yang tadi kubawa ke salah seorang lainnya.
“Kau bantu orang-orangku mengantar barang-barang di sana, kita masih punya waktu jika bergegas ke istana sekarang ….”
Tanpa pikir panjang, keduanya langsung berpencar. Seorang naik ke atas kuda lalu melaju untuk menyusul ‘penyusup’ ke istana, sedangkan yang lain langsung mengumpulkan orang dan membantu kami mengirim tong minyak ke gudang dengan lumbung-lumbung mereka.
Supaya situasi aman, kuambil satu kuda lagi dan menggendong Juini untuk menyusul prajurit pertama.
“Dengaaar …,” teriakku sembari mengentak kuda, “orang-orangku tidak bisa bicara, jika ada yang tanya siapa yang menyuruh kami bilang saja itu Buraaa ….”
Sengaja kukatakan sambil memacu kuda agar tidak terdengar jelas ….
***
Siapa sangka rencana gila di hari itu membuat kami menjadi pahlawan hari ini ….
“Kalian tahu, aku dan teman-temanku tidak bicara sepatah kata pun selama kami mengirim tong minyak ke lumbung musuh.” Maxwell benar-benar menjiwai ketika menceritakan ulang pengalaman tersebut.
Mata anak-anak yang mendengarkan sampai tidak berkedip.
Benar-benar sukar buat kupercaya. “Dia terlalu berlebihan, Anak-anak.”
“Tidak apa-apa, Paman Ure,” timpal salah seorang, “Om Maxwell sudah menjadi pahlawan kami, dia yang banyak omong ini tiba-tiba jadi pendiam hari itu membuat rencanamu sukses, ‘kan?”
Kugaruk pipiku dengar tanggapan tersebut.
“Eh, aku tidak banyak diam kemarin.”
“Tidak apa-apa, Om Maxwell. Kau adalah pahlawan—”
“Benar, kau dan sembilan paman di Unit 2142 semuanya pahlawan!”
“Be-benarkah?”
“Hidup pahlawan!”
“Hidup!”
Melihat mereka bergembira dengar cerita kami di pertempuran, aku jadi merasa bersalah.
“Ah, ya! Lalu bagaimana aksimu pas di istana, Paman Ure?”
“Soal itu ….” Aku berpikir sebentar. “Sebaiknya kalian jangan ta—”
Bdum! Sebuah ledakan mengagetkan kami.
“Su-suara apa itu, Paman?”
“Ure!” Maxwell mengangguk padaku, sebelum membubarkan kerumunan di taman tersebut. “Semua, kita lanjut ceritanya lain kali saja ….”
Tadi itu suara tembakan meriam.
Arah datangnya dari barat.
Kemungkinan terburuk, Zara sedang diserang.
“Hoi, Ure—”
“Kita berpencar!” selaku yang saat itu langsung lari ke arah berbeda sambil teriak, “kau bunyikan bel tanda bahaya, aku akan ke alun-alun buat membantu evakuasi. Kita bertemu di gerbang baraaat ….”
Aku sadar arti bergabung dengan pemberontak adalah memilih hidup di seberang dan menentang status quo hingga ke akar-akar, karena itu diriku pun sudah menyiapkan diri apabila hal semacam ini benar-benar terjadi sejak jauh-jauh hari.
Kalau kami tidak menyerbu dan mengambil alih kota lain setelah mendeklarasikan perlawanan tahun lalu, tentu kota kamilah yang akan diserang kemudian.
Naif sekali. Aku, Maxwell, bahkan Lamda yang tidak tegaan, semua orang di bawah Mantel Ungu, Mantel Putih, Mantel Emas, dan Mantel Jerami dari pasukan Panji Beruang, mana bisa berharap hidup tenang.
Kami telah menjadi makhluk buas bagi orang-orang kekaisaran serta harus segera dimusnahkan ….
***