TANGKAP: Pelaku Registrasi Sim Card No HP Ilegal Dengan Data Orang Lain

Muhammad Ari Pratomo

Muhammad Ari Pratomo

Tangkap Pelaku Registrasi SIM Card Ilegal

Karya: Muhammad Ari Pratomo

Genre: Thriller Hukum – Investigasi Digital

Tema: Keadilan Digital dan Penyalahgunaan Data Pribadi

Tagline: Ketika data pribadimu jadi senjata kejahatan, siapa yang akan membelamu?


Pukul 04.39 WIB.

Lampu meja kerja di sudut ruang tamu masih menyala, menyoroti tumpukan buku hukum, secangkir kopi hitam dingin, dan laptop yang layarnya penuh kalimat bersilang. Di kursi kayu yang keras, duduk seorang pria kurus dengan mata merah—Muhammad Ari Pratomo.

Pengacara. Penulis. Musisi. Tapi malam ini, dia hanya satu hal: penulis novel hukum yang belum tidur sejak magrib.

Di layar, kalimat terakhir masih bergetar:


“Jika hukum tak mampu melindungi yang lemah, maka kata-kata harus bersuara lebih keras.”


Ari sedang menulis novel terbarunya: “Trending Sebelum Mati”. Sebuah kisah tentang keadilan yang baru dianggap penting setelah viral. Fiksi—tapi terinspirasi dari kenyataan yang sering ia hadapi setiap hari.

Ia tahu, dunia hukum bukan hanya soal pasal. Tapi tentang siapa yang didengar, dan siapa yang dilupakan.

Adzan subuh terdengar dari kejauhan. Ari akhirnya menutup laptopnya pelan. Gitar akustik di samping meja kerja hanya ia pandangi sejenak. Ia terlalu lelah untuk bermain musik.

Ia merebahkan tubuh di sofa, hoodie masih melekat, buku catatan hukum masih terbuka di dada.

Baru lima belas menit ia terlelap—

BRAKK! BRAKK! BRAKK!

Pintu rumahnya digedor brutal.

Ari terlonjak. Tubuhnya belum sepenuhnya sadar, tapi suara itu menembus tulang. Bukan suara tukang roti. Bukan juga panggilan shalat. Ini... tekanan.

BRAK! BRAK!

Gedoran kedua lebih keras. Seolah-olah ada yang ingin menerobos masuk.

Ari meraih cutter kecil di meja kerja. Bukan untuk melawan, tapi untuk berjaga-jaga. Ia mendekati pintu perlahan, lalu melirik ke jendela kecil di samping.

Tiga pria. Tak berseragam. Salah satunya memakai jaket bertulisan singkat: “Unit Khusus Digital”.

Yang paling depan menatap tajam, lalu berteriak:


“Muhammad Ari Pratomo?! Buka pintu! Sekarang! Ini penting!”


Ari mengerutkan kening. Siapa mereka? Dan kenapa mendatanginya sepagi ini tanpa pemberitahuan?

Apakah ini tentang kasus yang sedang ia tangani? Atau… sesuatu yang lebih besar?

Dalam hitungan detik, tubuhnya benar-benar terjaga. Tapi pikirannya mulai dibanjiri pertanyaan:


Apa yang mereka cari?

Apakah ini tentang tulisanku?


Muhammad Ari Pratomo membuka pintu perlahan. Udara pagi langsung menerpa wajahnya yang masih pucat karena kurang tidur.

Di hadapannya, tiga pria berpakaian kasual tapi dengan sikap formal berdiri kaku. Salah satunya memperlihatkan kartu identitas yang hanya sempat terbaca sekilas: Divisi Keamanan Siber – Unit Khusus Digital Kominfo dan Kepolisian.

“Maaf, Pak Muhammad Ari Pratomo,” kata pria yang berjenggot tipis. “Kami dari tim gabungan pengawasan registrasi ilegal. Kami datang karena nomor ponsel yang terdaftar atas nama Anda terindikasi digunakan untuk beberapa tindak kejahatan digital.”

