Kampanye Pertama dan Misi Bunuh Diri

Bengkoang

Bengkoang

Hari ke-29 di bulan sebelas, Musim Dingin 340 Mirandi.

Kampanye pertamaku sebagai unit terkecil pasukan pemberontak berlanjut. Aku, Lamda, dengan si berisik Maxwell, telah sampai ke lokasi penyerbuan. Kota Koukos.

“Hoi, Ure!”

Aku menoleh. “Apa?”

“Kau yakin kita akan berhasil …, maksudku tembok setinggi itu pasti sangat tebal, ‘kan?”

Maxwell, bocah yang selalu ‘berani’ di mana pun itu tampak ciut kali ini. Tidak seperti biasanya.

Apa ia gentar gegara melihat penampakan asli sasaran kami di depan sana?

“Kau takut, ya?”

“Aku ti—”

“Dia takut,” potong Lamda, “lihat saja kakinya yang gemetaran.”

“Woi, Manja. Siapa bilang aku takut, hah?”

“Sudah akui saja ….”

Bicara soal takut.

Sebetulnya hal tersebut wajar mengingat kekuatan kami yang cuma tiga belas ribu sedang musuh punya lebih dari lima atau enam kalinya. Apalagi Koukos dikelilingi tembok tebal dan tinggi, kurasa sehari takkan cukup buat menerobos hanya mengandalkan kekuatan amatir.

Namun, buat apa risau?

Toh, tugasku sama dua bocah ini cuma mengintai, memetakan medan sekilas, lalu kembali untuk melapor ke atasan. Bukan terjun langsung ke pertempuran.

“Hoi, Kalian. Cepat beri tahu yang lain, kita tidak punya celah kalau menyerbu langsung dari depan. Bilang juga, dua ribu unit takkan cukup buat menerobos gerbang mereka.”

“Eh?”

“Apa-apaan kau, Ure?” Maxwell berhenti mengganggu Lamda dan mendekatiku. “Kau bukan kapten kami, kenapa menyuruhku buat kembali sekarang, hah?”

Aku menjuling sekilas.

“Kau mau kita cepat pulang apa terus menunggu di sini?”

“Bukan itu pertanyaanku, Ure.”

“Hah ….” Kuhela napasku meladeninya. “Dengar, Upa cuma menyuruh kita melihat situasi musuh sekilas terus melapor. Kalau tugas sesederhana itu saja butuh waktu lama, kau tidak layak masuk tentara.”

“Apa kau bilang—”

“Aku setuju denganmu, Ure. Lupakan si bodoh ini, biar aku yang pergi melapor ke Upa Vina.”

“Hoi, Lamda, kau menyebutku apa barusan—tunggu aku ….”

Sejak awal misi kami hanyalah menjadi umpan dan pasukan bunuh diri, kalau saja dua bocah tadi tahu.

Dua ribu sekian ratus unit termasuk diriku, semuanya bakal dikirim untuk mati demi memancing perhatian musuh ke Gerbang Timur Koukus. Sementara kekuatan asli pemberontak akan menyelinap dan membuka gerbang utara lalu melancarkan serangan kedua begitu pertempuran kami berakhir. Cek!

“Pasukan bantuan.” Kulirik bukit di sebelah utara kota sekilas terus berbalik buat kembali ke kemah. “Aku ragu jika mereka belum sampai ke dekat kami ….”

***

Musim Semi 339 Mirandi ….

“Hoi, Ure. Kau mengajak si Lamda juga?”

Kehidupanku sebelum bergabung ke kesatuan tentara pemberontak adalah murid sekolah umum dengan waktu luang yang sangat banyak. Bersama dua orang ini, Maxwell dan Lamda.

“Kau bilang mau menunjukkanku kereta baru, mana?”

“Maxwell, kau gak akan percaya kalau kubilang si Ure hampir diusir dari kelas sama Nyonya Deti tadi pagi.”

“Benarkah?”

“Cek! Aku mengajakmu ke Gerbang Selatan buat berburu mencek, ‘kan?” ujarku, coba menjaga topik agar jangan melebar ke mana-mana. “Bukan malah membahas kejadian tadi pagi sama si Maxwell, Lamda.”

“Apa kau malu?”

“Hahaha. Lamda, dia pasti malu ….”

Hari itu aku, Lamda, juga Maxwell hanyalah dua ‘anak sekolah’ dan sorang pemburu amatir yang hendak mengadakan acara perburuan kecil-kecilan di area hutan dekat Tembok Selatan Zaowi.

“Ah, itu dia! Lihat ….” Maxwell kelihatan sangat semringah, tatkala kereta yang ia katakan padaku sebelum kami membuat janji temu datang. “Ini kereta baru yang ayahku beli. Keren, ‘kan?”

Kami hanyalah penduduk biasa. Seorang anak pemburu, anak bangsawan kelas menengah, sama satu lagi veteran yang mendadak jadi ‘tanpa gairah’ setelah kehilangan rumah dan keluarga.

