Menapak Jalan Baru: Awal Perjuangan di Ibu Kota
Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo
Hari itu, sebelum memulai perjalanan ke Jakarta, Ari melangkah mantap menuju kampusnya. Dengan perasaan campur aduk antara harap dan cemas, ia mengurus transkrip nilai dan ijazah sementara sebagai syarat administrasi wisuda yang akan segera tiba. Suasana kampus terasa hangat dan penuh kenangan—tempat di mana ia melewati perjuangan tanpa henti selama ini.Petugas administrasi kampus menyambut Ari dengan ramah, memproses dokumen-dokumen yang ia butuhkan. Sambil menunggu, Ari duduk di bangku taman kampus, memandang sekeliling yang familiar, mengingat setiap malam yang ia habiskan untuk menyelesaikan skripsi, setiap diskusi panjang dengan dosen pembimbing, serta nasihat bijak dari para pengacara yang membimbingnya.Setelah semuanya selesai, Ari membawa berkas-berkas itu pulang ke kosnya. Ia menatap berkas-berkas di tangannya dengan rasa bangga dan lega, meskipun perjalanan masih panjang di depan. Hari-hari berikutnya akan menjadi saatnya mempersiapkan diri untuk langkah besar berikutnya.Ketika waktu wisuda semakin dekat, dengan hati yang penuh haru dan semangat membara, Ari pun akhirnya bersiap meninggalkan kampung halamannya. Ia menaiki bis Damri menuju pelabuhan Bakauheni, memulai perjalanan panjang yang membawanya melewati lautan dan berbagai tantangan menuju Jakarta, kota penuh peluang dan cerita baru yang menantinya.Di atas kapal laut yang membawa dari Bakauheni ke Merak, Ari duduk termenung. Suara ombak dan hembusan angin laut menemani pikirannya yang melayang, membayangkan masa depan yang ia cita-citakan. Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tapi simbol dari perjuangan dan mimpi yang sedang ia kejar dengan sepenuh hati.Sesampainya di Pelabuhan Merak, Ari merasakan udara baru yang penuh dengan aroma harapan dan tantangan. Dengan langkah mantap, ia melanjutkan perjalanannya naik kereta dan angkutan umum menuju Depok, tempat Universitas Indonesia berada. Pilihannya jatuh pada kawasan yang tak jauh dari kampus UI—agar ia bisa dengan mudah mengakses perkuliahan profesi advokat yang akan segera dimulai.Setibanya di Depok, Ari mulai mencari kosan sederhana namun nyaman. Ia menelusuri gang-gang kecil dan menanyakan ke beberapa warga sekitar. Meskipun belum memiliki banyak modal, Ari tetap bertekad mendapatkan tempat tinggal yang layak untuk menata hidup dan memfokuskan diri pada studinya. Akhirnya, ia menemukan sebuah kamar kos kecil dengan dinding bercat putih dan jendela menghadap ke taman kecil. Pemilik kos, seorang ibu ramah, menyambut Ari dengan senyum hangat. Harga sewa yang terjangkau menjadi angin segar bagi Ari yang masih harus berhemat untuk kebutuhan lain.Di kosan barunya itu, Ari menata barang-barangnya seadanya. Walau sederhana, kamar itu menjadi saksi awal perjalanan baru yang penuh perjuangan dan semangat. Setiap sudutnya mengingatkan Ari pada janji dirinya sendiri untuk tidak menyerah dan terus berjuang demi masa depan yang lebih baik.Dengan kosan yang kini menjadi tempat berlindung dan belajar, Ari pun mulai membayangkan perjalanan panjang sebagai mahasiswa profesi advokat di ibu kota. Sebuah babak baru yang penuh tantangan, tapi juga kesempatan yang tak akan ia sia-siakan.Setelah menetap di kosan kecilnya di Depok, Ari mulai menata rutinitas barunya. Setiap pagi, dia membuka buku-buku hukum dan menyusun catatan skripsinya yang kini mulai memasuki tahap akhir. Namun, dia tahu bahwa untuk menjadi advokat yang sesungguhnya, teori saja tidak cukup. Ia harus memperdalam ilmu lewat praktik nyata.Dengan tekad kuat, Ari mulai menelusuri kawasan perkantoran di Jakarta dan sekitarnya, mencari kantor pengacara yang bersedia menerima dirinya sebagai magang atau asistennya. Ia mengunjungi gedung-gedung bertingkat yang menjulang di pusat kota, dari satu kantor ke kantor lain, menawarkan diri dan menjelaskan niatnya untuk belajar dan bekerja keras.Sayangnya, satu per satu pintu tertutup rapat di hadapannya. Beberapa pengacara menolak dengan alasan tidak ada kuota magang, yang lain bilang mereka sudah penuh dengan staf, dan ada pula yang sekadar mengabaikan Ari begitu saja. Penolakan demi penolakan itu mulai melelahkan hati Ari.Namun, ia tak menyerah. Setiap kali langkahnya terhenti oleh pintu yang tertutup, ia mengingat kembali pesan dari ketiga pengacara yang telah membimbingnya dulu, dan juga nasehat Kang Hasan tentang pentingnya kesabaran dan keikhlasan dalam berjuang.Di sela-sela pencariannya, Ari tetap disiplin menjalani kuliah profesi advokat dan terus menyelesaikan skripsinya dengan penuh semangat. Ia tahu, perjalanan ini tidak mudah, tapi ia yakin kerja keras dan ketulusan hatinya akan membuka jalan suatu saat nanti.Hari demi hari berlalu dengan perjuangan dan penolakan yang tak kunjung reda. Namun dalam setiap kegagalan, Ari belajar lebih banyak tentang keteguhan, keuletan, dan arti sebenarnya dari sebuah perjuangan. Ini bukan hanya tentang mencari pekerjaan, tapi membentuk diri menjadi sosok pengacara yang kelak bukan hanya pintar secara hukum, tapi juga kuat secara jiwa. Meski diterpa rintangan, semangat Ari tetap membara. Ia yakin, suatu saat pintu yang tepat akan terbuka, dan dia akan melangkah masuk bukan sekadar sebagai pelajar, tapi sebagai pejuang keadilan sejati. Hari-hari Ari di Jakarta semakin penuh tantangan. Setelah menetap di kosan sederhana di Depok, setiap pagi ia bergegas meninggalkan kamar kecilnya dengan membawa tas berisi dokumen, buku hukum, dan secangkir kopi seadanya. Dengan tekad bulat, Ari mulai menyusuri jalanan Jakarta yang padat dan berdebu, menuju gedung-gedung tinggi yang menjadi pusat kantor pengacara ternama.Namun, kenyataan tidak semanis harapannya. Di tiap pintu kantor yang dibukanya, Ari disambut dengan tatapan dingin atau kalimat penolakan yang hampir sama. "Maaf, kami tidak membuka lowongan magang sekarang," kata seorang resepsionis dengan sopan namun tegas. Di tempat lain, seorang sekretaris menolak dengan alasan "Tim kami sudah penuh, mungkin lain waktu."Ari mencoba menjelaskan latar belakangnya—lulusan sarjana hukum dengan pengalaman magang di beberapa kantor pengacara, serta semangat belajar yang tinggi—namun kata-kata itu seakan tenggelam dalam kesibukan mereka yang tak punya waktu. Beberapa kali ia bertemu dengan pengacara yang terkesan sibuk dan tidak memperhatikannya sama sekali.Setiap penolakan yang ia terima seolah menambah beban di dadanya. Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang serba cepat, Ari merasa seperti batu kecil yang terhimpit di antara reruntuhan gedung-gedung tinggi. Malamnya, ia duduk termenung di kamar kos yang sederhana, menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar layak?”Namun, kelelahan dan kesedihan itu tak mampu memadamkan api semangatnya. Ari selalu teringat pesan dari Kang Hasan, Mas Ratno, dan Pak Agusman yang mengajarinya bahwa perjuangan adalah guru terbaik. Ia tahu, sulitnya mencari tempat belajar dan berpraktik bukanlah tanda untuk berhenti, melainkan ujian untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhan.Dengan langkah yang tak pernah menyerah, esoknya Ari kembali melangkah ke jalanan Jakarta. Penolakan demi penolakan tetap ia terima, tapi keyakinan dalam hatinya semakin kuat: suatu hari, pintu yang tepat akan terbuka, dan di situlah ia akan menorehkan kisahnya sebagai pengacara sejati.Hari-hari Ari di Jakarta semakin penuh tantangan. Setelah menetap di kosan sederhana di Depok, setiap pagi ia bergegas meninggalkan kamar kecilnya dengan membawa tas berisi dokumen, buku hukum, dan secangkir kopi seadanya. Dengan tekad bulat, Ari mulai menyusuri jalanan Jakarta yang padat dan berdebu, menuju gedung-gedung tinggi yang menjadi pusat kantor pengacara ternama. Namun, kenyataan tidak semanis harapannya. Di tiap pintu kantor yang dibukanya, Ari disambut dengan tatapan dingin atau kalimat penolakan yang hampir sama. "Maaf, kami tidak membuka lowongan magang sekarang," kata seorang resepsionis dengan sopan namun tegas. Di tempat lain, seorang sekretaris menolak dengan alasan "Tim kami sudah penuh, mungkin lain waktu."Ari mencoba menjelaskan latar belakangnya—lulusan sarjana hukum dengan pengalaman magang di beberapa kantor pengacara, serta semangat belajar yang tinggi—namun kata-kata itu seakan tenggelam dalam kesibukan mereka yang tak punya waktu. Beberapa kali ia bertemu dengan pengacara yang terkesan sibuk dan tidak memperhatikannya sama sekali.Setiap penolakan yang ia terima seolah menambah beban di dadanya. Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang serba cepat, Ari merasa seperti batu kecil yang terhimpit di antara reruntuhan gedung-gedung tinggi. Malamnya, ia duduk termenung di kamar kos yang sederhana, menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar layak?”Namun, kelelahan dan kesedihan itu tak mampu memadamkan api semangatnya. Ari selalu teringat pesan dari Kang Hasan, Mas Ratno, dan Pak Agusman yang mengajarinya bahwa perjuangan adalah guru terbaik. Ia tahu, sulitnya mencari tempat belajar dan berpraktik bukanlah tanda untuk berhenti, melainkan ujian untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhan.Dengan langkah yang tak pernah menyerah, esoknya Ari kembali melangkah ke jalanan Jakarta. Penolakan demi penolakan tetap ia terima, tapi keyakinan dalam hatinya semakin kuat: suatu hari, pintu yang tepat akan terbuka, dan di situlah ia akan menorehkan kisahnya sebagai pengacara sejati.Di pagi yang mendung, Ari mengenakan kemeja terbaik yang ia punya—warna biru laut yang mulai pudar karena sering dicuci. Sepatunya tak lagi mengilap, tapi ia menyemirnya dengan sisa semangat yang masih ia punya. Ia tahu, hari itu adalah hari penting. Sebuah firma hukum besar di bilangan Sudirman membuka lowongan asisten magang. Nama firma itu sudah dikenal seantero negeri—pengacaranya sering tampil di televisi dan menangani kasus-kasus kelas kakap.Ari tiba lebih awal, duduk di lobi mewah dengan langit-langit tinggi dan lantai marmer dingin yang memantulkan langkah-langkah para eksekutif. Jantungnya berdegup keras saat namanya dipanggil.