Ari mengerutkan dahi. “Nomor ponsel saya yang mana maksudnya?”

Pria itu membuka map, lalu menyodorkan salinan beberapa nomor. Ada lima belas nomor berbeda.


“Ini semuanya terdaftar dengan NIK dan KK atas nama Anda. Empat digunakan untuk penipuan undian palsu. Tiga lainnya jadi alat serangan hoaks politik dan disinformasi di media sosial. Sisanya… beberapa dikaitkan dengan grup gelap di dark web.”


Ari terdiam. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya memiliki dua nomor aktif: satu untuk urusan pribadi, satu lagi untuk kantor. Dan tidak satu pun dari daftar itu adalah miliknya.

“Saya… tidak pernah mendaftarkan nomor-nomor ini,” ucapnya pelan namun tegas. “Saya tahu betul ke mana saja NIK saya saya serahkan.”

Salah satu petugas mencatat. “Kami menduga data Anda telah dibocorkan. Mungkin lewat penyalahgunaan sistem registrasi kartu SIM prabayar, bisa juga dari kebocoran database.”


Ari menghela napas. Ia pengacara. Ia tahu kasus seperti ini pernah ia baca sekilas di berita, tapi kini ia sendiri yang jadi korbannya.

“Berarti,” gumam Ari, “tanpa sepengetahuan saya, identitas saya dipakai untuk mendaftarkan nomor-nomor gelap. Lalu nomor-nomor itu dipakai untuk menipu dan menyebar fitnah.”

Petugas itu mengangguk. “Benar. Dan Pak Ari, dalam banyak kasus, korban penyalahgunaan data seperti Anda bisa ikut terseret jika tidak melapor dan menindaklanjuti secara hukum.”

Seketika itu juga Ari merasa ngeri. Bukan karena dituduh—tapi karena ia sadar, banyak orang di luar sana mungkin mengalami hal yang sama, tapi tidak pernah tahu.

Ia menatap mereka satu per satu. “Kalau begitu, izinkan saya bantu selesaikan ini. Bukan cuma untuk saya. Tapi untuk semua yang mungkin belum sadar kalau data mereka sedang digunakan untuk kejahatan.”

Dan di detik itu pula, pengacara yang semalam menulis novel tentang keadilan yang datang terlambat…

memutuskan untuk mengubah kisah fiksinya menjadi nyata.


Langit Jakarta mulai menguning, menandakan pagi yang seharusnya biasa. Tapi di dalam rumah kecil bercat abu-abu itu, kemarahan mengendap seperti debu yang tak terlihat namun mengganggu napas.

Muhammad Ari Pratomo berdiri di balik pintu yang baru saja ia tutup. Sepi. Tiga tamu dari Unit Khusus Digital telah pergi. Tapi kata-kata mereka masih bergema tajam di benaknya.


“Nomor-nomor ini semua terdaftar atas nama Anda.”


Tangannya mengepal. Napasnya berat. Ia berjalan mondar-mandir, melewati tumpukan berkas hukum, gitar yang belum disentuh, dan laptop yang belum sempat dimatikan.

"Apa-apaan ini..." gumamnya lirih, tapi panas.

Sebagai pengacara, ia tahu prosedur hukum. Tapi sebagai manusia yang datanya disalahgunakan, ia marah — semarah-marahnya.

"Aku enggak pernah kasih dataku ke sembarangan tempat. Aku enggak pernah izinkan siapa pun pakai namaku. Tapi sekarang malah... dipakai untuk nipu? Untuk hoaks? Untuk politik kotor?!" suaranya meninggi. Tak ada siapa pun di rumah itu, tapi kemarahan tetap harus diluapkan.

Ia menatap salinan daftar nomor yang tadi diberikan. Belasan angka tak dikenal. Tapi semuanya terhubung dengan namanya.

