Garis Batas Antara Dua Dunia
Titik Nol
Saat Lestari mendorong pintu kaca lobi utama rumah sakit, dunia seketika berubah. Udara sejuk dari pendingin ruangan yang beraroma khas antiseptik langsung menyambutnya, menggantikan kehangatan sisa matahari pagi di luar. Suara-suara di sekitarnya pun memiliki timbre yang berbeda. Di luar tadi adalah simfoni kekacauan kota; di dalam sini adalah polifoni ketegangan yang teredam—pengumuman dari pengeras suara, derit roda kursi dorong, bisik-bisik cemas dari keluarga pasien di ruang tunggu, dan langkah-langkah cepat yang berirama dari para perawat.
Secara naluriah, postur tubuh Lestari berubah. Ia tidak lagi berjalan santai, melainkan dengan langkah yang lebih panjang dan bertujuan. Senyum tipis yang tadi terukir saat memikirkan Adi kini tersimpan di dalam, digantikan oleh ekspresi yang lebih netral, fokus, dan siap sedia. Ia mengangguk singkat pada petugas keamanan di lobi, membalas sapaan seorang perawat senior yang berpapasan dengannya, dan pikirannya sudah mulai bekerja, memindai suasana, mencoba merasakan "denyut nadi" rumah sakit pagi itu.
Ia langsung menuju ruang jaga dokter untuk serah terima dengan tim malam. Di sana, ia menemukan Dokter Bima, seorang internis senior, sedang meregangkan punggungnya di depan meja yang penuh dengan cangkir kopi kosong dan tumpukan status pasien. Wajah Dokter Bima terlihat seperti kertas lecek; lelah, sedikit kuyu, dengan kantung mata yang menandakan malam yang panjang.
"Pagi, Ayu," sapa Dokter Bima, suaranya serak. "Selamat menikmati hari Senin." Ada nada ironi yang tipis dalam ucapannya.
"Pagi, Dok. Kelihatannya semalam cukup meriah," balas Lestari dengan nada empati.
Dokter Bima menghela napas. "Meriah itu kata yang terlalu sopan. UGD seperti pasar malam. Ada kecelakaan beruntun dari tol jam dua, ditambah pasien serangan jantung jam empat. Sisanya standar, pasien bed 3 demam post-operasi, lab darahnya sudah di meja. Pasien baru di bed 7, observasi tifoid. Semua detail ada di laporan."
Lestari mendengarkan rentetan informasi klinis itu sambil memindai laporan dengan cepat. Pikirannya langsung beralih ke mode analisis, menyerap data, dan menyusun prioritas. Namun, di tengah proses itu, sebagian kecil dari dirinya melihat Dokter Bima dengan cara yang berbeda pagi ini. Ia tidak hanya melihat seorang kolega yang kelelahan; ia melihat cerminan dirinya sendiri 24 jam yang lalu. Ia tahu persis seperti apa rasa lelah yang menggerogoti tulang itu. Dan ia merasa bersyukur memiliki Adi, tempatnya untuk memulihkan diri.
..........................................................
Ada sebuah garis batas tak terlihat yang kita lewati setiap pagi saat masuk ke tempat kerja. Di satu sisi garis itu, kita adalah kekasih, anak, dan teman. Di sisi lainnya, kita adalah peran yang kita mainkan.
Keahlian bertahan hidup adalah kemampuan untuk melewati garis itu tanpa melupakan siapa diri kita yang sesungguhnya.
..........................................................
Setelah serah terima selesai dan Dokter Bima bergegas pulang untuk menebus utang tidurnya, Lestari mengambil setumpuk status pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memutuskan untuk memulai dari kamar yang paling ujung, kamar yang dihuni oleh seorang pasien lansia yang menurut catatan keperawatan "sedikit rewel" malam tadi.
Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk. Di dalam, seorang nenek sedang duduk di tempat tidur, wajahnya cemberut.
"Pagi, Nek," sapa Lestari dengan suara yang ia usahakan sehangat mungkin.
"Pagi," jawab sang nenek ketus. "Dokter baru? Semalam perawatnya bolak-balik terus, berisik sekali, saya jadi tidak bisa tidur. Susu yang dikasih juga dingin."
Lestari yang sedang terburu-buru mungkin akan langsung memotong dengan pertanyaan medis. Tapi Lestari yang hari ini membawa bekal kesabaran dari paginya bersama Adi, memilih untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menarik sebuah kursi kecil dari sudut ruangan dan duduk di samping tempat tidur, membuat posisi matanya sejajar dengan sang nenek.
"Oh ya? Wah, maaf ya, Nek, kalau jadi terganggu tidurnya," kata Lestari dengan nada tulus. "Semalam memang ada beberapa pasien darurat yang harus segera ditangani, jadi mungkin suasananya sedikit sibuk. Soal susunya, nanti saya pastikan ke bagian gizi supaya disajikan lebih hangat, ya."
Ia tidak membantah, tidak membela diri atau stafnya. Ia hanya mendengarkan dan memvalidasi keluhan sang nenek.
..........................................................
Resep yang paling manjur terkadang bukanlah obat yang paling mahal, melainkan lima menit waktu untuk duduk dan mendengarkan.
Karena sebelum menyembuhkan sebuah penyakit, sering kali kita harus terlebih dahulu menenangkan jiwa yang menanggungnya.
..........................................................
Setelah mendengarkan keluhan sang nenek, barulah Lestari memulai pemeriksaan medisnya. Ia melakukannya dengan gerakan yang lembut dan tidak tergesa-gesa, sambil terus mengajak sang nenek berbicara tentang hal-hal ringan. Ia memeriksa tekanan darah, mendengarkan detak jantungnya dengan stetoskop, dan menanyakan keluhan fisiknya.
"Nyeri di perutnya masih terasa, Nek?"
Wajah sang nenek yang tadinya cemberut kini sedikit melunak. Ia merasa didengarkan. "Sudah sedikit berkurang, Dok. Tapi masih sering kembung."
"Baik. Obatnya dilanjutkan terus, ya. Dan coba lebih banyak minum air putih hangat," kata Lestari sambil merapikan selimut sang nenek. Sebelum bangkit, ia bertanya, "Anak-cucu rencananya menjenguk hari ini?"
Pertanyaan sederhana di luar konteks medis itu berhasil memecah sisa-sisa pertahanan sang nenek. Wajahnya langsung berbinar. "Oh, iya, Dok. Cucu saya yang paling kecil katanya mau datang. Bawa gambar buat saya, katanya."
"Wah, pasti senang sekali, ya," kata Lestari sambil tersenyum tulus. "Baiklah, Nenek istirahat lagi, ya. Nanti siang saya periksa lagi."
Saat Lestari berjalan keluar dari kamar itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Keluhan sang nenek tidak menguras energinya. Sebaliknya, melihat wajah pasiennya yang berubah dari cemberut menjadi lebih cerah memberinya suntikan energi positif. Perisai tak terlihatnya ternyata tidak hanya berfungsi untuk melindungi. Ia juga bisa memancarkan kehangatan.
Ia berhenti sejenak di koridor yang sibuk, menarik napas, dan melihat jam tangannya. Hari masih panjang, dan tantangan lain pasti sudah menunggu. Tapi ia merasa siap. Senin paginya tidak dimulai dengan kekacauan, melainkan dengan sebuah tindakan penyembuhan kecil. Dan itu membuat segalanya terasa lebih mungkin untuk dihadapi.