Cerita yang Dibagi dan yang Disimpan Sendiri
Titik Nol
Keheningan pertama setelah Lestari keluar dari kamar mandi adalah keheningan yang sakral. Mereka duduk di sofa, berbagi piring berisi martabak keju-cokelat yang masih sedikit hangat. Untuk beberapa menit pertama, tidak ada percakapan. Hanya ada suara kecil dari piring keramik, tegukan teh melati, dan alunan piano lembut yang Adi putar. Ini bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh rasa syukur. Keduanya sedang mengisi kembali energi mereka, tidak hanya dengan makanan, tetapi dengan kehadiran satu sama lain.
Lestari memejamkan mata sambil mengunyah potongan martabak pertamanya. Manisnya cokelat dan gurihnya keju terasa seperti sebuah hadiah di penghujung hari yang pahit. "Martabak ini," katanya pelan, matanya masih terpejam, "rasanya seperti kemenangan kecil."
Adi tersenyum. Ia memperhatikan Lestari dengan tatapan seorang penulis yang sedang mempelajari karakternya. Ia melihat sisa-sisa kelelahan yang tidak bisa disembunyikan oleh piyama yang nyaman, dan sebuah keteduhan yang baru. Ia tahu ada cerita besar di balik hari ini. Tapi ia tidak akan menanyakannya secara langsung. Pertanyaan "Bagaimana harimu?" terasa terlalu kecil untuk menampung semua yang mungkin telah Lestari lalui.
Sebaliknya, ia menunggu Lestari menghabiskan kunyahannya, lalu berkata dengan lembut, "Wajahmu tadi waktu pulang... kelihatannya lebih dari sekadar lelah biasa. Ada jejak pertempuran di sana."
Pertanyaan itu adalah sebuah undangan. Sebuah kunci yang ditawarkan dengan hati-hati untuk membuka pintu yang mungkin masih tertutup rapat. Lestari membuka matanya, menatap Adi. Ia tahu ia bisa menceritakan semuanya. Tentang kepanikan perawat, tentang garis lurus di monitor, tentang sensasi dingin dari bantalan defibrilator. Tapi untuk apa? Untuk membagi beban, atau untuk menularkan trauma?
..........................................................
Berbagi cerita dengan pasangan bukanlah tentang melaporkan setiap detail dari harimu. Seni sejati dari keintiman adalah mengetahui detail mana yang harus diceritakan, dan detail mana yang harus kau simpan sendiri—bukan untuk menyembunyikan, tetapi untuk melindungi hati mereka dari gema pertempuran yang tidak perlu mereka dengar.
..........................................................
Lestari mengambil napas, lalu mulai bercerita. Ia memilih kata-katanya dengan saksama, seperti seorang dokter yang sedang memilih dosis obat yang tepat.
"Paginya lumayan berat," mulainya. "Ada pasien yang kondisinya tiba-tiba drop. Kami harus... bertindak cepat." Ia berhenti sejenak, mencari kata yang pas. "Cukup... intens."
Kata "intens" itu menggantung di udara, sarat dengan makna yang tidak terucapkan. Adi, sebagai pendengar yang peka, tidak mendesak untuk detail lebih lanjut. Ia mengerti. "Intens" adalah kode Lestari untuk situasi di mana ia harus berdiri di garis depan antara hidup dan mati. Itu sudah cukup.
Lalu, Lestari mengubah arah ceritanya, membawanya ke sebuah tempat di mana Adi bisa masuk. "Tapi yang lucu," lanjutnya, sebuah senyum tipis kini bermain di bibirnya, "setelah semua kekacauan itu selesai, hal pertama yang aku pikirkan adalah betapa aku butuh kopi dosis kedua. Dan entah kenapa, aku merasa harus mengirim pesan konyol soal telepati itu ke kamu. Seolah-olah, pesan itu adalah penutup dari semua drama tadi."
Adi mendengarkan dengan saksama. Ia mengerti apa yang sedang Lestari lakukan. Lestari tidak sedang membebaninya dengan detail traumatis dari pekerjaannya. Sebaliknya, ia sedang menunjukkan pada Adi peran pentingnya dalam proses pemulihannya. Ia menjadikan Adi pahlawan di babak akhir ceritanya.
Kini giliran Adi. Ia tahu, cerita tentang rapat sinkronisasi data terasa begitu pucat jika dibandingkan dengan cerita Lestari. Tapi ia juga tahu bahwa ini bukanlah kompetisi.
"Aku juga tadi sempat 'drop' di ruang rapat," kata Adi, dengan sengaja meminjam istilah medis Lestari, sebuah "hal receh" yang membuat Lestari tersenyum. "Bukan henti jantung, tapi henti semangat."
Ia menceritakan tentang kebosanan, tentang perasaan terasing, tentang bagaimana ia secara impulsif mengirim pesan itu di bawah meja. "Dan jujur saja," Adi mengaku, "balasan darimu tadi, lelucon soal telepati itu... itu adalah hal paling nyata dan paling penting yang terjadi di ruang rapat itu seharian ini. Rasanya seperti jangkar yang ditarik."
..........................................................
Dua orang tidak harus berjalan di jalan yang sama untuk bisa saling memahami. Mereka hanya perlu menyetel hati mereka pada frekuensi yang sama. Di frekuensi itu, keluhan tentang rapat yang membosankan bisa terdengar sama pentingnya dengan cerita tentang nyawa yang diselamatkan, karena keduanya adalah nada dalam lagu yang sama: lagu tentang perjuangan menjalani hari.
..........................................................
Lestari menatap Adi, hatinya terasa penuh. Ia baru sadar. Pagi tadi, Adi telah memberinya kekuatan untuk menghadapi harinya. Dan ternyata, di tengah kelelahannya, ia tanpa sadar telah memberikan kekuatan kembali pada Adi untuk menghadapi harinya. Hubungan mereka bukanlah jalan satu arah di mana Adi selalu menjadi penopang. Hubungan mereka adalah sebuah siklus, sebuah pertukaran energi yang terus-menerus.
Sisa martabak kini terasa tidak lagi penting. Cerita-cerita mereka telah dibagikan. Beban hari itu tidak hilang, tetapi terasa lebih ringan karena kini ditanggung berdua, bukan sebagai masalah, melainkan sebagai pemahaman bersama.
Lestari menggeser posisinya, merebahkan kepalanya di pangkuan Adi. Sebuah gerakan yang penuh kepercayaan dan penyerahan diri. Adi secara naluriah mulai membelai rambut Lestari yang masih sedikit lembap, jemarinya bergerak dengan ritme yang lambat dan menenangkan.
Mereka tidak lagi berbicara. Semua yang perlu dikatakan telah terucap, baik secara verbal maupun non-verbal. Kini yang tersisa adalah menikmati buah dari kejujuran dan pemahaman mereka. Di tengah keheningan yang nyaman itu, diiringi oleh sisa aroma martabak dan teh melati, mereka tidak hanya sedang beristirahat dari hari Senin yang panjang. Mereka sedang merayakan kemenangan kecil mereka: kemampuan untuk selalu menemukan jalan pulang, bukan hanya ke sebuah apartemen, tetapi juga ke dalam hati satu sama lain.