“Mr. Muhammad Ari Pratomo, please come in.”Di dalam ruangan, seorang pengacara senior duduk dengan jas mahal, didampingi dua orang staf HR yang membawa berkas-berkas lamaran. “So, Mr. Ari,” kata sang pengacara dengan logat Barat yang kental. “Tell us about your legal background.”Ari tersenyum kaku. Ia mengangguk pelan, mencoba menahan gugup. Ia menjawab dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, “I… come from Lampung. I was… intern in three legal office… I learn about… um… legal document, legal aid, and litigation…”Salah satu staf HR tampak menahan senyum, yang lain hanya menunduk. Ari tahu pelafalannya buruk. Ia tahu kata-katanya berantakan. Tapi ia juga tahu, ini bukan saatnya menyerah. Ia terus menjawab, meskipun lidahnya terasa kaku dan pikirannya berputar cepat.Pengacara senior itu menyela, “How is your legal writing in English? Can you make an agreement draft in English?”Ari menarik napas dalam. “I will try, Sir. I can learn… and I work hard. Very hard.”Ada jeda. Sebuah keheningan yang menggantung. Lalu, kalimat itu keluar.“Thank you, Mr. Ari. We appreciate your effort. But we’re looking for someone who already fluent. Good luck for your next opportunity.”Ari tersenyum sopan. “Thank you, Sir.” Lalu ia keluar ruangan dengan kepala tertunduk.Di koridor, Ari berjalan perlahan. Setiap langkah terasa berat. Rasa malu, kecewa, dan hampa berkelindan di dada. Namun ia tetap berjalan. Di luar gedung, angin Jakarta meniup wajahnya yang basah oleh peluh dan sedikit air mata yang tak bisa ditahan. Ia berdiri di pinggir jalan, memandangi keramaian ibukota, lalu duduk sebentar di halte terdekat.Dalam hati, ia bicara kepada dirinya sendiri. “Bukan karena aku bodoh. Tapi aku belum siap. Dan aku akan belajar sampai aku pantas.”Hari itu, Ari kembali ke kosan. Ia menulis semua pertanyaan wawancara dalam bahasa Inggris dan mencari artinya satu per satu. Dengan kamus di tangan dan tekad di dada, ia tidak berhenti. Sebab ia tahu: kegagalan hari ini adalah pijakan menuju kemenangan esok.Malam itu hujan turun pelan di jendela kecil kamar kos Ari. Lampu temaram menyorot wajahnya yang tertunduk di meja kayu lapuk. Tumpukan surat lamaran yang ia kirim ke berbagai kantor pengacara ternama masih berserakan. Semua tanpa jawaban. Beberapa bahkan dikembalikan, tanpa dibuka. Bekal uang hasil penjualan motor RX-King kesayangannya pun makin menipis. Di dompetnya, hanya tersisa uang pas-pasan untuk bertahan beberapa hari ke depan. Hari-harinya di Jakarta terasa semakin sunyi, semakin berat. Setiap malam ia menghitung sisa hari sebelum benar-benar tak punya uang lagi untuk makan.Dengan lelah, ia menyalakan air panas di termos listrik kecil pinjaman dari tetangga kos. Ia menuang kopi sachet terakhir ke gelas plastik bening, lalu duduk sambil memandangi dinding kamar yang penuh coretan motivasi yang ia tulis sendiri.Di antara tumpukan koran bekas yang digunakan sebagai alas meja, matanya tiba-tiba menangkap sepotong iklan kecil di pojok halaman. Potongan koran itu semula hanya akan ia jadikan alas gelas. Tapi tulisan tebal itu menghentikan gerakannya.“Pendaftaran Terbuka: Pendidikan Profesi Advokat (PERADI) – Fakultas Ilmu Komunikasi UI, Depok – Gelombang Terakhir Tahun Ini!”Ari menegakkan punggungnya. Ditatapnya potongan koran itu dengan penuh harap dan keraguan sekaligus. Matanya berkaca-kaca. Sebuah cahaya seperti menyala kembali dalam pikirannya. Ia membaca ulang kalimat itu tiga kali, memastikan bahwa ini bukan ilusi dari rasa lapar dan letih yang menumpuk.Tangannya bergetar saat ia mengambil pulpen dan menyalin informasi pendaftaran di sobekan kertas kecil. “Gedung Komunikasi UI, Depok. Mulai Senin depan.”Hatinya dipenuhi pertanyaan: Apakah uangnya cukup? Bagaimana kalau tidak lulus seleksi? Apakah ini terlalu nekat?Namun satu hal yang ia tahu: jika ia tidak mencoba, ia akan menyesal seumur hidup.Ari berdiri. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, wajahnya memancarkan keyakinan. Hujan di luar masih turun perlahan. Tapi di dalam dadanya, badai keyakinan sedang membesar.Ia berkata pelan pada dirinya sendiri, “Aku belum selesai. Ini mungkin jalan terakhir, tapi bisa jadi jalan terbaik.”Pagi itu, langit Depok masih redup, kabut tipis menyelimuti halaman depan kampus UI. Ari berdiri di depan gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, menggenggam map biru kusam berisi fotokopi KTP, pas foto, dan lembar transkrip nilai sementaranya. Wajahnya pucat, tapi matanya menyimpan tekad. Ia sudah menulis ulang kalimat pembuka di kepalanya puluhan kali. Hari ini adalah hari penentuan—apakah ia bisa ikut Pendidikan Profesi Advokat (PPA) atau harus pulang ke kampung halaman sebagai pecundang yang tak jadi sarjana hukum utuh. Langkahnya berat saat menaiki tangga lantai dua. Di ujung lorong, sebuah meja registrasi dijaga oleh dua panitia muda berseragam rapi. Di samping meja, ada banner besar bertuliskan “PENDIDIKAN PROFESI ADVOKAT PERADI – UI” dengan logo resmi dan wajah-wajah alumni yang tersenyum penuh kemenangan. Ari menelan ludah. Ia tidak punya kemenangan apa-apa hari ini—yang ia punya hanya keberanian untuk memohon.“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu panitia, tersenyum sopan.Ari mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara yang bergetar namun sopan, “Maaf, saya sangat ingin ikut PPA ini. Nama saya Muhammad Ari Pratomo. Saya baru lulus, tapi ijazah saya masih proses. Bisa tidak saya tetap ikut dan ijazahnya menyusul?”Panitia itu tampak ragu, membuka map formulir di depannya, lalu mengernyit. “Hmm, salah satu syarat utama memang harus sudah lulus dan ada fotokopi ijazah. Kalau belum ada, berarti belum bisa ikut gelombang ini, Mas.”Ari menghela napas dalam. Tapi ia tak menyerah.“Saya punya transkrip nilai resmi dari fakultas. Wisuda saya bulan depan. Saya bersumpah akan menyerahkan ijazah asli segera setelah keluar. Mohon... saya tidak punya waktu lagi. Ini satu-satunya gelombang tahun ini.”Panitia lain bergumam pelan, lalu meminta Ari menunggu sebentar karena harus berkonsultasi dengan koordinator.Beberapa menit kemudian, seorang pria berkemeja putih dan berjas hitam keluar dari ruangan dalam. Ia adalah Pak Seno, Koordinator Pendaftaran. Pria itu berwibawa dan matanya tajam. Ia menatap Ari dari atas ke bawah seolah menilai mental dan niatnya dalam satu tatapan.“Apa betul Anda belum punya ijazah dan belum bayar penuh?” tanyanya to the point.“Iya, Pak. Saya... saya tidak punya cukup uang. Saya hanya minta dibolehkan mencicil. Satu juta sekarang, sisanya menyusul. Saya akan cari kerja sambilan. Tapi saya mohon... jangan tolak saya hanya karena uang. Saya tidak minta gratis. Saya hanya minta kesempatan.”Pak Seno diam sejenak. Tangannya menyilang di dada. Matanya memandang jauh ke arah lorong kampus seakan menimbang beban permintaan yang sederhana tapi berat ini. Lalu ia berjalan pelan ke dekat Ari dan berkata: “Kamu tahu berapa banyak yang seperti kamu datang tiap tahun? Janji ini-itu, akhirnya tak menepati. Kalau kami lunak ke satu orang, yang lain akan menuntut hal yang sama. Ini sistem, bukan soal kasihan.”Ari menggigit bibirnya. Tapi ia tak kehabisan akal.“Pak... kalau saya mundur hari ini, saya tidak punya pilihan lain. Saya anak seorang sopir truk. Saya jual motor satu-satunya untuk datang ke Jakarta. Tapi saya tidak mau hidup dengan rasa menyesal karena tidak mencoba. Jika saya tak bisa dipercaya, coret saya dari daftar kapan pun. Tapi beri saya kesempatan untuk membuktikan... saya layak jadi advokat.”Hening sejenak. Bahkan suara angin pun terdengar lewat jendela lorong.Pak Seno memandang wajah Ari yang bersih dan serius. Lalu ia menarik napas panjang dan akhirnya berkata pelan, “Kalau kamu berani janji begitu, saya pun berani ambil risiko untukmu.”Ari menatap penuh harap.“Kamu diterima... dengan catatan. Buat surat pernyataan di atas materai hari ini juga. Ijazah menyusul maksimal tiga minggu. Cicilan harus lunas dalam dua bulan. Jika lewat, kamu otomatis keluar.”Air mata Ari hampir menetes.