Jarum Jam yang Merangkak Pulang
Titik Nol
Di kantor Adi, jarum jam di dinding seolah merangkak dengan sangat lambat menuju angka lima. Namun, tepat saat jarum panjang itu menyentuh angka dua belas, sebuah energi kolektif yang tak terlihat langsung menyebar ke seluruh ruangan. Suara ketukan keyboard yang tadinya konstan kini berganti menjadi suara klik mouse yang mematikan aplikasi, derit kursi yang didorong mundur, dan ritsleting tas yang ditarik. Pertanda jam kerja telah usai.
Adi menyelesaikan kalimat terakhir dalam emailnya, menekankan tombol "kirim" dengan perasaan lega yang luar biasa. Ia menutup semua jendela aplikasi di komputernya satu per satu, seolah sedang menutup toko untuk hari itu. Terakhir, ia menatap wallpaper di layarnya—foto Lestari yang tersenyum di tepi sebuah danau—sebelum akhirnya mematikan komputer. Misinya hari ini selesai.
"Langsung pulang, Di?" sapa Pak Heru yang sudah menyampirkan tas di bahunya.
"Iya, Pak. Ada misi lain di rumah," jawab Adi sambil tersenyum.
"Hati-hati, jalanan lagi sadis-sadisnya," nasihat Pak Heru.
Adi membereskan mejanya, memastikan semuanya kembali rapi seperti pagi tadi. Saat ia berjalan keluar dari gedung kantor yang dingin dan formal itu, ia merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa, seolah baru saja melepaskan sebuah kostum yang berat. Persona Aditia Wibawa Sena, sang staf pemerintah, kini ia tinggalkan di mesin absensi sidik jari. Saat kakinya melangkah menuju parkiran motor, ia kembali menjadi Adi. Pikirannya tidak lagi dipenuhi oleh disposisi dan laporan, melainkan oleh pertanyaan yang jauh lebih penting: Malam ini masak apa, ya? Dan bagaimana kabar Lestari seharian ini?
..........................................................
Ada dua jenis lelah di dunia ini. Lelah karena jiwamu terkuras oleh rutinitas yang hampa, dan lelah karena jiwamu kau berikan seutuhnya untuk sebuah perjuangan yang bermakna.
Keduanya membuat tubuhmu ingin rebah, namun hanya satu yang membuat hatimu merasa penuh.
..........................................................
Satu jam kemudian, di belahan kota yang lain, jam di dinding ruang perawat menunjukkan pukul enam lebih. Lestari sedang duduk, menyelesaikan catatan perkembangan pasien terakhirnya untuk hari itu. Tubuhnya terasa berat, punggungnya sedikit pegal, dan matanya perih karena terlalu lama menatap catatan medis dan layar monitor. Hari ini, setelah insiden Kode Biru di pagi hari, sisa harinya dipenuhi oleh serangkaian "api-api kecil" lainnya: pasien yang kadar gulanya tiba-tiba anjlok, keluarga pasien yang meminta penjelasan berulang-ulang, dan tumpukan hasil lab yang harus ia analisis. Perisainya memang tidak retak, tetapi kini terasa sedikit penyok di beberapa bagian.
Setelah menyerahkan laporannya kepada tim jaga malam, secara teknis tugasnya sudah selesai. Tapi ia tidak langsung pergi. Ia berjalan menyusuri koridor yang kini lebih tenang. Tujuannya: ruang ICU dan kamar nenek yang tadi pagi ia tenangkan.
Di ICU, ia melihat dari balik kaca, pasien pria paruh baya yang tadi pagi ia tarik dari ambang kematian. Kondisinya kini stabil, mesin-mesin di sekitarnya berbunyi dengan ritme yang teratur. Sebuah kemenangan. Lalu, ia berjingkat ke kamar sang nenek dan mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Nenek itu sedang tertidur pulas, wajahnya terlihat damai, dan di meja samping tempat tidurnya ada sebuah gambar krayon hasil karya cucunya. Sebuah kemenangan kecil lainnya.
Melihat kedua pemandangan itu, rasa lelah di tubuh Lestari seolah menemukan maknanya. Ini adalah alasannya. Inilah yang membuat semua kelelahan ini sepadan. Dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, ia kembali ke ruang ganti. Ia melepaskan jas dokter putihnya, menggantungnya di loker. Melepas jas itu terasa seperti melepaskan seluruh beban hari itu. Ia kembali menjadi Lestari. Dan Lestari ingin pulang.
..........................................................
Perjalanan pulang bukanlah sekadar pergerakan fisik dari titik A ke titik B. Itu adalah proses alkimia di mana seorang profesional perlahan larut dan kembali menjadi manusia seutuhnya.
Tujuan akhirnya bukanlah sebuah gedung, melainkan sebuah pelukan.
..........................................................
Di atas sepeda motornya, Adi membelah kemacetan senja kota Bandung. Angin malam yang mulai dingin menerpa wajahnya, membersihkan sisa-sisa kepenatan dari ruang rapat tadi. Di tengah perjalanan, matanya menangkap sebuah gerobak penjual martabak manis yang ramai dikunjungi. Sebuah ide "receh" yang brilian melintas di benaknya. Ia menepikan motornya. "Satu martabak keju-cokelat, Mas. Yang spesial," pesannya. Ia tahu ini adalah salah satu "obat" favorit Lestari setelah hari yang panjang.
Sementara itu, di dalam mobilnya, Lestari terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson. Tapi ia tidak merasa terganggu. Ia menyalakan musik, sebuah daftar putar berisi lagu-lagu folk akustik yang Adi buatkan untuknya. Alunan gitar yang lembut dan vokal yang menenangkan menjadi kepompong yang melindunginya dari hiruk pikuk di luar. Pikirannya tidak lagi pada pasien atau penyakit. Pikirannya sudah berada di depan pintu apartemennya. Membayangkan sebuah pancuran air hangat, secangkir teh, dan keheningan yang nyaman bersama Adi.
Dua perjalanan yang berbeda, dari dua dunia yang kontras. Satu di atas sepeda motor yang lincah, membawa oleh-oleh hangat. Satunya lagi di dalam mobil yang nyaman, dibuai oleh alunan musik. Keduanya tidak tahu detail dari hari yang baru saja dilewati pasangannya. Tapi keduanya tahu satu hal yang pasti: jalan yang mereka tempuh, meski berbeda, akan berakhir di titik yang sama. Di sebuah pintu di lantai tujuh belas. Di sebuah tempat yang mereka sebut rumah. Dan antisipasi untuk saat itu membuat sisa perjalanan terasa jauh lebih ringan.