Nama yang selama ini ia jaga di setiap sidang. Di setiap buku. Di setiap musik yang ia tulis.

Kini dipakai untuk menipu ibu rumah tangga, menjatuhkan lawan politik, menyebarkan hoaks, bahkan mungkin lebih dari itu.

Identitasnya dicuri. Nama baiknya dipertaruhkan.

Ari menatap cermin. Mata lelahnya beradu dengan bayangan diri sendiri.

"Aku nggak bisa diem. Ini bukan cuma soal aku," gumamnya. “Ini sistem yang rusak. Negara suruh registrasi SIM card pakai NIK, tapi siapa yang jamin NIK itu enggak diperjualbelikan? Siapa yang kontrol?”

Ia duduk. Menyalakan laptop. Tangannya gemetar tapi matanya fokus.

Tab pertama yang ia buka: berita-berita lama soal kebocoran data SIM card.

Tab kedua: akun media sosialnya.

Tab ketiga: daftar notaris dan gerai operator yang pernah ia curigai main data.

“Aku enggak akan tunggu polisi saja. Aku harus buka ini semua. Aku akan pakai hukum… dan suara.”

Di hari itu, Muhammad Ari Pratomo bukan hanya seorang korban.

Ia menjelma jadi api kecil yang bisa membakar satu sistem besar yang terlalu lama dibiarkan longgar.

Hari belum terlalu siang saat Muhammad Ari Pratomo tiba di sebuah gerai operator seluler di pusat kota. Letaknya kecil, tersembunyi di antara ruko-ruko yang tampak biasa. Tapi bagi Ari, tempat ini adalah titik awal dari teka-teki besar: bagaimana mungkin NIK dan KK-nya digunakan untuk mendaftarkan nomor yang bahkan tak pernah ia sentuh?

Dengan jaket hitam dan ransel berisi dokumen hukum, Ari masuk. Seorang petugas customer service menyambut dengan senyum formal.

“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?”

Ari langsung mengeluarkan KTP dan KK-nya. “Saya ingin verifikasi berapa banyak nomor yang pernah didaftarkan menggunakan data ini.”

Petugas itu sedikit tertegun. “Baik Pak. Tapi sesuai prosedur, hanya tiga nomor yang bisa terdaftar untuk satu NIK dan KK.”

Ari tersenyum kecil—senyum sinis seorang yang tahu hukum lebih baik dari yang berbicara padanya. “Saya tahu. Itu sebabnya saya minta cek langsung. Kita lihat… sistem kalian jujur atau tidak.”

Tak lama, petugas kembali dari ruangan dalam. Wajahnya berubah pucat.

“Pak… berdasarkan pengecekan kami, NIK dan KK Bapak… terdaftar untuk 1.723 nomor prabayar di sistem kami saja. Belum termasuk operator lain.”

Ruangan seketika sunyi.

Ari menahan napas. Detik itu juga, darahnya mendidih.


“Seribu tujuh ratus dua puluh tiga?”

“Iya, Pak. Kami juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi…”

“Jangan bilang tidak tahu. Aturan di Peraturan Menteri Kominfo jelas. Maksimal tiga nomor. Bahkan untuk satu operator. Kalau sampai ribuan? Itu artinya ada pembiaran. Ada kelalaian. Atau ada komplotan.”

Petugas tertunduk. Ari tahu, ia hanya pegawai biasa. Tapi ia juga tahu, ada yang lebih besar sedang dimainkan di balik angka itu. Ada sistem yang terlalu longgar. Ada celah yang dibuka lebar-lebar, dan pelaku kejahatan digital menari di dalamnya.

Ari melangkah keluar dari gerai dengan kepala tertunduk, bukan karena kalah—tapi karena sedang menyusun strategi.

