Login Daftar - Gratis

20 - Jembatan ke Kanal Lain

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Akhirnya kalian kembali ….”Masih di hari yang sama dengan waktu masuk Dunia Kecil, akhir Musim Panas 223 Shirena.Kukira sembilan hariku di dalam sana betulan sembilan hari, ternyata setengah dupa pun tidak.Benar. Setelah semua orang kembali lalu portal dunia lain tadi lenyap, dupa yang kulihat saat itu ternyata masih utuh—tidak benar-benar utuh, tapi sisanya sungguh sangat banyak.“Benar-benar singkat,” gumamku pas semua orang kumpul bersama anggota sekte masing-masing, “jadi kami cuma pergi selama sekitar tiga puluh enam menit ….”Hem. Aku tidak bisa bilang apa-apa lagi ….*** Malamnya, di jamuan Sekte Burung Api. Saat Pertemuan Gerbang Dunia Kecil berakhir.“Apa ini, Saudara Mi?”Aku menoleh, pasang muka senyum, terus lanjut pada kegiatanku—menyeruput mangkuk di tangan sebelum meletakkannya ke tumpukan di meja.“Kau benar-benar lahap—”“Satu, dua … dua puluh satu. Ada dua puluh satu mangkuk mie—heeei, Saudara Mi menghabiskan dua puluh satu mangkuk sendiriaaan!”Teriakan Sun Ling membuat suasana sekitar mejaku mendadak ramai.“Hahaha—Semua, lihat meja Saudara Mi!” teriaknya lagi, kali ini sambil cekak pinggang puas di depan semua orang yang mendadak mengerubungi kami. “Saudara Zu, Saudara Bo, lihat … ada tiga sama setengah tumpuk mangkuk kosong di sini, rekor Raja Pelahap milik Saudara Wen sudah dikalahkan.”“Hahaha, benar.”“Lihat-lihat ….”Kemeriahan malam tersebut berlanjut. Selain adu porsi makan, satu demi satu bakat bermunculan. Aku sampai bingung acara apa sebenarnya jamuan saat itu saking ramainya penampilan di sekitarku ….*** “Saudara Mi.”“Terima kasih, Saudara Sun. Kuda merahku ada di sini, kau dan Saudari Lan gak perlu mengantar lagi.”“Sayang Saudara Wen mabuk berat,” balas Sun Ling yang lalu memberi hormat, “aku hanya akan mengantar sampai gerbang ini. Saudara Mi, tolong jaga diri di perjalanan.”“Saudara Mi.”“Saudara Sun, Saudari Lan ….”Setelah mengembalikan Tameng Topeng Hantu dan jamuan Burung Api selesai, aku pun pamit pulang. Tidak ada alasan bagiku ‘tuk berlama-lama di sana, apalagi semua urusan terkait Dunia Kecil sudah selesai dan aku masih harus menanam herba sama membuat sarang si Oka di padepokan. Meski masih ada acara ramah-tamah buat menyanjung anggota-anggota inti di persekutuan, siapa aku sampai mau tetap tinggal?Jadi biar enak mending tahu diri saja ….*** “Okaaa!”Seminggu kemudian.“Woi, Burung Hantuuu!” Aku dibikin gemas gegara ladang herba dirusak hama. “Kau kupiara buat menjaga ladangku supaya jangan kena hama, tahu!” pekikku pada burung abu-abu yang lagi bertengger di atap tembok halaman belakang sekte sana, “kenapa kau biarkan tikus-tikus itu memakan setengah ladangku, hah?!”Ia memalingkan muka.“Woi—”“Kenapa ribut-ribut?”“Ah, Ketua!” Aku langsung berbalik dan buru-buru menghadap Ketua Sekte. “Ini …, ladang herba kita rusak diserang hama tikus sama kelinci liar.”“Hama? Tikus? Kelinci?”‘Lihatlah sendiri!’ gumamku dalam hati sembari mengayun tangan ke arah ladang, mempersilakan beliau untuk menyaksikan langsung bagaimana keadaan halaman belakang kami. ‘Ladang herba yang baru kuolah seminggu ini bak kapal pecah ….’“Hah.” Ketua hela napas, menggeleng, kemudian berbalik. “Sekarang sudah masuk musim gugur,” ujar beliau sambil lalu, “aku tidak menangkap poin kenapa baru menanam herba sekarang ….”Benar. Selain tanaman musiman, menanam herba di musim gugur memang tak seefektif musim semi. Namun, diriku juga bukan tidak punya cara. Itu makanya aku kesal pas formasi ladang dirusak hama ….“Oi, Oka. Sekali lagi kau biarkan ladang sama tanaman-tanamanku dimakan hama, siap-siap saja cakar, paruh, sama bulu-bulumu kucabuti terus batu sihir di jantungmu kurabut terus kujadikan bahan camilan nagaku.”Dengar itu kura-kura mungilku mendekat. Lalu, naga putih yang bersemayam pada ukiran tungku di punggungnya pun menampakkan diri. Membuat si burung hantu sontak melompat dari atap tembok lantas menyambari tikus, marmut, sama kelinci-kelinci di sekitar ladang dan menelani mereka semua.“Bagus, sekarang kau betulan kerja,” kataku terus balik badan, “Kura-kura, Naga, kalian awasi dia. Aku mau ke luar sebentar ….”Bulan Tujuh 223 Shirena.Agendaku sehabis acara kemarin adalah memberikan manual beserta pedang Kristal Es Dingin kepada Saudara Seperguruan buat jadi pemungkas, tapi dirinya masih semedi dan sedang berusaha menstabilkan ranah formasi mutiara inti yang baru ia masuki. Jadinya kegiatanku sekarang cuma menunggu ….“Ketua, murid memesan jubah dengan seragam baru pada Nyonya Hong pas Anda sedang semedi. Katanya, mereka sudah jadi dan bisa diambil hari ini.”“Pergilah ….”Orang tua di depanku sama sekali tidak menoleh. Ia fokus pada kegiatannya. Bersila di depan altar dan sebuah lukisan seseorang, entah itu siapa. Hem.“Murid juga memanggil tukang untuk memperbaiki atap kuil kita—”“Selama demi kebaikan sekte, kau boleh melakukan apa pun di belakangku.”‘Bagus.’ Aku senang pak tua satu ini gak banyak tanya dan bertele-tele. “Terima kasih, Ketua.”Sangat mulus. Benar-benar mulus. Hari itu aku bisa pergi ke kota dengan alasan mengambil jubah dan bebas berbelanja barang sesuka hati tanpa takut merusak citra perguruan. Aku juga membeli sepasang kuda sama sebuah kereta untuk tunggangan Kepala sama Saudara Seperguruan ….“Terima kasih, silakan datang kembali.”“Sebelum pulang enaknya ngapain dulu, ya?”Aku sedikit lapar, jadi kuparkir kereta baruku di depan sebuah kedai.“Selamat datang, silakan-silakan ….”“Apa menu andalan restoran kalian?” tanyaku pada pelayan yang mengantar ke bilik kosong di lantai dua lalu menaruh dua keping perunggu di meja, “aku pesan tiga porsi, dua mau kubawa pulang sama satu makan sini.”“Ah, menu andalan kami adalah Daging Panggang Saus Tiram, Tuan … sebelum dibakar, daging sudah lebih dulu direndam selama satu malam dalam air rempah agar bumbunya meresap.”“Daging apa yang kau pakai?”“Kami biasanya memakai banyak daging, tapi yang paling disukai di sini iga orc sama kaki trol—”“Pakai daging sapi atau rusa,” selaku terus menggeleng lalu mengayunkan tangan, isyarat agar si pelayan pergi dan memberiku ruang. Penasaranku langsung hilang pas ia menyebut daging monster. “Kalau dua bahan itu gak ada, aku pesan ayam bakar saja.”“Baik, mohon tunggu sebentar ….”Sembari menunggu, mari nikmati suasana kedai ini.Karpet merah terhampar dari pintu masuk hingga panggung di antara tangga menuju lantai dua, susunan meja dengan empat bangku panjang berbahan kayu merah di kanan kiri, terus ada bunga sama rak wewangian dekat dinding yang berperan sebagai pengharum ruangan.Naik satu lantai, lantai dua tempatku melongok ke bawah sekarang, terdiri atas bilik-bilik berpembatas kayu mahoni mengitari panggung di bawah sana. Desain tiap bilik agak beda, tetapi perabot pengisinya kurang lebih sama. Meja dengan kursi bundar, rak, vas, juga bunga-bunga tambah wewangian.Sebetulnya masih ada satu lantai lagi, cuma gak bisa kugambarkan karena mereka macam kamar-kamar khusus.Terus makananku juga sudah keburu datang ….“Pelanggan. Daging Panggang Saus Tiram beserta pelengkap, silakan ….”“Terima kasih.”Ngomong-ngomong, soal kata khusus. Dunia kecil Burung Api kemarin bukan satu-satunya di Pagar Tengah. Maksudku, masih ada banyak kanal mini yang tersambung ke Eldhera dan berada di bawah pengawasan sekte-sekte di persekutuan. Jadi fungsi sekte zaman ini bukan sekadar mengajarkan ilmu bela diri macam di zamanku sama era Guru Kyongdok, tetapi juga sebagai jembatan buat terhubung dengan dunia ajaib di luar sana.Begitu ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

19 - Pertemuan Gerbang Dunia Kecil

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana?”“Seperti yang Anda perkirakan, Tetua. Monster-monster besar memang muncul dan sebagian telah membawa pasukan mereka mendekati Pilar Cahaya Naga ….”Hari keenam di Dunia Kecil.Cahaya putih kebiruan telah muncul dan menarik banyak makhluk mistis mendekat ke satu tempat, Makam Pusaka dan Kancah Raja Binatang, jantung area pertama sekaligus titik paling tinggi sedunia ini.Fenomena yang seharusnya baru akan terjadi setelah hari keseratus pintu Dunia Kecil terbuka ….“Sudah kuduga,” ujarku dari punggung Oka, “kumpulkan semua pengokohan fondasi tahap menengah.”Kukeluarkan pil-pil yang rencananya memang mau kubagikan.“Aku punya delapan belas pil penerobos ranah,” kataku lantas memperjelas, “gunakan buat menyempurnakan ranah kalian ke tahap puncak. Bagikan juga pil-pil penambah mana sisanya ke anggota lain, begitu para fondasi tahap menengah selesai semedi kita akan menyerbu Pilar Cahaya Naga ….”*** “Seraaang!”Hari ketujuh.Denting senjata beradu dan auman silih sahut. Begitulah situasi sekarang, monster-monster besar membawa pasukan untuk saling gempur lalu para praktisi dunia luar menunggu sembari menonton di pinggiran.Sementara aku, dari atas punggung Oka dengan dibantu oleh tiga puluh dua pertapa ranah pengokohan fondasi tahap puncak, tengah menerjang para penghadang sambil menyongsong cahaya putih kebiruan yang kini telah dililit oleh seekor ular naga. Hendak merebut sebilah pedang sebelum didahului pihak lain ….“Tetua, mereka makin banyak.”“Benar, monster-monster ini mengincar siapa saja yang mendekati puncak—”“Kalian jaga di sini!” pekikku yang lalu mengentak Oka agar terbang semakin masuk ke jantung area pertama dan mendekati Pilar Cahaya Naga di depan, “halau siapa pun yang mau menyusulku ….”Semakin masuk ke kancah pertempuran di Kuburan Pusaka, makin ganas dan banyak pula makhluk-makhluk yang berusaha menghadangku dengan para praktisi luar dunia ini. Mereka mengayunkan cakar, paruh, taring, bahkan melempar sihir membabi buta ke arah kami.Semakin dekat ke tujuan, pemandangan yang kulihat pun makin mengerikan. Monster-monster besar beradu nyawa. Angin, gempa, longsor hingga hujan batu, mereka lempar ke satu sama lain.Benar-benar menakutkan ….*** “Tetua.”“Tetua.”“Pertempuran ini bukan ranah kita …,” kataku begitu para praktisi dunia luar menyusul, “diriku tidak ingin melanjutkannya, kalian pulang saja.”Kukeluarkan Pil Penghalang Lapis Ganda yang kujanjikan.“Diriku tidak tahu kalian akan membaginya bagaimana, tapi perjalanan ini sudah selesai.”Mereka silih lirik sebelum salah seorang mengambil pil tersebut dan berterima kasih.“Tetua, Sekte Lembah Bukit Ganda akan mengingat kebaikan i—”“Tunggu!” Kuminta Oka berbalik. “Kalian dari banyak perguruan …,” lanjutku kemudian mengeluarkan Pil Penghalang Lapis Ganda yang memang mau kubagikan, “dengan satu di tanganmu, pil-pil ini jadi selusin.”“Tetua?”“Suasana hatiku sedang bagus, semoga kesan kita tetap baik di pertemuan berikutnya ….”Hari kedelapan. Pertempuran kian sengit. Mengandalkan ranah pengokohan fondasi untuk menerobos pagar Pilar Cahaya Naga saja takkan cukup, jadi kububarkan pasukanku tepat sebelum monster-monster besar menggila.“Maksudku biar korban yang berjatuhan jangan terlalu banyak,” terangku pada Oka waktu para pengokohan fondasi itu kembali, “lagi pula hampir semua praktisi luar dunia ini sudah pada pulang juga, ‘kan?”Burung hantuku tidak menjawab, dirinya memutar leher sekian ratus derajat buat melihatku.“Kenapa melihatku begitu?” tanyaku, balas menatapnya. “Kau mau bilang aku terlalu ‘lembut’ sama mereka, gitu …, daripada itu mending sekarang kau terbang ke dekat cahaya di sana, mumpung mereka lagi sibuk.”Benar. Mumpung pertarungan ular naga melawan serigala juga burung raksasa di sana sedang sengit, kenapa gak ambil kesempatan saja? Selagi Oka mampu menyelinap dan terbang melintas ke dekat pilar cahaya putih kebiruan tersebut, diriku pun bisa menarik pedang pusaka beserta manual di sana pakai Benang Pandora. Mudah, bukan?*** Hari kesembilan, atau kukira tadinya begitu.“Akhirnyaaa!”Diriku keluar dari Dunia Kecil.“Saudara Mi!”“Saudara Mi, hati-hati ….”Mendarat di depan banyak orang dengan satu keranjang penuh herba dan tiga keranjang kosong ditumpuk di punggung, hampir saja diriku tertarik jatuh ke jurang kalau tidak cepat-cepat dipegangi para senior dan murid-murid sekte di sana. Hah ….“Junior Mi.” Juga, pak tua yang sepertinya sangat cemas menungguiku. “Kau hampir membuatku jantungan. Kupikir dirimu sudah—ah, sudahlah. Terpenting sekarang ….”Paham akan lirikan sang Tetua Sekte Burung Api, lekas kuambil Pil Pemadat Inti buatnya.“Ahaha.” Ia langsung semringah, terus lupa pada sekitar. “Pil Pemadat Inti, hahaha …, sekarang aku akan bisa menerobooos!”Lupakan pak tua yang lagi kegirangan di sana. Hampir semua murid sekte di persekutuan telah kembali, bahkan orang-orang yang membantuku menerobos Kuburan Pusaka, mereka ada di sini.Tidak ada yang kurang kecuali ….“Saudari, apa Saudara Sun dan Saudara Wen belum kembali?”Gadis dari Sekte Lembah Tenggara, Nie Lan, menggeleng.“Orang-orang bilang Dunia Kecil tiba-tiba jadi aneh,” ucapnya yang kemudian mengeluarkan sebuah benda menyerupai cermin delapan sisi, “guruku bahkan telah menghitung peruntungan di sana, tapi …, Saudara Mi, aku takut sesuatu terjadi pada Saudara Sun dan Saudara Wen.”Kalaupun benar terjadi sesuatu, aku tidak bisa berbuat apa-apa.“Saudari. Saudara Wen dengan Saudara Sun bukan praktisi amatir, jadi kuyakin mereka baik-baik saja.”“Semoga yang kau katakan benar ….”Ya. Aku tahu. Dunia Kecil memang berbahaya.Ular Naga Sisik Emas tidak mau melepaskanku sama si Oka dan terus mengejar kami sampai ke gerbang masuk setelah buku dengan pedang pusakanya kusambar beberapa saat lalu.Jika semua murid yang belum kembali ternyata tertahan gegara makhluk itu maka ….“Saudara Mi!”“Apa yang kau lamunkan, Junior?”“Ah, Tetua ….” Kaget tiba-tiba ada pak tua tengah berdiri sebelahku, aku pun lekas membuat jarak kemudian memberi hormat. “Diriku hanya kurang fokus, maaf.”“Kudengar Tetua Ong sebelah sana mendapat keberuntungannya lewat darimu.” Pria paruh baya yang baru menegurku tersenyum, ia lantas mengeluarkan sebuah lempeng giok. “Sekte lembah air hijauku tidak pernah ada dendam dengan Sekte Bukit Muara,” ujarnya lalu, “kenapa kita tidak—”“Orang tua licik!” pekik Tetua Ong, buru-buru mendekat terus menimpali si pak tua begitu saja. “Kau mau menipu bocah ini, ‘kan—dasar bedebah! Junior Mi, jangan percaya omongannya.”“Huh!” Pria tadi mendengkus. “Jangan serakah, Tetua Ong. Bukit Muara bukan hanya sahabat sektemu.”“Kau—”“Apa?!”“Apa kau bilang barusan …?!”Aku menoleh lalu mendekat ke Nie Lan.“Saudari, maaf. Tetua tadi …?”Mengerti maksud lirikanku, gadis itu mendekat lantas berbisik.“Beliau dari Sekte Lembah Air Hijau,” ucapnya pelan, “tetua sekaligus alkemis utama mereka ….”Kutoleh pak tua tadi dan Tetua Ong sekali lagi, terus balik melihat si gadis yang langsung mengangguk.“Buat apa orang sepenting dirinya menegur junior amatir sepertiku?”“Entah.” Nie Lan menggeleng. “Namun, kurasa ini ada hubungannya dengan pil yang kau berikan pada Tetua Ong di tebing sana.”Pil? Maksudnya Pemadat Inti?“Benar. Pil Pemadat Inti tadi. Selain mencolok, pilmu bisa kucium dari sana ….” Ia menunjuk barisan pohon seberang kerumunan orang yang lagi menyalakan api unggun, lumayan jauh dari bibir tebing tempatku hampir jatuh.“Apa aroma pilku bau?”“Ffft!” Saudari Lan tertawa pelan. “Bukan. Malah sebaliknya, bau pilmu sangat harum ….”Hem. Aku masih belum menangkap apa yang terjadi.Namun, bila ini merupakan pertanda baik maka biarkan saja. Toh, diriku memang butuh banyak tangan sekte ‘tuk rencana berikutnya. Jika pil-pil penerobos ranah bisa menarik mereka, kenapa tidak kumanfaatkan.Ya, ‘kan?***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

18 - Kuburan Pusaka

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Hem ….”Aku berjongkok, menyentuh permukaan tanah terus toleh kanan kiri, berdiri kemudian menyisir area sekitar pakai mata perak sekali lagi.“Heran.” Di sana, area bekas pertempuran cincin lapis empat yang tekanannya sampai ke gerbang Dunia Kecil, benar-benar unik. “Gak ada residu selain ….”Benar, aku kembali lagi waktu aura cincin lapis empat atau yang orang zaman ini sebut ranah pembaruan aura tadi mengagetkanku. Begitu ceritanya, jika kalian tanya kenapa masih di sini padahal sudah bilang mau keluar sama Wen Tong dan Sun Ling.Hanya, aku juga sama herannya pas datang kemari sudah tidak ada apa-apa selain kerikil yang kupegang.Jadi jangan tanya apa-apa dulu ….“Aku gak bisa menebak batu apa i—gawat!”Orang-orang mulai berdatangan. Sebaiknya segera pergi ….*** “Hem.”Hari keempat di Dunia Kecil.Tadinya aku mau pulang. Toh, tungku di punggung kura-kura mungil sama empat keranjangku sudah penuh herba. Jadi buat apa lagi aku di sini, ya, ‘kan?Begitu niatku, tadinya.Bahkan sebagian, herba-herba yang kumasukkan ke tungku, sudah kusuling jadi ratusan Pil Embun Rumput Bulan, Embun Lima Sumsum, Garis Kembar, sama Delapan Warna; puluhan butir Pil Pemudar Aura dengan Peluruh Residu Elemen; lusinan Pil Pemadat Inti, Penghalang Lapis Ganda, tambah Puncak Enam Kelopak; terus belasan Pil Bubuk Aroma Mimpi.Totalnya ada tiga ratus tujuh puluh enam butir.“Kurasa cukup. Ambil sebutir buat Pak Tua Ong, separuhnya mau kubagikan, dan sisanya buat kusimpan.”Setelah kukurang-kurangi, masih ada seratus delapan puluh tujuh butir. Mereka bisa kupakai buat menaikkan ranah Ketua sama Senior Qin. Mwehehe.‘Makin cepat orang-orang sekteku naik ranah, makin cepat pula aku menjemput Berlian ….’ Begitulah isi kepalaku saat itu sampai tiba-tiba ….“Adaw!” Sesuatu menyambar terus mencengkeram bahu kiriku hingga aku spontan menoleh dan menjerit.“Aaa—hantuuu ….”*** “Burung hantu nakal!”Kusentili burung abu-abu bermata besar dengan kepala bulat yang sesaat lalu hampir membuatku jantungan. Dia, si burung hantu, muncul tiba-tiba dan melotot sebelahku sampai aku menjerit gegara kaget. Gegara itu juga para praktisi dari banyak sekte berlarian ke tempat yang kugunakan buat menyuling pil mana. “Kenapa kau bikin aku kaget tadi, hah?” Berani-beraninya burung kepala bundar sama mata mirip kacamata ini menyambar bahuku pas diriku lengah. “Huh! Cari mati …, nih, mamam …, nih, sekali lagi ….”Ngomong-ngomong, makin kuperhatikan binatang kecil di genggaman tanganku itu imut juga. Kepala bulat sama penampakan muka mirip parabola, mata cincin warna kuning nan sayu, terus paruh mungil. Cantik buat jadi peliharaan.“Woi, Burung. Gara-gara kau tempat sembunyiku sekarang hilang, tahu. Gimana aku mau buat pil lagi kalau banyak orang di guaku sana, hah?!Buat hukuman. Kau harus jadi tunggangan terbangku—apa?! Kau bilang apa barusan …?”Makhluk mungil di tanganku buru-buru menggeleng terus pasang muka manis, bak lagi senyum, sama sedikit terkekeh pas kupelototi. “Bagus.” Ia menyerah. Mulai malam tersebut si burung abu-abu kunamai Oka terus kujadikan tunggangan terbang ….*** “Sekarang apa?”“Dunia Kecil terlalu aneh.”“Aku setuju ….”Dua hari kudengar komentar senada di gerbang area pertama sama ujung area kedua.Dunia Kecil anehlah, tiba-tiba cuaca tak tertebaklah, terus semua herba sama tumbuh-tumbuhan spiritual area dua mendadak tidak tumbuh, dengan seabrek keluhan terhadap dunia ini. Poin ketiga gegara ulahku. Soal herba di area kedua. Bukan tidak tumbuh, tapi dirikulah yang sudah memanen mereka pas kabut racun ungu masih ada.Kalau soal kejanggalan lain, aku gak tahu.“Oi, Oka. Aku bosan rebahan di pohon, ayo ter …, hem, waktu masih mungil kau gak nolak kusuruh terbang buat mencari orang dari sekte Burung Api sama Empat Puncak Bambu. Kenapa pas badanmu besar tiba-tiba takutan gini sampai bilang enggak mau kena sambar petir?”Burung itu memutar kepala seratus dua puluh derajat.“Batasan gak akan menyambarmu kalau terbangnya di bawah seratus hasta—Cek! Baiklah-baiklah ….” Aku menyerah, kurasa burung hantu tetaplah burung hantu. “Alasanmu kebanyakan, Oka. Jalan saja kalau gitu ….”Beda dengan si Mera sama kura-kura mungil, burung hantu yang lagi menggendongku sekarang benar-benar bawel. Bukan cuma berpengetahuan sampai bisa memberitahuku serba-serbi Dunia Kecil secara rinci, burung satu ini ternyata juga banyak tawar terus pilih-pilih.“Aku sudah dengar soal Formasi Belenggu Naga sama Hujan Pedang,” kataku, meminta si burung hantu abu-abu agar ganti topik. “Kapan kita—kau bilang apa?!”Ia menoleh, lagi.“Barusan, sebelum Kuburan Pusaka …, nah, nah … itu, benar—oooh ….”Hem. Pengetahuan burung satu ini boleh juga. Selain tahu banyak soal benda-benda ajaib beserta warna-warni penghuni Dunia Kecil, dia juga mahir melacak hewan mistis dan punya perbendaharaan data tentang habitat mereka.“Bagus.” Meski baru sebatas pengakuan, aku sudah cukup senang. “Kalau memang yang kau bilang itu benar, carikan aku sarang-sarang hewan mistis langka pas kita keluar dari sini, ya—”“Sudah mulaaai!”“Lihaaat!Jerit dengan pekik sontak menjeda dan membuatku celingak-celinguk, memeriksa sekitar sebelum melihat ke arah yang semua orang tunjuk.“Apa itu, Oka?”Merujuk keterangan si burung hantu. Pilar cahaya putih kebiruan yang lagi menjulang di depan sana adalah tanda kebangkitan naga emas, penunggu Dunia Kecil sekaligus makhluk mistis terkuat di sini.Ia bilang, ular naga sepanjang satu kilometer dengan lebar seratus meter tersebut menjaga senjata pemungkas berupa pedang putih berbahan Kristal Es Dingin. Pusaka utama yang muncul sekali tiap sekian seratus tahun.“Hem.” Aku elus dagu dengar penjelasan Oka. “Boleh juga,” komentarku terus balik rebahan di punggung si burung, “dekati tempat itu—tenang saja, biar kurapal mantra kamuflase supaya kau gak kelihatan kalau lagi membawaku pas kita di sana.”Hari keenam di Dunia Kecil.Sekali lagi, diriku malah menjelajahi dunia ajaib ini. Padahal, awalnya aku mau langsung pulang sehabis memetik herba area dua. Namun, sampai mereka kusuling jadi pil mana sama sebagian kusemai buat kutanam nanti, diriku malah asyik menunggui keajaiban di sini.Benar-benar di luar rencana. Apalagi sekarang aku tergoda ingin lihat bagaimana rupa sama penampakan ular naga penjaga pusaka utama yang Oka bilang ….“Saudara-saudara.”Semua orang berbalik.“Makhluk mistiiis!” Sebagian bahkan langsung memekik, dan ada juga yang tiba-tiba lompat ‘tuk menerjang pas lihat ke sumber suara. “Tangkap burung raksasa iniii!”“A-apa?!” Walau, ya, mereka bukan tandingannya juga. “Mu-mustahil—”“Saudara,” panggilku, berpura-pura dari balik punggung Oka dan mengisikan suara buatnya. “Diriku kemari bukan sebagai musuh, kenapa begitu tegang?”Kulempar satu Pil Penghalang Lapis Ganda ke udara.“Diriku sebetulnya hendak bertanya …,” lanjutku, mendekatkan pil tadi ke depan si burung. “Saudara, berapa tangan dan bantuan tenaga yang bisa kutukar dengan sebutir pil ini?”“Pi-pi-pil, Pil Penghalang Lapis Ganda!”“I-i-itu Pil Penghalang Lapis Ganda!”“Pil Penghalang Lapis Ganda.”“Kabarnya pil ini digunakan untuk menerobos ke ranah pembaruan aura.”“Bukan hanya pembaruan aura,” sambungku menanggapi reaksi mereka, “tetapi juga satu ranah di atasnya.”“Ra-ranah, ranah di atas pembaruan aura?!”“Benar, Saudara.” Kuberi Oka isyarat agar maju selangkah. “Pil Penghalang Lapis Ganda memang sehebat itu. Jadi, bolehkah kutahu berapa tenaga yang bisa kutukar dengan sebutir pil ini?”Semua orang mulai ribut hingga salah seorang memberanikan diri untuk maju dan bertanya.“Tetua Burung Hantu, boleh kutahu alasan kenapa Anda ingin menukar pil seberharga itu?”Dengar pertanyaan tersebut, kusuruh Oka melihat ke pilar cahaya terus maju dua langkah.“Tentu saja,” ujarku yang lalu meminta si burung berbalik terus melihat para pertapa, “diriku hendak menjadi raja monster baru dan mengalahkan semua pesaing di sana ….”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

17 - Gerbang Kanal Lain

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

Hem. Sesuai dugaan.Dunia Kecil yang katanya menghubungkan banyak dunia ini adalah mini kanal. Dia menempel pada Eldhera bak dua gelembung, kecil dan besar, lalu menghubungkannya ke kanal-kanal lain dengan cara serupa.“Hebat juga,” kataku setelah puas keliling tempat yang disebut ‘Dunia Kecil’ itu dan melihat penampakannya dari dekat, “karena terhubung ke banyak kanal, dia jadi punya pasokan energi melimpah.”Entah bagaimana cara tempat ini terbentuk, tapi jika ingat rekorku sebagai pelahap kanal mana bisa kubiarkan dia mengembang lagi, ‘kan? Jadi ….“Chloe.”[Hadir!]“Aku malas sebetulnya,” akuku pada layar ungu transparan di hadapanku, “tapi bisakah kau pasang menara di kanal-kanal yang terhubung kemari terus—”[Peluruhan kanal bisa dilakukan, tetapi apa Anda ingin menampung para penghuninya, Tuan?]Penunggu Kantong Hati Naga satu itu benar-benar cermat, sudah bisa menebak dan menyarankan beberapa pilihan padahal belum kukatakan semua keinginanku.“Aku ogah menampung penghuni kanal lain, jadi jangan sarankan ini lagi. Kirim saja ke kanal terdekat. Kalau mereka ternyata sudah punya host, pasang menara temporal di sini terus buka menu invasi.”[Dimengerti.]Kenanganku dengan penghuni kanal lain tidak bagus. Meski gak semua, tetapi kepergian Doll, Monika, sama monopoli Puing Lalika cukup untuk membuatku langsung memilih ‘peluruhan’ bila memungkinkan.Apalagi kanal mini ini rumornya juga merupakan kancah perang, sudah tentu para penghuni kanal-kanal besar yang terhubung kemari takkan punya kesan baik.Jadi mending kuambil langkah preventif saja ….*** “Saudara Mi! Sebelah sini—heiii …!”Lihat Sun Ling dan Wen Tong, murid Sekte Burung Api dan Empat Puncak Bambu, kubelokkan arah terbang kelabang merahku kemudian mendarat di sebuah bukit.“Kau penuh kejutan, Saudara Mi. Aku baru tahu kapak perangmu juga merupakan arte—”“Bukan!” potong Saudara Wen, maju selangkah ke depan Saudara Sun. “Sebelum ke sana, bagaimana caramu menghindari larangan terbang tempat ini, Saudara Mi?”“Larangan terbang?”“Benar, aku lupa!” timpal Sun Ling segera, “Saudara Mi, tempat ini melarang semua penggunaan teknik sama artefak terbang. Bagaimana caramu menghindari sambaran petir di langit dan terbang dengan kapak itu?”Sial! Aku ceroboh. Harusnya kuperiksa juga aturan kanal ini tadi ….“Ahaha. Kalian salah paham, Saudara Wen, Saudara Sun. Yang dilarang di sini itu kan teknik sama pusaka terbang, bukan melayang.”“Ma-maksudnya?”“Begini Saudara Sun ….”Aku menoleh lantas melambai pada Kelabang Merah agar mendekat.“Lihat kapak perangku ini baik-baik, dia itu melayang di udara. Bukan terbang. Saudara Wen, Saudara Sun.”“Aku gak percaya!” Dasar kritis. Murid Empat Puncak Bambu yang baru saja menangkap kejanggalanku langsung mengeluarkan pusaka terbangnya, sebuah perahu giok, kemudian mencoba teori tersebut. “Kalau melayang dan terbang benar dibedakan, harusnya perahuku juga ….”Aku dan Sun Ling selanjutnya duduk terus topang dagu melihat dirinya melakukan percobaan.“Perhatikan baik-baik,” ujar Wen Tong, mulai merapal mantra perahu pusaka tadi hingga pelan-pelan ia pun terangkat ke udara. “Eh?!” Heran tampak jelas di muka sang praktisi ranah pengokohan fondasi tahap awal tersebut. “Dulu gak begini!”“Mungkin larangannya berubah,” timpal Sun Ling sebelahku.Yang segera disanggah oleh si empunya perahu dengan menambah ketinggian. “Mana mungkin! Aku a—”Ctas! Namun, kemalangan pun terjadi.Pada titik itu, kira-kira di ketinggian seribu hasta dari permukaan tanah.Guntur menggelegar mengikuti cambuk halilintar yang sontak menjatuhkan Wen Tong sama perahu gioknya sekali entak agar mereka kembali tanah. Bdum! “Aw.” Membuatku sama karib yang menunggu di bawah spontan tutup muka, menghindari pemandangan di langit ‘tuk sesaat, sebelum bergegas memapak perahu beserta sang empunya ke tempat jatuh mereka. “Saudara Wen, kau gak kenapa-napaaa …?!”*** “Kau sudah sadar ….”“Sa-saudara Sun?”“Bagai—”Ting! Laporan Chloe muncul.Tepat ketika orang yang baru saja membuka mata sehabis jatuh kena sambar petir di depanku dengan Sun Ling mulai lompat-lompat kayak katak sambil teriak kegirangan.“Aku menemukannya, aku menemukannyaaa ….”Entah apa yang membuat Wen Tong girang, aku tidak memperhatikan. Mataku langsung fokus sama laporan Chloe di depanku pas ia bilang Dunia Kecil kini hanya terhubung dengan Eldhera ….‘Aku mengerti,’ batinku selesai baca laporannya. “Saudara Sun, Saudara Wen. Urusanku di sini sudah tercapai, aku akan undur diri sekarang. Semoga—”“Tunggu, Saudara Mi. Kabut beracun baru saja lenyap dan jalan ke area kedua baru terbuka, bukannya akan sayang bila tidak mencoba peruntungan di ladang herba sama kuburan pusaka di sana.”“Benar, apalagi sekarang kita tahu larangan terbang Dunia Kecil hanya melarang sihir terbang di atas ketinggian seratus hasta dari permukaan tanah!”“Hah?!” Sun Ling melongo dengar omongan rekan sebelahnya. “Kau bilang apa barusan, Saudara Wen?”“Saudara Sun, Saudara Mi. Aku sekarang yakin larangan dunia ini punya ketentuan spesifik setelah percobaan tadi, jadi selama kita menemukan mereka mengakali aturan-aturan di sini bukan lagi hal mustahil.”Saudara Sun meletakkan tangan ke kening Saudara Wen.“Kepalamu gak terbentur pas jatuh ta—”“Singkirkan tanganmu dari wajahku. Aku baik-baik saja. Daripada itu, Saudara Mi ….” Wen Tong melihatku optimis. “Bagaimana, mau menjelajahi Dunia Kecil ini bersama kami, ‘kan?”Aku tersenyum.“Kuucapkan selamat atas penemuan besar baruasan, Saudara Wen, dan terima kasih untuk ajakannya.” Sayang, tiga hari memetik herba di sini sudah lebih dari sekadar cukup. “Namun, keranjang herbaku sudah penuh.”Kelabang merahku mendekat, menunjukkan empat keranjang yang ia pikul. “Terus juga, kudengar area kedua dan pertama merupakan gelanggang perang serta ajang adu bakat. Aku takut dengan keahlian sekarang, diriku cuma bakal menjadi beban.”“Yah. Sayang sekali ….”“Sudahlah, Saudara Wen.” Sun Ling kelihatannya lebih pengertian. “Semua orang yang datang ke Dunia Kecil punya tujuan sendiri-sendiri. Saudara Mi bilang keranjang herbanya sudah penuh, ‘kan?”“Terus kau mau bilang jika memetik herba area luar saja sudah cukup, hah?” timpal karibnya sambil menoleh gemas, “kau yang paling tahu herba-herba area kedua jauh lebih langka dan berharga ….”Hem. Dia pikir dari mana tumbuh-tumbuhan di keranjangku. Semua herba kupetik dari area dua pas tempat itu masih diselimuti kabut asap. Asal tahu saja, ya!“Hah ….” Sayang, aku gak bisa mengatakannya karena masih harus merendah. “Saudara Wen, Saudara Sun. Sekali lagi terima kasih, tapi sumber daya sekteku masih sangat terbatas, takutnya jika menunda keluar sekarang herba-herba ini malah gak bisa kubawa pulang.”“Hem. Benar juga. Setelah kabut beracun lenyap seluruh sekte dari setiap dunia akan saling sergap, langkahmu masuk akal, Saudara Mi.”Akhirnya, bocah bermarga Wen itu mau melepaskanku.“Ahaha. Terima kasih, Saudara Wen.”“Baiklah, kita berpisah di sini saja. Aku dan Saudara Sun akan menjelajah area kedua buat memetik herba sama mencari pusaka di area pertama. Kami akan pulang setelah dapat harta karun naga, hahaha ….”Begitulah. Usai berpisah dengan keduanya aku lanjut menuju gerbang masuk, hendak kembali ke Eldhera dan mengolah herba-herba yang kudapat dari ‘dunia kecil’ tersebut. Sampai tiba-tiba ….Bdum! Dentuman keras diikuti tekanan berat khas ranah cincin lapis empat atau pembaruan aura yang datang dari arah belakang sontak menjeda langkah hingga membuat diriku berbalik ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

16 - Dunia Kecil

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Oi-oi-oi ….”Sontak kutaruh perkakas kebun terus lari ke gerbang depan segera, memapak para pertapa cincin lapis ganda yang baru saja mendarat di depan Gerbang Sekte Bukit Muara.“Berhentiii!” pekikku, menghalau mereka agar jangan mendekati kuil tempat Ketua dan Saudara Seperguruan semedi. “Ketua sama seniorku lagi menjalani latihan tertutup, kalian gak boleh mengganggu. Kalau ada perlu atau punya urusan dengan sekte ini, bilang padaku saja!”Tiga orang tadi silih lirik.“Aku gak salah dengar, ‘kan?”“Itu yang mau kutanya.”“Salam, Saudara.”Dari tiga orang tersebut, hanya satu yang sepertinya mengerti tata krama.“Nona baju merah dengan tusuk konde naga menggigit mutiara, kau lebih baik daripada dua pria di belakang,” ucapku sebelum membalas sapanya penuh senyum, “salam juga, ada yang bisa kubantu?”“Terima kasih, boleh kutahu dengan siapa diriku bicara?”Menjawab si wanita muda, kukenalkan diri sebagai Murid Kedua Sekte Bukit Muara lantas menjamu mereka di meja halaman depan tak jauh dari tempat kami bicara, dan setelah berbasa-basi hingga menanyakan maksud kedatangan mereka sekali lagi aku pun tahu seremeh apa kedudukan sekte ini di Persekutuan Pagar Tengah.Ya. Kalian gak bakal percaya kalau kubilang Bukit Muara ada di peringkat terbawah dari sekian ratus sekte di persekutuan, benar-benar paling bawah.Saking bawahnya sampai kini aku merasa harus melakukan sesuatu ….*** “Saudara Mi!”Senyumku spontan mekar, lekas kulambaikan tangan membalas lambaian Saudari Nie Lan. Perempuan muda yang bertamu ke Bukit Muara bersama dua utusan Persekutuan Pagar Tengah sehari sebelumnya.“Kau betulan datang?”Eh?! Pertanyaan macam apa itu?“Haha.” Kurasa dia sama dua laki-laki kemarin bertaruh sekteku takkan mengirim orang kemari. “Tentu aku datang, Saudari Lan. Bukankah Saudara Wen bilang ingin mengajakku menjelajah Dunia Kecil?”“Saudara Wen tidak serius dengan ucapannya, Saudara Mi.”“Saudara Sun.”Dan, ya, dua orang menyebalkan kemarin juga datang.“Salam, Saudara Sun, Saudara Wen.”Bukan hanya mereka. Situasi tempat ini jauh lebih ramai ketimbang apa yang kudengar, ada lebih dari seratus corak seragam sama jubah berbeda pas diriku tadi turun dari punggung si Mera. Kurasa sekurang-kurangnya anggota inti tambah setengah persekutuan semua berkumpul di sini.“Saudara Mi. Sektemu baru pertama kali mengirim orang kemari, mari kukenalkan pada tetua sekteku ….”Akhir Musim Panas 223 Shirena. Sebagai refresentasi Bukit Muara, hari itu aku datang ke pertemuan di Lembah Dua Tebing setelah memasang formasi penghalang dan menulis pesan buat Ketua sama Saudara Seperguruan di sekte.Kubilang pada mereka: Aku mau menulis ulang sejarah sama mendongkrak popularitas lewat acara persekutuan yang banyak terlewat sekian dekade terkhir, jadi berlatih saja dengan tenang terus terobos rintangan ranah sampai titik paling tinggi dan tunggu kabar baik pas diriku pulang.Begitu ….“Tetua Ong. Saudara Mi, ini adalah Tetua Sekte Burung Api, Tetua Ong Kin.”“Salam, Tetua.”“Kau bukan ranah pengokohan fondasi, apa Ketua menyuruhmu kemari buat menyapa dan memberikan kami hadiah lagi—hahaha! Aku paham bila Bukit Muara sedang menghadapi masa sulit, jadi kenapa repot-repot?”Menyebalkan. Apa citra sekteku separah itu?!“Ahaha.” Mari lihat pak tua ini bakal berlagak sejauh mana. “Anda salah paham, Tetua. Diriku kemari bukan sekadar ‘tuk menyapa, tetapi juga buat turut mencoba peluang dan cari pengalaman di Dunia Kecil bersama rekan-rekan dari sekte lain,” kataku yang lalu mengangkat tangan, “soal standar ranah ….”Kutarik aura sekitarku kemudian memadatkannya.“Pe-pengembunan hawa, pengokohan fondasi?!”“Di-dia menerobos dua ranah!”“Dan-dantian-nya di luar tubuh!”Lihat reaksi yang kudapat. Hanya membentuk manik energi saja sudah seheboh ini, apalagi kalau kutunjukkan hasil akhir latihan mereka yang katanya butuh ketelatenan sama ketekunan bertahun-tahun itu. Bisa-bisa copot mata mereka ….“Bagaimana?” Kusenyumi tetua tadi. “Aku sudah memenuhi standar minimum, ‘kan?”“Huh.” Ia mendengkus lalu berpaling ke arah lain. Meski mukanya masih kelihatan kaku dan datar dari luar, tapi kutahu bila diriya juga tercengang. Buktinya. “Aku selalu penasaran kenapa Ketua Sekte Bukit Muara masih berada di pengokohan fondasi tahap awal selama hampir dua dekade. Namun, pas melihatmu menerobos dua ranah dengan dantian di luar tubuh semurni itu, kini penasaranku sudah terjawab.Tolong sampaikan salamku kepada Ketua, kapan-kapan aku akan mengunjunginya.”Dengar sendiri, ‘kan?Penasaran, titip salam, terus terang-terangan bilang mau berkunjung.Apa lagi kalau bukan karena terpukau—mwahahaha ….“Ah, ya, Tetua!” Mumpung dapat kesan bagus, segera kudekati si pak tua. “Katanya Anda sedang menghadapi krisis serta tertahan di formasi mutiara inti tahap menengah, apakah benar?” bisikku lekas menawarkan sebuah kesepakatan, “jika ya, tolong jangan ke mana-mana sampai diriku kembali dari Dunia Kecil. Aku punya sesuatu yang harus kuberikan pada Anda ….”Aku tahu ia tertahan di cincin lapis tiga tahap menengah dari aura tubuhnya yang keruh.Orang-orang seranah atau di bawah sang tetua takkan tahu, tapi praktisi dua level di atasnya atau lebih tinggi bisa melihat jejak-jejak penerobosan yang gagal dari kekeruhan aura tersebut. Bila bukan teknik akumulasi energi, masalah ini biasanya karena kualitas obat spiritual buruk.Jadi kalau kutawarkan obat dengan kualitas bagus, seharusnya dia dengan suka rela akan bersedia menjadi batu pijakan menuju Bukit Muara yang membumi demi menerobos kebuntuan ranah sekarang.Benar, ‘kan?“Apa Ketua Sekte yang menyuruhmu?”“Apa harus kubilang?” Kulihati dirinya sambil menjuling sebelum lanjut berkata, “Tetua, kalau Anda merasa ragu dan ingin menolak juga gak apa-apa.” Aku kemudian duduk sebelahnya.“Pil pemadat intiku tinggal kujual ke sekte lain—”“Apa kau bilang?!”Bagus, dinding muka datarnya runtuh.“Ahaha ….” Dia kini pasang senyum lebar dan jongkok menghadap sebelahku. “Aku gak salah dengar, ‘kan, Junior Mi. Barusan kau bilang pil—”“Lihat, portal Dunia Kecil terbukaaa!”Haha. Tahan penasaranmu, Pak Tua!Aku belum punya pil pemadat inti sekarang. Namun, bila Dunia Kecil yang pintunya baru terbuka ini sungguh seperti penggambaran Saudari Lan dan dua orang kemarin, maka menyulingkan satu buatmu bukan masalah. Jadi ….“Tetua, aku harus pergi sekarang. Jika penilaian ketua sekteku pada Anda benar, pil itu akan kuberikan setelah berhasil kembali—sampai jumpa ….”Begitu kataku terus lompat ke barisan di bawah sana, berkumpul bersama para calon penjelajah Dunia Kecil ‘tuk mendengarkan arahan sebelum berangkat.“Saudara Mi”“Saudara Wen.” “Aku baru pertama kali ini lihat Tetua Ong seperti tadi. Biasanya beliau sangat tegas dan selalu bersikap dingin di depan semua orang, tapi be—”“Saudara Mi!” Orang yang mengenalkan sang tetua padaku tergopoh menghampiri kami, Saudara Sun. “Hah, hah, hah … Tetua menyuruhku meminjamkan Tameng Topeng Hantu padamu, ini!”“Waaah! Hal bagus apa itu, Saudara Mi?” Saudara Wen merangkulku lantas berkomentar, “Sekte Burung Api terkenal lebih pelit daripada sekte empat puncak bambuku, kau tahu. Mustahil mereka bakal mau sembarangan meminjamkan pusaka begini.”“Jangan samakan sekteku sama sektemu, Saudara Wen!” timpal orang yang baru mengasongkan tameng ajaib barusan, “gak usah dengarkan ocehan orang ini. Saudara Mi, sekteku terkenal dengan reputasi baik dan selalu memegang janji ….”Memegang janji?Hem. Pak Tua Sialan. Dia ingin aku merasa berutang budi cuma mengandalkan tameng rapuh begini ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

15 - Bukit Muara

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Ini tempatnya, Tetua?”“Benar.” Pak tua yang mengantarku ke depan gapura di kaki sebuah gunung cekak pinggang, kelihatan amat bangga. “Setelah naik tangga ini, Anda akan sampai di Sekte Bukit Awan.”Musim Panas 223 Shirena.Usai memoles kapak perangku hingga ia kini dijuluki Kelabang Merah selama satu setengah musim tanpa jeda, aku akhirnya keluar dari Pagoda Kubang Naga buat memenuhi ‘undangan’ mertua.Mendaftar ke sebuah sekte sebelum datang padanya dan menjemput Berlian ….“Terima kasih, Tetua.” Setelah memberi pak tua tadi sekeping emas buat imbalan mengantar, langkahku berlanjut. Mendaftar ke Bukit Awan, belajar mantra pertapa zaman ini sampai punya nama baik, lalu pergi ke Mentari Gelap dan terakhir menyapa mertua.Hem. Sepertinya mudah.*** “Hallo.”Petugas di depan gapura Aula Buku Bambu, tempat pelamar mendaftarkan diri ke Bukit Awan, melirikku dari atas sampai bawah. Bukannya membalas sapaan barusan, mata si petugas malah lincah menyisir lekuk-lekuk tubuhku bak mencari sesuatu hingga aku bergidik dan mendadak mual.“Petugas, aku datang dari desa di tepi Kubang Naga ….” Kuambil sekeping perak lalu kutaruh di mejanya. “Jika Anda mencari barang berharga di tubuhku, tolong berhenti.”Ya. Lupakan Saja.Kecuali kantung uang semua barang kusimpan di Kantong Hati Naga, dan benda ‘rajutan’ shaman empat suku itu takkan bisa dilihat penduduk Eldhera selain oleh para pemegang mata perak.Jadi tolong berhenti menatapiku!“Mau mendaftarkan putramukah?” tanya si petugas, bersuara usai puas ‘menyelisik’ sekitar pinggangku tanpa hasil. “Silakan tulis nama—”“Bukan.” Kuambil kuas dan buku yang ia asongkan. “Aku bukan mau mendaftarkan putraku, Tetua.”“Eh?!” Dirinya kini melihatku, lagi. “Terus nama siapa yang kau tulis di sini?”“Namaku.”“Hah—hahaha ….”Orang itu langsung terbahak. Begitu saja, tanpa ancang-ancang dan tanpa penjelasan.Teramat tiba-tiba sampai diriku bingung sendiri. Menyebalkan, memang.“Kau sedang bergurau, ‘kan?”“Ke-kenapa?”“Sekte Bukit Awan cuma menerima anak-anak atau paling telat yang baru mengikuti upacara kedewasaan setahun sebelum mendaftar,” jelasnya sebelum kemudian mencelupkan kuas, hendak menimpa namaku. “Kau terlalu tua untuk ber—”“Tunggu!” Cepat-cepat kutahan tangannya. “Tunggu, Tetua. Kalau syaratnya cuma tubuh anak-anak, aku bisa. Sebentar ….”Kurapal ulang Mantra Formasi Tubuh, mengembalikan diriku ke wujud terakhir sewaktu meminum Ramuan Darah Naga dahulu dan berharap sekali ini dapat kelonggaran.Namun, beda hasil dengan keinginan, yang kuterima bukanlah maklum.Melainkan jerit kencang.“Silumaaan!”Benar. Ketika itu seisi Bukit Awan langsung keluar lantas mengejarku gegara salah paham, dan meski berhasil meloloskan diri dengan pergi dari wilayah mereka tepat waktu pencarian terhadapku tetap berlanjut.Orang-orang ini bahkan menyebar selebaran sampai ke negara tetangga. Luar biasa ….*** “Huh. Orang-orang itu membuatku susah bergerak ….” Rencana terus berjalan. Meski bukan dimulai dengan mendaftar ke Bukit Awan, diriku tetap akan mempelajari mantra pertapa zaman ini sampai nanti bertemu ayah mertua dan menjemput pulang Berlian.Benar. Itu rencanaya. Hanya ….“Aku sudah melamar ke banyak sekte dua bulan ini, tapi mereka menolak karena gak nemu akar spiritual atau bilang diriku ketuaan buat mulai jadi praktisi sekarang … begitulah, Tetua. Jadi tolong jangan sungkan padaku, langsung bilang saja jika Anda mau menolakku juga.”Ya. Aku sudah siap mental.Dua bulan keliling banyak gunung dan bukit demi menemukan sekte yang mau menerimaku, apa kalian pikir diriku kini peduli jika ditolak sekali lagi?Pahitnya, kalau benar-benar gak ada yang mau menerima, aku akan mendirikan sekte sendiri.“Bagaimana?”Orang di depanku hanya tersenyum. Hampir aku salah kira waktu ia hela napas lelah dan putar badan dari meja depan kuil bobrok tersebut. Kukira diriku bakal kena tolak lagi kalau saja pak tua rambut putih sepunggung dengan tusuk konde ranting petai cina satu itu tidak menoleh lalu memanggil pas aku mau balik badan.“Kenapa masih bengong, kita harus mengadakan upacara penerimaan di dalam ….”Minggu pertama Bulan Enam 223 Shirena.Setelah menyalakan dupa serta mempersembahkan Anggur Musim Gugur Sepuluh Tahun kepada Ketua sama seratus keping perak untuk murid pertama mereka, diriku pun resmi menjadi murid kedua di sebuah sekte.Walau hanya sekte kecil di lokasi yang juga terpencil, tetapi rasa senang dan leganya tetap sama. “Sekte Bukit Muara …,” kataku, menunjuk papan nama mereka. “Ayo besarkan tempat ini sampai setingkat Bukit Karang dan Bukit Awan lalu—”“Jangan terlalu semangat, Junior Mi.”Aku sontak menoleh.“Ah, Senior, Ketua ….” Lekas kupapak ketua dan saudara seperguruanku. “Kalian sudah pulang, cepat sekali. Kukira pertemuan di persekutuan bakal makan waktu seminggu atau lebih.”“Bukit Muara bukan anggota inti, kita hadir pun takkan memberi banyak kontribusi.”“Maksudnya?” Aku tidak mengerti jawaban si pak tua.“Maksud Guru, kita ke pertemuan cuma buat menyapa sekte lain terus pulang. Kalau soal isi rapat, nanti kita akan dapat kabar begitu anggota-anggota inti selesai berdiskusi.”Ah, ya! Bocah plontos ini kakak seperguruanku, ceritanya, Murid Utama Sekte Bukit Muara dan merupakan satu-satunya murid sekaligus penerus pak tua sebelahnya yang tersisa.Menurut kabar, ia tumbuh bersama si kakek serta telah menerima nama keluarga beliau di upacara kedewasaan tahun lalu. Bisa kubayangkan hubungan keduanya ibarat kakek sama cucu.Gong Sun Qin.“Oh, jadi maksudnya kita datang ataupun enggak tetap gak ada bedanya?”“Ngomong-ngomong ….” Ketua tiba-tiba berhenti di depan pintu kuil, kemudian berbalik. “Aku tahu orang yang tidak punya akar spiritual mustahil berlatih teknik manipulasi chi, tapi diriku tetap akan bertanya karena kau murid sekte kami. Mi, bagaimana perkembangan latihanmu?”“Ah!” Bak kena air segar, aku tetiba ingat sesuatu. “Ketua. Soal itu ….”Kukeluarkan semua manual yang sudah kurevisi.“Sekte kita memang punya banyak sekali seni menghimpun hawa …,” ucapku yang lalu menyerahkan buku-buku tersebut pada seniorku, “tapi sayang mereka cuma mampu membantu mencapai tingkat cincin lapis dua atau yang Anda sebut ranah pengokohan fondasi tubuh.”“Junior Mi, jaga ucapanmu!”“Tidak apa-apa, lanjutkan.” Ketua Sekte berbalik lalu melangkah ke dalam kuil. “Orang yang mundur setelah tahu manual sekte ini hanya kelas tiga sudah tidak kuhitung lagi, kau pun takkan kutahan bila ingin mengikuti jejak mereka.”Hem, menarik. Biasanya orang takkan mengakui manual sekte mereka kelas tiga.“Ketua, Anda salah kalau berpikir manual-manual itu penting …,” lanjutku sembari mengikutinya bersama bocah di sebelah, “buatku, mereka cuma catatan informasi. Jadi Anda tenang saja.”“Oh. Jarang ada orang berpikir begitu, tapi ini bagus … aku mau lanjut semedi, kalian pergilah berlatih—”“Ketua!” Sigap kusambar buku paling atas dari tumpukan di tangan saudara seperguruanku terus mendekat ke si kakek. “Sejujurnya aku adalah murid pertama Guru Kyongdok dari Teratai Perak, dan alasanku bergabung dengan sekte ini untuk memenuhi keinginan ayah mertuaku di Mentari Gelap. Karena itu ….”Kuasongkan manual tadi padanya.“Sebagai rasa terima kasih sudah menerima diriku, tolong terimalah hadiah remeh sama gak seberapa ini.”Ia tersenyum.“Mentari Gelap ….” Ketua melihat ke arah lain. “Sekte di Serindi yang cukup punya reputasi,” ujarnya lantas hela napas dan menggeleng dua kali, “punya hubungan dengan mereka membawa keberuntungan tersendiri. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, Mi.”“Tolong jangan khawatir, Ketua. Buku di tanganku dan yang lagi dipegang Senior Qin adalah edisi revisi dari semua manual yang Anda berikan, jadi isinya takkan merusak hasil latihan lama Anda dengan Senior.”“Hahaha. Kau menulis ulang semua manual kita?”Aku tidak tahu ada apa dengan pak tua di depanku, tapi tawanya tak terlalu buruk. Maksudku, seseorang tanpa akar spiritual mampu menulis revisi manual teknik menghimpun hawa memang sukar diterima. Jika itu alasan dirinya tertawa, maka aku takkan kaget.“Benar. Aku menulis ulang manual-manual kita dan memperbaiki beberapa bagian supaya mereka bisa dipakai sampai ranah cincin lapis empat atau setara,” akuku lantas memperagakan jurus Jari Petir dari manual kedua di sekte kami, “mereka mendukung jurus spesifik seperti yang ini …, jadi pas mau kureka ulang harus sekalian sama jurus-jurusnya—dan aku malas, hehe.”“K-kau?!”“Kenapa Anda melihatku begitu, Ketua?” tanyaku lalu menoleh, “kau juga kenapa melotot padaku, Senior?”“A-apa barusan jurus Jari Petir Legendaris?”“Oh. Benar. Selain Jari Petir, aku juga memeriksa Enam Pisau Naga Terbang, Jarum Ular, Langkah Pedang Ganda Membelah Langit, bla bla bla ….”Hari itu, tanggal 17 Bulan Enam.Kuceritakan hasil kerjaku selama dua hari Ketua dan Saudara Seperguruan meninggalkan sekte. Entah hal ini bagus apa tidak, tapi aku senang pas lihat muka-muka terkejut si kakek sama Senior Qin tiap kali kutunjukkan bagaimana penampakan jurus-jurus sekte kami hingga tahap pemungkas mereka.***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

