Rencana Gila

Bengkoang

Bengkoang

“Majuuu ….”

Hari ke-30 di bulan sebelas, Musim Dingin 340 Mirandi.

Sesuai rencana. Dua ribu pemberontak ‘Mantel Putih’ pergi menyerbu Kota Koukus begitu matahari terbit dari arah timur, dengan semangat dan keberanian penuh walaupun hanya membawa peralatan seadanya.

Sedang sebelas ribu sisanya, memecah dan menunggu waktu untuk mengejutkan musuh pada serangan kedua di hutan sekitar kota.

Mereka, dua ribu pelopor tersebut, maju tanpa takut mati ataupun merasa ragu.

“Bodoh, mereka hanya akan buang nyawa di tembok ini.”

“Upa, tolong jangan bicara buruk tentang saudara-saudara kita.”

“Bah! Kalau kau ingin bersama mereka, sana pergi. Aku tidak akan mencegahmu.”

“Bu-bukan itu maksud—”

“Upa, kita sampai!”

Kecuali tiga belas orang yang menyaru bersama putihnya salju dan menyelinap ke pintu air dekat pojok tembok kota, unit dua dari peleton pertama di kompi keempat pada batalion kedua.

Unitnya Upa Vina ….

“Bagus, Ure.” Ia menepuk bahuku kemudian mengambil alih. “Setelah kita berhasil menang perang dan mendapat pangkat baru, kau akan jadi orang kepercayaanku.”

“Terima kasih.”

Aku mundur lantas membiarkan sang upa untuk memimpin dua kaki tangannya masuk ke celah lubang air yang separuhnya telah membeku.

“Ayo, biar kupimpin kalian menuju kemenangan ….”

Begitu ia bersama dua orang kepercayaannya tersebut masuk lubang, sembilan orang lainnya kuhalau lalu kuajak untuk mengitari tembok ke sisi lain.

“Kalian jangan ikuti mereka, kita ambil jalur lain.”

“Ure, apa maksudmu?”

“Jangan banyak tanya, kalau masih mau hidup ikut aku ….”

Ketimbang pintu air tadi, masih ada satu jalan masuk kota yang lebih aman buat dilewati. Lokasinya berada di antara ujung tembok tenggara dengan gerbang masuk sisi selatan.

“Apa ini, kenapa ada kincir air di sini?”

“Simpan heranmu buat nanti, Maxwell—cepat, beri aku tombak.”

“Buat apa?”

“Jangan banyak tanya!”

“Ini!”

“Terima kasih, Lamda ….”

Daripada merangkak di celah sempit, aku lebih memilih buat membuka jalur yang lebih lega.

“Pertama, rusak poros kincirnya dulu … lalu—beri aku tombak lagi!”

Duk! Kincir air besar di hadapan kami terlepas, menyisakan lubang selebar empat orang dewasa di bawah tembok yang menganga buat dimasuki.

“Lepas zirah dan taruh semua senjata kalian di sini—”

“Kenapa kami harus melakukan itu?”

“Benar, bagaimana kita akan berperang kalau—”

“Sudah nurut saja!”

Tidak punya pilihan, mereka pun menurut kemudian mengikutiku masuk ke celah tembok tersebut tanpa mengenakan zirah ataupun membawa senjata.

“Heh—”

“Hoi, Tuan Tentara!” teriakku begitu para tentara yang lewat di jembatan memergokiku keluar dari pintu saluran air bawah tanah di sisi dalam tembok, “tolong bantu kami!”

“Siapa kalian?”

“Aku mekanik yang sedang memperbaiki saluran air. Tolong cepat kemari, bantu kami memasang kembali kincir yang lepas di ujung salur—”

“Abaikan mereka!” teriak salah seorang tentara dari kejauhan, “kita sedang bertempur, jangan terganggu oleh hal-hal lain dulu!”

“Benar!” timpal tentara yang lain, “kalian juga, berhenti mengurus kincir di sana dan cepat sembunyi ke tempat aman. Kota sedang diserang ….”

Melirik sekilas, mereka pun lanjut berlarian menuju arah timur.

“Jadi alasan kenapa kami harus melepas zirah dan meninggalkan senjata di luar tadi karena kau tahu kita akan bertemu tentara musuh?” tanya salah seorang anggota Unit Dua Satu Empat Dua begitu kami masuk area pemukiman.

Yang sontak ditambahi oleh Maxwell. “Aku tidak tahu aktingmu sebagus itu.”