Tangannya merogoh ponsel. Ia mulai mengetik, mengirim pesan ke teman-temannya di media, sesama pengacara, dan para aktivis digital:

“Data saya dipakai untuk ribuan nomor ilegal. Ini bukan sekadar kebocoran. Ini sindikat. Dan saya bersumpah… saya akan kejar siapa pun yang terlibat.”

Langit mendung. Tapi bagi Ari, badai baru saja dimulai.

Dan kali ini, ia akan menjadi petir pertama yang menyambar.

Sore menjelang senja saat Muhammad Ari Pratomo tiba kembali di rumahnya. Tapi kali ini, langkahnya tak lesu. Pandangannya tak lagi buram karena kurang tidur. Ia seperti menemukan sumber energi baru: kemarahan yang punya tujuan.

Ia menyalakan lampu ruang kerja, menarik tirai, dan duduk di kursi yang sejak tadi pagi belum sempat ia tiduri.

Laptop langsung menyala, notifikasi email dan chat berdatangan. Tapi Ari mengabaikan semuanya. Ia membuka semua akun media sosialnya — Instagram, TikTok, YouTube, Twitter (X), bahkan LinkedIn. Di semua akun itu, ia sudah diverifikasi. Ribuan hingga jutaan orang mengikutinya.

Dan kini, ia tak akan diam.

Ia menatap kamera. Wajahnya serius. Suaranya dalam, nyaris bergetar karena emosi.


"Nama saya Muhammad Ari Pratomo.

Saya seorang pengacara.

Hari ini saya menemukan fakta bahwa data kependudukan saya—NIK dan KK—telah digunakan untuk mendaftarkan lebih dari seribu tujuh ratus nomor SIM card ilegal.

Padahal menurut hukum, maksimal hanya boleh tiga.

Maka saya ingin tanya:

Siapa yang mendaftarkan ribuan nomor ini?

Siapa yang memperjualbelikan data saya?

Dan kenapa sistem registrasi yang katanya demi keamanan... justru membuka celah kejahatan?"


Ia berhenti sejenak. Lalu melanjutkan.


"Saya tidak sendiri. Mungkin Anda juga jadi korban.

Dan jika sistem dibiarkan seperti ini, jangan heran kalau besok-besok, nama Anda digunakan untuk menipu orang, menyebarkan hoaks politik, atau... jadi dalih penangkapan tanpa Anda tahu."


Ia menatap kamera lebih dalam.


"Buat para pelaku:

Kalian salah pilih korban.

Kalian pikir aku akan diam? Kalian pikir data pribadi bisa kalian pakai sesuka hati tanpa perlawanan?



Kalian lupa...

Aku bukan cuma pengacara. Aku punya suara.

Dan mulai hari ini, aku akan gunakan semua yang aku punya — hukum, musik, tulisan, bahkan algoritma — untuk menyeret kalian keluar dari bayang-bayang."


Ia tekan tombol upload.

Video berdurasi 2 menit 17 detik itu langsung tayang serentak di semua platform.

Komentar mulai berdatangan.

Ribuan likes, repost, dan mention bermunculan hanya dalam 10 menit.

Orang-orang mulai bertanya, ikut mengecek, bahkan ada yang mengaku menjadi korban serupa.

Sebuah gerakan lahir.

Dan Ari tahu, inilah awal dari gelombang yang tak bisa dihentikan.

Malam itu, tagar #DataDijual #TangkapPelakuRegistrasiIlegal #BocorItuNyata mulai naik ke jajaran trending.

Dan bagi pelaku yang selama ini merasa aman…

mereka baru saja menyadari: mereka salah lawan.

Malam telah larut. Tapi bagi Muhammad Ari Pratomo, gelora dalam dadanya tak mengenal tidur. Setelah unggahannya viral dan dukungan publik mengalir deras, satu hal masih mengganjal di hatinya:


“Kalau data pribadi bisa dijual semudah itu… maka yang dicuri bukan sekadar identitas. Tapi masa depan.”


Dan sebagai seorang pengacara yang juga musisi, Ari tahu: beberapa luka hanya bisa disuarakan lewat lagu.

