Bab 2 Warna Diantara Kita ( The Color Between Us )
MUFARA`
Kafe itu kini tak lagi terasa sepi seperti dulu.
Hari demi hari telah berlalu, ini adalah hari ketiga setelah kedatangan Hana, membuat hari ku yang terasa hampa menjadi lebih berwarna, hari di mana semuanya berubah dan membuat setiap langkah hidupku ini semakin terasa lebih mudah.
Bukan karena pengunjung yang terus bertambah, tapi karena Hana selalu muncul membawa suara, warna, tingkah laku lucu dan aneh yang dia miliki. Karena nya membuat suasana di kafe ini terasa jauh lebih hidup.
seperti yang ku katakan sebelum nya ia terus duduk di kursi yang sama di samping ku, selama tiga hari berturut-turut. Kadang sambil memotret kopi, kadang menulis sesuatu di buku catatan kecil berwarna kuning.
Hari ini, seperti biasa, Hana datang dengan wajah cerah dan kamera yang terus tergantung di lehernya.
Tanpa menunggu izin dariku ia duduk di sampingku dan berkata,
"Aku kira kamu nggak datang hari ini. Kafe ini sepi banget tanpa kamu."
Aku hanya menatap nya sekilas dan melanjutkan untuk meminum kopiku yang sudah dingin.
"Aku selalu datang jam segini."
"Iya, tapi aku selalu saja mengkhawatirkanmu," Katanya ringan sambil mengedipkan mata. " kamu tuh tipe orang yang bisa hilang tiba-tiba, nggak sih?"
Aku terdiam sejenak.
Kata-kata yang di ucapkannya membuat hatiku tertampar sedikit, tapi aku menajawabnya dengan pelan,
"Mungkin saja."
Hana mengamati ekspresiku.
Ia seakan tahu apa yang aku sembunyi kan di balik tatapan ku yang datar, walaupun tau tapi ia tidak menanyakan hal itu lebih jauh.
Sebaliknya, ia tersenyum dan meletakkan kameranya di meja.
"Aku ingin memotretmu."
Aku menoleh dengan cepat ke arahnya.
"Apa?"
"Kamu. Aku ingin ambil foto kamu. Tapi jangan senyum dulu, ya."
"Kenapa?"
"Karena wajahmu seperti orang yang ingin belajar hidup kembali." kata nya sambil terseyum dan memegang kamera nya yang sudah siap.
Klik.
Satu jepretan kamera yang terdengar.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Tapi entah mengapa jantungku terasa berdetak lebih keras dari biasanya.
Hana menatap hasilnya, lalu tersenyum kecil.
"Lihat? Bahkan wajah mu yang tanpa senyum itu, terasa... lebih nyata."
Aku menatap nya, lama.
Ada sesuatu pada cara Hana berbicara.
sederhana, tapi penuh makna yang menembus segala bentuk pertahanan yang sudah ku pertahankan selama ini.
Hari-hari berikutnya berlalu seperti warna-warna lembut di kanvas yang sedang di lukis. Kadang kami hanya duduk diam, saling menatap jendela tanpa berbicara. Kadang Hana bercerita panjang lebar tetang hal-hal kecil seperti, kucing liar yang ia temui, aroma roti dari toko roti sebelah, atau langit sore, yang menurutnya "terlalu indah untuk di abaikan."
"Kamu tahu nggak, Rei," katanya di suatu sore, "langit itu ngga pernah benar-benar biru ya. Kadang cuma abu-abu yang pura-pura bahagia."
Aku menatap langit di luar jendela.
"Mungkin kayak manusia, ya" kata ku.
Hana terseyum kecil mendengar ku dan berkata, "kamu juga pura-pura bahagia."
"Aku hanya belum lupa caranya," jawabku pelan.
"Nggak apa-apa. Kalau kamu lupa... aku bisa mengigatkanmu."
Aku menatapnya.
Ada sesuatu di mata gadis ini. Cahaya hangat yang membuat dunia di sekitarku terasa hidup kembali.
Malam itu, ketika Hana sudah pulang, Aku menatap foto yang tadi sempat diambil oleh gadis itu.
Wajahku sendiri di balik foto hasil dari jepretan yang ia buat.
Datar, tapi dengan tatapan yang entah bagaimana terasa... berwarna kembali.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menulis sesuatu di buku catatannya :
"Ada seseorang yang membuat diamku terasa berbunyi."
πΈπΈπΈ