Rapat Koordinasi dan Pesan Singkat di Bawah Meja
Titik Nol
Saat Lestari sedang mengatur napasnya di koridor rumah sakit, Adi justru sedang menahan napasnya karena bosan. Ia duduk di salah satu dari dua belas kursi identik yang mengelilingi sebuah meja mahoni panjang di ruang rapat utama. Udara di dalam ruangan terasa pengap, campuran antara aroma kertas, kopi instan yang sudah dingin, dan ambisi yang terpendam.
Di depan, seorang kepala seksi sedang mempresentasikan materi di layar proyektor. Judulnya: "Optimalisasi dan Sinkronisasi Data Laporan Triwulan Berbasis Aplikasi Digital." Adi mendengarkan dengan saksama—atau setidaknya, berusaha terlihat seperti itu. Ia mengangguk di saat yang tepat, membuat beberapa catatan di buku blocknote-nya, dan menjaga ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tertarik. Ini adalah bagian dari seni bertahan hidup di dunia birokrasi.
Pikirannya, bagaimanapun, melayang jauh. Ia melihat wajah-wajah di sekelilingnya. Pak Heru yang sesekali mencuri pandang ke arah jam dinding. Bu Diah dari bagian keuangan yang tatapannya kosong. Mereka semua memainkan peran mereka dengan baik, menjadi roda-gigi yang efisien dalam sebuah mesin besar yang bergerak lambat. Adi bertanya-tanya, seperti apa pagi mereka? Siapa yang mereka tinggalkan di rumah? Apa "Kode Biru" dalam kehidupan mereka masing-masing? Mungkin bukan tentang hidup dan mati, tetapi tentang tagihan yang jatuh tempo, atau anak yang sedang sakit.
Ia merasakan sebuah jurang yang begitu lebar antara dunia ini dan dunia Lestari. Di sini, urgensi diukur dengan tenggat waktu dan tumpukan dokumen. Di sana, urgensi diukur dengan setiap detik detak jantung. Kesadaran itu membuatnya merasa sedikit terasing, sedikit tidak pada tempatnya.
..........................................................
Dunia orang dewasa penuh dengan "urgensi" buatan: tenggat waktu laporan, target penjualan, rapat evaluasi. Kita begitu sibuk memadamkan api-api kecil di atas kertas, hingga terkadang lupa bahwa di tempat lain, ada orang-orang yang sedang benar-benar berjuang memadamkan api kehidupan yang sesungguhnya.
..........................................................
Dorongan itu datang tiba-tiba, sebuah kebutuhan mendesak untuk membangun jembatan di atas jurang pemisah itu. Sebuah kebutuhan untuk terhubung dengan dunianya yang nyata. Dengan gerakan yang sangat halus dan terlatih, seolah sedang melakukan operasi intelijen, Adi meraih ponselnya dari dalam saku celananya. Ia menempatkannya di bawah meja, di atas pangkuannya, melindunginya dari pandangan para petinggi di ujung meja.
Jemarinya bergerak cepat di atas layar sentuh. Ia tidak memikirkan kata-kata yang rumit atau puitis. Ia hanya ingin mengirimkan sepotong kecil dari kehangatan pagi mereka, sebuah pengingat.
“Teh pagiku tidak seenak aroma kopimu. Semangat hari ini, Dok.”
Ia menekan tombol kirim, dan seketika itu juga, ia meletakkan kembali ponselnya di saku. Ia mengangkat wajahnya, kembali memasang topeng perhatiannya, bahkan sempat mengajukan sebuah pertanyaan basa-basi tentang salah satu slide untuk menunjukkan bahwa ia "hadir" di dalam rapat itu. Tidak ada yang curiga. Di permukaan, ia adalah Aditia Wibawa Sena, staf yang berdedikasi. Tapi di bawah meja, ia adalah Adi, seorang kekasih yang sedang mengirimkan sinyal cinta ke medan perang.
Beberapa menit berlalu. Rapat masih berjalan dengan ritme yang monoton. Lalu, ia merasakan sebuah getaran singkat di sakunya. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, sebuah antisipasi yang terasa lebih nyata daripada seluruh isi rapat itu. Dengan gerakan yang sama hati-hatinya, ia kembali melirik ponselnya di bawah meja. Sebuah balasan telah tiba. Dari Lestari.
“Butuh kopi dosis kedua. Kirim lewat telepati, bisa?”
..........................................................
Di zaman modern, romansa sering kali tidak berbentuk surat cinta yang panjang, melainkan notifikasi getar di dalam saku. Sebuah pesan singkat yang datang di tengah rapat yang membosankan, sebuah emoji yang dikirim di sela-sela kesibukan.
Itu adalah sinyal-sinyal kecil yang menegaskan: "Aku memikirkanmu, bahkan saat dunia kita sedang terpisah jauh."
..........................................................
Adi harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan senyum yang ingin merekah di wajahnya. Ia hanya bisa menunduk sedikit, berpura-pura sedang membaca catatannya, padahal di dalam dirinya sedang terjadi sebuah ledakan kebahagiaan kecil. Pesan singkat itu, dengan sedikit sentuhan jenaka khas Lestari, terasa seperti seberkas cahaya matahari yang menembus masuk ke dalam ruang rapat yang suram.
Pesan itu adalah bukti. Lestari baik-baik saja. Ia sedang berjuang, ia lelah, tetapi ia masih punya kekuatan untuk bercanda. Dan Adi, entah bagaimana, merasa telah berkontribusi pada kekuatan itu.
Tiba-tiba, suara kepala seksi yang sedang berbicara tidak lagi terdengar membosankan. Tumpukan dokumen di mejanya tidak lagi terlihat mengintimidasi. Rapat koordinasi itu tidak lagi terasa seperti sebuah penjara. Semuanya menjadi latar belakang. Karena inti dari harinya, jangkar dari dunianya, baru saja bergetar di dalam sakunya.
Saat rapat akhirnya selesai dan semua orang mulai beranjak dari kursi mereka, Adi kembali ke kubikelnya dengan langkah yang terasa lebih ringan. Ia menatap foto Lestari di mejanya. Senyum di dalam foto itu kini terasa hidup, seolah sedang membalas senyumnya sendiri. Ia mungkin terjebak dalam dunia abu-abu birokrasi, tetapi hatinya baru saja diberi warna. Dan dengan bekal warna itu, ia siap menghadapi sisa harinya.