Pintu yang Terbuka dan Aroma Martabak Keju
Titik Nol
Adi tiba lebih dulu. Saat ia membuka pintu apartemen, ia disambut oleh keheningan yang ia tinggalkan tadi pagi. Namun, keheningan itu kini terasa berbeda. Tadi pagi, keheningan itu penuh dengan gema kehadiran Lestari. Malam ini, keheningan itu terasa penuh dengan antisipasi akan kepulangannya.
Ia meletakkan kotak martabak yang masih hangat di atas meja dapur, aromanya yang manis dan gurih langsung menyebar, seolah mengusir aura steril dari hari kerjanya. Dengan sebuah helaan napas panjang, ia melonggarkan ikatan dasi abu-abunya dan melepaskannya dari leher. Gerakan itu terasa begitu membebaskan, sebuah simbol pelepasan peran formalnya. Ia menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, dan seketika itu juga, ia merasa lebih seperti dirinya sendiri.
Ia tidak langsung duduk atau menyalakan televisi. Sebaliknya, ia berkeliling apartemen, membereskan hal-hal kecil. Merapikan bantal sofa, mengumpulkan beberapa majalah yang berserakan. Ia sedang mempersiapkan "sarang" mereka, memastikan tempat itu siap menyambut rekannya yang pasti jauh lebih lelah. Ia melirik jam di ponselnya: 18:45. Seharusnya Lestari sudah hampir sampai. Ia menunggu, mendengarkan dengan seksama setiap suara dari koridor.
Lima menit kemudian, ia mendengarnya. Suara langkah kaki yang familier, diikuti oleh bunyi kunci yang dimasukkan ke dalam lubang. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Pintu terbuka. Dan di sana, berdiri Lestari.
Ia terlihat persis seperti yang Adi bayangkan. Lelah. Rambutnya yang tadi pagi tertata rapi kini sedikit berantakan. Ada lingkaran samar di bawah matanya, dan bahunya tampak sedikit merosot, seolah menanggung beban yang tak terlihat. Tapi saat mata mereka bertemu, semua kelelahan di wajah Lestari seolah sedikit terangkat, digantikan oleh kelegaan yang begitu dalam.
..........................................................
Ada pelukan perpisahan yang berat, ada pelukan perayaan yang riang. Namun, ada satu jenis pelukan yang paling jujur: pelukan "aku pulang".
Ia tidak mengandung gairah atau euforia, melainkan kelegaan murni. Sebuah transfer beban tanpa kata, di mana satu tubuh berkata pada yang lain, "Tugas jagaku sudah selesai, sekarang giliranmu."
..........................................................
"Hei," kata Lestari, suaranya serak dan pelan.
"Hei," balas Adi lembut.
Tidak ada lagi kata yang diperlukan. Lestari melangkah masuk, melepaskan tas kerjanya hingga jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk pelan. Ia berjalan lurus ke arah Adi dan langsung membenamkan wajahnya di dadanya, melingkarkan lengannya di pinggang Adi. Adi balas memeluknya, menopang tubuh Lestari yang terasa begitu lelah. Mereka berdiri seperti itu selama hampir satu menit penuh. Lestari menghirup aroma tubuh Adi yang khas, aroma rumah. Adi merasakan ketegangan di punggung Lestari perlahan mulai mengendur di dalam pelukannya.
"Aku bawa amunisi tambahan," bisik Adi di dekat telinga Lestari, sebuah callback jenaka dari percakapan mereka tadi pagi.
Lestari tertawa kecil, suaranya teredam di dada Adi. "Aku mencium aromanya," jawabnya. Ia melepaskan pelukannya, meski masih tetap berdiri dekat. Matanya kini terlihat lebih hidup. "Terima kasih," katanya tulus. Kemudian, ia mengumumkan dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat, "Aku mandi dulu. Aku merasa seperti membawa pulang separuh kuman dari rumah sakit."
Sementara suara pancuran air mulai terdengar dari kamar mandi, Adi tersenyum. Ia mengambil kotak martabak, memindahkannya ke sebuah piring besar, dan menyeduh dua cangkir teh melati hangat. Ia meredupkan lampu utama di ruang tengah dan menyalakan alunan musik piano yang sama seperti tadi malam. Ia tidak sedang mencoba mengulang malam yang lalu. Ia sedang menciptakan sebuah kontinuitas, sebuah sinyal bahwa kedamaian yang mereka miliki adalah sesuatu yang bisa selalu mereka ciptakan kembali, setiap hari.
..........................................................
Pancuran air hangat di penghujung hari adalah sebuah upacara sakral. Ia tidak hanya membersihkan debu dan keringat, tetapi juga mencuci bersih peran yang kita mainkan seharian.
Di bawahnya, residu dari rapat yang alot, kekecewaan, dan beban tanggung jawab luruh bersama air, menyisakan hanya diri kita yang asli dan rapuh.
..........................................................
Lima belas menit kemudian, Lestari muncul dari kamar. Transformasinya begitu menakjubkan. Ia mengenakan setelan piyama katun yang longgar, rambutnya yang basah terbungkus handuk, dan wajahnya bersih tanpa riasan. Jas dokter putih yang angkuh dan wibawa Dokter Ayu yang tajam telah sepenuhnya luruh, tergantikan oleh kelembutan Lestari yang apa adanya.
Ia berhenti sejenak di ambang ruang tengah, melihat pemandangan yang telah disiapkan Adi. Martabak yang sudah dipotong-potong, dua cangkir teh yang mengepulkan uap wangi, dan alunan musik yang menenangkan. Matanya berkaca-kaca karena rasa haru yang tiba-tiba membuncah. Semua pertempuran yang ia hadapi seharian tadi—Kode Biru, pasien yang sulit, tumpukan laporan—terasa sepadan jika di penghujung hari ia bisa pulang ke pemandangan seperti ini.
"Sini," panggil Adi lembut dari sofa, menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya.
Lestari berjalan dan duduk di sampingnya. Ia tidak langsung mengambil martabak. Ia hanya duduk di sana, menyerap suasana, membiarkan kedamaian itu meresap ke dalam pori-porinya. Adi tidak mendesaknya untuk bercerita. Ia tahu, sebelum berbagi cerita, Lestari butuh waktu untuk kembali menjadi dirinya sendiri.
Di apartemen lantai tujuh belas itu, diiringi oleh musik yang lembut dan aroma martabak keju, dua dunia yang tadinya terpisah kini telah kembali menyatu dengan sempurna. Hari Senin mereka yang panjang dan berat, akhirnya, benar-benar selesai.