“Terima kasih, Pak. Sungguh... terima kasih banyak... saya tidak akan mengecewakan Bapak.”Pak Seno hanya mengangguk, lalu kembali ke ruangannya. Ari pun menoleh ke dua panitia yang sekarang tersenyum padanya dengan rasa hormat. Salah satu dari mereka berkata pelan, “Jarang ada yang berani bicara seperti kamu.”Hari itu, Ari menulis surat pernyataan dengan tangannya sendiri. Ia membubuhkan tanda tangan di atas materai sambil menggigil, bukan karena dingin, tapi karena seluruh hidupnya terasa bergantung pada secarik kertas itu. Dan ketika ia menyerahkan formulir pendaftaran, ia tahu: perjuangannya belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Jakarta, jalan di depannya terbuka meski hanya sedikit.Langkah kecil itu menjadi awal dari langkah besar yang akan mengubah hidupnya.Hari pertama di kelas PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) itu, udara Depok terasa lebih panas dari biasanya. Ari bangun lebih awal dari biasanya di kamar kosnya yang sempit dan hanya muat satu kasur tipis, meja lipat kecil, dan gantungan baju. Kemeja putih yang ia setrika semalam telah digantung dengan rapi di dinding. Celana hitam satu-satunya yang masih layak pakai telah disiapkan, meski bagian ujungnya sedikit robek dan sudah dijahit ulang.Ari berdiri di depan kaca kecil yang menempel di lemari plastik, menyisir rambutnya sambil memandangi bayangan dirinya sendiri. “Hari ini langkah baru, Ri,” gumamnya. Ia tersenyum tipis. Meskipun dompetnya hanya berisi uang sisa seadanya, tekadnya tetap penuh.Sesampainya di gedung Fakultas Hukum tempat kelas PKPA berlangsung, Ari melihat puluhan peserta lainnya sudah berkumpul di depan aula. Mereka terlihat berbeda. Kebanyakan mengenakan pakaian bermerk, sepatu kulit mengilap, bahkan beberapa membawa mobil sendiri dan berbicara dengan logat ibu kota. Ari menunduk pelan, merasa kecil dengan sepatu tuanya yang warnanya sudah pudar dan tas selempang yang mulai sobek di sudutnya.Namun ia cepat-cepat menguatkan diri. Ia tahu dirinya datang bukan untuk gaya, tapi untuk belajar. Untuk menjadi seseorang. Untuk menepati janji kepada ayahnya—bahwa ia akan menjadi sarjana hukum yang tak hanya lulus, tapi juga layak membela keadilan.Di dalam aula, suasana terasa tegang sekaligus menyenangkan. Suara derap sepatu, denting gelas kopi dari meja panitia, dan tawa ringan peserta lain mengisi ruangan. Ari memilih duduk di barisan belakang, membuka buku catatannya dan menulis tanggal: Hari Pertama PKPA – Pendidikan Profesi Advokat.Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu memasuki ruangan. Namanya dikenalkan sebagai Bapak Hendra Wicaksono, SH, MH, advokat senior dari firma hukum ternama. Beliau membuka kelas dengan suara berat dan penuh wibawa."Selamat pagi. Selamat datang para calon advokat Indonesia. Di ruangan ini kalian semua setara. Latar belakang kalian tidak penting. Yang penting, siapa kalian nanti di ruang sidang."Ari terdiam. Kalimat itu menampar sekaligus membesarkan hati. Ia mencatat dengan semangat.Satu demi satu, materi mulai diberikan. Tentang etika profesi, kode etik advokat, sejarah dunia peradilan, sampai teknik litigasi dasar. Ari menyimak dengan penuh perhatian, tak sedikit pun berani membuka ponsel. Sementara di sekitar, sebagian peserta malah asyik bermain gadget atau sesekali menguap.Ketika sesi tanya jawab dibuka, tak ada yang angkat tangan. Ari awalnya ragu. Tapi ada dorongan kuat dari dalam dirinya. Ia tahu, jika ingin diperhitungkan, ia harus bersuara. Dengan perlahan, ia mengangkat tangan."Maaf, Pak. Saya ingin bertanya. Jika dalam praktik kita membela seseorang yang sejak awal kita tahu bersalah, sejauh mana kode etik memberi ruang agar kita tetap menjaga profesionalitas sekaligus nurani kita sebagai manusia?"Ruangan tiba-tiba hening.Bapak Hendra menatap Ari dengan mata menyipit. Lalu beliau tersenyum."Pertanyaan yang sangat bagus. Siapa nama kamu, Nak?""Ari, Pak. Muhammad Ari Pratomo."Pak Hendra mengangguk. “Kamu mengingatkan saya pada masa muda saya dulu.”Ari tersenyum kaku, sementara beberapa peserta mulai memperhatikannya. Hari itu, untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di Jakarta, ia merasa... diperhatikan bukan karena penampilannya, tapi karena pikirannya.Kelas pertama berakhir menjelang sore. Ari keluar dari ruangan dengan buku catatan penuh coretan dan kepala penuh semangat baru. Di halaman kampus, ia duduk sejenak, melepas sepatu tuanya dan memijat kaki yang pegal. Tapi wajahnya tenang. Hatinya ringan.Ia membuka dompet dan menghitung uang terakhirnya. Masih cukup untuk satu minggu makan dengan hemat. Ia tahu, besok tantangan lain akan datang. Tapi hari ini, ia telah membuktikan satu hal:Bahwa tempatnya bukan hanya di bangku belakang. Tapi juga di antara mereka yang kelak akan berdiri di depan sidang, memperjuangkan kebenaran.Dan dari sinilah, cerita baru Ari sebagai calon advokat dimulai.Jam istirahat tiba. Ari berdiri dari kursinya, meregangkan punggungnya yang terasa pegal karena duduk terlalu lama. Ia melirik ke sekeliling, memperhatikan para peserta PKPA yang mulai bergerak ke luar ruangan, ada yang langsung ke kantin, ada pula yang berkumpul membentuk lingkaran kecil, membicarakan topik-topik ringan dengan tawa lepas.Ari melangkah pelan ke lorong menuju kantin fakultas. Ia tak membawa bekal, dan uang di dompet hanya cukup untuk satu bungkus nasi sederhana. Ia memilih menu paling murah: nasi, telur dadar, dan sayur bening. Dengan nampan sederhana, ia berjalan mencari tempat duduk kosong. Namun sebelum ia sempat duduk, terdengar suara berat dari arah belakangnya."Bro, sini aja duduk bareng. Lu sendirian, kan?"Ari menoleh. Seorang pria bertubuh besar dengan kulit cokelat gelap, rambut sedikit ikal, dan senyum lebar sedang menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Namanya tertera di name tag: Tambunan.Ari mengangguk, “Boleh, makasih ya.”Setelah mereka duduk, suasana langsung cair."Gue Tambunan. Dari Medan. Tapi udah lama di Jakarta, kuliah di Trisakti. Lu sendiri?""Ari. Dari Lampung. Baru aja nyampe Jakarta minggu lalu."Tambunan menaikkan alisnya. “Gila, baru nyampe udah langsung PKPA? Lu serius banget, bro.”Ari tertawa kecil. “Iya, karena kalau nunggu-nunggu terus, nggak akan mulai-mulai.”Obrolan mereka semakin akrab. Ternyata Tambunan orangnya ramah dan blak-blakan. Ia dengan santainya menceritakan suka duka kuliah hukum, kerja sambilan, bahkan pernah magang di kantor hukum yang boss-nya galak bukan main.“Gue juga udah nyoba ngelamar ke kantor-kantor di sini,” kata Ari. “Tapi semuanya nolak. Mungkin karena gue kelihatan kayak orang kampung.”Tambunan tertawa. “Yah, jangan minder, bro. Orang kota juga banyak yang goblok. Yang penting otak dan semangat lu. Buktikan aja. Nanti juga mereka bakal nyari lu sendiri.”Ari merasa hangat. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Jakarta, ia merasa punya teman yang bisa diajak tertawa, diskusi, dan mungkin, berbagi mimpi. Tambunan bukan hanya teman makan siang, tapi dalam beberapa menit saja sudah seperti sahabat yang lama hilang.Sebelum kembali ke kelas, Tambunan menepuk pundak Ari.“Lu gue ajak ngopi nanti sore, ya. Gue kenal satu dua orang dari kantor pengacara. Siapa tahu bisa bantuin lu cari tempat magang.” Ari mengangguk penuh haru. Ia tak menyangka, di tengah kesepian dan tekanan hidup di ibu kota, ia menemukan cahaya kecil: sahabat baru bernama Tambunan.Dan dari obrolan sederhana di kantin itulah, benih persahabatan mereka tumbuh — yang kelak akan menjadi salah satu kekuatan terbesar Ari dalam menempuh jalan panjang menuju Profesi advokat.Sore itu, usai kelas PKPA selesai, langit Jakarta mulai berubah jingga. Debu dan panas khas ibu kota masih terasa melekat di kulit, membuat banyak peserta buru-buru mencari kendaraan pulang. Ari masih duduk di bawah pohon besar dekat gedung Fakultas Hukum UI, menunggu angkutan umum yang entah kapan lewat. Tangannya menggenggam map lusuh berisi catatan dari kelas tadi, dan pikirannya mulai melayang ke sisa uang yang semakin menipis.Tiba-tiba, suara klakson pendek terdengar dari arah gerbang kampus.“Bro! Ari!” teriak suara berat yang kini mulai akrab di telinganya.Ari menoleh dan melihat Tambunan sedang membuka jendela mobil—sebuah sedan mewah berwarna hitam, dengan pelat nomor khusus. Ia tersenyum lebar dan melambai.“Lu naik apaan pulangnya? Jangan bilang naik metromini?” serunya sambil tertawa.Ari tersenyum kecut. “Iya… kalau beruntung dapat.”Tambunan membuka pintu penumpang. “Udahlah, masuk aja sini. Gue anterin. Sekalian ngobrol.”Awalnya Ari ragu. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah, dan tawaran itu terlalu menggoda. Ia masuk ke dalam mobil, duduk dengan hati-hati, takut mengotori jok kulitnya yang mewah.Mobil melaju pelan keluar dari kompleks kampus. Di dalam mobil, suasana hening sejenak sebelum Tambunan membuka percakapan.“Gue sebenarnya anak dari pengacara yang mungkin lu kenal. Nama bokap gue: Dr. Binsar Tambunan, S.H., M.H., punya kantor hukum sendiri di kawasan Sudirman.”Ari kaget, menoleh cepat ke arah Tambunan. Nama itu cukup sering muncul di berita hukum nasional.“Serius? Kantor Hukum Tambunan & Partners itu?” Tambunan mengangguk santai. “Yoi. Tapi gue nggak pernah suka bawa-bawa nama bokap. Gue pengen buktiin sendiri di PKPA ini. Biar gue nggak dikenal cuma karena anak siapa.”Ia menoleh ke Ari dan tersenyum kecil. “Makanya gue respek banget sama lu, Ri. Dari cara lu jawab pertanyaan di kelas, cara lu diskusi soal kasus… lu tuh tajem dan tenang. Padahal gue tahu lu lagi hidup susah. Tapi lu tetap nekat dateng, belajar, dan nggak minder. Itu mental pejuang.”Ari terdiam. Jantungnya berdebar pelan, bukan karena pujian, tapi karena haru.“Gini deh, gue udah bilang ke bokap soal lu. Gue cerita soal lu yang pinter, tapi kesulitan cari tempat magang. Bokap tertarik. Kalau lu mau, mulai minggu depan lu bisa bantu-bantu di kantor.”Ari terbelalak. “Serius, Bun?”“Seriuslah. Tapi jangan harap enak. Bokap galak, dan gue juga bakal keras ke lu. Tapi itu kesempatan emas. Di kantor itu, kita pegang kasus besar. Korporasi, pidana berat, sampai perkara internasional. Lu siap?”Ari mengangguk cepat. “Gue siap. Gue nggak akan nyia-nyiain.”Tambunan tertawa lebar. “Itu baru jawaban calon partner masa depan.”Mobil mewah itu terus melaju menyusuri padatnya jalanan Jakarta. Di balik kemudi, Tambunan terus berbicara dengan penuh semangat, menjelaskan kantor ayahnya, sistem kerja, dan orang-orang hebat yang mungkin akan Ari temui. Sementara di kursi penumpang, Ari duduk mematung, menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai basah.Dalam diamnya, Ari tahu: hidupnya baru saja berubah.Ia datang ke Jakarta dengan bekal pas-pasan dan harapan yang hampir padam. Tapi hari ini, ia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih mahal dari uang — sebuah kesempatan. Dan semuanya berawal dari pertemuan sederhana di kantin PKPA, dengan seseorang bernama Tambunan.Malam itu, setelah diantar Tambunan hingga ke gang kecil menuju kosannya di Depok, Ari berjalan perlahan melewati jalan setapak sempit yang hanya muat satu motor. Lampu-lampu temaram dari rumah warga menyinari langkahnya, dan aroma wangi gorengan dari warung ujung gang membuat perutnya kembali berbunyi. Tapi ia tak mampir. Uang di dompet tinggal dua lembar sepuluh ribuan, dan ia harus hemat, paling tidak sampai akhir pekan. Sesampainya di kamar kosnya yang sempit—tak lebih dari 3x3 meter, hanya ada kasur tipis, meja belajar, dan gantungan baju—Ari meletakkan tas, lalu duduk di lantai. Lampu neon di langit-langit berpendar redup, mengiringi keheningan yang menggantung di udara.Ia menatap langit-langit sambil menarik napas panjang. Di matanya, Jakarta terasa seperti medan tempur. Menuntut segala daya, logika, dan kesabaran. Ia bersyukur telah mendapatkan peluang dari Tambunan, tapi satu hal yang tak bisa ia abaikan: hidup di kota ini butuh uang. Banyak uang.