Menolak Cinta, Memilih Karier

Muhammad Ari Pratomo
Senja merayap masuk ke jendela kamar kos Ari, menebarkan cahaya oranye yang hangat namun mengusik pikirannya yang sedang mendung. Di atas meja, buku-buku hukum berserakan, sebagian terbuka, sebagian sudah penuh coretan stabilo. Tapi kali ini, bukan soal pasal atau yurisprudensi yang memenuhi kepalanya. Ari duduk diam, merenung—tentang masa depan, tentang arah hidup setelah toga dilepas dari kepala.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir di fakultas hukum, Ari tahu satu hal dengan pasti: dunia setelah wisuda tak akan ramah. Pilihan terbentang luas—menjadi jaksa, hakim, notaris, atau pengacara. Tapi di balik semua itu, Ari hanya ingin satu: menjadi orang yang bisa memperjuangkan keadilan untuk mereka yang tak punya suara. Hukum bukan hanya soal menang dan kalah di ruang sidang, tapi tentang keberanian membela yang benar, walau tak populer.