14 - Kelahiran Senjata Mistis

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Siapa dia?”Puncak Musim Dingin 222 Shirena.Kauro Baru-ku luluh lantak. Bangunan-bangunan enam lantai di sana rata dengan tanah sedang para penghuninya raib tak berbekas kalau tidak tergeletak tanpa nyawa bersama kelabang raksasaku. Pukulan berat, apalagi kala itu diriku baru saja sepakat ‘tuk memekarkan Gurun Aester bersama Saintess sebagai percobaan sebelum menerapkan konsep utopia di Dataran Tengah. Lebih menyakitkan lagi tatkala kutahu siapa pelakunya ….“Ayah mertuaku?”Aku ingin muntah, seketika.“Kenapa ayah mertuaku bisa datang kemari, Soran?”“Katanya dia ingin mengambil Berlian.”Mengambil Berlian.Aku paham bila beliau terdorong oleh rasa khawatir sebab negara di mana sang putri tinggal baru kalah perang. Namun, kenapa mesti dengan meruntuhkan dunia kecilku dan merebut semua penghuninya juga?Dan yang paling tidak kumengerti ialah ….“Kenapa kau gak cegah diaaa?!”Soran angkat tangan, ia rada buang muka sebelum beralasan.“Istrimu yang suruh. Katanya dia mau ikut ayahnya asal semua orang di sini sela—”“Dan kau lihat mertuaku ingkar janji, ‘kan?!”“Gak secara teknis.”“Maksudnya?”“Kelabang sama polisi desa mati sebelum Berlian muncul,” terangnya kemudian mendarat, “ayah mertuamu langsung menyerang begitu sampai kemari, Ure. Aku gak sempat menolong mereka saat itu, maaf ….”Hem. Aku tidak bisa menekan anak ini.Jika dirinya mengaku salah, itu tanda bahwa ia telah belajar.Terus juga, kata Soran ayah mertuaku tidak membunuh para manusia. Bila ini benar, artinya beliau cuma salah kira Kauro Baru sebagai sarang monster dan gedung-gedung apartemenku disangka kerangkeng manusia.Yang tersisa sekarang hanya move on ….“Apa ada pesan dari istriku?”“Berlian bilang ….”Celaka—jangan baca pakai irama tegang, tapi dengan nada lemas.Dengar pesan yang dititipkan pada Soran, aku paham bila istriku kini baik-baik saja. Namun, ayah mertuaku bukan orang yang mudah menerima menantu. Beliau mau diriku datang padanya dan membuktikan diri. Lewat pesannya kepada Soran pula, aku langsung ia tolak dengan kualifikasi sekarang.Dia, ayah mertuaku, bakal tetap menolak bila dalam lima tahun aku tak datang padanya sebagai anggota sekte terkemuka di salah satu aliansi. Sabuk Timur, Pagar Tengah, atau Gerbang Barat.Meski pengendalian manaku melewati ranah puncak dan aku punya level tertinggi di Eldhera, faktanya diriku memang bukan anggota sekte mana pun di zaman ini. Jadi …, Cek! Menyebalkan.“Apa rencanamu, Ure?”Kutatap Soran dalam diam sebentar, melihat anak itu dengan sejuta raut datar di wajahnya sambil memiringkan kepala dan tak tahu mau bicara apa.Kulirik pula Sauntess di atas sana, perawan benua yang jauh-jauh kuundang kemari buat melihat puing-puing dunia kecilku nan tengah berserakan.Hah. Situasi tidak memberiku pilihan ….“Kembali!” Kurentang tangan kanan ke arah barat. “Kembali kubilaaang ….”Sedetik, dua detik, tiga, empat, lima detik berlalu.Suasana tetap hening, tak ada apa pun yang terjadi sampai tamuku mulai menjuling terus putriku buang muka.Aku juga mulai malu karena tidak terjadi apa-apa. Ingin rasanya kututupi mukaku segera sampai ….“Bagus!” Tepat di detik keempat puluh sembilan, dia pun datang. “Palu kesayanganku kembali—haha!”Aku semringah. Benar. Dia palu delima yang kutitipkan pada Salsabila seribu milenium silam.“Oi-oi-oi!” Pusaka yang sontak membuat Saintess kalang kabut karena tiba-tiba ‘melompat’ dari astaka rahasia di bawah kuilnya. “Kenapa palu keramat leluhurku—”“Ini paluku!” sambarku, mangacungkan warisan guru tempaku sebelum beliau wafat itu ke arah sang perawan benua. “Dia bukti kalau aku adalah murid Raja Penempa dari Selatan sekaligus penerus keahliannya—jangan ngaku-ngaku kalau benda ini milik kalian, ya!”Saintess tak bisa berkutik, ia jelas tahu bahwa palu tersebut bukan milik Kuil Widupa dan perjanjianku dengan leluhurnya juga cuma berlaku selama lima milenium.“Sekarang sudah lebih dari seribu milenium,” kataku lekas menegaskan, “dia kuambil kembali, paham?!”“Huh.” Sang Dewi Kuil Widupa mendarat. “Aku takkan mendebatmu,” ujarnya ketika itu, “tapi diriku juga harus menenangkan leluhur di Altar Jiwa. Tuan Mi, tolong beri a—”“Perjanjian kita tetap sama …,” selaku lantas berlalu menuju pagoda, “cetak biru gedung enam lantai tambah salinan Kode Kubang Naga ditukar sama dua perapal segel surat penjamin barang.”“Soal palu itu?!”‘Kan, sudah jelas. Gimana, sih, akh …!’ gerutuku dalam hati sebelum berbalik terus bilang, “dari awal palu ini memang milikku, suka-suka akulah!”“Bertahun-tahun leluhurku mengira murid raja penempa telah lenyap dan takkan pernah ada lagi senjata mistis yang lahir di benua,” tuturnya sembari mendekat sekian langkah, “kini dirimu kembali, apa—”“Aku mau menempa senjata mistis lagi, puas?!”Diriku lantas berbalik.“Kalian terlalu naif jika mengira cuma senjata kelas mistis yang bisa ditempa palu ini,” keluhku tanpa menoleh dan terus berjalan ke pagoda, “dia cuma tanda bila aku memang murid Guru ….”Ya. Palu Kristal Delima atau Palu Delima Ungu, sama seperti balok marjan di ikat cepolku, merupakan tanda bila keahlianku tidak datang tiba-tiba.Aku hanya manusia yang kebetulan hidup lebih lama di rangkaian cerita. Bukan yang pertama, bukan pula yang terakhir, dan bukan satu-satunya.Begitu juga benda-benda yang kupunya. Jadi kenapa mereka dikira spesial?“Tunggu, Ure?!”Aku berhenti, pas di depan pintu pagoda.“Ini!” Soran melempar Manik Darah yang kuberikan padanya tempo hari. “Aku gak bisa menelan benda itu,” akunya kemudian minta tolong, “buatkan aku senjata lain!”“Dari manik ini?” Aku berbalik, lagi. “Kau serius, Soran?”“Benda itu milikku, suka-suka akulah!”Sialan, ia meniru jawabanku.“Kau—huh ….” Sabar, sabar. Anak perempuan memang begitu. “Benda ini adalah kenanganku dan Letta.”Kutunjukkan punggung tangan kananku padanya.“Lihat, tanda pertunanganku dengan ibumu sudah lenyap, ‘kan?”Kalau kalian penasaran, Manik Darah merupakan sisa darah Letta yang pernah terperangkap dan membentuk tanda di punggung tangan kananku pas kami membuat janji takkan menerima pasangan kecuali satu sama lain dari ras masing-masing di masa lalu. Aku hanya mengambil Letta dari ras naga, dan dia pun cuma menerimaku.Berhubung dirinya …, lupakan, kini kenanganku dengan si ibu susu Miaw tinggal Kalung Wyvern di leherku, manik-manik ini, sama gadis yang lagi melotot di sana.Kalau dia kuurai ….“Kau yakin gak mau menyimpan benda i—”“Yakin!”Hem. Karena Soran berkeras, maka baiklah.“Jangan menyesal nanti …,” ucapku yang lalu meniup manik-manik itu, melunakkannya dari sebutir mutiara cemerlang hingga pelan-pelan jadi setetes cairan kental warna merah pekat. “Nih!”“Eh?!”“Jangan bengooong!” teriakku pada Soran, “cepat telan atau kau akan kehilangan benda i—”Bagus. Si gadis langsung menjejalkan peninggalan sang ibu ke mulut kemudian bersila dan semedi. Aku jadi tidak bisa bicara sekarang. Sebagai jelmaan Mutiara 8 Bintang Benua sama jiplakkan saintess periode Mirandi, harus kuakui gadis ini lebih dekat ke manusia ketimbang mesin pembunuh macam pendahulunya—maksudku para bintang benua di zamanku.Baik itu secara fisik maupun watak.“Soran, kuharap memberimu ramuan darah naga mentah bukan pilihan yang akan kusesali ….”Begitu ujarku sebelum lantas berbalik, hendak membuka pintu pagoda.Namun, menyebalkannya, benar-benar menyebalkan, dan sangat menyebalkan.Baru juga ia kudorong separuh langkah diriku malah sudah harus berbalik—sekali lagi.“Tunggu, Tuan Mi!” Oleh Saintess zaman ini, argh! “Kuakui bila diriku meremehkanmu,” akunya yang lekas melayang kembali ke udara, “tapi sekarang aku sadar.”“Berhenti di situ, Nona!” Aku malas mendengar ocehan gak mutu. “Tunggu pekerjaanku selesai dulu, baru kita bicara lagi—paham?”Ya. Kutahu kebanggaan perawan benua sangatlah tinggi. Benar-benar tinggi sampai titik tidak ada yang berani mengaturnya selain para leluhur. Cuma. Aku juga butuh momenku sendiri sehabis kejadian ini, bukan?“Supaya kau jangan kepo, biar kutunjukkan apa yang mau kubuat ….”Kala itu.Kukeluarkan lelehan senjata kelas langka dari tungku di punggung si kura-kura mungil, kapak perangku, sama perlengkapan bekas perang melawan Serindi dua tahun lalu ke hadapannya—kutarik juga bangkai kelabangku dari reruntuhan desa di sana.Detik berikutnya, kubawa mereka masuk ke pagoda lalu merapal banyak mantra terus pasang seabrek formasi dan mulai bekerja. Menunjukkan setotal apa Raja Penempa dahulu mengajariku.Menempa bakal senjata kelas mistis ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

13 - Utopia

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Ini betulan buatku, Paman?”Awal Musim Dingin 222 Shirena.Kota impianku telah bediri di tepian Kubang Naga. Deretan rusun lengkap dengan kawasan pengrajin beserta pusat belanja dan berbagai fasilitas yang sanggup kubayangkan di satu kota kini kokoh mencakari langit.Kauro Baru, jilid dua.“Di sini sudah ada dapur, ruang tengah, kamar tidur, kamar mandi sama toilet terus balkon buat jemur baju.”Entah bagaimana penampilanku saat mengiklankan karya tangan-tangan terampil suku Delta tersebut, tetapi kuyakin kala itu diriku cukup mengagumkan di mata orang-orang—aku ragu mereka pernah melihat model rumah bergaya minimalis sebelum ini. Ya, pasti begitu. Muka-muka datar di depanku gegara kaget sama terpukau. Mwehehe. Lanjut.“Sampah rumah tangga bisa kau taruh di wadah dekat pintu sana atau sekalian bawa turun ke bawah pas keluar, petugas akan mengambil mereka tiap pagi sama sore, paham—dan, ya, unit ini milikmu, Bocah.”“Aku gak percaya kau memberikan rumah sebesar i—”“Cuma hadiah kecil!” selaku yang lalu membuka jendela kamar itu biar udara segar masuk, “rencanaku adalah membiasakan kalian hidup teratur, gak sembarangan kayak kemarin.”“Hehe. Kau masih kesal gegara sampah pinggir kali tahun kemarin itu, ya, Paman?”“Ya!” Aku berbalik terus duduk di sofa. “Sudah kusediakan lahan buat mengubur sama membakar sampah di luar pagar desa, tapi kalian masih saja membuang mereka ke sungai.”Rombongan di ruangan tersebut silih lirik, tetapi satu pun tidak ada yang berani menyanggah. Dan satu-satunya alasan mereka ialah ….“Tempat itu terlalu jauh—”“Makanya kubuatkan kau apartemen berfasilitas lengkap!” potonku lekas bangkit ‘tuk lanjut mengantar semua orang ke kamar masing-masing, “ayo ke unit sebelah, kalian harus sudah dapat tempat tinggal sebelum musim hujan sama banjir datang.”Tanggal 1 Bulan Sepuluh. Penduduk Kauro Baru pindah ke rumah baru. Lima ratus unit apartemen di lima gedung enam lantai dengan fasilitas lengkap sepanjang tepian Kubang Naga. Membuka babak pertama menuju Eldhera yang kumau ….*** “Pengelolaan limbah, saluran irigasi sama sanitasi baik, area pengrajin, kawasan belanja, rumah penduduk …, apa lagi yang belum kita punya di Kauro Baru, Tetua?”Kututup laporan di tanganku, menaruhnya di meja, lalu melihat para sesepuh suku Delta.“Pasukan keamanan, penyelia tiap gedung, penitipan kuda, bank …, apa lagi?”Mereka silih lirik sebelum salah seorang mendekat dan buka suara.“Tuanku, bagaimana kalau kita membentuk pasukan sekarang?”“Pasukan?”“Benar, Tuanku!” Dapat anggukkan dari rekan-rekan di belakang, si tetua jadi tambah semangat. “Kita sudah tidak kekurangan apa-apa. Monster tua ini berpikir, sekarang adalah saat yang tepat ‘tuk mengatur barisan dan meluaskan Delta Kubang Naga.”Benar. Nama suku Delta berasal dari delta di Kubang Naga yang mereka tinggali, dan itulah alasan ras siluman di suku ini beragam. Ada badak, gajah, buaya, kadal, bahkan ikan, labi-labi, sama kuda nil yang lagi merayuku buat membentuk pasukan sekarang.“Hem.” Kuusap dagu sembari mengangguk dan mencubit janggut carangku sekali. “Aku setuju.”Dengar itu, mata makhluk-makhluk di depanku seketika cemerlang—seolah habis kena basuh air segar.“Tuanku, kami akan segera memanggil saudara-saudara kita ….”Dan, begitu kugerakkan tangan merestui, mereka pun berlalu. Melesat ke seluruh penjuru desa ‘tuk mengatur sisa-sisa siluman di Delta Kubang Naga buat jadi pasukan kami, penuh semangat dan menggebu hebat seakan hal besar yang para sesepuh ini nanti akhirnya terjadi.Akan tetapi, tatkala para tetua itu kembali. Kenyataan tak secemerlang mata mereka sesaat tadi ….“Serius, siluman kita segini doang?” Aku melongo, juga cekak pinggang, waktu bakal pasukanku berbaris di depan Pagoda Kubang Naga—penanda yang kubangun begitu pindah kemari sekaligus perantara apabila dua ‘dunia’ ingin berhubungan. “Ke mana barisan kadal, badak, sama buaya-buaya kemarin, Tetua?!”“Tuanku.” Siluman kuda nil sebelumnya mendekat. “Saudara-saudara kita semuanya bekerja di desa ma—”“Kau mau bilang aku salah karena mengirim mereka buat mengawasi para manusia di sana, hah?!”“Bukan!” Ia menyungkur. “Am—”“Bangun!” Kuangkat tubuhnya pakai Benang Pandora terus kukembalikan ia ke barisan para tetua. “Huh. Terlambat kalau kita menyesal sekarang ….”Aku tak bisa menarik semua monster yang kujadikan pengelola Kauro Baru bersama para manusia di sana, tapi dua pertiga lusin yang lagi berbaris di depanku juga gak mungkin kusebut pasukan.“Ada saran supaya kita bisa benar-benar punya pasukan?”Lupakan. Mending tanya mereka saja. Siapa tahu sesepuh-sesepuh ini sebetulnya punya ide bagus yang bisa kupoles dan kukembangkan macam konsep sama rancangan tata tertib kemarin. Ah, ya! Sekarang benda itu sudah jadi perangkat aturan tertulis dan dipajang di mana-mana. Penduduk Kauro Baru menyebutnya: Kode Kubang Naga.“Aku gak mau memanggil mereka dari desa,” akuku lemas, topang dagu sambil duduk di tangga depan pintu pagoda. “Jadi jangan usulkan hal itu ….”Waktu terus berlalu. Tidak kunjung dapat kemajuan, rencana pun akhirnya berubah.Kuputuskan ‘tuk menunda pembentukan pasukan monster ini usai tiga hari mondar-mandir tanpa hasil depan pagoda tersebut kemudian fokus pada niat semula. Menjual konsep Kauro Baru ke Dataran Tengah. Kalau enggak bisa sekarang, nanti saja pas sudah punya dana biar sekalian sama perekrutan tentara Kauro Baru. Begitu pikiranku kala itu, tidak punya petunjuk pada apa yang akan terjadi sepulang dari Kuil Widupa bersama Saintess setahun kemudian. Kenapa? Sebab kenyataan sekali lagi menampar kami. Bukan sesepuh ataupun para monster, tetapi diriku langsung. Ya. Telak menampar diriku …. “Soraaan!”Anak itu keluar dari pagoda dan melayang di atas gerbang Kauro Baru.“Apa yang sudah terjadi di sini, mana Berlian, ke mana semua orang, kenapa gak ada siapa pun selain bangkai-bangkai suku Delta di desa ini?!”Hatiku terpukul.Deretan pencakar langitku runtuh, para penghuni dengan penjaga-penjaganya lenyap, dan sebagian bahkan tengah bergelimpangan di dekat kelabang raksasaku tanpa bisa lagi bergerak.Lututku bergetar, dan getarannya sampai membuat bumi Kubang Naga berguncang. Mataku seakan lompat dari tempatnya, menatap tajam lalu menekan apa saja yang ia temukan.Dada ini benar-benar sesak, sesesak hingga diriku ingin menghancurkan segalanya.“Apa yang sudah terjadi di sini—apa yang sudah terjadi di siniii …?!”Terus kuulang pertanyaan senada pada Soran. Bolak-balik kusisir desaku untuk memastikan bila diriku tidak salah lihat. Kauro Baru sudah hancur. Benar-benar hancur.Kode kubang nagaku robek, gedung-gedung di sana rata dengan tanah, terus kelabangku kini sisa bangkai.Kenapa semua berakhir begini ….“Kenapa semua bisa begini—Soraaan?!”Aku tidak puas hanya dengan kenyataan tanpa penjelasan.Kauro Baru luluh lantak, itu yang kulihat sekarang. Tidak ada bantahan. Namun, diriku takkan puas hanya dengan pemandangan mendadak begini. Harapan perjalananku ke Dataran Tengah juga bukan untuk dimatikan oleh sesuatu yang tidak kuketahui.Benar. Aku butuh penjelasan!“Apa sebabnya … katakan padaku apa yang sudah terjadi dan mengapa Kauro Baru-ku bisa runtuh?”Apa hal yang telah membuat dunia kecilku hancur?Siapa pelakunya?Siapa ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

12 - Cita-Cita

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Soran!”Kutunjuk sungai selebar satu mare di hadapan kami.“Pergi!” Lekas meminta putriku dan Berlian itu agar menyeberang duluan pakai bahasa Kara. “Halau monster-monster di sana supaya kita bisa menyebarang. Bilang sama mereka jika aku, Ure el Arathena, akan menerima suku-suku mereka menjadi pasukan baruku!”“Boleh kubunuh?”“Kalau mereka gak mau menyerah,” kataku lalu memberikan vas wadah abu Sandra, “dan ini, biar ratu gurun di dalam benda ini yang jadi tanda kau suruhanku.”“Mengerti ….” Pertengahan Musim Semi 221 Shirena. Usai berjalan kaki selama satu bulan melintasi wilayah negara-negara di kekaisaran tetangga, empat ribu sekian ratus penyintas tragedi berdarah Kauro kini telah sampai ke muka Kubang Naga. Sungai terpanjang dan paling lebar di bagian timur benua.“Barusan kalian bicara apa?” tanya istriku, mendekat setelah Soran melesat ke seberang. “Gadis itu kelihatan ceria sekali. Kau gak—”“Aku cuma memintanya mencarikan kita daerah buat berlabuh.”“Berlabuh?”“Ya!” timpalku, mengangguk semringah menanggapi muka penasaran Berlian. Selanjutnya, kubuka tutup tungku di punggung kura-kuraku terus memanggil kelabang ajaib penunggunya agar keluar. “Hoi!”Mengerti maksud panggilan tersebut. Ia, si kelabang, kemudian loncat dari tungku lantas memperbesar diri di udara hingga ruas-ruas tubuhnya pas mendarat kini cukup lebar untuk menampung empat sampai lima orang berdempetan.“Bagus.” Aku senang makhluk itu gak harus kuperintah dua kali. “Semuaaa ….”Penghujung Bulan Dua. Terdesak oleh keadaan serta tidak punya pilihan setelah ditolak waktu memohon bantuan pada negara-negara tetangga pascatragedi di bagian sebelumnya, para penyintas Kauro nekat membuka lahan di seberang Kubang Naga dan mendirikan kemah perlindungan sementara demi menyambung hidup.Mereka, empat ribu sekian ratus pengungsi nan tanpa harapan ini, bahu-membahu hendak mendirikan ulang komunitas di tanah ‘asing’ tersebut. Akan tetapi, meski semula hanya penampungan darurat sementara pinggir sungai. Siapa sangka bila tempat yang mereka bangun itu akan menjelma sedekimian rupa hingga menjadi pemukiman sungguhan dalam kurun setengah tahun ….*** “Hem.”“Kenapa alismu mengernyit begitu, Paman Mi?”“Berapa orang yang ikut kita mengungsi musim semi kemarin?” tanyaku, membalas mata heran Miki dengan tanda tanya besar. “Terus berapa juga yang katanya sudah menyeberang kembali atau mati?”“Hampir lima ribu kurang sedikit,” ujar anak itu, melirik curiga padaku sambil angkat tangan siap menghitung pakai jari. “Kalau yang kembali lagi ada-lah setengahnya, mereka murid-murid sekte bela diri.”“Sisanya?”“Yang mati?”“Ya.”“Sebentar ….” Miki menunduk sesaat. “Dua ratusan ada!”“Ini.” Kuasongkan sensus bulan kemarin. “Di situ tercatat ada sekitar seribu orang di Kauro Baru …,” kataku yang lalu mendekat ke sebongkah batu dan duduk di atasnya, “tempat kita sekarang sudah jadi desa.”“Apa masalahnya, Paman?”“Kau gak terganggu sama pemandangan di sana itu?!” teriakku, menunjuk gundukan sampah rumah tangga pinggir sungai tak jauh dari kami. “Benarkah?”Sebagai orang yang pernah melihat Kubang Naga tercemar di masa lalu, jujur diriku amat sangat terganggu.Jadi, hari itu juga kupanggil suku-suku monster asli sana ‘tuk membentuk pasukan penertib atau polisi dadakan kemudian menyusun aturan terkait tata kelola kebersihan lingkungan dan mengumumkannya.Kubilang pada mereka seluruh jenis sampah, baik rumah tangga maupun bukan, harus dikumpulkan di wadah tertentu sebelum nanti diambil oleh para polisi tadi buat dikubur dan dibakar di area penampungan khusus. Tidak boleh asal membuang ke kali, apalagi bila bukan barang-barang yang dapat dimakan ikan atau bisa diurai oleh organisme akuatik di sana. Pokonya tidak boleh, titik.Bukan hanya jorok, kebiasaan tersebut mengundang wabah penyakit hingga kesan kumuh yang dahulu pernah akrab dengan murid-murid Naga Sutra.“Pahaaam, ya, Semua?!” Kutempel peraturan pertama tersebut di mading dekat gapura alun-alun dan di tiap persimpangan jalan supaya gampang dilihat oleh semua orang ….*** Selanjutnya, setelah pengaturan pertama di atas pengaturan-pengaturan lain pun lahir.Anggota-anggota suku monster yang kebetulan kebagian peran sebagai perangkat pelaksana alias si polisi tadi rupanya juga mengenalkan aturan tata kelola tersebut ke tetua mereka, sehingga seminggu pascapenerapan tata tertib pertama itu tetua-tetua suku monster di sana pun berbondong-bondong mendatangiku dan membawa sederet draf atau rancangan ‘hukum’ yang hendak diterapkan di desa masing-masing.Hem.“Aku sudah membaca rancangan kalian,” kataku di depan semua tetua, “ada beberapa yang gak bisa kuterima, tapi sisanya bagus. Ini, silakan pajang di papan pengumuman desa masing-masing.”Pikiran mereka sederhana, tetapi sangat lentur serta cukup mudah untuk dilatih. Dengan memoles konsep tata tertib tadi, desa-desa monster pun pelan-pelan tumbuh mengikuti pemukiman manusia sebelahnya. Seminggu, dua minggu, hingga sebulan kemudian.Mereka kini mengalahkan tetangganya itu ….“Hahaha!” Aku terbahak senang pas lihat wilayah para monster ternyata jadi lebih bersih, rapi, dan jauh dari embel-embel ‘sarang’ yang kita tahu. “Ini betulan desa suku Delta, ‘kan?!”“Tuanku.” Tetua mereka tampak bangga pas menyambutku. “Kami berhasil menerapkan ajaran Anda—”“Eit!” Segera kurangkul sang tetua. “Bukan ajaranku,” kataku kemudian memuji ia dan sukunya, “kalian itu memang sudah pintar dari sananya, ‘kan, Tetua?”“Anda memuji, Anda memuji.”“Ah, ya!” Seketika, ide liar pun muncul di kepalaku. “Kalau sudah begini kenapa kita gak lanjut ….”Kubisiki dirinya konsep dengan berbagai rancangan dari peradaban Eldhera era Chloria dan Mirandi.Sudah basah, kenapa gak mandi sekalian. Begitu pikirku waktu membawa model-model bangunan pencakar langit, konsep uang, sama seabrek gambaran peradaban maju milik para penyintas di masa lalu ke zaman ini.Meski tidak semua—tentu saja, aku malas merusak keseimbangan benua apalagi bila sampai menarik perhatian penyintas sama pahlawan-pahlawan periode Shirena. Itu gak bagus.“Bagaimana?”“A-Anda percaya pada badak tua ini, Tuanku?”“Tentu saja, Tetua!” Kurentang tangan semringah. “Kubilang kalian adalah pasukan baruku, bukan?!” ujarku yang lantas memberi ia penekanan, “buat apa setengah-setengah …, ayo kalahkan mereka dan jadi ras nomor satu di benua. Kau mau, ‘kan?”Dengan ambisi sejelas itu diriku bukan hanya mengincar pembalasan untuk Serindi atau akselerasi penyintas zaman ini, tetapi dominasi mutlak. Maka barang tentu bila berkembang hingga maju menjadi keharusan demi mewujudkannya ….*** Setahun kemudian, bisikan tadi pun terealisasi.Kauro Baru bukan lagi pemukiman biasa, tetapi berevolusi menjadi satu kota multiras dengan gedung-gedung pencakar langit di salah satu tepian Kubang Naga di mana manusia dengan monster kini berbagi wilayah lewat ketentuan tegas dan tata tertib jelas. Meski gak semegah bayanganku—dasar, kepala ini. Haha.“Segini sudah bagus.”“Apanya yang bagus, Sayang?”Aku menoleh, kemudian tersenyum pada istriku.“Kau selalu kelihatan senang pas lihat desa para monster.” Selesai menghidangkan teh, Berlian langsung duduk topang dagu dan melihatiku. “Sayang, sebenarnya apa lagi yang dirimu lakukan di sana, hah—beritahu aku!”“Gak ada.” Aku menggeleng sebelum mencecap teh buatannya. “Diriku senang gegara gedung-gedung sama rusun mereka jadi saja, Sayang—enggak ada yang lain, asli.”“Rusun?” Istriku menoleh ke jendela sebentar. “Apa itu?”“Rumah susun,” terangku yang lalu mengambil rancangan kota impianku lalu menggelarnya, “lihat, aku mau menjadikan tata letak sama pengaturan desa suku monster ini buat contoh biar orang-orang Kauro Baru mau pindah ke gedung-gedung yang lagi kubangun.”“Maksudmu proyek penginapan tiga sampai lima lantai yang kau datangi tiap hari itu, ya?”“Benar.”“Hem. Aku gak paham,” aku Berlian, polos. Ia kemudian mendekat terus merebah ke diriku sambil melihati rancangan tadi. “Bukannya kalau begitu mereka jadi gak punya tanah sama halaman sendiri, ya, Sayang?”Memang. Dengan pindah ke rusunami tersebut orang-orang jadi tidak punya halaman lagi. Namun, bukankah di saat yang sama pemenuhan kebutuhan mereka juga jadi praktis. Aku membeli kemalasan mereka pada hal-hal remeh di rumah tangga dengan berbagai layanan beserta keamanan dari para monster.Tidakkah itu sudah termasuk adil dan berkorban demi sesuatu adalah hal biasa?“Rencanaku adalah mengiklankan utopia antara ras monster dan manusia yang diidam-idamkan Saintess, jika Kauro Baru berhasil kita akan menjual rancangannya ke Dataran Tengah buat meminta dukungan.”“Dukungan?”“Aku mau membalas Serindi.”Itulah tujuan pertama percepatan ini ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

11 - Bukan Satu Lawan Satu

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Seraaang!”Tanggal 11 Bulan Pertama 221 Shirena.Pertempuran di Lembah Tiga Gunung kini memasuki hari ketiga. Seperempat kekuatan tempur Kauro telah tumbang bersama seperlima dari lawan-lawan mereka, dan meski kala itu sudah tampak perbedaan antara kami komandan-komandan pasukanku menolak menggunakan cara di luar kebiasaan. Mereka tetap mau memapak serangan langsung dengan berhadap-hadapan ….“Hah.” Aku, yang kebagian menghalau ujung sayap kanan musuh dari tepi paling kiri barisan Kompi Pelopor Caupa Wen, seharian ini paling cuma bakal melihati milisi lain menarikan maut di tengah jerit sumbang lagi—macam kemarin. “Hoaaam …!” “Kau kelihatan bosan, Tuan Mi.”“Ah, Tuan Zeng.” Aku menoleh ke orang di sebelah, kemudian senyum merespons tegurannya. “Benar. Aku bosan, tempo perang di sini terlalu lambat.”“Hah?”“Kita ada di lembah seluas seperlima mare,” kataku yang lalu menjelaskan kenapa berpikir demikian, “di area lapang seluas empat kilometer persegi dengan tiga gunung mengelilinginya itu harusnya banyak kemungkinan yang bisa dilakukan, bukan?”“Contohnya?” sambar orang di sebelah kiriku, tiba-tiba nimbrung.Aku berbalik. “Kita bisa menyusupkan unit kecil memutari Gunung Wuli di sana untuk menyergap markas komando musuh dari belakang Gunung Da.”Buat informasi, lokasi pertempuran Kauro dan Serindi berlangsung ada di sebuah lembah yang diapit oleh tiga gunung. Wuli di barat laut, Da sebelah timur, sama Nisi arah tenggara. Kami, orang-orang Kauro, datang dari timur laut lembah sementa musuh masuk melalui barat daya.Memikirkan bentang alam model begini. Ketimbang melakukan pertempuran terbuka bak sekarang, jujur aku lebih senang menggunakan tiga gunung tadi untuk mengatur jebakan atau menyergap musuh lewat serangan fajar. Atau, bila mau langkah cepat, kirim pembunuh sembari melakukan taktik tarik-ulur.“Kau bicara macam ahli strategi, Tuan Mi.”Tentu saja! Begini-begini diriku bekas Bura Kelima Panji Beruang dari Bravaria. Mengatur siasat perang sudah kudapan harianku, tahu. Huh! Sekarang saja aku cuma milisi pejalan kaki …. “Apa salahnya memikirkan rencana?” timpalku lantas menunjuk musuh di seberang, “kita dan mereka sama-sama gak suka pertempuran jangka panjang ….”*** “Unit Tupa Lian Ning!” pekik Caupa Wen, melintas ke muka barisanku. “Bergerak ke tenggara, bersiap ‘tuk menyergap musuh di Gunung Nisi!”“Unit Tupa Lian Ning?” gumam orang sebelahku sebelum ia tiba-tiba teriak, “itu kita—”“Benar!” sahut prajurit lain, “Upa, kita harus ke tenggara.”“Semua, majuuu ….”Menyergap musuh di Gunung Nisi? Aku tidak bisa membaca ke mana arah strategi komandan pasukanku sendiri. Sebagian sayap kiri kami tengah menghadang serbuan sayap kanan lawan di depan sana, pun pasukan utama dan sayap kanan di sisi lain medan pertempuran. Semua sedang menghadapi situasi krisis.Di situasi genting begitu, kenapa Caupa Wen malah menyuruh unit pertama kompinya menunggui musuh di Gunung Nisi—ini Serindi mengirim pasukan penyergap ke belakang kami atau bagaimana?“Tuan Mi, kau kelihatan bingung.”“Ya. Aku sangat bingung. Pertempuran masih berlangsung sengit dan saudara-saudara kita lagi pasang badan menghadapi orang-orang Serindi, tapi kita malah disuruh memutar ke belakang gunung di ujung gelanggang tanpa tujuan jelas.”“Bukannya kita mau menyergap musuh, ya?”Musuh dari mana? Mata perakku bisa menangkap aura makhluk hidup hingga bermil-mil jauhnya. Jika benar akan ada musuh di sana, seharusnya seberang gunung yang kami tuju sekarang sedang sesak oleh hawa keberadaan manusia.Nyatanya, tidak sama sekali.Kalaupun ini langkah preventif, masih ‘sangat’ terlalu dini.Dan benar-benar tidak efektif ….“Jika benar ahli strategi yang mengatur pengerahan ke Gunung Nisi, dia sangat bo—”“Jaga ucapanmu, Prajurit Mi!” potong upa reguku, Upa Mouli. “Kita hanya serdadu, tidak boleh mengkritik perintah langsung dari atasan!”“Baik!” timpalku lalu menantangnya, “tapi bila terbukti kerugian kita nanti lebih berat daripada musuh atau dua hari kemarin, aku ingin Anda dengan semua orang meminta siapa pun ahli strategi yang ‘lah mengusulkan pengerahan sekarang mundur dari jabatannya—kalian dengaaar?!”“Baik—”“Baik ….”Bukan cuma lebih berat, kami kalah telak hari itu dan terpaksa mundur seperempat mare atau sekitar setengah li lebih sedikit masuk ke wilayah Kauro. Tidak berhenti di sana, kedua bura selanjutnya terus digiring mundur oleh lawan selama lima hari tanpa jeda hingga sisa seperlima mare dari Gerbang Utara Kauro sementara musuh berhasil merebut empat kota kecil sampai titik tersebut.Alhasil, juga sesuai janji, orang-orang di reguku selalu meneriaki ahli strategi dari depan kemah komando tiap malam sehabis pertempuran selesai agar dirinya mau mengundurkan diri setelah permohonan kami di tanggal sebelas kemarin tidak ia gubris sama sekali.Hari berikutnya, kekalahan berlanjut. Dua puluh sekian ribu pria yang pernah teramat semangat memapak orang-orang Serindi pada awal musim semi ini, kini hanya tersisa tujuh perduapuluhnya.‘Sembilan ribu sekian ratus orang.’ Dalam hati aku terkekeh waktu dipanggil menghadap bersama sisa anggota Regu Dua Peleton Tupa Yang Yi. “Bukan diriku mau menghindar,” kataku pada Caupa Wen tatkala dirinya berhenti keras kepala dan mau menerima masukan, “tapi jumlah musuh yang tiga kali pasukan kita akan sulit dihadapi jika Anda kukuh mau melawan mereka dari atas tembok kota.Pertama, musuh bisa membagi kekuatan untuk menyerang dari empat arah sekaligus. Kedua, jumlah tentara mereka ketika itu masih dua kali kita. Sehingga sangat amat mungkin sekali bila penyerangan selanjutnya akan berlangsung siang dan malam ….”*** Setelah tiga hari, mimpi buruk tersebut pun terjadi. Tembok kota jebol. Lima belas ribu tentara Serindi merangsek hingga Istana Bate Kauro dan menjarah setiap rumah yang mereka lewati serta membantai siapa-siapa pahlawan nan berani menghadang.Hari itu, tanggal 21 Bulan Pertama. Menjadi titik terendah bagi orang-orang Kauro selama sejarah mereka.Pilu, tangis, dan berbagai luapan sendu berceceran hingga ke lekuk-lekuk jalan dengan selokan. Menyuarakan lirih dalam sunyi usai merah membara tumpah lalu merembes ke luar tembok kota …. “Tangkap merekaaa!”Sialnya, neraka tadi tak lekas berhenti.Meski telah menang, orang-orang Serindi tidak puas. Mereka kembali mengatur barisan di pintu-pintu keluar segera, hendak menyebar untuk menyembelih kota-kota terdekat dan meminum darah-darah perawan segar lain di sana.*** “Huh.” Satu bulan. Aku baru bisa bernapas lega usai membawa keluarga dan orang-orang desa mengungsi ke utara bersama para penyintas tragedi tadi setelah sebulan penuh menjauhi Ibu Kota.Melintasi banyak negara, kini kami telah mencapai batas paling luar dari tanah Eldhera yang selama milenium terakhir belum pernah lagi dihuni oleh manusia.“Semua!” pekikku yang kala itu cekak pinggang di hadapan sungai terbesar di benua serta sudah ada sejak era Chloria, tempat kenanganku sewaktu mempelajari seri Pukulan Naga dengan rahasia Seni Jari Pandora. “Kita sampai di Kubang Naga ….”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

10 - Sehari Sebelum Pertempuran

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Hei kau!”Aku celingak-celinguk, memastikan bila tidak ada orang lain di sekitar, kemudian menunjuk muka sendiri.“Iya, kau yang lagi duduk dengan kapak perang di sana!” panggil si orang di kejauhan, mempertegas bahwa ia memang betul-betul merujukku. “Kemari sebentar ….”Musim Semi 221 Shirena. Perang melawan Serindi pada akhirnya tidak bisa dihindari. Dua puluh ribu pria Kauro berkumpul menjawab seruan bate mereka lantas berbaris di perbatasan dalam naungan dua bendera ungu bertuliskan Guon dan Sung.Mereka, dua puluh ribu pria berzirah seadanya ini, lalu mendirikan kemah sepanjang padang rumput di antara tiga gunung penanda wilayah dua negara. Saling berhadap-hadapan dengan kemah penantangnya ….“Kau memanggilku?”“Ya. Kau dari unit mana?”“Aku. Unit Caupa Wen, Kompi Pasukan Pelopor Pertama, Peleton Empat Regu Dua.”“Di mana upamu?”Aku menggeleng ditanya olehnya, tidak tahu di mana upa reguku pas jam makan siang tersebut.“Ini.” Ia selanjutnya mengasongkan sebuah gulungan. “Perintah dari Yoram Gazi untuk semua caupa, berikan ke caupa unitmu ….”Gak banyak cakap, orang tadi pun pergi selesai menitipkan benda di tanganku.“Aneh,” gumamku saat dirinya berlalu dan sebelum mendadak tersadar akan sesuatu yang tidak beres, “kenapa gak dia kasih langsung ke—tunggu dulu!”Caupa atau kepala kompi ada di sekitaran kemah komando sepanjang hari, buat apa yoram alias kepala batalion mengirim perintah berupa gulungan lewat prajurit?“Aneh!” kataku yang lekas memanggil Mera, kuda merah hasil menjarah Sabit Pedang tahun lalu, kemudian menyusul orang tadi. Huiiit!*** Tiga bulan sebelumnya.“Jaga diri baik-baik ….” Ketika Berlian dan Soran melepasku sebelum berangkat ke kancah perang. “Kalau menyerah ternyata bisa menyelamatkan nyawa, jangan memaksa bertarung—”“Kau tahu suamimu luar dalam, ‘kan, Sayang …?” selaku, mengusap pipi istriku lantas mengecup keningnya sebelum lanjut pamitan. “Sudah, jangan cemas. Jikapun kalah perang, yang penting jangan sampai mati.”“Bagus. Aku dan Soran menunggu kepulanganmu, ingat itu!”Aku tersenyum terus melihat Soran sebelahnya.“Kau gak mau bilang apa-apa pada ayahmu ini, Sa—”“Pergi sana!” ujar si gadis dengan nada ketus, “biar kau cepat pulang.”“Hahaha ….”Waktu itu diriku tidak berpikir bila perang melawan Serindi akan terjeda hingga semusim penuh. Tiga bulan aku mendekam di kemah tentara sembari menghitung hari kapan pulang dan melihat bagaimana orang-orang zaman ini mengatur siasat, tapi baru sekarang kulihat mereka benar-benar bergerak.Mengirim penyusup ke kemah lawan ….“Aku lupa tanya, kau dari unit mana?”“Aku?” Orang yang sesaat lalu menyerahkan gulungan padaku menunjuk muka sendiri. Ia mendekat ke kudaku pelan-pelan kemudian ….“Kau gak perlu tahu!” Dirinya melompat sambil mengayunkan pisau menyasar wajahku. “Apa?!”Namun, jangan panggil aku veteran kalau serangan kejut macam itu gak bisa kutangkap.“Kau cukup hebat, harus kuakui,” kataku sambil melirik posisi pinggang dan kakinya, “menggunakan gagang kapakku sebagai pijakan untuk mengirim tikaman mematikan ke kepala.”“Ho. Itu belum seberapa—hiya!”Gerakan keduanya juga cukup mengagumkan.“Memutar tubuh dan mengirim tendangan ganda sembari melepaskan diri, kau seorang pembunuh terlatih.”“Buat apa memuji gerakan yang dengan mudah bisa kau tangkis, hah?” sergahnya yang lalu pasang kuda-kuda rapat, “kenapa tidak turun dan kita bertarung secara jantan—”“Benar juga!” sambarku lekas lompat dari punggung Mera, “ayo berta—”“Bodoooh!” pekiknya yang kala itu langsung melesat ‘tuk menyasar leherku, “mati—apa?!”Sayang, ia kembali mundur usai gerakannya kuhindari dengan membungkuk dan kubalas lewat ayunan gagang kapak yang kutumpukan di pundak macam tuas pengungkit.“Kenapa malah mundur?” tanyaku usai menepuk Mera agar kembali, “bukankah kita akan bertarung?”“Aku baru sadar,” akunya yang kini pasang kuda-kuda rendah, “kuda merah legendaris, kemampuan bela diri sanggup menagkis teknik-teknik pembunuh kelas satu dan membuat diriku mundur dua kali. Kau bukan dari infanteri pelopor, ‘kan?”“Aku?” Kutunjuk muka sendiri. “Terus menurutmu dari mana, hah?”“Aku tidak ingin menebak, tapi kuda semahal tadi bukan milik prajurit biasa. Setidaknya dirimu harus seorang perwira menengah atau lebih tinggi lagi, ‘kan?”Aku ingin ketawa. Meski dugaannya barusan masuk akal, faktanya diriku hanya milisi yang kena wajib militer.“Terserah,” jawabku kemudian membuka kaki hendak menyerang, “ayo mulai sa—”“Tunggu!” jeritnya tiba-tiba dan minta waktu, “jika dirimu betulan perwira menengah, maka aku saja takkan cukup. Biar kupanggil teman-temanku buat menghadapimu ….”Ia meniup peluit, dan segera, beberapa orang berbaju hitam mendarat di dahan-dahan pohon mengelilingi kami. Mereka berpakaian ala-ala ninja, lengkap dengan pedang pendek dan arit berantai macam yang sering muncul di drama-drama kerajaan.“Hem. Apa aku sudah boleh menyerang?”“Tentu—”Sedetik, tubuh sang pembunuh refleks mundur menghindari hunjaman kapak perangku yang lurus melewati kepalanya. Meski tangan dan kaki orang itu membeku, matanya cukup tajam menatap gagang senjataku dalam gerakan cepat tersebut—jika diputar bak tayangan lambat.“Bagus,” gumamku lantas menekan tubuhnya ke tanah, menotok beberapa titik saraf, lalu menyumpal mulut si pembunuh agar dia jangan menggigit lidah sendiri setelahnya. “Kau mau kulaporkan ke atasan ….”*** Setelah pembunuh tadi kuserahkan ke markas komando, seluruh kemah selanjutnya menerapkan siaga tempur dan mengetatkan penjagaan, semua orang dikumpulkan, kemudian para upa memeriksa anggota regu masing-masing pas apel sore sama sebelum masuk barak.Masih di hari yang sama, pembawa pesan dari Ibu Kota pun tiba bersama jawaban atas laporan soal situasi garis depan sekaligus membawa perintah Bate. Kami akan menyerang Serindi besok pagi.Hari itu, tanggal 8 Bulan Pertama 221 Shirena.“Kontribusimu hari ini sangat besar, Prajurit Mi. Selain promosi dengan tambahan upah, kau boleh minta apa pun dariku sebagai hadiah?” Begitu ucap Caupa Wen waktu memanggilku ke tendanya. “Hari libur, semalam dengan wanita, atau senjata—katakan saja, hahaha!”Karena besok kami akan menyerang Serindi, minta libur sama saja dengan bohong. Bermalam dengan wanita juga cuma akan jadi masalah, Berlian bisa mengamuk kalau sampai tahu. Dua hal ini bukan pilihan tepat.Jadi, mumpung dia tadi bilang apa saja, malam tersebut kuminta tiga barang sekaligus. Zirah, helm, sama sebilah pedang buat perlengkapanku.“Boleh minta lebih dari satu benda, ‘kan, Caupa? Aku mau helm sama zirah baja terus pedang baru.”“Eh?!” Ia sempat mendelik sekian detik, tetapi tetap menyetujui permintaan tersebut sebab masih dirasa cukup wajar. “Baiklah! Kau pintar memakai kesempatan,” ujarnya yang lalu menyuruh tupa peleton mengambilkan tiga barang tersebut, “Yang Yi, ambil pedang sama satu setel seragam kita buat dia ….”Selain hal-hal di atas, hari itu aku juga mendapat kabar baik dari orang-orang Sabit Pedang. Ayah mertuaku tidak ikut berperang di perbatasan. Menurut surat yang kuterima, beliau sejak lama telah mengabdikan hidup sebagai pertapa ‘tuk mengajari anak-anak desa cara membaca di Sekte Mentari Gelap, sekian mil ke tenggara dari Distrik Timur Serindi. Sehingga diriku tidak perlu cemas ataupun menahan diri pada pertempuran besok ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

09 - Panggilan Militer dan Resolusi Sabit Pedang

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Paman Mi!”“Kenapa mukamu asem begitu?”“Kura-kura itu mengabaikanku,” aku Miki, mengadukan hewan-hewan ajaib yang kuminta ia jagakan sambil menungguku di kedai depan Kantor Muri Distrik Timur Laut. “Dia sama si naga putih terus menghindariku dan gak pernah mau kupangku, cih!”“Mereka baik-baik saja, tuh,” balasku saat memangku kura-kura dan naga putih yang ia adukan, “kalian cuma belum akrab kali, Miki.”Hari ini, tanggal 13 Bulan Enam, hari ketiga setelah upacara pelantikan bate baru selesai kemarin lusa.Kauro tiba-tiba menerapkan darurat perang. Bate memanggil satu laki-laki dewasa dari tiap keluarga di seluruh penjuru ‘tuk mengikuti wajib militer serta melakukan bela negara, tanpa ba-bi-bu dan hanya mengandalkan bewara berisi tenggat waktu pada selembar kertas bercap resmi.Katanya, jika seorang lelaki dari satu keluarga tidak melaporkan kesediaan diri sampai tanggal lima belas nanti padahal di keluarga tersebut terbukti tak ada kendala berarti maka mereka akan ditetapkan sebagai pengkhianat negara serta langsung dijatuhi hukuman mati.“Kejam, bukan?”“Apanya yang kejam, Paman?”“Panggilan Bate,” jelasku, melirik Miki sekilas terus lanjut bermain bersama kura-kura dan naga putih sambil menunggui si bocah selesai makan. “Di rumahku cuma ada satu laki-laki, tapi aku tetap harus pergi berperang melawan Serindi. Bukankah itu kejam?”“Jauh lebih kejam dirimu.”“Eh?!” Sontak kepalaku menoleh. “Aku kejam bagaimana?”“Kau jenis alkemis yang bisa memoles pusaka dan sanggup menjarah sekte besar sendirian, tapi dirimu malah tinggal di pinggiran kota terus gak peduli sama perkembangan dunia—”“Hahaha!” Aku terbahak dengar omongannya.Dia benar, sikapku yang acuh pada sekitar memang lebih kejam ketimbang seruan nasionalisme Bate. Apalagi diriku termasuk jenis oportunis serta manipulatif, kadang sangat pragmatis juga serakah.Namun, aku masih tahu aturan. “Kalau kau bilang begitu, Bocah, kita berdua ini sama.”“Kenapa?” “Kau itu murid pertapa, tapi bukannya fokus semedi dirimu malah berkeliaran di sekitar rumahku terus diam-diam mengintip putriku tiap kali ada kesempatan, ‘kan?”“Ehehe.” Miki pasang muka polos. “Paman, pas kau pergi nanti aku akan menjaga rumahmu, tenang saja.”“Palamu ….”*** “Paman, sebenarnya kita mau ke mana?”Miki kelihatan cemas, sejak keluar dari kota dan sampai ke kaki Gunung Empat Naga ia berkali-kali celingak-celinguk di punggung kuda. Seakan takut pada sesuatu.“Kita mau ke Sabit Pedang,” jawabku yang kemudian memberitahu anak itu sebuah rahasia, “sebelum pergi ke peperangan aku butuh ….”Jujur, diriku aslinya malas memenuhi panggilan Bate buat bela negara ini. Namun, Berlian bilang Serindi adalah kampung halaman ayahnya dan jika aku punya kesempatan menemukan beliau ia berjanji akan memberiku hadiah saat pulang nanti. Kalian mengerti, ‘kan?Sayangnya, bila perang kadung pecah kemudian tanpa sengaja ayah mertuaku terbunuh sebelum aku berhasil menemukan dirinya kesempatan tadi takkan berlaku lagi.“Jadi, aku kemari buat menukar harta sekte menyebalkan itu sama satu bantuan kecil.”“Paman Mi, aku paham dengan kaliber mereka keberhasilan rencanamu ini meningkat sampai seratus persen, tapi bukankah kita masih ….”“Hubunganku sama mereka buruk gegara kejadian kemarin maksudmu?” Kutebak kekhawatiran Miki saat itu. “Hahaha, tenang saja.”Menjarah harta Sabit Pedang cuma timbal balik atas kelakuan murid angkuh mereka, jika orang-orang sekte yang katanya terpandang ini ternyata berpikiran sempit dan pendendam maka aku tinggal datang ke tetangga ‘dekat’ mereka. Mudah, bukan?Lagi pula, barang yang akan kujadikan alat tawar adalah benda paling diinginkan pak tua kemarin.Pil Puncak Enam Kelopak ….*** “Kita sampai—”“Berhenti, siapa kali—”“Bajingaaan!” pekik suara menggelegar kemarin, memapakku sama Miki yang ketika itu baru saja tiba di depan Gerbang Sekte Sabit Pedang. “Kau berani datang ke sekteku lagi, haaah?!”Miki, seketika langsung menarik mantelku lalu sembunyi di baliknya.Dan segera, begitu sang leluhur sekte muncul, murid-murid Sabit Pedang juga ikut keluar mengelilingi kami. Aku bak sebutir gula pasir di tengah-tengah pusaran semut ….“Mau apa lagi kau kemari, hah?”“Hallo.” Kulambaikan tangan pada si kakek. “Aku mau menukar benda ini ….”Kukeluarkan barang yang mau kujadikan alat tawar.“Pil tingkat tinggi,” jelasku, “untuk membantumu menerobos ke ranah cincin lapis enam. Jika sebutir belum bisa membuat kita bicara dengan tenang, bagaimana kalau dua …, tiga …, empat—aku punya lebih dari selusin di sini, Pak Tua.”Kutepuki tungku di karapaks kura-kuraku.“Hem.” Si kakek mengalihkan pandangan. “Apa kau sedang—”“Rumput sama benda pusaka di gudang sektemu sudah pada berjamur dan berkarat,” selaku lantas memulai negosiasi, “sengaja kuambil mereka biar bisa kalian gunakan, Pak Tua. Jika niat baik itu disalahpahami, berarti penilaianku pada sekte ini salah.”“Kau?!” Ia menunjukku, tetapi pas lihat pil-pil di tanganku muka kesalnya langsung melemah. “Hah …, tidak ada makan siang gratis di dunia ini, ‘kan?”“Benar.” Segera kuutarakan keinginanku. “Aku mau kalian melakukan sesuatu ….”Selanjutnya. Usai kejadian hari itu, si leluhur bersama murid-murid Sekte Sabit Pedang pun melakukan pelatihan tertutup selama enam bulan. Tak ada kegiatan di luar padepokan pada kurun waktu tersebut, kecuali apa-apa yang ‘lah kami sepakati. Mereka bahkan sampai menutup gerbang serta menarik diri dari dunia luar.Dalam rentang waktu tersebut pula, persiapan perang Kauro melawan Serindi semakin matang. Hingga pada puncaknya ada sekitar dua puluh ribu pria tangguh yang berjalan bersamaku menuju arah selatan atas perintah bate di bawah komando dua orang bura atau panglima perang utama ….*** Ketika mendiskusikan sisa harta Sekte Sabit Pedang bersama ketua dan para tetua mereka ….“Soal senjata dan hewan-hewan ka—”“Anggap saja itu upah pekerjaanku!” potongku lalu mengeluarkan semua pil mana yang telah kusuling selama seminggu ini, “segini harusnya lebih dari sekadar cukup buat mengganti kerugian kalian, ‘kan?”Bukan hanya anggota sekte, Miki dengan kura-kura di pangkuanku pun ikutan melongo waktu pil-pil ajaib tadi melayang memenuhi langit-langit Aula Sekte Sabit Pedang.“Ke-ketua!”“I-ini?”“Terus terang aku merasa bersalah sudah menjarah gudang harta kalian,” akuku yang buru-buru pasang muka sedih sebelum lanjut bela diri dan berdalih, “tapi pas lihat rumput herba sama barang-barang di sini hampir rusak aku langsung bertekad, meski bayaranku sangat mahal herba-herba kalian gak boleh sampai sia-sia.Cuma, sebagai alkemis aku juga punya kebanggaan yang gak bisa ditawar.Karena itu jugalah, setelah menghitung rincian biaya kuputuskan buat mengambil seluruh pusaka di gudang dan menangkap hewan-hewan di sini sebagai ganti rugi. Meski diriku seharusnya minta upah tambahan, tapi karena ini merupakan niat baikku—benda-benda rusak sama hewan-hewan tadi sudah cukup.”“Ka-kami mengerti, Tetua.”Walau sempat melongo dan tampak ragu, pada akhirnya Ketua Sekte Sabit Pedang pun tetap merelakan hewan beserta pusaka-pusaka mereka sebagai ganti upah penyulingan pil-pil tersebut.Ia paham, bila seluruh pil tadi kuuangkan harta mereka takkan cukup ‘tuk membelinya. Seandainyapun dirinya menolak lantas minta semua dikembalikan, sumber daya manusia mumpuni sekte ini juga belum tentu mampu mengolah pil-pil itu seperti diriku melakukannya.Sehingga simpulan pada kunjungan keduaku ke sana ialah permusuhan kami berakhir lalu hewan-hewan ajaib beserta pusaka-pusaka Sabit Pedang mereka relakan …. ***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

08 - Kebiasaan yang Susah Hilang

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Sayang.”“Sudah selesai?” tanya istriku, lekas memapak sang suami yang baru tiba sehabis menjarah isi ruang harta Sekte Sabit Pedang. “Kau gak apa-apa, ‘kan, Sayang?”“Yang harusnya kau khawatirkan itu aku, Lian …,” protes Miki, ia cepat-cepat menyambar gelas dan minum bebarapa teguk sebelum lanjut mengeluh. “Hah. Gak cuma pusaka, suamimu juga menangkap semua makhluk mistis di sana—gilaaa.”Kuangkat tangan sebahu waktu mata penuh tanya Berlian melirik cepat ke arahku.“Namanya juga menjarah ….”Sebelumnya, di Sekte Sabit Pedang. “Benar ini sekte mereka, ‘kan?” tanyaku, merespons tatapan gelisah Miki yang gak kunjung mereda sejak kami masih di jamuan Pelantikan Bate Kauro. “Jangan cuma melihatku begitu. Sana, cepat taruh dupa di tanganmu ke depan patung singa dekat tiang gapura sebelah kiri itu ….”Aku mengerti bila dirinya takut.Toh, Sekte Sabit Pedang memang kelihatan cukup megah dan terkesan berpengaruh. Mulai dari penampakan gapura mewah, tangga marmer hingga ke puncak bukit, ditambah endapan essen atau sumber mana nan melimpah. Dengan kondisi sekaya ini, pantas murid-murid mereka pada besar kepala.“Aku takut, Paman Mi.”“Tenang saja,” kataku, menarik pinggang anak itu terus melompat dan mendarat pas di depan aula utama sekte tersebut. “Nah. Sampai ju—”“Siapa yang cari mati berani menerobos sekteku?!”Seberkas suara, lantang dan menggelegar, menyambutku seketika. Datang dari arah puncak bukit di belakang Aula Sekte Sabit Pedang, si empunya suara kemudian melepas aura nan menekan area sekitar hingga semua yang berada di radius satu mil darinya dipaksa berlutut sampai ambruk oleh tekanan khas milik pertapa cincin lapis lima.Benar-benar wah, kecuali bagi diriku sama bocah yang kuselimuti pakai mantel di sebelah—tentu saja.“Jangan keluar dari jubah ini—” Begitu kataku pada Miki, satu detik sebelum melesat ke si pemilik aura untuk menyambar leher lalu membantingnya. “Hallo.”“Apa—akh?!”Usai gebrakan pertamanya gagal. Ia, pria tua dengan jenggot putih lebat nan menjuntai hingga melewati dada itu, kini ambruk dan berusaha berdiri setelah menghantam ubin di depan aula sektenya sendiri.“Aku yang barusan kau sebut cari mati berani menerobos kemari …,” kataku, cekak pinggang menungguinya selesai berdiri. “Sekarang dirimu mau apa, Pak Tua?”Dia, sang pria tua, selanjutnya malah pasang muka senyum dan mendekatiku dengan langkah ringan. “Ahaha, Tetua … Tetua, kau salah paham. Aku tidak tahu jika tadi itu dirimu,” ucapnya, tepat sebelum ia menyelinap ke belakangku dan menikamkan sebilah belati. “Bo—hah?!”Namun, usahanya sia-sia.“Ilmu kulit bajaku sudah kulatih sampai derajat ia bisa melapisi sehelai benang tanpa merusaknya,” ujarku lalu menangkap pisau tipis yang tidak mampu bahkan hanya ‘tuk sekadar menggores pinggang baju kodokku lantas meremukkannya macam pedang-pedang pertapa amatir di bagian sebelum ini, “kau tahu apa artinya itu—”“Mustahil!” sergah si pria tua sambil melompat mundur, “aku adalah Leluhur Sekte Sabit Pedang yang kesohor sampai belahan barat benua. Kau pikir berapa umurku sekarang, hah?”“Mana kutahu?” jawabku sebelum kemudian melepas serangan mental, memunculkan bayangan palu raksasa hendak menghantam ia di kepalanya.Hingga sang leluhur pun menjerit sejadi-jadinya. “Tidaaak ….”Beres menangani si pak tua, aku ditemani Miki lanjut pada niat awal kami datang ke sana. Menjarah seisi ruang harta Sekte Sabit Pedang sampai benar-benar kering ….“Jadi begitu. Setelah semua harta kukantongi, empat murid lingkar luar sama satu leluhur tadi kuikat di tiang aula mereka terus pulang, deh, Sayang.”“Terus hewan-hewan mistis yang kata Miki kau tangkap juga, gimana?”“Mereka ….” Aku garuk pipi ditatap oleh Berlian. “Satu kujadikan tunggangan, sisanya—”“Sisanya suamimu simpan di guci wasiat bareng benda-benda pusaka lain,” sambar Miki yang lekas keluar dari meja buat merentang tangan dan kaki sembari memperagakan ukuran, “kau gak bakal percaya. Guci suamimu bisa membesar dari sebesar ini sampai segini, terus jadi segini, sama segini ….”“Berhenti loncat-loncat kayak katak, Miki!” timpalku lalu mengeluarkan pusaka yang anak itu maksud, “geli. Biar kutunjukkan saja ….”*** Seminggu kemudian, kabar menggemparkan pun menyeruak ke seluruh negeri.Sekte Sabit Pedang menghimpun seluruh sekutu untuk memburu penyerang misterius, begitu bunyi headline koran yang kubaca. Isinya, leluhur bersama empat murid disergap ketika sedang menjalani latihan tertutup.Tidak ada kata jarah-menjarah dan identitas empat murid tadi disamarkan, jelas sekali mereka menutupi malu bila seluruh pusaka, pil ajaib, manual teknik, beserta seluruh hewan mistis di sana telah raip tak berbekas.“Ahahaha!” Aku terbahak tiap kali baca berita soal sekte satu ini.“Kau kelihatan puas sekali, Paman Mi.”“Menurutmu, Bocah. Bagaimana muka orang-orang Sabit Pedang pas tahu jika pusaka-pusaka dari gudang harta mereka kemarin sudah kulebur semua?” tanyaku, menutup koran yang baru saja kubaca lalu menaruhnya di meja menanggapi kedatangan Miki. “Hah?”“Tunggu dulu!” Anak itu mendelik dengan kepala agak tersentak. “Apa maksud pusaka mereka sudah kau lebur, Paman?” tanyanya yang kemudian mencondongkan diri, “Paman Mi, kau sedang bercan—”“Nih!” Kudorong guci wasiat di meja stan dagangku ke depannya. “Cek sendiri.”“A-apa ini, Paman?”“Itu guci wasiat yang kupakai menampung pusaka sama hewan-hewan mistis kemarin.”Ia melongo, detik berikutnya mata si bocah langsung menghunjam pada guci yang kini telah menyusut hingga jadi sebesar kepala labu di hadapannya.“Paman, benar ini guci wasiat kemarin?” Jelas, Miki tampak tidak percaya. “Kau gak sedang meni—”“Benda itu asli!” selaku lantas topang dagu, “aku cuma mengubah penampilan luarnya biar gampang kubawa-bawa. Repot pas ukurannya sebesar kemarin, kau tahu!”“Paman ….” Ia tiba-tiba kelihatan lemas. “Kalau ukurannya segini sebutannya bukan guci, tapi kendi.”“Terserah,” balasku, tidak terlalu peduli. “Sebut saja sesukamu, nanti juga bakal kuubah lagi.”Apa pun nama benda itu sekarang, tidak mengubah fakta bahwa dia awalnya merupakan wadah penampung air yang kuambil dari pojokan gudang harta Sekte Sabit Pedang—dan fungsinya masih sama.“Hem.” Miki melipat tangan. “Pusaka Sekte Sabit Pedang pasti bukan barang-barang sembarangan, ‘kan … bagaimana caramu melebur—gak, bagaimana caramu mengubah guci besar kemarin jadi kendi sekecil ini?!”“Oh.” Kubuka tutup kendi di depannya. “Kalian, keluar!”Segera, begitu dengar suaraku tiga hewan ajaib melompat dari dalam kendi tersebut. Kura-kura bertempurung menyerupai pegunungan mini, naga putih mungil yang melayang-layang, dan seekor kelabang hitam dengan ujung kaki juga antena kemerah-merahan. “Pamaaan?!” pekik Miki, terperanjat mundur dua langkah kemudian balik mendekat penasaran. “A-apa ini?”“Mereka pemenang turnamen di dalam kendi itu.”“Turnamen?”“Ya. Makhluk-makhluk mistis yang kita tangkap di Sekte Sabit Pedang, seminggu ini mereka saling buru di dalam sana … hasilnya, sekarang kita punya tiga terkuat di atas meja.”“Oh.” Miki tampak terpukau pada penampilan naga putih mungil di tengah. “Cuma, buat apa kau tunjukkan mereka bertiga padaku, Paman?”“Aku bukan mau menunjukkan mereka padamu,” jelasku yang lalu mengangkat kendi tadi, “tapi ….”Kualirkan mana menyelimuti wadah ajaib tersebut ‘tuk perlahan mengubah bentuknya.“Lihat kemari, Bocah! Perhatikan baik-baik ….”Kau penasaran sama caraku mengubah guci besar kemarin jadi kendi sebesar kepala labu ini, ‘kan?***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

