Bab 10 - Pisang Goreng
Di publikasikan 04 Apr 2025 oleh Tangerine
“Sebagaimana pisang goreng hangat yang dimasak sempurna, cinta yang sejati memenuhi hidup dengan aroma kebahagiaan yang tak terlupakan” Putra memarkirkan mobilnya di depan Tangerine. Ia akan bertemu dengan sahabat kecilnya disana. Saat memasuki gerbang Tangerine, matanya terpukau oleh warna-warna orange buah tangerine yang sedang berbuah di suasana malam yang gelap dan dingin, tenang dan remang, dengan aroma kopi yang menyegarkan mengisi udara. “Put, sini put!” Umay melambaikan tangan dari belakang kafe bar. Putra langsung mengenali wajah sahabat lamanya itu dan langsung menghampirinya.“Wah, udah lama banget kita gak ketemu,” Putra gembira, mereka saling bersalaman dan berpelukan.“Wah, pak dokter!” Ucap Umay dengan tatapan kagum, senang dan bangga memegang erat kedua lengan Putra. “Duduk dulu Put. Gue pesenin kopi ya, kopi spesial!” “Wah, boleh, boleh, kebetulan lagi butuh yang hangat-hangat,” Kata Putra. Ia lalu duduk di kursi terdekat. Umay menghampiri Saskia memesankan kopi tubruk dengan perasan jeruk siam untuk sahabatnya. “Yank, tolong kopi tubruk tangerine spesial kita ya satu, untuk sahabat lamaku yang duduk disitu. Dia dari Jakarta,” Kata Umay menunjuk ke arah Putra.Saskia mengangguk lalu melirik ke arah Putra. “Oh, mau nginep disini juga? Biar ku info Nina,” Kata Saskia.“Nggak usah, dia orang sini kok. Anaknya Pak Kades.” Kata Umay. Saskia membelalakan matanya tidak percaya melihat pria setampan itu adalah anak pak kades yang genit. “Dih, kenapa mukanya begitu?” Umay tertawa melihat ekspresi wajah Saskia yang lucu. ”Aku kesana dulu ya, nanti tolong antar kopinya, biar sekalian aku kenalin,” Ucap Umay mengelus lengan Saskia.“Jadi pak dokter, apa kabar?” Umay duduk di depan Putra yang sedang menikmati pemandangan kafe. “Sehat, sehat Alhamdulillah,” Jawab Putra. “Wah hebat banget sekarang udah jadi pengusaha kafe.” “Gue cuman pegawai Put, bukan punya gue,” Jawa Umay. “Ah Sorry, abis keren banget dekorasinya, gue suka banget sama pohon-pohon jeruknya. Buahnya subur-subur,” Putra memuji.“Thank you Put, ini pohon jeruk siam yang jadi khas di kafe dan penginapan kita,” Umay menjelaskan bangga. “Ide yang punya nih, keren yah?!”Putra mengangguk masih terkagum dengan buah-buah jeruk segar yang menggantung di pohon-pohon terlihat sempurna menghiasi halaman kafe. “Kopi tubruk tangerine ready,” Saskia datang meletakan 2 cangkir kopi hangat, aroma jeruknya yang khas tercium di udara bersama dinginnya angin malam. “Put, kenalin ini cewek gue Saskia, dia yang mengelola kafe ini,” Umay memperkenalkan kekasihnya. “Nah, sahabatnya yang punya penginapan ini.”“Halo, Putra!” Kata Putra menyodorkan tangannya memperkenalkan diri. “Halo, Saskia!” Balas Saskia menjabat tangannya.“Ayo silahkan dicicipi kopinya mumpung masih hangat,” Saskia mempersilahkan Putra minum. “Oh iya Sas, Mba Nina mana? mau aku kenalin sekalian sama sahabatku,” Tanya Umay.“Dia lagi sibuk di homestay, kayaknya ada beberapa tamu baru yang mau check in, nanti aku coba kirim wa ke dia deh,” Jawab Saskia. “Kalian gak buru-buru kan? Biar aku siapkan pisang goreng dulu ya, dingin-dingin gini belum afdol ngopi tanpa pisang goreng,” Tawar Saskia.“Wah boleh juga pisang goreng,”Jawab Putra semangat. Perasaannya seperti sedang liburan. Sudah lama ia tidak menikmati udara dingin pegunungan ditemani kopi hangat dan pisang goreng.Saskia meninggalkan mereka berbincang berdua dan menyiapkan pisang goreng.“Jadi gosipnya lo mau buka praktik disini?” Tanya Umay. “Iya May, udah buka malah. Ini hari pertama gue buka klinik,” Jawab Putra, menyeruput kopinya.“Ah, kok gak info-info sih, gue kan mau bantu-bantu juga,” Ucap Umay.“Gue juga kaget May, balik-balik semua udah ready, udah rapih. Bokap Gue semua yang ngerjain,” Kata Putra.“Gue rasa sih, karena diancam nyokap lo,” Ledek Umay.Mereka terkekeh bersama.“Ngomong-ngomong kenapa lo mutusin buat pulang dan tinggal disini Put? Bukannya jadi dokter di Jakarta impian lo dari jaman SMP ?” Tanya Umay penasaran. Ia tau benar seberapa rajinnya Putra belajar dan seberapa seringnya Putra bercerita menghayal menjadi dokter sukses di Jakarta. “5 tahun lalu gue kecelakaan, kondisinya gue waktu itu baru banget mau pulang ke apartemen setelah 2 hari gak tidur karena ada 2 operasi dan lagi banyak pasien. Gue ngantuk dan Boom! Semua gelap. Akibatnya gue cedera kaki & leher yang cukup fatal, dan sekarang jadi ngaruh ke performa kinerja gue,” Putra menceritakan kejadian dan alasan kenapa ia akhirnya memutuskan untuk pulang pada Umay dengan singkat.“Wah..serius lo kecelakaan parah Put?” Umay terkejut. “Gue gak kebayang sih gak tidur 2 hari tuh kayak apa. Gila sih.” Putra mengangguk. “Jadi gue memutuskan untuk menurunkan ritme kerja gue dari yang dokter super sibuk, menjadi dokter santai. Menikmati waktu, menikmati hidup. Dan kampung halaman adalah tempat terbaik,” Putra menyeruput kopi beraroma jeruk itu lagi. Umay memandangi Putra sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. “Dan yang paling menyakitkan lo tau apa?” Tanya Putra. Umay menggelengkan kepalanya lagi.“Yang terluka bukan cuman gue aja di kecelakaan itu,” Tatapan mata Putra kosong saat membicarakan itu.“hah? Gimana maksudnya?” Tanya Umay penasaran, ia menebak dalam batinnya jangan-jangan ada yang meninggal. “Gue di Info sama staff rumah sakit kalo gue menabrak mobil yang isinya pasangan suami istri dan seorang bayi.” Putra mengingat-ingat kembali kejadian saat itu.“Ya Allah Put. Terus gimana? Mereka semua selamat kan tapi?” Tanya Umay terkejut.“Gak tau May. Yang terakhir gue inget itu, gue mau ke kamar pasien orang yang gue tabrak untuk melihat keadaannya dan mau minta maaf,” Jawab Putra sambil mengingat kembali. “Trus gue liat ada wanita lagi jongkok nutupin mukanya di depan pintu kamar pasien. Pas gue samperin dan mau ngomong sesuatu ia langsung pergi gitu aja. Terus pas gue buka pintu kamarnya, ternyata sudah kosong.” “Nah, jangan-jangan istrinya itu men!” Umay menebak dengan serius. “Inalillahi, suaminya meninggal ya Put?”“Gue rasa juga gitu May. Gak enak banget hati gue sampe sekarang kalo inget-inget itu.” Suara Putra parau.Umay menggelengkan kepalanya dengan iba. “Yang kuat ya Put. Bukan berarti ini jadi salah lo juga kok, semua kan udah diatur sama yang maha kuasa.” Ucap Umay berharap sahabatnya tetap kuat.“Yah, gitu lah May,” Jawab Putra pasrah menghela nafas.Tak lama aroma pisang goreng hangat mulai tercium dari kejauhan.“Serius banget May ngobrolnya. Silahkan sambil dicemilin nih pisang gorengnya mumpung masih hangat,” Karenina meletakan satu piring pisang goreng yang masih mengeluarkan asap. Kini Aroma vanilla dan keju yang menggiurkan tercium dari pisang goreng itu. “Eh Mba Nin, kenalin ini Putra sahabatku dari Jakarta.” Umay memperkenalkan Putra. “Halo, Karenina, panggil Nina aja,” Sapa Karenina dengan suara lembutnya.Mata Putra seketika terpaku pada wajah Karenina. Ia terpesona pada senyuman manis yang memikat, ada kehangatan dalam tatapannya yang membuat hati Putra berdegup kencang. Putra berusaha menahan diri untuk tidak terlalu mencolok, namun pandangannya tak bisa lepas dari Karenina.“Ekhem.. Put,” Suara Umay memecahkan keheningan.“Oh, Sorry, saya Putra,” Ucap Putra sedikit malu sambil menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan.Karenina tersenyum menyambut tangan Putra untuk berjabat tangan. Saat tangan mereka bersentuhan, Putra merasakan percikan dalam dirinya. Seketika Umay menyadari ketertarikan kedua sahabatnya itu. “Ekhem. Mbak Nin. Duduk sini mbak ikutan ngobrol.” Ajak Umay.“Silahkan, silahkan, saya masih ada yang harus dikerjakan,” Jawab Karenina lembut. “Saya tinggal dulu ya. Silahkan di nikmati pisang gorengnya.”“Itu pasti yang punya?” Tebak Putra terpesona.“Iyo, Naksir pasti kan?!” Ledek Umay juga.Putra menggeleng menyadarkan dirinya sendiri. “Fokus dulu, Fokus Put! Klinik baru buka. Ayo ayo fokus.” “Dih, aneh lo. Mana bisa naksir orang ditahan-tahan,” Ledek Umay. “Iya gue akuin gue terpesona. Tapi nanti dulu lah, gue masih mau menata kehidupan baru gue disini,” Putra meyakinkan dirinya untuk fokus pada hidupnya terlebih dahulu.“Yah kan bisa sekalian kali,” Ledek Umay lagi. Ia tak sabar ingin menceritakan kejadian tadi pada Saskia. Putra mengambil pisang goreng yang masih hangat dan menggigitnya, mengalihkan pembicaraan yang membuat ia salah tingkah. “Hmm.. enak banget May, empuk!” seketika Putra langsung melahap 1 potong pisang goreng. “ya empuk lah, seempuk hati orangnya,” Ledek Umay lagi sambil tertawa.“Sialan lo,” Sahut Putra terkekeh. Dan mereka pun asik bertukar cerita tentang kehidupan mereka sampai tengah malam.Sementara itu Karenina dalam kamarnya bersiap untuk tidur. Ia memikirkan Putra, pria yang dikenalkan Umay tadi. Perawakan Putra yang tinggi tegap, tampan, berkacamata dengan cara bicara yang santai dan terlihat polos adalah tipenya. Sudah lama sekali ia tidak merasakan perasaan menyukai seorang pria. Lalu tiba-tiba ingatannya melayang kembali saat pertama kali ia bertemu dengan mantan suaminya. Pertemuan pertama kali mereka juga di sebuah kafe tempat ia bekerja dahulu. Karenina menghapus bayangan Putra dan ingatan masa lalu dari kepalanya, dan mengabaikan perasaan sukanya pada Putra. ** Di pagi hari yang dingin seperti biasa Putra mengendarai mobilnya menuju Klinik. Ia melewati tangerine berharap melihat Karenina dari balik kaca mobilnya. Namun ia sedikit kecewa, karena Karenina tidak terlihat. Sesampainya di depan klinik, dari luar ia sudah melihat beberapa antrian di ruang tunggu. Putra pun bergegas masuk menuju ruangan periksanya. Setelah memeriksa beberapa pasien ia dikejutkan dengan pasien selanjutnya yang ternyata Karenina. Ia membawa seorang anak laki-laki yang pernah dilihatnya. “Siang Dok,” Sapa Karenina. Ia merangkul Alan yang pucat dan lemas duduk di hadapan Putra. “Si..siang..Nina kan, dari Tangerine?” Tanya Putra.“Iya benar, tadi pagi mau berangkat sekolah anak saya buang-buang air terus sampe lemas gini. Setiap kali minum atau makan, langsung diare lagi,” Karenina menjelaskan dengan khawatir. “Halo Alan. Coba yuk tiduran sebentar yuk.” Dengan pelan Putra memapah Alan yang lemas berbaring di kasur periksa lalu mulai melakukan pemeriksaan pada tubuh Alan. “Tadi malam apa mungkin Alan makan atau minum sesuatu?” Tanya Putra pada Karenina.“Setahu saya, Alan makan nasi goreng, telur mata sapi, lalu minum susu antara jam 7 sampai jam 8 malam. Setelah itu ia langsung masuk ke kamar nya dan tidak keluar lagi sampai tadi pagi,” Karenina menjelaskan sambil mengingat-ingat kembali. “hmm. Alan, Apa itu ada yang Alan makan lagi?” Dengan lembut Putra bertanya pada Alan. “Cuma makan coklat yang ada dalam tas, pas lagi merapikan buku pelajaran dok,” Jawan Alan lemas. “Coklat apa Lan? Siapa yang ngasih?” Tanya Karenina.“Dulu Alan yang beli di sekolah?” Jawab Alan masih lemas.“Kok dulu Lan? Kapan belinya?” Karenina makin khawatir dan nada bicaranya agak meninggi.Putra menyentuh lengan Karenina dengan halus menenangkannya. “Diare di pagi hari bisa terjadi karena malam sebelumnya mengkonsumsi makanan atau minum yang terkontaminasi bakteri,” Putra menjelaskan sambil tersipu sedikit karena harus menatap wajah Karenina. “Kamu gak usah khawatir, ini saya resepkan antibiotik, obat serta vitamin untuk mengurangi diarenya dan mengembalikan daya tahan tubuhnya kembali.”“Alan, saya kasih obat antibiotik rasa jeruk harus dihabiskan ya!” Ucap Putra tersenyum dengan ramah. “lain kali, sebelum makan sesuatu harus dicek dulu tanggal kadaluarsanya, kalo Alan belum ngerti caranya, bisa Tanya dulu ke mama Alan.”Alan mengangguk lemas dan memeluk Karenina. Karenina lalu mengelus kepala Alan dan berterima kasih kepada Putra. “Terima kasih ya Dok,” Pamit Karenina dan Alan.“Sama-sama, nanti obatnya bisa diambil di depan ya.” Jelas Putra tersenyum.Putra menghela nafas panjang saat melihat Karenina dan Alan meninggalkan ruangannya. Batinnya kecewa, karena menyukai wanita yang sudah berkeluarga. ** Sesampainya dirumah, Putra meletakkan tasnya di kursi meja makan. Ia mencuci kedua tangannya dan bersiap menyantap makan malam yang sudah disediakan ibunya. Ia mengambil daging rendang dan sayur buncis lalu mencampur semua dengan nasi di dalam piringnya. “Bu, tadi Alan datang ke klinik,” Cerita Putra saat makannya selesai.Bu Ambar terkejut mendengar nama Alan. “Alan kenapa? sakit apa dia?”“Diare bu, kasian sampe lemas,” Kata Alan. Saat ia menoleh ke Ibunya untuk melanjutkan bercerita, ibunya sudah pergi menuju kamar.Bu Ambar langsung menghubungi ponsel Karenina untuk mengetahui kabar Alan.“Assalamualaikum Nin. Katanya Alan diare? Gimana keadaannya sekarang?” Tanya Bu Ambar Khawatir.“Waalaikumsalam. Alhamdulillah sudah tidak diare lagi semenjak berobat ke dokter Putra.” Jawab Karenina lembut.“Ya Allah, kenapa bisa salah makan sih Nin? Emang Alan kamu kasih makan apa?” Tanya Bu Ambar penasaran.“Jadi dulu Alan pernah jajan coklat dan gak langsung dimakan tapi dimasukan kedalam tas nya. Tadi malam ia baru makan coklatnya dan sepertinya sudah kadaluarsa.” Karenina menjelaskan dengan lembut. “Tapi sekarang udah gak apa-apa kok. Ini anaknya lagi main game.”“Syukurlah kalo gitu. Besok Ibu kesana ya Nin, ibu masakin makan dari sini.” Kata Bu Ambar lega. “Ya sudah kalian lanjut lagi istirahatnya. Assalamualaikum.”“Iya bu. Waalaikumsalam.” Balas Karenina mengakhiri telepon. Putra sengaja mencuri dengar pembicaraan dari luar kamar dan menghampiri Ibunya.“Ibu, sepertinya dekat sekali dengan mereka.” Ucap Putra, berharap mendapat informasi tentang Karenina.“Ibu Kasian Put. Karenina itu janda anak satu. Ibu lihat sendiri gimana kuatnya dan susahnya Karenina membesarkan Alan sendirian. Kerepotan karena harus mengurus anak sambil mengurus penginapannya itu,” Cerita Bu Ambar.Batin Putra seketika lega mengetahui bahwa Karenina tidak bersuami. “Oh, suaminya kemana?” Tanya Putra dengan polos.“Gak tau Put, Ibu juga penasaran. Tapi gak enak nanyanya,” Jawab Bu Ambar menyesal karena merasa pernah menyakiti hari Karenina.“Tumben,” Ledek Putra.“Kamu juga ni. Umur sudah diatas 35, kapan mau kasih ibu mu ini mantu?” Ledek Bu Ambar.“Iya nanti ya bu,” Jawan Putra Asal.“Nanti? Emang udah ada toh?” Bu Ambar bertanya penasaran. “Dia dokter juga? Orang mana? Baik gak anaknya? Kamu kalo pilih wanita pokoknya harus yang sayang juga ya sama Ibu, ibu gak mau nanti ditelantarkan,” Bu Ambar langsung bicara tanpa berhenti kalo perihal pasangan untuk anak semata wayangnya itu.“Ih ibu, siapa yang mau nelantarin ibu. Lagian ibu masih punya bapak gitu loh,” Sahut Putra.“Kamu ini!” Bu Ambar memukul lembut tangan Putra. Akibat percakapan tentang pasangan untuk Putra tadi, pikiran Bu Ambar berkecamuk semalaman. Walaupun matanya terpejam, tapi ia tidak bisa terlelap. Bayangan gadis-gadis muda menghantuinya. Bagaimana jika gadis yang dipilih Putra nanti sikapnya tidak ramah?, bagaimana jika Putra nanti mendapat ibu mertua yang galak dan matre?, bagaimana jika gadis pilihan Putra nanti memaksa Putra tinggal di Jakarta dan tidak pernah datang untuk mengunjunginya?”