Ia ambil gitarnya. Duduk sendiri di ruang tamu. Tak ada lampu studio. Hanya cahaya dari laptop dan lampu meja. Tapi inspirasi datang deras—karena lagu ini bukan sekadar karya seni. Ini adalah perlawanan.

Dengan suara lirih dan jujur, Ari mulai menyanyikan bait pertama:


🎵

"Berapa harganya dataku dibuka?

Berapa untungnya kalian berbagi luka?

Ku tak pernah daftar, ku tak pernah tahu

Tapi ribuan nomor, pakai namaku"

"Katanya demi keamanan, demi ketertiban

Tapi kenapa bocor jadi kebiasaan?

Ini bukan kelalaian, ini kejahatan

Dan hukum tak boleh diam dalam kesunyian…"

🎵

Suara gitar berpadu dengan denting emosi. Ari menambahkan beberapa notasi, lalu merekam ulang dengan mic studionya.

Kemudian, ia beri judul lagu itu:


“Identitasku Dijual”

(Sebuah Lagu Perlawanan dari Seorang Pengacara yang Jadi Korban)


Ia unggah ke YouTube, TikTok, dan Spotify. Deskripsinya tegas:


“Lagu ini kutulis sebagai bentuk protes dan seruan kepada negara. Jika data pribadi bisa dijual tanpa pertanggungjawaban, maka negara telah lalai melindungi warganya. Suara ini bukan sekadar lagu. Ini bukti bahwa kami tidak akan diam.”

– Muhammad Ari Pratomo (MuhammadAriLaw)


Keesokan paginya, lagu itu trending di berbagai platform. Banyak musisi ikut meng-cover. Para aktivis membuat video reaksi. Media mengangkat liriknya sebagai kritik sosial. Bahkan beberapa pejabat mulai memberi komentar diplomatis—tanda bahwa panasnya mulai terasa.

Dan saat Ari melihat semua itu, ia hanya berkata lirih:


“Aku menulis hukum agar dibaca hakim.

Aku menulis lagu agar didengar hati nurani.”

Pagi itu berita nasional dibuka dengan tajuk mencolok:


“Pemerintah Bereaksi atas Viral Lagu ‘Identitasku Dijual’, Presiden Minta Penelusuran Total SIM Card Ilegal”


Muhammad Ari Pratomo memandangi layar televisi dengan mata tajam. Setelah beberapa hari perjuangannya viral, akhirnya negara mulai menunjukkan tanda-tanda bergerak.

Juru bicara kepresidenan memberi pernyataan resmi:


“Presiden telah memerintahkan investigasi menyeluruh terhadap praktik registrasi kartu SIM ilegal. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bagian dari kejahatan siber yang mengancam hak sipil.”


Dalam waktu singkat, Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama aparat cyber crime Polri melakukan operasi besar-besaran.

Gerai ponsel abal-abal digerebek.

Penjual SIM card yang tak sesuai prosedur diamankan.

Sejumlah oknum penyalahguna data NIK–KK mulai diperiksa intensif.

Beberapa di antaranya tertangkap membawa laptop berisi ribuan data penduduk yang dijual dalam format Excel.


“NIK dan KK per kepala, Pak. Per 50 ribu saja,” ucap salah satu pelaku dalam interogasi, videonya bocor dan beredar luas.


Ari menyimak perkembangan ini dengan amarah yang belum padam, tapi kini sudah mulai mengarah.


“Ini baru awal. Yang ditangkap mungkin cuma pion. Tapi aku ingin raja dan penyedianya ditelanjangi hukum.”


Ia kembali membuat unggahan singkat:


“Terima kasih untuk kalian yang bersuara.

Hari ini beberapa pelaku mulai ditangkap.

Tapi kita belum selesai.

Jangan biarkan sistem kembali tidur setelah kita bangunkan.

Keadilan bukan hanya soal siapa yang salah.