07 - Bate Baru

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Katamu kau gak akan mengizinkan Soran ke luar, Paman Mi?”Aku menoleh, tersenyum, lalu mengeplak kepala Miki pakai kipas. “Maksudku tadi pagi itu kalau dia pergi ke luarnya bareng denganmu, Bocah. Sekarang kami keluar sekeluarga, ada aku, ada istriku juga. Malahan diriku yang harusnya tanya, kenapa kau mengikuti keluargaku terus, hah?”“Ehehe.” Miki garuk kepala. Ia kemudian pindah ke sebelah Berlian. “Lian ….”“Kau mau mengajak Soran jalan-jalan, ‘kan?”“Ah—benar-benar!” Serasa diberi jalan oleh istriku, si bocah segera menganggukkan kepala semringah. “Aku tahu di mana tempat yang banyak makanannya. Soran, kau mau pergi sama aku, ya?”Soran melihatku.“Hah.” Lihat tatapan Miki dan Berlian, aku jadi merasa terlalu protektif. “Pergilah. Cuma ingat, jangan sampai membunuh seseo—”“Bagus!” Belum selesai kata-kataku, Miki sudah langsung main sambar tangan si gadis serta lekas menuntun dirinya menjauh. “Ayo pergi, Soran!”“Hei—”“Mereka anak-anak, Sayang,” ujar istriku, meraih tanganku lalu erat menggandengnya. “Jangan terlalu cemas. Daripada itu, kenapa kita gak pergi lihat-lihat juga?”Hem. Sepertinya aku tahu kenapa Berlian menyuruh Miki membawa Soran ….*** “Sayang, lihat!”Aku menoleh ke arah yang istriku tunjuk.“Mereka dari Sekte Bukit Karang, sekolahnya Miki. Yang itu Bukit Awan …, Angin Utara juga datang …, Sabit Pedang, Tiga Puncak Bambu—bahkan sekte alkemis ….”Benar. Banyak sekali yang datang untuk merayakan pelantikan bate baru Kauro.Aku yang sudah hampir lupa bila zaman ini adalah seribu milenium setelah era Mirandi, mendadak punya rasa sesal gegara melewatkan kesempatan ‘tuk pergi ke Benua Baru pas Matilda runtuh. Jika benar mau menunggu penyintas periode Shirena sekarang, maka aku perlu bergantung pada perkembangannya yang entah bakalan cepat atau lambat.Atau, haruskah kubantu ia agar segera bertemu kura-kura dengan sanca raksasa di Sangkar Naca Putih?“Sayang, semua sekte terkenal di Kauro di sini!” Berlian kelihatan senang. “Lihat hadiah-hadiah yang mereka bawa. Apa isi peti besar itu?”Kurasa hanya diriku dan Soran yang tidak terbawa suasana riuh alun-alun tersebut. Ia cuma melipat tangan di seberang sana. Seratus delapan puluh derajat dari orang sebelahnya, Miki.“Sayang, lihat ke atas panggung!”“Oh.” Kini acara mulai menarik. “Kenapa mereka memasang bendera tantangan?”“Kau gak tahu, Sayang. Kauro punya tradisi. Kita dikelilingi banyak sekte bla bla bla … dan setiap bate berganti mereka akan mengadakan turnamen buat memilih kepala persekutuan baru.”Jujur aku enggak fokus waktu istriku menjelaskan, sekelilingku sangat berisik, jadinya yang kuperhatikan betul hanya bagian ‘tradisi’ di awal sama ‘turnamen’ di ujung barusan.“Kenapa terbuka buat umum?”“Kau ini.” Berlian mencubit perutku. “Itu cuma luarnya ….”Maksudnya turnamen tersebut hanya sebagai hiburan dan tidak benar-benar akan diikuti oleh orang luar, jadi tulisan terbuka di panggung sana punya kekhususan terbatas untuk orang-orang Kauro saja.“Lihaaat! Yang naik pertama dari Sekte Bukit Awaaan ….”*** “Paman Miii, Berliaaan!”Aku berbalik sebentar, melambai pada Miki dan Soran di gedung seberang, kemudian kembali duduk bersama istriku dan lanjut makan.“Miki kelihatannya senang sekali, ya, Sayang?”“Gimana gak senang.” Diriku agak sebal sebetulnya. “Dia jalan-jalan sama putri penguasa benua.”“Kau ini. Kalau dirimu penguasa benua, berarti diriku adalah Permaisuri Xie Ran—”“Hahaha!” Seberkas tawa, dari meja sebelah, tiba-tiba merusak senyum di wajah Berlian. Tawa meremehkan yang sudah lama tidak kudengar. “Permaisuri Xie Ran dan penguasa benua, kalian dengar itu? Lucu, benar-benar lucu—hahaha ….”“Mereka cuma jelata, jangan terlalu kau hiraukan.”“Jika jelata saja menjadi penguasa benua, kita para pencari keabadian ini adalah dewa. Hahaha—”Ffft! Sekarang gantian diriku yang merasa geli. Mereka hanya pertapa cincin lapis dua dan pertama, tetapi sudah merasa sebagai pencari keabadian. Tidakkah orang-orang di meja sebelah itu terlalu angkuh?“Hei! Kenapa kau tertawa?!” teriak pertapa cincin lapis dua yang sebelumnya menertawaiku dan Berlian, “apa dirimu sungguh merasa sebagai penguasa benua, hah—hahaha.”Kutaruh sumpit lantas menghadap mereka.“Yang membedakan praktisi chi dari kebanyakan kita cuma cara menghirup udara …,” kataku pada orang tersebut, “Anda-Anda ini menghimpun mana alam sembari bernapas demi membentuk sebutir kelereng di dalam tubuh, menggunakannya sebagai pengganti makan, lalu mencoba memperpanjang harapan hidup.Sementara kami-kami, hanya bernapas dan makan seperti biasa.Tidak ada yang abadi di antara kita, Tuan-Tuan.”“Apa maksud ucapanmu, hah?”Benar. Beginilah sikap orang dengan tipe ini. Gampang marah selain mudah meremehkan orang.“Apa maksud Anda, Tuan?” balasku, meladeni delikannya lewat senyum sinis dengan lambaian remeh.Bisa kulihat bila ia memusatkan mana di telapak tangan, sepertinya hendak melempar teknik tapak. “Kau tidak tahu siapa a—”“Paman Mi!” Bagus, si bocah muncul di saat yang ‘tepat’—tepat di dini adalah sindiran, maksudku kenapa dia harus muncul sekarang?Aku menjuling ke arahnya.Ia tampak riang gembira, mendekat sambil menuntun Soran dari tangga. “Paman Mi, kenapa lantai dua tiba-tiba sepi? Ke mana semua orang tadi? Apa yang—”“Tanya mereka!” potongku, menggerakkan kepala ke para praktisi tenaga dalam di meja sebelah. “Pertapa-pertapa amatir di sana menakuti pelanggan lain.”“Pertapa amatir?!” Orang tadi makin kesal. “Siapa yang kau se—”“Siapa orang-orang bodoh ini, Ure?”Spontan aku menoleh pada Soran.“Sayang, bisakah kau panggil aku ayah?” tanyaku, angkat tangan gemas. “Kita lagi di luar seka—”Blentang! Sesuatu menghantam bahuku, sepertinya sebilah pedang, tetapi benda tersebut langsung patah dan pecahannya hampir saja mengenai wajah istriku dengan hidung Miki kalau tak spontan kutahan pakai Benang Pandora.“Apa yang kau lakukan?” Aku bangkit, menarik serpihan-serpihan tadi, lalu meremukkan mereka hingga jadi debu dan berbalik. “Diriku gak suka gangguan, apalagi pas waktu makan.”“K-kau, kau, kau punya ilmu kebal?!” Kini ia gemetar—maksudku si pertapa yang barusan coba menebasku diam-diam dari belakang.Mukanya pucat, lutut tidak sekokoh saat menggertak, terus punggung sama kepala yang agak tertarik mundur.Waktu diriku berdiri, teman-temannya pun ikut keluar dari meja lantas menghunus pedang. Sring!“Kami murid Sekte Sabit—”“Baiklah.” Terserah dari mana asalnya, selanjutnya kutarik senjata para pertapa muda ini pakai Benang Pandora kemudian menekan mereka dengan aura seberat lusinan kati. “Berlutut!”“Jangan bunuh mereka, Paman!” teriak Miki, pindah dari dekat Soran ‘tuk memohon sebelahku. “Paman Mi, mereka dari Sabit Pedang.”“Terus?”“Sabit Pedang itu anggota inti di Persekutuan Sabuk Timur,” terangnya, “jika murid mereka mati pas upacara pelantikan bate kita, Kauro bisa kena masalah.”“Maksudmu?” Aku masih belum mengerti. “Apa urusannya sekte pertapa keabadian sama dunia kita—”“Sayang, sudah kubilang kalau selain berada dalam naungan aliansi Kauro juga ada di bawah yurisdiksi sekte-sekte bela diri, ‘kan?” sambung istriku dari belakang, mengingatkan pada penjelasannya tadi siang. “Lupa, ya?”“Oh.” Mulutku membulat, tapi diriku juga tak ingin melepaskan mereka begitu saja. “Baiklah. Miki, kau ikut aku ke sekte orang-orang ini—Soran ….” Aku menoleh. “Jaga ibumu selama kami pergi.”“Tunggu, Paman Mi!”“Apa lagi?”“Kau mau apa di Sekte Sabit Pedang?” tanyanya, melihatku penuh cemas. “Kalau murid lingkar luar mereka saja di sini, berarti di sana sekarang gak ada siapa-siapa.”“Lebih bagus lagi!” sambarku semringah, “kita jarah harta sekte mereka sampai kering ….”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

06 - Kaget

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana ini, Tuan Mi?”“Bagaimana apanya?” balasku, balik tanya menanggapi muka cemas Pembantu Hong yang baru kembali dari ruangan Tera dan Muri. “Tera Cupin ingin aku mencari pengrajin untuk memoles kodok kita.”“Kodokmu, Tuan Hong,” ucap Kolektor Lu, meluruskan informasi dan menegaskan posisi kami. “Tolong jangan lupa, aku dan Tuan Mi tidak merekomendasikan kodok itu.”“Benar!” Kugerakkan telunkuk ke orang sebelahku, setuju akan omongan si juru taksir. “Tuan Hong, Anda yang ngotot mau benda hijau di—”“Ya, ya, aku salah ….”Aku dan Kolektor Lu sebenarnya tak ingin memojokkan Pembantu Hong, tapi sikap keras kepalanya kemarin memang perlu sedikit disentil. Jadi, kami berdua sepakat buat lepas tangan jika tidak benar-benar harus turun langsung dalam urusan hadiah persembahan ini.Toh, baik diriku maupun si juru taksir sebelahku, di sini kami sama-sama orang luar.Sekadar pihak ketiga yang dimintai saran ….*** “Aku pu—”“Paman Mi, tolooong!”Baru juga turun dari kereta dan mau menyapa orang rumah, aku sudah dibikin lompat sambil merapal mantra bumi buat menghalau tamparan guntur Soran. Gadis itu, dia lagi mengangkat tangan ketika aku datang. Terus di depannya ada Miki yang merangkak dengan satu kaki diseret, berusaha menjauhi si gadis waktu memanggilku barusan.Sementara istriku, dirinya menangis sembari berlutut di ambang pintu rumah jauh di belakang sana.“Hah ….” Aku menggeleng mendapati kekacauan ini. “Apa yang kau lakukan, Soran?”“Dia.” Soran mundur kemudian menunjuk bocah di belakangku. “Mau merebut manik pemberianmu.”Dengar itu, aku pun berbalik lalu jongkok sebelah Miki.“Benar kata anakku?” tanyaku, ingin dengar keterangan darinya.Miki lantas membantah sekuat tenaga. “Bukan! Bukan begitu, Paman Mi! Aku gak ada niat merebut ….”Tahu bagaimana anak di depanku serta paham betul bila Soran takkan sembarangan bicara, diriku selanjutnya mengobati kaki Miki lalu mengumpulkan mereka semua di ruang keluarga. Kutanya Berlian apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa semua bisa berakhir dengan Soran hampir membunuh Miki di halaman rumah macam tadi. Kuminta satu-satu bercerita ….“Aku sedang menghangatkan makan malam sampai kudengar suara keras,” tutur istriku, “saat kuperiksa, Miki sedang mengerang dan soran berjalan mendekatinya. Mereka, mereka ….”“Dia mengambil manik yang mau kutelan,” jelas Soran, “terus menolak mengembalikannya ….”“Aku gak berniat merebut manik-manik milik putrimu, Paman Mi,” sanggah Miki, “sungguh. Aku tadi cuma kesal karena gadis itu terus mengabaikanku ….”Setelah mendengar keterangan ketiganya aku sampai pada kesimpulan, semua ini salah paham.Miki kesal karena Soran tak menggubris dirinya lalu menyambar manik di depan si gadis dengan harapan akan diperhatikan kemudian. Namun, Soran menganggap hal tersebut sebagai permusuhan lantas melempar anak itu hingga membentur meja taman dan merusak susunan formasi di sana terus menarik perhatian Berlian.Hal kecil sebetulnya.“Sebaiknya kau minta maaf,” kataku pada Miki, “putriku bukan pendendam kalau dirimu memang tulus.”Si anak melihatku agak lama sebelum menurut pasrah dan kejadian sore itu kami tutup dengan makan malam bersama sampai ia pamit pulang ….*** “Sayang.”Malamnya, istriku menempelkan punggung ke dadaku lagi.“Aku seorang alkemis,” ujarku, mendahului dirinya serta melekatkan kulit kami. “Jangan heran jika putri kita bisa mengalirkan chi, Sayang.”“Bukan,” timpalnya pelan, “aku gak penasaran soal itu, tapi manik-manik yang Miki bilang tadi. Kata Soran kau mendapatkannya setelah bertapa lama, ya?”“Oh.” Kukecup tengkuk Berlian. “Ya, benda itu ada di depanku pas aku membuka mata selesai bertapa ….”Aku gak bohong. Manik yang kuberikan pada Soran memang tiba-tiba sudah melayang di hadapanku pas selesai merapal seluruh mantra naga warisan Letta di Pagoda Istana Naga Danau Kiri. Kemudian sejak rampung semedi tujuh puluh ribu tahun itulah aku mulai merasakan sepi, sedih, sama sederet galau yang terus bertambah hingga malam di mana diriku pamitan ‘tuk mencari Chloe Kecil ke Benua Baru.Tiga puluh milenium menghadapi seluruh perasaan tersebut dan tetap gagal ….*** “Kenapa kau sudah memegangi pagar rumahku pagi-pagi buta begini, Bocah?”Keesokan paginya. Bak tidak pernah terjadi apa-apa, anak yang kemarin sore melihat putriku dengan tatapan putus asa kini tengah tersenyum dari balik pagar samping rumahku sambil melihat ke arah jendela dapur.Tangannya berpegang kuat pada jeruji pembatas halaman tersebut.“Kau habis dari mana, Paman Mi …?” tanyanya, berusaha melongok ke belakangku. “Kenapa tiba-tiba sudah di luar rumah dan datang dari arah sana?”“Kau gak lihat gayung sama handuk di tanganku?” Sengaja kuhalangi dirinya biar gak terus mengintip jendela dapur rumahku. “Aku baru beres mandi.”“Mandi?” Ia kini terperangah. “Subuh-subuh begini?”“Nanti kau bakal tahu setelah menikah …,” kataku yang lantas mengangkat tubuh Miki melewati pagar pakai Benang Pandora, “jangan mengintip rumah orang, mirip pencuri, tahu.”“Pa-pa-paman, ke-ke-kenapa tubuhku mela—”“Diamlah.”“Paman Mi!” Anak itu celingak-celinguk. “Apa, apa di rumahmu ada hantu?”“Berhenti memeluk lenganku ….”Tanggal 4 Bulan Enam 220 Shirena. Hari ini adalah Upacara Pelantikan Bate Kauro.Mulai siang nanti semua orang seharusnya bersukacita menghadiri jamuan juga perayaan di alun-alun, makan-makan serta menonton berbagai penampilan menarik hingga seminggu ke depan. Menurut susunan acara yang kuintip waktu ke Kantor Muri kemarin, akan ada lebih dari seratus sajian di tenda prasmanan dan hampir tujuh lusinnya merupakan hidangan adat khas dari seluruh Kauro.Karena itu harusnya anak ini juga gak ada di sini ….“Wei, kenapa kau belum pergi menonton acara di alun-alun, Miki?”“Acara di sana gak menarik, Paman,” jawabnya yang malah asyik melihati sekeliling rumahku bak lagi mencari sesuatu, “lagi pula, aku bakal pergi kalau sudah melihat Soran. Hehe. Dia gak tidur di tempat—adaw! Kenapa memukulku?!”“Kau lagi bicara sama siapa, hah?” sergahku, gemas lantaran hanya ada Soran di kepala anak itu. “Buat apa kau mencari Soran, dirinya gak kuizinkan pergi ke luar denganmu.”“Siapa juga yang mau membawa putrimu, yeee ….”Aku semakin gemas.“Tadi bilangnya bakal pergi setelah lihat Soran, ‘kan?”“Maksudku cuma melihat,” selanya lalu cepat-cepat menjelaskan, “sungguh. Paman, aku bukan mau meng—ya, kalau dianya mau sih gak apa-apa ….” Kuusap mukaku sebelum melihat geli ke arah Miki.Dirinya baru selesai mengikuti upacara kedewasaan bulan lalu. Normalnya, pada periode awal ini mereka akan lebih senang bertualang dan mencoba berbagai macam kegiatan di luar sana. Gak betah di rumah, terus mulai mempertanyakan banyak hal ‘tuk mencari jati diri.Kenapa dia malah tertarik dengan putriku?“Entah apa isi kepalamu, Miki. Cuma, kau harus tahu jika Soran jauh lebih tua daripada dirimu.”“Aku tahu.”“Dirinya juga lebih kuat dari—”“Tamparannya membuatku terpental kemarin, Paman Mi. Aku jelas tahu seberapa besar perbedaan kami.”“Terus kenapa kau masih ingin mendekatinya, Bocah?!”“Hehe. Soran orang pertama yang mengalahkanku ….”Sontak aku geleng kepala dan lanjut menyiapkan sarapan dengar jawaban tersebut.“Parah. Benar-benar parah ….”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

05 - Hie Soran

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana hari ini, Sayang?”Aku tersenyum disambut istriku di depan pintu, lekas kukecup kening lalu lanjut merangkulnya ‘tuk kembali ke dalam rumah. “Melelahkan,” ujarku, “kau gak bakal percaya kalau—eh, ya!”Gak lupa. Aku menoleh, berbalik, kemudian memanggil gadis yang mengikutiku agar ikut masuk.“Soran! Kemari, Nak. Temui ibumu ….”Biar kalian dan Berlian gak bingung sama kemunculan gadis itu yang spektakuler—maksudku dirinya muncul dari gelembung macam pintu teleportasi di langit terus melayang dengan jejak kerlap-kerlip hingga mendarat depan pintu rumahku. Buatku, sebagai tokoh utama yang jarang muncul dengan tambahan efek spesial ini, tadi sudah luar biasa.Balik ke pokok bahasan. Biar kujelaskan kenapa gadis itu bisa tiba-tiba mengikutiku ….“Tuan Hong memintaku ‘tuk memilihkan benda dengan kadar mana paling kental, ‘kan?” Sebelumnya, ketika berhasil menemukan hadiah untuk acara pelantikan Bate Kauro. “Dari tiga ini, bonsai sebelah kiri punya aura paling pekat daripada batu atau telur grifin sebelahnya.”“Kurasa maksud Tuan Hong telur di tengah itu grifin, Tuan Mi. Kalau berhasil menetas, bukankah dia akan menjadi tunggangan termewah di benua?”“Kalau pertimbangannya begitu, kenapa masih bingung?”Aku dan Kolektor Lu kompak melirik Pembantu Hong.“Hehe.” Namun, orang yang mengundangku bersama sang kolektor untuk agenda hari ini itu hanya terkekeh sambil garuk kepala. “Apa kita tidak bisa mengambil ketiganya saja?”“Aku dan Tuan Mi paham buat pohon hias dengan telur satu ini, tapi batu itu?”“Benda ini ….” Kala itu, tepat saat Pembantu Hong mengelus permukaan giok pahat hijau berbentuk kodok mangap sebelum mengambilnya dari nampan di tangan pelayan rumah lelang tersebut, diriku pun sontak merasakan aura dingin yang menggigit hingga ke tulang dari arah belakang.Aura yang sangat kukenal. Hawa haus darah milik Soran. Yang, waktu kuperiksa, tenyata (ia) lagi menekan orang-orang—atau, mungkin begal—apes di hadapannya.Tampaknya mereka salah sasaran dan mengira gadis ini sebagai anak hilang yang kebetulan melintas …. “Begitu,” pungkasku, selesai menceritakan pertemuanku sama Soran pada Berlian. “Kalau boleh, aku i—”“Tentu saja boleh!” Istriku pindah duduk ke dekat si gadis lantas merangkulnya. “Putrimu juga adalah putriku, Sayang. Soran, tinggal sama mama di sini, ya?”Soran melihatku.“Pilihan di tanganmu,” kataku, mengembalikan putusan akhir padanya. “Aku takkan memaksa kalau kau mau pulang ke Istana Naga, Soran.”“Apa kau akan ikut?”Aku menggeleng.“Apa karena wanita ini?” tanyanya lagi, menunjuk Berlian. “Dia gak sekuat Letta, juga bukan pemegang Hati Benua. Kenapa mau tinggal di sini?”“Hah.” Aku hela napas dengar omongan Soran. “Dengar. Kau tahu diriku belum bisa pulang, tabir pembatas juga mencegahku menyeberang ke benua lain. Jadi ….”Kusenyumi istriku sebelahnya.“Aku akan tinggal di sini.”*** “Sayang ….”Malamnya, ketika Berlian menempelkan punggung ke dadaku.“Istri tuamu orang yang hebat, ya?”“Kenapa?” Aku tahu ia kepikiran omongan Soran tadi sore, jadi kutarik tubuhnya supaya kami lebih lekat dalam dekapan selimut tersebut. “Yang sudah pergi takkan kembali, Sayang. Jika kau takut—”“Bukan. Cuma penasaran,” akunya, “kalian tinggal di istana dan istrimu dibilang kuat—”“Kau juga istriku,” selaku, membenamkan wajah ke tengkuk Berlian lalu menghiburnya. “Dan, ya … Sayang, ‘dirimu memang sungguh benar-benar sangat kuat.’”“Iiih, Sa—”Kutahan dirinya agar jangan berbalik.“Diam,” ujarku lantas mendekapnya, “aku mau memelukmu ….”Sekian detik kemudian.“Aku senang kau cemburu,” bisikku, “sebab itu artinya kau mencintaiku, ‘kan?”“Siapa bilang,” balas istriku pelan, “aku gak cemburu. Kenapa harus cemburu, dari semua pelamar cuma diriku yang berhasil jadi istrimu, ‘kan?Itu sudah membuktikan kalau daya tarikku tiada tara.Jika bukan karena itu, mana mungkin kau sama Miki rela mengejarku pas lari du—”“Benar.” Kueratkan dekapanku. “Sayang, kau memang sangat menarik.”Benar-benar menarik ….*** “Paman Mi—”Kulirik Miki sekilas, ia yang tiba-tiba mematung sebelah stan dagangku, lalu kutoleh arah yang dirinya tatap.“Oh.” Tahu apa yang anak itu perhatikan, aku pun balik merebah di kursi terus melipat tangan dan tumpang kaki ke pinggiran meja. “Awas matamu loncat,” kataku, menggodanya.Miki mendengkus, kemudian mendekat dan berdiri sebelahku. “Siapa i—”“Putriku,” sambarku, tersenyum penuh bangga. “Cantik, ‘kan?”“Ah, yang benar?”“Terserah kalau gak percaya ….”Hari berikutnya, tanggal 3 Bulan Enam, kehidupanku di Distrik Timur Laut Kauro berlanjut. Sehabis mengatur akomodasi untuk Soran tadi pagi, diriku kini menunggui stan dagang seperti biasa. Menjajakan Pil Embun Rumput Bulan sama ramuan-ramuan penambah mana lain sampai ….“Kau gak pernah cerita punya anak gadis, Paman Mi.” Anak ini datang dan menggangguku. “Siapa namanya?”“Berhenti merayuku, Miki.” Aku menjuling. “Kau pasang senyum semanis gula sambil memijat pundak, atau bahkan membawakanku seporsi ikan bakar Paman Liang pun jangan harap bisa mendekati putriku.”“Ayolah, Paman Mi. Kau tahu bagaimana diriku, ‘kan?” rayunya, mengiklankan diri macam cara ia tiga tahun lalu mencomblangkanku dengan Berlian. “Cuma kenalan masa gak boleh?”“Hem.” Kurentang tanganku lantas bangkit. “Jagakan stanku, Bocah. Kita lihat sebaik apa dirimu sampai aku kembali nanti,” godaku yang lanjut berbisik ke kupingnya, “sebentar lagi jam makan siang, kalau beruntung anakku di sana bakal membawakanmu makan si—”“Siap, Bos!” sambar Miki, langsung semringah pas dengar Soran mau membawakan makanan. “Percaya saja padaku. Akan kujaga mejamu sepenuh hati.”“Kau.” Kukeplak pelan kepalanya pakai kipas terus putar badan. “Jika dia tanya, bilang aku ke Kantor Muri.”*** Melanjutkan agenda kemarin, hari ini diriku bersama Pembantu Hong juga Kolektur Lu hendak menata tiga hadiah yang telah kami pilih di bagian sebelumnya. Kodok, telur, dengan bonsai.Besok acara pelantikan bate baru. Hadiah-hadiah itu akan diarak memutari alun-alun bersama iringan penari dan tabuhan alat musik sebelum terakhir diperkenalkan pada si empunya hajat, jadi hari ini kami mau menghias juga menata mereka semua—tiga hadiah tadi termasuk penampil-penampil pengiringnya.Di Kantor Muri ….“Kalian belum pada mulai?”Semua orang menoleh.“Ah, Tuan Mi!” Kemudian pria berpangkat pembantu kelas tiga, Tuan Hong, buru-buru memapakku. “Anda datang tepat waktu,” ujarnya yang lantas merangkul ‘tuk membawaku menjumpai atasan, “tolong bantu aku menerangkan hadiah-hadiah kita pada Tera. Mari ….”Seketika, diriku langsung menangkap masalah pada orang itu. Dirinya kesulitan buat menjelaskan soal kodok mangap kemarin.Pilihanku dan Kolektor Lu sangat jelas, membantu semedi sama bakal tunggangan calon raja kota kami. Sedang kodok hijau pilihan si pembantu, kami benar-benar tidak tahu kegunaannya buat apa—kecuali pajangan.“Aku sependapat dengan Kolektor Lu, Tera. Kita perlu melakukan sedikit ‘penyesuaian’ pada kodok ini bila tetap ingin menyertakannya dalam daftar hadiah utama untuk acara besok.”Jadi, aku pun tidak bisa membantu.Selain menyarankan sedikit modifikasi sebelum dia dikemas bersama hadiah lain atau menurunkan peringkat si kodok dari jajaran utama, apa lagi yang bisa kukatakan.Atau, barang kali kalian punya ide?***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

04 - Kauro

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Pagi, Sayang.”“Ah!” Kuusap pipi Berlian lembut, merespons pelukan sapanya pagi itu. “Pagi, Sayang.”“Kau kelihatan serius. Lagi lihat apa, sih?”“Lihat bocah di sana, Sayang …,” kataku, tersenyum menunjuk Miki usai mengecup Berlian dan menarikkan kursi buatnya duduk sebelahku “Dia bolak-balik depan rumah kita. Membantu Nenek Zhuo, mendorongkan gerobak Pak Tua Bong, menyeberangkan Lisa, terus sekarang membawakan belanjaan Bibi Teng.”Istriku tersenyum, manis sekali.“Eh, ya, Sayang! Sekarang tanggal dua. Lusa upacara pelantikan bate baru, ‘kan?”“Eh, iya ….” Spontan mataku terbelalak, cepat-cepat kulahap sisa camilan di meja lalu bergegas ke dalam buat siap-siap. “Orang Kantor Muri mau kemari hari ini—aku lupa.” Hari itu, tanggal 2 Bulan Enam. Aku tak punya rencana sebetulnya. Niatku setelah sarapan dan menghabiskan kue-kue kering tadi kalau bukan jaga stan depan rumah adalah duduk santai seharian—gak ada bedanya. Namun, pas ingat orang Kantor Muri mau kemari semuanya berubah. Diriku kadung sepakat buat menemani mereka memilih hadiah ‘tuk dipersembahkan pada pelantikan bate baru Kauro minggu lalu.“Terima kasih, Sayang—bagaimana penampilanku?”Aku putar badan di depan istriku, menunjukkan penampilanku sehabis mandi dan merapikan diri.“Hem.” Berlian melipat tangan, memutari diriku sekali, kemudian menggeleng. “Gak ada masalah sama jubah atau celana kodokmu, tapi mantel biru ini agak ….”Aku tidak mengerti arti gerakan kepala juga lirikannya.“Sayang, jangan main kode. Katakan saja apa yang kurang dari penampilanku biar suami tercintamu ini bisa langsung ganti—”“Bukan kurang. Mantelmu kebagusan buat ukuran alkemis pengangguran, Sayang. Terlalu mewah ….”Seketika, diriku langsung lesu dengar komentar Berlian. Bukan kurang, tapi kemewahan. Apa maksudnya itu?Bukankah harusnya ia senang tatkala sang suami bakal tampil elegan dan bisa dibanggakan depan orang-orang. Kenapa istriku malah terkesan ingin diriku dipandang ‘sederhana dan seadanya’ begini. Cek!‘Mantel ini kudapat waktu sekolah di Stellar,’ batinku yang lantas memikirkan solusi, “hem—aha! Aku tahu.” Selanjutnya, kubuka daftar penyimpanan Chloe terus memilih satu mantel paling biasa di Kantong Hati Naga.“Bagaimana sekarang?”“Sebentar.” Istriku kembali memutari diriku, menyentuh mantel yang kupakai, terus berdecak sambil geleng kepala sekali—lagi. “Bahan mantelmu masih kebagusan. Apa di kantung ajaibmu gak ada mantel katun?”“Yang ini dari katun, Sayang.”“Maksudku yang lebih merakyat ….”Aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Mantel katun yang kupakai sekarang sudah yang paling biasa di kantung hati nagaku. Selain mantel biru Stellar tadi, sisanya Jalak Hitam sama Sisik Naga, keduanya barang kelas unik dengan mistis. Malah lebih parah, bukan?“Sayang, aku gak punya kalau standarmu di bawah ini.”“Huh ….” Berlian hela napas terus mendekat. “Kurasa kita gak punya pilihan,” ujarnya yang lantas merapikan simpul ikat mantel tersebut, “Sayang, mantel ‘biasa’-mu ini kaya akan mana. Sekali lirik penyihir sama orang-orang dunia persilatan bakal langsung berebut buat menawarnya, tahu.”‘Mau bagaimana, semua mantelku begitu,’ gumamku dalam hati sembari tersenyum melihati wajah istriku ….*** “Tuan Mi.”Sesuai rencana, siangnya kereta milik orang Kantor Muri berhenti di depan stan dagangku.“Tuan Hong. Kukira kalian baru akan kemari nanti sore atau pas selesai makan siang paling cepat.”“Kita mau memilih hadiah ‘tuk Bate, Tuan Mi. Aku sebenarnya sudah ingin ke sini sejak pagi, tapi Tera tiba-tiba memanggil semua pembantu—ah, ya! Kita bicaranya sambil jalan saja ….”Pelantikan Bate bukan acara sakral. Sekadar formalitas depan khalayak atau massa. Toh, jabatan raja kota tersebut sebetulnya sudah diberikan sejak beberapa bulan—bahkan musim hingga tahun—sebelum bate sebelumnya lengser.Mirip karyawan magang. Usai penunjukan oleh pewaris, calon bate baru akan terus mendampingi penunjuknya serta pelan-pelan mulai mengambil alih tugas-tugas yang nanti akan ia emban.Jadi acara besok lusa cuma—kalian tahu sendirilah ….“Tuan Mi, mari kuperkenalkan. Ini Tuan Lu. Tuan Lu, Tuan Mi.”“Aku belum menyapa Anda tadi, salam.”“Salam, Tuan Mi.”Di kereta tersebut, selain diriku dengan Pembantu Tingkat Tiga Hong juga ada seorang lagi. Orang yang baru dikenalkan padaku, pria bermuka lesu dan kumis melengkung bak busur panah.“Beliau ini seorang kolektor, andalan Tera dan Muri untuk menakar hadiah persembahan nanti.”“Oh!” Aku langsung pasang muka semringah. “Kalau begitu Anda bintang utama di perjalanan kita,” ucapku yang lekas bergeser buat menunjukkan simpananku, Anggur Musim Gugur Sepuluh Tahun. “Tuan Lu, aku punya barang bagus. Kuharap Anda mau melihatnya …. Ini dia, anggur terlama di kantungku.Rencananya mau kujual di pelelangan sambil kita mencari hadiah. Silakan.”Mata sang kolektor tidak menunjukkan reaksi pas botol berumur seribu milenium itu kutunjukkan, tapi begitu membuka tutup dan mencium aroma anggur di dalamnya ia langsung berubah cemerlang.“Tu-tuan Mi—”“Eit!” Sigap kurampas dan kututup kembali botol di tangannya lalu kusimpan ke lengan baju. “Benda ini harta biasa di kantongku, jadi jangan bicara buruk tentangnya.”“Ahaha.” Tuan Lu kelihatan lega. “Kalau saja kita tidak menemukan barang bagus di kota, anggur Anda akan menjadi hadiah terbaik dari Distrik Timur Laut—bahkan distrik lain takkan menandinginya, Tuan Mi.”“Tuan Lu, aku senang dengar kata-katamu ini. Ahaha.”Kurasa seorang kolektor tetaplah kolektor. Dirinya paham cara ‘menjaga’ nilai barang tanpa menjelekkan atau melebihkannya.Dengan bilang bila kami tidak menemukan barang untuk pelantikan nanti, secara tidak langsung ia meletakkan anggurku di posisi terbaik sambil menjaganya agar jangan sampai dijadikan pilihan. Cerdik.“Tuan Mi, Tuan Lu.” Pembantu Hong kini pasang muka bingung di depanku dan sang kolektor. “Aku belum mengerti. Sebenarnya anggur apa tadi, kenapa Anda berdua bisa sesenang itu?”“Tuan Mi.”“Ini adalah benda kenang-kenangan keluargaku,” akuku, mengeluarkan anggur tadi sekali lagi. “Jangan tanya caraku mendapatkannya, yang jelas dia sudah di kantungku selama ini, itu saja. Soal kenapa Tuan Lu senang ….”Kulirik pria berkumis sebelahku.“Ah, soal itu … jika Anda tidak keberatan, Tuan Mi?” Ia menggangguk, yang spontan kubalas anggukan juga. “Anggur di tangan Anda punya nilai artefak.” Begitu ujarnya sebelum membual. “Kalau Anda percaya padaku, Tuan Hong, anggur ini adalah hadiah terbaik sepanjang sejarah—bukan cuma di pelantikan Bate nanti, tetapi selama Kauro berdiri sampai saat ini.”“Be-benarkah?”Menangkap belalakan Pembantu Hong. Kolektor Lu kemudian semakin melambungkan anggur seribu milenium tersebut, bahkan hingga membuat si pejabat kelas bawah nekat curi-curi pandang ke lengan jubahku selama kami memilih barang di pasar dengan rumah-rumah lelang ternama Kauro.Aku sampai ketawa geli gegara dirinya yang sering kedapatan gagal fokus hari itu ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

03 - Awal Baru

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana, Semua?”Sah! Sorak-sorai bergaung di Kantor Muri Distrik Kauro, merayakan hari bahagiaku bersama Berlian yang kini telah merelakan dirinya sebagai Nyonya Mi. Istriku.Musim Semi 218 Shirena. Aku tahu. Pada bagian sebelum ini kubilang Berlian lompat dari bangku tempatnya duduk, tersipu, kemudian lari dari halaman rumahku tanpa bilang apa-apa, ‘kan?Ya, dia memang melakukannya kemarin. Namun, hal tersebut ia lakukan secara spontan gegara kaget. Sesuatu menyentuh kakinya hari itu ….“Jangkrik?”“Benar.” Begitulah ujar Bibi Hie waktu mengunjungiku keesokan paginya. “Putriku bilang seekor jangkrik loncat ke kakinya pas kalian ngobrol kemarin. Berlian bukan menolakmu, tapi dirinya juga malu sebab kaulah orang pertama yang dia suka. Hahaha ….”Tentu aku tidak langsung percaya.Bagaimanapun Bibi Hie memang berniat menjodohkan kami, jadi bisa saja ia mengarang cerita supaya diriku dan Berlian mencoba kesempatan kedua. Gak salah, ‘kan?Makanya, kuintip kegiatan Keluarga Hie selama satu bulan buat memastikan. Hingga diriku yakin bila Berlian benar-benar calon istri idaman ….“Apa kubilang. Kalian cocok, bukan?”“Mama.”“Duh, Putriku! Kau sekarang seorang istri, jangan ngintil di lenganku. Sana ke suamimu ….”Awalnya, diriku berniat untuk menutup hati dan hanya menunggu tabir batas benua tersibak di Kauro. Telah kususun kegiatan sepadat mungkin sejak bulan pertama datang kemari.Sebagai alkemis nganggur, aku melamar ke banyak sekte dan serikat serta rutin mendemonstrasikan keahlian tiap minggu dengan membagikan Pil Bubuk Aroma Mimpi di depan rumah. Namun, siapa sangka bila hidup di kota ini ternyata lebih sulit. Meski kemampuanku terbukti jempolan, tidak satu pun dari lamaran-lamaran tadi diterima.“Hah.” Alhasil hari-hari di sini selanjutnya kuisi dengan mengurus herba di halaman, berbagi makanan sama tetangga, terus bolak-balik keluar masuk pasar buat berdagang. “Saudara, kau dari sekte bela diri, ‘kan—coba lihat pil-pilku sebentar ….”Hingga tibalah hari ini. Saat di mana pikiranku berubah kemudian diriku menikah ….*** “Mana suamimu?”“Aku di sini, Bu.”“Kemarilah, Nak ….”Hari-hariku berlanjut.Setahun setelah menikah, Berlian pun hamil anak pertama. Kabar bahagia. Ibu mertuaku bahkan sampai rela pindah tempat menginap demi menunggui si calon cucu.Berlian juga terlihat menggemaskan di pengalaman pertamanya tersebut. Ia berkali-kali menyeretku sama sang ibu ‘tuk menemani dirinya berkonsultasi ke dukun bersalin, minta berkat ke banyak tokoh, hingga mendatangi tempat-tempat yang menurut adat mereka bagus buat merumuskan nama calon bayi kami.Mengingatkanku ke masa-masa ibu Miaw dan Yaspin dulu.Akan tetapi, kebahagiaan tersebut berbuah pahit. Berlian terserang ‘demam’ hebat di akhir trimester pertama kehamilan hingga tidak punya pilihan selain merelakan si calon bayi.Sejak saat itulah kondisi ibu mertuaku juga mulai turun dan tak kunjung membaik ….“Nak. Meski putriku takkan bisa memberimu anak, cintanya padamu sangat besar. To-tolong, to—”Musim Gugur 219 Shirena.Ibu mertuaku menutup mata ‘tuk selamanya.Selain pujian bagi sang putri sebelahku, aku tidak tahu permintaan apa yang hendak ia ucapkan kala itu. Berlian juga tak punya petunjuk. Jadi selesai menguburkan beliau di Pemakaman Umum Kauro, kami pun kembali ke rumah ‘tuk melanjutkan hari sebagai pasutri seperti biasa.*** “Paman Miii!”Kujeda kegiatanku, duduk topang dagu menunggui stan depan pagar rumah, terus melihat ke arah orang yang lagi berlari mendekatiku. Miki. “Hoooi!” Anak itu kelihatan makin cerah. Apalagi setelah ikut upacara kedewasaan bulan lalu, dia kini benar-benar menyilaukan. “Paman Miii …, Paman—adaw!”“Aku tepat di depan mukamu, Bocah!” sergahku, selesai mengeplak kepalanya pakai kipas. “Jangan teriak-teriak. Kupingku pekak nanti.”“Hehe.” Miki garuk kepala. “Paman, kau jual apa hari ini?”“Masih sama—”“Sayang, ini makan siang—eh, kau di sini, Miki?”“Ehehe. Berlian, kau masak apa?” Si bocah buru-buru pindah ke dekat istriku, mengintip panci yang ia bawa lalu menciuminya sambil jalan. “Baunya harum. Apa ini?”“Cuma irisan seledri …,” timpalku, membantu membawakan dan menaruh panci dari tangan Berlian ke meja kemudian membiarkan istriku duduk di kursiku. “Aku belum belanja minggu ini.”“Beras kita juga sudah mau habis, Sayang,” tambah sang Nyonya Mi.Yang, spontan kubelokkan buat menggoda Miki. “Dengar sendiri, ‘kan?”“Aku gak datang buat dengar keluh kesah suami istri,” balasnya, cemberut meraih kursi lantas duduk pinggir stan tersebut. “Guru menyuruhku mencari pengalaman di luar, Paman.”“Terus?”Anak itu menggelayut ke pinggiran meja.“Ya, aku bingung. Beliau tidak mengizinkanku buat hanya berkeliaran di Kauro, katanya pengalamanku harus diasah di tempat lain—kalian tahu sendiri aku baru dianggap dewasa sebulan ini, ‘kan …, Paman Mi, Berlian?!”Aku dan istriku mematung, sekejap kami berdua tidak tahu harus merespons dirinya bagaimana. Ia yang tiba-tiba bangkit lalu merengek itu membuatku dengan Berlian kaget.“Bagaimana caraku mencari pengalaman di luar Kauro, keluarga saja aku gak punya ….”Oh. Aku paham. Miki kesal bukan karena tugas dari sang guru, melainkan hal yang turut menyertai perintah tersebut serta mustahil ia penuhi dengan kondisinya sekarang.*** “Paman Mi, Berlian, kenapa aku harus menemani kalian?”Aku menoleh ke istriku, tersenyum, lekas balik konsentrasi mengarahkan laju gerobak.“Dengar, Miki.” Sedang Berlian, ia menjeda kegiatan lalu menyediakan diri ‘tuk menasihati remaja yang kami ajak belanja sore ini. “Menjadi dewasa bukan soal bebas melakukan apa saja, kau tahu. Akan tetapi, juga belajar menerima tangung jawab.”Dia taruh benang beserta jarum renda yang sebelumnya ia genggam ke pangkuanku lantas mengambil sesuatu dari kantung di belakang kursi kemudi.“Ini …, gurumu bukan mau kau luntang-lantung di jalan, paham?”“Kenapa kau memberiku kertas sama pena, Berlian?” tanya Miki, terdengar agak tidak sabar.Namun, istriku dengan lembut memberitahunya. “Aku sengaja minta suamiku mengajakmu belanja biar kau belajar prihatin. Dirimu harus tahu bila orang dewasa perlu memperhatikan apa-apa yang mereka lakukan.”“Pendeknya, kau mau kusuruh rodi. Hahaha ….”Musim Panas 220 Shirena. Tergerak oleh curhatan Miki siang tadi, rencananya sore ini aku bakal menunjukkan kehidupan orang dewasa bersama istriku padanya dengan mengajak anak itu berbelanja kebutuhan sambil memperlihatkan apa-apa saja bentuk tanggung jawab seseorang yang telah dianggap matang secara usia. Begitulah kira-kira ….“Kau paham, ‘kan?”Miki garuk kepala, melihatku dan Berlian bergantian, kemudian menggeleng.“Paman Mi, diriku cuma paham aku harus punya banyak uang biar bisa beli barang-barang yang kumau. Kalau soal menolong orang lain termasuk membantu diri sendiri, kurasa kita boleh berdebat.”“Hahaha.” Aku dan Berlian terhibur dengar tanggapannya. “Apa gurumu gak bilang soal istilah simbiosis?”“Sim …, sim apa barusan?”“Simbiosis,” ulangku lantas memberi analogi, “begini, kau lihat pelayan yang mengantar minuman ke meja pelanggan di sana … dia membantu pemilik kedai terus dapat uang dari hasil kerjanya, ‘kan?”“Apa hubungannya sama simbio tadi?“Simbiosis itu hubung antara dua individu atau organisme di satu lingkungan serupa. Jika kau belum mengerti, pelayan sama si pemilik kedai di sana sedang melakukannya.”Miki kembali menoleh ke kedai seberang warung tempat kami duduk.“Mereka satu sama lain saling membutuhkan. Pemilik kedai butuh pegawai dan si pelayan butuh pekerjaan.”“Manusia enggak bisa hidup sendiri, Miki,” tambah istriku, mengisikan air ke gelasku. “Biar mudah. Mustahil sekte bukit karangmu bertahan pas diserbu Sekte Angin Utara kalau Sekte Bukit Awan gak membantu kalian tahun lalu, ‘kan?”“Mereka tiap musim menerima upeti dari paman guruku, wajar bila—”“Itu maksud suamiku!” pungkas Berlian, mengakhiri obrolan di warung tersebut dengan seberkas senyum dan wajah berseri cerah. Sekaligus meninggalkan kesan di diriku tentang dirinya yang ternyata ….Aku sukar mengatakannya.***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

02 - Seratus Milenium Kemudian

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu ….”Akhir Bulan Lima 215 Shirena.Seratus milenium lalu aku kehilangan seorang istri. Sangat kucintai. Sialnya, momen terakhir kami seratus ribu tahun silam itu masih terasa seperti baru kualami kemarin.Padahal kalau mau jujur perpisahan kami seharusnya terjadi ratusan milenium lebih awal ….“Kudengar serikat ini mencari seorang alkemis,” kataku, menaruh empat butir Pil Bubuk Aroma Mimpi di meja resepsionis. “Aku mau mendaftar.”“Ah, sebentar!” Perempuan bersanggul sekepal tangan dengan kaca mata di depanku kelihatan senang, ia lekas memberiku selembar kertas. “Silakan isi data Anda dulu ….”Istana Naga tidak menenangkan hatiku, suasana di sana yang terus mengingatkan pada Letta kian hari terasa semakin menyakitkan. Juga, seratus milenium ini mengajariku bila melepaskan bukanlah kelemahan.Ia merupakan proses yang memang harus dilalui semua manusia hidup tanpa terkecuali—termasuk oleh diriku.Perpisahan dengan istri-istriku, Chloe, Cherry, Ping, Hana, Plum, Mi Hu, Xin-Xin, Doll, bahkan Mona lalu Letta, merupakan buah dari pertemuan manis dan kebersamaan kami sebelumnya. Mungkin terasa berat, tapi hidup memang selalu begitu.Ada datang kemudian pergi ….“Kenapa Anda melamun, Tuan Alkemis?”Aku tersenyum ditegur si resepsionis.“Ta-tahun berapa sekarang?” tanyaku, meletakkan pena samping kertas tadi. “Aku, aku belum bisa baca.”Seketika, hening pun muncul di antara kami. Aku dan sang resepsionis hanya silih tatap dengan raut kaku selama sekian detik sebelum akhirnya ia menjerit tak percaya sejadi-jadinya.Apaaa?!*** Kemarin malam.“Kau sungguh mau pergi?”Aku menoleh, kemudian berbalik dan tersenyum ke arah Soran.“Kenapa?” tanyanya, melihatiku dari dermaga Gerbang Barat Istana Naga. “Apa ikan-ikanku gak enak?”“Bukan,” kataku, mendekat lalu mengusap pipi anak itu sebelum lanjut pamit. “Aku ingin pergi bukan gegara ikan-ikan di sini ataupun masakanmu, Soran.”“Terus kenapa?”“Aku pergi buat mencari putriku ….”Diriku tidak bilang apa-apa di depan Soran. Tidak tentang Letta, tidak juga soal perasaan hampa yang muncul tiba-tiba setelah sekian lama. Malam itu aku hanya tersenyum dan melambai sesudah bilang mau mencari putriku ke Benua Baru ….“Paman, kenapa kau kayak orang capek?”Kutoleh anak yang baru menegurku, tersenyum, lalu mengambil dua potong roti dari meja di depanku terus kuberikan satu kepadanya.“Aku baru di kota ini,” kataku, “kau tahu di mana Kantor Muri?”“Kantor Muri ada di ujung jalan sana, Paman.”“Anak baik.” Kuusap kepalanya kemudian membayar roti-roti tadi. “Paman, dua rotimu barusan?”“Satunya setengah perunggu ….”Tanggal 30 Bulan Lima. Sekarang aku ada di bekas wilayah Mong Ni, ujung paling timur benua yang sekaligus merupakan daratan terdekat dengan Benua Baru pada masa Chloria.“Apa nama kota ini tadi?”“Kauro.”“Kau bilang Saintess lahir di sini, ‘kan, Bocah?”“Namaku Miki, Paman. Bukan bocah … benar. Nona Saintess dulunya pendekar wanita terhebat di Kauro, bersama rekannya beliau dijuluki Duo Phoenix Biru dari Timur—ah, kita sampai!”Aku tersenyum, mengambil sekeping perak, lalu kuberikan padanya sebagai hadiah karena telah mengantarku.“Selamat siang, ada yang bisa diban—”“Siang, aku mau buat pengenal Kauro sama sekalian beli lahan kalau ada ….” Lugas, kusebutkan keperluanku di Kantor Muri tersebut lekas membayar sesuai tagihan yang mereka minta. “Sama, boleh kuminta seseorang ‘tuk mengantarku ke ….”Selain membuat pengenal baru, aku pun minta agar diberikan semacam pendamping untuk menunjukkanku tempat-tempat penting di kota. Sembari menunggu tabir batas benua tersibak, rencanaku ialah sekalian belajar budaya Eldhera zaman ini. Sadar diri, diriku telah absen dari peradaban selama lebih dari seribu milenium.Juga, aku tidak bisa langsung terbang ke benua lain bila penyintas sekarang belum mengalahkan raksasa penjaga benua di Sarang Naca Putih.Jadi mau tidak mau aku harus menunggu ….*** “Paman Miii!”Aku menoleh, berbalik, kemudian melambai pada Miki. Ia mendekat bersama seorang gadis yang tampak agak pemalu, mungkin teman atau kakak perempuannya—entah.“Paman Mi, lihat siapa yang kubawa ke tempatmu!”“Siapa ini, Miki?” tanyaku, tersenyum menyapa wanita yang baru ia tuntun hingga gerbang rumahku tersebut. “Maaf, Nona. Apa kau sau—”“Dia Berlian, putri Bibi Hie yang tinggal di ujung jalan sana. Paman ….” Si bocah tetiba menarik diriku buat melipir. “Paman, ayah bilang Bibi Hie ingin menjodohkan Berlian denganmu.”“Apa?!” Aku mendelik, ini sudah yang kedelapan sejak diriku pindah kemari. “Kau gak salah, Miki …?”Seminggu setelah mengundang tetangga pas syukuran rumah ini dua tahun lalu, seorang juru comblang—agak sohor dan punya banyak pengalaman—mendatangiku. Keluarga pertama yang menawarkan putrinya kala itu adalah Shiria. Golongan menengah dari kelas pedagang serta cukup ‘akrab’ dengan pejabat lokal.Aku tidak tahu apa yang mereka lihat padaku, tapi menurut si perantara gadis dari keluarga tersebut merupakan kandidat 3M: matang, mandiri, dan menawan. Yang, secara kebetulan kuterjemahkan maksudnya sebagai dewasa jika gak mau bilang tua, independen bila menghindari kata susah diatur, sama rada narsis kalau bukan pesolek. Jadi, tanpa mengurangi rasa hormat serta tanpa sedikit pun niat ‘tuk mengagulkan diri, kukatakan bahwa diriku pernah menikah dan sudah punya anak.Namun, memang dasarnya hilang satu tumbuh seribu. Setelah itu selesai datang lagi suruhan keluarga-keluarga lain membawa propsal serupa. Sampai ke si Miki hari ini ….“Percaya padaku, Paman. Berlian gadis baik dan dari keluarga baik-baik, ayahnya seorang—”“Cukup!” Kuangkat tangan sebahu dengar promosi anak itu kemudian hela napas terus tanya, “Berlian, tolong jawab jujur. Kau mau padaku karena keinginan sendiri, atau cuma nurut kata Ibu?”“Paman, Ber—”Kulirik Miki segera, memintanya agar jangan bicara dulu.“Jika dirimu keberatan denganku, katakan saja. Aku takkan memaksa ….”Lama aku dan Miki membujuk gadis di hadapan kami supaya mau bersuara. Namun, dirinya sama sekali tidak begeming bahkan setelah kutanyai pertanyaan serupa sebanyak tiga kali.Ia hanya tertunduk sambil menghindari tatapan langsung.Benar-benar bikin gemas ….“Berlian, Paman Mi bukan orang jahat, dan aku juga bukan orang yang cepuk. Kau tahu sendiri, ‘kan?”“Begini saja,” kataku yang hendak mengusulkan sebuah cara, “bagaimana kalau kau gak usah bilang apa-apa, tapi jawab lewat gerakan. Kalau setuju denganku diam di sini, dan kalau tidak dirimu boleh langsung pulang.”Berlian mengangguk ragu. “Bagus.” Aku senang, si gadis ada kemajuan dibanding sekian saat yang telah kami lewati dalam ketidakjelasan di halaman rumah ini. “Kita mulai, ya, boleh?”Kulirik Miki sekilas sebelum lanjut menanyai gadis di hadapan kami.“Berlian, apa kau mau menikah denganku?”Sedetik, dua detik, tiga detik, tidak ada tanda-tanda bahwa gadis yang baru saja kutanya akan beranjak. Diriku hampir yakin bila dia seratus persen menyetujuiku sampai ….“Kutanya sekali lagi, ya, Berlian. Kalau kau setuju …, kalau kau setuju, aku akan menikahi—”Tanpa ba-bi-bu, tatkala diriku telah pasrah bila si gadis betulan mau menikah denganku, Berlian lompat dari kursi tempatnya duduk, tersipu sesaat, kemudian berlari tanpa sepatah kata pun terucap.Meninggalkanku yang mematung sepersekian detik bersama Miki sebelum tersadar lantas mengejarnya.“Berliaaan …!”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