“Magang di kantor pengacara itu bagus buat masa depan, tapi sementara ini gue tetap harus makan, bayar kos, ongkos ke kampus, dan beli kebutuhan PKPA…” gumamnya pelan.Pikirannya melayang cepat, seperti pengacara yang sedang memetakan strategi pembelaan. Ia mencoba mengingat semua kemampuan dan pengalaman di luar hukum yang ia miliki. Ia bukan anak konglomerat. Ia bukan pula jebolan luar negeri. Tapi ia punya semangat dan kemauan bertahan.“Dagangan… usaha kecil…” bisiknya. Ia teringat masa-masa dulu di kampus, saat sering bantu teman jualan fotokopi bahan hukum atau bantu jaga warung kopi di dekat fakultas.Lalu satu ide muncul. Ia bangkit cepat dan membuka map berisi catatan materi PKPA. Di situ ada daftar peserta dan kelas. "Gue bisa mulai dari sini," bisiknya.Ari mulai menuliskan rencana di atas kertas kosong:Jual minuman kopi kemasan dingin untuk peserta PKPA di pagi hari.Titip snack murah di kelas.Jualan catatan ringkas materi hukum — yang ia ketik ulang dengan bahasa yang mudah dipahami.Ia tersenyum kecil. “Kalau orang lain bisa hidup dari bisnis online dan makanan ringan, kenapa gue enggak?”Malam itu Ari menyusun strategi. Ia coret-coret daftar bahan, modal awal, siapa yang bisa jadi pembeli pertama. Ia mulai browsing cara buat kopi botolan modal hemat. Ia juga menuliskan ide nama usaha kecilnya: “LexKopi” — Ngopi Sambil Belajar Hukum.Ari tertawa kecil. “Aneh juga, tapi lucu.”Jam menunjukkan pukul 11 malam. Tapi matanya tetap menyala. Semangatnya tumbuh dari tekanan. Ia tahu perjuangan belum selesai. Bahkan bisa dibilang baru dimulai.Tapi malam itu di kamar sempit dan panas itu, seorang pemuda bernama Ari tidak tidur dalam ketakutan. Ia tidur dalam rencana. Dalam strategi. Dalam harapan.Karena di balik ratusan gedung tinggi Jakarta, Ari tahu: yang bertahan hidup bukan yang paling kaya… tapi yang paling keras kepala dalam memperjuangkan mimpi.Pagi itu, matahari baru saja mulai menembus celah-celah tirai kosan Ari saat ia sudah bangun, menyambut hari pertama penuh tantangan di pendidikan profesi advokat. Dengan langkah masih agak mengantuk, Ari merapikan buku-bukunya, mempersiapkan diri menghadapi materi hukum yang padat. Di kelas, suasana serius bercampur rasa penasaran, saat dosen-dosen mengalirkan ilmu yang selama ini hanya bisa Ari pelajari lewat buku dan praktik seadanya.Siang hari, selepas kelas, Ari langsung bergegas menuju kantor pengacara ayahnya Tambunan yang megah di pusat kota Jakarta. Walau merasa seperti ikan kecil di kolam besar, Ari bertekad menyerap semua pengalaman berharga. Ia membantu mengerjakan berkas-berkas, mencatat dengan teliti, bahkan sesekali diajak berdiskusi tentang kasus yang sedang ditangani. Meski begitu, tekanan kerja tak pelak membuat Ari harus cepat beradaptasi, berpacu dengan waktu dan ekspektasi tinggi dari lingkungan barunya.Setelah magang, malam hari menjadi momen paling melelahkan. Dengan modal nekat dan semangat, Ari mulai menjalankan usaha kecilnya: menjajakan kopi kemasan dingin kepada teman-teman sekelas PKPA dan warga sekitar kosan. Berkeliling dari satu titik ke titik lain, mengangkat tas penuh kopi dan snack, ia menyapa calon pembeli dengan senyum yang mulai melelahkan. Tubuhnya letih, matanya mulai berbayang karena kurang tidur.Namun, di balik lelah dan kantuk yang menggerayangi, Ari tetap teguh. Setiap tegukan kopi yang ia jual bukan hanya tentang usaha mencari nafkah, tapi juga simbol dari kegigihan seorang pemuda yang ingin meraih mimpi besar di tengah kerasnya ibu kota. Hingga akhirnya ia jatuh terlelap, dengan rasa puas karena telah menjalani hari penuh perjuangan—mengasah ilmu, menimba pengalaman, dan mempertahankan asa yang tak pernah padam.Ari menghela napas panjang saat memandang kalender yang menandai tanggal wisuda semakin dekat. Meski sudah lama menantikan momen itu, kenyataan hidup di Jakarta yang penuh tantangan membuatnya harus memutar otak keras untuk bisa pulang ke Bandar Lampung dan mengambil ijazahnya secara langsung.Setiap hari, Ari banting tulang ekstra. Siang ia mengasah ilmu di pendidikan profesi advokat, sore magang di kantor pengacara Tambunan, malamnya berkeliling menjual kopi demi menambah uang tabungan. Penghasilan yang didapat tak seberapa, tapi Ari tak pernah menyerah. Ia menabung sedikit demi sedikit, menahan rasa rindu dan lelah yang menyelimuti tubuhnya.Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya terkumpul cukup uang untuk ongkos pulang. Dengan hati penuh haru dan semangat yang membara, Ari membereskan barang-barangnya di kosan. Ia tahu, momen ini bukan sekadar perjalanan pulang, tapi juga tanda awal baru untuk masa depannya.Sesampainya di Bandar Lampung, Ari langsung menuju kampus dengan langkah mantap. Meski lelah perjalanan masih terasa, ia tak mau menunda lagi mengambil ijazah yang menjadi simbol perjuangannya selama ini. Setiap detik di kampus mengingatkannya pada segala suka dan duka yang pernah dilalui.Momen wisuda pun tiba, Ari berdiri di antara teman-teman seangkatannya dengan penuh kebanggaan. Semua jerih payahnya terbayar lunas. Namun ia tahu, perjalanan belum selesai—ini hanyalah awal dari babak baru yang penuh harapan dan tantangan. Dengan ijazah di tangan dan semangat tak pernah padam, Ari siap menatap masa depan yang lebih cerah.Ruangan wisuda penuh sesak dengan suara gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai para hadirin. Ari duduk di barisan tengah, jantungnya berdebar kencang, napasnya terasa berat. Ia menatap daftar nama yang terpampang di layar, bergantian dipanggil satu per satu oleh MC.Setiap nama yang terdengar membuat dadanya semakin sesak. Ada rasa haru, cemas, dan kebanggaan yang saling bertarung di dalam hatinya. Ia mengingat perjuangannya selama ini—banting tulang, menahan lapar, begadang, dan menghadapi penolakan tanpa henti."Sebentar lagi giliranmu," bisik hatinya.Lalu, tiba saatnya. Suara MC mengumandangkan, "Muhammad Ari Pratomo, Sarjana Hukum."Tubuh Ari seketika terasa ringan, ia berdiri perlahan dengan langkah gemetar namun penuh keyakinan. Saat berjalan menuju panggung, seluruh pandangan tertuju padanya. Beberapa tetes air mata haru mulai mengalir di pipinya, mengiringi setiap langkah yang mengantarkannya meraih hasil dari perjuangan tanpa henti itu.Di atas panggung, Ari menerima ijazah dengan tangan yang sedikit gemetar, namun matanya bersinar penuh kebanggaan dan syukur. Tepuk tangan meriah membahana, mengiringi momen sakral yang akan ia kenang sepanjang hidup.Saat kembali ke kursi, Ari duduk dengan dada yang membuncah—bukan hanya karena gelar yang diraih, tapi juga karena segala luka dan jerih payah yang kini berbuah manis. Dalam hati, ia bersumpah untuk terus berjuang, tak hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang percaya padanya.Setelah prosesi wisuda usai, dan suasana kampus mulai lengang, Ari melangkah penuh semangat dan rasa syukur. Langkahnya membawa kenangan panjang tentang perjuangan yang tak mudah, namun kini terasa manis. Ia bertekad untuk menemui tiga sosok penting dalam hidupnya—Mas Ratno, Kang Hasan, dan Pak Agusman—yang selama ini menjadi pilar kekuatannya di dunia hukum.Pertama, ia mengunjungi kantor Mas Ratno. Sesampainya di sana, ia disambut hangat oleh Mas Ratno yang tampak bangga. Ari pun mulai bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya di Jakarta, mulai dari kesulitan mencari kantor pengacara yang mau menerimanya, perjuangannya mengikuti Pendidikan Profesi Advokat, hingga segala suka duka yang ia hadapi selama magang di kantor Tambunan, putra Mas Ratno.Mas Ratno mendengarkan dengan seksama, kadang tersenyum, kadang mengangguk penuh pengertian. Ari menuturkan bagaimana ia harus membagi waktu belajar, magang, bahkan berjualan kopi demi bisa bertahan hidup. “Mas, saya sempat merasa putus asa, tapi saya ingat semua ajaran dan nasihat Mas, Pak Agusman, dan Kang Hasan. Itu yang membuat saya tetap bertahan,” ujar Ari dengan mata berkaca-kaca.Mas Ratno menepuk bahu Ari, berkata, “Kamu hebat, Ari. Tidak semua orang punya keberanian dan keteguhan hati seperti kamu. Perjuanganmu bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk mereka yang belum punya suara.”Setelah itu, Ari melangkah ke pondok pesantren milik Kang Hasan. Di sana, ia disambut dengan senyum hangat dan pelukan penuh kehangatan. Ari menceritakan bagaimana nasihat Kang Hasan soal keadilan dan hati nurani menjadi pondasi kuat saat ia menghadapi ujian skripsi dan berbagai tantangan di Jakarta.Kang Hasan mendengar kisah Ari dengan penuh perhatian, lalu berkata dengan lembut, “Ari, jalanmu masih panjang. Ingatlah, menjadi pengacara bukan hanya soal menang atau kalah, tapi bagaimana kamu memperjuangkan keadilan dengan hati yang jujur dan tulus. Jadikan itu kompas dalam setiap langkahmu.”Terakhir, Ari menemui Pak Agusman. Di kantor yang sederhana namun penuh aura kebijaksanaan itu, Ari berbagi pengalaman tentang kasus-kasus yang ia tangani selama magang, bagaimana ia belajar berkomunikasi dengan klien dan bernegosiasi, serta bagaimana ia menemukan kekuatan dalam kesulitan.Pak Agusman tersenyum, “Kamu sudah melewati banyak hal, Ari. Tapi ingat, ilmu hukum itu hidup dan terus berkembang. Jangan berhenti belajar dan selalu rendah hati. Karena di sanalah kekuatan seorang advokat sejati.”Malam itu, setelah berkunjung ke ketiga mentor yang sangat berarti dalam hidupnya, Ari pulang dengan hati yang penuh haru dan tekad yang semakin membara. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru permulaan, dan dengan bimbingan mereka, ia siap menghadapi masa depan.Cerita Ari menjadi inspirasi tentang keteguhan hati, kerja keras, dan pentingnya bimbingan dalam meraih mimpi. Ia tak hanya mendapatkan gelar sarjana hukum, tapi juga warisan nilai-nilai luhur yang akan ia bawa sepanjang hidup dan kariernya sebagai seorang pengacara yang benar-benar memperjuangkan keadilan.Tak lama setelah Ari kembali ke Bandar Lampung dan sempat menikmati momen penuh kehangatan bersama keluarga serta para mentor, telepon genggamnya bergetar di meja kamarnya. Nama “Tambunan” tertera jelas di layar. Dengan rasa penasaran bercampur sedikit cemas, Ari mengangkatnya.“Halo, Ari. Kamu di mana sekarang?” suara Tambunan terdengar agak terburu-buru.“Saya baru sampai di Lampung, Pak. Baru saja wisuda dan sempat pulang,” jawab Ari, mencoba menyembunyikan sedikit lelah dari suaranya.“Tapi Ari, ada kabar kurang menyenangkan. Kasus baru muncul dan klien kami sangat butuh bantuan. Kami juga sudah beberapa sesi pendidikan profesi advokat yang kamu lewatkan, dan itu penting sekali. Kamu harus segera balik ke Jakarta,” Tambunan menegaskan dengan nada serius.Ari menghela napas panjang. Rasa berat dan dilema langsung menghinggapi pikirannya. Ia ingin sekali menikmati kebahagiaan wisuda dan momen keluarga, tapi tanggung jawab dan panggilan profesi seolah memanggilnya kembali. “Baik, Pak. Saya akan segera urus keberangkatan saya,” jawab Ari dengan suara mantap, berusaha menyembunyikan kegelisahan.Sehari berikutnya, Ari mulai mempersiapkan segala keperluan untuk kembali ke Jakarta. Di tengah kesibukan itu, pikirannya terus berputar—bagaimana ia akan menghadapi tugas-tugas baru di kantor pengacara, mengejar ketertinggalan pendidikan profesi advokat, dan tentu saja mengatasi tantangan kasus yang menanti. Perjalanan ke Jakarta bukan hanya sekadar berpindah tempat, melainkan melangkah kembali ke medan perjuangan yang penuh liku.Perjalanan menggunakan bis Damri dari Bandar Lampung menuju pelabuhan Bakauheni terasa lebih berat kali ini. Setiap kilometer yang dilalui seakan membawa beban pikiran semakin berat, namun tekadnya tak pernah luntur. Di kapal laut, Ari duduk di sudut gelap kapal, menatap lautan yang luas, memikirkan masa depan yang belum pasti tapi penuh harapan.Setibanya di Jakarta, hiruk-pikuk kota besar langsung menyambutnya. Ari segera menuju kosan di Depok dekat kampus UI, tempat yang dulu ia tempati. Ia tahu waktu sangat berharga, dan ia harus segera beradaptasi kembali dengan ritme pendidikan dan pekerjaan yang menuntut.Hari-hari berikutnya diwarnai dengan rutinitas padat: menghadiri sesi pendidikan profesi advokat yang selama ini tertinggal, belajar keras demi mengejar materi, serta mempersiapkan diri untuk menghadapi kasus yang dipercayakan kepadanya. Meski lelah dan penuh tekanan, Ari tak pernah mengeluh. Ia terus menggenggam harapan dan mimpi untuk menjadi advokat yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga berjiwa sosial dan penuh integritas.Suasana di kelas PKPA kini terasa lebih menantang. Ari harus mengejar ketertinggalan, namun di sisi lain ia mendapatkan dukungan dari teman-teman dan mentor yang memahami perjuangannya. Tambunan, sahabat barunya, selalu memberikan semangat dan arahan, membantu Ari melewati masa-masa sulit.Kisah Ari yang kembali dari Lampung, dengan segala tantangan yang menghampiri, mengajarkan kita tentang arti keteguhan hati, bahwa perjuangan tak selalu mulus, tapi dengan niat dan kerja keras, pintu-pintu kesempatan akan terbuka lebar. Ari membuktikan bahwa meski langkahnya berat, dia tidak pernah berhenti berjalan maju.Pagi itu, di sebuah ruangan megah yang dipenuhi aroma kopi dan dokumen hukum, Ari duduk berhadapan dengan seorang pria yang dari sorot matanya saja sudah tampak bahwa dia bukan orang biasa. Pria itu adalah ayahnya Tambunan — Tuan Victor Tambunan, seorang pengacara top yang namanya melegenda di seantero ibukota. Bertahun-tahun mendampingi pengusaha, politisi, hingga warga biasa dalam perkara besar dan kecil, menjadikan Victor tak hanya dihormati, tetapi juga disegani.Namun pagi itu, dia tak duduk sebagai pengacara yang sombong dan tinggi hati. Ia duduk sebagai seorang mentor, sebagai seorang ayah, dan sebagai orang yang menaruh harapan pada Ari."Ari..." suara beratnya membuka percakapan. “Kamu anak cerdas. Tapi dunia hukum ini bukan sekadar soal teori dan pasal-pasal.”Ari menatapnya penuh hormat.“Kalau kamu ingin jadi pengacara yang tahan banting, yang tidak cuma pintar bicara tapi paham penderitaan, kamu harus turun langsung. Kamu harus lihat sendiri wajah hukum yang sebenarnya.”Ari mengangguk perlahan. Tuan Victor lalu menyandarkan tubuhnya dan melanjutkan dengan nada yang lebih pelan tapi dalam, “Aku ingin kamu belajar dari tempat yang benar-benar keras. Bukan dari firma besar, bukan dari ruang ber-AC. Tapi dari medan paling jujur... dari rakyat kecil yang berjuang hanya untuk didengar.”Ari terdiam. Kata-kata itu menampar lembut, membuka kesadaran yang selama ini samar.“Aku akan merekomendasikan kamu ke Posbakum — Pos Bantuan Hukum — di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,” ujar Tuan Victor sambil mengambil selembar kartu nama dari laci meja. “Di sana dipimpin langsung oleh Yan Apul. Dia itu pengacara yang dalam. Mungkin tidak terkenal di media sosial, tapi dikenal di hati orang-orang miskin Jakarta. Dia pernah nolak jadi pengacara artis demi dampingi tukang becak yang dirampas haknya.” Ari menerima kartu itu dengan dua tangan, dadanya berdebar.“Kamu akan banyak belajar dari dia. Tentang hukum, tentang rasa, dan tentang makna menjadi pembela rakyat.”Ari terdiam beberapa saat. Ia mencium tangan Tuan Victor dengan mata berkaca-kaca.“Terima kasih, Pak. Saya akan belajar sungguh-sungguh. Saya tidak akan mengecewakan kepercayaan Bapak.”Tuan Victor menepuk bahu Ari.“Banyak anak muda datang ke Jakarta untuk jadi pengacara hebat. Tapi tidak banyak yang bersedia jadi pengacara yang berguna. Jadilah yang kedua, Ari.”Hari itu, langkah Ari mengarah ke tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bukan gedung pencakar langit, bukan firma hukum bergengsi. Tapi ke sebuah ruangan sederhana di dalam kompleks Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Tempat di mana hukum menyapa mereka yang tak punya uang untuk membayar.Hari Senin pagi, udara Jakarta masih terasa hangat meski mentari baru saja merangkak naik. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, Ari melangkah dengan langkah pasti menuju Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Bukan sebagai pengacara terkenal, bukan sebagai pembela kasus besar. Tapi sebagai seorang murid yang ingin belajar langsung dari denyut nadi hukum yang paling jujur — di Pos Bantuan Hukum.Gedung pengadilan itu tampak megah dengan cat putih yang mulai memudar di beberapa sisi. Di depan gerbang, para pencari keadilan sudah mulai berdatangan — ada ibu-ibu membawa map usang, bapak-bapak tua dengan wajah penuh harap, dan beberapa pemuda yang tampak kebingungan mencari loket informasi. Semua wajah itu mengandung cerita yang Ari belum sepenuhnya pahami, tapi dia tahu… dirinya harus ada di sini.Dengan ransel yang sudah mulai usang dan sepatu yang tak lagi mengilap, Ari melangkah masuk dan langsung menuju ruang kecil bertuliskan: "POSBAKUM – Pos Bantuan Hukum". Di dalam, ruangan itu hanya diisi tiga meja tua, beberapa kursi plastik, dan rak berisi map perkara yang sudah menguning. Namun di balik kesederhanaannya, ruangan itu dipenuhi semangat yang luar biasa.“Eh, kamu anak baru ya?” sapa seorang perempuan berkacamata yang sedang menata berkas.“Iya, saya Ari… Muhammad Ari Pratomo. Direkomendasikan Pak Victor untuk belajar di sini. Saya ingin bertemu Pak Yan Apul,” jawabnya dengan sopan.Perempuan itu tersenyum, “Wah, anak rekomendasi Pak Victor! Saya Dita. Ini teman-teman saya, Rian dan Desi,” katanya sambil menunjuk dua orang lagi yang sedang duduk menulis. “Pak Yan lagi di ruang sidang, tapi kamu duduk aja dulu. Nanti pasti kamu diajak ikut.”Rian, seorang pria bertubuh kurus dengan rambut klimis menyambut Ari dengan tawa hangat. “Selamat datang di medan tempur. Di sini kamu gak cuma belajar pasal, tapi juga belajar sabar.”Desi, seorang perempuan berhijab dengan suara lembut, menambahkan, “Kadang-kadang klien kita gak ngerti hukum sama sekali, tapi tetap harus kita dampingi. Bahkan kalau perlu, kita jadi penerjemah hukum buat mereka.”Ari langsung merasa diterima. Tidak ada suasana kompetisi, tidak ada tekanan gengsi. Yang ada hanya semangat kolektif untuk membantu. Ini bukan tempat untuk pamer gelar, tapi tempat untuk benar-benar mengulurkan tangan.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang pria paruh baya masuk, mengenakan kemeja putih sederhana, dasi abu-abu kusut, dan membawa map lusuh. Wajahnya tenang, karismanya langsung terasa.“Ini anak baru kita?” tanyanya sambil menatap Ari tajam, namun hangat.