Tapi siapa yang berani meluruskan yang salah—meski sendirian.”

– Muhammad Ari Pratomo (MuhammadAriLaw)

Pengacara. Korban. Dan kini: penggugat sistem.


Tagar #TangkapAkarMasalah mulai ramai.

Media internasional mulai meliput sebagai contoh “advokasi digital dari warga sipil yang berdampak nasional.”

Ari duduk di ruang kerjanya. Ia tahu ini belum usai. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, ia bisa menghela napas lebih lega.

Karena negara—meski terlambat—akhirnya tidak lagi diam.

Langit malam menggantung kelabu. Kota tertidur, tapi tidak dengan Ari.

Di ruang kerjanya, layar laptop memancarkan terang yang dingin. Puluhan tab terbuka: berita-berita penyalahgunaan data, laporan pelanggaran regulasi registrasi SIM card, dan rekam jejak perusahaan penyedia jaringan yang diduga terlibat pembiaran.

Meski beberapa pelaku telah ditangkap, amarah Ari belum surut.

Tidak ketika ia tahu jutaan data masih mungkin diperjualbelikan.

Tidak ketika aparat hanya menyentuh kulit, bukan akar.


“Apa gunanya hukum, kalau hanya untuk menghukum yang lemah?”


Ari berdiri. Mengambil jaket hitamnya. Di depan cermin, ia menatap bayangannya sendiri.

“Mulai hari ini,” gumamnya lirih namun tegas, “aku bukan hanya korban. Aku adalah pelacak. Penyerang. Dan suara yang tak akan kalian bungkam.”

Ia menyalakan kamera. Menyapa para pengikutnya dengan tatapan tajam:


🎥

“Saya Muhammad Ari Pratomo.

Pengacara. Korban penyalahgunaan data.

Dan hari ini, saya bersumpah:

Saya akan terus membongkar praktik ilegal registrasi SIM card ini, sampai ke akar.

Saya tidak takut. Saya tidak akan diam.

Karena hukum bukan alat kekuasaan. Hukum adalah janji keadilan.

Dan saya akan menagihnya.”

🎥


Unggahan itu meledak. Ribuan komentar mengalir.

Beberapa mendukung. Sebagian memperingatkan bahaya.

Tapi satu pesan membuat Ari terdiam:


“Hati-hati, Mas Ari. Mereka yang kau lawan, bukan cuma penjual SIM. Mereka punya uang. Dan punya orang.”


Ari membaca pesan itu sambil tersenyum kecil. Tapi matanya tak lagi lembut. Ada bara di sana.


“Biarlah. Karena aku tidak sedang cari sensasi. Aku sedang cari kebenaran. ini untuk Indonesia”

Hari-hari berlalu, namun api semangat Muhammad Ari Pratomo tak pernah padam. Ia tahu, di balik ribuan nomor yang terdaftar atas namanya, ada tangan-tangan gelap yang menyembunyikan diri di balik layar.

Dengan sigap, ia mulai menelusuri satu per satu nomor yang menggunakan data pribadinya. Dari data publik yang berhasil ia kumpulkan, hingga melalui jaringan koneksinya sebagai pengacara, Ari menggali lebih dalam.

Setiap nomor yang ditemukan bukan sekadar angka. Ada rekam jejak panggilan, pesan, hingga aktivitas yang menimbulkan kerugian hukum maupun moral.

Ari menghubungi operator, meminta data lengkap pengguna. Ia mengirim somasi kepada beberapa pihak yang terbukti menyalahgunakan data miliknya. Namun tidak semua pihak kooperatif.


“Mereka bersembunyi di balik anonim. Tapi aku punya hukum dan kebenaran sebagai senjata,” pikir Ari.


Sambil terus mengupayakan langkah hukum, Ari juga memanfaatkan media sosial untuk mengajak masyarakat waspada dan melaporkan jika ada penggunaan data mereka yang mencurigakan.