01 - Eldhera Pascaperang Besar

Di publikasikan 01 Jul 2025 oleh Bengkoang

“Kau serius mau melakukan ini, Ayah Angkat?”357 Mirandi, perang besar antara Timur dan Barat pecah di perbatasan Cun Dok dengan batas luar zona netral milik Kuil Widupa. Ratusan ribu tentara kiriman aliansi delapan negara datang dari barat benua lalu merangsek menuju jantung Matilda Timur, mengabaikan batas-batas wilayah sembari mati-matian menembus rintangan penutup sebelum status quo bersejarah ratusan tahun tersebut benar-benar runtuh.Alasan mereka sepele, yakni seorang pemuda bergelar pahlawan yang katanya lebih mencintai mapu kekaisaran timur ketimbang tanah kelahirannya di barat.Dua tahun berikutnya, 359 Mirandi, Matilda kalah perang. Mapu atau kaisar mereka hilang tanpa jejak dan pahlawan diboyong paksa oleh semua orang untuk kembali ke tanah di mana ia seharusnya berada. Tahun kesedihan, kalau kata orang-orang timur.Namun, yang tidak banyak orang tahu, tahun itu juga menjadi tahun kesedihan bagi orang-orang Kara. Sebab di tahun tersebut pulalah Pu Kara pertama, diriku, ditulis ‘hilang’ dalam catatan sejarah mengikuti jejak Matilda dan pelan-pelan lenyap dari perhatian benua. Hingga hari ini ….“Kau sudah dua puluh tahun, Lexa,” ujarku, tersenyum menepis tatapan sedih anak angkatku yang kini sudah lebih tinggi daripada diriku dan Merike. “Lihat dirimu. Sudah segagah ini, tapi masih mengikutiku.”“Ayah Angkaaat ….”“Jangan merengek!” bentakku, buang muka lalu membelakanginya. “Aku gak mengajarimu buat jadi laki-laki cengeng, Bocah. Janjiku pada ibumu sudah kupenuhi, kau sekarang harus kembali kepada mereka ….”Kulirik dirinya sekilas.“Sana pergi, mereka menunggu—” Aku berhenti tatkala tangan kokohnya memelukku dari belakang. “Hah. Kau tetap putraku, Lexa. Maaf aku sudah jadi ayah yang buruk selama kita bersama.”“Kau bicara apa …, selama ini dirimu selalu baik padaku.”Aku berbalik. Kuusap pipinya sebentar kemudian tersenyum.“Meski bukan Miria, kau tetap putra kebanggaanku ….”368 Mirandi, perjanjianku dengan Bura Bella dua puluh tahun lalu telah kupenuhi. Putranya dan Bura Parami, Alexa, kini kukembalikan setelah lima tahun upacara kedewasaan si anak.“Sampai kapan kita mau melambai pada mereka, Tuan?”“Gak usah pura-pura tegar …,” timpalku pelan, berusaha menahan senyum dan terus melambai gembira pada keluarga Alexa di dermaga sana. “Re, kau yang paling dekat sama anak itu. Kenapa bisa sejudes tadi?”Merike, elf sebelahku, tidak menjawab. Ia cuma terus melambai hingga kapal yang kami tumpangi dirasa telah benar-benar jauh dari pelabuhan Seren.“Hah.” Aku terduduk lemas. “Re, aku gak percaya hari ini betulan datang. Kena—”“Lompat saja kalau gak rela berpisah, mah!” sambar Rere, ikut duduk sebelahku. “Kenapa harus pura-pu—”“Kau menyebalkan, Re,” balasku, melihat dirinya pakai delik heran. “Lagi datang bulan?”Ia balas melihatku. Hanya lihat, tanpa suara dan tanpa ada gerakan lain sesudahnya. Benar-benar cuma melihat.“Re.” Gak suka momen senyap di antara kami, aku pun berinisatif untuk membuka topik supaya keheningan tersebut cair. “Tolong jangan jadi aneh ….”Akan tetapi, respons yang kudapat di luar dugaan. Merike sontak memeluk lantas sesenggukan di bahuku. Dekapannya amat erat, dan lelehan air matanya benar-benar dingin. Belum pernah kulihat dirinya begitu sebelum ini sampai diriku tiba-tiba sadar.Sadar bila dialah sosok yang rasa sayang dan perhatiannya pada Alexa melebihiku ….*** “Apa rencanamu ke depan?”Merike menggeleng menanggapiku. Ia tersenyum, memelukku sebentar ‘tuk terakhir kali, kemudian merapal peringan tubuh lalu terbang menuju barat laut. Aku tidak tahu, mungkin sang elf hendak kembali ke kampung halamannya di Hutan Hijau.Siapa tahu ….“Sekarang. Chloe.”Ting! Pengelola menaraku menyahut.Urusanku di Eldhera baru sudah selesai. Kara kini berdaulat, dan Nazila Trira menjadi pu selanjutnya menggantikan diriku. Dorothe, Rere, juga Kubo pun kembali merdeka. Terus Lamda, Maxwell, bahkan Alexa sekarang punya kehidupan yang baik.“Gak ada lagi yang harus kulakukan di sini, jadi ayo pulang ….”Tahun itu, aku pun kembali ke Altar 12 Naga di Pegunungan Es Utara. Hendak menghabiskan waktu sembari menunggui istriku hingga ia terbangun dari tidur panjang akibat rapalan Ayat Senyap. Tidak ada rencana lain. Begitu pikirku tadinya. Namun, setibanya di sana mataku langsung dibikin terbelalak.“Sa-sayang?” Kristal tempat istriku terlelap tengah retak. Kalian tentu bisa menebak apa adegan selanjutnya, ‘kan? Ya. Benar. “Sa-sayang?”“Kenapa kau cuma bengong di sana, Mi?” Letta, Ratu Istana Naga Danau Tengah Daratan, istriku, kini telah membuka matanya. “Kepalaku masih pening—akh! Mi, tolong ….”Aku tidak tahu harus bagaimana, tapi rasa senang mendorongku agar segera memapak lalu mendekap dirinya erat-erat. Jadi itulah yang kulakukan di saat itu …. *** Hari-hariku berlanjut.Sekian minggu usai terbangun pascatidur panjang akibat rapalan Ayat Senyap istriku langsung minta digendong sampai rumah, Istana Naga di Danau Tengah Daratan. Dua kolom benua ke barat daya dari pegunungan salju tempat kami berada sekarang. Namun, tidak boleh ambil jalan cepat dan harus memutar pelan-pelan.Ia bilang, kami sudah lama gak menghabiskan momen berdua dan hal itu harus menjadi kesan terspesial.“Kau yakin, Sayang?” tanyaku, memastikan apa yang baru saja kudengar. “Kita gak boleh langsung lari ke Danau Tengah Daratan—”“Aku mau lihat Eldhera baru yang kaubilang kemarin!” jelasnya, mengeratkan pelukan ke pinggang dengan pundakku. “Pokoknya gendong aku sampai rumah, tapi harus ….”Mau gak mau, aku pun setuju buat menggendongnya sampai rumah.Sehari, dua hari, tiga, empat, seminggu, sebulan, setahun dan bertahun-tahun hingga sembilan ratus dua puluh lima ribu dua ratus tiga puluh dua tahun kemudian. Kugendong dirinya tanpa keluhan sampai kami mencapai pinggiran Gurun Aester ….“Lihat,” kataku, mengasongkan batu mana terakhir pada Letta. “Satu langkah lagi dan kita sudah menyentuh danaumu, Sayang.”“Jangan jalan dulu,” pintanya, mengecup pipiku kemudian mencamili batu mana yang kudapat dari kanal lain tersebut. “Biar kuhabiskan dulu makananku.”Selain diriku dan Letta, ada orang lain di perjalanan ini.“Kau gak lapar, Soran?” tanyaku, mengasongkan sisa batu kutukan dari Kantong Hati Naga ke gadis di sebelah.Dia, gadis rambut panjang macam hantu tersebut, adalah makhluk yang pernah mencegatku sepulang merebut Mutiara Delapan Bintang Benua.Benar, dialah saintess gadungan waktu itu. “Lagi.”“Sudah habis, Soran. Tuh ….”Kami bertemu di tempat yang sama dengan saat diriku menghadapi Delapan Bintang Benua terakhir.Dia masih berkeliaran di sana dan langsung menyerang ketika melihatku. Namun, ia segera berhenti saat Letta menunjukkan jantung benua. Semenjak itulah dirinya kami beri nama Soran lalu seperti yang kalian lihat.Gadis ini menjadi orang ketiga di perjalan kami ….“Kau tahu kita akan berpisah setelah aku sampai rumah, ‘kan, Mi?”Aku tersenyum lalu megusap pipi Letta.“Kenapa?” tanyanya, makin melekatkan pipi kami. “Harusnya aku sudah lama menghilang dari Eldhera ….”Kuraih tangannya terus kukecup.“Mi, kau pun tahu risiko ini ….” Letta menggelayut ke bahuku. “Perapal Ayat Senyap memang mengorbankan diri merka. Jadi jangan keras kepala lagi, ya. Kau dengar?”Aku ingin menangis.“Kaugendong ke mana-mana sembilan ratus ribu tahun ini sudah lebih dari cukup, Mi.”“Sudah selesai, ‘kan?” timpalku, berusaha untuk tersenyum walau pahit. “Kita masih punya sehari ….”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Bab 60 Melawan Matilda

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Mereka dataaang!”“Seraaang ….”Bulan Dua 357 Mirandi, pertempuran Barat melawan Timur pecah.Cun Dok, negara terdekat dari pangkalan militer luar Kara di Kolom Tiga dan Empat-Tiga, membuka perang yang sebetulnya hampir saja batal dengan mengerahkan pasukan kavaleri untuk menyerbu kemah sekutu.Kami yang kala itu sejatinya hendak membubarkan diri usai mendapat respons positif dari Mapu Matilda, terpaksa menyambar senjata demi mempertahankan diri lalu menyerbu balik atas nama harga diri.*** Musim Semi tahun lalu ….“Jadi bagaimana caramu mau membantuku di perang ini?” Ketika aku mendengarkan proposal si berisik untuk perang melawan mapu benua.“Sederhana,” akunya yang langsung tumpang kaki begitu duduk di kursi seberangku, “kembali ke titik awal semua ini. Waktu pertama kita mendaftar buat jadi pemberontak di Panji Beruang.”“Hah?” Mataku memicing dan kepalaku juga agak memiring dengar omongannya, heran. “Maksudmu?”“Kau ingat kenapa kita nekat jalan kaki dari Zaowi sampai ke Zara?”Malam itu kami kabur gegara Zaowi jadi lautan api dan semua orang yang terjebak di kota dibantai habis oleh pasukan berpanji biru milik kekaisaran lama.“Aku ingat …,” kataku, putar badan terus menghadap penuh padanya. “Cuma, malas juga bahas kenangan menyebalkan kita waktu itu, kau tahu.”“Ya ….” Ia rada buang muka. “Maksudku bukan kenangannya, tapi alasan kenapa Zaowi diserang.”Aku tidak mengerti.“Dengar.” Ia memperbaiki duduk. “Pelaku—” ucapnya, agak tertahan. “Pelaku pembakaran Zaowi bukan Matilda Barat, Ure. Jangan mendelik padaku dulu, aku bisa jelaskan semuanya. Oke?”“Baiklah.” Kuambil kursi lantas duduk di depannya. “Ceritakan padaku. Kita lihat apa saja yang sudah kau tahu sampai bisa sepercaya diri ini.”“Hari itu.” Maxwell memulai cerita. “Saat kau, aku, sama si manja pergi berburu naik kereta baruku. Panji Beruang. Atau, Mantel Emas jika harus kuperjelas. Sudah mengepung Zaowi.”“Kita berdua sama-sama tahu bila mereka memang punya peta penyerangan di Tanderi, ‘kan?”“Maksudku ….” Ia kelihatan ragu. “Mereka—”“Mereka yang menyerang dan membakar Zaowi waktu itu?!” selaku, gemas pada sikapnya yang sepotong-sepotong dalam bercerita. “Kau bodoh kalau mengira aku sama si Lamda belum tahu semua ini.”“Jadi kalian sudah tahu?”“Gak usah melotot,” tambahku, “aku sama Lamda sengaja gak bilang padamu karena kau terlalu impulsif.”Maxwell kini melongo.Aku paham bila tatapan heran sama air mukanya sekarang berganti kecewa. Toh, cerita soal dalang dibalik sabotase sama pembakaran Zaowi memang wajar untuk ia anggap sesuatu yang takkan tertebak olehku maupun Lamda karena kami keluar duluan dari Panji Beruang.Cuma, di luar semua itu aku senang dia masih sama. Bocah berisik yang sederhana.“Sudahlah, kau sudah tahu ini, ‘kan?”“Kalian benar-benar gak setia kawan,” keluhnya, “sengaja kusimpan fakta itu buat bikin kau sama si man—akh! Sia-sia kalau ternyata kalian tahu duluan mah ….”Aku ingin tertawa.“Jangan ketawa!” sergahnya, menunjuk mukaku sebal. “Kau gak tahu sekesal dan semuak apa selama ini aku harus pura-pura hormat pada orang yang sudah membuat ayahku—”“Berhenti di situ!” potongku, bangkit terus mengambil gulungan dari keranjang dekat papan strategi. “Nih, peta Matilda Timur. Ketimbang protes gegara bawa berita basi, kenapa gak tunjukkan apa yang bisa kau lakukan buatku di perang ini?”“Buat apa kau kasih aku peta?” Kulihati dirinya dengan kepala miring.“Oh, rencanaku, ‘kan, ya?”“Bagus.” Ia juga masih gampang teralihkan seperti biasa. “Kepalamu ternyata bukan dekorasi.”“Sialan.”“Aku mau mengirim orang ke kota-kota di Timur,” akuku, menunjukki gulungan peta yang baru saja dirinya buka. “Jadi pas perang pecah, kepala bate mereka bisa kupanen sekaligus.”“Kau benar-benar—”“Cuma!” Aku belum selesai. “Rencana ini belum tentu berhasil.”“Kenapa?”“Kau belum lihat penghuni kemahku, ya?”Maxwell menggeleng.“Hah.” Aku tepuk jidat, merasa salah sudah menanyainya. “Lupakan, intinya perang bisa batal dan kita gak jadi melawan Matilda. Itu saja. Meski orang-orangku ada di Timur, kita tetap butuh kepastian jika perang ini benar-benar akan pecah. Paham?”“Itu makanya aku kemari.”“Eh?”“Dengar.” Maxwell menutup peta tersebut lalu membuangnya ke belakang. “Bate Manik bilang, kau bakal kesulitan memulai perang dengan situasi aliansi kalian sekarang, Ure. Makanya beliau khusus menyuruhku buat datang kemari dan membantumu memastikan bahwa perang ini tetap akan terjadi.”‘Pembual,’ batinku dengar omongan besarnya, “terus apa rencanamu jadinya?”“Aku mau ….”Saat itu si berisik bilang dia dan orang-orangya mau menyusup ke Cun Dok buat menyergap satu atau dua kota kemudian membakar mereka untuk memancing serangan balik dari pasukan Timur.Persis yang dilakukan Mantel Emas waktu menyulut amarah massa terhadap status quo di masa lalu. Lagu lama dan siapa sangka rencana tersebut masih berhasil hari ini ….*** “Sekarang apa rencana kalian?”Aku cekak pinggang di depan para perwakilan Aliansi Melawan Matilda, hari kedua serangan Cun Dok ke kemah sekutu. Hendak memastikan sikap kami terhadap Timur.“Dua hari kita diserang padahal setuju buat gencatan senjata,” ujarku, “apa masih mau menung—”“Tidak!”“Benar, kami tidak ingin menunggu serangan ketiga.”“Jadi ….” Kucondongkan diriku ke orang yang baru saja bicara. “Apa yang mau kita lakukan, Bura?”“Melawan!”“Benar. Kita harus melawan!”“Setuju. Ayo tunjukkan jika kita juga bukan penakut!”‘Hahaha.’ Aku ketawa dalam hati, reaksi mereka sesuai keinginanku. “Kalau begitu tunggu apa lagi, angkat senjata kalian dan atur barisan malam ini. Besok pagi, giliran kita yang menyerang mereka—”“Yaaa!” Sorak-sorai terdengar di sepanjang pangkalan luar Kara malam itu, gemuruh roda meriam dengan ringkik kuda menyusul kemudian. Kemah sekutu yang pada malam-malam sebelumnya sunyi, kini riuh dan ramai oleh gemerincing alat-alat perang. Bak musik nan menyenangkan dahaga telinga ….*** Satu setengah dekade, kuperhatikan Eldhera baru dan ikut mengalir bersama perkembangannya yang gila di era Mirandi, melihat meriam, melihat mesiu, hingga melihat kelahiran dengan kejatuhan para penguasa di tanah para naga ini. Diriku bahkan menjadi salah satu di antara mereka, haha.Kembali dari Tanah Merah, bersekolah demi bisa membaca, melihat dunia dari sudut pandang penduduk Eldhera, lalu perlahan naik ke posisi dan meraih hal-hal yang belum pernah kumimpikan sebelumnya. Mencoba jalan cerita berbeda, memulai langkah sebagai satu dari mereka yang bukan siapa-siapa, menuai prestasi di luar kata normal sebagai penggugat penguasa lama, bahkan nekat mendirikan negara.Aku, penyintas era Cloria yang terlempar ke masa di mana jasadku seharusnya membusuk di bawah tanah.Aku, teman gila yang jarang bicara dan selalu bilang bosan ketika diajak lari-larian oleh Lamda.Aku, karib yang juga rival si berisik saat berburu mencek di hutan selatan Zaowi.Aku, orang paling kaku di kesatuan Mantel Putih dari Panji Beruang. Seorang upa sementara, tupa, caupa, yoram, dan bura paling ambisius sekaligus kanselir terserakah milik Bravaria. Orang yang diam-diam berani menyelundupkan penduduk Kolom Dua-Tiga ke tanah Kesik lantas mendirikan Kara lalu berdiri sebagai pu atau raja mereka. Orang aneh kalau kata Stella. Entahlah, aku tidak tahu lagi harus menulis apa. Catatanku sudah mau habis dan aku gak tahu mau menutupnya bagaimana. Menyedihkan, bukan? Memang! Aku sendiri pesimis, tapi siapa sangka perang melawan Matilda benar-benar terjadi di bagian ini. Lebih mengejutkan lagi sebab siasat yang malah mewujudkannya adalah jebakan yang dulu membawaku bersama Maxwell dan Lamda ke langkah pertama kami sebagai pemberontak …. *** “Jambu?”“Semua bura telah bersiap di kemah masing-masing, Pu.”“Kirim merpati ke elite kita di sembilan kota Matilda.” Kusulam jemari sambil duduk depan meja strategi, rampung mengatur siasat bersama semua orang. “Malam ini waktu buat memetik ‘piala-piala’ kita ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 59 Pahlawan Benua

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Siapa ini, Qonia?”Musim Gugur 356 Mirandi. Prapertempuran melawan mapu benua kini menyentuh area klimaks. Dua belas ribu serdadu ‘terbaik’ Kara telah disebar ke sembilan kerajaan di Matilda Timur, Cun Dok, We Dong, Qu Jong, Sur Wung, Hu Xin, Ha Yam, Xin Dux, Heu Lang dan Mong Ni. Bersiap ‘tuk memetik kepala pucuk pimpinan mereka begitu gaung sangkakala terdengar dari perbatasan Kolom Tiga dan Empat-Tiga.“Enam bulan kita mengatur siasat sambil menunggu rel kereta ke pangkalan ini selesai,” ujarku, tumpang kaki dan topang dagu saat menerima orang yang diantar ke markas utama kemah oleh kepala ahli strategi militerku. “Sekali lagi kutanya, siapa orang Timur yang kau bawa menghadapku, Qonia?”“Pu Kara.” Orang yang ahli strategiku bawa memberi hormat, khas orang timur. “Salam. Saya, Xuan Yin, utusan Mapu Matilda untuk Kerajaan Baru Kara.”“Oh.” Spontan aku bangkit lekas merangkul bahu sang utusan. “Jadi kau utusan Matilda buatku, hahaha. Bagus, aku sedang bersiap untuk menyerbu Cun Dok dan We Dong tahun depan,” akuku, mengajak dirinya buat pindah tempat ngobrol ke tenda sebelah. “Seandainya saja utusanku membawa kabar baik sepulang dari negara kalian aku tentu takkan bertahan di sini, tapi jawaban mereka kemarin itu ngambang ….” Sebagai penginvasi, diriku memang tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Mumpung utusan Matilda ada di sini, kenapa tidak kugunakan dirinya ‘tuk menunjukkan seserius apa Kara dalam pertempuran pembebasan benua ini. Toh, kekuatan kami kini sebanding berkat kemunculan pahlawan di tempat mereka.*** Dua bulan lalu. Ketika Dorothe berhasil menuntaskan tugasnya ….“Jambu, apa kabar kemunculan pahlawan di pelabuhan Mong Ni sudah kau periksa?”“Sudah, Pu.” Sang Bura Panji Gorgon menggelar peta Matilda Timur di meja strategi. “Orang-orang kita di Mong Ni, Heu Lang, dan Xin Duk mengonfirmasi kehadiran pahlawan bersama seluruh armada penjelajah benua kecil. Mereka bahkan bersaksi bila kapal pahlawan langsung dibombardir bajak laut begitu berlabuh di Mong Ni minggu kemarin.”“Bagus.” Kugebrak meja strategi sekali dan kusapu mata semua orang sekilas. “Kirim berita ke Satu Mare, pahlawan lebih memilih Timur daripada Barat sebagai rumahnya.”Memanfaatkan munculnya pahlawan yang notabene adalah orang Barat di Timur sebagai pemantik, aku hendak menyulut negara-negara di Aliansi agar turut membantu Kara melawan Matilda. Juga, supaya bate-bate yang selama dua tahun terakhir acuh tak acuh serta setengah hati dalam meladeni proposal Kara agar tegas mengambil sikap di perang benua nanti. Maka sengaja kutebar rumor pahlawan lebih memilih bersanding bersama penyintas dunia lain ketimbang memulihkan Barat yang tengah dilanda krisis dewasa ini ….“Menggunakan kecewa sebagai suluh,” terangku di depan Qonia, “aku mau Barat satu suara. Matilda gak perlu ada di antara kita. Titik.”“Rencana brilian, Pu,”“Jangan senang dulu,” tambahku, tumpang kaki di depan papan strategi. “Siasat adu domba punya banyak celah dan dia bisa gagal kapan saja jika kebenaran terlalu jelas. Jadi ….” Kulirik tangan kananku. “Jambu, jangan biarkan ada utusan yang berhasil pulang ke Barat selain orang-orang kita bulan depan. Jelas?”*** “Utusan Xuan Yin, gak perlu kujelaskan kenapa aliansi Barat berkemah di perbatasan Timur, bukan?”Kulipat tangan selesai mendengarkan suruhan Matilda di hadapanku. Antara senang dan tidak, kabar yang ia bawa bukan menjernihkan situasi kami, tetapi juga tidak menyuburkan bibit konflik yang telah kutanam selama ini.“Jika Mapu Matilda benar ingin kami menarik pasukan dari perbatasan, maka tolong kembalikan pahlawan ke tanah di mana seharusnya dirinya berada.” Begitu kataku lantas melihat para Bura, perwakilan negara-negara anggota Aliansi, di ruangan. “Soal perintah tadi, apa dirimu pikir kami masih Matilda Barat?”“Benar. Aku merasa Mapu meremehkan kami karena sembilan negara dulunya adalah Matilda Barat.”“Setuju. Apanya yang gencatan senjata bila hanya kami yang mundur dan pahlawan tetap di Timur?!”“Dengar sendiri, ‘kan?” kataku, angkat tangan ke arah sang utusan. “Kami sepakat gencatan senjata jika—dan hanya jika, Mapu Matilda bersedia menyerahkan pahlawan.”Xuan Yin tidak banyak bicara setelah itu, dirinya kemudian lebih fokus mendengarkan apa tuntutan kami ketimbang memaksakan perintah Mapu Matilda di tenda tersebut sampai pertemuan berakhir.Yang, tentu saja, tidak membuatku puas.“Apa pendapatmu soal orang bernama Xuan Yin tadi, Jambu?”“Tidak ada yang spesial,” ucapnya, menggeleng kecewa. “Namun, bura-bura lain sepertinya memercayai orang ini untuk menyampaikan keluhan pada Mapu Matilda.”“Kau benar, lantas apa saranmu?”“Kenapa tidak kita—”“Menghabisinya bukan solusi,” timpalku sambil menjuling, “jika dia mati sepulang dari sini, itu cuma bakal jadi bumerang buat rencanaku. Sebab orang-orang akan mulai menduga ada pihak ketiga yang ingin Timur dan Barat berkonflik serta otomatis membersihkan nama Matilda dari tuduhan memonopoli pahlawan.”“Kurasa tidak melakukan apa-apa adalah pilihan terbaik, Pu.”“Ho.” Aku menoleh pada Qonia. “Kenapa kau berpikir begitu, Kepala Strategi?”“Situasi Timur dan Barat sudah panas sejak isu pahlawan ditambah menghilangnya para utusan yang tiba-tiba bulan lalu,” terangnya, mulai jalan mondar-mandir di hadapanku sama Jambu. “Meski Matilda Timur tidak langsung runtuh, tapi ketidakpercayaan terhadap mereka juga bertahan.”“Hem.” Kulipat tangan depan dada terus elus dagu. “Itu masih kurang, Qonia.”“Betul!” timpal sang ahli strategi semangat, “makanya kita butuh sedikit dorongan ….”*** Tujuh bulan sebelumnya ….“Kudengar Pu Kara ada di sini, mana dia?!” pekik seseorang, memanggil-manggil diriku dari depan kemah strategi sambil jalan cekak pinggang dan teriak-teriak bak orang gila. “Mana laki-laki gendut yang katanya berhasil menculik putri semata wayang Weka Mapu Varujin itu, hah—manaaa?!”Awalnya aku tak mau peduli, tapi semakin dekat omongannya juga makin bikin kuping panas. Jadi, sebagai kepala negara dengan harga diri tinggi, kusambar gada dekat tirai tenda kemudian keluar memapaknya.“Mana—““Berisik!” pekikku, melompat dengan tangan terayun mengikuti lentingan badan ke belakang siap untuk ‘mengeplak’ kepala orang tersebut. “Bukannya kasih salam kau malah cari gara-gara di tempatku!”Bdum! Ia berhasil menghindar dari ayunan pertama.“Woi, Ure!” teriak orang itu dengan kaki terangkat sebelah, “kau mau membunuhku, ya, hah?!”“Benar!” timpalku yang lalu memutar gada ‘tuk ayunan kedua, “aku mau menumbuk cocot berisikmu yang kayak kaleng, Maxwell—hiyaaa!”“Oi-oi-oooi!” Ia menunduk, menghindari ayunan keduaku. Swush! Sadar nyawanya terancam, orang ini pun ambil langkah seribu. “Ure, aku menyesal menemuimuuu!”“Woi, jangan lariii ….”Begitulah, aku kejar-kejaran sama sobat karib berisikku itu sepanjang kemah strategi sampai ke pagar luar. “Kau benar-benar kejam ….” Hingga sekian saat kemudian, dirinya terbaring dengan kepala benjol-benjol di beberapa tempat habis kena jitak. “U—”“Salahmu,” sambarku yang juga ikut merebah, “kenapa datang-datang bukannya bilang salam malah—”“Bukan!” selanya kemudian duduk, “maksudku kau sama si Lamda benar-benar melupakanku.”“Dih!” Aku menoleh. “Bukannya kau yang selama ini terus menghindari kami, hah?” balasku, duduk lalu cekak pinggang ke arahnya. “Aku beberapa kali menulis surat buatmu biar datang ke Taria, tapi kudengar kau malah mengambil misi di ujung Parpara. Jangankan datang, membalas suratku saja enggak.”“Bukan aku gak mau balas,” timpalnya, membela diri. “Cuma, Bate Manik selalu mengirimku buat menjaga wilayah barat laut tiap kali suratmu datang, Ure.”“Huh.” Aku buang muka. “Kau kan bisa menulis setelah pulang?”“Mana ada!” Ia lompat ke depanku dan pasang muka gemas. “Aku iri kalian bisa lepas dari Panji Beruang, tahu. Setelah Pu Julius sakit-sakitan tugasku makin banyak ….”‘Eh?’ Aku mendelik. “Ma-maksudnya Pu Julius sakit-sakitan?”“Hah.” Maxwell hela napas dan menjuling. “Kau gak tahu, pas dengar kabar Bura Bella meninggal Pu Julius macam orang gila,” terangnya penuh ekspresi, “dia mengabaikan semua orang terus jadi banyak bengong sambil mengurung diri dan mabuk-mabukan, semua urusan pemerintah ditangani Bate Manik setelah itu.”“Hem.” Kupasang muka gak percaya. Bukan apa-apa, pasalnya aku dan Bura Julius masih sempat bertemu sebelum diriku pergi melamar Trira, ‘kan? Jika ia memang jadi pesakitan sejak kabar Bura Bella meninggal, harusnya saat itu keadaannya sudah parah. “Terus siapa yang menyuruhmu kemari kalau bukan Pu—”“Bate Manik!” sambarnya, “beliau mau aku membujukmu biar mendukung Bravaria. Katanya, jika perang melawan Matilda Timur sukses dirinya akan menjadi sekutu setia Kara.”“Kau.” Kugelengkan kepala dengar hal tersebut. “Citra Bravaria di kepalaku jadi rusak, tahu,” akuku terus balik merebah, “kenapa dia yakin membantuku di kampanye ini pilihan terbaik, kemarin kalian sanggup membendung pasukan Aliansi tanpa bantuan siapa pun, ‘kan?”“Bravaria memang berhasil menang, tapi ini bukan solusi permanen.”Hem. Tumben si berisik yang biasanya jarang berpikir bicara macam ahli strategi.“Bilang padaku.” Aku balik duduk lantas melihatnya. “Apa Bate Manik yang mengajarimu semua omongan barusan, Maxwell?”“Memang ada orang lain yang bisa mengajariku?”“Pantas,” komentarku lalu bangkit dan merapikan diri, “kita bahas tawaranmu di tendaku. Aku penasaran kalian mau menawarkan apa buat jadi sekutu setiaku setelah perang ini ….”Hari itu Maxwell menceritakan banyak hal, aku sampai tidak ingat semua.Namun, satu paling jelas, si berisik bersedia mengambil peran supaya Kara bisa cuci tangan di kampanye ini serta tak kehilangan pendukung biarpun telah melawan Matilda Timur. Bahkan, ia sampai mengajukan proposal yang aku sendiri gak percaya bila itu hasil pikirannya. Proposal yang kelak menjadi dorongan di rencanaku ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 58 Pangkalan Luar

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Mereka dataaang!”“Bura?”Kukibaskan tangan sekali, merespons Qonia sebagai lanjutkan seperti biasa, kemudian bangkit terus naik ke menara pengawas. Kusisir situasi pangkalan sekilas, melihat mereka yang baru tiba dan lagi menyeruak dari gerbong-gerbong logistik lalu merangsek ‘tuk berbaris di lapang apel pertama Kemah Panji Gorgon, dekat perbatasan Distrik Selatan Kuil Widupa, Dataran Tengah. Kolom Tiga-Tiga, Musim Semi 356 Mirandi.“Berapa kereta yang datang hari ini?” Kuselisik perlengkapan mereka dari jauh, mencari satu dengan zirah atau jubah mencolok. Seseorang yang sudah lama tidak kudengar kabarnya. “Apa kau tahu?”Prajurit yang kutanya menggeleng, jelas bahwa di menara tersebut tugasnya hanya mengamati.“Cek!” Merasa bodoh, aku pun menjuling sekilas lantas memberi perintah. “Tolong panggil Ahli Strategi Qonia kemari pas beliau selesai ….”*** Tiga bulan sebelumnya ….“Hem ….”Kulipat tangan sambil menunduk usai lihat penampakan final armada perang Kara yang mau berangkat ke Dataran Tengah musim dingin kemarin, berpikir. Tiga belas ribu elite empat panji, berbaris dalam empat divisi dengan dua ribu enam ratus sekian personel masing-masing. Berdiri tegap, mengenakan zirah lengkap, dan membawa tiga senjata yang salah satunya berupa senapan tipe anyar. Mereka, mencerminkan kegagahan militer Kara.Namun, tetap saja kurasa kurang.“Aku gak nemu pengalaman di muka mereka, Jambu,” akuku, menyampaikan kesan atas pasukan yang ia sebut elite di antara elite tersebut. “Kau serius mau mengandalkan anak-anak hijau ini?”“Mereka telah digem—”“Aku mau pasukan lain!” selaku yang lantas menunjuki dada sang bura gemas, “mereka yang paham bunyi komando dan bisa bergerak tanpa perintah, pasukan se—seperti …, atau harus kubilang, ‘Aku mau semua perwira yang kau tarik ke Taria tiga tahun ini.’”Jambu mendelik satu detik, benar-benar cepat, sebab detik kedua mukanya sudah balik datar.“Atau,” lanjutku yang hendak memberi penegasan, “beri aku orang-orang yang gak mau hidup sekalian!”Sebenarnya prajurit yang ia siapkan tidak buruk. Mereka pria matang dengan latihan yang juga mumpuni, label elite di antara elite yang disematkan kepada orang-orang itu pun bukan isapan jempol. Sialnya, bukan jenis ini yang kubutuhkan pas tahu identitas sama lihat biodata mereka. Jika harus kubilang, pilihan Jambu ketika itu gak cocok buat kampanye gila kami. Begitu ….“Mereka lebih baik ketimbang yang di Taria,” kataku pada sang Bura Panji Gorgon di sebelah, “amatir yang memang gak mau hidup dan betulan cari mati.”“Bawahan tidak mengerti, kenapa Anda ingin pasukan yang …, kehidupannya buruk?”“Kita akan kalah di perang ini,” jelasku, menoleh dirinya singkat kemudian duduk di pembatas tepi menara dan balik memperhatikan barisan di bawah sana. “Jadi setelah para utusan pulang, regu pembunuh bakal kita kirim ke semua kota—atau sekarang juga bisa kita cicil, buat memetik kepala bate-bate di Timur.”Kulihat ia yang kini pasang muka gak percaya waktu mendengarkanku.“Orang normal gak cocok buat misi modelan begitu, Jambu—jika itu penasaranmu.”“Maksud Anda ….”“Gak usah pura-pura bodoh,” tukasku, menepis delik tanya dari mata sang bura. “Kau bukan anak kemarin sore atau baru mengikutiku hari ini.”“Kalau begitu Anda tidak akan mendeklarasikan perang pada Matilda Timur—”“Kita belum dengar jawaban Matilda, Jambu …,” ujarku lantas pindah ke kursi malas, “menyatakan perang sebelum tahu bagaimana lawan sama saja dengan judi, bakar uang cuma-cuma. Kau tahu sendiri diriku ini anti buang-buang sumber daya, ‘kan—bangunkan aku pas Qonia kemari ….”*** Bulan lalu ….“Setengah pasukan kita sudah dipulangkan, Pu.”“Oh.” Mulutku membulat dengar laporan Kepala Ahli Strategi Militer Qonia, tatkala ia minta waktu khusus ‘tuk bicara empat mata. “Masih mending ketimbang merenggut seorang ayah dari keluarga kecilnya atau menyuruh satu-satunya penerus keluarga buat mengakhiri garis keturunan mereka.”“Jadi alasan kenapa Anda merevisi daftar pasukan kita untuk mencegah—”“Apa kau mau putra semata wayangmu pergi berperang, Qonia?”Sang ahli strategi menggeleng.“Itu maksudku …,” jelasku terus lanjut rebahan di singgasana, Aula Istana Bate Taria. “Tolong jangan bilang ini sama Jambu, dia jenis komandan yang menjual bela negara di atas kepentingan pribadi.”“Hahaha. Bawahan mengerti.”“Ngomong-ngomong, rel kita sudah sampai mana?”“Ah, soal itu.” Qonia mengambil dua gulungan dari keranjang pinggir meja strategi lantas menggelar salah satunya. “Ini keterangan dan peta dari Mata Satu, mereka bilang rel kita berhenti di—sebentar, Pu. Apa namanya kemarin ….”Penasaran, aku pun mendekat lalu mengintip titik yang lagi ia periksa pakai lup.“Oh, itu bekas pelabuhan rumah tempa—”“Eh?!” Sang ahli strategi menoleh, heran. “Anda tahu aksara baru Dataran Tengah?”‘Bukan aksara baru, mereka cuma kembali mengunakan tulisan sebelum era Matilda …,’ batinku sebelum terus berkilah, “aku pernah ke sana tiga tahun lalu, kau lupa?”“Ah, benar. Kemampuan belajar dan daya ingat Anda menakjubkan, Pu.”“Daripada pujianmu, aku lebih ingin dengar laporan sebelah peta itu,” kataku kemudian menarik kursi dan duduk, siap mendengarkan dirinya saksama. “Apa lagi yang mereka bilang selain sudah sampai sana?”“Ah, baik …, orang-orang Mata Satu melanjutkan pembukaan jalur kereta kita, sebentar lagi mereka akan menembus dua pertiga Kolom Tiga-Tiga. Pembangunan stasiun pemeriksaan awal telah selesai, Kara kini bisa mengirim lebih banyak orang ke—”“Di mana letak stasiun itu, Qonia?”“Ah, sebelah sini ….”Ia menunjuk ke perbatasan antara Kolom Tiga dan Dua-Tiga.“Hem ….” Aku dapat ide. “Qonia, beri tahu Jambu sama semua perwira, kita akan membangun pangkalan luar pertama Panji Gorgon dekat stasiun ini!”Gak butuh waktu lama. Satu minggu sejak sang ahli strategi mengumumkan perintah tersebut, semua kebutuhan rencana itu pun siap. Bahkan, hanya dalam dua pekan, diriku bersama sekian ribu garda depan armada perang Kara sudah menginjakkan kaki di sana.Hingga hari ini, sebulan sejak ide tadi muncul. Kara sudah punya empat pangkalan militer luar di Kolom Tiga-Tiga ….*** “Dengan dua nanti sore totanya jadi enam, Pu.”Begitu keterangan yang kuterima waktu Kepala Ahli Strategi Militer Qonia melaporkan jadwal stasiun dan Kemah Militer Luar Panji Gorgon hari ini. Ada enam kompi tentara yang akan datang kemari.Namun, sebalnya tidak satu pun dari mereka mampu membuatku tersenyum.“Kapan pasukan sekutu mau dikirim kemari, Qonia?” tanyaku, masih berharap akan ada kabar bagus. “Kau bilang Vom dan Bravaria setuju buat membantu kampanye kita, ‘kan?”“Ambasador Edberd memberi kita tanggal kira-kira, antara kemarin sampai minggu depan.” Ahli Strategi Qonia memberiku selembar kertas. “Laporan mata-mata juga telah mengonfirmasi keterangan para diplomat kita. Hasilnya, Bravaria memang mengirim batalion kecil ke Taria hari ini. Sedang Vom lagi bersiap di Hika dan baru akan mengirim pasukan mereka kemari besok.”Hem, rupanya aku salah baca. Ternyata maksud si Berisik Maxwell waktu menulis ‘aku bakal ke tempatmu besok lusa’ di suratnya adalah datang ke Taria, bukan Kemah Panji Gorgon di sini. Sialan.Menyesal kutunggu dia dari pagi ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 57 Mapu Benua

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Sayang, kabar genting!”Kujeda kegiatan di kebun halaman bekalang, lekas berbalik merespons pekikan Oukubo dari arah pintu.Ia, dari jauh pun, kala itu kelihatan amat panik waktu menyongsongku. Muka pucat, napas agak tersengal, serta memberikan kesan tidak tenang yang juga amat kuat.Seolah sesuatu yang benar-benar atau sangat buruk tengah terjadi ….“Apa yang—”“Dari Taria,” sela sang elf, buru-buru menunjukkan dua helai kain. “Ikat merah, merpati ungu sama putih. Satu dari Yoram Kepala Jambu, satu lagi punya cap Panji Derik.”Kusambar dua surat di tangannya, kubaca, kemudian cepat-cepat pergi membersihkan diri.“Kubo, tolong ambil gulungan di laci kamar!”Bulan Enam 355 Mirandi. Setahun sejak pemekaran Kara dan konstruksi rel kereta uap dilanjutkan pascagempa dahsyat tahun lalu, kabar yang kutunggu akhirnya tiba. Kepulangan Mapu Benua ke Eldhera.Matilda Davida ….“Bagaimana semuanya?” tanyaku, memeriksa persiapan kami di ruang strategi, Markas Besar Militer Panji Kalajengking. “Penyintas dunia lain sudah kembali dan sekutu kita cuma Vom sama Taria. Semangat kalian gak kendur, ‘kan?”“Bura, tidak ada alasan untuk kami patah semangat.”“Benar kata Yoram Soso, kita sudah mengusahakan usaha terbaik.” Vio menoleh ke para ahli siasat dan mengangguk, isyarat agar mereka mengatur miniatur alat-alat perang di atas peta. “Yakin saja, Bura. Kami takkan mengecewakan Anda.”“Bukan maksudku meragukan kalian, Yoram ….” Kuperhatikan penampakan meja setrategi kami. “Cuma, pembangunan rel ke Dataran Tengah belum selesai dan kita gagal dapat dukungan massa.”“Tolong jangan cemas, Bura. Kami tidak akan bermental lemah dan takut mati hanya karena kita melawan penyintas dari dunia lain. Sebaliknya, ini jadi kebanggaan sebab Kara punya keberanian di atas rata-rata.”“Benar, Bura. Kita sudah terbukti unggul di poin itu.”“Bagus.” Aku senang dengar jawaban mereka. “Mari lanjutkan diskusi kita kalau begitu ….”*** Hari berikutnya, tanggal 18 Bulan Enam, perintahku dikirim ke empat panji di empat wilayah utama Kara.Yoram kepala empat panji, Jambu, Kalia, Vio, dan Zendaya, yang juga merupakan wajah militer Kara sejak saat itu menyandang pangkat bura dan bertanggung jawab serta sepenuhnya memiliki wewenang untuk terjun atau menghindari pertempuran tanpa harus melapor padaku.Mengikuti putusan tersebut, Nazila Trira juga seluruh unit khusus yang mengawalnya pun kutarik mundur ke Cassava. Bersiap membacakan dekret penambal keosongan kekuasaan kalau-kalau diriku tidak berhasil kembali usai Kampanye Matilda Timur atau sesuatu terjadi dalam prosesnya.“Semua orang sudah siap pergi, Bura.”“Gak panggil aku Tuan Mi, Stella?” tanyaku, menggoda si Tupa Unit Tulip yang kini telah naik pangkat jadi seorang caupa. “Kita masih ada di wilayah Sisik Kayu, kau tahu.”“Huh. Buat apa?” Ia angkat dagu di atas kuda, kelihatan bangga sekali. “Pura-puranya kan sudah beres—eh, ya! Anda jahat, Bura.”“Jahat?” Satu alisku terangkat. “Maksudnya, Caupa?”“Hem.” Stella buang muka sebelum menjawab. “Anda ini, jangan kira menaikkan pangkatku sama si sipit cukup buat permintaan maaf, ya, Bura. Aku bakal minta kalung berlian pas Anda pulang dari Ti—”Gadis pirang itu berhenti pas kulempar sekantung uang.“Tuh, enam belas platinum. Bagi dua sama Ranra. Kalau cuma kalung berlian, jangan tunggu aku pulang.”“Iiih!” Stella malah cemberut kukasih uang begitu. “Ma-maksudnya itu Anda harus janji akan mengajakku jalan-jalan sama beli kalung berlian pas pulang nanti, Bura. Bukan malah ngasih u—”“Kau yang salah, Pirang!” timpal Ranra, nimbrung dan mendekat dari belakangnya. “Sudah tahu bura kita ini gak peka, malah kau ajak berbelit-belit.”“Huh.” Stella mendengkus. “Kalau gitu semua platinum ini buatku saja, kau gak usah dibagi.”“Woi!” pekik Ranra, “jangan serakah kau, ya—hei, Stellaaa! Berhentiii, Stellaaa ….”“Hem.” Kucekak pinggang sebentar lantas mendekat ke kereta Nazila Trira. “Kurasa sia-sia diriku khawatir pada keselamatan Anda, ya, Trira?” ujarku sambil lihat dua caupa tadi kejar-kejaran, “Ranra sama Stella—” “Selain mereka, wanitamu juga menemaniku.”Kusenyumi Oukubo sebelah Trira.“Selamat jalan, mohon jaga diri Anda—”“Beri aku kabar bagus segera, Ure. Ingat itu!” Wajah beliau sebelum mundur dan menutup gorden kereta sama sekali tidak bisa kubaca. Aku seolah baru saja menghadapi orang yang bukan Nazila Trira. Aura juga ketenangannya agak lain.“Halbert.” Kutoleh Caupa Unit Tombak Terbang, yang kini telah jadi yoram, di sebelah. “Orang dari divisi intelijen akan mengambil alih Sisik Kayu sama semua anak usahanya. Pastikan mereka benar-benar paham tempat ini sebelum kau kembali ke perbatasan, dan bilang juga kontrak dengan Serikat harus dipenuhi.”“Dimengerti ….”*** Sebulan kemudian, Bulan Tujuh 355 Mirandi, bakal armada perang Kara telah dihimpun dan dipersenjatai dengan senapan sama meriam-meriam tipe baru di Taria. Mereka kini menjelma jadi elite di antara elite, pasukan berani mati yang menurut Jambu tidak perlu diragukan kualitasnya.Akan tetapi, jumlah pasukan ini hanya sekitar sepuluh ribu. Masih jauh jika incaranku adalah kemenangan mutlak, apalagi lawan kami merupakan penyintas dari dunia lain. Orang di balik bubuk hitam dan ketel uap.“Aku tahu ini baru persiapan awal,” kataku, selesai baca laporan Jambu di ruang strategi, Aula Istana Bate Taria. “Benar kita punya sebelas bulan sebelum para utusan kembali dari Matilda Timur, tapi sepuluh ribu masih benar-benar ….”Qonia, kepala ahli strategi di ruangan tersebut, mendekat waktu kulirik.“Tolong bersabar, Pu,” ucapnya, mengasongkan sebuah gulungan. “Terburu-buru juga tidak bagus untuk acara besar Anda, apalagi diplomat-diplomat kita sedang berusaha membujuk tetangga-tetangga Kara.”“Kalau bukan karena tahu rencanamu, sudah kutulis dekret buat memanggil setengah panji militer kemari, Qonia.” Kutaruh gulungan darinya di meja strategi lantas mundur ke singgasana. “Aku akan bersabar, tapi bila waktunya tiba siap ataupun tidak kau akan ikut ke Timur bersamaku.”“Bawahan mengerti.”“Bagaimana hasil panen kita tahun ini, Daniel?”Daniel, Yoram Kepala Legiun IV Angkatan Perang Kara, keluar dari barisan.“Taria punya dua lumbung baru tahun ini, Pu ..., dan separuh cadangan gandum kita sedang dikemas untuk bekal kampanye tahun depan. Jika panen sekarang tetap stabil serta tidak ada gangguan apa-apa, perang melawan Matilda Timur bukan masalah meski makan waktu panjang.”“Oh.” Kutopang dagu sambil tumpang kaki. “Bagus. Kuharap rel kereta kita juga selesai tahun ini, percuma bekal banyak kalau gak bisa dikirim ke garis depan, ‘kan?”“Soal itu, Pu ….” Jambu keluar dari barisan. “Mata Satu dan orang-orang Seren yang mengawal proyek ini bilang, kita kekurangan bahan ba—”“Apa maksudmu?!” Aku mendelik dengar laporan barusan. “Rel itu prioritas kita,” jelasku lekas mengubah posisi duduk, “bahkan seperempat platinum bar kupasrahkan agar dia selesai lebih cepat dua tahun lalu. Kenapa sekarang tiba-tiba kurang bahan, hah?”Jambu tidak menjawab, ia hanya tertunduk samping peta strategi.“Tahun lalu kaubilang jika rel kita sudah menyentuh Purtara,” tambahku terus tanya, “seharusnya dia gak bakal kesalip rel punya Aliansi, ‘kan, Jambu?”“Seharusnya memang tidak, Pu.” Jambu maju selangkah. “Rel kita sudah sampai separuh Dataran Tengah, tapi pengrajin bilang mereka menemui kendala saat menerobos—”“Cukup.” Aku tahu. “Berarti masalahnya bukan cuma di bahan, tapi medan Dataran Tengah yang berbatu dan sulit ditembus juga?”“Benar, Pu.”“Aku gak bisa maksa kalau situasinya begitu.” Kukibaskan lenganku, menyerah. “Buka saja gudang senjata terus kirimi mereka bahan peledak. Jangan sampai separuh Dataran Tengah menunda rencanaku.”“Dimengerti ….”Rel kereta dari Satu Mare sampai perbatasan luar antara Dataran Tengah dan Kerajaan Cun Dok di Kolom Empat-Tiga Matilda Timur tidak boleh menghambat rencana kami. Sebab, ia yang akan kuandalkan untuk mengangkut logistik ke garis depan ketika perang melawan Matilda pecah.Jika musim panas tahun depan rel ini belum juga jadi, bagaimana caraku harus menyiasatinya?***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 56 Sabuk Besi

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Jam berapa sekarang?”Aku menoleh Okubo di kursi sebelah, ingin tanya apa acara Neraca Padi bakal segera mulai ataukah masih lama. Lobi gedung mereka sudah ramai, tetapi orang-orang serikat tidak kunjung mengumumkan apa pun terkait agenda pertemuan hari ini. “Jam dekat meja resepsionis sana gak kecil, loh, Sayang,” timpal sang elf, malah mendorong pipiku pakai telunjuk biar melihat ke benda yang ia maksud. “Haruskah aku menyebut—”“Harus!” timpalku yang sigap berbalik kemudian menangkap lengannya, “kau wanitaku, ‘kan?”“Tumben.” Kubo tersenyum, manis sekali. “Biasanya kau cuek kalau di depan umum, Sayang. kenapa tiba-tiba jadi manja begini?” tanyanya, mendorong punggung tangan ke bibirku. “Sun.”Muah! Gak tahu kena angin apa, tapi diriku hari itu memang agak ingin main-main.“Ehem!” Sampai beberapa tamu menegur kami. “Kurasa tujuan kita datang kemari bukan untuk melihat adegan mesra dari sepasang kekasih, Tuan-Tuan, Nonya ….”Komentar yang cuma kubalas senyum remeh dengan lirikan singkat.‘Suruh siapa kalian gak bawa pasangan?’ Begitu pikirku tadinya, mau membalas terus bodo amat. Namun, panggilan dari tangga keburu melerai hingga kami serentak pindah ke lantai dua. “Semua, Kepala sudah hadir di ruang rapat ….”Agenda Neraca Padi hari ini adalah pemekaran Sabila yang terlalu mendadak. Maksudku, para pendatang di sini menganggap pembangunan empat kantor muri baru di Distrik Tenggara dan Timur Sabila sangat tiba-tiba. Mereka merasa hal tersebut sewenang-wenang serta merugikan kaum pendatang karena lahan bebas yang sebelumnya dianggarkan ‘tuk menampung pengungsi malah menjadi wilayah administratif dan tidak bebas lagi.Padahal pemekaran itu juga kurencanakan sejak jauh-jauh hari dan bukan acara mendadak macam apa yang mereka tuduhkan ….*** “Bagaimana?”“Ada orang baru di Serikat,” ucap Oukubo, menjawab pertanyaan Trira waktu kami naik kereta. “Mungkin suruhan Ailansi, Nona.”“Apa katanya?”Aku menggeleng menanggapi beliau lantas duduk sebelah Kubo.“Mereka mau menghambat pemekaran Kara, ‘kan?” lanjut Trira, mengasongkan secarik kertas. “Kata para pelanggan salon, dirimu memang gak punya hati.”“Hah?”“Ya. Gak punya hati. Menangkap tentara di perbatasan terus menyandera mereka biar dapat tambahan ransum sama bekal militer—gegara dua hal itu pelanggan-pelangganku menganggap kalian licik, tahu.”‘Huh.’ Kusenyumi beliau terus melirik jendela sekilas. “Gak selicik Aliansi yang sudah membuang mereka dan melimpahkan kesalahan pada kita, Nona,” balasku kemudian mengambil kertas di tangan Kubo, “tapi pelanggan Anda gak salah, mereka cuma kena hasud.”“Jadi apa rencanamu?”“Gak ada.” Aku menggeleng. “Kara punya jadwal sendiri, dan Sabila juga begitu,” ujarku lantas mengetuk jendela dua kali, isyarat pada kusir agar menepi. “Baiklah, Nona. Kurasa diriku harus mengunjungi seorang teman dan takkan bisa menemani Anda sampai Sisik Kayu.”“Hem.” Beliau melambaikan tangan sambil senyum waktu aku turun dari kereta. “Jangan lupa bawa oleh-oleh pas kau pulang, Tuan Mi ….”Kubalas senyuman Trira lalu melambai hingga mereka menjauh ….*** “Sekarang ….” Aku di depan Rumah Keluarga Deker. Rumah penginapan, tempat Polka kutitip habis kucomblangkan biar dapat bibit kuda hitam Dataran Tengah. “Tuan Mi!”“Apa semua pengunjung penginapan juga selalu melongok dapur tiap kali datang kemari, Rey?” tanyaku kemudian melempar sekeping platinum pada putra pemilik penginapan yang sesaat lalu kelihatan sibuk sama kegiatan di pojok ruangan, “aku paham jika ayahmu sedang ke luar, tapi apa Cheilin juga—”“Berhenti di situ, Tuan Mi,” timpal anak itu, menggigit koin dariku lekas melap kemudian mengantunginya dan mendekat. “Istriku lagi mengurus kudamu di belakang sama Tosari.”“Oh.” Mulutku membulat. “Aku mau kepiting rebus, Rey,” kataku terus putar badan dan menunggunya di lobi, “satu platinumku harusnya lebih dari cukup buat pesan sepuluh porsi, ‘kan?”Musim semi tahun lalu aku bertemu seorang imigran Dataran Tengah sepulang dari Singkawa. Dia punya kuda hitam yang bagus, jadi aku mengikutinya sampai ke penginapan ini. Rumah Keluarga Deker.Siapa sangka, kami rupanya berjodoh. Selang beberapa waktu ia membuka stan comblang kuda, di sini—dan itu jadi kesempatan terbaik buat anakan kavaleriku. Polka.Sejak itulah penginapan ini akrab dengan kami.“Kudamu benar-benar rewel, Tuan Mi,” ucap Rey, mengeluh usai menaruh sepanci kaki kepiting masak ke atas meja. “Ah, ya! Kudengar serikatmu mau pindah markas, apa benar?”“Benar,” jawabku kemudian mengambil satu kaki kepiting, “kepitingmu gak sebesar biasanya. Apa mereka juga pindah sarang gegara sering kau tangkapi, Rey?”“Haha. Lucu.”“Hei, ayolah. Gak biasanya kau cemberut di depanku, Bocah. Apa istrimu lagi datang bulan, hah?”“Bukan itu. Kau tahu Regu Pengumpul Mayat Bambu Kuning, ‘kan, Tuan Mi?” Rey pasang muka serius usai hela napas sambil geleng. “Ini tahun kedua ekspedisi mereka di utara, tapi secuir kabar pun be—”“Maksudmu kelompoknya si Ruqya, ‘kan?” selaku, menaruh cangkang kepiting ke piring kosong. “Terakhir kudengar mereka terlihat di wilayah Xidi, tapi aku gak tahu lokasi persisnya—jika itu yang mau kau tahu.”“K-kau betulan tahu mereka ada di mana?”Tentu aku tahu. Kepala regu mereka orang yang memetakan wilayah Banori sama Bravaria buatku.“Cuma ….” Kucondongkan badan sedikit ke bocah di seberangku. “Rey, gak biasanya kau khawatir sama orang lain,” ujarku terus tanya, “bilang padaku, apa Satu Mare meneror istrimu dan Tosari lagi?”“Bukan.” Anak itu menjuling. “Bukan Satu Mare, tapi Tosari aneh belakangan ini, Tuan Mi. Dia sering tanya kapan kakaknya pulang terus suka bengong sendiri tiap habis kerja,” terangnya yang lanjut mencurahkan isi hati sambil menemaniku makan kaki kepiting ….Isi hati, termasuk keluhan buat situasi Sabila, perkembangan bisnis ayahnya, orang-orang, hingga desas-desus yang lagi hangat belakangan di sekitaran sini.Ketika dirinya selesai. “Jadi maksudmu Satu Mare sekarang penuh sama penadah barang-barang ilegal—dari dulu juga sudah gitu, Rey.” Aku berlagak tidak puas dengar kabar dari mulut anak itu. “Akh, kau.”“Beda, Tuan Mi. Sekarang lebih banyak. Bayangkan, mereka sampai punya senapan Matilda Timur.”“Hem.” Kuelus dagu dua kali perlahan, pura-pura berpikir. “Aku ogah membayangkan ceritamu, tapi kalau ini benar …, kira-kira, siapa dalang di belakang mereka?”“Gak tahu.” Anak itu cepat geleng kepala. “Cuma, kudengar Pu Kara mendanai pembangunan rel kereta dari sana sampai ke Dataran Tengah, bukan? Apa mungkin ….”Cih! Bagus, sekarang namaku terseret gosip dengan Satu Mare juga.“Kau yakin Pu Kara yang jadi dalang kehebohan di Satu Mare, bukan pihak lain?”“Ma-maksudnya, Tuan Mi?”“Bayangkan begini, ada orang—atau kepala negara, anggaplah begitu. Bisa lebih dari satu. Mereka melihat Kara berkembang sangat pesat, terus karena merasa gak mau tersaingi orang-orang ini akhirnya terpaksa membuka hubungan dengan luar dan ….”Kulihat anak itu sangat serius mendengarkanku.“Eh, tapi ….”“Tapi apa, Tuan Mi?”“Kurasa kecurigaanku gak berdasar,” kilahku, sengaja menggantung cerita. “Kalau sudah menyamai Kara, buat apa juga menjelekkan penguasanya, ‘kan?”“Huh.” Rey mendengkus. “Gak ada yang gak mungkin di dunia, Tuan Mi. Bisa saja Pu Kara memang dijebak buat semua kehebohan di Satu Mare, apalagi ….” Ia lirik kanan kiri sebelum lanjut berdeduksi. “Kudengar pembangunan rel-rel di sana memang buat memaksa Kara membuka wilayah juga, kau tahu?”“Gak masuk akal!” sergahku, mendalami peran sebagai pendengar awam. “Kara memang sudah membuka wilayah buat pendatang, ‘kan—jangan mengada-ada, membuka wilayah bagaimana lagi maksudnya?”“Eh, justru lebih masuk akal teori Kara dijebak di kehebohan Satu Mare sama rel kereta mereka, Tuan Mi.”Bagus. Satu lagi rumor lahir di khalayak ramai. Dengan begini Kara takkan terlalu dipojokkan dan tekanan buatku gegara pemekaran distrik sama konstruksi rel dari Satu Mare juga sedikit melonggar ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 55 Senapan Pelantak

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ure.”“Aku tahu ….”Dua bulan berselang sejak gempa bumi pada pertengahan musim semi lalu, tepatnya pada puncak Musim Panas 354 Mirandi, musuh bebuyutanku pun tertangani. Delapan Bintang Benua, kini hanya tinggal nama.“Kau membawa mutiara mereka, ‘kan?”Namun, sesuatu yang gak biasa terjadi. Tatkala Bintang Benua terakhir mengembuskan napas terakhirnya.“Kau membawa mutiara mereka, ‘kan?” ucap Saintess, menanyaiku hal serupa berulang-ulang. “Ure. Kau membawa mutiara mereka, ‘kan?”Aku tidak menanggapi pertanyaan tersebut, pasalnya sosok Saintess di luar Kuil Widupa usai para bintang benua kuhadapi benar-benar di luar kata normal. Terlebih, auranya tak mirip Saintess sama sekali. Kemunculan mendadak, hawa kehadiran gelap, lalu gelagat aneh yang cuma peduli pada Mutiara Bintang Benua bahkan ketika tanganku masih berlumuran merah. Dia bukan Saintess ….“Siapa kau?” bentakku, menjaga jarak darinya. “Buat apa dirimu kemari?”“Ahaha. Kau ini lucu, Ure. Aku Saintess.”“Bukan!” Kupanggil Cakram Ungu lantas pasang kuda-kuda. “Kau bukan Saintess, aku kenal bagaimana dirinya. Apa tujuanmu muncul di hadapanku, hah?!”“Aku Saintess, Ure.” Ia kukuh. “Diriku kemari buat melihat bintang benua terakhir di belakangmu, itu sa—ah, ya! Kau sudah mengambil mutiaranya, ‘kan?”‘Mutiara lagi?’ batinku yang kini makin waspada, “kenapa kau terus tanya mutiara?”“Gak apa-apa, gak apa-apa ….” Ia kibaskan tangan di depan muka. “Aku cuma penasaran sama benda sihir paling kuat sebenua itu. Kau mau memperlihatkannya padaku, ‘kan?”“Memperlihatkan?”“Ya. Sekali saja. Tunjukkan padaku seperti apa bentuknya,” pinta sang ‘Saintess’, ia maju satu langkah. Yang, spontan membuatku juga mundur satu langkah. “Kenapa kau mau lihat benda itu?”“Aku cuma penasaran, Ure—hei! Kenapa kau terus menjauhiku?”“Jangan pura-pura beloon!”“Apa maksudmu—”“Ini!” Kulempar Tapak Dewa dengan Pukulan Naga padanya sekaligus kemudian melompat meninggalkan tempat itu dan kembali ke Kara secepat yang diriku bisa tanpa pernah menoleh ….*** Sekembalinya ke rumah. Oukubo dan Nazila Trira langsung mengomeliku lantaran tiba-tiba hilang tanpa kabar selama hampir tiga bulan. Keduanya mengeluh semua orang tahu aku mengirim dua ribu platinum ke tempat Vio beserta perintah ‘tuk melanjutkan konstruksi rel juga pembangunan kantor muri baru, tapi malah tidak memberi tahu mereka apa-apa. Namun, baik itu Trira maupun Oukubo, dua-duanya sepakat buat tidak memaksaku menceritakan apa pun yang telah kulakukan selama beberapa waktu ini. Dan, keesokan paginya kehidupanku pun berlanjut.Tumpukan berkas di Sisik Kayu menguras tenagaku sampai petang menjelang, kemudian di rumah laporan demi laporan menahan mataku agar jangan dulu terpejam hingga larut malam. Membuatku mendadak ingat bila dua bulan memburu Bintang Benua ternyata jauh lebih tenang daripada kehidupan normal ….“Huh.” Juga, aku lupa pada kabut manis dari bibir Oukubo sampai ia balik menyelimutiku. “Muri mengirim laporan pemekaran distrik terus bilang progres kita sangat signifikan, Sayang.”“Kelihatan,” timpalku, topang dagu memperhatikan sang elf. “Distrik Tenggara sekarang punya tiga alun-alun sama kantor muri baru yang belum selesai.”“Gak cuma itu. Peta rel yang diperbarui mengikuti denah wilayah baru juga su—”Ia langsung berhenti tatkala sikut kirinya kucolek-coleki, balas menatap sayu, menaruh padudan di ujung meja, lantas menangkap tangan kiriku dan menuntunnya untuk mundur ke ranjang kami. Ehem! Mari lewatkan adegan di kamar ini hingga ke esok hari, tanggal 17 Bulan Lima 354 Mirandi. Ketika diriku menemui suruhan Aliansi di Karite atau Kantor Muri Tengah milik Distrik Timur Sabila ….“Kenapa, baru lihat potongan kepala negara macam dirikukah?” tanyaku, tumpang kaki dan topang dagu menerima para utusan yang katanya membawa pesan penting tersebut. “Kepalaku masih sakit habis baca laporan pemekaran Kara sama konstruksi rel di semua distrik, jadi tolong persingkat omongan kalian dan langsung bilang Ketua Aliansi mau apa dari kami.”“Ba-baik, Pu.” Salah seorang utusan menghampiri kasim samping tangga singgasana lalu menyerahkan sebuah gulungan, ultimatum, berisi larangan kepada seluruh anggota Aliansi agar jangan melakukan kontak dengan Bravaria dan Dataran Tengah hingga keduanya berhenti menginvasi barat benua.Tuntutan yang, tentu saja, membuat satu sudut bibirku naik.Sebab lewat ultimatum inilah jalan untuk memulai serangan ke Timur akan terbentang ….*** “Aku mau menjual ultimatum ini buat memaksa Aliansi menyerang Timur,” kataku pada Vio, Yoram Kepala Panji Kalajengking, di Aula Istana Bate Sabila. “Penyintas dunia lain akan berlabuh tahun depan, jika dirinya betulan kembali maka Bravaria sama Dataran Tengah-lah satu-satunya sekutu yang tersisa.”“Lantas bagaimana kita akan menggunakan ultimatum tadi, Bura?”“Tunjukkan gulungan itu ke sisa-sisa tentara yang terlantar di perbatasan, serap mereka, sebar rumor ke negara tetangga, terus pastikan bila bla-bla-bla ….” Bersama para ahli strategi Kara, kuatur siasat demi siasat di ruangan tersebut lalu kulakukan simulasi demi simulasi hingga lahirlah rencana yang kami namai Senapan Pelantak seminggu kemudian.“Kenapa senapan pelantak?” tanya Oukubo, melirik heran di kereta sepulang dari Distrik Tengah. “Terus apa yang mau kau lakukan sekarang, Sayang?”“Aku?” Kutunjuk muka sendiri lantas bersandar ke sudut gerbong. “Gak ada. Empat panji bakal mengambil alih semua wilayah sama melanjutkan proyek-proyek tiap distrik sampai selesai.”Kubo merebah ke badanku.“Kau gak ada rencana buat hilang tiba-tiba lagi, ‘kan?”“Kalau aku gak di rumah, paling lagi melawat tetangga-tetangga ki—”“Katamu gak ada renca tadi ….” Ia menyambar tanganku, mencubit, dan memeluknya. “Gimana, sih, ah.”“Ya. Memang gak ada rencana, cuma melawat ke Parat atau Dataran Tengah saja, kok.”“Eh!” Sang elf mendelik. “Soal Parat, kapan kau mau mengembalikan Trira?”“Kenapa kau tanya itu, Sayang?” Kukecup tepi kening Oukubo, merespons juling sama delik matanya biar berhenti. “Setelah Trira duduk di singgasana Pu Kara, beliau bebas kalau mau pulang ke ayahnya.”“Hem. Kalau gitu caranya aku masih harus mengawal gadis itu sampai kenaikan tahta kedua dong, ya?”Kenaikan tahta kedua, berangkat dari dekret yang kutunjukkan pada Trira tahun lalu. Aku berencana menjadikan dirinya Pu Kara sementara, sebagai pengganti diriku selepas perang melawan Matilda digelar. Apa pun hasilnya, baik menang ataupun kalah, beliau tetap akan menggantikanku hingga masa jabatan kepala negara pertama Kara berakhir di 360 Mirandi—begitu bunyi dekretku kala itu.Hanya saja, setengah masa jabatan tentu takkan cukup ‘tuk menuntaskan apa yang telah kumulai di Tanah Kesik ini, bukan? Kara yang kami inginkan belum sepenuhnya terwujud.Alhasil. Demi niat itu pula maka di tahun berikutnya atau 361 Mirandi nanti, Trira terpaksa kuatur supaya ikut serta dan harus menang pada perebutan kekuasaan yang diselenggarakan lewat adu kecakapan sama keahlian dalam pertempuran. Mau tidak mau ….“Jika bukan kau, Sayang, lantas siapa lagi?” Kualihkan pandangan ke luar jendela. “Biar gak secermat ahli-ahli strategi, dirimu tetap yang paling kuat bahkan tanpa Toro di tanganmu, ‘kan?”“Ya, dan kau juga membuangku lewat cara ini, ‘kan?”“Eh—”“Ssst!” Ia menyegel bibirku pakai telunjuk. “Aku tahu maksudmu baik, memerdekakanku. Cuma, rasanya juga seperti dirimu baru saja mencampakkanku, tahu.”Kuhalau tangannya dari wajahku.“Apanya yang mencampakkanmu, dih?”“Sisa kebersamaan kita kini jadi terhitung hari,” akunya kemudian merapikan duduk dan menatapku, “kau memakaiku, memintaku ini itu, terus membuangku lewat selembar kertas bernama sertifikat merdeka—jangan menyanggahku! Biar kutumpahkan dulu semua keluh cinta ini kepadamu ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 54 Lokomotif

