Detak Jantung yang Berlari dan Tangan yang Tenang

Titik Nol

Titik Nol

Perasaan hangat dari interaksi dengan pasien lansia tadi masih membekas di hati Lestari saat ia berjalan menyusuri koridor menuju ruang pasien berikutnya. Ia tersenyum kecil sambil membaca status di tangannya. Pagi ini terasa berbeda. Lebih terkendali, lebih manusiawi. Ia merasa seperti seorang dokter, bukan sekadar mesin medis.

Tiba-tiba, kedamaian itu pecah.

"KODE BIRU! RUANG MAWAR, BED DUA! KODE BIRU, RUANG MAWAR, BED DUA!"

Suara dari pengeras suara di langit-langit koridor itu terdengar metalik, tajam, dan tanpa ampun. Seketika, seluruh atmosfer di sekitarnya berubah. Para perawat yang tadinya berjalan kini berlari. Wajah-wajah yang tadinya santai kini menegang. Bagi orang awam, itu adalah suara kepanikan. Bagi Lestari, itu adalah panggilan tugas.

Dalam sepersekian detik, Lestari yang reflektif dan lembut itu lenyap, seolah tidak pernah ada. Yang mengambil alih adalah Dokter Ayu, seorang profesional terlatih yang pikirannya langsung beralih ke mode darurat. Ia tidak panik. Adrenalin memang membanjiri sistemnya, tetapi rasanya dingin dan tajam, bukan panas dan kacau. Ia menjatuhkan status pasien yang dipegangnya ke meja perawat terdekat. "Saya ke sana!" serunya, suaranya jelas dan tegas. Ia berlari, langkahnya cepat dan mantap, menuju Ruang Mawar. Pikirannya sudah berpacu, memproses kemungkinan: henti jantung, henti napas, emboli paru? Ia siap untuk segala kemungkinan.


..........................................................

Seorang penyembuh yang hebat harus memiliki dua hal yang bertolak belakang: hati yang cukup lembut untuk merasakan kepedihan orang lain, dan pikiran yang cukup dingin untuk membuat keputusan dalam hitungan detik.

Seni sejati adalah mengetahui kapan harus menjadi penyair, dan kapan harus menjadi seorang prajurit.

..........................................................


Saat Lestari tiba di depan Bed Dua, pemandangan itu adalah sebuah kekacauan yang terkendali. Seorang perawat muda sedang melakukan kompresi dada (RJP) pada seorang pasien pria paruh baya, wajahnya pucat dan berkeringat. Perawat lain sedang menyiapkan jalur infus. Monitor di samping tempat tidur mengeluarkan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menampilkan garis yang nyaris lurus.

Lestari tidak membuang waktu. Ia tidak bertanya "ada apa?". Ia langsung mengambil alih komando. Suaranya menjadi instrumen utamanya, memimpin orkestra resusitasi ini.

"Lanjutkan kompresi, 30 banding 2! Jaga ritmenya!" perintahnya pada perawat pertama. Suaranya tenang namun begitu kuat hingga menembus kepanikan di ruangan itu. "Rina, siapkan Adrenalin satu ampul, masukkan lewat jalur IV. Budi, siapkan defibrilator, set ke 200 joule. Berapa saturasi oksigen terakhir?"

Setiap kalimatnya adalah perintah yang jelas dan terukur. Di tengah suara napas yang terengah-engah dan bunyi mesin yang riuh, pikirannya terasa seperti sebuah ruang komando yang sunyi dan dingin. Ia melihat data di monitor, menganalisis ritme jantung pasien, dan memproses informasi dari para perawat secara simultan. Inilah dunianya. Dunia di mana tidak ada ruang untuk keraguan.

Saat perawat sedang menyiapkan defibrilator, untuk satu milidetik yang singkat, bayangan Adi yang sedang membuatkannya teh jahe semalam melintas di benaknya. Anehnya, bayangan itu tidak mengganggunya. Sebaliknya, bayangan ketenangan itu justru berfungsi sebagai sauh, jangkar yang menjaga pikirannya tetap stabil di tengah badai.

"Semua mundur!" seru Lestari saat bantalan defibrilator sudah terpasang di dada pasien. Ia menekan tombol. Tubuh pasien itu terangkat sedikit karena sengatan listrik. Semua mata tertuju pada monitor. Garis lurus itu bergetar, lalu perlahan mulai membentuk kembali irama sinus yang lemah namun teratur.


..........................................................

Paradoks dari pekerjaan menyelamatkan nyawa adalah: untuk membuat sebuah jantung kembali berdetak, kau harus terlebih dahulu membisukan detak jantungmu sendiri. Mengabaikan rasa takutmu, menekan empatimu, dan menjadi mesin yang efisien.

Harganya adalah kelelahan batin yang baru bisa kau bayar lunas setelah pertempuran usai.

..........................................................


"Kita dapatkan kembali denyutnya," kata Lestari, nadanya masih datar dan profesional. Kelegaan di ruangan itu nyaris bisa diraba, tetapi pekerjaan belum selesai. "Stabilkan pasien, siapkan transfer ke ICU. Monitor tanda-tanda vital setiap lima menit."

Ia tetap di sana selama beberapa menit lagi, memastikan pasien benar-benar stabil dan proses transfer berjalan lancar. Baru setelah pasien didorong keluar dari ruangan menuju ICU, orkestra itu bubar. Adrenalin mulai surut, meninggalkan jejak kelelahan yang nyata.

Lestari melangkah keluar dari kamar, bersandar sejenak di dinding koridor yang dingin. Tangannya, yang tadinya begitu mantap saat memegang defibrilator, kini terasa sedikit gemetar. Napasnya yang tadinya teratur kini terasa berat. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya merasakan dampak dari pertempuran barusan.

Seorang dokter koas yang tadi ikut membantu menghampirinya. "Kerja yang luar biasa, Dok. Tadi itu... luar biasa," katanya dengan napas masih terengah.

Lestari hanya mengangguk, belum sanggup merangkai banyak kata. Ia melihat ke bawah, ke jas dokternya. Ada sedikit noda cairan infus di ujung lengannya. Sebuah hal receh yang terasa begitu nyata. Ia berpikir, jas ini benar-benar butuh dicuci. Pikiran yang begitu biasa dan duniawi setelah baru saja menarik seseorang dari ambang kematian. Mungkin, itulah cara otaknya melindungi diri.

Ia mendorong tubuhnya dari dinding, kembali menegakkan punggungnya. Pertempuran pertama hari ini telah dimenangkan. Ia melirik jam tangannya. Baru pukul sembilan pagi. Masih ada hari yang panjang di hadapannya. Tapi ia tahu, bekal ketenangan dari paginya bersama Adi telah terbukti. Perisai itu tidak retak. Ia hanya sedikit bergetar, dan kini sudah kembali kokoh.

Gimana, suka gak dengan tulisan ini?

Wah makasih 5 bintangnya!

Kasih tip buat penulis

qris

Makasih banyak tip nya ya!