Kesemutan di Kaki dan Selimut Hangat

Titik Nol

Titik Nol

Satu jam berlalu dalam sekejap. Di pangkuan Adi, Lestari tidak hanya tidur, tetapi seolah-olah sedang melakukan perjalanan jauh ke dasar kesadarannya, ke sebuah tempat di mana tidak ada pager berbunyi atau monitor EKG yang berisik. Tidurnya begitu lelap, begitu damai, hingga Adi sendiri hampir ikut terbuai, meski kakinya sudah mulai mengirimkan sinyal protes.

Kesadaran kembali pada Lestari secara perlahan, seperti saat ia terbangun di pagi hari tadi. Bukan karena suara, melainkan karena pergeseran internal. Ia merasa telah cukup beristirahat. Saat membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit apartemen yang temaram. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memetakan kembali posisinya. Bantal empuk di bawah lehernya, sofa di punggungnya, dan... sesuatu yang hangat dan kokoh di bawah kepalanya. Adi.

Ia tersadar. Ia tertidur di pangkuan Adi.

Dengan gerakan sepelan mungkin, ia mengangkat kepalanya, mencoba untuk duduk tanpa membangunkan Adi, yang ia kira juga ikut tertidur. Namun, Adi ternyata terjaga. Matanya yang tenang menatap Lestari dalam cahaya redup.

"Sudah bangun?" bisik Adi, suaranya sedikit serak.

"Maaf, aku ketiduran. Kamu pasti pegal sekali," balas Lestari, juga berbisik.

Saat itulah ia melihatnya. Saat Adi mencoba sedikit menggeser posisinya untuk memberinya ruang, Lestari menangkap sebuah ringisan kecil di wajahnya, sebuah tarikan otot yang coba ia sembunyikan.

"Kakimu..." kata Lestari pelan, naluri dokternya langsung aktif. "Kenapa tidak membangunkanku?"

Adi mencoba tertawa, meski terdengar sedikit kaku. "Membangunkanmu? Rasanya lebih mudah membangunkan macan yang sedang tidur daripada melakukan itu." Lalu ia menambahkan dengan nada jenaka yang dipaksakan, "Oh, kakiku? Tidak apa-apa. Cuma lagi proses ganti wujud jadi agar-agar."

Lestari melihat saat Adi mencoba meluruskan kakinya. Ia melihat bagaimana otot-otot di betisnya menegang dan bagaimana ia harus menahan napas untuk menahan sensasi ribuan jarum yang menusuk-nusuk kakinya. Kesemutan. Bukan kesemutan biasa, tapi kesemutan hebat yang datang setelah aliran darah terhambat untuk waktu yang lama. Seketika, sebuah pemahaman yang hangat dan menyakitkan membanjiri hati Lestari. Pria ini telah duduk tanpa bergerak, mungkin selama lebih dari satu jam, menahan kram dan ketidaknyamanan, hanya agar ia bisa tidur.


..........................................................

Deklarasi cinta yang paling agung sering kali tidak diucapkan dengan kata-kata, melainkan dengan ketidaknyamanan yang ditanggung dalam diam: kaki yang dibiarkan kram, sisi tempat tidur yang lebih dingin, atau perjalanan memutar di tengah malam hanya untuk membeli makanan kesukaannya.

Cinta adalah bahasa pengorbanan-pengorbanan kecil.

..........................................................


Tanpa berkata apa-apa lagi, Lestari turun dari sofa, berlutut di lantai di hadapan Adi. Peran mereka kini berbalik.

"Jangan digerakkan dulu," katanya lembut, namun dengan nada otoritas seorang dokter yang tidak bisa dibantah. "Pegang pundakku."

Adi menurut. Lestari meletakkan tangannya yang hangat di betis Adi yang kaku. Dengan keahlian yang terlatih, jemarinya mulai memijat dengan lembut, tidak terlalu keras, hanya cukup untuk merangsang kembali sirkulasi darah. Setiap pijatannya terasa begitu fokus, penuh dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan.

"Lain kali, bangunkan saja aku," kata Lestari pelan, matanya masih terfokus pada pekerjaannya.

"Tidak akan pernah," jawab Adi sederhana. Suaranya terdengar begitu mantap, begitu final, hingga Lestari tidak bisa membantahnya.

Mereka berada dalam posisi yang aneh. Seorang dokter brilian yang sedang memijat kaki pasangannya yang kesemutan di ruang tengah yang remang-remang. Sebuah adegan "receh" yang terasa jauh lebih romantis daripada makan malam di restoran paling mewah sekalipun. Di sinilah cinta mereka hidup. Bukan dalam puisi atau janji, melainkan dalam tindakan nyata. Dalam kesediaan untuk saling menjaga, bahkan dari hal sekecil kesemutan.

Setelah beberapa menit, Adi akhirnya bisa menggerakkan kakinya kembali, meski masih dengan sedikit rasa baal. "Sudah jauh lebih baik, Dok," katanya sambil tersenyum. "Terima kasih atas konsultasinya."

Lestari bangkit, lalu mengulurkan tangannya. "Ayo. Pindah ke tempat tidur. Kasihan kakimu."


..........................................................

Hubungan yang kuat bukanlah tentang siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih sering memberi. Ia adalah sebuah tarian di mana peran penjaga dan yang dijaga bisa berganti tanpa perlu diminta.

Hari ini aku menjadi pelabuhanmu, besok mungkin kau yang akan menjadi mercusuarku.

..........................................................


Adi menerima uluran tangan itu dan berdiri, sedikit terhuyung, bersandar pada Lestari. Kini Lestari yang menopangnya. Sebelum mereka berjalan ke kamar, Lestari melihat sebuah selimut wol yang terlipat rapi di sandaran kursi. Ia mengambilnya dan menyampirkannya di bahu Adi.

"Untuk apa ini?" tanya Adi, bingung.

Lestari tersenyum. "Gantian aku yang jaga," bisiknya. "Malam ini, pastikan kamu tidak kedinginan."

Adi menatapnya, hatinya terasa begitu penuh hingga ia tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya bisa mengangguk.

Bersama-sama, mereka berjalan pelan menuju kamar tidur. Satu orang yang baru saja pulih dari kelelahan jiwa, menopang satu orang yang baru saja pulih dari kelelahan fisik. Meninggalkan di belakang mereka ruang tengah yang sedikit berantakan, piring martabak yang belum habis, dan sebuah pelajaran penting tentang cinta. Bahwa cinta, pada akhirnya, adalah tentang kesediaan untuk saling bergiliran menjaga satu sama lain, bahkan saat keduanya sama-sama merasa lelah.

Gimana, suka gak dengan tulisan ini?

Wah makasih 5 bintangnya!

Kasih tip buat penulis

qris

Makasih banyak tip nya ya!