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Selamat datang.”Aku celingak-celinguk, kuperhatikan interior kedai kopi John pelan-pelan. Coba mengagumi penampakan baru tempat usaha bekas anak buah Geng Gigi Emas tersebut.“Aku suka,” pujiku, duduk di depan bar tempat barista meladeni tamu. “Tolong panggil Johnatan buatku, Nona. Pesananku cuma dia yang bisa penuhi ….”Kutaruh sekeping perak di atas meja.“Sebentar.”Sesaat kemudian.“Siapa berandal yang mencariku, hah?” teriak John, muncul bersama barista sebelumnya sambil marah-marah. “Buat apa kubayar gadis ini kalau aku masih tetap—”Ia berhenti pas kubuka tudung jubah dan melambaikan tangan.“Booos?!”“Aku yang minta gadis itu memanggilmu, John,” kataku lantas mengeluarkan sekantung perak, “kau mau memarahiku gegara mengganggu waktu santaimukah?”“Ahaha.” Ia menggosok-gosokkan tangan dan mendekat. “Aku mana berani, Bos. Ahaha ….”Sikap yang membuat barista di belakangnya melirik sinis.“Ini.” Kudorong kantung uang tadi padanya. “Bantu aku menemukan seorang penadah ….”*** “Siapa penadah yang kita cari ini, Bos?”“Kudengar dia dealer senjata api,” kataku yang lalu mengasongkan secuir kertas, “kata orang, dirinya itu hafal betul lekak-lekuk jalan di Satu Mare terus susah buat ditemui. Menurutmu, berapa persen peluangku bakal ketemu sama orang ini nanti malam, John?”“Hem.” Ia terdiam sejenak sebelum meresponsku. “Aku tahu tempat bagus buat menginap,” ujarnya yang kemudian menyalip terus lari, “ikut aku, Bos!”John, kala itu, membawaku ke sebuah penginapan tua. Penampakan luarnya biasa, dari kayu, halaman sedang sama dua lantai, papan nama kusam serta hampir tidak terbaca, terus lokasinya agak jauh dari toko juga tempat-tempat hiburan khas Satu Mare.“Aku pesan kamar paling mewah buat bosku,” pinta John pada resepsionis, “sama ….”Mereka, ia dan si resepsionis, saling membisikkan kalimat-kalimat kode. Tidak kuperhatikan jelas. Namun, malam harinya seseorang mencariku ke penginapan tersebut.Orang yang ingin kutemui.“Ling Long, dealer senjata nomor satu sedaerah ini ….” Pria kuning gendut dengan rambut bob dan kumis menjuntai macam ikan lele. “Kudengar kau berani bayar mahal buat senjata-senjataku.”“Aku bawa lima puluh platinum dalam bentuk perak,” kataku, meladeni sang dealer di lobi penginapan tersebut. “Apa saja yang bisa kudapat dengan uang segitu, Tuan Ling Long?”“Bah!” Ia tepuk lutut. “Kau mau borong senjataku, hah?!”“Tergantung,” timpalku yang lantas menaruh sekantung uang ke hadapan kami, “tunjukkan contoh barang yang kau punya dan sebutkan harga mereka, aku takkan membeli senapan murah dengan harga selangit.”Ling Long selanjutnya mengambil sebuah buku, macam katalog, berisi gambar lengkap dengan informasi sama keterangan harga senjata-senjata yang si dealer jual.“Bagaimana?”“Aku tertarik pada senapan yang gak ada di bukumu,” lanjutku, mendorong kantung uang tadi padanya.Ia, melihatku agak lama sebelum berkilah. “Tidak ada senapan lain di tempatku selain senapan-senapan di buku ini, Saudara.”“Gak usah pura-pura ….” Kukeluarkan sekantung uang lagi. “Kukira aku tadi bilang membawa lima puluh platinum dalam bentuk perak di sini, Tuan Ling Tong. Apa di matamu diriku ini kelihatan mengada-ada?”“Bukan-bukan.” Si lele kuning menggeleng. “Aku bukan meragukan dirimu atau apa pun itu, Saudara, tapi diriku betulan tidak punya barang yang sedang kau cari jika tak ada di bukuku.”“Oh.” Mulutku membulat sebelum punggungg ini kutarik buat merebah ke sandaran kursi. “Begini, Tuan Ling Long. Jujur, ada dua barang yang menarik di bukumu.”Karena gak berhasil dapat informasi soal senapan Matilda Timur dari orang di depanku, aku pun mencoba cara lain. Kutawari dirinya sebuah kerja sama dengan sedikit bumbu ancaman ….“Tuan Ling Long, jangan bilang kau gak sanggup.” Kucondongkan badan usai menyebutkan tawaranku. “Di bukumu ada revolver, dia jelas bukan lontak macam senapan-senapan lama kita. Kalau dirimu berkeras menghindariku terus bilang peluru sama senapan genggam satu itu juga gak pernah ada, kurasa aku salah telah datang dan percaya dirimu dealer nomor satu di dunia bawah ini.”Ling Long tidak menjawab, mukanya hanya merah padam ketika itu.“Gak akan kutanya kau dapat pasokan mesiu sama selongsong peluru jenis ini dari mana?” sambungku lekas menegaskan, “yang jelas kumau dirimu cuma menjualnya kepadaku ….”*** Keesokan paginya, tanggal 15 Bulan Enam, Ling Long memberiku jawaban tegas. Ia menolak kerja sama dariku dan memutuskan untuk takkan pernah berbisnis denganku maupun orang-orangku setelah itu. Dirinya bahkan sampai melarikan diri dari Satu Mare beberapa jam sebelum jawaban tersebut dikirim.Namun, yang tidak dia tahu adalah, aku juga mengirim jerangkong buat membuntutinya tadi malam dan secara diam-diam telah ‘menukar’ seluruh cetak biru di brankas yang ia kosongkan sebelum pergi.“Satu beres,” kataku, menaruh cetak biru senapan Matilda Timur ke meja lalu selonjoran di sofa. “Selain memendam rahasia, lobi ini juga menjanjikan keamanan. Aku benar, ‘kan, Pemilik Penginapan?”“Kau sudah tahu,” sahut suara dari meja resepsionis, “kenapa masih tanya?”“Cuma memastikan,” akuku kemudian bangkit, “alasanku kemari gak cuma buat memaksa Ling Long pergi dari sini, kau tahu. Namun ….”Kukeluarkan plat besi yang kudapat dari divisi intelijen dan menaruhnya di meja si resepsionis. Tuk! “Oh.” Pria bekumis di depanku mengambil plat besi tersebut, mengarahkannya ke sumber cahaya, lantas menaruhnya kembali. “Jadi gembong cuma penyamaran,” ujarnya yang lekas mengambil sesuatu dari laci di belakang meja, “ini …, aku tidak pernah bertanya apa isi paket pelangganku, tapi kau pengecualian.”“Buka saja. Mending lihat sendiri, ‘kan?”“Hem.” Orang itu kini melirikku pakai delikan aneh. “Kau sekarang punya meriam, senapan pendek yang mereka sebut pistol, sama peluru praktis berselongsong besi. Apa rencanamu dengan benda-benda ini?”“Aku mau menyerang Matilda Timur,” jawabku lantas menarik kotak di tangannya sama kertas-kertas di meja lobi sana pakai Benang Pandora terus mengantungi mereka. “Ada satu gambar lagi yang kuinginkan buat rencanaku, Pemilik Penginapan.”“Apa itu?”“Gambar ketel yang digunakan buat menarik pedati.”“Aku belum pernah dengar gambar yang seperti itu,” akunya kemudian pasang harga, “tapi bukan berarti tidak bisa kucari tahu. Satu platinum, beri aku tiga hari.”“Baiklah ….”Sesuai janji. Tiga hari kemudian, tanggal 18 Bulan Enam, pemilik penginapan pun menyodorkan cetak biru kereta uap yang bertanda tangan Mapu Matilda Timur, Matilda Davida, ke hadapanku.“Luar biasa!” Aku semringah. “Sepuluh ribu koin perak dan aku mendapatkan kereta uap ini, hahaha.”“Kudengar mereka menyebutnya lokomotif, tapi benda itu bukan digunakan sebagai alat perang.”“Memang,” timpalku, buru-buru menyimpan kertas tersebut. “Lokomotif ini ‘tuk kendaraan logistik berat, dengannya mengirim ribuan serdadu atau bahkan perbekalan dan perkakas melintasi benua dalam sehari bukan lagi masalah.”“Pantas kau sesenang itu ….”*** Hari berikutnya, tanggal 19 Bulan Enam, semua cetak biru yang kudapat dari Satu Mare kukirim ke divisi intelijen buat diperbanyak lalu diserahkan pada para pengrajin. Sebulan kemudian denah titik-titik stasiun dengan jalur rel kereta uap mulai menimpa peta-peta wilayah Kara, mulai ujung Cassava, Basilika, Sabrina, hingga Sabila kecuali distrik timur dan tenggaranya. Tanggal satu bulan berikutnya, konstruksi besar-besaran pun dilakukan. Seribu platinum menggelontor begitu saja dari kantong pribadiku dan dua pertiga populasi Kara dikerahkan buat proyek tersebut.Lucunya, setengah bulan kemudian Aliansi tiba-tiba tampil sok baik dengan menawarkan dana dan tenaga tambahan guna melumasi rencana besarku itu.“Hahaha. Baiklah-baiklah ….” Meski, ya, iktikad baik mereka tetap kuterima, walau kugeser ke proyek baru di tempat lain. “Kenapa kita gak hubungkan saja kerajaan-kerajaan di Aliansi ke Satu Mare?”Ya. Bulan selanjutnya, rel dengan stasiun kereta api juga mulai dibangun di wilayah-wilayah tetangga Kara hingga ke Satu Mare melintasi Distrik Tenggara dan Timur Sabila. Uang dan tenaga, semua diurun oleh tujuh negara di Aliansi. Alhasil, orang-orang di barat benua menjadi super duper sibuk khusus untuk proyek satu ini.Sampai tahun berganti dan hal-hal yang kuantisipasi bersama Saintess pun terjadi ….“Ure.”“Aku tahu.”Pertama, gempa bumi mengguncang Eldhera pada pertengahan Musim Semi 354 Mirandi hingga menjeda proyek-proyek tadi serta langsung menguras dua ribu platinum dari kantong pribadiku ‘tuk memulai ulang semua kembali—termasuk dengan pemekaran distrik dan pembangunan kantor-kantor muri baru.Kedua, gempa dahsyat ini, juga jadi tanda bahwa Benua Kecil ‘lah tenggelam kembali ke dasar samudra di selatan dan era baru pada siklus Eldhera sudah muncul ke permukaan.Ya. Era Delapan Bintang Benua ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 53 Suasana Baru

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Hem ….”Aku takjub dengan penampakan salon Trira. Gak hanya mencolok, kesan beda dari yang lainnya juga kuat. Meski baru lihat dari luar, sekali lirik aku tahu salon ini hanya menerima pelanggan wanita.“Hei, sesuai aturan—”“Tahu,” selaku sebelum putar badan dan balik ke dalam kereta, “cuma Kubo yang akan pergi dengan Anda, Nona. Sambil menunggu, aku mau jalan-jalan saja.”“Bagus. Kami pergi. Dah ….”Tanggal 13 Bulan Enam. Aliansi menyerah menginvasi Bravaria. Mereka bahkan mengabaikan pasukan di Banori sejak pernyataan tersebut disiarkan ke seluruh benua satu setengah bulan ini. Dan, gegara itu pula, para bate sekarang lebih fokus dengan wilayah sendiri-sendiri ketimbang meladeni kemauan Aliansi.Situasi paling menguntungkan buat Kara.“Berhenti di depan … kembali saja ke salon dan tunggu Trira sama Kubo, jika mereka tanya bilang aku cari oleh-oleh di area belanja.” Ada yang mau kulakukan sendiri di kawasan terpadat se-Distrik Timur ini, dan jalan kaki akan lebih baik. “Terima kasih ….”*** Sekarang, aku sudah sendiri.‘Apa yang mau kulakukan?’ gumamku dalam hati, celingak-celinguk melihati pertokoan di kanan kiri jalan dan mengagumi mereka. “Hem. Pantas orang-orang menyebut Distrik Timur pusat belanja, segala macam barang ada di sini.”“Permisi.”Aku berhenti di depan sebuah toko, tepat setelah pramuniaga mereka mencegatku.“Boleh minta waktunya sebentar, Tuan. Kami dari ….”Kudengarkan dua wanita di depanku sampai selesai.“Selain tunai kami juga menerima cara pembayaran berjangka, Tuan. Bagaimana?”“Aku mau lihat barang yang kalian iklankan tadi,” kataku lantas belok ke toko mereka, “tolong ….”Sesaat kemudian.“Silakan datang lagi.”Seratus perak di toko pertama. Kita lihat berapa yang akan kuhabiskan sampai ujung jalan sana. “Selamat datang ….” Toko kedua. “Selamat datang.” Ketiga.“Selamat.”Empat.“Selamat.”Lima dan seterusnya sampai ….“Silakan datang kembali.”“Berapa yang sudah kumasuki?” Aku berbalik dan melihat gunung belanjaan. “Hem, sekarang bagaimana caraku membawa mereka ke Distrik Tenggara?”“Tuan?”Aku menoleh.“Kau bicara padaku?”“Ahaha, benar.” Pria paruh baya, kulit sedikit legam dengan rambut dan kumis kuning beruban, setengah bungkuk sambil menggosok-gosokkan tangan sebelahku. “Tuan, kulihat Anda melamun lama pinggir jalan sini. Apa butuh tambahan tenaga buat membawakan barang-barang ini?”“Oh.” Mataku membulat. “Kau menawarkan jasa angkutkah?” tanyaku lantas melongok samping dengan belakang orang tersebut, “eh, mana kereta milikmu, Pak Tua?”“Hoho. Bukan diriku, Tuan,” ujarnya yang lalu menunjuk ke kanan, “tapi mereka.”Hem. Sudut bibirku naik pas lihat orang-orang yang ia rekomendasikan. Mereka kekar, punya bahu lebar dengan badan berotot, serta sekilas tampak bisa dipercaya dari luar.“Hahaha.” Aku senang. “Mereka masih kurang, keluarkan semua angkong kalian!” pintaku pada si kakek paruh baya, “barang-barangku mau kubawa ke distrik lain ….”Total, sudah dihitung sama biaya lima puluh unit angkong pengangkut, aku menghabiskan lima ribu keping perak hari itu untuk perabot macam sofa, kursi, meja, rak, lemari, bangku, vas, serta seabrek pretelan lain buat menghias ruang tengah, ruang tamu, ruang keluarga, sama halaman depan dan belakang rumah.Gak lupa sekian potong baju tambah sekotak perhiasan baru buat Trira dengan Oukubo juga.Yang ternyata malah dibalas jerit sama belalakan heran oleh keduanya ….“Ure. Apa-apaan ini, hah?!”“Betul. Kenapa halaman kita jadi begini, Tuan?”Keduanya, Oukubo juga Nazila Trira, kompak geleng kepala begitu lihat penampakan baru halaman depan rumahku sekembalinya dari salon di Distrik Timur.“Kenapa halaman rumahmu jadi lain—jangan-jangan ….” Trira bahkan langsung melesat ke dalam rumah buat memeriksa seluruh ruangan hingga tembus ke halaman belakang lalu menjerit. “Ureee!”Kubo, yang notabene lebih kalem daripada sang putri, mencubit pinggangku lantas tanya.“Jadi selain belanja baju, oleh-olehnya semua ini?”“Jangan melihatku begitu,” balasku yang lalu merangkul dan mengajaknya menyusul Trira, “bukanya kau bilang mau suasana baru, Sayang?”“Ya, gak dengan mengubah seisi rumah juga.”“Aku cuma beli kursi sama beberapa perabot doang, kok, gak banyak—”“Gak banyak, tapi hampir semua ruangan ada perabot baru. Huh.” Ia memukul lenganku pelan. “Sofa sama meja di ruang tamu, kursi tambah rak di ruang tengah, karpet buat lesehan di ruang keluarga, vas, lemari, gantungan topi, kendi payung, rak sepatu … berapa total semuanya?”“Ya. Berapa harga furnitur baru di rumah kalian?” sambung Trira, nimbrung usai kembali dari halaman belakang. “Bisa-bisanya kau membeli begitu banyak barang tanpa mengajakku, Ure. Tega sekali.”“Ahaha.” Aku garuk pipi dihunjam telunjuk oleh beliau. “Anda dengan Kubo kan lagi di salon, Trira.”“Jangan mengalihkan topik,” tukas Trira, semakin mendelik. “Jawab saja, berapa uang yang kau habiskan buat semua barang baru di rumah ini, hah?”“Itu …, itu, gak banyak, kok—”“Berapa?” Kubo dengan Trira mendadak kompak, keduanya seirama melipat tangan dan cekak pinggang memelototiku.Hingga diriku spontan telan ludah, kemudian pasrah menjawab. “Sama biaya angkut tambah gaun-gaun Anda, total semuanya jadi lima ribu perak. Gak mahal, ‘ka—”“Lima ribu peraaak?!”*** “Tumben pakai jubah, mau ke mana?”Senyumku mekar menanggapi Oukubo, segera kurapikan simpul jubah lantas menghampiri dan mengecup kening sang elf mesra. Berpamitan sebelum keluar rumah pagi itu, tanggal 14 Bulan Enam 353 Mirandi.“Kau belum jawab mau ke mana, Sayang ….” Ia cubit ujung jubahku. “Bukan mau kelayapan atau main ke tempat aneh-aneh, ‘kan?”“Aku. Ke Satu Mare. Ada urusan sama si John.”“Bukan mau pesan linda, ‘kan?” tukasnya, menatap penuh curiga. “Kau gak ada rencana jadi bandar—”“Hush.” Kukecup pipinya sekali. “Mana ada aku jadi bandar. Kalaupun iya, paling bandar linda tipe nol.”“Linda tipe nol?”“Linda versi keretek,” terangku sambil jalan dan merangkulanya sampai gerbang, “tapi aku juga gak mau barang itu masuk pasar, loh, ya. Cukup kau saja yang tahu ada linda tipe nol, Kubo.”“Hem.”“Sudah, ya, Sayang. Aku berangkat ….” Muah! Kukecup ia sekali lagi lalu naik ke atas kereta dan melambaikan tangan ….Urusan di Satu Mare adalah soal meriam sama senapan Matilda Timur, telik sandi berhasil mencuri cetak biru mereka dan menyelundupkannya lewat jaringan pasar gelap bersama aliran barang ilegal.Aku awalnya tidak peduli, sebab senapan lontak tipe baruku juga sudah dimodifikasi agar jangkauan sama daya serangnya menyamai senapan-senapan mereka. Namun, saat laporan Jodi dengan Wale, dua yoram dari divisi intelijen, menyebut Matilda Timur sedang mengembangkan kereta dan kendaraan uap seketika diriku pun tidak bisa berhenti penasaran.Meski baru sekadar rumor, mesin uap bukan sesuatu yang boleh dianggap main-main. Apalagi diriku tahu betul revolusi industri di dunia lamaku terjadi setelah benda-benda bertenaga hewan dan manusia digantikan oleh roda-roda gigi dengan ketel-ketel yang dipanaskan ….“Gak perlu menunggu,” kataku pada kusir kereta, sesaat kami sampai ke gerbang Satu Mare. “Urusan di sini bakal lama. Bilang saja sama Nona, kita bakal dapat pelanggan baru kalau aku berhasil.”Sekarang.Selain kepulangan pahlawan, Delapan Bintang Benua sama periode pertapa pascaperang besar, kini diriku menghadapi masa baru di mana senjata api dengan mesin uap muncul di Eldhera. Kekhawatiranku pada zaman Mirandi ini bukan lagi perseteruan antar maniak bela diri dan praktisi-praktisi sihir, tetapi sudah melibatkan koboi-koboian beserta pistol dengan senapan di tangan mereka.***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 52 Nazila Trira

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kenapa kau percaya padaku?”‘Kenapa percaya padanya ….’Aku tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana Trira lima bulan lalu. Terutama saat kutahu mata cemerlang yang menatap waktu kutunjukkan dekret penambal kekosongan kekuasaan kala itu melihat bukan dengan keingintahuan atau sekadar rasa penasaran belaka, tetapi juga sebuah keyakinan buah daripada pengetahuan.Sampai sekarang pun aku masih belum bisa menjawabnya ….“Kenapa aku percaya padanya?” tanyaku menanyai diri, memperhatikan Trira bolak-balik keluar masuk Ruang Direktur dengan Ruang Berkas dari tangga lantai dua Kantor Utama Sisik Kayu. “Aku sudah melihat gadis itu sama Stella setengah jam ini, mereka mondar-mandir kayak setrikaan, Ra.”Ranra, Sekretaris Sisik Kayu, sebelahku menggeleng sambil angkat bahu.“Katanya Nona habis beli buku baru,” ucapnya yang lantas meninggalkanku keheranan sendiri, “beliau lagi menata ulang ruang berkas kita, Tuan Mi. Cuekkan saja—”“Bukan!” Kususul Ranra dari belakang. “Maksudku, laporan bulan kemarin belum kuterima. Harusnya dia sudah menaruh berkas-berkas itu sebelum makan siang tadi, ‘kan?”Tanggal 12 Bulan Enam 353 Mirandi.Hidupku berlanjut. Sebagai Kepala Sisik Kayu, banyak hal kukerjakan sepanjang minggu. Mulai dari memeriksa jadwal harian, memastikan stok produk, bahkan mengevaluasi hingga merencanakan agenda selesai baca laporan yang menumpuk atau diasongkan Ranra ke meja kerja. Cek! Tadi itu kegiatan di Sisik Kayu. Ketika sampai rumah, jadwalku beda lagi. Merpati warna-warni sudah biasa bertengger dekat jendela menunggui kedatanganku pas jam pulang kantor tiba. Buat apa? Burung-burung pos tersebut hendak menyerahkan laporkan dari atasan mereka ….“Bagus, tidur telat lagi malam ini,” gerutuku pas menarik kain dari salah satu kaki merpati, “nasib o nasib.”*** “Hari ini gak ke kantor?”“Gak.” Kutoleh Oukubo singkat, ia mendekat bersama kotak tembakau dengan padudan giok lalu duduk sebelahku seperti biasa. “Berapa kali harus kubilang udut gak bagus buat paru-paru, Kubo?”“Cuma sehari sekali,” timpalnya, “itu batasanku, ‘kan?”“Hem.” Aku gak bisa komentar, sejauh ini sang elf memang benar-benar cuma mengisap tembakau sekali sehari saat di depanku. “Aku menyesal pernah memintamu buat mencoba candu—”“Asal jangan linda tipe pertama atau dua saja!”Jawaban yang sontak membuatku mendelik.“Hah. Kuakui salah sudah membuat linting jahanam itu,” akuku, menjeda kegiatan buat meladeni dirinya di meja halaman depan tersebut. “Bisakah kau lupakan aku pernah mem—”“Gak. Huh ….”Kuusap wajahku sehabis dikepuli asap sama Kubo.“Sekarang ada banyak tanda tanya di kepalaku tentangmu, Sayang,” akunya, tumpang kaki lantas melipat tangan dan menatapku curiga. “Misal, apa kau betulan seorang alkemis?”“Hah?” Kupasang muka polos, berharap ia tidak jadi menanyaiku apa pun. “Dari mana datangnya ide liar itu, Kubo. Kau tiap hari bersamaku, ‘kan?”“Sebelum kita ketemu,” tegasnya, “aku cuma tahu dirimu besar di Zaowi terus mendaftar ke Mantel Putih pas remaja sama jadi terkenal setelah menjabat kanselir beberapa tahun dan sekarang seorang Pu.”“Nah, tuh ta—”“Aku belum selesai!” Ia melotot. “Aneh, orang yang gak punya riwayat sekolah alkimia macam dikau tahu takaran obat dan bisa meracik linda. Enggak masuk akal.”Aku tersinggung, meski dirinya barusan juga memujiku. Jelas diriku tahu takaran obat sama bisa meracik linda, itu hal remeh. Aku belajar alkimia dari nenek Freta dan Cherry, dua alkemis nomor satu di era mereka. Kemudian kusempurnakan keahlianku di Istana Naga Timur sebelum Kekaisaran Hydra runtuh, setelahnya jalan alkimiaku juga menanjak pas kenal Tabib Suno dengan Toksisian Elma di awal kemunculan Delapan Bintang Benua zaman Chloria. Dia kira keahlianku muncul tiba-tiba kali.“Jawab aku, kau betulan bukan alkemis, ‘kan?”“Kau maunya jawaban begimana?” tanyaku, balik menatapnya. “Jelas-jelas tahu riwayatku dan kita tinggal bersama selama ini, apa keberuntungan sekejap macam begitu saja sudah membingungkanmu, hah?”“Bukan!” Kubo cekak pinggang. “Aku cuma heran … lihat, dirimu bahkan tahu daun singkong punya khasiat melemaskan tembakau kering kalau mereka ditaruh di kotak yang sama. Kau itu bukan pecandu, tapi tahu semua ini—gak masuk akaaal, ih!”Kuangkat tangan sebahu menjawab pekik gemas tersebut.“Sayang, anggap saja keberuntunganku tinggi. Ya?”Sang elf menyerah. Ia duduk pasrah sambil mengisap padudan dan tak bicara apa-apa hingga sekian saat. Sedang diriku, lanjut pada kegiatan yang sempat tertunda, menggambar aliran pasukan aliansi sebelas negara dari barat benua sampai perbatasan Dataran Tengah dan Kolom Empat-Tiga.Kami tak saling tanya lagi beberapa waktu sampai ….“Aku gak mengganggu kalian, ‘kan?” Seseorang muncul dan mencairkan kebisuan di antara kami, Nazila Trira. “Oi, Ure. Kau lagi apa?”“Menggambar,” jawabku singkat, fokus pada apa yang tengah kulakukan. “Anda butuh apa, Trira?”“Tidak ada ….” Gadis itu duduk di seberangku dan Oukubo, sungkan dengan malu-malunya tiap kali kemari tampaknya telah hilang. “Aku bosan sendirian di rumah. Stella pergi ke pasar, terus Ranra bilangnya ada urusan sampai sore.”“Dayang sama pelayan di tempat Anda lebih dari selusin padahal ….” Aku menoleh pada Kubo, isyarat agar dia mengambilkan camilan buat tamu kami. “Mau minum apa?”“Beda. Jus jeruk. Biar kata di rumahku banyak dayang mereka susah diajak bicara, tahu.”‘Jelas susah diajak bicara, soalnya Anda gampang lompat topik sama suka tiba-tiba asyik sendiri,’ batinku, menutup peta selesai kugambar dan mengantunginya. “Gak ke salonkah, Trira?”“Nanti siang—ah, ya! Aku mau cerita, Serikat menawariku buat buka cabang baru bulan ini.”“Bagus dong.”“Bagus palamu.” Beliau merebah ke meja. “Yang ada usahaku bangkrut, Ure.”“Loh, kok?”“Cek! Coba pikir ….”Oh. Jadi Aliansi belum menyerah buat mengirim orang ke Sabila. Setelah gagal menyuap pejabat Kantor Muri Distrik dan membuka tempat hiburan di sini, mereka kini mau pinjam usaha-usaha yang sudah duluan jadi rupanya. Hem.Dua musim tidak ada kemajuan dan gagal mendapat tambahan dana sama perkakas baru buat Kampanye Banori, aku paham bila Aliansi makin frustasi. Hahaha ….*** “Kudengar pasukan pertahanan kota kau sebar ke perbatasan, ya?”Aku tidak menjawab ditanya Trira. Mataku lebih ingin menikmati hijaunya alam yang tampak memesona, terbingkai oleh jendela kereta yang lagi kutumpangi menuju salah satu salon beliau di Distrik Timur.“Anda dengar kabar dari mana, Nona?” tanya Kubo, menggantikanku meladeni Trira. “Jika ini rumor baru dari Aliansi, saya rasa Anda tidak perlu menanggapinya serius.”“Hem, tapi pelanggan-pelangganku mengeluh gegara perbatasan makin ketat, tahu, Kubo. Kau gak bakal percaya kalau kubilang mereka ….”Trira membeberkan semua yang hendak beliau konfirmasi.Aku sampai terkejut. Setengah dari apa yang gadis itu ceritakan benar kecuali perintah penangkapan sama interogasi tertutup yang ia sebut dilakukan Panji Kalajengking. Sebab mereka malah tidak pernah kusuruh ke mana-mana selain berpatroli di wilayah tugas masing-masing. Namanya juga pasukan kota, buat apa keliaran sampai perbatasan, ‘kan?Akan tetapi, apa yang beliau singgung sebetulnya menarik. Angkatan Pertahanan Kara atau Legiun III Panji Goron memang kusiagakan di Distrik Timur agar siap membendung serbuan lanjutan dari Banori kapan saja terutama setelah Aliansi kalah perang. Bila ini soal mereka maka rumor tadi mengambil sudut pandang penyusup yang gagal menyelinap ke Kara lewat utara ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 51 Pelayaran Penutup di Kalvaruma

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Sesuai rencana ….”Tanggal 25 Bulan Dua 353 Mirandi.Urusanku di Sigkawa telah rampung. Pabrik baru yang kubagi bersama Neraca Gandum beroperasi dengan baik, protokolnya benar dan produksi mereka stabil bahkan tingkat kemasifannya mengalahkan Sisik Kayu. Agenda terselubungku juga selesai setelah gudang-gudang tetangga meledak tanpa hambatan. Mwehehe.Adapun hal di luar rencana yang belum beres, itu cuma pertemuan sama si botak sekarang.“Akhirnya, kita ketemu juga. Aku sampai bosan menunggu tiga minggu di penginapan, Saudara.”“Ahaha.” Dia, pria botak yang mengaku sebagai kepala geng gigi emas ini, menyambutku di feri nan penuh kesenangan. “Aku harus memastikan hidanganku sesuai dengan selera tamu-tamu kehormatanku, ‘kan?”Satu jam sebelumnya, di dermaga tempat kami berpisah beberapa minggu lalu.“John, kita sepakat saat aku ketemu si botak kau mengambilkanku peta pasar gelap kalian, bukan?”“Te-tentu saja, Bos. A-aku, aku akan melakukannya dan kita pasti bertemu lagi di Satu Mare.”“Kalau begitu kenapa masih di sini, pergilah.”“Ba-baik ….”Janji dari mulut pejudi yang takkan sepenuhnya kupercaya.“Kubo ….” Kuambil dekret yang kutulis tadi malam. “Kita sama-sama tahu tinggal kau yang bisa kuandalkan sekarang,” kataku lalu mengasongkannya, “kudengar senapan-senapanku sudah dibawa ke luar Mantrus, rute pengiriman mereka memutar lewat Hika dan akan sampai di Banori bulan depan.”“Huh.” Kubo meniupkan asap tembakau ke gulungan tersebut. “Menyergap mereka di jalan cukup mudah, tapi memastikan jumlahnya utuh setelah melewati Satu Mare tetap mutahil.”“Jangan biarkan mereka keburu lewat sana kalau gitu. Bisa, ‘kan?”“Baik.” Sang elf tersenyum, menyambar dekretku, menggantungnya di pinggang, kemudian bangkit lantas memanggil Toro. “Jangan protes jika aku merapal mantra tingkat menengah, ya, paham?”“Lakukan sesukamu.” Kukibaskan tangan dan tersenyum, mengantar kepergiannya yang langsung melesat bak burung garuda ke angkasa. “Eh, ya! Jangan merusak merekaaa ….”Semua persiapan telah selesai. Kampanye Banori berjalan sesuai rencana dan apa yang seharusnya datang ke Kara akan tetap tiba pada waktunya. Termasuk buah dari pertemuan dengan pria botak satu ini ….“Jujur aku berharap, Saudara,” akuku, celingak-celinguk melihat dekorasi beserta segala hal yang telah ia siapkan ‘tuk pertemuan di kapal tersebut. “Selain para penghibur, kurasa kau gak ada niat sama sekali.”“Ahaha, tolong jangan menyulitkanku, Saudara,” pintanya, mengangkat gelas sebagai tuan rumah di ujung meja sana. “Mari-mari, kita mulai saja jamuan dan agenda pertemuan hari ini ….”*** “Saudara.”“Saudara.”Sesuai dugaan. Si botak menggunakan pertemuan di kapal itu buat mengukuhkan diri juga kelompoknya sebagai satu dari sekian elite sindikat dengan mafia di Singkawa dan Pluma. Kartel. Dia sengaja mengumpulkan pemasok barang ilegal di satu tempat agar bisa diatur leluasa. Tidak buruk untuk ukuranku yang baru pertama kali lihat dunianya ….“Aku capek terus mengangkat gelas meladeni mereka di ballroom ini …,” akuku lantas mengambil selinting ganja yang telah kuracik khusus buat kutunjukkan di depan si botak, “cobalah, Saudara. Kusiapkan khusus untuk pertemuan kita. Aku menyebutnya linda.”“Linda?”“Linting daun. Daun-daun kering kemarin, kugulung pakai nipah,” terangku kemudian mengambil selinting lagi, “dan ini jenis kedua, lebih berat ketimbang yang kau pegang.”“Kupikir kau cuma mau jadi pemasok bahan mentah, Saudara?” tanyanya, melihatku curiga. “Kalau begini caranya, haruskah kuatur—”“Kelompokmu bisa menjualkannya buatku, ‘kan?” potongku yang lalu minta buat diambilkan korek, “coba dulu saja, aku mau tahu kau berani pesan berapa—ah, ya, resep rahasianya bukan untuk dijual.”Si botak mengangguk dua kali.“Biar kucoba dulu ….” Ia mendelik pas isapan pertama, melihatku, terus mengisap dan mendelik lagi. “Kau benar-benar lain, Saudara. Barangmu ini sa—”“Eit!” Kurampas linda di tangannya sebelum isapan ketiga. “Jangan mengisapnya lebih dari itu, kau takkan sanggup menangani efek setelahnya,” kataku yang lantas mematikan dan melempar linting ganja tersebut ke nampan salah seorang pelayan, “jadi, berapa kau berani pesan buat permulaan?”“Soal itu. Aku …, aku ….”Ia berusaha fokus, tapi kutahu pikirannya sedang ingin linda yang baru saja kubuang. Terbukti, dirinya pun segera minta waktu dan menyuruh salah seorang anak buah menemaniku. Mwahaha. Aku ketawa dalam hati ….*** “Saudara.”“Oh, hai, Saudara.”“Aku tidak menemukanmu di ballroom tadi, jadi aku mencari sampai kemari ….”Siapa pria jangkung yang lagi menegurku ini? Aku tidak kenal.Kumis tipis, rompi cokelat, rambut klimis, pantofel berkilap, juga wangi. Dandanannya gak norak dan dia punya kesan terpelajar yang kuat. Buat apa orang dari jenisnya di kapal gembong barang-barang terlarang.Hem.“Kesanku padamu agak beda, Saudara,” ujarku terus balik melihati danau malam itu dan mengaku, “diriku gak terbiasa di keramaian, jadi aku di sini buat menenangkan diri sekalian cari angin.”“Hahaha.” Ia ikut berdiri sebelahku. “Aku datang di saat yang tidak tepat sepertinya …, ah, ya! Aku, James.”“James?” Kuhadapkan diri padanya. “Bukankah kita sepakat buat hanya memanggil satu sama lain dengan ‘saudara’ di kapal ini?” tanyaku, mengingatkan pada bunyi pesan si botak sebelum kami naik ke atas kapal.Namun, tampaknya hal itu punya pengecualian. “Benar, tapi kata ‘saudara’ saja belum cukup untuk orang yang hendak menjalin hubungan lebih dalam, bukan?”Setuju. Poinnya bisa diterima.“Jadi kau mengakui bila mau menjalin hubungan denganku, begiukah?”James tersenyum, ia pun menjelaskan bisnisnya setelah itu. Dan, ya, orang ini ternyata punya koneksi erat dengan keluarga-keluarga bangsawan di empat negara. Fakta yang membuat sudut bibirku naik.Dia bilang, barang yang kuberikan pada si botak membuat dirinya tertarik. Ia berniat memodaliku dengan ladang siap garap di Erre, Ibu Kota Pendidikan Singkawa, serta akan membiayai produksi hingga dua tahun ke depan jika diriku bersedia menjadikannya penadah esklusif.Tawaran yang menggiurkan, bukan?“Sangat menggiurkan,” akuku sebelum kemudian menunjukkannya dua batang linda, “ini jenis pertama, yang tuan rumah kita isap di ballroom tadi. Satu lagi, jenis kedua. Kekerasan efek mereka sangat jauh.”James elus dagu.“Linda kedua lebih berat daripada jenis pertama. Kalau baru buka usaha, kusarankan coba ambil beberapa slof yang ringan dulu, tapi aku takkan menyarankanmu buat mengisapnya lebih dari dua kali sehari. Sudah lihat apa yang terjadi pada tuan rumah kita, ‘kan?”Malam itu kami bertukar kontak.James selanjutnya memberiku lokasi ladang yang tadi ia singgung lalu berjanji untuk menyiapkan semua keperluan agar produksi linda bisa segera kami mulai sebelum undur diri.Caranya bernegosiasi lugas dan jauh dari kata bertele-tele. Aku sangat suka, jujur saja. Sayang, pertemuan pada malam tersebut menjadi saat pertama sekaligus yang terakhir bagi kami.Bukan hanya antara diriku dan James, tetapi semua penumpang di kapal milik si botak. Sebab pada malam kedua pelayaran mengarungi Kalvaruma itu feri tersebut dikabarkan hilang tanpa jejak usai sempat terlihat melintas di perairan Pluma ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 50 Monopoli

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Tuan Mi.”“Belum ke kantor, Kepala?”“Kulihat ada kuda Anda di luar ….” Damian melepas topi lantas duduk di seberangku. “Kuharap Anda tidak keberatan untuk menjamuku secangkir teh, Tuan, Nyonya.”Kuangkat tangan, memanggil pelayan, lalu mengangguk.“Tentu,” ucapku kemudian, “aku ingin pesan ikan kukus semangi di warung ini, tapi wanitaku bilang dirinya masih kenyang. Jadi, aku di sini sambil menunggu jam makan siang.”“Aha, kulihat Anda punya selera, Tuan Mi.” Sang kepala serikat mencondongkan diri. “Ikan kukus semangi warung ini nomor dua di Yothe, tapi tidak semua orang punya keberuntungan mencicipinya.”“Hem.” Mataku memicing. “Bukan nomor satu, tapi gak semua bisa mencicipi. Bukannya kedengar agak kontradiktif, ya, Kepala?”“Itu karena ikan yang mereka gunakan, Tuan Mi.”“Ikan?”“Benar.” Damian agak mundur waktu pelayan menyajikannya teh. “Terima kasih …, sampai mana tadi?”“Ikan yang digunakan warung ini—”“Ah, benar. Mereka menggunakan salmon yang cuma muncul di pertengahan sampai akhir musim semi, kalau Anda kemari sebulan lebih awal atau dua bulan lagi saja misal …, kujamin papan iklan di depan itu tidak akan ada.”Kuangkat tanganku sekali lagi, isyarat buat memanggil pelayan.“Kuborong semua ikan kukus semanggi kalian hari ini,” kataku usai dengar keterangan Damian, “tiga buat makan siang kami di sini, lima kubungkus, sisanya tolong bagikan sama orang-orang yang lewat.”“A-anda seriu, Tuan?”“Apa aku kelihatan bercanda pesan sebanyak itu?” tanyaku lantas mengeluarkan sekantung uang ke atas meja, “sebutkan saja harga yang harus kubayar dan lakukan persis seperti kataku tadi ….”*** “Aku baru tahu seratus perak hanya recehan di depan Kepala Sisik Kayu?”“Jangan mengejekku, Kepala,” timpalku, menjuling pada Damian. “Jika sekeping emas saja kuanggap besar terus bagaimana aku akan membeli bisnis-bisnis pesaingku, ‘kan?”“Hahaha.” Ia terbahak lalu mengambil kotak tembakau. “Bisnis arang ini sudah seperti keretek,” ujarnya kemudian, “peminat dua komoditas itu terus meningkat sejak mereka pertama kali masuk pasar ….”Antara setuju dan tidak.“Aku lebih suka menyebutnya bisnis kelas dan gaya hidup,” akuku lantas berkata, “orang sudah pada tahu semua dua benda ini amat bahaya, tetapi tetap menginginkan mereka buat mengadu status.”“Hahaha. Aku kecanduan mengisap tembakau setelah coba selinting dari koleksi Dominic,” ujar sang ketua serikat, “dan kini diriku tidak lagi sanggup untuk berhenti, Tuan Mi. Aku sudah menyerah, mati karenanya pun kasarnya sekarang diriku telah rela.”Kugelengkan kepala dengan senyum pahit. Dan, spontan kupandangi punggung Kubo setelahnya. Ia, yang lagi melipat tangan sembari melamun di jendela sana, membuatku tiba-tiba diterpa rasa bersalah. Sebab demi keegoisanku, dirinya rela menjadi salah seorang pengisap candu ringan tersebut. Cek! *** “Kalian bahas apa tadi?”Aku tersenyum ditanya Oukubo, sesaat Damian undur diri.“Cuma bisnis, kok, Sayang,” jawabku yang lantas merapikan diri, “dia mau buka pabrik keretek, tembakau campur cacahan cengkih, di Yothe katanya. Terus, Neraca Gandum mau mengajukan pinjaman ke Aliansi.”“Oh.” Mulut sang elf membulat. “Waktu kalian bicara serius, kulihat seekor merpati ungu terbang ke arah penginapan,” tuturnya, menggandeng lenganku erat. “Sebaiknya kita kembali sekarang ….”Macam yang dibilang Kubo, dua ekor merpati lagi bertengger tengah menungguku di jendela kamar waktu kami kembali. Salah satunya warna ungu.Satu dari Jambu, kaki merah dengan kain kuning. Satu lagi dikirim oleh Angkatan Pertahanan Darat milik Panji Gorgon di Distrik Timur Sabila, merpati ungu dengan pesan rahasia soal utusan-utusan baru Aliansi.Jambu bilang kampanye Bravaria terjeda gagara sekutu kehabisan bekal. Sementara satu lagi ….“Mereka minta kita buat segera mengirim ransum ke Banori,” tuturku, membakar pesan dari dua merpati tersebut. “Jangan melihatku begitu, kau gak dilarang bicara di kamar ini, ‘kan, Sayang.”“Sayang. Aku akan menatapmu macam tadi tiap hari biar dipanggil sayang.”“Oh, ayolah—”“Canda.” Oukubo menarik kursi lantas duduk dan topang dagu sambil melihatku. “Aliansi pasti lagi putus asa gegara kebakaran kemarin, terus mereka juga sudah mulai frustasi sebab kampanye di Banori gak ada kemajuan dua bulan ini.”“Baru dua bulan,” timpalku yang lalu meniru dirinya, topang dagu di meja tersebut. “Aku pernah nyerang kota, tapi gak ada kemajuan sampai lewat setahun penuh. Kalau mau adu pahit, ya, dua bulan doang gak ada apa-apanya buat orang Bravaria.”“Makanya kubilang mereka lagi putus asa, Sayang.” Ia colek hidungku gemas. “Bravaria punya pengalaman membendung serangan di kampanye panjang, sedangkan lawannya dibukan-bukan juga tetap amatir yang menang jumlah doang. Keduanya gak seimbang.”Aku setuju. Kekuatan utama Matilda Barat sudah lenyap di Hujan Abadi. Aliansi sekarang hanya rekrutan baru yang belum matang dan ngebet maju ke medan perang, secara kualitas jelas menang lawan mereka.“Kalau bangsamu sampai mau keluar dari hutan, mana yang akan kalian bantu?”“Bangsaku?”“Ras elf sama peri hutan …,” jelasku, memegang tangan yang sejak tadi mencolek pipi dan hidungku. “Aku yakin kalian gak akan cuma diam pas perang besar nanti, ‘kan?”“Aku gak bisa jawab,” akunya, sekilas kelihatan murung. “Orang tuaku sudah tinggal di desa manusia pas diriku lahir. Kalau kau percaya, aku pun ragu apakah mereka menganggapku—”“Gak usah sedih!” potongku yang lantas menyentuhkan tangan sang elf ke pipi, “kau masih punya aku jika mereka gak mengakui—bahkan aku yakin bersamaku jauh lebih baik ketimbang sama mereka.”Oukubo tersenyum, manis sekali.*** “Jadi, kau kalah lagi?”Keesokan paginya, tanggal 22 Bulan Dua. Sesuai kesepakatan bersama, John pun menyerahkan diri usai berhutang gegara kehilangan seratus lima puluh ribu perunggu di meja judi. Menyedihkan ….“Aku gak akan minta uangku balik,” kataku, senang sebab langkah pertama buat mengambil alih sindikat Singkawa bisa kumulai dari orang ini. “Sebagai gantinya aku mau kau melakukan sesuatu buatku ….”Setelah memikirkan banyak kemungkinan berulang kali secara masak, juga bolak-balik menimbang ini itu bersama Oukubo. Aku sampai pada kesimpulan bahwa jika diriku mau Singkawa menjadi sekutu, kekuatan yang harus kudekati bukanlah militer mereka. Akan tetapi, orang-orang di dunia gelapnya. Atau, jaringan sindikat yang pas kuselidiki ternyata menguasai dua pertiga wilayah kerajaan paling selatan di peradaban manusia Eldhera baru tersebut.Dan, orang ini akan menjadi bidak sekaligus batu loncatanku buat menggenggam mereka.“Kau sanggup, John?”Pejudi yang memang sudah lesu itu makin lesu.“Aku gak akan memaksa, tapi bagaimana caramu buat mengembalikan lima belas emasku jika kesempatan sekali seumur hidup ini kau lewatkan?”Ia telan ludah.“Kau cuma perlu lakukan dua hal …,” kataku, melakukan repetisi buat membujuknya. “Utangmu kuanggap lunas bila kau berhasil membawakanku peta lokasi seluruh pasar gelap sama tempat usaha si botak terus membantuku mengirim orang buat membuka usaha di sana.”“Kau betulan akan menganggap utangku lunas kalau aku membawakan peta markas kami?”“Ya. Setelah aku punya minimal satu toko di tiap pasar gelap kalian, utangmu kuanggap lunas.”Aku menoleh pada Kubo, isyarat supaya dirinya mengambilkan kontrak yang telah kusiapkan.“Kemari. Kalau kau setuju tandatangani dua kertas di meja ini ….”John kelihatan ragu.Jelas sekali bila ia enggan mengkhianati si botak maupun geng mereka. Namun, utang yang kugunakan buat menjerat dirinya juga tidak ringan. Jadi, meski sangat enggan serta benar-benar terpaksa. Dia tetap melangkah ke meja walau sambil gemetar lalu menandatangi perjanjian denganku tanpa pikir panjang. Mwahaha ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 49 Sabotase

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Hoaaam—”“Dia keluar lagi ….” Oukubo menggerakkan kepala, isyarat agar aku melongok ke luar jendela. “Seseorang menunggunya di gerbang penginapan, mereka kelihatan buru-buru.”“Paling mau judi lagi,” komentarku, balik pada surat yang malas kubaca di meja tersebut. “Daripada itu, malam ini mesiu dari Satu Mare lagi diangkut ke gudang-gudang Pluma ….”Tanggal 13 Bulan Dua 353 Mirandi.Usai bicara dengan Ketua Serikat Neraca Gandum dan melihat bagaimana pabrik arang di Yothe dikelola, diriku jadi tahu Aliansi tengah menyimpan dua rahasia di belakang Kara. Persiapan invasi pascakampanye melawan Bravaria sama skema pengeringan sumber daya hingga pengambilalihan aset secara bertahap.Instruksi pembiayaan kampanye Banori dan penyerahan senapan lontak kemarin juga merupakan langkah awal dari skema tersebut. Agenda yang sebenarnya sempat dicurigai oleh orang-orang dari divisi intelijen.Namun, tidak diselidiki lebih lanjut karena berbasis dugaan tanpa dasar.Selanjutnya, fase dua skema tadi atau tahap di mana serikat menjadi instrumen penting, yakni penarikan bakat-bakat sama calon pemodal potensial ke luar Kara. Alasan kenapa mereka menggelontorkan banyak uang supaya pabrik sama tempat-tempat usaha dipindahkan dari Sabila ke Satu Mare atau negara-negara tetangga ….“Terus apa rencanamu, Tuan?”Kubakar surat terakhir selesai kubaca malam itu lalu topang dagu dan tersenyum pada Oukubo.“Gak ada,” akuku kemudian, “selain menunggu kabar dari Jambu soal pegiriman senapan lewat Vom sama menulis laporan produksi arang di sini aku gak punya rencana, Kubo.”“Si botak sama gengnya, gak mau kau apa-apakan gitu?”“Setelah gudang mesiu Pluma meledak besok malam, persiapan mereka juga bakal tertunda. Kita gunakan kesempatan ini buat menyabotase jaringan sindikat di sini.”“Katamu gak punya rencana ….” Elf yang sejak tadi menatap sambil bersandar ke kisi jendela itu mendekat, mengangkat daguku, lalu jalan dan naik ke ranjang. “Kau mau aku menunggu di penginapan atau—”“Ikut dengaku!” sambungku, mundur dari meja buat menyusul dirinya. “Langit empat negara bakal meriah sama kembang api mulai besok sampai seminggu ke depan ….”*** Besoknya, tanggal 14 Bulan Dua, apa yang kubilang pada Oukubo kemarin malam pun terjadi.John tergopoh mendobrak restoran penginapan demi mengabariku bahwa si botak dengan gengnya bakal butuh waktu lagi buat mengatur pertemuan di kapal feri. Bahkan, diriku pun sampai diminta agar jangan mendekati kota-kota atau berkeliaran di sekitar Pluma sementara ini.Ia tidak memberitahuku mengapa, tapi kita semua tahu alasannya.Selang satu malam, merpati ungu hinggap di jendela penginapanku dan Oukubo. Burung itu memekarkan senyumku lewat pesan yang juga sanggup membuat sang elf bersemangat di atas ranjang. Mwahaha …. “Bagus!” Hingga tanpa terasa, waktu seminggu pun telah berlalu. “Mesiu dari Satu Mare sudah meledak semua, kini empat negara gak punya lagi bahan peledak di gudang-gudang mereka.”“Aku senang mendengar—”Kulintangkan tangan menghadang Oukubo, meminta dirinya agar jangan dulu ke mana-mana.“Laporan ini baru kubaca separuh,” kataku, mengasongkan secuir kertas dari kaki merpati di belakangnya biar dia lihat. “Kenapa gak dengar ceritaku sebelum—”“Kata yang jempolmu tutupi itu, ‘Beres!’” ujarnya, menyambar lalu melempar kertas tersebut ke api lilin hingga merpati tadi pun tersentak dan terbang pulang pada pengirimnya. “Kalau kau bilang cerita, kuyakin bukan soal kebakaran gudang mesiu Parat malam ini, ‘kan?”“Benar.”“Wajah senangmu beda dari kemarin ….” Ia memutar kursi lantas duduk di pangkuanku. “Katakan padaku apa rencanamu untuk besok, Sayang. Kara sungguh telah menyabotase aliran mesiu dari Satu Mare, tapi mustahil buat dicurigai sebab mereka meledak setelah masuk gudang.”“Meskipun begitu Aliansi akan tetap menuduhku, ‘kan?”“Jadi, apa jawabanmu untuk mereka?”“Jaringan sindikat dan mafia di Singkawa ….”*** “Kau kelihatan kurang tidur, John.” Kulap tanganku selesai merapikan alat makan lalu menyediakan diri ‘tuk meladeni anak buah si botak yang lagi berdiri sambil menunduk pinggir meja makan pagi itu.“Kalau ini bukan soal kemajuan rencana pertemuan sama bosmu sepertinya diriku gak bisa bantu,” kataku, mendahului apa pun yang ada di kepalanya. “Utangmu sudah seribu perak, John.”“Bos!” Ia berlutut. “Kumohon. Pinjamkan aku lima ratus keping lagi dan aku akan membayarnya dua hari—tidak, besok pagi! Aku akan mengembalikannya tiga kali lipat besok pagi.”“Kau juga bilang itu kemarin,” timpalku, mundur dari meja makan kemudian jalan memutari dirinya yang lagi memohon. “Aku gak ada rencana buang uang hari ini, John.”“Nyonya!”Aku berhenti, terus berbalik dan melihat cara ia berlutut pada Kubo. Dirinya benar-benar jatuh, John tidak menunjukkan kebanggaan ataupun harga diri seorang lelaki di mataku. Kasihan. “Kau dengar keputusan suamiku, ‘kan, John?” Namun, meski dengan sikap begitu ia pun tetap gagal. Sang elf lekas bangkit kemudian menyusul ke ambang pintu. “Keberuntunganmu di meja judi terlalu buruk, kau juga harus mengerti kenapa kami berhenti memodali—”“Tunggu!” Anak buah si botak yang sudah bangkrut itu makin merendahkan diri, pemandangan paling gak kusuka di ruang makan VIP tersebut. “Kumohon, Bos, Nyonya! Akan kulakukan apa saja buat kalian jika masih kalah setelah ini, beri aku kesempatan sekali lagi. Hanya sekali lagi. Kumohooon ….”“Cek!” Kulirik Oukubo sebentar. “Kau dengar apa katanya, Sayang?”“Dia mau melakukan apa saja katanya,” timpal elf yang lagi menggandeng lenganku, “kurasa kita bisa ….”Aku menggeleng membalas kedipan nakal wanitaku terus menjatuhkan sekantung perak ke depan kami.“Kau sendiri yang bilang, John!” kataku yang kala itu lanjut putar badan sama Oukubo lantas bicara sambil lalu, “kesempatan terakhir, apa pun hasilnya temui aku besok pagi ….”*** Sesuai dugaan. Anak buah si botak langsung ambruk di rumah judi hingga tengah malam ….“Dia betulan masuk ke rumah judi lagi, Sayang.”“Memang niatnya itu, ‘kan?” kataku, mengentak Polka pelan usai lihat John masuk ke perjudian. “Pinjam uang banyak, pasang taruhan, terus berharap menang dan tiba-tiba kaya. Penyakit para pejudi.”“Ketimbang udut, kurasa candu judi lebih bahaya.”Aku tidak komentar. Udut saja sudah kebiasaan buruk sebetulnya, merusak diri dan orang-orang di sekitar lewat kepulan ringan secara perlahan. Sekarang aku malah melihat pejudi gila juga.“Kenapa diam saja?” tanya Oukubo, merebah ke diriku. “Gak bisa jawabkah?”“Kau cuma lagi bikin pembelaan.” Kujeda laju Polka di depan sebuah warung. “Gak ada yang mending di antara dua hal buruk yang salah satunya lebih buruk, Kubo. Lihat, warung ini pasang iklan di pintu masuk.”“Ini tulisan baru, ‘kan?”“Katanya mereka punya ikan kukus semangi.”“Huh ….” Elf yang lagi merebah padaku itu menengadah. “Aku masih kenyang, terus isi padudanku masih banyak. Jangan turun dari punggung Polka dulu.”“Terus kita mau diam depan warung begini saja?”“Anggap lagi berjemur.”“Bentar lagi panas, Kubo.” Aku turun dari kuda lalu menggendongnya. “Kita berteduh di dalam sama pesan rumput buat si Polka saja dulu, kalau kau gak mau makan.”“Hem.” Ia melipat tangan. “Terserah, deh.”Akhir minggu ketiga di Bulan Dua.Rencanaku berjalan mulus. Sangat mulus bahkan. Aku sudah memverifikasi peta dan memeriksa benteng-benteng Pluma, dapat banyak informasi, terus membangun koneksi di Singkawa.Sayang, meskipun begitu perjalanan bisnis ini belum berakhir. Damian membangun pabrik di Yothe dengan pikiran Trira tahun lalu. Ia masih perpanjangan tangan serikat dalam memonopoli perdagangan arang dan menjadi pemasok tunggal bahan bubuk mesiu untuk Aliansi.Kalau kubiarkan, usahaku mencegah tujuh negara punya pasokan bahan peledak selama perang melawan Bravaria akan sia-sia.***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 48 Sindikat dan Yothe

