Napas yang Melambat dan Channel Televisi yang Terlewat

Titik Nol

Titik Nol

Setelah semua cerita dibagikan, keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka. Tapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Lebih padat, lebih kaya, seolah setiap molekul udaranya telah menyerap pemahaman dan empati yang baru saja mereka tukar. Lestari tetap berbaring dengan kepala di pangkuan Adi, matanya terpejam. Adi terus membelai rambutnya, sebuah gerakan ritmis yang menjadi satu-satunya denyut kehidupan di ruangan yang tenang itu.

Perlahan, Adi mulai merasakan sebuah perubahan. Ia merasakannya melalui berat kepala Lestari di pangkuannya yang terasa sedikit lebih pasrah. Ia mendengarnya dalam napas Lestari yang berubah dari tarikan napas sadar menjadi embusan napas yang lebih dalam, lebih lambat, dan sepenuhnya teratur. Ia melihatnya di wajah Lestari yang diterpa cahaya temaram; setiap otot terakhir dari ketegangan profesionalnya kini telah benar-benar luruh. Lestari tidak lagi hanya beristirahat. Ia telah tertidur.

Momen itu terasa begitu sakral bagi Adi. Di pangkuannya, tidak ada lagi Dokter Ayu yang heroik atau Lestari sang kekasih yang jenaka. Yang ada hanyalah esensi paling murni dari seorang manusia yang merasa cukup aman untuk melepaskan seluruh pertahanannya. Melihatnya begitu damai, begitu rapuh, Adi merasakan gelombang perasaan protektif yang begitu kuat, sebuah insting purba untuk menjaga tidur ini dari gangguan apa pun.


..........................................................

Ada tingkat keintiman yang melampaui kata-kata dan sentuhan. Yaitu saat kau dipercaya untuk menjaga tidur seseorang. Menyaksikan napasnya yang teratur, wajahnya yang damai tanpa topeng.

Di saat itulah kau tidak hanya melihat orang yang kau cintai, kau sedang melihat jiwanya yang sedang beristirahat.

..........................................................


Adi sadar ia tidak bisa bergerak. Sedikit saja pergeseran, dan ia berisiko membangunkan Lestari dari istirahat yang jelas sangat dibutuhkannya. Jadi, ia tetap diam. Namun, pikirannya yang aktif butuh sesuatu untuk menyibukkan diri. Dengan gerakan yang sangat pelan agar tidak menimbulkan guncangan, tangannya meraba-raba meja kopi di sampingnya, mencari benda yang menjadi sahabat bagi mereka yang terjebak di sofa: remot televisi.

Ia menekan tombol daya, dan layar televisi menyala tanpa suara—ia selalu mengatur volumenya di angka nol saat mematikannya. Di tengah keheningan apartemen, layar itu menjadi satu-satunya jendela yang bergerak. Adi mulai menekan tombol channel secara acak, sebuah kegiatan "receh" yang tidak membutuhkan konsentrasi.

Layar itu menampilkan potongan-potongan dunia luar yang terasa begitu jauh. Sebuah siaran berita menampilkan grafik-grafik ekonomi yang rumit dan wajah-wajah politisi yang serius. Ia menekannya lagi. Sebuah sinetron lokal dengan adegan melodrama yang dilebih-lebihkan. Ia menekannya lagi. Sebuah acara memasak. Lagi. Sebuah dokumenter alam tentang kehidupan singa di sabana Afrika.

Adi berhenti sejenak, menyaksikan gambar-gambar tanpa suara itu. Singa-singa yang sedang berburu, sebuah dunia yang penuh perjuangan untuk bertahan hidup. Ia tersenyum tipis. Mungkin, dunianya dan dunia Lestari tidak jauh berbeda. Hanya saja, sabana mereka terbuat dari beton, dan mangsa serta predatornya memiliki wujud yang lebih abstrak. Kaki kanannya mulai terasa kesemutan, tetapi ia mengabaikannya.


..........................................................

Ukuran cinta yang sesungguhnya sering kali tidak terlihat dalam pengorbanan yang besar dan heroik. Ia tersembunyi dalam pengorbanan-pengorbanan kecil yang tak terlihat: membiarkan kakimu kram agar tidurnya tak terganggu, bangun di tengah malam untuk menyelimutinya, atau memberikan potongan martabak terakhir yang sebenarnya kau inginkan.

..........................................................


Lestari sedikit bergerak dalam tidurnya, kepalanya bergeser, dan ia mengeluarkan sebuah gumaman pelan yang tidak jelas artinya. Adi seketika membeku. Ia berhenti bernapas sejenak, tangannya yang tadi membelai rambut Lestari kini diam, hanya menempel ringan di bahunya, menawarkan rasa aman bahkan di dalam mimpi. Setelah beberapa detik, napas Lestari kembali teratur. Ia kembali terlelap.

Adi menatap wajah lelah yang damai itu. Haruskah ia membangunkannya? Memindahkannya ke tempat tidur yang lebih nyaman? Logika berkata ya. Tapi hatinya berkata tidak. Membangunkannya sekarang terasa seperti sebuah kejahatan kecil, seperti mengganggu sebuah proses penyembuhan yang sedang berlangsung.

Ia membuat keputusan. Malam ini, sofa ini adalah tempat tidur mereka. Atau lebih tepatnya, tempat tidur Lestari. Dan pangkuannya adalah bantalnya.

Dengan gerakan yang lebih hati-hati dari seorang penjinak bom, Adi meraih bantal sofa yang tidak terpakai. Ia sedikit mengangkat kepalanya, menyelipkan bantal itu di bawah leher Lestari untuk memberinya topangan yang lebih baik. Kemudian, ia mematikan televisi, mengembalikan ruangan itu ke dalam kegelapan yang menenangkan, hanya diterangi oleh pendar cahaya kota dari jendela.

Ia bersandar ke belakang, membiarkan kepalanya menempel di sandaran sofa, memejamkan matanya sendiri. Ia tidak akan tidur senyenyak Lestari, ia tahu itu. Tapi malam ini, ia tidak sedang mencari kenyamanan untuk dirinya sendiri. Ia sedang menjadi kenyamanan itu. Di tengah keheningan malam, ia berjaga. Seorang penjaga yang diam, yang bayarannya adalah suara napas teratur dari orang yang paling ia cintai di dunia.

Gimana, suka gak dengan tulisan ini?

Wah makasih 5 bintangnya!

Kasih tip buat penulis

qris

Makasih banyak tip nya ya!