“Iya, Pak. Ari,” jawab Ari sambil berdiri dan menjabat tangan dengan hormat.“Yan Apul. Saya bukan orang hebat, tapi saya percaya keadilan itu harus dibela, bukan ditunda. Kalau kamu di sini, kamu harus siap berjuang. Siap?”Ari mengangguk mantap, “Siap, Pak.”“Bagus. Hari ini kamu ikut saya sidang. Dengar, catat, rasakan. Nanti kita bahas bareng-bareng.”Hari itu, Ari resmi menjadi bagian dari Posbakum PN Jakarta Timur. Bersama teman-teman barunya — Dita yang tegas, Rian yang humoris, dan Desi yang sabar — ia mulai menjalani hari-hari yang penuh dengan perkara, tangisan klien, tumpukan dokumen, dan harapan-harapan yang menggantung di lorong pengadilan.Tapi justru dari tempat sederhana itulah, Ari merasa dirinya makin dekat dengan makna hukum yang sesungguhnya: bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang hadirnya keadilan bagi mereka yang selama ini dibungkam oleh ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.Pagi itu masih menyisakan sisa embun saat Pak Yan Apul melirik jam tangannya dan memberi isyarat pada Ari untuk mengikutinya. Tanpa banyak kata, mereka berjalan menyusuri lorong panjang Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Setiap langkah terasa berat bagi Ari, bukan karena lelah, tapi karena ia tahu, untuk pertama kalinya, ia akan menyaksikan secara langsung dinamika persidangan dari bangku pendamping bantuan hukum.Mereka masuk ke sebuah ruang sidang kecil. Di sana, seorang ibu paruh baya duduk di kursi terdakwa. Tubuhnya kurus, jilbabnya lusuh, dan tangan kasarnya bergetar menahan malu. Di sampingnya, seorang jaksa muda tengah mempersiapkan berkas dakwaan. Ari langsung merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ini bukan kasus besar, bukan sengketa miliaran, tapi entah mengapa terasa begitu berat.“Kasusnya ringan di atas kertas, tapi berat di hati,” bisik Pak Yan kepada Ari sambil menyerahkan salinan berkas.Ari membaca cepat: Nama: Ibu Sri Wahyuni. Usia: 43 tahun. Pekerjaan: buruh cuci. Tindakan: mencuri dua kotak susu formula di sebuah minimarket. Alasan: untuk anaknya yang sedang sakit dan tak bisa minum apapun selain susu formula.Ketika sidang dibuka, suara palu ketua majelis menggema lirih. Jaksa mulai membacakan dakwaan dengan nada datar. Ibu Sri tertunduk, tak sekalipun menatap ruangan. Air matanya jatuh satu-satu.Pak Yan berdiri tenang, lalu maju ke depan. “Majelis Hakim yang saya hormati,” katanya membuka pledoi, “saya tidak ingin mengurangi arti keadilan, tapi izinkan saya meletakkan nurani dalam ruang ini. Klien kami, seorang ibu yang tak punya daya, hanya ingin menyambung hidup anaknya. Ia tak punya uang, tak punya pekerjaan tetap, dan bahkan tak punya siapa-siapa.”Ia menoleh ke Ari sebentar, memberi isyarat agar memperhatikan setiap sudut argumen yang dibangun. “Jika keadilan hari ini hanya berdiri pada nilai dua kotak susu, maka marilah kita bertanya: berapa harga seorang ibu yang rela dipenjara demi sebotol kehidupan untuk anaknya?”Ruangan hening. Jaksa bahkan tak sanggup menatap wajah Ibu Sri. Hakim terlihat menunduk sejenak, menarik napas dalam.Di tengah persidangan, tiba-tiba Ibu Sri membuka suara dengan suara bergetar, “Saya cuma ingin anak saya sehat, Yang Mulia. Saya gak niat mencuri. Saya cuma mau dia punya tenaga buat sembuh. Saya rela dipenjara asal dia jangan mati kelaparan.”Ari menahan napas. Tangannya mengepal. Suatu rasa keadilan yang baru ia pahami kini bergemuruh dalam dada. Inilah hukum dari sisi manusia yang sesungguhnya — sisi yang tak diajarkan di bangku kuliah, tapi hadir lewat air mata, lapar, dan cinta ibu.Sidang ditutup dengan putusan menangguhkan penahanan Ibu Sri dan memberikan arahan untuk mediasi restoratif dengan pihak minimarket yang bersedia berdamai. Ibu Sri hanya bisa menangis. Dan di luar ruang sidang, saat Ari ikut membantu mengantar beliau keluar, ibu itu menggenggam tangan Ari erat, “Terima kasih, Nak. Kamu baik…”Ari hanya bisa menunduk, menahan air mata yang nyaris pecah. Di sebelahnya, Pak Yan menepuk pundaknya pelan, “Kamu sekarang sudah merasakan hukum yang sesungguhnya, Ari. Keadilan tidak selalu tentang menang, tapi tentang siapa yang tetap punya hati.”Dan hari itu, di tengah lorong usang pengadilan, Ari tahu, langkahnya menuju pengacara sejati baru saja dimulai.Sore itu, selepas sesi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang mulai memasuki materi tentang etika dan tanggung jawab moral pengacara, Ari bergegas menuju Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Di tangannya tergenggam map lusuh berisi dokumen fotokopi yang tadi pagi ia susun sambil menyeruput kopi jualannya. Kasus yang ia tangani kali ini datang dari Pos Bantuan Hukum (Posbakum) — seorang karyawan perusahaan pembiayaan yang dituduh menggelapkan dana konsumen hingga puluhan juta rupiah.Namanya Pak Reno, pria berusia 37 tahun dengan wajah lelah dan mata sayu. Saat pertama kali mendatangi Posbakum, ia hanya membawa selembar surat panggilan dan secarik kertas pengakuan bertanda tangan atas namanya. Namun ia bersikeras, tanda tangan itu ditekan oleh atasannya, bukan keputusannya sendiri.“Saya cuma disuruh tanda tangan buat pencairan bonus katanya. Saya gak pernah tahu kalau itu uang konsumen,” ucap Pak Reno dengan suara nyaris putus. “Saya gak pernah megang uang itu, Mas. Tapi sekarang saya yang dituntut.”Ari meneliti berkas dan mencoba menyusun strategi. Dalam hati ia tahu ini bukan perkara mudah. Tuduhan penggelapan menyangkut nama baik dan masa depan seseorang. Dan lebih sulit lagi jika bukti administratif memberatkan, meski sebenarnya korban hanya dijadikan kambing hitam.Di ruang sidang yang padat sore itu, Pak Yan hanya mengantar sampai ruang tunggu. "Ari, coba kamu maju sendiri hari ini. Saya ingin lihat kamu menangani ini dari awal sampai akhir. Saya percaya," ucapnya sambil menepuk bahu Ari.Langkah Ari terasa berat namun mantap. Ia berdiri mendampingi Pak Reno. Jaksa penuntut menguraikan dakwaan: penggelapan dana senilai 72 juta rupiah, dengan bukti dokumen pencairan yang ditandatangani terdakwa. Sesuai Pasal 374 KUHP.Ketika tiba giliran Ari membela, ia berdiri, menghela napas panjang, lalu membuka argumennya.“Yang Mulia, jaksa hanya menghadirkan satu alat bukti berupa surat bermeterai yang ditandatangani Pak Reno. Namun tidak pernah ada bukti bahwa uang tersebut diterima atau digunakan oleh klien kami. Ia hanya staf lapangan, bukan bagian keuangan, bukan manajer, bukan juga penanggung jawab proyek. Klien kami ditekan untuk tanda tangan sebagai formalitas — dan tekanan itu terjadi dalam situasi kerja yang tidak setara, tanpa saksi, tanpa notulensi, tanpa pemahaman menyeluruh.”Hakim mengangguk pelan, sementara Ari melanjutkan dengan memperkuat argumen melalui dokumen internal SOP kantor yang menunjukkan bahwa wewenang pencairan bukan berada di tangan Pak Reno.Di sisi pembelaan akhir, Ari membuka fakta tambahan — dua mantan karyawan yang memberikan kesaksian tertulis bahwa metode tekanan seperti itu kerap terjadi, dan semua uang selalu dikuasai oleh atasannya, bukan staf lapangan.“Yang Mulia,” tutup Ari dengan suara mantap, “jika keadilan diukur dari tanda tangan yang ditekan dan dipelintir, maka hari ini saya mewakili mereka yang tak bisa melawan di bawah meja kerja atasan yang zalim.”Majelis hakim menunda sidang untuk putusan pekan depan. Namun usai persidangan, Pak Reno menggenggam tangan Ari dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Mas Ari. Baru kali ini saya merasa didengar. Semoga Allah balas kebaikanmu.”Ari tersenyum, letih dan puas. Dalam perjalanan pulang naik angkot, ia merebahkan kepala ke jendela kaca yang berembun. Dua perkara, dua jiwa, dan dua kali pula ia menyaksikan bagaimana hukum bisa menyentuh sisi paling manusia dari kehidupan.Malam itu, di kamar kos kecil yang pengap di Depok, Ari menulis di catatannya:“Menjadi pengacara bukan tentang menang di pengadilan, tapi tentang membuat orang kecil merasa tidak sendirian.”Dan ia pun tertidur dalam peluh perjuangan dan hangatnya harapan.Pagi itu langit Jakarta tampak mendung, seolah ikut memantulkan suasana hati para pedagang kecil yang duduk berdesakan di ruang tunggu Posbakum Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ari baru saja tiba, tas selempang berisi dokumen masih menggantung di bahunya. Setelah mencatat kehadiran dan menyalami beberapa rekan Posbakum, ia dipanggil oleh staf yang membawa satu kasus baru — kasus yang akan membuatnya semakin memahami bagaimana hukum seringkali menjadi medan berat bagi rakyat kecil.“Mas Ari, ini ada Ibu Heni, pedagang lama di daerah Rawamangun. Lapaknya digusur paksa oleh oknum Satpol PP. Barang dagangannya hancur, kerugian sampai belasan juta. Tapi yang lebih parah, dia sekarang malah dilaporkan balik karena statusnya di Facebook dianggap mencemarkan nama baik aparat.”Ari menatap perempuan paruh baya itu yang duduk dengan wajah lelah, namun matanya penuh api perlawanan. Di tangannya tergenggam lembaran fotokopi surat panggilan polisi. Ia tak menangis, tapi tubuhnya sedikit gemetar saat mulai bercerita.“Mas... Saya cuma tulis di Facebook: 'Beginikah negara memperlakukan kami? Oknum berseragam menghancurkan dagangan kami seperti bukan manusia.' Itu pun saya tulis karena marah dan kecewa. Tapi malah saya dipanggil polisi. Dibilang menyebar kebencian.”Ari terdiam sesaat. Ia menatap lembaran salinan status Facebook itu, kemudian menatap wajah Ibu Heni. Dalam hatinya ia tahu, ini bukan hanya perkara hukum — ini soal ketimpangan kekuasaan dan suara kecil yang berusaha didengar.