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kau pemilik dua keranjang di sana?”Aku menoleh ke orang-orang Soros yang tengah menjaga keranjang ganjaku sekilas, memastikan mereka tidak tahu apa-apa, kemudian melihat siapa yang barusan mengajakku bicara.“Ya. Aku pemilik dua keranjang di sana,” kataku, melepas pelukan Oukubo di lenganku lantas bangkit. “Itu barang yang mau kujual di Yothe, jika kalian tertarik.”“Lebih dari tertarik,” aku pria botak di depanku, diikuti seringai dua orang di kanan kirinya. “Bisa kita bicara serius di sebelah sana, Saudara?”‘Saudara?’ batinku sebelum tersenyum lalu menoleh Oukubo, meminta dirinya agar menunggu bersama wanita-wanita Soros. “Tentu, selama ini bisnis yang menguntungkan telingaku selalu terbuka untuk tawar-menawar di mana saja.”“Hahaha!” Kami tertawa bersama kemudian melipir ke ujung geladak.Ketika dirasa sudah ada privasi buat kami. “Langsung saja, kau membawa ganja kering, ‘kan, Saudara?”Benar. Aku menyembunyikan ganja di bawah gulungan sutra dalam keranjang itu, sama bubuk datura juga sebetulnya. Namun, buat apa kukatakan pada kalian.“Gak,” elakku lantas berdalih, “isi keranjangku itu sutra, kalian bisa cek sendiri.”Mereka kelihatan bingung.“Ma-mana mungkin,” ucap pria botak yang mengajakku bicara, agak gelagapan. “S-saudara, tolong jangan bercanda. Ka-kami mengikutimu dari Zuku, dan semua anak buahku bersaksi bila barang yang kaubawa di keranjang itu adalah ganja kering. Tenang saja. Kami bukan mau merampok, aku mau beli.”“Aku gak lagi bercanda, isi keranjang-keranjang di sana itu memang betulan rol sutra ….” Kulipat tanganku lalu tersenyum dan berbalik. “Kalau gak percaya, kalian boleh lihat sendiri—ikut!”Kubawa mereka buat memeriksa satu keranjangku.“Lihat ….” Kuambil satu rol sutra kemudian kuasongkan. “Gak bohong, ‘kan?” kataku yang juga memberi isyarat lewat gerakan kepala, “barang yang kau cari ada di bawahnya, tuh.”Si botak dengan dua temannya, pas tahu betulan ada ganja di keranjangku, langsung ketawa senang lantas kembali mengajakku melipir setelah mematung sekian detik.“Ahaha. Saudara, ayo lanjutkan bisnis kita sebelah sana ….”*** Hari berikutnya, tanggal 10 Bulan Dua 353 Mirandi. Kubo dan aku telah sampai di Yothe, tujuan perjalanan kami. Dari sini orang Serikat akan membawaku ke lokasi pabrik baru kemudian menunjukkan beberapa contoh hasil kerja mereka, begitu rencananya.Akan tetapi ….“Terima kasih sudah mengawalku sampai tujuan ….” Sebelum itu kami harus menutup urusan-urusan yang tidak sengaja terbentuk sepanjang jalan sebelum berlabuh di dermaga pelabuhan kota ini. “Sesuai janji, delapan puluh perak sisa pembayaran.”Doglas, kapten orang-orang Soros yang mengawalku, semringah menerima upah mereka.“Senang bekerja denganmu, Tuan Mi,” ucapnya, menoleh kawan-kawannya ceria. “Aku dengan saudara-saudaraku akan tinggal di kota sampai minggu depan, cari kami di serikat jika butuh pengawal lagi.”“Hahaha.” Kusambut uluran tangannya semangat. “Tentu, tapi jalan pulangku mungkin akan lebih panjang dan terjal ketimbang semalam. Markas regu dagangku ada di Kara, Doglas.”“Bagus! Berarti upah kami juga akan lebih banyak—”“Hahaha!” Kami tertawa bersama sebelum mereka pamit undur diri ….Dan, tibalah giliran untuk urusan selanjutnya. “Kurasa kita bisa bahas detail kesepakatan yang tadi malam belum selesai, Saudara.”“Baiklah.” Pria botak yang menungguku mendekat bersama orang-orangnya. “Aku tidak punya jaringan di kota ini, Saudara. Jujur saja. Cuma, kita bisa atur pertemuan di feri milik kelompokku. Bagaimana?”“Kapal pesiar?” Singkat mataku membulat sebelum tanganku terlipat depan dada. “Hem. Boleh juga, aku belum pernah makan di feri,” akuku lantas mendekat pada si botak dan berbisik, “urusanku di Yothe bakal lama, tinggalkan satu orangmu buat menemaniku supaya kita bisa saling menghubungi.”Ia tersenyum.“Hahaha. Itu mudah …, John!”Selanjutnya, kami pun berpisah untuk meneruskan urusan masing-masing. Aku, Oukubo, Polka, dan satu orang anggota geng si botak masuk kota, sedang dia juga anak-anak buahnya yang ternyata banyak putar badan buat mengatur tempat beserta waktu pertemuan kami sesuai janji tadi.*** “John!”Orang yang lagi menuntun kekang Polka menoleh, tapi buru-buru buang muka pas lihat Oukubo mengisap padudan. Kuyakin lirikan sang elf menakuti anggota geng si botak tersebut ….“Aku gak suka masakan di kapal tadi,” kataku, hendak memintanya buat mencarikan tempat bagus. “Kau punya saran kita bisa makan siang di mana?”“Aku juga baru datang kemari, Bos.”“Oh, ya, aku lupa. John, lihat sini—” Lung! Kulempar sekantung perak padanya. “Lihat warung di sana?” tanyaku, menunjuk sebuah kedai. “Kami akan menunggu di situ. Tolong carikan penginapan buat kita yang masakannya enak, bisa?”“Penginapan yang masakannya enak?”“Benar.” Kuacungi dia jempol. “Pesan saja rekomendasi koki dan coba cicip sedikit. Kalau lidahmu cocok, cepat kembali terus kabari kami.”“Hem, kalau begitu aku harus makan di sana dulu?”“Makanya kukasih kau seratus perak, John …,” jelasku, menunjuk kantung di tangannya pakai dagu. “Gak perlu pesan yang mahal. Jika menu standarnya saja enak apalagi—”“Aku paham!” Wajahnya cerah. “Eh, tapi …, kurasa uang segini belum—”Kulempar lagi sekantung perak. Lung! “Jangan bilang kurang,” kataku, pasang muka cemberut. “Hidangan termahal di Barat itu bebek, kudengar seporsinya memang ada yang sampai tujuh ratus perunggu. Cuma, kau masih tetap bisa datang ke banyak tempat, ‘kan?”“Ahaha, Bos. Kau terlalu serius—aku akan mencarinya sekaraaang ….”Begitu dirinya pergi.“Dua ratus perak untuk kabur.” Oukubo bersandar padaku. “Benar-benar boros.”“Siapa bilang dua ratus perak itu buat kabur, Kubo?” balasku, mengentak kuda pelan ke arah kedai tidak jauh dari tempat kami. “Aku betulan mau dia mencari penginapan yang punya masakan enak buat kita ….”*** “Selamat datang …, silakan.”“Kami pesan sepoci teh hangat kalau ada,” kataku, menaruh dua keping perak di meja. “Jika tidak, bawa apa saja yang manis kemari—dan ….” Kukeluarkan sepucuk surat. “Tolong serahkan amplop ini ke Kantor Serikat Neraca Gandum, bilang dari orang Sisik Kayu kalau mereka tanya.”“Ah, baik ….”Sesaat kemudian.“Anda utusan dari Sisik Kayu untuk serikatkukah?” Seseorang menegurku, pria klimis dengan rompi merah dan kemeja putih yang lalu mengenalkan diri sebagai Damian, Kepala Serikat Neraca Gandum dari Yothe. Orang yang setipe dengan Dominic, Kepala Serikat Neraca Padi, oportunis dan senang memonopoli.Darinya, aku kini tahu separah apa situasi Singkawa di masa perang ini. Juga, bagaimana satu demi satu serikat diperas hingga rugi berat lantas bangkrut lewat bermacam peraturan baru yang mengatasnamakan ketahanan ekonomi negara oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di pemerintahan.Selain itu, dirinya pun memberitahuku bila sindikat sangat menjamur di sekitaran Yothe. Kabar yang, terus terang saja, bikin diriku menyesal telah membuat janji temu dengan kelompok si botak sebelumnya.Aku sampai tepuk jidat dan geleng-geleng kepala. “Kau tahu, Ketua. Aku senang sekaligus menyesal sudah datang kemari,” akuku terus topang dagu, “senang karena keputusanku buat datang sendiri kemari tepat, tapi juga menyesal sebab kadung punya hubungan dengan salah satu sindikat yang tadi dirimu sebut.”“Kurasa diriku paham, Tuan Mi. Lantas apa rencana Anda selanjutnya?”“Gak ada.” Kuketuk-ketukkan telunjuk dengan jari tengah di meja. “Aku topang dagu begini gegara enggak punya ide apa-apa. Kalau ada saran, sebaiknya berhenti bersikap formal terus bilang saja blak-blakan.”“Hahaha.” Ia terbahak singkat lantas mencondongkan diri. “Aku sudah dengar bagaimana sepak terjang Anda dari Dominic. Dan, ya, kesanku hari ini mengonfirmasi banyak hal. Salah satunya, diriku yakin kuota produksi arang di sini tidak akan bertambah meski Bate sendiri yang turun langsung memintanya, bukan?”“Buat urusan satu itu aku berani bilang kau salah ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 47 Kabar Angin

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana, berapa kau berani bayar?”Hari ke-8 di Bulan Dua 353 Mirandi.Atau akhir minggu pertama di perjalanan menuju Singkawa. Aku dan Kubo telah sampai ke Pluma Tengah. Kota Zuku ‘tuk lokasi persisnya. Ibu kota pendidikan mereka.“Berapa kali harus saya bilang, kami tidak menerima ganja dan serbuk kecubung, Tuan. Betul Zuku itu kota pendidikan Pluma, gudang riset dan banyak penelitian juga, tetapi mohon mengerti bahwa barang-barang yang Anda bawa ini ilegal.”“Benar, semurah apa pun ganja kering Anda kami tetap takkan membelinya tanpa izin tertulis dari Bate.”“Hem.” Aku cemberut meladeni penjaga di Gerbang Zuku, mereka menghadang dan tidak membiarkanku menjajakan benda-benda yang kubawa dari sarang bandit kemarin bahkan di luar tembok kota. “Terserah kalau kalian gak mau beli, tapi jangan menghalangi calon pelangganku juga dong, akh!”“Tidak bisa, Tuan!” Mereka berkeras. “Anda berkeliaran membawa barang-barang terlarang di kerajaan kita. Sebagai aparatur negara kami mana bisa membiarkannya begitu saja, bukan?”“Terus kalian mau apa?” tanyaku, membuka kendi datura dan menunjukkan isinya. “Lihat, barangku sudah diproses, tapi satu pun belum berhasil kujual … gak masalah. Orang-orang Rono dan Iqrus juga mengusirku sebelum datang kemari … kalau memang gak ada niat beli, ya sudah biarkan aku pergi.”Kusegel kendi datura tadi lalu kulempar ke keranjang.“Minggir!” sergahku, menarik kekang kuda kemudian melengos dari sana. “Jangan halangi jalan ….”*** “Sampai kapan kita mau pura-pura jadi penjual ganja?”Aku menoleh lalu senyum merespons tatapan heran Kubo.Ganja kering sama bubuk kecubung cuma iseng. Keinginan usil saja sebetulnya. Aku aslinya sedang melihat penampakan tembok baru dan cara hidup orang-orang Pluma. Mencari celah buat menanam pengaruh di negara ini, jika harus mengaku.“Sampai orang-orang yang mengikuti kita menunjukkan diri,” kataku, sontak memeluk pinggang Kubo dan mengentak kuda lari ke kota selanjutnya. “Ha!”Hari berikutnya ….“Mereka masih mengikuti kita.”“Ya.” Aku turun dari punggung Polka lantas menghampiri penjaga. “Hallo ….”Kota terakhir sebelum menyewa perahu dan menyeberang ke Yothe, Reni.“Tuan Penjaga, boleh kutanya apa nama dermaga terdekat dari sini sama apakah ada pendekar yang bisa kusewa buat mengawal perjalanan air di kota?”“Oh. Dermaga terdekat dari sini itu Morote, ikuti saja jalan besar ke barat daya setelah persimpangan dari Gerbang Selatan. Kalau soal pendekar ….” Penjaga di depanku garuk kepala. “Coba tanya ke orang serikat. Anda akan menemukan gedung dengan lambang tameng dan dua pedang menyilang jika mengikuti jalan ini sampai alun-alun.”“Ah, terima kasih ….”Setelah membayar dua puluh perunggu, aku dan Oukubo pun menuju gedung yang si penjaga maksud.“Yang ini?”“Huh.” Kubo mengepulkan asap tipis ke udara. “Tameng sama dua pedang menyilang di depannya, kurasa benar. Ini memang gedung yang kita cari.”“Ya, baiklah.” Aku turun dari punggung Polka. “Kalau begitu tunggu apa lagi ….”Di dalam Gedung Serikat.“Gak ada bangku, terus papan misi ditaruh di tengah. Orang sini gak suka leha-leha …,” simpulku, celingak-celinguk melihati sekitar, tepat sebelum mata ini tetiba tertarik pada kelompok beranggotakan empat laki-laki dan dua orang perempuan. “Hem, pindah ke kiriku, Kubo ….Aku baru tahu suku dari pedalaman Beardi berkeliaran di sekitar sini juga.”Sengaja kukatakan itu buat menarik perhatian kelompok tersebut. “Suku Soros,” kataku, cekak pinggang pada mereka. “Diriku kemari untuk bertemu Kalian.”“Kami belum pernah melanggar hukum atau melakukan tindak kriminal sebelum ini,” ucap seseorang dari kelompok itu, pria dengan ikat kepala kuning dan gada besar sama ornamen tulang berukir kepala banteng menggantung di pinggang. “Kurasa ada salah paham di antara kita.”“Benar, kau memang sudah salah paham.” Kuambil segenggam koin perak lalu menunjukkannya di depan mereka. “Aku mau menyewa kalian buat jadi pengawalku sampai ke Yothe ….”*** “Kau yakin mereka bisa diandalkan, Sayang?”Kuraih padudan yang hendak Oukubo isap lalu membuang abu sama sisa tembakaunya ke danau.“Kau sudah udut pas kita di Reni,” kataku, mengembalikan padudan tersebut. “Aku gak mau batuk-batuk di dekatmu terus gagal menikmati langit malam di atas perahu ini.”“Gak mau gagal menikmati langait, atau ….” Sang elf meraih tanganku lantas melingkarkannya ke pinggang terus bersandar padaku. “Gak mau kemesraan kita rusak gegara gagal tampil keren sebelahku?”“Dua-duanya.”“Huh.” Ia terkekeh pelan. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa orang-orang Soros bisa diandalkan?”Aku tak langsung menjawab, kubiarkan embus angin malam mengisi keheningan antara kami sebentar.“Kau lihat ikat kepala mereka, ‘kan, Sayang?” ucapku, menarik tubuhnya agar makin lekat padaku. “Benda itu bukti jika mereka telah melewati upacara kedewasaan dan dianggap matang secara usia.”Tangan kiri Oukubo menyentuh tanganku di pinggangnya.“Terus, kau juga lihat tali di bahu sama dada mereka, ‘kan?”“Gak kuperhatikan,” akunya, memutar-mutar padudan di depan muka.Kulanjut ceritaku. “Selain buat mengaitkan senjata, bagi orang-orang Soros tali ini ibarat cundrik di kita. Tanda kalau mereka sudah melewati serangkaian latihan hingga layak disebut pendekar.”“Jadi kau mau bilang orang-orang itu setingkat sama para pemuda yang baru selesai wajib militer?”“Tentu orang-orang Soros lebih baik …,” tambahku, yang sontak membuat sang elf menatap heran dengan tanda tanya mencuat. “Kau akan tahu jika memperhatikan gantungan tulang di pinggang mereka, Sayang.”“Aku gak paham.”“Suku Soros punya adat menggantung bagian tengkorak buruan terbesar mereka yang sudah dipahat dan diberi ukiran khusus di pinggang sebagai simbol ketangkasan,” terangku lantas berbalik, “benar, ‘kan?”Orang yang sejak beberapa saat lalu berdiri di belakang kami terbelalak kutembak begitu.“A-aku, aku tidak—”“Gak masalah!” selaku yang kemudian memberi dirinya penegasan, “toh, aku cuma mempekerjakan orang dengan kemampuan jelas. Itu kenyataan dan kalian memang layak dipanggil ahli ….”*** Sebelumnya, di Gedung Serikat Kota Reni.“Jujur saja, aku pernah disergap bandit sebelum sampai kemari ….” Ketika hendak merekrut orang-orang suku Soros. “Meski berhasil selamat, daganganku gak bisa kujual dan kami terus diikuti setelah dari Rono.”“Di mana kalian disergap?”“Dekat perbatasan.”Orang tadi, pria yang merespons celetukku sesaat lalu, menoleh kanan kiri. Ia dengan teman-temannya lalu kompak mengangguk, entah apa maksudnya.“Tolong jangan tersinggung,” ujar si pria kemudian, “tapi kami harus pastikan bila misi ini bukan jebakan atau hal-hal semacam itu. Tidak masalah, bukan?”“Aku pergi dari sarang bandit bersama tawanan mereka, jika itu yang membuatmu curiga.”Gak bohong. Aku dan Oukubo memang pergi dari sarang bandit kemarin bersama para tawanan mereka, tentu setelah membagikan jarahan selain selusin rol sutra sama benda-benda ilegal yang kuangkut di punggung Polka.Meski tanpa menyebut apa yang telah kulakukan di sana, jawaban segitu harusnya cukup.“Kami memang dengar kabar soal tawanan yang kabur dari gua bandit dengan kendi dan periuk beberapa hari lalu,” akunya, “apa itu adalah kalian?”“Aku gak bisa bilang aku salah satu dari mereka. Kami memang membawa beberapa barang pas pergi dari sana, tapi belum tentu juga kita membahas sarang bandit yang sama, ‘kan?”“Jarak Reni ke Yothe tidak jauh.” Raut pria di depanku berubah, jadi agak tegang. “Namun, sampai mencari pengawal hanya untuk pergi ke sana berarti masalah yang kalian hadapi bukanlah jarak, benar?”“Sudah kubilang aku diikuti ….”Jika mampu mencacah informasi hingga sanggup mengaitkanku dengan kabar tawanan yang lari bersama jarahan dari sarang bandit beberapa hari lalu, orang-orang Soros sudah terbukti awas.Dan. Menyewa mereka buat mengawalku ke Yothe memang pilihan terbaik ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 46 Perjalanan Bisnis

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Hoaaam ….”“Kau kelihatan kusut, apa tidurmu nyenyak—”“Gak.” Kugelengkan kepala tanpa gairah menanggapi Nazila Trira lantas balik topang dagu, buang waktu sebelum Oukubo memanggil. “Enggak ada masalah sama tidurku. Aku cuma lagi bosan, Nona.”“Oh.” Mulut Trira membulat, ia kemudian duduk lalu memeriksa berkas di mejanya sekilas. “Kulihat Kubo sama Stella di lobi, katanya dia lagi menyiapkan bekal buatmu ke Singkawa. Gak jadi sewa pengawal, tah?”Sekali lagi, aku menggeleng merespons Trira.“Perbatasan Pluma masih ketat,” tuturku, melihat beliau lesu. “Kalau bawa rombongan perizinannya bakal lama, belum lagi biaya ini itu, jadi mending pergi berdua biar cepat.”“Berdua?”“Sama Kubo.”“Eh, ya!” Trira tiba-tiba mundur dari meja lekas mengambil sesuatu dari laci di belakang meja Ranra. “Aku baru ingat, Serikat mengirim surat ….”Surat? Amplop coklat dengan stempel Neraca Padi. Namun, tak punya tanggal kirim dan alamat penerima. “Kurasa ini dari Kepala Serikat,” tebakku lantas mengantonginya, “terima kasih—ah, ya! Anda mau oleh-oleh apa pas kami pulang dari Singkawa, Nona?”“Oleh-oleh?” Nazila Trira menoleh dengan mata agak terpicing. “Tumben, pas pulang dari Zona Netral saja kau gak bawa apa-apa, ‘kan, Tuan Mi?” tutur beliau yang kini melipat tangan dan menghadap penuh heran ke arahku, “hari ini ada angin apa?”“Gak ada apa-apa, kok ….” Untuk ketiga kali, aku menggeleng lagi. “Cuma lagi ingin belikan sesua—”“Tuan!” panggil Oukubo dari arah pintu, menyelamatkanku dari Triara tepat waktu. “Bekal sudah siap.”Tanpa ba-bi-bu, diriku pun lekas mundur dari meja, memapak dirinya, serta undur diri dari Ruang Direktur dan Kepala Sisik Kayu tersebut semringah. Kurasa gak perlu kusebut sesenang apa diriku ketika itu ….*** “Stop!”“Aku, Mi, dari Sisik Kayu ….” Kutunjukkan pengenal kepada tentara di pos pemeriksaan sebelum memasuki wilayah Pluma, juga surat-surat lain dari Kepala Neraca Padi dan Kantor Muri Distrik Tenggara. “Tujuanku, Yothe di Singkawa.”Yothe, tempat di mana pabrik arang Serikat berada, satu dari sekian alibi agar aku bebas berkeliaran.Maksudku, dalam tanda petik, perjalanan bisnis menjadi kedok supaya diriku leluasa memeriksa situasi lapangan sebelum agenda bulan ini dilakukan. Sabotase distribusi mesiu yang awalnya mau musim depan, jika kalian lupa. Aliansi kadung menuduh Kara bermain api dengan niat menyergap aliran ekspedisi bubuk hitam dari Satu Mare itu, ‘kan, kemarin?Mereka tidak salah, tapi rencanaku berubah dan bukan menyergap pas waktu ekspedisi.“Totalnya tujuh ratus perunggu.”“Hah?” Aku melongo. “Tujuh ratus perunggu?” tanyaku, memastikan bila diriku tidak salah dengar. “Biaya lewat doang sampai semahal itu.”“Biar kata cuma lewat, tetap masuk wilayah, bukan?” timpal tentara yang meladeniku di pos pemeriksaan tersebut, “Tuan, ini jadi mahal karena Anda hanya berdua, dan tidak bawa bagasi lagi.”“Aku paham, tapi kenapa kalian gak pakai penyesuaian tarif?” keluhku yang lalu mengambil tujuh keping perak, “setelah dari sini aku juga tetap harus bayar tol pas masuk kota, ‘kan?”“Kami mengerti ketidakpuasan Anda …,” ujar si tentara, tersenyum menerima uangku lalu menyerahkan secuir izin masuk. “Namun, kebijakan Pu Pluma bukan sesuatu yang bisa kita utak-atik. Kami minta maaf.”“Hah.” Sebal, tapi tidak bisa apa-apa. “Sudahlah. Kurasa menulis keluhan buat Pu pun cuma buang-buang waktu,” gerutuku sambil lalu dan menuntun kekang si Polka biar cepat-cepat keluar dari sana ….*** “Aku gak akan menyalakan semua kabin atau memforsir pegawai kita macam tahun lalu lagi …,” ujar Trira, menenangkanku saat pamitan di gerbang depan Sisik Kayu bersama Oukubo. “Kau tenang saja, Tuan Mi.”“Terima kasih, Nona.” Aku tersenyum menanggapi beliau. “Saya percaya Anda sudah lebih bijak daripada saat itu. Ranra, kau yang bertanggung jawab penuh selama aku pergi.”“Saya mengerti.”“Stella ….” Aku tak tahu harus berpesan apa pada Tupa Unit Tulip yang kebagian jadi pengelola dapur dan penginapan tersebut. “Kau …, lakukan saja apa yang harus kaulakukan, ya, paham?”“Siap, Bos!”Bersama Oukubo, aku bertolak dari Markas Sisik Kayu dengan diantar senyum juga lambaian tangan oleh semua orang. Menunggangi Polka, kudaku, kami berdua hendak melakukan perjalanan bisnis ke Singkawa sekaligus mau melihat penampakan pabrik arang Serikat di sana. Begitu bunyi rencananya.Namun ….“Kita baru masuk Pluma,” keluhku sebelum lantas menengadah di punggung kuda dan meradang, “kenapa malah sudah kena sergap bandit segala, aaakh …!”“Hem.” Oukubo, dengan begitu santainya, bersandar ke badanku lantas berucap, “Bandit biasanya terlibat bisnis ilegal, kau tahu ….” Ia ambil padudan lalu mengayun-ayunkannya, menunjuki topeng orang-orang yang lagi menghadang kami satu per satu. “Di sarang mereka, pasti banyak opium, Sayang.”Dengar waniaku bilang opium, aku seketika mendelik.“Kau mau kita—”“Ya!” selanya yang kemudian memerintahku semangat, “tangkap terus jarah isi sarang merekaaa ….”Entah dapat dari mana, tapi idenya itu boleh juga. Aku jadi punya kesempatan buat melepas kesal sehabis kena palak di pos pemeriksaan sebelum ini ….“Mwehehe.”*** “Sudah semua, ‘kan?”“Su-sudah, sudah, Tuan.”“Bagus!” Aku cekak pinggang, rampung menguras sarang bandit yang kena apes gegara menyergapku dan Kubo sore tadi. “Hahaha. Sayang, ada barang mahal gak di situ?”“Hem ….” Sang elf geleng kepala pas menolehku, tanda bila tidak ada benda berharga di tumpukan harta bandit yang lagi kubariskan depan gua ini. “Selain ganja kering sama biji datura, barang berharganya cuma sutra-sutra itu, lihat ….”Kulihat arah yang ia tunjuk.“Sudah kupisahkan semua, Sayang. Mereka miskin.”“Hem.” Kulipat tangan depan dada, melirik para bandit, kemudian jalan bolak-balik di depan mereka. “Kita rugi dong, ya?” heranku, “gak dapat apa-apa banget sama kebagian capek tenaga doang—”“Gak juga, Sayang,” sahut Kubo yang lalu menerangkan, “mereka cuma bandit kecil. Kita kebilang untung tahu, sebab di gua ini ada sepeti gulungan sutra, sekendi biji datura, sama dua keranjang ganja kering.”Aku berhenti mondar-mandir.“Yah. Kalau kau bilang gitu aku jadi gak bisa protes dong …,” rajukku lekas kembali padanya, “terus mereka sekarang mau kita apakan, Sayang?”Mata sang elf menyapu para bandit selirik sebelum memilih keputusan yang bikin gemetar.“Bunuh saja ….”Aku tidak berkomentar.Masa lalu Oukubo dengan orang-orang dari dunia gelap memang tidak bagus, kurasa. Jadi, kutarik seluruh senjata bandit-bandit itu pakai Benang Pandora terus kulempar balik pada mereka. Lung!Selanjutnya kurapal juga kutuk jerangkong di depan gua tersebut ….“Mereka orang-orang kita sekarang.”“Aku baru tahu kau seorang praktisi sihir hitam,” celetuk Oukubo, tatkala bandit-bandit tadi kini berlutut dalam wujud kerangka hidup di hadapan kami.Yang, spontan kusahuti pakai lirik geli. “Sihir berwarna itu gak ada, Kubo. Hitam putih, tergantung sudut mana kita melihatnya.”“Aku bukan sedang menghakimimu, kok,” terangnya, “gak perlu menjelaskan apa pun padaku.”“Baiklah.” Kuangkat tangan kiri ke arah para jerangkong di hadapan kami. “Pergi. Pluma punya tiga markas besar militer, temukan dan ledakkan gudang-gudang senjata mereka sama diri kalian di sana!”Aku tidak berniat memelihara monster-monster amatir ini. Memusnahkan kutuk mereka setelah sebuah tugas sudah merupakan langkah terjauhku ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 45 Rasa dari Candu

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ada kabar baik buatkukah?”“Kau pernah isap tembakau?” tanyaku, menanggapi mata penasaran Oukubo spontan, waktu pintu kereta kubuka selesai dari Kantor Serikat Neraca Padi. “Kukira padudan dari gading gajah atau cula badak bakal jadi cendera mata bagus.”“Aku bukan penikmat candu,” akunya, meraih kerah jubah lantas mendudukkanku dalam kereta. “Cuma, jika kau mau diriku jadi salah satunya maka a—”“Hanya tanya,” selaku, mengakhiri topik absurd tersebut lalu mengetuk jendela kereta, isyarat pada kusir agar jalan. “Kita sama-sama bukan pecandu, kenapa harus mengubah itu?”Oukubo membuka lengan kemudian merebah padaku.“Aku sudah menangkap ide aneh di kepalamu,” tuturnya dengan senyum manja, “akui saja, kau mau lihat tanganku memegang pipa dan mulutku meniup asap, ‘kan?”Binggo! Ia menebak bayangan di kepala yang kudapat setelah melihat Ketua di kantornya sekian saat lalu.“Kurasa ….” Aku bergeser buat bersandar ke sudut gerbong. “Memang mustahil menyembunyikan pikiran liarku darimu, ya, Kubo?” “Panggil aku sayang,” pinta sang elf tiba-tiba, “aku selangkah di depan Rere soal memahamimu ….”Entah harus senang atau bagaimana, tapi wanita yang lagi bersandar padaku ini memang agak lain.“Belikan aku padudan atau pipa candu,” sambung Oukubo, “terserah mana saja, dan kau akan lihat diriku yang lebih menggoda ketimbang isi kepala—”“Sudah kubilang tadi cuma tanya, Kubo. Mana mau aku kau jadi pecandu ….”Begitu kataku padanya di kereta sepulang dari kantor serikat hari itu, tanggal 16 Bulan Satu 353 Mirandi, penuh keyakinan nan teguh. Tidak ingin ia mengisap candu. Namun, dasarnya mulut lelaki, selang sekian hari diriku malah mengukirkannya sebatang padudan giok serta membelikan sekotak tembakau.“Hahaha!” Hingga ia terbahak memegangi perut. “Kan, kau kalah sama keinginan nakalmu ….”Ya. Aku takkan mengelak. Rasa penasaran memang telak mengalahkanku saat itu.*** “Mengisap candu gak bagus buat paru-paru—”“Terus kenapa mengukirkan padudan giok susu ini sama membelikanku sekotak tembakau iris kemarin?”Aku tidak bisa menjawab, balasannya tepat sasaran.“Jangan cemas begitu,” ucap Kubo, selesai mengisi padudan dan hendak menyalakannya. “Aku tahu batas, kok, Sayang. Janji, cuma isap sedikit dan cuma di depanmu.”“Gak usah bilang janji,” balasku, topang dagu lalu memperhatikan dirinya. “Kita kan enggak tahu ke depan bakal gimana habis isapan perta—um … uhuk! Uhuk!”“Payah!” komentarnya, sesaat asap hasil cekokan dari mulut Oukubo kumuntahkan semua. “Kau memang gak bakat jadi pecandu, huh.”Sialan. Aku gak siap disosor kayak barusan.“Kubilang aku bukan ….” Aku berhenti bela diri, ketika itu mataku lebih ingin pasrah menikmati kepiawaian wanita di depanku dalam mengisap candu. “Kau kelihatan lebih lihai daripada bayangan di kepalaku, Kubo. Benar belum pernah—”“Yang kuberikan padamu tadi, itu pengalaman pertama,” selanya lalu mendekat padaku, “mau lagi?”Sontak aku menggeleng, enggan dicekoki asap macam sebelumnya.“Kenapa?” Kubo memegang lenganku. “Dari mulutku, loh, ini. Masa gak mau—”“Ogah, ah!” sergahku, berusaha menjaga jarak biar si wanita jangan sampai macam-macam. “Kau sendiri yang bilang aku gak ada bakat, ‘kan?”“Ya ilah.” Ia menjuling. “Lupakan asapnya, ini gaya ciuman baru kita.”“Idih!” Mataku mendelik dan kepalaku memperlebar jarak kami. “Orang gak mau, ya, gak mauuu ….”Aku berontak sekuat tenaga. Sayang, hal itu justru membuat sang elf makin semangat menggodaku.Bahkan perlawanan bukti keenggananku macam tidak berarti tatkala bibirnya ingin meniupkan asap yang baru ia isap sambil tersenyum padaku sampai ….“Kurasa aku datang di waktu yang salah.” Seseorang, Nazila Trira, menegur dan menjeda kegiatan kami di halaman depan tersebut. “Kalian lagi apa?”“Penyelamatkuuu!” panggilku semringah, lekas menyambut dan mempersilakan sang putri duduk. “Trira, Anda menyelamatkanku. Silakan-silakan … Kubo, hidangkan teh sama camilan. Sana.”Tanpa ekspresi, elf yang sesaat lalu asyik menggodaku undur diri lantas kembali bersama sepoci teh dan camilan di atas nampan.“Nona—”“Jangan pergi,” ucap Trira, menahan Oukubo saat dirinya hendak memberi kami privasi. “Aku kemari buat memberi tahu majikanmu soal berita dari perbatasan, jadi gak bakal lama.”Kubo lanjut duduk sebelahku setelah diriku mengangguk padanya, setuju.“Kenapa Anda yakin Aliansi sudah kalah, Trira?” tanyaku, menyambung topik yang sempat terjeda waktu sang elf datang. “Kita sama-sama tahu Bravaria cuma bertahan di Perang Banori ini, bukan?”“Berhenti menguji kesabaranku, Ure. Kau tahu persis omonganku terbukti di kampanye ini, bahkan sampai Kara nanti naik panggung pun mereka akan tetap kalah.”Aku takkan menyangkal, Aliansi memang bakal terus kalah bagaimana pun cara mereka mengatur pasukan untuk menggempur Bravaria dari depan. Begitulah pengaturan pada rencanaku.Sebab seandainya negara Bura Julius itu lenyap, maka Kara-lah musuh enam negara selanjutnya.Kecuali ….“Bila Matilda Timur runtuh seperti Barat dan Tengah.” Kuambil dekret yang telah kusiapkan untuk Nazila Trira dan menaruhnya di hadapan beliau. “Bisakah Anda membawa Kara ke masa keemasannya, Trira?”“Apa maksudmu, Ure?”“Seperti yang Anda tahu, mustahil buat memastikan jika diriku masih akan tetap hidup setelah pahlawan zaman ini kembali ke benua utama, Trira,” akuku, membuka dekret tersebut. “Karena itu pulalah harus ada yang menggantikanku sebagai Pu Kara—tentu ini skenario terburuk di rencana kita ….”Selain delik heran saat membaca dekret tersebut, aku sama sekali tak mampu menerka wajah putri Weka Mapu Varujin itu. Apakah dirinya senang, kecewa, atau apa?Tentu, belasan tanda tanya memang membidikku seketika setelahnya. Namun, tidak satu pun benar-benar menyuarakan isi hati gadis yang berhasil menawan hatiku sejak masih berpangkat yoram di Mantel Putih ini. Padahal diriku berharap, hahaha.*** “Kau yakin gadis itu sanggup memenangkan hati orang-orang Kara?”Aku tersenyum menanggapi pertanyaan Oukubo, sesaat Nazila Trira pergi.“Gak,” akuku, terus terang. “Kara mungkin akan langsung pecah pas aku kalah di perang besar nanti, Kubo. Cuma, kita juga enggak bisa nilai orang dari penampilan luar doang, ‘kan?”Elf sebelahku menyalakan padudannya lagi.“Poin itu aku setuju,” ujar sang elf, tersenyum mengisap tembakau. “Siapa sangka seleramu wanita model begini, ‘kan, Sayang—huh.”“Jangan kau tiup asapnya ke mukaku!” Kuempas asap manis dari mulut Oukubo kembali pada peniupnya sekali kibas. “Atau—”“Atau apa?”“Tembakau gak bagus buat paru-paru, Kubo.” Kudorong pipi yang ia asongkan buat menantangku. “Jangan keseringan udut di depanku.”“Hah?” Matanya kini membulat. “Apa barusan, u … udud, udud?”“Udut,” ulangku yang lalu menarik padudan dari tangan sang elf pakai Benang Pandora, “itu kata lain buat ganti mengisap rokok. Rokok sendiri sebutan tembakau yang digulung sama daun nipah.”“Tembakauku kan gak digulung sama daun nipah?”“Sama saja.” Kuketukkan padudan miliknya ke pinggir meja sekali. Tuk! “Toh, asapnya kau isap juga.”“Hem.” Oukubo topang dagu melihatku. “Terus mau bagaimana?”“Ya, jangan sering-sering.” Kukembalikan padudannya. “Aku gak mau kau kecanduan udut ….”Perang melawan Matilda makin dekat. Repot kalau wanitaku sampai menghambur-hamburkan uang gegara kecanduan ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 44 Lewat Serikat

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kerja bagus, Tuan Mi.”“Hem.” Kubalas jempol Trira pakai delikan singkat pagi ini. Mau bagaimana, pujian beliau pun kutanggapi datar gegara suasana hati gak karuan sehabis dibangunkan paksa.Olehnya. Aku, yang semalam menginap di kantor sama Oukubo, ditanyai ini itu saat masih antara setengah sadar dan tidak. Ketika dalam tahap mengumpulkan nyawa sebelum siap menjalani hari.Bahkan, aku tidak tau apa saja yang ‘lah putri Weka Mapu Varujin tersebut tanyakan, pokoknya jawabanku pas itu cuma ya atau hem—sekadar konfirmasi acak dan senada.Kecuali pertanyaan terakhir. Sebab, ia sanggup membangunkanku seketika. “Gak, aku menolak kalau harus membuka distrik lain buat pendatang sebelum perang melawan Bravaria selesai,” tegasku, sadar pertanyaan usil Trira punya potensi mengganggu rencana besar Kara. “Anda dapat ide ini dari siapa, Nona?”“Cuma ide acak,” kilahnya, menghindariku dan kembali ke meja direktur. “Aku hanya berpikir, kenapa kita tidak meluaskan jangkauan usaha dengan menambah populasi di Kara.”“Hah.” Kuhela napas dengar pengakuan tersebut. “Aku gak mau bahas hal di luar drama kita di Sisik Kayu,” ujarku lantas undur diri, “terima kasih sudah membangunkanku, Nona. Biar kubawa Kubo pulang dulu ….”Siangnya, waktu diriku kembali usai membersihkan diri di rumah.“Kau masih gak mau—”“Gak!” potongku, tahu ke mana arah obrolan Trira. “Kalau mau bahas distrik atau kebijakan Sabila, datang saja ke rumahku lain kali. Aku cuma mau membahas urusan arang di Sisik Kayu, titik.”“Kau benar-benar kaku, Tuan Mi,” komentar beliau, “padahal di sini gak ada siapa-siapa selain kau, aku, sama Ranra di meja sekretaris sana. Apa kita enggak bisa—”“Gak.”“Aku bosan bahas bisnis terus ….”Padahal kami baru bicara lagi setelah lama tak bertemu, tapi ia bilang bosan.“Aneh.”“Kau bilang apa?”“Aneh,” ulangku, “kita baru bicara lagi kemarin dan hari ini, tetapi Anda sudah bilang bosan bahas bisnis.”“Ya ….” Trira melipat tangan. “Gak tahu, pokoknya aku bosan saja.”Kulirik Ranra di meja sebelah.“Apa kegiatan Nona Nima selama aku absen, Ra?”Ranra, Sekretaris Sisik Kayu, menjeda kegiatan lalu melihat meja direktur sekilas sebelum membalasku.“Beliau cuma bengong, baca buku, sama main-main di sekitaran pabrik.”“Aku gak cuma main-main, loh, ya!” timpal Trira, membela diri. “Aku keliling buat menginspeksi kegiatan pabrik, restoran, sama penginapan kita dua hari sekali. Terus, buku-buku yang kubaca juga buat nambah wawasan soal tata kelola usaha dan bisnis.”Aku malah ragu dengar pengakuan beliau, jujur.“Baiklah,” kataku lekas tanya, “terus kenapa berkas kemarin gak Anda apa-apakan, Nona?”“I …, itu, itu kan tugasmu sebagai CEO, Tuan Mi!”“Hah.” Sekali lagi, diriku pun hela napas dengar pembelaan sang Direktur Sisik Kayu. “Ya, ya. Berhubung pekerjaanku banyak, jadi tolong jangan membahas hal di luar i—”Tok-tok! Ketukan di pintu menjeda kami. Ketukan yang sempat membuatku dan Trira silih lirik sebelum beliau bertanya siapa di luar.“Saya, Mele, dari bagian penyelia.”“Masuk.”“Direktur, CEO, Nyona, Sekretaris ….” Seorang wanita, hangat menyapa semua orang di ruangan sebelum mendekat dan menghadap ke meja direktur. Dari apa yang kudengar, ia hendak melaporkan kenaikan jumlah permintaan bubuk arang oleh Pangkalan Luar Sisik Kayu untuk wilayah di luar Sabila.Juga, pesan Serikat yang mulai agak mengganggu. “… begitu, Nona. Kurir-kurir kita mengadu orang-orang sana terus minta tambahan kuota bubuk arang di tiap pengiriman.”Aku menggeleng pas Trira melihatku.“Baik, laporanmu sudah kuterima. Biar kuurus ini sendiri!” ucap beliau pada sang penyelia, “lain kali kalau mereka minta tambahan kuota lagi bilang sama kurir-kurir kita gak usah digubris dan abaikan saja, Serikat harus membuat permohonan tertulis jika benar mereka mau kuota pengiriman kita naik.”Dan, sesaat penyelia tersebut undur diri ia pun cekak pinggang di depanku.“Kau dengar semuanya, ‘kan?”“Ya.”“Kau juga tahu harus apa, ‘kan?”“Ya—tidak!”“Apa?!”“Nona—ehem.” Kurapikan dudukku, bersiap ‘tuk mengemukakan alasan depan sang direktur. “Perjanjian dengan serikat hanya menstabilkan produksi pabrik sampai tahun 356 Mirandi. Seperti yang Anda bilang tadi, kita gak wajib meladeni permintaan dadakan mereka apalagi tanpa ada permohonan tertulis.” “Aku setuju,” aku beliau, “maksudku, bisakah kau menemui Serikat dan mengatakan itu di depan mereka langsung, Tuan Mi. Kurasa tetap tidak sopan mengabaikan seseorang, apalagi dia kolega bisnis kita, ‘kan?”“Oh.” Mulutku membulat. “Bilang dong ….”Hari itu, ditemani Oukubo, aku pun mendatangi serikat. Namun, bukan untuk membahas penambahan kuota bubuk arang atau hal terkait sesuai permintaan Trira. Melainkan ….“Kudengar Serikat dapat suntikan dana dari Aliansi, Ketua. Aku kemari buat tanya apakah sisik kayuku juga bakal ambil bagian dalam penggolangan dana ini atau tidak.”“Kau benar-benar sesuatu, Tuan Mi,” ujar Ketua Serikat Neraca Padi, menyalakan pipa tembakau di tangan lalu mengisapnya perlahan. “Huh …, tadinya dana ini mau kugolangkan sendiri, tapi karena dirimu tahu kurasa kita harus membuat sedikit pengaturan.”“Kurasa juga begitu.” Kulipat tanganku. “Kuyakin kepala regu dagang lain belum ada yang tahu, jadi mari tutup hal ini di antara kita berdua saja. Bagaimana?”Ia terkekeh pelan.“Kau lebih mirip ketua sindikat ketimbang kepala regu dagang biasa,” akunya, kembali mengisap ujung pipa lantas mengembuskan asap putih ke samping kiri. “Cuma, aku suka. Sebab dengan begini kita lebih bebas bertukar pendapat tanpa perlu berhati-hati.”“Lewatkan basa-basinya, Ketua.” Kutaruh sekeping platinum di mejanya. “Aku malas duduk lama di depan mejamu yang penuh asap. Terus juga, seseorang menungguku di kereta.”“Aku tidak bisa menolong kalau soal mejaku yang berasap,” balasnya enteng, “nikmat tembakau belum sanggup kulawan, Tuan Mi. Cuma, aku mengerti jika istrimu sedang menunggu di luar sana ….”Ia ambil platinumku lantas memeriksanya saksama.“Koin miria.” Ketua melihatku dan platinum tersebut bergantian. “Kurasa kita belum sedekat itu sampai kau memberiku uang termahal di benua ini,” ucapnya yang lantas menaruh koinku di meja, “terlepas dari hubungan sebagai mitra kerja, aku tidak bisa membantumu di luar kemampuanku.”“Aku tahu. Makanya aku kemari hanya untuk bertanya, gak lebih.”“Kalau itu aku bisa bantu.” Ia sambar platinum tadi dan buru-buru mengantonginya. “Namun, seperti yang kubilang, kita harus membuat sedikit pengaturan. Dana dari Aliansi ini untuk ….”Sesuai dugaan, Aliansi hendak menanam mata-mata lewat serikat. Suntikan dana hanyalah kedok. Aslinya mereka membayar Ketua supaya suruhan tetangga bisa masuk wilayahku tanpa dicurigai. Hem.“Jadi maksud Anda mereka sudah punya kandidat buat mengawasi proyek ini?”“Benar!” Ketua semringah. “Kita cuma perlu mengurus izin usaha, merekrut pekerja, terus menerima dua puluh persen dari keuntungan bisnis-bisnis mereka.”“Masalahnya usaha yang Aliansi mau kita tangani itu tempat hiburan, Ketua. Anda yakin jika Kantor Muri Distrik bakal memberi izin?”“Jangan khawatir ….” Entah kenapa, tapi pria di depanku kelihatan amat percaya diri. “Selama kita tahu keinginan pejabat-pejabat korup di sana, semua bisa diatur. Hahaha ….”Jujur, aku kesal dengar para pejabat Kantor Muri dikomentari korup.Meski lagi berperan sebagai kepala regu dagang dan tidak punya hubungan khusus dengan pemerintah selain sebagai warga negara, tapi pas dengar orang-orangku dicap korup rasanya tetap menyebalkan.Namun, gegara konsekuensi peran, diriku juga gak bisa berbuat apa-apa selain ikut tertawa di meja penuh asap tersebut sialannya.***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 43 Hadiah Balasan

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Serius mau melepaskan mereka?”Kutarik pinggul Oukubo yang kala itu tengah kupangku supaya lebih lekat padaku.“Perasaanku saja atau gerbong ini memang tiba-tiba jadi sempit, Kubo?” tanyaku menggodanya, coba mengalihkan topik lewat guyon agar fokus sang elf berubah. “Kau juga—”Aku langsung berhenti tatkala telunjuk lentiknya menempel di bibirku.“Kurasa aku gak perlu bilang sesakral apa urusan berat badan wanita, ‘kan, Tuan?” tuturnya lembut, tetapi bikin merinding siapa pun yang dengar. “Lihat mataku saat bica—”“Bura.” Beruntung, panggilan dari luar kereta menyelamatkanku. “Sesuai perintah, tahanan dilepas secara terpisah dan ….”Agenda di Distrik Selatan terpenuhi. Hadiah dari tetangga dekat Kara sudah kuterima dan telah kubalas sebaik yang kubisa. Meski tak seheboh kejadian di kediaman Weka Mapu Varujin, mengembalikan mata-mata mereka tanpa cedera kurasa cukup untuk menjadi sebuah peringatan.Macam yang dibilang tahanan di Ruang Bawah Tanah Kantor Muri tadi pagi ….“Jangan terlalu kejam?”“Ya, jangan terlalu kejam,” ulang tahanan di depanku, menekankan hasil diskusi kami. “Caramu merapal penyembuh sudah jahat. Sekarang kau mau mengembalikan mereka buat jadi ‘hadiah’ atas nama Kara, itu keterlaluan namanya.”“Dia benar!” dukung orang-orang di sel sebelah, “kalian bajingan yang tidak punya hati, mengembalikan kami ke Pluma sama saja dengan menyuruh mati tanpa kehormatan.”“Itu intinya,” jawabku semringah, menanggapi para tahanan dengan senyum dan tangan terbuka. “Aku tahu mereka mengirimmu juga teman-temanmu untuk menyusup lalu membuat kacau Kara, paling gak memata-matai, jika kalian kembali siapa pun dalang penyelundupan ini akan lebih waspada, bukan?”“Argh!” Salah seorang tahanan menjerit. “Kenapa kepala orang-orang Kara sekeras batu,” keluhnya sambil meratap di sela-sela jeruji pembatas sel, “sudah kubilang aku itu pembuat senjata, kami kabur dari Pluma karena penguasa mereka tidak membayar upah—”“Berhenti membela diri, Wiliam!” bentak tahanan sebelahnya, “dia tidak pernah menghitung kita sebagai ancaman. Sebaliknya, orang ini menganggap mata-mata hanyalah sebagai pengisi kantong uang.”“Aku suka orang cerdas,” timpalku, makin senang seseorang mengerti caraku. “Kara belum bisa menjalin hubungan dagang dengan negara lain tanpa mengandalkan serikat ataupun pihak ketiga, kuyakin kalian pun paham sesulit dan seserius apa situasi itu buat kami. Jadi—”“Aku tidak menemukan kaitan dengan praktik melepas mata-mata di perbatasan ini, maaf saja.”“Bisa kuterima.” Kuanggukkan kepala pelan dua kali, paham sudut pandang tahanan satu itu. “Langkah ini memang sulit diterima. Toh, hubungannya pun gak langsung. Terus juga, selain berisiko, dia bisa membuat kami disalahpahami sebagai ceroboh, pengecut lemah, atau enggak tegas dalam bersikap.”“Lantas kenapa tetap kalian lakukan?”“Oh.” Mulutku membulat. “Jadi kau lebih suka mati di penjara setelah tangan dan kakimu patah?”“Oi-oi-oi!” Tahanan-tahanan lain di sel sebelah mengerubungi pria tersebut. “Kau jangan membuat situasi kita malah jadi buruk—”“Benar, aku masih bisa memohon kesempatan lain jika tetap hidup setelah kita keluar dari sini.”“Lihat.” Kulipat tangan puas. “Teman-temanmu saja gak sependapat, itu jadi bukti bahwa langkahku jauh akan lebih awet ketimbang mengintrogasi kalian sia-sia. Jadi, simpan tenagamu. Ketimbang mengorekku, bukankah memikirkan cara supaya tetap selamat setelah kulepas di perbatasan nanti masih jauh lebih penting.”“Apa untungnya membiarkanku hidup?” tanya si tahanan, abai pada orang-orang yang mengerubunginya.Pertanyaan paling berani, menurutku, juga yang paling pintar di ruang bawah tanah ketika itu.Sebab, “Bukan cuma jadi bahan laporan, keterangan dariku memang menaikkan peluang hidupmu setelah kembali ke Pluma jika pertanyaan barusan kuladeni. Hem. Sayang kau bekerja untuk negara lain.”“Jadi membiarkanku hidup juga jadi dilema, ‘kan?”“Gak juga,” akuku terus terang, “tapi kalau kuberi tahu, kalian gak bakal bawa apa-apa pas menyusup lagi kemari. Rugi.” Aku menggeleng, kecewa. “Bahkan, sekarang saja kau sudah membuatku rugi jika teman-temanmu mengerti obrolan kita.”“Tenang saja, mereka tidak dibutuhkan jika aku hidup ….”Jawaban yang menarik, kuakui.Dengan melepaskan mereka terpisah, aku membantunya mengamankan peluang hidup setelah ia gagal sebagai mata-mata. Sekaligus memastikan bahwa benar-benar takkan ada yang paham obrolan kami dan dialah satu-satunya peringatan dari Kara buat Pluma.Tidak buruk, tetapi masih berisiko lantaran belum menjamin takkan ada yang berani mendahului ataupun melaporkan dirinya dengan tuduhan ‘agen ganda’ pada atasan mereka.Namun, siapa peduli.Bukan masalahku ….*** “Kau sudah lihat grafik yang dikirim Serikat tadi pagi?”Lewat tengah hari di ruanganku, Lantai Dua Kantor Utama Sisik Kayu. Sesuai dugaan. Diriku langsung kena todong setumpuk laporan tambah sembur keluh waktu kembali dari Distrik Selatan, padahal aku sama sekali belum memeriksa isi laporan soal pabrik ataupun urusan dengan Serikat mulai awal produksi tahun ini sampai hari kemarin. Jujur. Perhatianku terkuras oleh surat-surat dari perbatasan, divisi intelijen, sama seabrek dokumen yang dilampirkan Jambu bareng laporan-laporan tentang perkembangan Taria. Jadi meski jawaban pertanyaan Trira hanya bentuk konfirmasi, bagiku nan tidak tahu apa-apa ini bobotnya tetap sangat berat.“Belum.”“Kenapa?!” sergah beliau, mengepalkan tangan sambil cekak setengah pinggang dengan hawa dominasi yang kuat. “Kau itu CEO, kepala pelaksana kegiatan lapangan perusahaan kita ….”Aku tidak bisa berkutik. Semua yang wanita di depanku bilang benar, keluh maupun gugatannya mustahil kuhindari sebab diriku memang mengabaikan Sisik Kayu seminggu ini.“Diriku minta maaf, Nona …,” kataku, pasrah serta sadar diri. “Anda benar, aku bersalah karena melalaikan tanggung jawab. Tidak ada bantahan.”“Bagus. Sekarang kau tahu harus apa, bukan?”Kulirik Oukubo di sebelah sebelum lanjut meladeni sang direktur.“Tidak,” akuku, terus terang. “Bagaimana aku tahu harus berbuat apa sebelum membaca laporan-laporan di depan Anda ini, Nona Direktur?”“Terus kenapa belum kau lakukan, hah?”“An—” Kalimatku terhenti, sadar bahwa meladeni Trira takkan ada gunanya. “Baik, tolong beri waktu ….”Selanjutnya, diriku pun mengambil lembur hari itu. Kubaca semua laporan dari Ranra kemudian mengatur rencana buat memuaskan keinginan Trira yang ia tumpahkan pas melihatku di meja kepala perusahaan tadi siang. Tidak ada keluhan, semua ini memang konsekuensi atas perbuatanku sendiri.Kasarnya, suruh siapa gak bisa atur waktu sama membagi prioritas.“Kenapa hasil tulisanmu lebih tebal ketimbang laporan-laporan ini, Tuan?” tanya Oukubo pas pekerjaanku selesai, ia sigap membuka kursi lalu duduk di pahaku—tumpang kaki seperti biasa.Lewat tindakan tersebut, sang elf telah mengklaim balik diriku selepas terjerat oleh tuntutan tugas sebagai pemangku jabatan Kepala Pelaksana Kegiatan Harian Sisik Kayu. Sikap yang juga memang kuharapkan dari wanita-wanitaku, jujur saja.Diriku menyukai itu. Sangat.Sebab egoku sebagai lelakinya terpenuhi.Namun, soal pertanyaan tadi, aku tidak langsung menjawab. “Kubo, kerjaanku baru beres, Sayang.”“Gak mau tahu!” timpalnya yang langsung merebah ke tubuhku, “apa diriku gak jadi pelipur lelahmukah?”Di posisi capek macam ini, jujur keberadaannya tidak terlalu signifikan. Meski ia asongkan diri segera demi diriku malam itu, sudut bibirku nyatanya hanya terangkat sedikit. Entah harus kujelaskan bagaimana ….“Sini ….” Kupangku dirinya lantas kubawa ia pindah ke sofa. “Kita menginap di sini malam ini, aku kepalang kantuk buat jalan pulang, Kubo. Gak apa-apa, ‘kan?”Ketika tubuhnya kubaringkan, Oukubo tidak bilang apa-apa. Sang elf hanya menatap sayu sampai ia selesai kuselimuti pakai jubah kami ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 42 Satu Cara dan Lainnya....