Suatu malam, saat mengamati laporan terbaru, Ari menemukan nomor yang terhubung dengan jaringan buzzer politik dan kejahatan siber. Itu bukan kebetulan. Ia yakin ada skema besar di baliknya.

Dengan tatapan penuh tekad, ia menulis di akun sosial medianya:


“Aku akan terus mencari semua pelaku yang menggunakan data pribadiku.

Karena ini bukan hanya soal diriku.

Ini soal keadilan untuk semua yang menjadi korban.

Bersama kita lawan kejahatan data!”

Dendam yang dulu membara kini berubah menjadi aksi nyata. Muhammad Ari Pratomo, sang pengacara sekaligus aktivis, bersumpah tak akan berhenti hingga semua pelaku terbongkar dan hukum ditegakkan.

Selain memburu para pelaku penyalahgunaan data, Ari mengerahkan seluruh pengaruhnya untuk menuntut perubahan sistem.

Melalui berbagai kanal, ia mengunggah seruan keras:


“Registrasi nomor HP menggunakan NIK dan KK adalah pintu masuk kebocoran data yang berbahaya.

Undang-undang perlindungan data pribadi memang ada, tapi nyatanya kebocoran tetap terjadi.

Sudah saatnya pemerintah mengadopsi teknologi modern, seperti sidik jari digital dan video pengenalan wajah, sebagaimana yang diterapkan di negara maju lainnya.

Ini bukan soal kemudahan, tapi soal keamanan dan perlindungan hak warga negara.”


Ia mengirim surat terbuka kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Komisi I DPR RI, mendesak pengkajian ulang metode registrasi nomor ponsel.

Ari tahu ini bukan perkara mudah.

Namun baginya, perjuangan ini adalah demi keadilan yang lebih besar:


“Kalau hukum tidak diperbaiki, maka korban berikutnya akan terus berjatuhan. Dan kita semua terancam.”

Ari tetap teguh: bukan hanya mencari pelaku, tapi juga memperjuangkan sistem yang adil dan aman bagi semua.

Perjuangan Muhammad Ari Pratomo belum usai. Di tengah gemuruh kemajuan teknologi, masih banyak yang belum menyadari betapa pentingnya menjaga keselamatan data pribadi.

Di ruang kerjanya yang sederhana, Ari duduk termenung sejenak. Ia tahu betul, suara kebenaran kadang sulit didengar di tengah riuhnya dunia digital. Banyak yang acuh, menganggap masalah data hanyalah urusan teknis yang jauh dari keseharian mereka.

Namun Ari tak menyerah.


“Meskipun tak ada yang mendukung, aku akan terus berteriak.

Aku tahu betul bagaimana membuat desakan publik.”


Sebagai pengacara, ia menguasai cara merangkai kata yang tepat untuk membangkitkan kesadaran dan tekanan kepada pihak berwenang. Setiap tulisan, setiap lagu, setiap video yang ia buat adalah teriakan lantang untuk keadilan.

Melalui media sosial, Ari terus membagikan fakta-fakta tentang bahaya kebocoran data pribadi, kasus-kasus penyalahgunaan yang kerap tersembunyi, dan langkah-langkah konkret yang harus diambil oleh masyarakat dan pemerintah.

Meski sering mendapat cibiran dan skeptisisme, ia yakin bahwa benih kesadaran itu perlahan tumbuh.


“Ini bukan perjuangan untuk hari ini saja. Ini untuk masa depan generasi kita.

Aku akan terus menyalakan api ini, sampai semua orang sadar bahwa data pribadi bukan barang dagangan.”


Ari berdiri, menatap langit malam dari jendela kantornya.


“Selama aku masih mampu, selama suaraku masih bisa didengar, aku akan tetap berjuang. Karena keadilan itu harus diperjuangkan, bukan hanya diucapkan.”


Perjuangan Ari adalah kisah tentang keberanian melawan arus, tentang tekad yang tak pernah padam meski harus berjalan sendirian.