“Bukan aktingku yang bagus …,” timpalku sembari terus memperhatikan sekitar, “mereka lagi kalut, jadi omong kosong macam tadi akan langsung dipercaya—di sana, kita sembunyi di rumah kosong itu!”

***

“Sekarang bagaimana?”

“Menurut apa yang kudengar, seharusnya setelah tahu jarak jangkauan panah musuh kita akan langsung menggunakan itu.”

“Maksudmu ‘itu’ barusan …, meriam, ‘kan?”

Meriam yang orang-orang ini bahas bukan meriam sihir macam waktu diriku masih tinggal di Benua Baru, tetapi meriam ledak versi bubuk mesiu.

Mereka muncul di Eldhera gegara Sage Suinda dan penyintas yang dilayaninya, kalau kalian tanya kenapa bisa ada bubuk mesiu di sini.

“Aku belum mendengar suara ledakan apa pun setengah jam kita di sini, kurasa pasu—”

“Mereka gak bakal pakai meriam.”

“Kenapa kau kelihatan sangat yakin, Ure?” tanya Lamda, “bukankah kita nekat menyerbu Koukus karena punya meriam, mana mungkin senjata perusak itu tidak digunakan pada serangan yang gila ini.”

Tentu saja untuk menghemat sumber daya, tapi aku tidak akan mengatakan itu di depan mereka.

“Ada dua kemungkinan yang mungkin terjadi jika tebakanku tidak meleset,” kataku sambil membuat garis ilustrasi di lantai, “pertama, Yoram merasa tembok Koukus terlalu tebal buat dihantam meriam.”

“Satu lagi?”

“Dia memfokuskan sasaran tembak ke gerbang utama dan sedang berusaha membawa meriam ke tengah-tengah ….”

Selagi kami mengobrol di rumah kosong tersebut, para pemberontak dengan pasukan pertahanan Koukus di gerbang timur sana semakin ganas menarikan maut.

Aku tidak tahu pasti seperti apa pertempuran yang kini tengah berlangsung, tetapi hawa haus darah kian pekat tertangkap oleh mata perakku.

Hawa yang sangat disenangi oleh para jerangkong ….

“Hoi, Ure!” Lamda melambai-lambaikan tangan di depanku. “Kenapa kau melamun?”

“Aku yakin dia lagi kangen rumah—”

“Berisik kau, Maxwell. Aku tidak bertanya padamu.”

“Apa, hah?”

“Bisakah kalian jangan terlalu berisik,” ujarku lantas melirik pintu sekilas, “Maxwell, apa kau menemukan sesuatu di luar sana?”

“Oh.” Ia segera menggelar gulungan yang sedari melewati pintu tadi terus digendongnya. “Aku berhasil mencuri peta Koukus, dan benar kata si Lamda, Pu memang ada di sini … ini, di tengah-tengah kota.”

“Apa kubilang!” sambut Lamda, senang. “Koukus itu ibu kota pemerintahan, jadi selain bate tentu saja Pu Seren pasti akan ada di sini.”

“Ya, ya, terima kasih buat infonya.”

“Mwe ….”

“Jadi apa rencana kita sekarang, Ure?”

“Kalau kalian percaya.” Kuputar peta yang Maxwell gelar jadi sesuai arah mata angin. “Kita akan menculik dan menyandera Pu Seren untuk merebut kota lalu menghentikan pertempuran di Gerbang Timur—”

“Apa?!”

Tentu saja, ini memang rencana gila.

Wajar mereka langsung melotot padaku begitu.

Aku paham. Sepuluh orang tanpa senjata memadai mana mungkin sanggup menerobos pertahanan Istana Kota yang kini menebal gegara serbuan pemberontak di luar. Apalagi bila di sana ada seorang pu alias raja wilayah dengan kekuasaan satu tingkat di bawah mapu atau kaisar.

“Kau gila, ya, Ure?”

“Kita bersepuluh mana sanggup menghadapi pasukan di—”

“Siapa bilang kita akan langsung menyerbu ke Istana Kota, hah?” potongku, menyapu mata semua orang penuh percaya diri. “Dengar, kita akan membuat seisi kota gempar lalu diam-diam menyelinap ke istana.”

“Hah?”

“Ba-bagaimana?”

“Caranya?”

“Pakai itu ….” Kutunjuk benda di pojok ruangan tempat kami sembunyi ….

***