Kacamata Untuk Acil

Pendosa Yang Berdoa

Pendosa Yang Berdoa

Ada seorang anak. Baru kelas empat SD malah buram dipandangnya papan tulis. Namanya Acil.

Saat kenaikan kelas, selain wali kelasnya memberitahu kalau nilai rapor muridnya itu lekang dari warna merah, disampaikanlah juga perihal cara Acil yang selalu menyipit tatkala melihat tulisan di papan.

Tertegun mengetahui hal tersebut berniatlah sang bapak untuk membelikan Acil sebuah kacamata. Bermodalkan becak, sebagai alat transportasi sekaligus mata pencaharian utama, bergegaslah sang bapak bersama putra semata wayangnya itu ke tujuan mereka yang letaknya persis di tengah kota.

Tak henti-henti Acil menoleh ke sana ke mari menikmati panorama metropolitan selama perjalanan. Apalagi bila sebuah kendaraan otomotif mendahuluinya, tambah sipit mata Acil berusaha menelusuri cara kerja mesin tersebut.

Beberapa menit kemudian tibalah mereka. Sipitnya mata Acil kini berganti menjadi lebar berbinar tatkala mendapati huruf-huruf besar yang didekor dengan kelap-kelip sedemikian rupa bertuliskan, "OPTIK MERAKYAT", serta tambahan tulisan lain pada kaca etalase yang berbunyi, "UKUR MATA GRATIS!".

Setelah memastikan kendaraannya terparkir benar, kini sang bapak mesti memastikan kepada petugas keamanan kalau kedatangannya bukan untuk memulung di sekitar toko.

Di dalam ruangan putih ber-AC empat, dijumpainyalah pemilik toko kacamata yang tengah membereskan pesanan sebelumnya.

"Mau ukur mata dulu atau pilih bingkau kacamata? Begitu tanya pemilik toko kacamata penuh senyuman ramah.

Jawab sang bapak, ukur mata dulu saja."

Acil pun disuruh untuk masuk ke dalam sebuah bilik di mana terdapat seperangkat alat optik, yang setahu Acil itu tidak sama seperti yang dilihatnya tadi.

Gemetar tubuh Acil bukan lagi gegara suhu di dalam ruangan, melainkan karena ini pengalamannya yang pertama memakai kacamata berbentuh aneh yang disarankan pemilik toko kacamata untuk dikenakan selama tiga puluh menit.

*

Tiga belas menit berlalu, tiba lagi sebuah mobil di beranda toko. Keluarlah seorang ibu bersama kedua putrinya. Yang tinggi bernama Alicia, sementara yang pendek bernama Olivia. Keduanya tampak seumuran dengan Acil, dan juga sudah rabun matanya.

"Mau pilih bingkau kacamata atau ukur mata dulu? Kembali tanya pemilik toko kacamata masih dengan senyuman ramah.

"Mom, Alicia mau yang ini ya, Mom. Biar mirip 'Heri Potah'.

"Kalau Olivia yang ini ya, Mom. Kayak 'Konan' yang di komik."

"Iya, pasti itu. Ukur matanya dulu, ya?" Ajak orang tua tersebut kepada kedua putrinya.

"Oke, Mom."

Pemilik toko kacamata pun mengantar masuk Alicia dan Olivia ke dalam sebuah bilih yang sudah dimasuki Acil sebelumnya. Tahu kalau hanya tersedia satu bingkai kacamata ukur saja, Acil pun disuruh untuk mengembalikan bingkai yang tadi dikenakannya.

"Kenapa di dalam sini bau, ya?" Tanya Olivia kepada pemilik toko kacamata.

"Iya, bau sekali." Tambah Alicia sambil menutup hidungnya.

"Jangan pedulikan," kata pemilik toko kacamata, "Ayo, pakai dulu ini."

Usai mengembalikan yang dipinta pemilik toko kacamata, tersadar Acil kalau sedari tadi sang bapak tak bersamanya di dalam ruangan. Maka, keluarlah Acil mendapati sang bapak tengah berjongkok sembari memastikan warna dari lembaran uang yang telah dikumpulkannya.

Acil hanya bisa memaklumi hal tersebut. Sejak kecil, sang bapak telah menjadi tulang punggung untuk kelima adik-adiknya, tanpa prestasi apapun.

"Pak, ayo pulang." Ucap Acil.

"Sudah selesai?"

"Belum, Pak. Kita pulang saja."

"Bukannya Acil butuh kacamata?"

"Tidak apa-apa, Pak. Nanti Acil minta ke guru supaya bisa duduk di bangku depan saja."

Maka, kembalilah mereka ke gubuknya; bermodalkan becak, sebagai alat transportasi sekaligus mata pencaharian utama.