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Gak bisa kupercaya ….”Tanggal 15 Bulan Satu, 353 Mirandi. Kini aku tahu kenapa Aliansi mau repot bayar orang guna menyebar rumor lantas mengirim utusan untuk membacakan putusan kemarin sehabis baca surat balasan dari Jambu, Yoram Kepala Angkatan Perang Kara, di kereta menuju Distrik Selatan.Sehari pascapembacaan putusan sepihak Aliansi di Kantor Muri Distrik Tenggara Sabila.“Hahaha!” Tawaku terus pecah tiap kali baca laporan tersebut. “Hahaha, aku gak salah baca, ‘kan—Kubo, beneran mereka bilang senapan-senapan kita pernah mau dirampok pas dikirim ke Taria?”Oukubo, yang kala itu rebahan di depanku, sejenak tersenyum remeh. Ia mengambil kertas dari tanganku, membaca, kemudian mengembalikannya.“Benar,” ucapnya agak kedengar malas, “mere—”“Hahaha!” Tawaku kembali pecah. “Setelah bisnis kotor di Purtara sama Mapute gagal, mereka mau cuci tangan dan melimpahkan kesalahan pada kita,” simpulku, membakar surat Jambu tadi lalu melemparnya ke luar jendela. “Haha, haha, haduh ….”Peka suasana hatiku berubah, Kubo selanjutnya bangkit lekas pindah duduk ke sebelahku. “Mereka takut pada kita,” ujarnya, “wilayah sama militer Kara lebih kuat daripada gabungan tujuh negara di Aliansi. Aku yakin langkah ini juga pilihan terakhir gegara gak punya cara lagi, Tuan.”“Mungkin.” Kubuka lengan supaya ia leluasa merebah ke tubuhku. “Bentar, aku munduran biar enak … taktik kemarin rada remeh,” lanjutku, menyambung topik soal rencana Aliansi. “Ketimbang nyergap terus gagal, mereka aslinya bisa pesan senjata lewat serikat. Kalau boleh kubilang—”“Aliansi gak sekaya kita …,” timpal Oukubo, “apalagi mereka masih ada di bawah bayang-bayang Bravaria. Jika ingat itu, kurasa menyewa bandit memang sudah langkah terbaik.”“Ya, tapi hasilnya malah bikin malu, ‘kan?”“Itu karena gagal saja.” Kubo meraih lengan kiriku lantas menyulamkan Jari kami dan melingkarkan sambil mendekapnya di pinggang. “Kalau mereka berhasil, kita sudah rugi besar sekarang.”“Hem.” Aku menjuling singkat. “Kalaupun berhasil Mata Satu sama para perompak akan memburu mereka sebelum berhasil keluar dari Mapute. Saat itu, kerugian Aliansi bakal jauh lebih besar daripada kita.”“Tuan, kau pernah bilang angkatan perang kita gak boleh terlalu dipercaya ….” Kubo menatapku, kerling matanya memberiku tanda tanya. “Karena senapan-senapan baru ini rahasia tingkat tinggi, bahkan cuma segelintir yang tahu, apa mungkin mereka—”“Bisa jadi,” selaku, buang muka terus melihat pemandangan di luar. “Alasan Jambu kutaruh di Taria juga gegara itu, Kubo ….”Panji Gorgon ada sebagai bukti pengkhianatanku terhadap Mantel Putih di masa lalu, jadi miris sebetulnya karena mereka menjadi militer utama negara di atas ketidaksetiaan tersebut. Kami terang-terangan membelot dari Bravaria untuk membangun fondasi awal Kara di tanah Kesik.Jika ingat fakta sejarah ini, aku maklum bila angkatan perang pertama Kara kini tengah menyiapkan tangga menuju kejatuhanku di Taria. Benar. Sangat kumaklumi ….*** “Terima kasih sudah menyambutku, Muri.” Kulakukan peregangan kecil begitu turun dari kereta, depan Kantor Muri Distrik Selatan. Coba mengurangi pegal sehabis perjalanan sembari menunggu ‘nyonya’ di belakang selesai.“Sudahkah?” tanyaku, menoleh lalu mengulurkan tangan. “Kita masih harus ke Sisik Kayu setelah dari sini, kalau telat Ranra bakal ngomel lagi—”“Aku gak suka sekretaris sipitmu,” timpal Oukubo ketus, mengangkat roknya sedikit kemudian melangkah turun pelan-pelan. “Tuan.”“Kalian cocok, Kubo ….”Ngomong-ngomong, agenda di Distrik Selatan adalah laporan soal pergerakan mata-mata Pluma.Semalam aku dapat kain kuning di kaki merpati ungu. Dari Wale, Yoram Legiun III Angkatan Laut Kara alias Kepala Divisi Intelijen Panji Gorgon, yang memintaku untuk membuat penilaian langsung. Aku tidak bisa menolak. Jika ia sampai menulis permohonan agar diriku turun tangan, artinya orang-orang ini tidak sederhana macam para imigran di Kaliyara. Apalagi mereka tertangkap pas keliaran sambil bawa barang ilegal, jadi gak bisa cuma ‘disapu’ terus ditimbun seperti biasa.“Inikah?”“Mereka tertangkap di hutan barat daya, tidak punya keterangan identitas, dan membawa bahan peledak. Kami tidak berani memulai interogasi sebelum melaporkan semua pada Anda—”Muri berhenti bicara waktu aku menoleh.“Aturan lama …,” kataku, berhenti di depan sel berisi seorang tahanan. “Sita semua barang mereka, tanya asalnya, terus lepas di perbatasan atau kirim ke Satu Mare. Aku gak suka tamu tak diundang yang juga gak punya tata krama menerobos halaman rumahku.”“Tanah ini bukan punyamu, Bajingan!” timpal seseorang, remaja usia lima atau enam belas tahun, tahanan di sel sebelah. “Matilda Barat tuan rumah sebenarnya, dan itu kami, bukan dirimu—cuih!”Sudut bibirku naik dengar sahutan tersebut.“Diam, kau tidak tahu sedang bicara pada sia—”“Gak perlu marah sama anak-anak,” ujarku, menegur pengawal muri lantas bergeser ke sel anak itu. “Dia cuma belum tahu apa-apa. Apa aku be—”“Jangan sok baik di depanku, Bajingaaan!” sergah si anak, tiba-tiba berdiri lalu menunjuk-nunjukiku dan memaki. “Kalian yang membuat Matilda Barat runtuh, menghancurkan desaku, mem—bla bla bla ….”Mataku membulat, tidak sangka sekaligus kaget. Pertama kali lihat ada anak memaki diriku, yang notabene orang asing dan tidak ia kenal, separah caranya. Bahkan pikiranku sempat kosong sepersekian detik, tak sanggup membayangkan seberat apa tragedi yang pernah ia alami sampai kata-kata tajam dan menyakitkan keluar dari mulutnya di usia belia.“Muri.” Ketimbang marah, aku lebih ke menaruh iba. “Apa dia juga tertangkap di hutan barat daya?”“Benar, anak ini yang menjaga gerobak dengan bahan-bahan peledak.”“Hah.” Aku menengadah sekejap. “Aturan tetap aturan,” kataku lekas kembali ke sel sebelumnya, “lucuti barang anak itu dan kirim dia sama teman-temannya ke perbatasan. Gak ada pengeculian, paham?”“Mengerti.”“Ngomong-ngomong, Muri ….” Kugenggam gembok sel di depanku kemudian meremukkannya. “Aku ada urusan sama orang ini, kalian boleh pergi atau tunggu di luar saja.”Tanpa banyak tanya, Muri Distrik Selatan bersama orang-orangnya pun putar badan setelah undur diri.“Teknik barusan ….” Kini, orang yang hendak kuajak bicara membuka mata. “Apa nama—”“Yang mana?” tanyaku, merapikan jerami sebelum bersila di depannya. “Aku belum memeragakan jurus apa pun, kau tahu.”“Heh.” Ia terkekeh. “Jadi, meremas gembok besi sampai menjadi debu bukan teknik bela diri?”“Oh.” Mulutku membulat sebelum meniru gaya duduk si tahanan, melipat tangan di depan dada. “Cuma gerakan acak, apanya yang teknik bela diri,” kataku lantas menggeser topik, “tapi kalau seorang ahli yang bilang, mungkin benar itu sebuah teknik.”“Kau tidak harus menggodaku jika tidak ingin mengatakannya.”“Huh.” Giliranku yang terkekeh. “Nama teknik ini terlalu murah buat dilirik seorang calon berserker.”Si tahanan terdiam, ia melihatku dari balik poni gimbal dengan tatapan yang sukar dijelaskan. Liar seperti singa, tetapi tidak memancarkan sorot ataupun hawa haus darah khas para makhluk buas.“Jangan tersinggung,” lanjutku sambil tersenyum, “orang yang tetap bungkam setelah tangan dan kakinya berkali-kali patah memenuhi syarat untuk mengambil kelas lanjutan itu, paling enggak dari segi tekad yang gak tergoyahkan. Kondisi mental begitu cuma dipunya seorang berserker, kau tahu.”“Huh.” Ia buang muka. “Kalian membayar penyihir cincin ganda untuk melayaniku setiap akhir sesi tanya jawab, senang rasanya bisa membuat tuanmu bangkrut.”“Hahaha!” Aku terbahak. “Tuanku, hahaha ….”“Aku tidak tahu anjing-anjing Kara boleh menertawakan majikan mereka,” cela si tahanan, “dari segi ini tuanku jelas jauh lebih punya wibawa.”“Kau benar,” timpalku sambil memegangi perut, “kau benar … saking wibawa sampai kalian para bawahan tidak bisa tenang padahal jauh dari dirinya, hahaha.”“Kau!”Bagus, aku menang jika dia kesal.“Kalau boleh kubilang,” sambungku, merapikan duduk. “Ini gak ada urusan sama tuanku ataupun tuanmu, tapi aku suka kegigihanmu—terus terang. Jadi, biar kujelaskan sedikit soal mantra penyembuh yang kau nikmati selama sesi ‘tanya jawab’ tadi.”“Oh.”“Menurut isi buku sama catatan-catatan Stellar, ada dua macam sihir penyembuh di glorian,” ujarku, balik melipat tangan. “Pertama, regenerasi.”“Mau mencerahkan wawasankukah?”“Bisa dibilang begitu,” sahutku kemudian lanjut menerangkan, “mempercepat pertumbuhan sel baru atau menumbuhkan kembali organ yang hilang dengan mengganti sel-sel rusak. Ini disebut regenerasi.”“Yang kedua?”“Regresi.”“Oh, aku baru tahu jika mereka berbeda,” aku pria di depanku, menunduk dan mengusap-usapi dagu.Yang, spontan ditimpali oleh anak di sel sebelah. “Jangan percaya omong kosongnya. Aku pernah tinggal di Panti Asuhan Purumera. Biarawati-biarawati di sana mahir sihir penyembuh, tapi mereka tidak pernah menye—”“Diam!” bentak pria di depanku, sorot matanya betulan kesal. “Bocah, jangan mengganggu obrolan orang dewasa kalau kau gak tahu apa-apa. Dasar.”Keluhan yang juga mendatangkan keluh. Namun, itu sudah benar. Sebab sikap tahanan di hadapanku kini sejalan dengan rencanaku terhadap mereka ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 41 Kolam Ikan

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana penampilanku, cantik, ‘kan?”Aku menoleh, lantas tersenyum mengagumi penampilan baru Oukubo. Kerudung dipadu cadar ungu nan membalut separuh wajah serasi dengan gaun yang ia kenakan. Anehnya, pilihan busana Kubo pada malam itu malah menambah daya sensualnya di mataku—padahal penampilan sang elf kebilang tertutup.“Entah cuma perasaanku atau daya pikatmu memang makin kuat?” tanyaku, mengakui telah jatuh pada pesona Oukubo sejak pandangan pertama malam tersebut. “Aku gak rela kau pakai baju ini di luar ….”Tanggal 11 Bulan Satu, 353 Mirandi.Awal musim semi nan meriah, harus kuakui. Sejak garda depan Aliansi pergi menyerang Bravaria, kepalaku sering sekali dilanda pening. Laporan demi laporan mengalir sepanjang pekan dan mendarat tepat di meja ruang tamu dari pagi hingga sore, benar-benar menguras perhatian.Aku dengan Oukubo jadi jarang dapat kesempatan berdua ….“Kenapa gak rela?” tanya sang elf, merobek amplop lalu duduk sebelahku. “Pakaianku sopan dan tertutup, masa ya kau cemburu—lihat! Ini dari Angkatan Laut Gorgon, Tuan.”Kulirik kertas di tangannya sekilas, memastikan segel yang lagi ia tunjukkan.“Itu yang kedua minggu ini,” kataku, merangkul bahu dan memeluk Oukubo. “Kurasa ….”“Kurasa apa?” Kubo mencolek pipiku. “Katanya imigran Singkawa tertangkap di Kaliyara. Aku setuju. Kau memang harus pergi ….”Imigran Singkawa. Bukan cuma bernyali, mereka terbukti cerdik kalau betulan tertangkap di Kaliyara. Sebab itu artinya orang-orang ini berhasil menembus Pluma yang menurut Halbert mustahil disusupi.Cek! Kepalaku kini berdenyut ….“Hem.” Kupejamkan mataku di leher Oukubo. “Ada Pluma di antara Kara dan Singkawa. Jika naik perahu sampai ke Kaliyara, bagaimana cara mereka melewati pemeriksaan di sana?”“Bukanya sebagian Moran masuk wilayah Corvia?” timpal elf yang lagi kupeluk, “bisa saja mereka—”“Mustahil.”“Kenapa?”“Divisi Pelopor Angkatan Laut Kara ada di Distrik Selatan Cassava, Kubo. Tanpa perjanjian tertulis dan segel pu milikku, mana mungkin mereka membiarkan perahu asing masuk dari arah Corvia.”“Lah, terus bagaimana cara imigran-imigran ini bisa muncul di Kaliyara?”‘Itu pertanyaanku juga,’ batinku sembari melekatkan tubuh kami, “mana kutahu ….”*** “Tuan. Nyonya.”“Urusan kali ini mungkin akan lama, jadi tolong minta Stella buat mengurus rumahku setelah mengantar kami ke Distrik Barat—satu lagi! Jika Nona Nima tanya, bilang aku mengurus izin pabrik di distrik lain ….”Besoknya, tanggal 12 Bulan Satu, aku dengan Oukubo naik kereta ke Distrik Barat Sabila. Hendak melihat lokasi dan mengurus perizinan pabrik baru. Namun, itu hanya alasan luar. Aslinya untuk menemui Yoram Legiun III Angkatan Perang Laut Kara, Kepala Divisi Intelijen Panji Gorgon, atau orang yang melaporkan penangkapan imigran Singkawa di Kaliyara. Wale el Vomtia.“Bura.”“Lewatkan basa-basinya, Wale.” Kukibaskan tangan pas dirinya tiba, ingin fokus ke pokok bahasan kenapa ia kupanggil menghadap. “Suratmu bilang, legiun pertama angkatan laut kita menangkap perahu imigran Singkawa di Kaliyara.Bukan cuma satu atau dua, tetapi belasan sekali sergap. Aku kemari mau dengar cerita lengkapnya. Jadi, Yoram, tolong jelasankan saja mulai dari detail itu.”“Dimengerti ….”Lelaki jangkung di depanku menoleh ajudan sebelahnya dan mengangguk, isyarat agar sang ajudan pergi kemudian kembali dengan membawa peta wilayah perairan yang kukira adalah Moran.“Hem.”“Imigran yang kita tangkap bukan berasal dari Singkawa, Bura,” ujar Yoram Wale, membuka topik dengan fakta menggelitik. “Mereka adalah mata-mata terlatih milik tetangga dekat kita, Pluma.”Keterangan yang sontak membuatku menatap penuh tanya, heran.“Caupa, tolong gelar peta terbaru Pluma … benar yang itu, terima kasih. Bura, ini dia ….”Mataku mendelik. Siapa sangka Pluma yang dua tahun lalu hanya punya satu kota kini telah memiliki tiga markas besar sekaligus pusat komando militer di tiga wilayah administratif setingkat Sabila.“Luar biasa, Yoram Wale. Aku salut padamu. Kau benar-benar menyelidiki mereka dengan sangat baik.”“Ah, Anda membuatku malu, Bura.” Yoram Legiun III Angkatan Laut Kara tersebut garuk kepala. “Aku digaji memang untuk hal-hal semacam ini, ‘kan?”“Hahaha.” Sikap yang membuatku tambah menyukainya. “Kalau saja semua divisi intelijenku berdedikasi tinggi sepertimu, aku takkan ragu buat mengirim kalian ke Timur sebelum perang besar nanti.” “Anda terlalu memuji, Bura.”“Ngomong-ngomong, Yoram ….”Kubisiki ia kabar angin yang kudengar belakangan, terkait bocornya produksi senapan lontak tipe baru dan rencana sabotase pengiriman bubuk mesiu dari Satu Mare untuk Aliansi musim depan.“Bisakah kau kirim orang buat melacak dari mana sumber kabar-kabar itu?”Sang Kepala Divisi Intelijen termenung.“Sebenarnya gak masalah jika Aliansi sampai tahu …,” kataku, berjalan ke kursi lalu duduk. “Toh, senapan-senapan baru kita juga sudah hampir jadi. Cuma, seingatku instruksi buat menyabotase pengiriman bubuk mesiu dari Satu Mare belum kuberikan pada siapa pun.”“Bawahan mengerti ….”Dua hari kemudian, laporan darinya menumpuk di mejaku. Isinya soal tanggal eksekusi mata-mata Pluma kemarin, kronologi cara mereka menyusup, rangkuman rumor terkait gerakan bawah tanah sekitar Sabila, sama deretan nama-nama para terduga kuat penyebar isu sabotase yang kuminta ia carikan.Apesnya. Tidak lama berselang, bahkan hampir bareng dengan laporan-laporan tersebut, suruhan Aliansi Anti-Bravaria pun turut mengetuk pintu ruang kerjaku.Tepat ketika laporan-laporan tadi tengah kubakar di perapian ….“Abu surat-surat ini saja belum dingin,” gumamku sebelum menyambut para utusan di Kantor Muri Distrik Tenggara bersama pejabat-pejabat di sana, “kenapa mereka gak ngasih kabar dulu, sih, akh?!”“Namanya juga Aliansi, Bura,” timpal Vio, Yoram Kepala Panji Kalajengking, yang saat itu kebetulan sedang berpatroli di perbatasan. “Kalau gak mendadak, malah aneh, ‘kan?”“Hem.” Aku menjuling singkat. “Kau benar ….”*** “Aku gak salah dengar, ‘kan, tadi?” tanyaku pada Vio di ruang kerja tera, selesai menyimak putusan Aliansi yang baru saja dibacakan oleh para utusan di Balai Penyambut Tamu, Kantor Muri Distrik Tenggara Sabila, setengah dupa sebelumnya. “Mereka jauh-jauh kemari buat memalak kita, hah?”Menyebalkan. Aliansi menyuruh Kara mendanai Kampanye Banori, dan mereka terang-terangan meminta senapan-senapan lontakku agar diserahkan sebagai bentuk pertama dari dukungan tersebut bulan depan.“Benar, Bura. Kudengar mereka ingin Kara membiayai perang sekutu di Banori dan menyerahkan senapan-senapan baru kita kepada Aliansi ….”‘Asem!’ makiku dalam hati, ‘berani benar mereka.’“Secara de jure kita memang belum diakui Aliansi,” ujar Muri Distrik Tenggara, empunya tempat, tampak pesimis di ruangan tersebut. “Mereka sengaja mengangkat hal ini untuk menekan kita, Pu.”“Terus?” Aku mendelik dengar tanggapan pasrah barusan. “Kau mau aku mengirim hasil panen kita tahun ini buat jadi bekal pasukan boros mereka dan menyerahkan senjata bakal angkatan perangku cuma-cuma, begitu?”Ia dan Vio kompak buang muka, menghindari tatapanku.“De jure maupun de facto, Kara sudah jadi negara,” tegasku di depan mereka, “Vom dan Dataran Tengah mengakui kedaulatan kita. Jika Aliansi memang menjual hal itu untuk memerasku, maka aku juga takkan segan buat membalas dengan menyerbu balik mereka.”“T-tolong tenang, Bura. Jika kita terpancing gegara ini, reputasi yang sudah Anda bangun akan rusak ….”Cek! Benar kata Vio. Tujuanku bergabung dengan Aliansi Anti-Bravaria kemudian membuka dua distrik Sabila untuk pendatang ialah demi menunjukkan bahwa Kara bukan musuh benua, jika aku keburu nafsu lantaran situasi sekarang hingga mengambil keputusan gegabah maka pengorbanan kami selama ini ‘kan jadi sia-sia.Namun, aku juga tidak suka didikte oleh mereka.“Jujur, aku tidak suka cara utusan-utusan tadi bersikap.”“Bukan cuma Anda, Bura,” aku Vio yang didukung anggukan kepala muri, “kami pun begitu.”“Terus ….” Kucondongkan badan pada keduanya. “Apa kalian benar-benar tidak punya ide?” tanyaku yang lalu memberi penekanan, “aku tidak ingin menjamu mereka lama-lama.”Aku merasa Kara bak ikan hias di akuarium. Selain dikepung dari tujuh arah, kenyataan bahwa kami bukan pecahan Matilda Barat membuat Aliansi memandang negara ini sebelah mata. Sebelas dua belas dengan Bravaria. Aku bahkan yakin kamilah sasaran kampanye Aliansi berikutnya bila nanti mereka sudah tidak ada ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 40 Lanjut Kerja

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Aku tidak menyangka Serikat akan membangunkan pabrik baru untuk kita di luar Sabila, Tuan Mi.”Awal tahun baru.Obrolanku bersama ketua dan orang-orang Neraca Padi sebelum Direktur Sisik Kayu sebelahku memasuki ruangan menjadi rahasia di antara rahasia. Dengan lima persen keuntungan, pabrik-pabrik baru yang Trira singgung barusan akan mengikuti semua prosedur dari orang-orangku hingga kerja sama ini selesai.Memberiku akses penuh buat masuk ke gudang-gudang senjata tetangga …. “Sepertinya mereka memikirkan proposal kita tahun lalu, Nona. Menaikkan kapasitas produksi hingga titik maksimal tanpa risiko, atau pendeknya: efisien.”“Aku tidak mengerti bahasamu,” timpal Trira, kembali ke meja di belakang.Aku, mengikutinya dan kembali ke mejaku. “Anda tidak harus mengerti. Cukup tanda tangani saja semua proposalku sama punyanya serikat kalau penawaran mereka menguntungkan bisnis kita.”“Hem.” Beliau buang muka. “Aku memang tidak ahli soal per-arang-an, tapi aku juga harus selektif. Kalau keputusan atau langkahmu merugikan perusahanku, aku juga yang nanti bakal kena imbas.”Perusahaanku? Nazila Trira benar-benar mendalami peran.“Eh, ya, Nona. Apa salon Anda jadi buka cabang baru bulan ini?”“Soal itu ….” Trira merebah di kursinya. “Aku tidak tahu, keuntunganku akhir musim dingin kemarin gak se-wah bulan-bulan sebelumnya. Ditambah saingan-saingan baru, kukira salonku harus punya strategi jitu biar enggak kehilangan pelanggan.”“Saingan?”“Ya, saingan. Mafia sama tempat-tempat hiburan besar mulai melirik usaha salon belakangan ini, mereka bahkan punya layanan plus-plus yang disukai pelanggan—kau tahu maksudku, ‘kan?”“Tunggu, maksud Anda tempat hiburan … bordil?”“Apa lagi?” Trira menjuling singkat. “Selain pub, bordil laku keras di lokasi urban macam Sabila, tahu.”“Bukannya Muri melarang tempat-tempat macam itu, ya?”“Kau tahu ‘Satu Mare’?” tanya beliau, melirikku lewat ekor mata. “Lahan bebas di luar perbatasan. Mereka menggunakan lokasi tanpa hukum itu buat membuka rumah-rumah bordil dan semacamnya.”“Hem.” Aku menengadah, terus bersandar ke punggung kursi. “Kalau lokasinya di luar Sabila kita gak bisa berbuat apa-apa—”“Itu dia!” sambar Trira, kelihatan sangat gemas. “Mereka gak kena sentuh hukum, pelanggan-pelangganku mengeluh suami mereka tiap malam pergi ke sana, terus sekarang mereka juga punya salon sendiri. Pria-pria hidung belang ini membawa para pelangganku kabur pakai alasan di sana sekalian bayar.”Masuk akal. Ketimbang bayar dua kali mending pindah langganan biar hemat. Bisa kuterima.“Apa kau gak bisa melakukan sesuatu?” jerit sang direktur dari kursi beliau, “ubrak-abrik usaha mereka atau apa kek, biar pelanggan-pelangganku pada balik ke salon kita.”Kukerlingkan mata merespons permintaan beliau, tidak tahu harus bilang apa. Hukum sama urusan di luar wilayah sendiri, bukan kuasaku.“Aku tahu melac*r atau hal-hal macam ini biasa buat para hidung belang, tapi jangan merebut pelanggan-pelangganku juga, Sialaaan!” maki Trira, lebih baik tidak kukatakan bagaimana beliau di kursinya. “Arrrgh! Ingin sekali kurobohkan bangunan-bangunan liar mereka—akh!”Kulihat Ranra di sebelah, ia fokus pada berkas di meja dan tidak terusik sedikit pun. Hebat.“Hem.” Aku berpikir ….Kalau urusannya hukum, selama ada di lingkungan Sabila aku bisa mengirim tentara untuk membubarkan mereka. Namun, ketika di luar perbatasan hal itu malah akan jadi bumerang.Apalagi Satu Mare yang Nazila Trira rujuk adalah lokasi yang ‘dimaklumi’ oleh Aliansi. Ini bukan rahasia, tetapi juga bukan hal yang banyak orang tahu. Pada peta baru Kolom Satu dan Dua-Tiga ada area kecil dengan penanda warna kuning, daerah berotonomi khusus serta sengaja dipelihara Aliansi.Mereka itu titik muara sekaligus tempat bertemunya informasi sensitif dengan rahasia, jadi kalau kugusur paksa justru kamilah yang akan rugi dalam urusan ini. “Berat, benar-benar berat ….”*** “Apa kau bilang?”Aku dan Oukubo silih lirik merespons delikan Trira. Sendok, garpu, dengan sumpit langsung kami letakkan kembali pada saat itu.“Jangan bercanda, ya!” Beliau kini menunjuk-nunjukiku dan Oukubo bergantian. “Kalian pikir aku ini siapa, hah? Gak ada tuh kudu kalah kalau belum perang di kamusku ….”Biar kujelaskan apa yang sedang terjadi.Duduk perkaranya: Trira dapat laporan sekian lusin pelanggan menyudahi keanggotaan salon tepat sesaat sebelum jam makan siang, alasannya suami mereka pindah tugas ke kota-kota lain di luar Sabila.Karena ini jam makan, kubilang pada beliau supaya jangan dulu memikirkan hal tersebut. Namun, respons yang kuterima malah anggapan bahwa diriku tidak mendukung dan sedang memintanya merelakan para pelanggan-pelanggan tadi.Sesederhana itu.“Aku yakin ini pasti gegara salon-salon murahan i—ya, aku yakin sekali pasti gara-gara mereka!”“Nona ….” Kucoba buat mengambil kembali waktu makan yang beliau sita. “Anda boleh marah, tapi tolong lepaskan tudung saji di meja. Lihat, piring saya dan punyanya Kubo masih belum terisi apa-apa.”Kulintangkan tangan ke pipi, hendak berbisik.“Apa Anda juga gak malu, dilihati banyak orang ….”Dengar kata malu, beliau agak tenang.“Ehem. Aku barusan sedang coba membuang unek-unek,” ujar beliau, melepaskan pegangan tudung saji. “Kalian bisa lanjut makan tanpa diriku ….”Begitulah. Trira undur diri dari meja makan ….“Sayang.” Sekarang, giliran wanita sebelahku yang berulah. “Lihat, nonamu begitu marah. Apa kau masih tidak mau melakukan apa-apa?” tanyanya dengan nada manja dan berkali-kali memukul pelan lenganku, “aku pokoknya gak mau, ya, kalau kau sampai kehilangan pekerjaan—huh.”Diriku sebetulnya geli lihat Oukubo begitu. Akan tetapi, tingkahnya tersebut terbukti ampuh buat menetralkan suasana restoran pasca-Trira tiada. Orang-orang yang sebelumnya menoleh seketika kembali pada kegiatan di meja masing-masing, tidak satu pun dari mereka memperhatikan mejaku dan Oukubo setelah itu. Hem. Sudut kanan bibirku sampai naik.“Kau beruntung—”“Bukannya pintar?” sambung Oukubo, pelan. “Aku gak kalah sama si pirang gendut, ‘kan?”Maksudnya Merike.“Ya.” Kucolek dagunya terus lanjut makan ….*** Sore hari. Ketika belum ada laporan yang harus kubaca, Nazila Trira tidak banyak mengomel serta gak terus melotot padaku dari meja kerja direktur, dan Oukubo sepanjang hari duduk anteng di pangkuanku. Aku bisa meregangkan tangan sambil bilang, “Akhirnya ….”“Apa kita sudah boleh pulang?”Aku menoleh ke Ranra dengar pertanyaan tersebut, meminta Sekretaris Sisik Kayu itu buat menjawabkan.“Belum.” Mengerti, ia pun mundur dari meja lantas mendekat dan menjelaskan alasannya kenapa. “Nona masih memeriksa berkas di ruang sebelah bersama Stella, laporan produksi hari ini belum siap, terus hasil pemeriksaan dengan dokumen-dokumen pabrik baru yang dijanjikan serikat juga belum datang, sama ….”Sang sekretaris memilah-milah kertas di tangan sebelum mengasongkannya. “Tolong tanda tangani dua berkas buat agenda besok ini sebelum pergi, aku takut Anda datang terlambat lagi seperti tadi pagi.”Kuambil berkas darinya lalu kububuhi tanda tangan dan kukembalikan.“Ada lagi?”“Ti—” Ranra tiba-tiba berhenti kemudian balik menghadapku, padahal barusan kakinya sudah melangkah agak jauh dari mejaku. “Daripada elf gatal satu ini, saya lebih suka dua yang lain.”Begitu kalimat penutupnya sebelum benar-benar pergi. Meninggalkan seberkas senyum di bibirku sama satu raut cemberut di muka Oukubo ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 39 Drum Arang

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bura, tiga ratus ribu tentara Aliansi sudah bergerak dari perbatasan ….”Musim Semi 353 Mirandi.Banori, titik temu pada rencana kampanye aliansi delapan negara, telah ramai bahkan sebelum matahari bersinar. Delegasi enam kerajaan, hari ini mengirim prajurit-prajurit terbaik mereka ke wilayah Bravaria.“Kuda putih.” Kuatur miniatur perangkat perang di meja strategi mengikuti laporan telik sandi, Aula Istana Bate Sabila. “Jubah Hitam, Unikorn, Vegasis, Antares, dan Bintang Tenggara. Halbert, siapa saja yang akan menyerang dari belakang bersama kita?”Halbert, Caupa Unit Tombak Terbang, menaruh dua bendera di belakang peta Arathea.“Angkatan Laut Singkawa, Naga dan Beruang Air.”“Hem.” Kugaruk pipi sambil melipat tangan, berpikir. “Selain Mantel Ungu dan Emas, kudengar si berisik, Maxwell, sekarang jadi yoram terus punya batalion sendiri. Menurut kalian, di mana posisi mereka dalam perang ini?”“Kumbang Rusa, Bura?”“Menurut mata-mata kita ….” Vio, Yoram Kepala Panji Kalajengking, Panglima Utama Pasukan Pertahanan Sabila, menggeser bendera putih ke dekat Parpara. “Tentara elite musuh terkonsentrasi di area ini, Bura.”Aku dan semua orang silih lirik.“Bura, apa Yoram Jambu benar-benar tidak akan mengirim pasukan dari Taria?” tanya Halbert, sepertinya hendak memastikan sesuatu. “Jika kabar ini benar, Platium akan—”Dirinya berhenti ketika aku mengangkat tangan.“Kekuatan tempur Bravaria hanya tersisa dua ratus ribu paling banyak …,” ujarku, mundur lalu duduk di singgasana. “Akan tetapi, kenapa mereka tidak menyerah saat tiga ratus ribu pasukan aliansi ini datang ke perbatasan dan masih sempat menyisihkan pasukan di daerah terpencil?”Kutopang daguku memperhatikan semua orang.“Coba pikir, bagaimana lima puluh ribu pasukan mantel ungu dan emas mereka membendung gempuran di utara hingga timur laut Koana sebelum hujan abadi beberapa tahun silam.”“Jangan-jangan—”“Selamat!” Kuangkat tanganku menyambut wajah-wajah terkejut mereka. “Kalian satu langkah mendekati level Bura Bella dari Mantel Jerami.”Pertempuran Banori dan Bravaria tidak sesederhana dua lawan tiga ratus ribu. Meski mengambil inisiatif dengan menyerbu duluan, nyatanya kami sudah kalah set gegara medan yang telah dipersiapkan matang oleh lawan.“Bura, kalau begitu apa Aliansi akan kalah?”“Ronde pembuka ini, ya.” Kuanggukkan kepala menanggapi Susan, Tupa Pertama di Unit Pemanah Kuda Caupa Edberd. “Medan di selatan Naxin hingga ke selatan Parpara adalah pegunungan berbatu, tidak ada celah untuk memakai meriam ataupun perkakas berat dan kavaleri konvensional mulai dari utara dinding alam Vom itu. Satu-satunya harapan cuma hujan panah.Pertanyaannya sekarang. Apa yang dipilih Aliansi waktu menyerbu Naxin hari ini?”*** “Tuan, hari ini Trira mengundang Ketua dan Anggota Serikat ke Sisik Kayu.”“Aku tahu ….”Kuelus kepala Oukubo yang lagi bersandar ke bahuku. “Pabrik sudah balik beroperasi. Tahun ini adalah panggung debut regu dagang kita di level baru, Kubo.”“Tahun ini aku mau kau terus bersamaku.”“Hahaha.” Ucapannya ditambah guncangan kereta membuatku terbahak. “Selama kita belum bergerak ke Dataran Tengah, kau akan terus bersamaku.”“Iiih.” Oukubo memukul dadaku pelan. “Kalau sudah ada Rere, bokongku gak bakal menarik lagi buatmu, ‘kan, Tuan?”“Ngomong-ngomong.” Kuangkat dagunya pakai telunjuk. “Rere memanggilku ‘Sayang’ pas kami di—”“Rubah Licik,” gumamnya, menepis tanganku menjauh. “Aku gak akan kalah sama si pirang gendut dalam segala hal. Tuan, kirim diriku ke perbatasan. Akan kubawakan kepala lawan-lawan Kara ke hada—”“Sssth!” Kuletakkan telunjukku di bibir Oukubo. “Tugasmu cuma menemaniku ….”Semangat bersaing elf yang lagi kupangku ini boleh juga. Sayang, aku dengan semua orang sudah kadung berjalan di atas rencana matang. Menambahkan variabel baru cuma akan melencengkan hasil yang kami inginkan ….*** “Tuan Mi, ketua dan orang-orang serikat sudah menunggu di ruang direktur.”“Bagaimana Direktur?”“Beliau sedang menginspeksi pabrik sebelum tim produksi mulai menyalakan kabin-kabin kita lagi.”“Oh.” Aku cekak pinggang sebelum masuk kantor utama. “Kabari Nona, kita bisa menyalakan dua dari tiga kabin arang sepanjang minggu, tapi tidak boleh lebih daripada itu. Sambil menunggu beliau, aku juga akan bicara sama orang-orang serikat soal kerja sama serbuk arang buat bahan mesiu yang mereka mau ….”Bersama gemuruh serta hawa panas di timur laut jauh Sabila, gemuruh juga hawa panas dari pabrik-pabrik Sisik Kayu turut membuka 353 Mirandi. Bahkan, cicit orang-orang di sini terdengar lebih meriah ketimbang lolong sangkakala dengan tabuhan genderang di sana.Aku, yang baru saja tiba bersama Oukubo, sampai terbengong sesaat membuka pintu ruang direktur.“Tu-tuan Mi?”“Ah.” Buru-buru kuusap wajah. “Selamat pagi, Tuan-Tuan, Nyonya. Ini hari pertamaku masuk kerja setelah libur panjang, maaf sudah membuat Anda semua menunggu.”“Tidak apa-apa, Tuan Mi.” Dominic, Kepala Serikat Neraca Padi, menyambutku. “Kami yang datang terlalu awal, bahkan kudengar direktur Anda masih melakukan inspeksi di pabrik Sisik Kayu.”“Silakan duduk ….” Aku berjalan ke mejaku, seberang meja direktur dan sebelah meja sekretaris. “Sambil menunggu nonaku, mari bicarakan proyek serbuk arang kita. Jujur, aku tak mau melewatkan kesempatan untuk menjadi pemasok utama aliansi delapan negara.”Kudapati wajah terkejut semua orang ketika berbalik usai mengambil berkas tahun kemarin.“Kenapa?” tanyaku, pura-pura kaget dengan reaksi mereka. “Bukannya serikat memang menandatangani perjanjian dengan Aliansi dan negara-negara di selatan, kita menjadi pemasok bubuk arang selama lima tahun sejak tahun kemarin, bukan?”Ketua Serikat dan orang-orangnya masih terdiam.“Oh, ayolah. Aku bukan cuma menyelidiki itu …,” kataku kemudian mengambil contoh acak, “Tuan Lilyad, kudengar Anda membuka pabrik arang sendiri di Singkawa. Tuan Jackson dan Ketua, Anda berdua bahkan diam-diam merekrut pekerjaku tahun kemarin. Kalian ini, benar-benar ….”Kugerak-gerakkan telunjuk pada mereka.“Sudahlah, aku bisa mengerti. Toh, tender terbuka macam pesanan kemarin memang kesempatan emas. Kita sama-sama pebisnis, tidak perlu ada yang ditutupi.”Sekarang, setelah tertangkap basah, orang-orang itu silih lirik dan tertawa garing—menyebalkan.“Haha, Tuan Mi.” Ketua mendekatiku. “Serikat terlanjur menandatangani kontrak dengan negara-negara di selatan, kalau kuota tahun kemarin tidak terpenuhi kerugian kita sangat besar. Terima kasih sudah mau mengerti situasi kami, tapi … tolong rahasiakan ini dari nona Anda.”“Aku bisa menutup mulutku,” jawabku lalu mengasongkan berkas dengan rencana tahun kemarin, “tapi di catatan ini Anda dan semua orang bilang tidak bisa membuat arang sendiri, bukan?”Ia menoleh ke orang-orang di belakang.“Nonaku mungkin tidak tahu, tapi selisih pada laporan penjualan kami tahun ini dan tahun lalu mungkin takkan luput dari pertanyaan kritis beliau.”“Ahaha. Aku paham, aku paham ….” Ketua menggenggam tangan dan mengayun-ayunkannya. “Saat kuota bulan ini terpenuhi, pabrikku dengan milik kelompok-kelompok lain akan kututup. Sisik Kayu pasti kembali jadi penyuplai utama serikat.”“Huh.” Satu sudut bibirku naik sebelum berdecak. “Cek! Ketua, aku bukan orang yang hanya mengincar keuntungan cepat. Namun, juga kestabilan jangka panjang. Itu kenapa kucegah Nona menyalakan semua kabin tahun lalu.”Ketua mengusap-usap jenggot sambil mengangguk.“Karena itu juga …, ketimbang menutup pabrik-pabrik Anda dengan milik kelompok lain serta mengurangi pemasukan serikat, kenapa tidak membiarkan kami mengelolakannya saja?”Sekali lagi, orang-orang ini pun melongo.“Aku tahu ini agak memaksa,” lanjutku lantas mengajukan proposal, “tapi dengan stok melimpah dan arus kas stabil, bukan tidak mungkin jika permintaan dari Aliansi akan naik dua atau tiga tahun lagi ….”Siapa peduli jika Ketua ataupun anggota-anggota lain punya pabrik arang. Selama arus produksi mereka bisa kupantau dan perang ini tetap kusetir Sisik Kayu gak perlu memonopoli pasar atau apa pun sebab semua akan tetap mengalir ke arah yang kumau ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 38 Akhir Tahun dan Agenda Tahun Depan

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kukira kau gak bakal pulang ….”Minggu kedua di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 352 Mirandi. Sekembalinya dari Dataran Tengah, delikan tajam dengan berondong pertanyaan langsung menyambutku di Kantor Utama Sisik Kayu.Nazila Trira, siapa lagi, segera mengintrogasiku terkait pembubaran Matilda Tengah serta alasan di balik aliran pasukan Aliansi yang Panji Kalajengking biarkan melintasi Distrik Timur Sabila beberapa bulan ini.Ia, bersama semburan tanda tanya dari mulutnya, membuatku tergelayut lemas di depan meja kerja.“Tri—”“Panggil aku Nona!” Telunjuk beliau memang mungil, tapi lebih keras daripada jarum langit. “Orang-orang ini memangkas pemasukan salonku empat bulan tera—”“Anda betulan buka salon, Nona?”“Iyalah!” sergah beliau, cekak pinggang dan melotot. “Kau pikir aku buka usaha apa di tempat yang banyak pendatang wanitanya ini, hah?”Kulambaikan tanganku, tak sanggup lagi meladeni beliau.“Kenapa denganmu, Tuan Mi? Jangan bilang capek, beri dulu aku penjelasan kenapa tentara-tentara dari selatan melin—”“Kampanye tahun depan,” jawabku, lesu. “Tahun depan mereka mau menyerbu Bravaria dari arah Xetum di Banori, Nona. Kalau Anda lihat peta, pasukan enam negara akan menyerang dari sana sementara kita membantu lewat samping.”“Samping?”“Mantrus.” Kutunjuk gambar di pojok ruangan, peta Kolom Satu dan Dua-Tiga Benua.Nazila Trira, cepat-cepat mendekati peta tersebut kemudian memeriksanya. “Maksudmu kalian, kalian—akh! Kenapa aku bisa gak sadar. Kalian membuka wilayah di tiga distrik Sabila sama menerima pendatang baru kemari untuk rencana ini.”“Pintar.”“Berisik!” bentak Trira sebelum hanyut dalam pikirannya, “aku gak butuh pujianmu ….”*** Merunut agenda yang telah kususun bersama Jambu dan para yoram empat panji, begitu musim semi tiba Bravaria akan ditekan dari tiga arah oleh aliansi tujuh negara. Sedang kami, Kara pada puncak konflik dan saat-saat kritis tersebut, akan mengirim proposal gencatan senjata dengan imbalan kedaulatan mutlak.Maksudku, ketimbang mengurusi Bravaria yang bisa digempur kapan saja, bukankah menyingkirkan bakal ancaman kedaulatan mereka dulu bakal lebih penting. Matilda Timur bersama penyintas dunia lain.Hanya, apakah rencana itu akan berhasil? Tidak ada yang tahu ….‘Aku merasa bodoh …,’ batinku memikirkan semua ini. “Kubo?”“Tuan.” Oukubo, ia tersipu membawakanku handuk. “Kau terlalu lama di Dataran Tengah.”“Ya.” Kuabaikan dirinya terus keluar dari bak, melapi badan, lalu melengos dari kamar mandi. “Kau benar, tapi sekarang aku tahu setebal apa tembok timur yang nanti akan kita dobrak—”“Bukan.” Ia tiba-tiba saja memeluk tubuhku dari belakang. “Maksukdku, kau terlalu lama membiarkanku kering ….”Oh. Mari lompati adegan berikutnya sampai ke besok pagi ….“Apa sesuatu terjadi selama aku tidak ada?” tanyaku, membuka obrolan ketika sarapan bersama Oukubo dan Dorothe. “Maksudku, Trira sama Sisik Kayu.”Dorothe menggeleng.“Hem.” Aku berpikir. “Berarti selain arang, Serikat tidak menaruh minat sama salonnya Trira, ya?”“Gak juga,” sambung Oukubo, ia mendekat lalu mengambil seiris kentang goreng dari piringku. “Ada dua regu dagang yang coba memodali beliau, Mutiara Merah Muda sama Selendang Mawar.”“Katanya tadi tidak terjadi apa-apa?” tanyaku lagi, melihat ke Dorothe.Oukubo kembali mengambil seiris kentang, menggigit separuhnya, kemudian meyuapkan sisanya padaku tanpa sungkan. “Memang bukan di Sisik Kayu, kok, Tuan.”“Terus?” Kuterima suapan tersebut, sekalian kuemut juga ujung telunjuknya sebentar.Ia bersandar ke bahuku. “Kalau kau percaya, Tuan, Trira menghasilkan sepuluh ribu keping perak empat bulan ini, beliau bahkan memasang lowongan dan buka cabang baru minggu kemarin.”“Benarkah?” Kusambar kentang di tangannya. “Itu kabar bagus—eh, ya, kalian sendiri gimana? Gak cuma malas-malasan doang, ‘kan?”“Hem.” Oukubo membetulkan duduk. “Dorothe selesai membaca semua buku astronomi di rak—”“Kau?” Kutengadahkan daguku, menunjuk dirinya. “Jangan bilang cuma main-main sambil mengurung diri di kamar macam orang depresi.”“Kalau ya kenapa?” tanyanya, mengasongkan pipi dan topang dagu membalasku. “Aku membayangkanmu setiap malam, Tuan. Aku menunggumu menggeraya—”“Cukup-cukup.” Kudorong wanita itu menjauh. “Kita bicarakan hasrat privatmu nanti …,” kataku kemudian menghadap ke temannya, “berapa persen ilmu astronomi yang berhasil kau serap, Dorothe?”Darah campuran elf—manusia itu menunduk, ia tidak berani menjawab langsung.Cek! Apa boleh buat. “Dorothe.” Kupanggil bonsaku. “Tongkat ini salah satu senjataku yang paling tua, dia bisa berubah bentuk jadi pedang dan merupakan andalan di perang besar pada masa lalu.”“Widih—”“Kau diam!” Aku melotot pada Oukubo yang tiba-tiba beranjak. “Biarkan aku bicara sama Dorothe dulu.”Melihat reaksiku, ia pun balik duduk, bersandar ke bahuku, lalu mencamili kentang di piring tanpa suara.“Aku akan menulis dekret.” Kembali pada Dorothe. “Pergilah ke Basilika, minta kapal induk sama meriam-meriam terbaik dari mereka, setelah itu berlayarlah di Sungai Snaxi hingga ke lautan musim semi nanti.”Kuserahkan Bonsa padanya.“Ini, bawa tongkatku sebagai bukti perintah.”“T-tuan?”“Tugasmu cuma satu: sergap rombongan pahlawan dan jangan biarkan kapal-kapal mereka berlabuh di dermaga sama pelabuhan-pelabuhan Parat.”Dorothe mundur dari meja, menerima tongkatku, kemudian berlutut.“Menger—”“Bawa ini juga.” Kulepas cincin perintah Panji Derik. “Kalau yoram-yoramku mengabaikan perintah setelah melihat cincinku, leher mereka boleh kau tebas.”Menurut Saintess, pahlawan dan penyintas akan sampai ke benua secara terpisah. Jika perkiraan tersebut benar, maka peluangku menang perang makin besar apabila menyingkirkan salah satunya terlebih dulu. Untuk itu, selain Bonsa sama cincin perintah, Dorothe juga kubekali kepala medusa dan Mutiara Long dalam misi ini.Aku gak mau ambil risiko. Meski Nazila Trira sekarang masih terbukti menjaga Kara dari serbuan Parat, kemunculan pahlawan di sisi mereka bisa saja membuat hal itu tidak lagi efektif. Jadi ketimbang menunggu sambil cemas mending kuambil langkah preventif …. *** “Tuan?”“Apa?” Kudorong kepala Oukubo agar menjauh dari bahuku. “Kau kedeketan, Kubo.”“Gak mau ….” Namun, ia malah makin menempelkan diri padaku. “Kita lagi di rumah, terus gak ada siapa-siapa juga selain kau dan aku, ‘kan? Kenapa enggak boleh deketan, hah?”“Kau mau aku melotot lagi?” ancamku, siap-siap buat menjuling.Yang, sialnya, malah dibalas pakai dekap erat sama rengekan. “Aaa, gak mauuu ….”Lama dirinya begitu sampai ….“Apa Rere juga dapat senjata sama barang-barang baru?” Ia membuka obrolan dengan nada curiga dan penasaran. "Tuan, apa Merike kau hadiahi senjata atau benda ajaib di Dataran Tengah?”“Enggak.”“Massa?” Oukubo manyun. “Gak percaya. Kalau Dorothe saja dikasih sebanyak tadi mana mungkin budak kesayanganmu yang paling montok enggak dapat apa-apa. Bohong, ah.”Kujulingkan mataku dengar omongan barusan.“Cek! Kau pikir kalian itu apa, hah?”“Kami?” Ia tunjuk muka sendiri. “Wanita-wanitamu, ‘kan? Meski bukan istri sah, aku tetap—”“Cukup-cukup.” Aku gak mau dengar lagi. “Kau sebetulnya mau apa, Kubo? Bilang saja terus terang.”“Jawab dulu. Apa Rere juga dikasih senjata sama barang-barang ajaib?”“Enggak.” Kugelengkan kepalaku. “Aku gak ngasih Rere apa-apa di Dataran Te—”“Jujur!”“Iya.”“Jujur!” Matanya melotot. “Kalau enggak, aku ngambek nih.”“Dih.” Spontan aku menoleh dan membuat jarak dengannya. “Apa-apaan kau, Kubo? Memangnya—”“Tuaaan ….” Ia merengek lagi, kali ini sambil menitikan air mata. “Aku nangis, nih.”“Hah.” Kujulingkan mataku, sebal meladeni wanita jenis ini. “Aku gak ngasih Rere sen—eh, bentar! Kotak senapanku kutinggal di sana, sih. Cuma, itu gak dihitung memberi, ‘kan?”“Kan!” Oukubo memeluk lenganku, erat. “Rere juga dapat senjata.”“Kubilang dia kutinggal, bukan kuberi—”“Tapi Rere menjagakannya buatmu, ‘kan?” potong Oukubo, pindah jadi berlutut di depanku. “Tuan, kasih aku senjata ajaib juga. Merike sama Dorothe sudah dapat, tinggal diriku yang belum.”Kulihat dirinya tanpa bilang apa-apa.“Ya. Ya-ya. Ya-ya-ya?”Lama kutermenung memperhatikan tingkah Oukubo. Dia yang begini mengingatkanku pada Mihu, istri yang kumakamkan dekat Rumah Kecil. Rengekannya pas mau sesuatu sama persis ….“Kasih, ya, Tuan?”Aku tersenyum lantas menengadah.“Baiklah, tapi jangan rewel lagi—”“Baiiik!” Ia langsung merangkul dan memeluk-ciumiku. “Aku akan telentang tiap malam khusus buatmu, Tuan—muah ….”Entah apa yang kupikirkan ketika itu.Namun, kadung bilang mau ngasih, jadi kukeluarkanlah Toro lalu memberikannya pada Oukubo. Tongkat sihir dari ranting pohon suci dengan jantung naga yang katanya Salsabila cari-cari.Sekarang. Selain Mutiara Ungu dengan Pisau Liuk, senjataku tinggal Cakram Delima Ungu. Pisau melingkar yang ditempa Linci saat aku berguru di Puncak Teratai Salju bersama Xin-Xin ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 37 Kawan Lama

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ayah.”Aku tersenyum menyambut Alexa yang pulang hari ini.“Bagaimana kondisimu, kau sudah baikan, ‘kan?”“Lihatlah sendiri.” Kuputar badan di depan anak itu. “Apa ayahmu ini kelihatan masih gak berdaya, hah?”“Hahaha.” Alexa memeluk pinggangku. “Aku senang kau sudah baikan, Ayah. Ah, ya ….” Ia menuntunku ke luar gerbang. “Ayo temui guru sihir penyembuhku, Nona Wanyan.”Guru sihir penyembuh?“Nona Wanyan, ini ayahku.”Wanita muda, seorang elf hitam.“Salam, Nona. Aku ayahnya Lexa, maaf jika putraku merepotkanmu selama di sekolah—ah, mari-mari, kita bicara di dalam. Tidak enak mengobrol di depan gerbang begini ….”Sesaat kemudian, di halaman belakang—tempatku biasa menjamu tamu.“Silakan dicicipi, anggap saja rumah sendiri.”“Terima kasih, Tuan Mi.” Senyum gadis itu sangat manis, sikap dan pembawaannya juga elegan. Kukira ia adalah keturunan bangsawan ras peri hitam dari Hutan Pilar Hitam di Kolom Empat-Empat. “Ah, ya, diriku kemari sekalian mau mengantarkan surat.”“Surat?”“Benar.” Gadis itu merogoh kantong dan mengeluarkan sepucuk amplop. “Saintess menitipkan surat ini untuk Anda. Beliau bahkan berpesan, biarawati kami sangat kewalahan di perbatasan, Tuan Mi.”“Oh. Aku mengerti.” Kuterima surat darinya lalu kubuka ….Selesai kubaca. “Tolong sampaikan pesanku pada Saintess, orang-orangku sedang di perjalanan.”“Akan kusampaikan ….”Tidak seperti tamu-tamu sebelumnya. Guru sihir penyembuh Alexa hanya mampir sekejap. Ia lekas undur diri begitu diriku membuka surat dan memberi pesan balasan untuk Saintess ….“Ayah, mana Nona Wanyan?”“Sudah pulang,” jawabku, melengos ke ladang dan balik pada kegiatan sebelum Alexa memanggilku dari pintu depan beberapa saat lalu. Memetiki daun-daun herba buat diolah.Sementara Alexa, yang sempat mematung sembari menenteng nampan dekat kursi malas dan meja tamu, cuma memiringkan kepala lantas merebah dan mencamili kue-kue kecil di sana.Hari itu, minggu ketiga Bulan Delapan 352 Mirandi, rencanaku mengalami percepatan.Bangsawan-bangsawan yang terusir dari Dataran Tengah tempo hari kini mengatur tentara di perbatasan Kolom Tiga dan Empat-Tiga, memblokir Jalur Benang dan kompak melakukan aksi mogok makan massal—meminta Saintess agar membuka kembali zona netral untuk Kekaisaran Matilda.Hal yang bikin penerus Salsabila sakit kepala sampai mendesakku segera mengirim orang ke perbatasan buat menangani mereka ….*** Satu bulan kemudian. Suruhan Jambu buat membantu Kuil Widupa menangani para demonstran sebelumnya pun tiba. Mereka bandit-bandit yang pernah kubicarakan dengan Merike awal musim gugur ini.Laskar Kunci Rusak ….“Kau serius garong-garong itu suruhan orangmu, Mi?” tanya Saintess, waktu ia bertamu ke Baruke. “Bukan maksudku enggak percaya, tapi apa gak ada tentara yang lebih profesional. Yang kita hadapi sekarang—”“Aku juga gak mau mengirim mereka,” timpalku yang lalu menjelaskan, “tapi apa boleh buat. Yoram panji gorgonku kadung membayar bandit-bandit ini buat mengusir para simpatisan Matilda dari halaman kuil widupamu, ‘kan?”“Hah ….” Saintess merebahkan diri di sofa ruang tamuku. “Tahu begini aku gak bakal minta bantuan, da.”“Nasi sudah jadi bubur.”“Eh, ya, Mi. Peta yang lagi kau gambar itu bukan Kolom Empat-Tiga, ‘kan?”“Hum.” Kuabaikan dirinya dan coba fokus pada pekerjaan, menggambar alur suplai dengan jalur lalu lintas pasukan bantuan untuk kampanye aliansi delapan negara tahun depan.Kegiatan yang, tentu saja, tidak bisa lolos dari mata penasaran Saintess. “Oi, jawab. Ini peta kolom mana?”“Tunggu aku selesai dulu,” kataku, berusaha fokus. “Nanti juga kukasih tahu—”“Ogah!” sergahnya, menyambar peta setengah jadi tersebut. “Coba kulihat ….”Ingin rasanya kujambak gadis tengil ini dan memakinya sampai pekak, tapi apa daya. Kalau bukan gegara status kami sebagai sekutu, nasibnya sudah kubuat macam Sabrina—saintess sebelum Salsabila.“Ini Kolom Dua-Tiga?”Aku menjuling.“Ya, ya, ya … gak perlu melotot padaku, aku cuma mau memastikan saja.” Ia mengembalikan petaku lantas balik merebah di sofa. “Ah, ya. Soal permintaanmu kemarin, Tikar Dagang mengirim pembawa pesan.”Mataku lansung mendelik, melihat Saintess penuh harap.“Semalam dia muncul di pagodaku, setengah dupa sebelum aku merapal suar glorian.” Sekarang gadis itu kelihatan kesal. “Kelompok ini benar-benar sesuatu, datang dan pergi sesukanya—Cih!”“Apa orang itu bilang sesuatu?”“Katanya, mereka gak bakal turut campur pada perang kalian dan takkan memihak ataupun membantu pihak mana pun.”“Terus permintaanku?”“Mereka bilang, senapan rundukmu, mitraliur, semiotomatis, dan senapan-senapan serbu sama aksi baut sudah gak diproduksi lagi. Sejak sage sebelumnya, Kawasan Kemah Tikar Dagang cuma menjual amunisi—entah apa maksudnya.”“Hem.” Kugulung petaku lekas menyimpannya ke laci rak pojok ruangan. “Mereka benar-benar persisten, aku gak bisa maksa kalau begitu caranya.”“Kenapa kau mau pesan senjata ke mereka, bukannya kalian sudah punya para kurcaci, Mi?”Menoleh Saintess, kukeluarkan kotak senapanku. Vey.“Apa itu?”“Ini, Vey, kotak senapanku ....”*** “Soal barang yang kau tunjukkan di ruang tamu ….” Saintess menoleh sebelum naik ke kereta. “Leluhurku takkan ragu buat mengeluarkan semua harta Kuil Widupa demi benda itu, kuharap dirimu jangan pernah menunjukkannya di hadapan beliau.”“Aku mengerti.”Sudut bibirnya naik.“Baguslah ….”Minggu keempat di Bulan Sembilan. Urusan di Dataran Tengah akhirnya selesai. Aku telah mendapat jawaban atas rasa penasaran belakangan ini dan bisa lanjut pada rencana kampanye tahun depan. Kemah Tikar Dagang masih ada. Meski tidak bersedia membantu macam di perang Kyongdokia—Jian Seng mereka juga takkan menjadi lawanku dalam perang besar sekarang.Berkat dua hal itu saja diriku kini bisa bernapas lega, takkan ada masalah buat semua rencanaku dan Kara ke depannya. Sisanya cuma ….“Re, tolong kemaskan beberapa baju dan siapkan kereta untuk besok. Hari ini aku mau melihat Alexa.”“Tuan, a—”“Kau tinggal sini,” selaku, menebak pikirannya. “Siapa nanti yang akan menjaga anak manja sama rumahku ini kalau bukan dirimu, Re?”Ia menunduk, memberi hormat, kemudian undur diri.“Ah, ya!” Kutahan langkahnya sebentar. “Aku mukin pulang telat malam ini, kau gak perlu menungguku.”Merike mengangguk lantas berlalu dan menutup pintu ….*** “Sore, Paman.”“Ah, kau datang lagi!” Pemilik toko herbal yang pernah kudatangi terbelalak dan menjatuhkan swipoa dari tangannya pas melihatku. “Buat apa dirimu kemari, hah?”Aku menjuling sebelum mendekat ke mejanya.“Singkirkan tanganmu dari mukaku, Paman. Aku kemari buat jual herbal—lihat ….” Kukeluarkan lima ratus butir Embun Rumput Bulan, tujuh puluh dua Pemadat Inti, seratus lima puluh Pemudar Aura, dan enam puluh Peluruh Residu Elemen ke atas meja. “Total ada 782 pil. Bagaimana, hebat, ‘kan?”Ia kini ternganga.“Aku tidak akan mengambil harga penuh,” lanjutku, “cukup beri aku enam puluh dua platinum untuk Pil Pemadat Inti sama Embun Rumput Bulan, sisanya kuberikan padamu gratis.”Entah gegara kelewat senang, kaget, atau apalah penyebabnya. Ketika itu si pemilik toko malah terduduk ke belakang, bengong, lalu kejang-kejang. Membuat beberapa orang di sana histeris dan cepat-cepat memanggil tabib.Setelah dirinya siuman pascaperawatan ….“A-aku di mana?”“Hah ….” Tabib yang memeriksa si pemilik toko menggeleng. “Kau harus berhenti makan daging kambing. Lihat dirimu Dong Tua, kejang-kejang macam kena ayan.”“Aku kenapa?”“Kau gak sadarkan diri ta—”“Kau!” Ia menunjukku. “Aku ingat. Kau membawa banyak pil ke tempatku—ahaha … Alkemis …, Alkemis Hebat, tokoku cuma toko kecil, tolong jangan permalukan diriku lagi. Kumohon, Alkemis ….”Semua orang buang muka lihat dia merengek di kakiku.Membuatku jadi merasa bak penjahat di rung rawat tersebut.“Paman, kau ini bilang apa?” Kupaksa dirinya bangkit. “Aku ke tempatmu karena tokomu satu-satunya di sini yang bisa menjual Bunga Hantu kemarin, diriku sama sekali bukan mau mempermalukanmu.”Kusapu lirikan semua orang sekilas.“Lihat, orang-orang jadi melihatku buruk, ‘kan?”“Tapi, Alkemis!” Si pemilik toko berkeras. “Kau hari ini membawa terlalu banyak obat ke tokoku. Aku tidak sanggup membelinya, apalagi pil-pilmu jenis obat spiritual.”“Obat spiritual?” Tabib yang baru saja merawat paman pemilik toko tiba-tiba nimbrung. “Maksudnya obat ki khas para pertapa, hah?”“Be-benar, Tabib Cha. O-orang ini membawa empat peti obat spiritual ke tempatku, bagaimana aku tidak ayan, hah? Coba kau bayangkan.”“Benarkah?” Sang Tabib tampak antusias. “Bo-boleh kulihat obat-obat Anda, Tuan Alkemis?”Menangkap sikapnya sebagai peluang, kukeluarkan pil-pil tadi di depan mereka.“Semua 782 butir: 72 Pemadat Inti, 500 Embun Rumput Bulan, 150 Pemudar Aura, sama 60 Peluruh Residu Elemen. Kujual enam puluh platinum dalam bentuk perak atau perunggu, tidak menerima kasbon.”Ia, si tabib, melongo sebentar sebelum menawar.“A-aku akan membelinya, t-tapi tabunganku cuma empat puluh lima platinum.”“Kalau begitu tidak u—”“A—tunggu-tunggu-tunggu!” Dia menahanku. “Beri aku waktu, enam puluh platinum saja, ‘kan?”“Ya.” Kulihati dirinya sekilas lalu melipat tangan dan membuat alasan. “Harusnya kujual lebih, tapi karena cuci gudang harga segitu kurasa juga cukup.”“Baik.” Transaksi pun dibuat, Klinik Tabib Cha memborong pil-pil tersebut dan aku mendapat enam puluh platinum dalam bentuk enam ratus ribu keping perak zaman ini pada malam tersebut.Dan, sebelum pergi, kuberi paman pemilik toko juga orang-orang yang mengantarnya tiga ratus lima puluh keping perak buat hadiah sebagai saksi. “Nah, urusanku sudah selesai. Tabib Cha, Paman, Semuanya, aku pamit. Terima kasih banyak, sampai jumpa ….”Selepas dari klinik, aku pun lanjut ke Kuil Widupa lalu menemui Alexa sesuai rencana. Memberi tahu anak itu jika diriku akan kembali ke Sabila besok dan dia gak perlu pulang ke Baruke setiap minggu mulai musim dingin nanti ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 36 Praperang Besar

