Login Daftar - Gratis

Kemenangan kaum muslimin

Di publikasikan 15 Jun 2025 oleh Bangun

Telah disebutkan di bab-bab sebelumnya, bahwa kaum muslimin dari sisi jumlah pasukan, dan perlengkapan perang mereka kalah besarMelihat hal ini maka Rasul ﷺ istighosah, bermunajat, berdoa dengan penuh harap kepada zat yang maha pemberi pertolongan Annashiir Allah jalla wa'ala Dalam doanya, Rasul tak henti hentinya mengulangi doanya yang meminta agar diberikan kemenangan dari peperangan iniMaka sungguh Allah sesuai dengan janjinya tidak akan menyia-nyiakan doa dari hambanya yang penuh kerendahan, keikhlasan, penuh harap dalam berdoa.Maka kaum muslimin diberikan kemenangan oleh Allah jalla wa'ala dengan diturunkannya bantuan 1000 malaikat yang terus menerus turun hingga berjumlah 5000 malaikat.Kemenangan kaum muslimin diikuti dengan:Gugurnya 14 orang dari kaum musliminTewasnya 70 orang dari musuh, termasuk abu jahlDitawannya 70 orang dari musuhSisa pasukan musuh mundur dari medan peperangan

Perang Badr

Lokasi perang

Di publikasikan 15 Jun 2025 oleh Bangun

Lokasi perang berada disebuah lembah yang bernama Badr, letaknya 150 km dari kota madinah.Perjalanan menuju tempat perang tersebut tentunya tidak mudah bagi kaum muslimin. Sudah disebutkan di bab sebelumnya bahwa jumlah kaum muslimin hanya 313 orang, 2 kuda, dan 70 unta.Maka untuk menempuh perjalanan 150 km tidaklah mudah bagi kaum muslimin, kaum muslimin harus bergantian menunggangi kuda-kuda dan unta-unta mereka, termasuk rasul ﷺ juga bergantian menunggangi untanya 

Perang Badr

Duel sebelum peperangan

Di publikasikan 15 Jun 2025 oleh Bangun

Terdapat kisah duel yang terjadi antara kaum quraisy yang dipimpin Abu Jahal dan kaum muslimin yang di pimpin Rasul ﷺ Duel disini adalah 1 orang pasukan melawan 1 orang pasukan.Kaum quraisy lah yang menantang duel ini, awalnya rasul ﷺ menyiapkan 3 orang dari kaum Anshar dari pasukannya, akan tetapi abu jahal tidak mau, mereka meminta peserta duelnya dari kaum quraisy jugaMaka ada 3 orang yang dipilih Rasul ﷺ untuk mengikuti duel ini, diantaranya:AliHamzahUbaidahLalu dari pasukan abu jahalWalid bin UtbahUtbah bin RabiahSaibah bin RabiahAli melawan WalidHamzah melawan UtbahUbaidah mleawan SaibahPada akhirnya Ali dan Hamzah memenangkan duel ini

Perang Badr

Kata Pengantar

Di publikasikan 09 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Perubahan adalah keniscayaan, dan dalam dunia hukum, perubahan bisa menjadi medan ujian yang sesungguhnya. Ketika KUHP Nasional disahkan untuk menggantikan warisan hukum kolonial, kita dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang. Tantangan untuk memahami kembali norma-norma yang selama ini telah mapan. Peluang untuk membangun sistem hukum pidana yang lebih berdaulat dan sesuai dengan nilai-nilai bangsa sendiri.Buku ini ditulis bukan semata-mata sebagai rekap teori, melainkan sebagai alat bantu bagi para pengacara dan praktisi hukum untuk tetap relevan di tengah perubahan. Di dalamnya, saya berusaha menyajikan perspektif praktis: bagaimana menghadapi peralihan norma, bagaimana menyesuaikan strategi pembelaan, dan bagaimana menjaga etika profesi di tengah ketidakpastian hukum.Saya menyadari bahwa tidak semua aspek KUHP baru dapat dibahas tuntas dalam satu buku. Namun, saya berharap buku ini dapat menjadi batu pijakan awal—mengarahkan kita untuk berpikir ulang, bersiap, dan bertindak secara tepat dalam menyikapi era baru hukum pidana Indonesia.Semoga buku ini bermanfaat bagi sesama pengacara, akademisi, mahasiswa, maupun semua pihak yang peduli terhadap masa depan penegakan hukum di Indonesia.Hormat saya, Muhammad Ari Pratomo Pengacara Indonesia

Persiapan Pengacara Menghadapi Peralihan KUHP yang Baru

Deskripsi Singkat Buku Ini :

Di publikasikan 09 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Peralihan menuju KUHP Nasional bukan sekadar perubahan pasal, melainkan juga pergeseran paradigma dalam praktik hukum pidana. Buku ini disusun untuk membantu para pengacara, akademisi, mahasiswa hukum, dan masyarakat umum dalam memahami dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan serta peluang yang muncul dari diberlakukannya KUHP yang baru.Ditulis oleh praktisi hukum yang aktif menangani perkara-perkara aktual, buku ini menawarkan pendekatan yang praktis dan aplikatif, dengan fokus pada:Penjabaran pasal-pasal baru yang berdampak pada praktik hukumAnalisis perbandingan antara KUHP lama dan KUHP baruStrategi adaptif bagi pengacara dalam membela klienPanduan bersikap profesional di tengah ketidakpastian normaContoh kasus singkat dan tips praktik di lapanganBuku ini bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijadikan panduan kerja nyata.Hak Cipta © 2025 Muhammad Ari Pratomo Seluruh isi buku ini dilindungi undang-undang. Dilarang menggandakan, mendistribusikan, atau memperbanyak isi buku ini tanpa izin tertulis dari penulis. Catatan Penulis: Buku ini merupakan karya asli dan independen dari penulis, tidak terafiliasi dengan lembaga manapun, serta disusun berdasarkan pengalaman dan telaah hukum pribadi dalam rangka menghadapi transisi besar dalam sistem pidana nasional Indonesia.