“Bu,” kata Ari pelan namun yakin, “saya akan dampingi Ibu. Status Ibu adalah bentuk ekspresi kekecewaan. Itu bukan penghinaan personal. Kita akan lawan dengan cara hukum yang benar.” Beberapa hari kemudian, Ari berdiri di ruang mediasi kepolisian, mendampingi Ibu Heni menghadapi pihak pelapor — seorang perwira Satpol PP dan pengacaranya. Ari menyampaikan pembelaan awalnya dengan hati-hati namun tegas.“Perlu dibedakan antara kritik terhadap tindakan oknum dengan serangan pribadi. Klien kami tidak menyebut nama, pangkat, atau foto siapa pun. Ia hanya menyampaikan perasaan setelah kehilangan mata pencaharian akibat tindakan aparat. Pasal pencemaran nama baik tidak boleh dipakai untuk membungkam kekecewaan warga.”Pengacara pelapor menyela dengan nada tinggi, menyebut status Facebook sebagai ‘penghasutan’ dan ‘fitnah yang bisa memperburuk citra institusi’. Namun Ari membalasnya dengan mengutip pasal-pasal UU ITE terbaru dan berbagai putusan MA tentang hak warga negara dalam menyuarakan kritik sosial.Setelah berjam-jam mediasi dan negosiasi, akhirnya polisi memutuskan bahwa perkara tidak layak dilanjutkan ke tahap penyidikan. Tidak cukup unsur pidana.Di luar ruangan, Ibu Heni menunduk dalam-dalam, menahan air mata. Kali ini bukan karena takut, tapi karena lega. Ia menggenggam tangan Ari.“Mas... Saya cuma orang kecil. Tapi Mas bikin saya ngerasa gak sendirian.”Ari hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu, kemenangan hari ini bukan untuknya. Tapi untuk setiap suara kecil yang kerap dibungkam oleh seragam dan jabatan.Malam harinya, Ari kembali ke kosan, membuka laptopnya yang mulai uzur, dan menulis catatan:"Kadang, tugas pengacara bukan sekadar membela di ruang sidang, tapi menjaga agar suara rakyat tidak lenyap dalam kebisingan kekuasaan."Lampu kamar menyala temaram. Sementara di luar, hujan mulai turun pelan, membasahi Jakarta yang masih menyimpan ribuan kisah ketidakadilan — menunggu Ari untuk datang dan mendengarkan.Hari itu, aula Fakultas Hukum Universitas Indonesia dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Para peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dari berbagai penjuru negeri, kini duduk rapi mengenakan kemeja terbaik mereka. Di antara mereka, Ari duduk di barisan tengah, jas pinjaman Tambunan melekat gagah di tubuh kurusnya. Matanya tak henti menatap podium, tempat di mana sebentar lagi nama-nama akan dipanggil, dan sebuah sertifikat akan menjadi bukti langkah pertama menuju mimpi panjang: menjadi advokat yang sesungguhnya.Pembawa acara mulai memanggil satu per satu peserta yang telah dinyatakan lulus mengikuti seluruh sesi PKPA. Suasana terasa haru namun penuh kebanggaan."Muhammad Ari Pratomo..."Nama itu menggema dari pengeras suara, membuat Ari tersentak kecil. Ia berdiri, menarik napas panjang, dan melangkah ke depan. Riuh tepuk tangan terdengar, terutama dari Tambunan yang berdiri sambil bersiul kecil — membuat beberapa orang melirik geli. Tapi Ari tak mempedulikan itu. Ia menatap lembar sertifikat di tangannya seperti sedang memegang kunci gerbang masa depan.Namun, ia tahu betul: ini baru awal.Masih ada dua tahap lagi yang harus ia lewati — dan dua tahap itu bukan perkara ringan. Yang pertama, magang selama dua tahun di kantor hukum yang resmi terdaftar. Ari telah menjalani sebagian magang tersebut di kantor ayah Tambunan, namun ia tahu jalan masih panjang dan harus terus mencari jam terbang dan perkara riil agar benar-benar matang.Yang kedua, ujian advokat. Satu langkah penentu yang akan membuktikan apakah ilmunya selama ini mampu dibawa ke medan nyata. Banyak cerita rekan-rekan yang gagal, bahkan setelah dua atau tiga kali ikut ujian. Tapi Ari tidak takut. Ia sudah terlalu lama berjalan untuk hanya ragu di depan pintu.Setelah acara selesai, Ari duduk berdua dengan Tambunan di warung kopi dekat kampus. Di meja mereka, selembar sertifikat terselip di map cokelat, terkena noda kopi yang mengering."Akhirnya," kata Tambunan sambil menyandarkan badan, "tinggal dua langkah lagi, Ri."Ari mengangguk pelan, menatap langit malam Depok yang berpendar samar oleh lampu jalan.“Dua langkah yang mungkin akan jadi yang paling berat... Tapi juga paling menentukan,” balasnya.Tambunan menatapnya serius. “Lo udah sampai sini, Ri. Jauh dari rumah, jual motor, ngopi malam-malam cuma buat survive. Jangan pernah berhenti. Dua tahap itu bukan penghalang. Itu penegasan. Bahwa lo bukan cuma pengacara di atas kertas.”Ari hanya tersenyum. Dalam diamnya, ia tahu satu hal: ia mungkin datang dari kota kecil, dengan logat yang belum sepenuhnya hilang, dan uang yang seringkali pas-pasan. Tapi semangatnya — itu tak pernah kecil.Dan malam itu, dengan secangkir kopi hangat dan mimpi yang belum selesai, Ari bersiap melangkah lagi. Kini lebih yakin, bahwa setiap tetes keringat dan air mata akan menjadi batu loncatan menuju satu gelar yang ia perjuangkan sepenuh hati: Advokat.Pagi hari, matahari baru mengintip dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta Timur ketika Ari sudah berdiri rapi di depan gedung Pengadilan Negeri. Kemejanya sederhana, namun disetrika dengan rapi. Ia membawa tas selempang berisi map, buku catatan, dan kode etik advokat yang sudah lusuh di pojok-pojoknya.Di dalam pengadilan, ia kembali bertemu dengan Pak Yan dan para staf Posbakum. Wajah-wajah yang sudah mulai akrab kini menyapanya hangat. Hari ini ada beberapa kasus yang harus ditangani. Seorang ibu tua kehilangan rumah karena tipu daya rentenir, seorang buruh pabrik dipecat tanpa pesangon, dan seorang pemuda dituduh mencuri motor padahal hanya pinjam milik temannya.Ari duduk mendengarkan mereka satu per satu. Ia mencatat dengan rinci, memberi penguatan, membacakan pasal-pasal yang relevan, dan mulai menyiapkan dokumen untuk advokasi. Ia tak hanya belajar hukum di sini — ia belajar memahami luka orang kecil yang sering tak terdengar suaranya.Setelah seharian di pengadilan, sore menjelang malam Ari pulang ke kosannya di Depok. Tapi malam bukan waktu untuk beristirahat baginya. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia menata gerobak kecil yang ia sulap menjadi kedai kopi sederhana di pinggir jalan — tak jauh dari gerbang masuk sebuah rumah kos besar yang dihuni banyak mahasiswa dan pekerja.Kedainya ia beri nama: “Kopi & Konsultasi”.Bukan sekadar nama. Setiap malam, sambil menyeduh kopi hitam atau susu jahe, Ari membuka sesi konsultasi hukum gratis bagi siapa pun yang datang. Ada yang bertanya soal kontrak kerja, ada pula yang galau karena hutang pinjol. Seorang satpam curhat soal perceraiannya. Mahasiswa bercerita tentang sengketa warisan orangtuanya.Ari tak pernah menagih bayaran. Cukup beli segelas kopi, dan mereka bisa bicara. Kadang ia lelah. Sangat lelah. Badannya kurus dan matanya sering sembab karena kurang tidur. Tapi setiap malam, ketika ia selesai menutup kedai sekitar pukul 1 dini hari, ada perasaan hangat di dadanya. Seolah-olah ia tahu, apa pun rintangannya, ia sedang berada di jalan yang benar.Sambil menata gelas-gelas ke ember kecil dan mengunci gerobak, ia menatap langit Jakarta yang temaram."Pelan-pelan, Jakarta. Aku belum selesai," gumamnya.Dan di dalam benaknya, satu kalimat terus hidup:“Keadilan bukan hanya milik yang mampu membayar mahal, tapi milik siapa pun yang berani berharap.”Setiap malam di kedai kecilnya, Ari bukan hanya menyajikan kopi—ia menyajikan ruang aman bagi mereka yang tak didengar di tempat lain. Di sudut jalan Depok yang tenang namun penuh cerita, “Kopi & Konsultasi” menjadi saksi bisu air mata dan luka-luka yang tak tampak.Meja kayu sederhana, bangku plastik, dan lampu temaram cukup untuk membuat orang-orang berani membuka cerita hidup mereka. Di sinilah Ari mendengar kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal suaminya tanpa nafkah dan dokumen cerai, padahal ia harus menghidupi dua anak kecil. Di malam lain, datang seorang driver ojek online yang kena tilang semena-mena, padahal hanya terlambat perpanjang SIM karena tak sanggup membayar.Setiap cerita seperti merobek lembar-lembar baru dalam catatan batin Ari. Mereka datang dengan wajah lelah, suara pelan, dan mata yang menyimpan rindu pada keadilan. Dan di depan mereka, Ari hanya seorang pria muda dengan gelas kopi, bolpoin, dan segenap tekadnya untuk mendengarkan dan mencarikan jalan. “Mas Ari, saya cuma pengen tahu... apakah hukum di negeri ini cuma berpihak pada yang kaya?” tanya seorang pedagang kaki lima malam itu. Matanya berkaca-kaca karena gerobaknya digusur tanpa peringatan oleh aparat.Ari diam. Ia tahu, tak semua bisa dijawab dalam satu malam. Tapi ia menjawab dengan caranya sendiri — mendengar, mencatat, dan menjanjikan bahwa ia akan mencari celah hukum yang bisa memperjuangkan mereka.Setiap kali mengunci gerobak kopinya di akhir malam, Ari merasa seolah menggembok satu gudang cerita tentang penderitaan yang tak masuk berita.Tapi ia tak mengeluh.Karena ia tahu, ini bukan tentang jadi pahlawan. Ini tentang jadi manusia.Dan setiap tetes air mata yang ia lihat di kedai kopinya, mengukir satu janji di hatinya:Bahwa hukum tidak boleh hanya milik yang mampu — tapi milik setiap orang yang memerlukan keadilan.Di bawah langit Jakarta, dengan aroma kopi dan malam yang hening, Ari terus merawat harapan. Satu gelas demi satu cerita.Makin hari, kedai kopi milik Ari bukan sekadar tempat berteduh dari lelahnya Jakarta. Kedainya menjelma menjadi semacam pos pengaduan sunyi yang tak dimiliki negara. Orang datang bukan untuk menikmati rasa pahit manis dari secangkir kopi, tapi untuk meluapkan getir hidup yang tak tertampung di pengadilan, tak dipedulikan oleh sistem, dan tak dianggap oleh kekuasaan.Setiap malam, bangku plastik di depan gerobak Ari dipenuhi wajah-wajah gelisah. Mereka menunggu giliran bukan untuk memesan, tapi untuk berbicara. Dan anehnya, tak satu pun dari mereka datang membawa uang. Mereka hanya membawa berkas-berkas penuh coretan tangan, fotokopi laporan polisi yang tak ditindaklanjuti, surat panggilan yang membingungkan, atau sekadar cerita yang sudah berkali-kali ditolak oleh kantor hukum besar.Ada yang menangis karena digugat balik setelah menjadi korban penipuan. Ada anak muda yang dipecat tanpa pesangon karena melaporkan pelecehan. Ada janda tua yang tanah warisannya hendak dikuasai mafia tanah.Dan Ari… selalu ada di tengah mereka. Menyeduh kopi dengan satu tangan, membuka berkas dengan tangan lain, dan membuka hatinya sepenuhnya untuk mendengarkan.Namun yang paling membuat hati Ari remuk adalah satu kenyataan: Kedainya makin ramai, tapi bukan karena jualannya laku. Melainkan karena tangisan keadilan yang tak pernah berhenti mengalir.Malam itu, Tambunan mampir. Dengan mobil hitamnya yang biasa parkir jauh agar tak mencolok. Ia melihat sendiri betapa gerobak kopi Ari dikelilingi penderitaan.