Kopi Dosis Kedua dan Jeda Lima Menit
Titik Nol
Setelah insiden Kode Biru, Lestari akhirnya melangkah menjauh. Adrenalin yang tadi membuatnya begitu tajam dan fokus kini mulai surut, dan efek sampingnya mulai terasa: sebuah kelelahan yang bergetar di seluruh sel tubuhnya. Tangannya tidak lagi gemetar, tetapi ia merasakan sebuah kekosongan, sebuah ruang hampa yang ditinggalkan oleh ketegangan yang baru saja lenyap.
Ia tahu persis apa yang ia butuhkan. Bukan istirahat panjang—itu adalah kemewahan yang tidak ia miliki. Bukan juga makanan—perutnya masih terasa mual oleh sisa-sisa adrenalin. Ia butuh sebuah penanda, sebuah ritual singkat untuk memisahkan antara krisis yang baru saja berlalu dan krisis berikutnya yang mungkin sudah menanti. Ia butuh kopi.
Perjalanannya menuju kafetaria di lantai dasar terasa seperti melewati sebuah dimensi lain. Koridor yang beberapa menit lalu menjadi saksi bisu adegan hidup-mati, kini kembali normal. Para pengunjung berjalan santai, para perawat mendorong troli obat dengan tenang. Seolah-olah tidak ada hal luar biasa yang baru saja terjadi. Realitas rumah sakit yang kejam sekaligus menakjubkan adalah kemampuannya untuk terus bergerak maju, tidak peduli seberapa besar drama yang baru saja berlangsung di salah satu sudutnya.
Di kafetaria yang ramai dan bising, ia mengantre di belakang beberapa perawat dan keluarga pasien. Kelelahan membuatnya sedikit melamun, pikirannya kembali pada kehangatan paginya. Tiba-tiba, sebuah ide iseng yang terasa begitu Adi melintas di benaknya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengabaikan tatapan beberapa orang di antrean yang mungkin berpikir seorang dokter seharusnya tidak bermain ponsel di jam kerja. Ia membuka percakapan dengan Adi. Jari-jemarinya mengetik cepat, sebuah permintaan tolong yang dibungkus dengan lelucon.
“Butuh kopi dosis kedua. Kirim lewat telepati, bisa?”
..........................................................
Bagi seorang prajurit, jeda di tengah pertempuran bukanlah kemewahan, melainkan strategi. Lima menit untuk menarik napas, meneguk air, dan mengingat kembali untuk apa ia berjuang.
Tanpa jeda-jeda kecil itu, bahkan prajurit terkuat pun akan tumbang bukan oleh pedang musuh, melainkan oleh bebannya sendiri.
..........................................................
Ia tidak berharap akan mendapat balasan cepat. Ia tahu Adi mungkin sedang sibuk dengan dunianya yang penuh dokumen dan rapat. Ia mengirim pesan itu lebih untuk dirinya sendiri, sebuah cara untuk melempar sauh ke dunianya yang lain. Namun, belum sampai ia di depan kasir, ponselnya bergetar. Balasan dari Adi.
“Sinyal telepatinya sedang sibuk, terhubung ke rapat yang maha penting. ;) Kopi fisik menyusul nanti malam. Bertahanlah, pahlawan.”
Sebuah senyum yang tulus, lebar, dan begitu lepas merekah di wajah Lestari. Senyum itu terasa begitu kontras dengan suasana hatinya beberapa menit yang lalu, hingga terasa sedikit asing di otot-otot wajahnya sendiri. Seorang perawat muda yang mengantre di sampingnya memperhatikan senyum itu.
"Wah, kelihatannya ada yang dapat 'vitamin' semangat ya, Dok?" godanya dengan ramah.
Lestari tertawa kecil, tawa yang terdengar jernih dan nyata. "Bisa dibilang begitu, Sus." Vitamin. Ya, kata itu terasa sangat tepat. Pesan singkat dari Adi adalah dosis vitamin C untuk jiwanya yang sedang rawan terserang kelelahan.
Ia memesan kopi hitamnya, mengambil cangkir kertas yang panas itu, dan mencari sebuah meja kosong di sudut paling jauh dari keramaian. Ia tidak langsung meminumnya. Ia hanya duduk di sana, memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, membiarkan kehangatannya menjalar, seolah sedang melakukan infus kehangatan pada dirinya sendiri.
..........................................................
Kekuatan untuk menghadapi hari yang berat sering kali tidak datang dari motivasi internal atau disiplin baja. Ia datang dalam bentuk notifikasi pesan singkat, dalam lelucon receh dari seberang kota, dalam kesadaran sederhana bahwa ada seseorang yang dunianya menjadi sedikit lebih baik karena kau ada di dalamnya.
Kekuatan sejati bersifat eksternal; ia adalah pinjaman dari hati orang lain.
..........................................................
Di sudut kafetaria yang bising itu, Lestari menciptakan gelembung kedamaiannya sendiri. Ia memejamkan mata selama sepuluh detik. Pikirannya memutar ulang film pendek paginya: interaksi lembut dengan nenek yang rewel, deru adrenalin saat memimpin tim Kode Biru, dan kini, pesan jenaka dari Adi. Tiga adegan yang sangat berbeda, namun terasa saling terhubung.
Ia sadar, kemampuannya untuk tetap tenang saat memegang defibrilator tadi, sebagian besar bersumber dari kedamaian yang ia bawa dari rumah. Dan kemampuannya untuk pulih dengan cepat setelahnya, kini dimungkinkan oleh jembatan digital yang baru saja ia seberangi untuk terhubung dengan Adi. Dunianya di dalam rumah sakit dan dunianya di luar rumah sakit tidak lagi terpisah seperti dua benua yang berbeda. Keduanya kini terhubung oleh serangkaian jembatan kecil—jembatan yang dibangun dari aroma kopi, lelucon receh, dan pesan-pesan singkat.
Ia membuka matanya dan akhirnya menyesap kopi hitam dari kafetaria itu. Rasanya pahit, sedikit gosong, dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kopi buatan Adi. Tapi di saat itu, di tengah kelelahannya, kopi itu terasa seperti minuman paling nikmat di seluruh dunia.
Lima menitnya telah habis. Jeda singkatnya sudah usai. Lestari bangkit, membuang cangkir kosongnya, dan berjalan keluar dari kafetaria. Langkahnya kini terasa lebih mantap, punggungnya sedikit lebih tegap. Ia mungkin masih lelah, tetapi ia tidak lagi merasa kosong. Vitamin dari seberang kota itu telah bekerja. Ia siap untuk pasien berikutnya.