Tidak pernah terlintas dalam benak kami jika hari itu Zaowi akan menjadi lautan api sepulang dari acara perburuan tersebut ….

***

“Ure, kau dipanggil Upa Vina ….”

Hingga sekarang. Perkakas berburu yang kami bawa pada acara perburuan tahun lalu itu, kini jadi senjata andalan dalam setiap upaya mempertahankan hidup di kemah pemberontak ini.

“Anda memanggilku, Upa?”

“Ya. Soal laporanmu ….”

Upa Vina, kapten unitku sekaligus orang paling setia di antara dua ribu bawahan yang dikirim untuk mati di Gerbang Timur Koukus.

“Rekan-rekanmu bilang kau yang menyuruh mereka kembali, benar?”

“Benar, Upa.”

“Bisa kau jelaskan, kenapa kita tidak bisa menang jika menyerbu hari ini?”

Huh. Pertanyaan macam apa itu? Dia sedang menggodaku, kah?

“Hah ….” Kuhela napas lelah sebelum menghadapi ketua unit di depanku. “Upa, Anda tidak perlu melotot dan menanyakan sesuatu yang sudah pasti.”

Ia bersandar ke kursi lalu melipat tangan.

“Jika Anda ingin jawaban jujur, aku akan berterus terang,” kataku kemudian mengambil kursi dan duduk di seberangnya, “misi bunuh diri ini mungkin sukses, tetapi tidak dengan serangan utamanya.”

Jawaban yang sontak membuat sang ketua unit berdiri lantas menggebrak meja. Brak!

“Siapa yang bilang serangan kita ini misi bunuh diri, hah?”

Kutatap matanya dalam diam.

“Baiklah ….” Kemudian menjelaskan, “Jika Anda ingin tahu kenapa aku bisa tahu ini misi bunuh diri ….

Pertama, jarak antara Zara dengan Koukus hanya sekitar empat puluh kilo. Perjalanan kemari cuma butuh kurang dari sehari jalan kaki atau setengah hingga satu jam saja kalau pakai kuda, benar?

Akan tetapi, Yoram alias Kepala Batalion sengaja memperlambat laju pasukan kita hingga tiga ha—”

“Bukankah kau tahu itu agar musuh tidak menyadari kita!” sela sang ketua unit, “jangan asal—”

“Aku tidak asal bicara!” balasku lekas tanya, “Anda pikir dua ribu orang berjalan kaki dalam barisan dengan panji mencolok selama tiga hari takkan pernah dicurigai?

Kita memang prajurit kelas bawah tanpa pengalaman tempur, tetapi bukan berarti semua individu sama. Aku yakin, bukan hanya diriku yang punya firasat soal taktik menyedihkan ini, Upa.”

Kupalingkan wajahku ke peta dekat dinding tenda.

“Lihat …, Anda bahkan menandai bukit di utara Koukus. Jangan bilang kalau pasukan utama yang sedang menunggu di sana hanya sebuah lelucon.”

“Berapa orang yang tahu soal rencana ini, Ure?”

Aku kembali melihat sang upa.

“Anda tidak perlu repot-repot membunuhku demi menjaga moral dan semangat pasukan,” ujarku lantas mengajukan proposal padanya, “kenapa tidak mendengar masukanku untuk membuat sedikit terobosan lalu mengubah misi bunuh diri menyebalkan ini menjadi ladang jasa?”

Ia melepaskan gagang pedangnya.

“Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan?”

“Aku hanya ingin hidup.” Kutatap matanya. “Meskipun Anda tidak suka aku akan tetap melakukannya ….”

***

“Kau sudah balik, Ure?”

“Kumpulkan semua anggota unit kita, aku ingin bicara serius—”

“Hoi, hoi, hoi, Ure. Kau lagi-lagi bersikap seolah kapten, jangan sembarangan memerintah—apa?!”

“Puas?”

“Se-sejak kapan?”

“Sudah jangan banyak tanya, sana panggil semua rekan kita atau kulaporkan kau sebagai pembangkang.”

Mau tidak mau, Maxwell pun bergegas memanggil semua anggota unit kami begitu melihat token perintah upa di tanganku.

“Sebenarnya apa yang terjadi di tenda Upa Vina, Ure?” tanya Lamda ketika teman cerewet kami pergi.

Aku tersenyum melihat wajah herannya terus bilang, “Aku cuma dapat promosi ….”

Semakin sedikit orang yang tahu, semakin besar pula peluang kami untuk selamat dalam pertempuran ini. Begitu kata upa gila yang tadi memanggilku ke tendanya, dan sialnya di situasi kacau nanti dirinya benar.

Makin sedikit orang yang ingin hidup dalam misi bunuh diri, kemungkinan tiketku buat selamat akan dilirik orang lain juga semakin kecil.

Padahal fakta bahwa akan ada orang selain diriku yang menyadari keberadaan tiket selamat itu juga sudah kebilang sangat tipis ….

***