“Ri, tempat ini... bukan sekadar warung. Ini tempat pengakuan dosa hukum kita,” bisiknya, pelan.Ari hanya tersenyum letih.“Aku enggak punya banyak, Ban. Tapi selama mereka datang dengan air mata... aku nggak bisa tutup gerobak ini.”Tambunan menatapnya lama. Lalu tanpa berkata-kata, ia bantu Ari menyajikan kopi, mengangkat berkas, dan sesekali menghibur pengunjung dengan candaan receh yang membuat mereka bisa tertawa—meski hanya sebentar.Malam-malam berikutnya, berita tentang kedai Ari mulai menyebar dari mulut ke mulut. Bukan sebagai “tempat kopi enak”, tapi sebagai tempat di mana hukum masih mau mendengar.Dan begitulah, kedai itu tumbuh bukan karena menu yang lengkap. Tapi karena jiwa yang utuh. Karena bagi mereka yang terpinggirkan, Ari dan gerobaknya adalah tempat terakhir untuk berharap.Di antara asap kopi, dinginnya malam, dan tumpukan masalah hukum yang tak pernah usai, Ari tetap berdiri. Bukan sebagai penjual kopi biasa. Tapi sebagai penjaga lilin kecil keadilan yang terus menyala di tengah gelapnya Jakarta.Akhirnya, kabar yang selama ini ditunggu-tunggu datang juga. Sebuah pengumuman dari DPN Peradi tersebar luas—Ujian Advokat Gelombang Satu resmi akan digelar. Pengumuman itu bukan sekadar informasi biasa. Bagi mereka yang selama ini berjuang dalam senyap di balik meja posbakum, itu adalah momen krusial, ujian hidup yang akan menentukan apakah pengabdian dan peluh selama ini akan menemukan jalan resminya sebagai seorang advokat.Ari membacanya pagi-pagi dari layar ponsel miliknya yang retak di sudut kiri. Tangannya sempat gemetar. Bukan karena takut, tapi karena seperti diingatkan kembali bahwa perjuangan panjang ini belum berakhir, justru akan segera memasuki babak paling menentukan.Di ruang kecil Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Timur, suasana mendadak riuh. Semua yang tergabung sebagai paralegal dan peserta magang di sana berkumpul. Ada yang memotret pengumuman dari WhatsApp group, ada yang langsung mengisi formulir pendaftaran online, dan tak sedikit yang hanya duduk diam—merenungi kesiapan mereka sendiri.Pak Yan Apul masuk, melihat mereka satu-satu, lalu berdiri di tengah ruangan.“Ini bukan cuma soal lulus atau tidak. Ini soal keberanian kalian untuk berdiri sejajar. Selama ini kalian melayani rakyat kecil, tapi belum punya kewenangan penuh. Ini saatnya kalian rebut legitimasi itu. Jangan pikirkan siapa yang akan lulus. Pikirkan siapa yang tidak akan kalian bantu jika kalian berhenti di sini.”Semua terdiam. Lalu satu per satu mulai mengambil keputusan. Mendaftar.Ari adalah yang pertama menyerahkan berkasnya. Di belakangnya menyusul Rara, Dito, Tambunan—meski ayahnya bisa dengan mudah mengamankan posisi di kantor besar, Tambunan memilih ikut jalur rakyat. Ikut mendaftar dari Posbakum.Hari itu, di antara tumpukan berkas perkara dan tangisan klien yang belum berhenti berdatangan, para calon advokat Posbakum sepakat: mereka akan berjuang, bukan untuk nama, bukan untuk popularitas, tapi untuk janji diam mereka kepada rakyat—bahwa hukum bukan milik orang kaya saja.Mereka belajar bersama, malam-malam di kedai kopi Ari berubah menjadi sesi belajar darurat. Tambunan menyumbang buku-buku hukum tebal, Ari menyiapkan kopi gratis untuk yang belajar, dan Pak Yan sesekali datang memberi pembekalan materi dan mental.Ujian itu akan datang. Dan mereka siap. Bukan karena mereka merasa hebat, tapi karena mereka tahu—di balik status advokat yang akan mereka kejar, ada suara-suara kecil yang selama ini bergantung pada mereka.Dan bagi Ari, ini bukan akhir. Ini justru permulaan dari pengabdian yang sesungguhnya.Hari itu, suasana aula tempat ujian advokat digelar terasa tegang sejak pagi. Semua peserta datang dengan pakaian rapi dan wajah penuh harap. Ari mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi hitam, dan jas pinjaman dari Tambunan. Ia duduk di kursinya dengan tenang, mencoba mengendalikan degup jantung yang sedari tadi tak karuan.Soal ujian pun dibagikan.Ari menatap lembar demi lembar dengan penuh semangat. Ia mengingat kembali malam-malam begadang di kedai kopi, buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan fakultas hukum UI, diskusi panjang dengan Tambunan dan teman-teman Posbakum, serta semua perkara yang pernah ia tangani bersama Pak Yan. Semua pengalaman itu terasa seperti amunisi yang cukup.Dengan percaya diri, ia mengisi satu per satu jawaban. Ada soal yang membuatnya tersenyum karena ia ingat pernah mendebatkan hal serupa saat menangani kasus maling susu di supermarket. Ada pula soal yang cukup membuatnya berpikir keras, tapi Ari tidak panik. Ia yakin.Beberapa minggu berlalu, dan hari pengumuman pun tiba. Nama-nama yang lulus diumumkan melalui situs resmi dan juga papan pengumuman yang ditempel di kantor DPN Peradi.Ari datang sendirian. Ia berdiri di depan papan pengumuman yang sudah dikerumuni banyak peserta lain. Matanya menelusuri satu per satu baris nama."Tambunan… Rara… Dito…" bisiknya perlahan.Ia terus mencari."Muhammad Ari Pratomo..."Namun nama itu tak juga ditemukan. Ia membaca lagi. Lebih pelan. Lebih teliti. Sampai akhirnya kenyataan menamparnya keras. Namanya tidak ada. Ari menatap papan pengumuman itu lama. Dunia seakan berhenti berputar. Semua suara di sekelilingnya mendadak menghilang, menyisakan gemuruh kecewa dalam dadanya sendiri. Ia mundur perlahan, lalu berjalan menjauh, menunduk, seperti seseorang yang baru saja kalah dalam perang yang ia yakini akan ia menangkan.Di halte bus Transjakarta, ia duduk lama, menatap langit yang mulai kelabu. Angin sore menerpa wajahnya, seolah ikut menertawai harapannya yang runtuh.“Aku gagal…” gumamnya lirih.Tangannya mengepal. Ia bukan menyesali dirinya, tapi ia merasa telah mengecewakan banyak orang. Pak Yan, orang tuanya di Lampung, teman-teman Posbakum, bahkan semua klien yang berharap suatu hari nanti dia bisa benar-benar menjadi pengacara resmi.Namun di balik kekecewaan itu, ia tahu satu hal:Ini bukan akhir. Ini adalah pelajaran. Ini adalah seleksi alam untuk para pengabdi kebenaran.Dan Ari, meskipun sedang jatuh, tidak punya rencana untuk menyerah.Pagi itu, suasana Posbakum Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak seramai biasanya. Hujan gerimis sejak dini hari seperti tahu bahwa hati Ari masih diguyur kecewa yang belum reda.Ari datang dengan langkah pelan. Wajahnya kusut, rambutnya sedikit berantakan karena semalam ia tertidur tanpa sempat mandi. Jaket lusuh yang membalut tubuhnya seperti ikut menyimpan letih yang panjang. Ia menyapa rekan-rekan Posbakum yang sudah lebih dulu tiba, tapi senyumnya tak seperti biasanya—lebih datar, lebih berat.“Eh, Ri… lo udah tahu hasil ujian kemarin?” tanya Sari, teman satu angkatan di PKPA yang duduk di meja depan sambil menyiapkan berkas perkara.Ari hanya mengangguk pelan. “Udah,” jawabnya singkat.Pak Syaiful, pensiunan guru besar hukum yang juga ikut ujian dan kini menjadi relawan senior di Posbakum, mendekat dengan ekspresi tenang.“Gimana, Ri?” tanyanya lembut, seperti seorang ayah kepada anak yang baru jatuh.“Gagal, Pak…” jawab Ari, menunduk. Ia tidak sanggup menatap mata siapa pun pagi itu.Seketika ruangan hening sejenak. Beberapa yang mendengar menoleh. Namun bukan ejekan atau sindiran yang datang, justru simpati dalam diam.“Kamu bukan satu-satunya, Nak,” kata Pak Syaiful sembari menepuk bahu Ari. “Dari ribuan peserta, cuma delapan belas yang lulus. Saya juga nggak lolos. Bahkan Pak Wirya, pensiunan hakim tinggi itu… juga nggak lulus. Ini ujian yang bukan cuma soal pintar, tapi soal ketahanan.”Ari terkejut. “Pak Wirya… nggak lulus?”Pak Syaiful mengangguk mantap. “Iya. Jadi jangan kamu kira kegagalanmu itu aib. Justru di sinilah dibentuknya mental pejuang hukum. Yang kuat akan bangkit, yang lemah akan menghilang.”Ari mengangguk pelan, seperti menyesap semangat dari kata-kata itu. Ia duduk di bangkunya yang biasa, menatap map-map permohonan bantuan hukum yang menumpuk di meja.Tambunan datang menyusul, dengan wajah bingung melihat Ari yang murung. “Lo nggak lulus juga?”Ari hanya menatapnya dan mengangguk.“Gue juga nggak. Bokap gue bilang, ‘Itulah kenapa lo harus belajar dari orang-orang yang jalan hidupnya bukan disiapin, tapi ditempa.’ Dan sekarang gue ngerti maksudnya.”Ari tersenyum samar. Ia merasa sedikit lega. Ternyata bukan hanya dirinya yang gagal. Dan bukan hanya dirinya yang tetap memilih bertahan.Pagi itu, Posbakum kembali hidup perlahan. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena semangatnya menyala kembali. Ari membuka map pertama, membaca surat permohonan dari seorang buruh yang di-PHK sepihak. Ia menarik napas panjang.Gagal di ujian bukan berarti gagal jadi pembela keadilan.Dan dari hari itu, Ari tahu: ia akan bangkit. Bukan karena dunia menyuruhnya, tapi karena hati nuraninya tak pernah mengizinkannya berhenti.