Suara pengacara yang menuntut keadilan dan melindungi yang terbungkam.

Ari semakin dalam menelusuri jejak kejahatan di balik registrasi SIM card ilegal. Kali ini, ia fokus pada para pedagang nomor aktif yang beroperasi di berbagai sudut kota.

Dengan data dan jaringan pengacaranya, Ari berhasil mengungkap bahwa para pedagang ini tidak sekadar menjual nomor biasa, tetapi nomor dengan dalih “nomor cantik” yang kerap jadi incaran kalangan tertentu.

Apa yang membuat Ari terkejut?

Bahwa praktik ini dibiarkan beroperasi leluasa, bahkan oleh sebagian aparat yang seharusnya menjaga keamanan.

“Ini bukan hanya soal jual beli nomor. Ini kejahatan nyata yang merugikan banyak pihak, tapi kenapa sampai sekarang ada yang diam?” pikir Ari.

Dalam benaknya, Ari mulai merancang strategi:

1. Pendidikan dan Edukasi Masyarakat

Ari tahu, kunci utama adalah kesadaran masyarakat. Banyak orang membeli nomor cantik tanpa tahu risikonya. Mereka menjadi korban, atau tanpa sadar ikut berkontribusi dalam praktik ilegal.

Ia berencana membuat konten edukasi yang mudah dipahami, tentang bahaya registrasi nomor menggunakan data pribadi yang tidak valid.

2. Tekanan Publik melalui Media Sosial

Dengan ribuan pengikutnya, Ari akan menyuarakan secara masif praktik-praktik ini agar pemerintah dan aparat tidak bisa lagi menutup mata.

3. Kolaborasi dengan Penegak Hukum yang Bersih

Ari akan mencari dan mengajak aparat yang memiliki integritas untuk bersama-sama memberantas jaringan ini sampai tuntas.

Edukasi untuk Pembaca:

  1. Jangan membeli SIM card yang tidak terdaftar secara resmi dengan data asli.
  2. Gunakan nomor telepon yang terdaftar sesuai identitas diri yang sah.
  3. Waspadai penawaran nomor cantik dengan harga murah yang tidak masuk akal.
  4. Jika menemukan praktik penjualan SIM card ilegal, segera laporkan ke aparat atau penyedia layanan resmi.
  5. Jaga data pribadi dengan hati-hati, jangan mudah dibagikan di sembarang tempat.


Ari yakin, perang melawan kejahatan registrasi SIM card ilegal bukan hanya tugas aparat, tapi tanggung jawab bersama. Dengan edukasi yang tepat dan tindakan nyata, kejahatan ini bisa ditekan sampai ke akar.

Jika kasus registrasi SIM card ilegal dan penyalahgunaan data pribadi ini dibiarkan tanpa penindakan tegas, konsekuensinya bisa sangat berbahaya.

Data pribadi yang bocor bisa digunakan untuk kejahatan siber seperti penipuan, pencurian identitas, hingga pengancaman keamanan nasional. Nomor telepon ilegal kerap dipakai untuk kampanye hitam, penyebaran hoaks, dan manipulasi opini publik yang merusak demokrasi.

Lebih parah lagi, jika semua pelaku tidak segera ditangkap habis, maka kejahatan ini akan terus berkembang, menciptakan ekosistem ilegal yang sulit diberantas, dan membuat masyarakat semakin rentan menjadi korban.

Muhammad Ari Pratomo menegaskan:

“Ini bukan hanya soal melindungi data pribadi saya, tapi tentang melindungi hak dan keamanan seluruh warga negara.
Jika kita diam, kejahatan ini akan terus merajalela.
Mari bersama lawan dan tuntut keadilan!”


Pesan ini menjadi pengingat bahwa perlindungan data pribadi adalah tanggung jawab bersama, dan kejahatan digital harus dihadapi dengan serius demi masa depan yang lebih aman dan adil.