Ritual Birokrasi dan Baris Puisi yang Tersembunyi
Titik Nol
Sementara Lestari melangkah di atas lantai vinil rumah sakit yang berkilauan, Adi sedang memarkir sepeda motornya di basement gedung pemerintahan yang megah namun terasa kaku. Udara di sini pun berbeda. Bukan aroma antiseptik yang tajam, melainkan aroma kertas tua dan udara dari pendingin ruangan sentral yang sudah bekerja puluhan tahun. Ini adalah benteng formalitas, sebuah dunia yang dibangun di atas aturan, hierarki, dan prosedur.
Ia berjalan melewati lobi yang lengang, membalas sapaan seorang petugas keamanan dengan anggukan sopan, lalu menempelkan ibu jarinya pada mesin absensi sidik jari. Bunyi bip singkat yang keluar dari mesin itu adalah lonceng penanda dimulainya peranannya hari ini. Di lift yang membawanya ke lantai empat, ia berdiri bersama beberapa pegawai lain. Tidak ada percakapan, hanya keheningan yang mapan dan saling pengertian khas Senin pagi.
Kantornya adalah sebuah ruang besar berkonsep terbuka yang diisi oleh deretan kubikel-kubikel identik. Suasananya tenang, hanya diisi oleh dengung serempak dari unit komputer dan ketukan keyboard yang ritmis. Ini adalah keheningan yang sangat berbeda dari keheningan tegang di rumah sakit. Ini adalah keheningan rutinitas.
Adi tiba di kubikelnya, sebuah kotak kecil yang telah ia sulap menjadi sudut pribadinya. Di sana, di antara tumpukan map dan sebuah kalender meja, berdiri sebuah bingkai foto sederhana. Foto dirinya dan Lestari yang sedang tertawa di sebuah kedai kopi, diambil beberapa bulan lalu. Benda itu menjadi satu-satunya sumber warna dan kehangatan di tengah lautan warna krem dan abu-abu. Ia menyentuh sudut bingkai itu sejenak, sebuah kontak fisik singkat dengan dunianya yang lain, sebelum akhirnya menekan tombol daya di komputernya.
..........................................................
Ada keheningan rumah sakit yang tegang, penuh dengan doa yang tak terucap. Dan ada keheningan kantor di pagi hari yang mapan, penuh dengan rutinitas yang tak perlu dipertanyakan lagi.
Keduanya menuntut versi diri yang berbeda untuk bisa bertahan.
..........................................................
Saat komputernya masih dalam proses booting yang terasa lambat, sebuah kepala muncul dari atas sekat kubikel di sebelahnya. Itu adalah Pak Heru, rekan kerjanya yang paling senior, seorang pria paruh baya yang selalu punya stok lelucon "bapak-bapak".
"Selamat pagi, calon pujangga!" sapa Pak Heru dengan suara berbisik yang nyaring. "Sudah siap bertarung dengan tumpukan map dan naga birokrasi hari ini?"
Adi tersenyum. "Siap, Pak. Amunisi sudah diisi penuh sejak subuh tadi."
"Baguslah. Pagi ini langsung ada oleh-oleh dari Kepala Bidang di emailmu. Selamat menikmati," kata Pak Heru sebelum kepalanya kembali menghilang, diiringi oleh kekehan kecil.
Benar saja. Email pertama yang muncul di layar adalah sebuah disposisi untuk merevisi draf surat edaran. Adi membukanya. Matanya langsung disuguhi oleh parade kalimat-kalimat formal yang kaku: Menindaklanjuti... Berdasarkan peraturan... Sehubungan dengan hal tersebut...
Sebagai seorang pegawai, tugasnya adalah memastikan kalimat-kalimat ini sesuai dengan kaidah tata bahasa resmi dan tidak menimbulkan ambiguitas. Tapi sebagai seorang penulis, jiwanya terasa sedikit meronta. Bahasa ini terasa begitu jauh, dingin, dan tidak memiliki nyawa. Bahasa ini didesain untuk menciptakan jarak, bukan untuk membangun koneksi. Ia menghabiskan hari-harinya menavigasi dua samudra bahasa yang bertolak belakang: bahasa yang ia gunakan untuk bekerja, dan bahasa yang ia gunakan untuk hidup.
..........................................................
Bahasa birokrasi diciptakan untuk menghilangkan ambiguitas, untuk membangun tembok kepastian. Bahasa puisi diciptakan untuk merayakan ambiguitas, untuk membuka jendela kemungkinan.
Manusia yang utuh adalah ia yang mampu berbicara dalam keduanya, tanpa membiarkan yang satu membunuh jiwa dari yang lainnya.
..........................................................
Dengan kesabaran seorang profesional, Adi mulai mengerjakan tugasnya. Ia membaca setiap kalimat dengan teliti, memperbaiki tanda baca, menyelaraskan format. Ia adalah pegawai yang baik dan kompeten. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, otaknya bekerja dalam mode logis dan terstruktur. Ia bisa melakukan ini dengan mata tertutup.
Namun, di tengah-tengah proses merevisi sebuah paragraf yang luar biasa kaku, sebuah kalimat melintas di benaknya. Sebuah pemberontakan kecil dari jiwa penulisnya. Tangannya berhenti sejenak. Ia dengan cepat menekan kombinasi tombol di keyboardnya, memunculkan sebuah aplikasi sticky note digital berwarna kuning pucat yang tersembunyi di balik tumpukan jendela aplikasi lainnya. Di sana, di antara puluhan fragmen pemikiran dan baris-baris puisi acak, ia mengetikkan sebuah kalimat baru, sebuah "hal receh" yang hanya ia yang mengerti.
Di balik setiap kata 'Dengan hormat', ada hati yang rindu pulang.
Ia membacanya sekali, tersenyum tipis, lalu dengan cepat menutup kembali catatan itu, menyembunyikannya dari dunia. Aksi itu hanya butuh waktu tiga detik, tidak lebih. Sebuah penyelundupan emosi di tengah lautan formalitas. Setelah itu, ia kembali ke dokumen surat edaran, wajahnya kembali datar dan fokus. Aditia Wibawa Sena, sang staf pemerintah, telah kembali mengambil alih sepenuhnya. Tapi di dalam dirinya, Adi sang penulis baru saja diberi kesempatan untuk bernapas. Dan napas kecil itulah yang membuatnya bisa bertahan menjalani sisa harinya, sambil menunggu waktu untuk kembali ke dunianya yang sesungguhnya. Dunia di mana Lestari berada.