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ayaaah!”Hari-hariku di Baruke berlanjut.Satu mingu sekali Alexa pulang membawa teman, satu demi satu dia kenalkan dan menjadi akrab dengan situasiku bersama Merike. Kadang para pengajar di kelasnya juga ikut berkunjung, membuatku yang biasa menyuling obat dengan tenang beberapa kali meledakkan tungku.Namun, sebagai ayah yang baik, aku selalu pasang muka senyum serta berusaha agar tampak gembira bila menyambut mereka di depan Alexa.“Siapa ini, Lexa?” tanyaku, waktu menyambut tamu baru kami. Alexa, seperti biasa, semringah mengenalkan orang yang mengikutinya. “Ini guru alkimiaku, Ayah. Alkemis Florin. Profesor Flo, ini ayahku.”“Ah, Profesor Florin.” Kupersilakan dirinya masuk. “Mari-mari …, tidak enak berdiri di pintu gerbang lama-lama—Reee! Tolong bawakan sepoci teh sama beberapa camilan buat tamu kita.”Sesaat kemudian, di halaman belakang rumah.“Kuharap Lexa tidak merepotkan Anda di sekolah, Profesor,” ujarku, membuka topik obrolan dengan sang guru alkimia. “Anak itu sangat periang, terlalu bersemangat bahkan. Aku selalu cemas bila mengingatnya.”“Hahaha.” Pria di depanku mengusap janggut. “Anda bisa saja, Tuan Mi … kalau boleh jujur, diriku sangat terpukau dan punya harapan pada bakat putra Anda.”Klise. Hampir tiap pengajar yang Alexa bawa menyinggung bakat anak itu, tapi diriku sendiri belum pernah melihat apa bentuk bakat tersebut.“Alexa?” Kupasang muka terkejut. “Aku baru tahu dia punya bakat di alkimia.”“Di antara semua yang pernah kuajar ….” Profesor Florin mencondongkan badan. “Kurasa hanya Laye—”“Ayaaah!” pekik Alexa dari lantai dua, menjeda obrolanku dan si profesor. “Pot bunga hantuku mana, aku gak bisa menemukannya di kamar.”“Pot bunga hantu?”“Benar. Aku mau menunjukkannya pada Profesor Flo.”“Tanya Rere …,” kataku terus balik duduk bersama guru alkimianya. “Lihat sendiri, ‘kan, Profesor. Anakku sangat aktif, energinya me—ah, Anda mau bilang apa tadi?”“Oh.” Sang profesor memperbaiki gestur. “Hanya Layeli yang sebanding dengan putra Anda, Tuan Mi.”“Siapa Layeli?” tanyaku, memicingkan mata. Prof. Florin berdeham kemudian berkata, “Salah seorang binaan Saintess, jenius alkimia di Kuil Widupa.”Kuangguk-anggukkan kepalaku.“Meski belum semahir Layeli, Alexa punya potensi ….”Aku tidak akan kaget. Semua pengajar yang dibawa Alexa mengatakan hal senada. Namun, tidak satu pun terbukti pas diriku turun langsung buat memeriksa anak itu.Entah karena standarku yang ketinggian. Atau, mereka cuma sedang menjilat dan bicara omong kosong.“Ngomong-ngomong, Tuan Mi, apa Anda seorang herbalis?” tanya Prof. Flo, sesaat diriku membuka kipas dan melihati ladang di seberang kami. “Tanaman-tanaman ini bahan pil dengan ramuan obat, bukan?”“Huh.” Satu sudut bibirku naik. “Aku hanya amatir, Profesor. Tanaman-tanamanku kutanam sebagai hobi, bukan sesuatu yang layak Anda lirik.”“Tuan Mi—”“Ayah!” Lagi-lagi, pekikan Alexa membuatku dan sang guru alkimia menoleh. “Rere bilang kau menumbuk bunga hantuku kemarin ….”Aku keluar dari kursi malas lalu mendekat kepadanya.“Ah, benar.” Kukeluarkan botol serbuk racun tersebut. “Aku baru ingat. Bunga putih di kamarmu, ‘kan? Ini dia, sudah kugerus jadi serbuk.”“Ih, Ayaaah!” Ia menyambar botol kramik di tanganku. “Aku mau menunjukkan bunga itu kepada Prof. Flo hari ini, kenapa malah kau tumbuk?”Kugaruk kepalaku menerima keluhan Alexa.“Mau bagaimana,” kataku lantas jongkok di depannya, “bungamu sudah mau layu, Lexa. kalau gak kugerus dia bakal kering di pot—”“Itu bungaku!” jerit si bocah sebelum kemudian membanting botol Gerusan Sari Bunga Hantu tadi hingga pecah. Prank!Tindakan yang sontak membuatku mendorongnya mundur dan teriak, “Awas, Lexa!”*** “Ayah …, Ayah!”Sekian saat kemudian. Kudapati Alexa menangis di pinggir ranjang bersama Merike.“Kau sadar, Ayah.”“Memang aku kenapa?” tanyaku, melirik semua orang di kamarku sekilas. “Kenapa, kenapa kalian semua di sini …, Prof. Florin, Saintess, Nyonya Laura, teman-temannya Lexa?”“Maafkan aku, Ayah.” Alexa memeluk pinggangku erat. “Aku gak sengaja meracunimu ….”Racun? Oh, aku mengerti.“Alexa, sekarang ayahmu sudah siuman,” ucap Saintess, tanggap menangkap maksud lirikanku. “Biarkan dirinya istirahat, Nak. Prof. Flo, tolong bawa Alexa dan semua orang keluar.”“Baik, Nona.”Ketika hanya sisa diriku, Merike, dan Saintess saja di sana.“Kau benar-benar—”“Hei!” jeritku, merespons sentilan tangan Saintess yang tiba-tiba ke keningku. “Aku masih sakit di sini.”“Masih sakit palamu,” timpal sang mercusuar sihir glorian, cekak pinggang di depanku. “Kau tahu, Alexa histeris memintaku memeriksamu tadi siang. Dia bahkan mengancam akan membakar altar persembahan kalau aku gak mau datang kemari.”“Anak itu ….”“Lain kali jangan pura-pura mati lagi.”“Pura-pura mati?”“Jangan memasang muka polos di depanku, Mi!” Telunjuk gadis itu mencuat ke mukaku. “Jangan pikir aku gak tahu, ya. Penerima berkat istana naga kebal segala racun di benua, Sialan.”“Hehe.” Kuangkat tangan sebahu, menyerah. “Aku cuma mau menggoda Alexa sedi—”“Tapi bukan dengan membuat anak itu kalap juga, Brengs*k!” makinya, segarang Salsabila. “Kau tahu aku sedang memimpin pertemuan dengan para delegasi Matilda Timur, meninggalkan mereka ketika diskusi berlangsung sama saja dengan menyatakan perang.”“Bukannya kita memang mau memerangi mereka?” timpalku, menepis tangan Saintess dari tali jumsuit-ku. “Dengar. Dengan ataupun tanpa pertemuan di istanamu, Dataran Tengah tetap akan jadi ceruk konflik. Anggap saja aku memotong tali kemunafikan dan kepura-puraan kalian tepat sebelum Matilda kembali ke benua utama.”“Kau—” Kata-kata Saintess tertahan sebentar, entah gegara apa. “Pokoknya aku ogah terlibat. Urusanmu sama penyintas zaman ini gak boleh sampai menyeret dataran tengahku, paham?”“Aku tahu ….” Diriku turun dari ranjang lantas mendekat ke jendela. “Dari dulu kesibukan di kota-kotamu memang gak pernah tersentuh konflik dua sisi benua. Kalian macam berada di dunia lain ….”Merike mendekat waktu aku menoleh.“Kirim merpati kaki ungu ke Taria, panggil Jambu sama unit khususnya buat bersiap di Distrik Timur Zona Netral. Ah, ya, kirim juga merpati kaki merah dengan ikat kain hijau ke Sabila.”Setelah Merike berlalu ….“Kudengar pasukan Kara sekarang punya tiga panji baru, yakin mereka akan setia padamu, Mi?”“Gak,” jawabku, duduk di kursi pojok ruangan. “Mereka akan menikamku ketika waktunya pas, gak perlu repot menghabiskan tenaga buat meramalku. Daripada itu, kau yakin delapan bintang benua akan keluar sebelum penyintas dan pahlawan pulang?”Lama ia termenung di sudut jendela sebelum menjawabku.“Penglihatan yang kudapat dari cermin jendela waktuku menunjukkan bayangan seorang pertapa tengah membawa mutiara bintang benua tepat sebelum pertempuran di timur pecah,” ujarnya, melipat tangan ke arahku. “Kesimpulanku para bajing*n itu akan terhambat atau sesuatu terjadi sebelum perang besar.Jika bukan dirimu, pertapa mana lagi yang punya kesumat mendalam terhadap mereka?”“Kau yakin diriku yang membawa mutiara bintang benua di sana?”Ia tidak menjawab.“Salsabila gak pernah dapat gambaran jelas pas meramal masa depan lewat cermin ajaib kalian,” jelasku, menoleh ke langit seberang jendela. “Jika dirimu benar-benar melihatku dalam cermin itu, berarti saintess zaman ini lebih hebat daripada di zamanku.”“Buang pujianmu. Kemampuanku adalah hasil pelatihan leluhur, sehebat apa pun itu gak mengubah fakta bahwa merekalah peletak fondasi awalnya.”Nada bicara gadis ini terdengar hipokrit buatku.“Aku gak tahu apa perjanjianmu dengan leluhur, tapi setiap pagi beliau selalu memintaku mendekatkan salah seorang murid dengan Alexa. Aku kemari sekalian mau memastikan hal itu, Mi,” akunya, “apa kau menjanjikan sesuatu kepada Kuil Widupa di luar zona netral?”Satu sudut bibirku naik.“Barang yang diminta leluhurmu buat permintaanku cuma palu delima yang kalian taruh di Altar Jiwa hari itu, gak ada hal lain lagi.”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 35 Apa Tujuannya

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Aku pulaaang ….”Minggu pertama Musim Gugur. “Lexaaa!” pekikku, berlari dari halaman samping. “Jangan menginjak hala—”Bdum! Aku terlambat.“Ayaaah!” Anak itu sudah blepotan kena tumpahan lumpur.Biar kujelaskan apa yang lagi kulakukan.Dua hari lalu ….Ketika melihat papan iklan sebuah toko. “Paman, di depan kulihat ada gambar Rumput Bunga Hantu. Apa Anda masih punya?”“Kalau papan itu masih di sana berarti masih ada …,” jawab sang pemilik toko, ketus, ia melirikku dari atas sampai bawah kemudian melipat koran di tangannya. “Apa kau seorang alkemis, dari serikat mana?”“Aku ….” Kugaruk pipiku. “Aku bukan dari serikat mana-mana?”“Oh, alkemis nganggur.”Sialan, tapi dia benar. Aku memang menganggur.“Anda bisa saja, Paman.” Percuma kuberikan alasan juga, faktanya diriku memang tidak punya pekerjaan apa-apa di Dataran Tengah. “Ah, ya, soal Rumput Bunga Hantu tadi—”“Kujual delapan keping emas,” selanya, menaruh tangan kiri di atas meja dan menatapku. “Herba ini sudah sangat jarang di pasaran, sekalinya ada alkemis biasa takkan melirik karena metode penanganan racunnya yang rumit. Aku tidak mau rugi, jadi kujual dia delapan emas.”“Boleh kutawar, ‘kan?” tanyaku, menempelkan tangan ke mejanya antusias. “Aku juga mau beli beberapa herba lain, jadi tenang saja, Paman. Kau gak akan rugi.”“Hem.” Ia memalingkan badan sekian derajat sambil melipat tangan dan mengelus janggut. “Lima persen, tidak boleh minta le—”“Dua puluh!” tawarku yang lalu menambahkan barang lain, “aku juga butuh Lilin Salju sama Mutiara Ungu, potongan lima persen apa bedanya dengan harga penuh?”“Bunga dengan Rumput yang kau minta bukan barang biasa,” timpal si pemilik toko, “modal mencarinya juga sangat tinggi, jangan menyulitkanku. Sepuluh persen atau tidak sama se—”“Setuju!” sambarku yang lekas menaruh sekeping platinum, “beri aku juga ….”Selanjutnya, kusebutkan nama-nama herba yang kumau hingga total harga dikurang diskon tadi pas satu platinum koin di atas meja. Membuat sang pemilik toko ternganga setelahnya ….“Kau benar-benar memerasku.”“Selain menyuling pil dan menyeduh ramuan, aku juga harus pandai menghitung, Paman. Kalau tidak tahu harga bahan-bahan obat, bagaimana aku akan menakar ramuanku?”“Paling tidak beri aku kesempatan untuk menghasilkan uang …,” keluh si pemilik toko, tepat sebelum ia menaruh bungkusan herba kering terakhir bersama pesanan-pesananku di atas meja. “Sudah semua, kau boleh memeriksanya lagi kalau mau.”“Aku percaya padamu, Paman ….”Selesai berbelanja bahan herbal hari itu aku jadi kepikiran untuk membuat tungku sama kuali alkimia baru, karena ini jugalah dari kemarin kuaturkan formasi ‘lumpur merah spesial’ di halaman depan.Siapa sangka. Alexa ternyata bakal pulang terus masuk ke formasi pelentur aura dan meledakkan adonan lumpur ajaiku itu hari ini ….“Sudah. Badanmu sudah bersih lagi. Sana ambil baju.”“Lain kali jangan memasang hal aneh di halaman depan, Ayah,” keluh anak itu, selesai kumandikan pinggir kolam belakang. “Untung cuma bom lumpur.”“Hush!” Aku bangkit lantas mengambilkan baju buat temannya. “Kau juga kalau pulang kasih kabar, jangan menyelinap kayak maling macam tadi. Lihat temanmu, jadi ikutan kena jebakan, ‘kan—”“Aku sudah tulis surat, Ayah.”“Benarkah?”“Tanya Zola.” Alexa menoleh temannya. “Dia saksinya kalau aku sudah menulis surat kemarin.”Kulirik temannya.“Be-benar, Paman. Alexa sudah menulis surat, tapi dia lupa untuk mengirimkannya.”“Hah?” Aku mendelik, sekaligus ingin tertawa dengar keterangan barusan. “Kau menulis surat terus lupa buat mengirimnya itu sama saja dengan tidak, Lexa.”Anak itu berbalik, selesai mengikat pinggang pakaiannya.“Setidaknya aku sudah berusaha ….”*** “Ah, ya! Ayah, Zola ini murid utama Kuil Widupa. Dia yang termuda dan paling pintar di antara lima belas asuhan Saintess ….”Ini kali pertamaku melihat Alexa memuji seseorang. Biasanya anak itu tidak mudah terkesan serta jarang sekali mengakui orang lain di depanku, bahkan waktu kami bertemu Saintess pun wajahnya gak seantusias ini.Apakah anak yang duduk sebelahnya benar-benar hebat?“Sudah-sudah ….” Kulap pipi Alexa. “Makan dulu yang benar, nanti baru puji temanmu lagi.”“Hehe.” Ia nyengir kemudian menoleh pada temannya. “Tambah lagi laukmu, Zola ….”Zola, pria mungil sebelah Alexa ini memang gak biasa—harus kuakui. Tubuh kecilnya cukup padat buat ukuran anak-anak, dan ketenangannya juga lebih halus ketimbang penampilan luar yang masih muda. Pantas disukai Saintess.Apa mungkin ….“Namamu Zola, ‘kan?” Kudekati teman Alexa itu pas dirinya duduk sendiri di halaman belakang. “Aku suka Rumput Bulan, makanya halaman ini kupenuhi sama mereka.”Ia melihatku, tapi tidak mengatakan apa-apa.“Ah, haha … aku akan jujur padamu. Zola, apa putraku bikin masalah selama di sekolah?”Zola menggeleng.“Syukurlah. Kau tahu, Alexa sangat aktif. Aku takut bila dia bakal bikin ulah di—”“Ayah!” pekik Alexa dari belakang, membuatku dan temannya berbalik spontan. “Jangan merusak citraku kepada Zola, ya. Aku ini murid utama Saintess juga, tahu.”“Aku gak bicara buruk tentangmu, kok.” Kugaruk pipi dengar keluhan anak itu. “Tanya temanmu, apa aku barusan menjelekanmu apa tidak?”“Zola, jangan terhasud omongan ayahku ….” Ia meraih lengan temannya kemudian pergi. “Kita ke kamarku saja, biar kutunjukkan buku-buku koleksiku.”Hem. Melihat mereka berlalu diriku jadi makin penasaran.Kemarin Salsabila memintaku melatih anak dengan berkat para kurcaci, sekarang Alexa membawa teman unik ke rumah, jika mau iseng hal ini jadi berkaitan kalau ingat watak si bekas saintess.*** “Apa Alexa sudah tidur?”“Sudah—ah ….”Kutarik Merike agar berbaring.“Hari ini adonan lumpurku hancur,” ucapku, perlahan mengelus pipi sembari menatap wajahnya. “Besok aku mau pergi buat nyari bahan baru. Kau gak papa sendirian di rumah, ‘kan, Re?”Elf putih satu itu tersenyum, manis sekali, dia balas menatapku serta berani meyambar puncak bibirku sebelum lanjut bersuara. Cup!“Aku akan menunggu ….”“Kau—” Hingga, diriku pun lupa diri. Daya sensual Merike merasukiku. Kudekap ia erat, kuciumi, serta kuendus lehernya berkali-kali dalam ketidakberdayaan diri yang makin dan makin membuatku bergairah. Kuusap, kuremas, bahkan kuselisik pangkal rambut juga kepalanya kala itu.Aku menjadi liar.Terutama saat lenguh dari mulutnya menggetarkan dadaku. “Tuan ….”Mari lompati adegan ini sampai beberapa ‘gebrakan’ ke depan ….“Kau masih bangun?” bisikku, pelan-pelan membuka mata dalam dekapan Merike.Ia mengusap janggutku, memelintir, lalu menarik wajahku padanya. “Aku bangun duluan.”“Kukira kau gak tidur, Re? Baguslah ….”“Kenapa, takut aku gak puaskah?”‘Obrolan macam apa ini?’ batinku sebelum ganti topik, “Ngomong-ngomong, Re, kudengar bandit-bandit, rampok, begal dan para pencuri membuat persekutuan di Hutan Purtara. Menurutmu, apa mere—”“Kurasa kau jadi lebih serakah daripada biasanya akhir-akhir ini …,” sela Merike, menempelkan kening ke pelipisku. “Apa terjadi sesuatu padamu, Sayang?”“Ya.” Kutarik dirinya supaya kami makin lekat. “Aku mulai memikirkan kemungkinan lain, Re.”Hening sekejap.“Jika Kuil Widupa merilis purwarupa senapan lontak baru dan menyebarluaskan cetak birunya, bukankah ada kemungkinan kalau Matilda punya versi yang lebih canggih dari itu?”“Oh, jadi kau khawatir bila musuh ternyata menipu kita.”“Wanita itu datang dari dunia yang melampaui Eldhera di segi teknologi, Re.” Kusibak rambut elf yang lagi merebah di tubuhku. “Meski tanpa sihir, senapan mereka sanggup menembus tengkorak di jarak tiga ribu meter bahkan lebih. Belum lagi bom nuklir yang—”“Bukankah kita juga punya para penyihir?”Kuperhatikan Merike saksama, ia masih setenang biasanya.“Jika ketakutanmu terbukti, benar Kara hanya perlu melipatgandakan kekuatan …,” ujarnya, mendekapku erat dan mendekatkan bibir ke kupingku. “Akan tetapi, jangan sampai salah mengambil langkah ….”Bisikannya membuatku merinding.“Saat perang selesai dan benua kembali damai, bukankah semua orang juga harus kembali pada kebiasaan lama mereka?”Sekaligus mengingatkanku pada tujuan awal kenapa perang dengan Matilda ini kumulai ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 34 Perjanjianku dan Salsabila

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

Setelah pertemuan dengan Saintess dan Salsabila, Dataran Tengah kini kembali menjadi zona netral. Bukan lagi Matilda atau anak kekaisarannya, bukan pula kerajaan yang hanya menaungi ras manusia. Akan tetapi, zona bebas konflik serta muara peradaban tiga benua besama para penghuni-penghuninya—kecuali monster, tentu saja. Ada regulasi khusus mengenai ini.Intinya Dataran Tengah yang kukenal telah kembali. Meski, ya, harga yang kubayar untuk itu sangat mahal.“Aku mau kalian kembali ke Dataran Tengah yang kutahu dan Bonsa akan kutinggalkan di sini ….”Salsabila hanya senyum kecil dengar tawaranku.Aku tahu. Baginya, harta benua bukan lagi sesuatu untuk dilirik. Meski tongkatku tidak ada duanya, hal itu tidak serta merta menjadikan gadis serakah ini menyetujui proposal tersebut.Dia, Salsabila nan sangat kukenal, meminta hal lain yang jauh lebih menakutkan.“Jujur saja, aku sudah menjelajahi seluruh benua satu tahun setelah kalian menghilang. Buat menemukan senjata-senjatamu, kalau kau tanya untuk apa, Mi.”Senjataku?“Golok Besi Gunung yang berat itu, Pisau Macan Kumbang beracunmu, sama tongkat sihir dari ranting pohon suci yang kau beri jantung naga di Stellar …, Toro.”Aku terdiam mendengarkan si bekas saintess.“Mencari mereka bukan perjalanan mudah, kuberi tahu …,” akunya lalu melipat tangan, bangga. “Namun, jangan panggil aku Dewi Pisau Pembelah Waktu kalau gak berhasil. Selain tongkat sihir, dua lainnya telah kutemukan. Walau, ya, enggak bisa kutarik dari tempat mereka menancap juga ….”Hem. Kulirik dirinya curiga.“Jangan melihatku begitu.” Ia kini berpaling. “Kau tahu sendiri jiwa kolektorku takkan membiarkan harta-harta benua lenyap di tangan orang lain, bukan?”“Aku tahu, makanya kutawarkan Bonsa padamu. Jika Dataran Tengah kembali kurasa benua a—”“A!” Telunjuk Salsabila mencuat padaku. “Paham, tapi aku gak mau tongkatmu. Benda itu gak cocok buat Kuil Widupa, dia ditempa khusus untuk orang buta. Sayang, mataku dan mata penerusku masih sehat.”“Terus kau maunya apa?” tanyaku, sebal dengar komentar barusan. “Mataku juga sangat sehat pas dulu mengayunkan Bonsa. Kau tahu sendiri, bukan?”“Hem ….” Salsabila melihatku. “Baiklah. Kalau memang benar ingin dataran tengahku kembali, dengarkan baik-baik. Kumau kau jangan menempa senjata kelas mistis selama lima milenium ke depan.”Syarat yang benar-benar menakutkan, tetapi tidak bisa kutolak. Cek! “Bagaimana, sanggup?”Di situasi normal, kehilangan harta kelas benua sudah merupakan bencana. Namun, pada kasusku, karena bisa menempa kembali hal tersebut jadi tidak terlalu mengerikan.Salsabila, saintess dari zamanku ini, benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan celah. Jika tidak menempa senjata sendiri, diriku terpaksa harus bergantung dan mengandalkan orang lain—mau gak mau. Atau. Jangan-jangan ….“Jujur saja. Bila, kau mau aku mengajarkan keahlianku, ‘kan?”Kemungkinan lain yang lebih cocok dengan tabiat gadis ini, dirinya mau memaksaku mengambil penerus.“Huhuhu … murid raja penempa dari selatan boleh menghilang, tapi tidak dengan keahliannya. Kalau gak mau mengangkat penerus, kau hanya perlu tabah melihat kualitas senjata-senjata benua menurun selama lima milenium ke depan. Enggak sulit, bukan?”Sudah kuduga.“Huh ….” Kupanggil palu kristal delimaku. “Nih.”“Eh?! Kau gak mau menawar syaratku dulu, Mi?” tanyanya, tidak segera menerima palu tempa spesialku tersebut. “Kasih masukan atau mengurangi jangka waktunya juga boleh, kok. Kenapa mesti buru-buru?”Aku, yang tahu benar bagaimana muslihatnya, cuma mendelik sebal. “Pokoknya jaga Palu Delima ini baik-baik, aku akan mengambilnya lagi setelah lima milenium.”“Hem.” Aku tahu dirinya juga kesal. “Sayang sekali. Padahal aku punya kandidat penerus terbaik buat kau latih. Anak yang punya berkat para kurcaci dan bisa meniup tungku naga. Yakin gak mau mengajarinya?”“Kalau sudah bisa meniup tungku naga, berarti gak perlu bimbinganku.”“Kau benar-benar gak berubah, masih sekeras kepala dulu ….”*** “Ya. Kau masih bersamaku sekarang ….”Kuusap permukaan togkatku, Bonsa, pakai jempol lantas mengembalikannya ke Kantong Hati Naga selesai mengingat obrolan dengan Salsabila. Sore hari, ketika menunggu Alexa pulang, di depan sekolahnya. “Ah, Lexaaa! Sini ….”Tanggal 19 Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.“Ayah Angkaaat!”“Kau gak nakal di kelas, ‘kan?” Kuacak-acak rambut bocah itu begitu dirinya sampai. “Bagaimana teman-temanmu, kalian—”“Ayah ….” Ia manyun. “Aku lapar.”“Ho.” Kuangkat tubuhnya ke udara sebentar. “Kita hari ini jajan di luar, bagaimana?”“Mauuu! Aku mau sate sama hati ayam ….”Agendaku di Dataran Tengah berjalan lancar—sangat mulus, bahkan.Bertemu Salsabila, menyekolahkan Alexa, kemudian menggeser bakal lokasi pertempuran Kara melawan Matilda dari ujung Kolom Dua dan Tiga-Tiga ke Kolom Empat-Tiga. Bukankah ini hebat? Sekali dayung, tiga hal pun kudapat.Meski, ya, harga yang mesti kubayar juga tidak murah.“Ayah Angkat, di sana ….”“Ah, benar. Ayo ke sana … Paman, apa masih ada meja kosong untuk kami?”Pedagang yang lagi mengipasi sate dengan daging-daging di atas pembakaran melirikku dan Alexa sekilas, menoleh, lalu balik pada kegiatan sebelumnya.“Naik saja ke lantai dua,” ucap sang pedagang sebelum lanjut berbisik, “mulut orang-orang ini kasar dan bau, gak bagus buat telinga anak-anak. Jangan lupa, tutupi kuping putramu sambil jalan ke tangga.”“Ah, terima kasih.” Kukeluarkan sekeping platinum lekas menaruhnya dekat pembakaran. “Paman, tolong bakarkan dua puluh tusuk taican sama satu kilo daging kambing—”“Jangan lupa hatinya juga, Ayah.”“Ah, benar. Tolong tambah juga setengah kilo hati ayam, kalau bisa dengan sedikit nasi.”Si pedagang kembali melihatiku dan Alexa.“Hanya kalian berdua?” tanyanya sebelum polos berkata, “jarang ada yang pesan sebanyak itu—eh?!”Ia melotot pas lihat uangku.“Apa tidak ada uang kecil, aku tidak punya kembalian untuk koin besar ini.”“Simpan saja kembaliannya, Paman,” kataku, tersenyum mendorong tangan si penjual kembali. “Anggap saja aku memborong daganganmu malam ini.”“Kalau memborong, harus kau ambil semua!” teriaknya tiba-tiba, ia merentangkan tangan gembira.Yang, senang hati kubalas, “Baik. Kalau begitu undang semua orang untuk makan di warungmu, bakarkan semua daging di rak dagangan malam ini, Paman!”“Kalian dengar itu?!” pekik sang pedagang, “aku tidak tahu ada hal baik apa hari ini, tapi malam ini kalian semua bebas makan di warungku. Semua daganganku sudah terjuaaal!”“Yaaa ….”Selanjutnya kedai tersebut semakin ramai hingga larut malam ….*** “Saudara ….” Dua orang mendekat ke mejaku dan Alexa, sesaat kami menikmati hidangan. “Aku tidak tahu hal baik apa yang terjadi padamu juga putramu hari ini, tapi aku, Zende, dengan adikku, Zenri, bukan orang yang tidak bersyukur. Kami kemari untuk menyapamu, sekalian mengucapkan terima kasih.”“Ah!” Aku segera keluar dari meja lalu membalas salam keduanya. “Terima kasih, Saudara Zende, Saudara Zenri. Aku, Mi, penjual arang dari Sabila. Aku datang kemari untuk menyekolahkan putraku, Lexa, di Kuil Widupa. Selama tiga hari kami menunggu jawaban, dan hari ini dirinya telah menjadi murid Saintess.”“Benarkah?” Keduanya kelihatan senang. “Saudara Mi, aku dan adikku turut gembira untuk kalian berdua … Nak, menjadi murid Saintess bukan sesuatu yang bisa dicapai sembarang orang. Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan dan buat ayahmu bangga.”“Tentu saja, Paman.” Alexa mengangkat satenya tinggi-tinggi. “Aku akan menjadi hebat seperti Ayah.”“Hahaha, aku senang mendengarnya.” Zende balik menghadapku. “Saudara Mi, kurasa aku dengan adikku takkan mengganggu kalian lagi. Sekali lagi kuucapkan selamat, kami permisi. Adik Kecil.”“Selamat tinggal, Paman ….”Setelah dua orang tersebut, datang lagi orang-orang yang hendak mengucapkan selamat.Kecualikan Alexa yang bisa tertidur dan pulas, diriku hampir-hampir tidak tuntas makan meladeni mereka hingga tengah malam. Meja itu benar-benar sibuk.Sungguh hari yang berat ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 33 Matilda Tengah

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Silakan ikuti diriku ….”Tanggal 16 Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.Dua bulan meninggalkan Kara, aku akhirnya tiba di Dataran Tengah. Wilayah netral di bawah pengawasan Kuil Widupa dan saintess-nya.Bersama Merike, usai memeriksa Militer Taria, kami akhirnya membawa putra Bura Bella dan Bura Parami, Alexa, dari tempat Jambu ke tanah di mana putraku, Yaspin, dahulu tumbuh.Namun, siapa sangka kesanku terhadap sang empunya wilayah akan sedikit berbeda daripada rencana.Ya. Sangat beda sebetulanya ….“Aku baru tahu kalau Kuil Widupa punya lorong bawah tanah selain jalan masuk labirin …,” ucapku, coba menghidupkan suasana yang sangat sepi sejak kami mengikuti Saintess dari aula utama kuil. “Apa ini jalan ke ruang rahasia?”“Tidak ada ruang rahasia atau hal semacam itu di Kuil Widupa!” timpal sang ibu asuh, masih sekasar saat kami di atas. “Aku tidak percaya. Nona Saintess, kenapa kita membawa orang luar kemari …?”Antara sebal dan tidak. Aku masih dongkol atas sikap si ibu asuh, tetapi juga paham perasaannya pas gadis yang ia momong sedari orok tiba-tiba membawa orang asing ke tempat mereka. Gak ada angin gak ada hujan. Apalagi ini area terlarang.Mungkin, jika mau berandai, situasi sekarang akan sama seperti Miaw-ku suatu saat tiba-tiba membawa teman laki-laki ke rumah. Gak bohong, sebagai ayah diriku juga bakal sekesal dirinya.Meski Saintess bukan putri kandung si ibu asuh, aku paham perasaan wanita itu.“Mereka bukan orang luar, Laura. Spiritku berdenging dan memintaku mengantar mereka ke Altar Jiwa.”Oh, jadi tempat yang kami tuju itu Altar Jiwa? Aku baru pertama kali dengar.“Ah—Re, Lexa!” panggilku, spontan melompat ke depan mereka ketika getaran aneh tiba-tiba memancar dari ujung lorong. “Sembunyi di belakangku ….”Siap memapak apa pun, kurapal Tapak Dewa dan Pukulan Naga sekaligus.“Lihat sendiri, ‘kan?” ucap sang Saintess, menenangkan si ibu asuh sebelum menegurku. “Belum pernah ada yang bereaksi dengan spirit selain diriku di altar ini … Tamu, tolong redam aura Anda. Kita tidak bisa masuk kalau kepalan dan telapak tangan Anda membuat para pendahuluku waspada.”“Hem ….” Ingat status kami, aku pun menurut. Kuturunkan tanganku, melepas rapal Kulit Baja, kemudian mengambil topeng putih dan memakainya. “Segini cukup?”“Sebetulnya tidak harus seekstem itu, tapi terima kasih ….”Begitu melewati lorong. Mataku, Merike, bahkan Alexa. Kami bertiga dibikin terbelalak menyaksikan apa yang menyambut di ruangan tersebut ….“Me-menakjubkan—Ayah, lihat!”“Kau benar, Lexa. Ini memang luar biasa.”*** “Ayah Angkat, kau serius?” tanya Lexa, lebih lesu daripada saat tiba di Dataran Tengah, sesaat kami keluar dari halaman Kuil Widupa. “Padahal kau baru menjemputku, kenapa sekarang mau meninggalkanku lagi?”Aku tersenyum, menggendong, lalu menaikkannya ke punggung kuda.“Anak nakal. Kata siapa aku mau meninggalkanmu, hah?”“Tadi, kau bilang aku harus berlatih di bawah pengawasan wanita itu ….”Oh, aku paham.“Kau takut nenek di samping Saintess, Lexa,” tebakku, tersenyum pada Merike, meraih dan menggenggam tangannya, lantas menarik kekang kuda. “Ya, ‘kan?”Anak itu tidak menjawab.Hening di antara kami kemudian berlanjut hingga mentari sore berlalu dan ….“Rumah Kecil ….”Mataku dibikin berkaca pas tahu Gerbang Baruke ternyata masih kokoh di tempatnya.“Tuan?”“Ayah, ini tempat siapa lagi?”“Ini?” Kulepas kekang kuda dan tangan Merike lalu berjalan mendekati pintu. “Lama …, ya …, sudah sangat lama ….”Kutiup permukaan gebang rumah kenanganku bersama Doll dan Letta tersebut, merabainya, mengendus, lantas coba kubangkitkan ingatan-ingatan manisku semasa menghuninya. Rumah kecilku.“Kukira pelukan Rere sama bantal pelana ini jauh lebih hangat ketimbang pintu rumah seseorang, Ayah,” celetuk Alexa, meletuskan balon kenanganku ketika itu. “Ayah Angkat, perutku sudah lapaaar ….”Huh. Dasar anak-anak.“Aku enggak butuh disenyumi, Ayah!” rengeknya, tepat sebelum histeris. “Kasih aku makan! Makan, kau dengar tidaaak?”“Haha.” Aku bisa apa, kenanganku nyatanya cuma hidup dalam ingatanku seorang. “Baiklah-baiklah ….” Kudorong pintu rumah lama itu lekas mengambil kekang kuda dan membawa mereka ke dalam. “Sampai musim dingin nanti aku akan menemanimu tinggal di sini ….”*** Minggu ketiga Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.Sehari usai kunjunganku ke Kuil Widupa, Dataran Tengah yang pada masaku merupakan zona netral dua benua kini kembali mengibarkan bendera wilayah bebas, memerdekakan diri, lantas menghapus embel-embel Matilda dari peta-peta mereka.Panji-panji Matilda Tengah diturunkan, gelar dengan kekuasaan pejabat juga bangsawan seketika dicopot, sisa anggota keluarga, kerabat bahkan karib-karib kekaisaran pun dipulang-pulangkan dari empat distrik. Selanjutnya, Saintess kemudian naik ke puncak pagoda dan kembali merapal suar glorian—isyarat bahwa Dataran Tengah tidak lagi tunduk ataupun terikat pada aturan mapu benua.Hingga tiga hari setelahnya ….“Tuan, ada panggilan untuk Anda.”“Dari?”“Kuil Widupa.”“Apa Lexa kena masalah di sekolah?” tanyaku, bangkit dari kursi malas lalu menerima surat yang dibawa Merike. “Aku gak percaya anak itu sudah bikin gara-gara di minggu perta—”Setelah kubaca.“Oh, kukira dia bikin ulah … Re, jangan melihatku begitu. Aku cuma khawatir.”“Tuan, apa Tuan Muda Alexa betulan kena masalah?”Kulihat dirinya.“Alexa bukan putramu. Kau gak perlu ikut cemas, Re. Lagian ini bukan panggilan, tapi undangan.” Kuremas bahu kiri Merike lantas melewatinya. “Aku mungkin pulang telat, jangan menungguku ….”Dalam tiga hari. Seluruh benua tahu jika Dataran Tengah telah bangkit dari tidur panjang ….*** “Aku ingin bicara dengannya,” ujarku, menunjuk patung Salsabila di antara spirit Altar Jiwa, Kuil Widupa, tiga hari lalu. “Aku me—”Kata-kataku terhenti.Seketika: sensasi familier muncul, sekitarku membeku, seluruh bising yang sesaat lalu kudengar lenyap. ‘Mantra pembeku waktu,’ batinku sebelum menyapa kawan lama, “kau benar-benar muncul seperti yang dibilang gadis itu, Bila?”Aku kemudian berbalik. Menghadap wanita yang selama berabad-abad menjadi karib keluargaku di masa lalu, Salsabila.“Oh. Ayolah …,” desisnya, dengan mata juling dan nada kecewa. “Setelah bertahun-tahun lenyap, kukira kau takkan kembali dan aku akan terus menikmati masa damai, Mi.”“Apa ini keluhan buatku yang baru saja pulang?” tanyaku, tidak tahu harus merespons bagaimana.Yang, sialnya, langsung dibalas maki dan jerit. “Sialaaan! Ke mana saja kau, Brengs*k! Aku repot mengurus kekacauan gegara ulah keluarga dengan guru dan murid-muridmu, tahu. Kenapa kau malah hilang ….”Haha, beberapa saat kemudian.“Jawab aku!” Salsabila melotot. “Apa lubang di langit Kesik tahun itu juga ulahmu, hah?”Kaget sehabis menerima berondongan keluh dari mulut pedas milik teman lama yang kini berwujud spirit, aku kala itu cuma bisa mengerling, tersenyum, angkat bahu, terus nyengir.“Hehe.”“Hah ….” Membuat karib Doll satu itu hela napas, pasrah. “Kukira aku gak perlu tanya, kau memang orang yang melubangi langit Kesik, ‘kan?”Dan aku tetap diam saat ditanya.“Ngomong-ngomong, mana istri semokmu, Mi?” Ia kini celingak-celinguk. “Aku bisa merasakan aura, tapi enggak melihat—tunggu dulu!” Salsabila mendekat. “Aku …, aku mencium baunya darimu—aduh!”“Munduran dikit!” kataku, menyentil kening Salsabila agar menjauh. “Kau terlalu dekat.”“Oi, jawab aku.” Namun, sepertinya gadis yang lagi melayang-layang di hadapanku tidak peduli. “Kenapa aura istrimu mengalir darimu—ah! Apa jangan-jangan ….”“Apa pun isi kepalamu sekarang, kujamin bukan itu, Bila!” jelasku lantas mengeluarkan tubuh istriku yang telah membatu dari Kantong Hati Naga. “Dia bersamaku. Sayangnya—”“Doooll!” pekik Salsabila, tepat di sebelahku.Bisa kalian bayangkan betapa pekaknya kupingku pas itu. ‘Cek!’“A-a-apa yang … hoi, Mi! Apa yang terjadi padanya, katakan padaku masalah a—um! Um … um!”“Hah ….” Kini giliranku yang hela napas, lega usai membekukan mulut bekas saintess super duper berisik yang kini jadi spirit pakai segel dingin. “Kau terlalu berisik, Bila.”Kukantongi tubuh Doll kembali.“Istriku membatu saat kami melawan medusa. Dia begini demi melindungiku,” tuturku pelan, masih tidak tahan pas ingat kejadian nahas tersebut. “Kalau kau tahu, tunjukkan aku di mana sarang naga legenda yang bisa memberinya berkat ….”Setelah kuceritakan pengalamanku bersama Doll di dunia lain ….“Haaa, Doooll! Kau bodoh. Harusnya biarkan saja suami jelekmu membatu saat itu—aaa ….”Antara sebal dan terharu, aku bingung harus menanggapi gadis ini bagaimana.“Oi, Mi.” Telunjuknya mencuat. “Istri mudamu juga naga, ‘kan?”Maksudnya Letta?“Suruh saja dia untuk membatalkan pembatuan Doll,” ujarnya, gak pakai sungkan. “Kalau dirinya berhasil memberi berkat naga legenda padanya, kalian akan kembali bersama—adaw! Kenapa kau memukulku, hah? Jawab!”“Kau pikir aku gak memikirkan hal itu, ya?” Kulirik ia sebal. “Kau lupa berkah istana naga putri dan istriku sudah diberikan pada siapa … lagi pula dia masih tertidur sekarang, aku gak bisa membangunkannya.”“Kalau istrimu saja gak bisa bantu, terus buat apa kemari?” tanya Salsabila, manyun dan buang muka.Cek! Aku bangkit. “Kau tahu, aku kemari buat menawarkan senjata.”“Maksudmu?”“Bonsa.”“Oh. Tongkat perubah bentuk itu …?” Salsabila memutariku. “Apa kau sekarang jadi miskin? Senjata yang berhasil menebas delapan bintang benua bukan harta biasa, yakin mau dijual.”Sialan. Mentang-mentang tadi kubilang ‘menawarkan’ ia langsung mengejekku.“Aku bukan mau menjualnya, Bila.”“Terus?”“Aku mau kalian kembali jadi Dataran Tengah yang dulu kutahu ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 32 Kabar untuk Tengah Benua

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Lihat mereka ….”Tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 352 Mirandi.Sesuai rencana kemarin, Trira hari ini benar-benar mengerahkan Sisik Kayu buat menjelajahi seluruh pasar di Sabila. Sejak pagi, bahkan ketika diriku bertolak menuju Taria, gerobak dengan kuda-kuda markas kami telah lalu lalang hingga perbatasan.Luar biasa.“Padahal tadi baru papasan, sekarang sudah ketemu lagi,” ujarku, mengintip ke luar kereta. “Trira betulan tidak mau buang waktu ….”Nazila Trira tidak bilang apa usaha yang mau dirinya buka, tetapi dari barang dan benda-benda di daftar yang sebelum berangkat sempat kuperiksa kukira itu adalah salon kecantikan.Ya, salon kecantikan.Khusus untuk wanita ….“Hem.” Aku balik merebah ke pangkuan Merike. “Kalau dipikir-pikir, sekarang aku malah ragu bisnis Trira bakal berhasil. Sabila memang membuka perbatasan dan menerima banyak pendatang, tapi kebanyakan cuma pengungsi sama pelarian-pelarian biasa, ‘kan?”Merike tersenyum, manis sekali.“Gimana menurutmu, Re?” tanyaku, meraih tangannya lalu kukecup dan dekap. “Apa Sabila masih bakal sama pas kita pulang nanti ….”Menjadikan Taria dengan Kuil Widupa sebagai alasan buat absen dari Sisik Kayu, diam-diam kukirim juga Panji Kelabang dan Kalajengking untuk siaga di perbatasan sama jalur-jalur air. Memantau pasukan Aliansi yang sejak minggu lalu sudah berkemah di pinggiran wilayah kami.Sebagai sekutu, jujur aku tidak memercayai mereka. Perang sepuluh tahun mengajariku jika negara-negara ini tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan ….*** “Bura.”“Bura.”Sebulan kemudian, aku dan Merike pun tiba di Taria. Kota bebas yang dijuluki Gerbang Telaga Mapute. “Salam, Semua. Terima kasih sudah menyambutku ….”Setelah menolak otoritas Vom dan menerima perlindungan Sabila, Taria selanjutnya kujadikan pangkalan militer luar sekaligus negara satelit Kara. Cukup vital buat ukuran kota tepi danau.Jadi, Jambu dan orang-orangnya kutempatkan di sini.“Berapa kemajuan rencana kita?”“Lima puluh persen, Bura.”“Cetak biru yang kukirim padamu. Para pengrajin sudah melihatnya, bukan?”“Para dwarf minta tambahan upah—”“Berapa?” selaku, menaruh tangan dan mengetuk-ketukkan telunjuk juga jari tengah di meja strategi, Aula Istana Bate Taria. “Bilang pada mereka, ‘Selama senapan-senapan lontak tipe baru itu selesai bareng sama perlengkapan kita tahun depan, uang bukan masalah.’”“Selain dwarf, kita juga punya masalah lain, Bura.”Melihat ekspresi Jambu dan semua orang, aku tahu ini agak serius.“Katakan saja,” kataku, mundur dari meja strategi lantas naik ke singgasana. “Aku kemari buat memeriksa rencana kita, kalau ada masalah diriku memang seharusnya diberi tahu.”“Geng Mata Satu dengan para perompak menemukan pangkalan militer di bekas Kota Cuni dan wilayah Tolitoli,” lanjut Jambu, membeberkan temuan-temuan mereka. “Kemungkinan pangkalan-pangkalan ini merupakan sisa-sisa pasukan kekaisaran lama yang berhasil selamat dari hujan abadi, Bura.”“Kalian yakin itu bukan pangkalan militer Bravaria?”“Belum bisa dipastikan, Caupa Roban masih memeriksa mereka.”“Oh.” Kurebahkan diriku. “Kalau sudah jelas siapa-siapanya, tawari mereka suplai terus bujuk jadi sekutu. Buat melawan Matilda, bahkan Bravaria sekalipun berguna menambah kekuatan kita ….”*** Minggu berikutnya, perjalanan kulanjutkan. Bersama Merike, kami menumpang salah satu kapal perompak hingga tepian Hutan Purtara lalu berkuda sampai Dataran Tengah dan tiba di Kuil Widupa setelah setengah bulan.Memasuki minggu ketiga Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.“Kita beruntung, sampai kemari pas musim panas berakhir.”“Ini baru tengah bulan, Ayah Angkat,” timpal seseorang, anak-anak, putra Bura Parami dengan Bura Bella, ia menunduk lesu di punggung kudaku bersama Merike. “Secara teknis, kita masih—”“Ya, ya ….” Kukibaskan tangan meladeni si bocah. “Enggak bisa lihat ayahmu senang,” ujarku, balik badan dan menggendongnya turun. “Ugh! Kau berat sekali, Lexa.”“Salahkan paman Jambu, dia memberiku daging dan gulai setiap hari. Aku sampai enek ….”“Giliranmu, Re.” Kuraih Merike lantas menggendongnya. “Eh? Kau merapal mantra peringan tubuh?”“Aku gak mau disebut gendut,” bisiknya pelan, saat memelukku.Yang spontan kubalas, “Aku suka kau yang berisi ….”“Ayah-ayah.” Lexa menarik-nariki ujung jubahku. “Lihat. Pintu ini sangat besar, tapi gak ada seorang pun yang menjaga. Apa jangan-jangan gak ada orang di dalam?”“Saintess gak butuh orang buat menjaga gerbang rumahnya,” jawabku, tersenyum menanggapi kepolosan anak itu. “Sini, bantu ayah memukul lonceng ini ….”Entah sudah berapa milenium, penampakan kuil terbesar di Eldhera sekaligus pintu masuk dunia bawah tersebut tidak banyak berubah. Terawat dengan baik, bahkan burung dan serangga-serangga kecil tidak berani melintas di atasnya. Hebat.Sekarang aku jadi penasaran, apa rumah kecilku juga masih ada?“Mohon tunggu sebentar, saya akan segera mengabari Saintess ….”“Ayah-ayah, kau menciumnya juga, ‘kan?” bisik Lexa, sesaat biarawati penyambut tamu pergi. “Bau bunga sama kaliyandra. Perempuan tadi sangat harum, lebih wangi dari Rere.”“Dia masih anak-anak.” Aku menoleh Merike.Namun, wanita sebelahku tampaknya tidak terlalu peduli. Dirinya hanyut pada hal lain. “Sangat indah … Tuan, apa Anda memanggilku?”“Enggak.” Aku menggeleng. “Kau kelihatan manis pas mengagumi sesuatu, Re.”“Ayah, lihat!”Mengikuti telunjuk Alexa, dari lorong dekat pojok kiri, seseorang berjalan memasuki ruangan. Perempuan paruh baya.Aku tidak tahu harus menggambarkannya bagaimana, tetapi busana elegan dengan pernak-pernik yang tidak terkesan murahan dan jubah sutranya cocok untuk satu kata: anggun.Sekali lirik orang bisa salah kira jika perempuan inilah sang empunya tempat ….“Salam, Nyonya,” ucapku, menyambut kehadirannya. “Apakah Anda pendamping saintess zaman ini?”Tidak langsung menjawab, perempuan di depanku melirik kami satu per satu seolah cari sesuatu.Jujur, aku tidak suka sikap itu. Kesannya ia sedang meremehkan kami yang datang tanpa undangan atau membawa persembahan macam tamu-tamu lain—bisa saja aku salah, tapi lirikannya benar-benar … argh! Mata wanita ini cukup licik untuk seorang ibu asuh, menurutku.“Siapa yang mengarahkan kalian kemari?” tanyanya, tanpa basa-basi. “Kurasa kepala negara mana pun takkan berani mengirim utusan jubah lusuh ke istana Saintess, bukan?”Jubah lusuh. Istilah Zona Netral, sebutan untuk orang miskin atau tidak punya yang datang mencari dan mengharap bantuan tanpa menyiapkan imbalan apa-apa. Kasarnya, peminta-minta.Siapa sangka aku akan mendengar sebutan itu setelah sekian lama.Terlebih, di sini. Tempat yang biasa kudatangi saat bosan atau sekadar melepas penat di masa lalu.‘Hem. Apa ini gegara aku tidak mengabari mereka?’ tanyaku dalam hati, heran karena baru pertama kali melihat ada ibu asuh model begini. ‘Biasanya mereka sangat ramah dan rendah hati ….’ “Saintess terlalu sibuk untuk menyapa orang-orang rendahan macam kalian,” ucap si wanita, nyelekit dan bikin kuping panas. “Katakan saja mau apa lalu pergi, sepatumu mengotori marmer kuilku.”Aku ingin memukulnya.“Jangan cuma bengong!” bentaknya lagi, “cepat bicara atau pulang saja sa—akh!”Sialan. Kalau bukan gegara bawa Merike dan Alexa, sudah kuremas tengkoraknya da.“Huh.” Kuredam kembali tekanan auraku, melepaskan sang ibu asuh dari jerat bloodlust yang tak sengaja meluap. “Aku ingin bertemu Saintess,” kataku yang lantas memanggil Bonsa, “jika tidak keberatan, tolong katakan, ‘Pemegang Tongkat Bonsa menawarkan senjatanya sebagai pertuka—’”“Tidak perlu!” sela sebuah suara, milik seorang wanita, ia berjalan dari lorong yang sama dengan sang ibu asuh sebelumnya muncul. Lebih anggun dan berwibawa. Dialah Saintess—kukira.Memastikan, kutanya dirinya. “Andakah saintess, sang perapal mana sekaligus mercusuarnya sihir glorian bagi segenap penghuni benua zaman ini?”“Ya.” Perempuan muda itu melirik sang ibu asuh sekilas, lirikan yang sanggup membuat wanita tadi cepat-cepat mundur lalu menunduk, kemudian melihatku. “Aku punya perasaan yang tidak asing padamu, tetapi sulit untuk kujelaskan.”Mata kami bertemu.“Benar. Dirikulah perapal mana zaman ini, tetapi bukan lagi mercusuar sihir glorian bagi semua orang.”Oh. Aku mengerti.‘Larangan sihir matilda, ‘kan …?’ batinku sebelum lanjut menancapkan Bonsa di sebelah, duk! lantas tanya, “Saintess, boleh kutahu apakah kita ini musuh atau sekutu?”Meresponsku, perempuan itu hanya tersenyum. Ia kemudian berjalan ke lorong seberang tempatnya dan si ibu asuh tadi muncul.“Silakan ikuti diriku ….”Air muka perempuan itu mendadak jadi teka-teki.Selain tidak tahu apakah dia kawan atau lawan, karakter ibu asuh yang beda daripada pengalaman lamaku membuat otot-otot kepala ini menegang—terus terang saja.Gestur tidak tertebak, pembawaan misterius, dan aura yang sama sekali asing.Kini aku ragu apakah datang kemari merupakan pilihan tepat sebelum memulai perang benua ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 31 Fase Dorman

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bariskan semua dari sudut ini ….”Tanggal 19 Bulan Empat, Musim Semi 352 Mirandi.Bersiap memulai fase dorman, seisi Sisik Kayu hari ini bahu-membahu merapikan gudang dan peralatan—konsekuensi atas putusan direktur pada pertemuan bersama Serikat Dagang Neraca Padi.Juga, sekalian berbenah, hari ini kupaksa semua orang selain para pegawai yang kebagian sif jaga penutup buat memilah arang-arang sisa sama perlengkapan kerja mereka biar dibawa pulang. Itung-itung cuci gudang sebelum ganti perlengkapan baru ….“Eh?!” Kutahan salah seorang pegawai pas hendak melewati portal. “Kenapa kantong arangmu kosong—hoi, Ranra. Suruh seseorang menemani anak ini mengambil arang, dia belum kebagian.”“Ah, Tuan Mi. Jangan, tidak usah.” Anak itu memohon minta dilepaskan. “Bukannya belum kebagian, aku memang sengaja tidak ikut mengambil arang.”“Heh?” Aku mendelik, heran. “Kenapa?” tanyaku lalu menegaskan, “arang-arang yang kubagikan sekarang ini takkan kujual, kau tahu. Gajimu pas masuk tahun depan juga enggak bakal kepotong, kok.”“Ahaha.” Namun, ia tetap berkeras. “Bukan itu penyebabnya, Tuan Mi.”“Lah, terus?”“Anu, rencananya hari ini aku mau menghadiri acara pernikahan teman …,” jelasnya, ragu-ragu. “Jadi tidak akan langsung pulang ke rumah. Kalau ikut mengambil arang, pakaianku bakal kotor.”Kulirik dia dari atas sampai bawah, pakaiannya sudah agak lusuh padahal.“Kenapa gak izin cuti saja, atuh?”“Awalnya aku juga mau begitu, cuma ….” Anak itu menunduk sebentar sebelum lanjut berkata, “Ini hari terakhir pabrik buka sebelum tutup, diriku jadi merasa bersalah kalau mengambil libur sekarang.”“Hem.” Kuambil sepuluh keping koin. “Nih, buat ganti baju sama dandan. Jangan datang ke acara nikahan dengan tangan hampa sama wajah cemong, sana.”“Te-terima kasih, Tuan Mi.”“Sudah, sana.” Kukibaskan tanganku terus lanjut mengawasi kegiatan Sisik Kayu hari itu ….*** “Akhirnyaaa ….”Petang hari, setelah mandi dan membersihkan diri.“Bisa rebahan juga,” senangku, merebah di kursi bambu beranda rumah. “Kubo, apa kau belum selesai?”“Sebentaaar …,” sahut suara dari dalam, Oukubo. Sepertinya Ia masih ganti baju.Lanjut kupejamkan mata lalu menikmati angin senja. Mumpung hari ini pulang cepat, niatku mau tiduran sebentar sebelum jam makan malam.Namun. “Kenapa kau tiduran di badanku?”Kubo, yang sesaat lalu kukira masih belum selesai ganti baju, kala itu malah naik dan merebah di tubuhku.“Bukannya kau gak suka kusentuh, ya?” tanyaku, memindahkan posisi lengan dari kepala ke pinggulnya.Ia, makin menempelkan diri. “Setelah semua pengalaman kita, aku ragu pada diriku sendiri ….”“Oh.” Kubuka mataku lalu balas mendekapnya. “Jadi kau menyerah padaku?”“Aku sudah jadi milikmu—”“Bisakah kalian jangan bermesraan di tempat terbuka?” tanya seseorang, Nazila Trira.Mengagetkan Oukubo hingga ia buru-buru bangkit dan berdiri di samping kursi.Aku, yang saat itu kadung kena tanggung, melirik Trira sekilas terus duduk. “Bukannya ini rumahku sendiri, ya? Kenapa Anda tidak mengetuk pintu dan bisa tiba-tiba sudah ada di sini?”“Aku kemari bareng mereka ….” Trira menunjuk Merike dengan Dorothe, keduanya berdiri dekat gerbang yang masih terbuka dan tidak berani mendekat. “Katanya besok kau mau pergi, ke mana?”“Oh.” Kugerakkan kepala pas lihat Oukubo, isyarat agar ia memberi kami ruang sekalian membawa Merike dan Dorothe ke dalam. “Benar. Lusa aku mau ke Taria, kenapa?”“Berapa lama?” tanya Trira, lagi, tampak antusias.Diriku, yang tetiba merasa curiga, kemudian balik tanya. “Anda tidak penasaran buat apa aku ke Taria?”“Aku tahu siapa drimu,” ujar beliau, menarik kursi meja seberang lantas duduk menghadapku. “Tanya kau mau apa di sana cuma buang-buang kata, kalau bukan urusan militer pasti bisnis gelap. Sudah ketebak. Daripada itu, aku kemari buat minta uang ….” Minta uang? Dariku? Gak salah?“Beri aku dua puluh ribu perak. Aku mau buka usaha baru, jadi gak boleh kurang.”“Tunggu!” Kuacungkan telunjuk padanya, minta waktu berpikir. “Bukanya Anda tahu uang-uang kita ada di kas perusahaan? Terus juga, Anda butuh uang sebanyak itu buat buka usaha apa, Trira?”“Gak usah banyak tanya, itu urusanku. Kujelaskan rinci pun kau belum tentu akan paham, ini soal barang-barang khusus perempuan,” tegas Trira, membuatku tidak bisa tanya lebih jauh. “Ranra bilang aku harus dapat persetujuanmu kalau mau ambil uang dari kas Sisik Kayu, jadi sekarang diriku kemari.”“Oh.” Kugaruk pipi sebentar kemudian balik merebah dan memejamkan mata. “Besok kusuruh Ranra buat memberi Anda dua puluh ribu. Hari sudah sore, tolong sekalian tutup gerbang pas Anda kembali ….”Kukira dengan balik rebahan dan tutup mata setelah mendengarkan ceritanya Nazila Trira akan langsung beranjak. Eh, tahunya gadis itu malah diam lama di kursi sebelahku.“Kenapa Anda masih di sini?”“Kenapa, ada larangan aku duduk di sinikah?”Kubuka mataku lantas menjuling, curiga.“Apa Anda masih butuh sesuatu?”“Gak ada, aku ke tempatmu cuma buat minta uang.”“Terus kenapa belum pergi, Trira?”“Aku mau duduk-duduk dulu sebentar,” jawabnya, enteng. “Kau gak ada kegiatan juga, ‘kan? Temani aku melihat mentari sore.”Hem, jujur saja, sekarang dia membuatku agak gusar. “Anda lupa apa yang tadi kulakukan pas Anda kemari?” tanyaku, mengingatkan soal kegiatanku beberapa saat lalu. “Aku mau melanjutkannya—”“Tinggal panggil budakmu lagi terus lanjutkan saja, ‘kan?” timpal Trira, tanpa canggung atau malu sedikit pun. “Kalian bisa lanjut bermesraan, aku tidak akan mengganggu.”‘Apa? Gadis ini gila.’ Mataku terbelalak dengar omongan barusan. “Di depan Anda?”“Oh, ayolah.” Sekarang ia malah topang dagu melihatku. “Aku tidak akan menghakimi. Lagi pula gunanya budak-budakmu memang buat itu, ‘kan?” Hem. Aku benar-benar gak habis pikir meladeni perempuan satu ini.“Percayalah, aku bukan orang yang terganggu dengan masalah sepele.”“Tunggu, maksudnya?” Aku tidak mengerti, sungguh.Nazila Trira kini melipat tangan, matanya ia julingkan sekian detik sebelum lanjut berkomentar. “Kau tahu, ayahku punya lebih dari dua ratus selir. Kakak dan adikku juga punya belasan gundik di villa mereka. Apa menurutmu kegiatan intim dengan budak-budakmu itu baru buatku? Tidak sama sekali.”Sekarang diriku benar-benar kaget, tetapi juga sedikit penasaran.Seingatku kegiatan privat atau keluarga tidak pernah dibicarakan kepada orang luar di Eldhera, meskipun normal membahasnya jadi sesuatu yang dihindari serta dipandang kurang patut.Sekarang, kenapa perempuan di depanku malah menceritakan ayah dan saudara-saudaranya?“Yang kau lakukan dengan mereka bukan hal tabu, jadi tidak perlu malu di depanku.”“Anda tahu ….” Segera kuputar otak dan mencari topik lain, syukur-syukur kalau bisa sekalian mengusir Trira. “Aku tadi lupa bilang, setelah dari Taria aku juga akan mengunjungi Kuil Widupa.” “Terus?”“Ya …, aku mungkin gak bakal pulang sampai pertengahan tahun depan dan pabrik sepenuhnya menjadi tanggung jawab Anda. Paham, ‘kan?”“Ya?” Nazila Trira mengangguk pelan, ragu. “Aku cuma tinggal menyuruh Ranra menangani pabrik sambil fokus pada bisnisku, gak sulit.”Bukan, maksudku: pergilah ke kamarmu kemudian periksa semuanya segera, setahun ke depan Sisik Kayu jadi milikmu, Trira.“Apa Anda tidak ingin memeriksa sesuatu sebelum besok mengambil alih Sisik Kayu?” tanyaku, maksa.Namun, tetap gagal. “Gak. Aku bisa melakukannya kapan saja, bukan hal urgen.”‘Hem ….’ Pikiranku kering, kehabisan ide. “Oh, kupikir semuanya bakal baik-baik saja kalau begitu.”“Tentu saja!” sambar Trira, semangat. “Aku ini seorang putri, takkan ada hal yang tidak beres di tangan—eh? Tunggu dulu! Kau tidak sedang mencoba mengusirku dari sini, ‘kan, Ure?”Tepat sekali! “Memang Itu yang tadi coba kulakukan. Anda pintar, Trira. Sekarang to—”“Kau malu bercumbu di depanku, ya?” tanyanya, semakin berani. “Benar, ‘kan?”Apa?! Kenapa pertanyaannya malah itu? Gila.“Akh, lupakan-lupakan.” Kuputar badan membelakangi beliau, tidak sanggup melanjutkan obrolan absurd sore itu. “Aku sudah gak mood ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda