20 - Jembatan ke Kanal Lain
Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang“Akhirnya kalian kembali ….”Masih di hari yang sama dengan waktu masuk Dunia Kecil, akhir Musim Panas 223 Shirena.Kukira sembilan hariku di dalam sana betulan sembilan hari, ternyata setengah dupa pun tidak.Benar. Setelah semua orang kembali lalu portal dunia lain tadi lenyap, dupa yang kulihat saat itu ternyata masih utuh—tidak benar-benar utuh, tapi sisanya sungguh sangat banyak.“Benar-benar singkat,” gumamku pas semua orang kumpul bersama anggota sekte masing-masing, “jadi kami cuma pergi selama sekitar tiga puluh enam menit ….”Hem. Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi ….*** Malamnya, di jamuan Sekte Burung Api. Saat Pertemuan Gerbang Dunia Kecil berakhir.“Apa ini, Saudara Mi?”Aku menoleh, pasang muka senyum, terus lanjut pada kegiatanku—menyeruput mangkuk di tangan sebelum meletakkannya ke tumpukan di meja.“Kau benar-benar lahap—”“Satu, dua … dua puluh satu. Ada dua puluh satu mangkuk mie—heeei, Saudara Mi menghabiskan dua puluh satu mangkuk sendiriaaan!”Teriakan Sun Ling membuat suasana sekitar mejaku mendadak ramai.“Hahaha—Semua, lihat meja Saudara Mi!” teriaknya lagi, kali ini sambil cekak pinggang puas di depan semua orang yang mendadak mengerubungi kami. “Saudara Zu, Saudara Bo, lihat … ada tiga sama setengah tumpuk mangkuk kosong di sini, rekor Raja Pelahap milik Saudara Wen sudah dikalahkan.”“Hahaha, benar.”“Lihat-lihat ….”Kemeriahan malam tersebut berlanjut. Selain adu porsi makan, satu demi satu bakat bermunculan. Aku sampai bingung acara apa sebenarnya jamuan saat itu saking ramainya penampilan di sekitarku ….*** “Saudara Mi.”“Terima kasih, Saudara Sun. Kuda merahku ada di sini, kau dan Saudari Lan gak perlu mengantar lagi.”“Sayang Saudara Wen mabuk berat,” balas Sun Ling yang lalu memberi hormat, “aku hanya akan mengantar sampai gerbang ini. Saudara Mi, tolong jaga diri di perjalanan.”“Saudara Mi.”“Saudara Sun, Saudari Lan ….”Setelah mengembalikan Tameng Topeng Hantu dan jamuan Burung Api selesai, aku pun pamit pulang. Tidak ada alasan bagiku ‘tuk berlama-lama di sana, apalagi semua urusan terkait Dunia Kecil sudah selesai dan aku masih harus menanam herba sama membuat sarang si Oka di padepokan. Meski masih ada acara ramah-tamah buat menyanjung anggota-anggota inti di persekutuan, siapa aku sampai mau tetap tinggal?Jadi biar enak mending tahu diri saja ….*** “Okaaa!”Seminggu kemudian.“Woi, Burung Hantuuu!” Aku dibikin gemas gegara ladang herba dirusak hama. “Kau kupiara buat menjaga ladangku supaya jangan kena hama, tahu!” pekikku pada burung abu-abu yang lagi bertengger di atap tembok halaman belakang sekte sana, “kenapa kau biarkan tikus-tikus itu memakan setengah ladangku, hah?!”Ia memalingkan muka.“Woi—”“Kenapa ribut-ribut?”“Ah, Ketua!” Aku langsung berbalik dan buru-buru menghadap Ketua Sekte. “Ini …, ladang herba kita rusak diserang hama tikus sama kelinci liar.”“Hama? Tikus? Kelinci?”‘Lihatlah sendiri!’ gumamku dalam hati sembari mengayun tangan ke arah ladang, mempersilakan beliau untuk menyaksikan langsung bagaimana keadaan halaman belakang kami. ‘Ladang herba yang baru kuolah seminggu ini bak kapal pecah ….’“Hah.” Ketua hela napas, menggeleng, kemudian berbalik. “Sekarang sudah masuk musim gugur,” ujar beliau sambil lalu, “aku tidak menangkap poin kenapa baru menanam herba sekarang ….”Benar. Selain tanaman musiman, menanam herba di musim gugur memang tak seefektif musim semi. Namun, diriku juga bukan tidak punya cara. Itu makanya aku kesal pas formasi ladang dirusak hama ….“Oi, Oka. Sekali lagi kau biarkan ladang sama tanaman-tanamanku dimakan hama, siap-siap saja cakar, paruh, sama bulu-bulumu kucabuti terus batu sihir di jantungmu kurabut terus kujadikan bahan camilan nagaku.”Dengar itu kura-kura mungilku mendekat. Lalu, naga putih yang bersemayam pada ukiran tungku di punggungnya pun menampakkan diri. Membuat si burung hantu sontak melompat dari atap tembok lantas menyambari tikus, marmut, sama kelinci-kelinci di sekitar ladang dan menelani mereka semua.“Bagus, sekarang kau betulan kerja,” kataku terus balik badan, “Kura-kura, Naga, kalian awasi dia. Aku mau ke luar sebentar ….”Bulan Tujuh 223 Shirena.Agendaku sehabis acara kemarin adalah memberikan manual beserta pedang Kristal Es Dingin kepada Saudara Seperguruan buat jadi pemungkas, tapi dirinya masih semedi dan sedang berusaha menstabilkan ranah formasi mutiara inti yang baru ia masuki. Jadinya kegiatanku sekarang cuma menunggu ….“Ketua, murid memesan jubah dengan seragam baru pada Nyonya Hong pas Anda sedang semedi. Katanya, mereka sudah jadi dan bisa diambil hari ini.”“Pergilah ….”Orang tua di depanku sama sekali tidak menoleh. Ia fokus pada kegiatannya. Bersila di depan altar dan sebuah lukisan seseorang, entah itu siapa. Hem.“Murid juga memanggil tukang untuk memperbaiki atap kuil kita—”“Selama demi kebaikan sekte, kau boleh melakukan apa pun di belakangku.”‘Bagus.’ Aku senang pak tua satu ini gak banyak tanya dan bertele-tele. “Terima kasih, Ketua.”Sangat mulus. Benar-benar mulus. Hari itu aku bisa pergi ke kota dengan alasan mengambil jubah dan bebas berbelanja barang sesuka hati tanpa takut merusak citra perguruan. Aku juga membeli sepasang kuda sama sebuah kereta untuk tunggangan Kepala sama Saudara Seperguruan ….“Terima kasih, silakan datang kembali.”“Sebelum pulang enaknya ngapain dulu, ya?”Aku sedikit lapar, jadi kuparkir kereta baruku di depan sebuah kedai.“Selamat datang, silakan-silakan ….”“Apa menu andalan restoran kalian?” tanyaku pada pelayan yang mengantar ke bilik kosong di lantai dua lalu menaruh dua keping perunggu di meja, “aku pesan tiga porsi, dua mau kubawa pulang sama satu makan sini.”“Ah, menu andalan kami adalah Daging Panggang Saus Tiram, Tuan … sebelum dibakar, daging sudah lebih dulu direndam selama satu malam dalam air rempah agar bumbunya meresap.”“Daging apa yang kau pakai?”“Kami biasanya memakai banyak daging, tapi yang paling disukai di sini iga orc sama kaki trol—”“Pakai daging sapi atau rusa,” selaku terus menggeleng lalu mengayunkan tangan, isyarat agar si pelayan pergi dan memberiku ruang. Penasaranku langsung hilang pas ia menyebut daging monster. “Kalau dua bahan itu gak ada, aku pesan ayam bakar saja.”“Baik, mohon tunggu sebentar ….”Sembari menunggu, mari nikmati suasana kedai ini.Karpet merah terhampar dari pintu masuk hingga panggung di antara tangga menuju lantai dua, susunan meja dengan empat bangku panjang berbahan kayu merah di kanan kiri, terus ada bunga sama rak wewangian dekat dinding yang berperan sebagai pengharum ruangan.Naik satu lantai, lantai dua tempatku melongok ke bawah sekarang, terdiri atas bilik-bilik berpembatas kayu mahoni mengitari panggung di bawah sana. Desain tiap bilik agak beda, tetapi perabot pengisinya kurang lebih sama. Meja dengan kursi bundar, rak, vas, juga bunga-bunga tambah wewangian.Sebetulnya masih ada satu lantai lagi, cuma gak bisa kugambarkan karena mereka macam kamar-kamar khusus.Terus makananku juga sudah keburu datang ….“Pelanggan. Daging Panggang Saus Tiram beserta pelengkap, silakan ….”“Terima kasih.”Ngomong-ngomong, soal kata khusus. Dunia kecil Burung Api kemarin bukan satu-satunya di Pagar Tengah. Maksudku, masih ada banyak kanal mini yang tersambung ke Eldhera dan berada di bawah pengawasan sekte-sekte di persekutuan. Jadi fungsi sekte zaman ini bukan sekadar mengajarkan ilmu bela diri macam di zamanku sama era Guru Kyongdok, tetapi juga sebagai jembatan buat terhubung dengan dunia ajaib di luar sana.Begitu ….***
Segenggam Cinta 'tuk Berlian