Persiapan Pengacara Menghadapi Peralihan KUHP yang Baru

Tentang Buku Ini

Di publikasikan 09 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan peristiwa besar dalam sejarah hukum Indonesia. Setelah lebih dari satu abad menggunakan KUHP peninggalan kolonial Belanda, kini Indonesia memasuki era hukum pidana nasional yang disusun berdasarkan nilai-nilai lokal dan konstitusional.Buku ini hadir sebagai panduan strategis bagi para pengacara, dosen, mahasiswa hukum, serta masyarakat hukum secara umum. Isinya difokuskan untuk membekali pembaca dalam memahami substansi perubahan, serta menyusun langkah-langkah adaptif dalam menghadapi transisi yang tidak mudah.Pembahasan dilakukan secara praktis, tidak bertele-tele, dan langsung menyentuh aspek yang relevan di ruang sidang maupun ruang konsultasi.Tujuan PenulisanBuku ini ditulis untuk menjawab pertanyaan praktis: Bagaimana seorang pengacara harus bersikap dan bertindak saat sistem hukum pidana tengah beralih?Dengan bekal pengalaman langsung sebagai advokat dan pendidik hukum, penulis menawarkan pendekatan yang lugas, etis, dan relevan untuk profesi hukum di masa kini dan masa depan. 

Persiapan Pengacara Menghadapi Peralihan KUHP yang Baru

TANGKAP: Pelaku Registrasi Sim Card No HP Ilegal Dengan Data Orang Lain

Di publikasikan 06 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Tangkap Pelaku Registrasi SIM Card IlegalKarya: Muhammad Ari PratomoGenre: Thriller Hukum – Investigasi DigitalTema: Keadilan Digital dan Penyalahgunaan Data PribadiTagline: Ketika data pribadimu jadi senjata kejahatan, siapa yang akan membelamu?Pukul 04.39 WIB.Lampu meja kerja di sudut ruang tamu masih menyala, menyoroti tumpukan buku hukum, secangkir kopi hitam dingin, dan laptop yang layarnya penuh kalimat bersilang. Di kursi kayu yang keras, duduk seorang pria kurus dengan mata merah—Muhammad Ari Pratomo.Pengacara. Penulis. Musisi. Tapi malam ini, dia hanya satu hal: penulis novel hukum yang belum tidur sejak magrib.Di layar, kalimat terakhir masih bergetar:“Jika hukum tak mampu melindungi yang lemah, maka kata-kata harus bersuara lebih keras.”Ari sedang menulis novel terbarunya: “Trending Sebelum Mati”. Sebuah kisah tentang keadilan yang baru dianggap penting setelah viral. Fiksi—tapi terinspirasi dari kenyataan yang sering ia hadapi setiap hari.Ia tahu, dunia hukum bukan hanya soal pasal. Tapi tentang siapa yang didengar, dan siapa yang dilupakan.Adzan subuh terdengar dari kejauhan. Ari akhirnya menutup laptopnya pelan. Gitar akustik di samping meja kerja hanya ia pandangi sejenak. Ia terlalu lelah untuk bermain musik.Ia merebahkan tubuh di sofa, hoodie masih melekat, buku catatan hukum masih terbuka di dada.Baru lima belas menit ia terlelap—BRAKK! BRAKK! BRAKK!Pintu rumahnya digedor brutal.Ari terlonjak. Tubuhnya belum sepenuhnya sadar, tapi suara itu menembus tulang. Bukan suara tukang roti. Bukan juga panggilan shalat. Ini... tekanan.BRAK! BRAK!Gedoran kedua lebih keras. Seolah-olah ada yang ingin menerobos masuk.Ari meraih cutter kecil di meja kerja. Bukan untuk melawan, tapi untuk berjaga-jaga. Ia mendekati pintu perlahan, lalu melirik ke jendela kecil di samping.Tiga pria. Tak berseragam. Salah satunya memakai jaket bertulisan singkat: “Unit Khusus Digital”.Yang paling depan menatap tajam, lalu berteriak:“Muhammad Ari Pratomo?! Buka pintu! Sekarang! Ini penting!”Ari mengerutkan kening. Siapa mereka? Dan kenapa mendatanginya sepagi ini tanpa pemberitahuan?Apakah ini tentang kasus yang sedang ia tangani? Atau… sesuatu yang lebih besar?Dalam hitungan detik, tubuhnya benar-benar terjaga. Tapi pikirannya mulai dibanjiri pertanyaan:Apa yang mereka cari?Apakah ini tentang tulisanku?Muhammad Ari Pratomo membuka pintu perlahan. Udara pagi langsung menerpa wajahnya yang masih pucat karena kurang tidur.Di hadapannya, tiga pria berpakaian kasual tapi dengan sikap formal berdiri kaku. Salah satunya memperlihatkan kartu identitas yang hanya sempat terbaca sekilas: Divisi Keamanan Siber – Unit Khusus Digital Kominfo dan Kepolisian.“Maaf, Pak Muhammad Ari Pratomo,” kata pria yang berjenggot tipis. “Kami dari tim gabungan pengawasan registrasi ilegal. Kami datang karena nomor ponsel yang terdaftar atas nama Anda terindikasi digunakan untuk beberapa tindak kejahatan digital.”Ari mengerutkan dahi. “Nomor ponsel saya yang mana maksudnya?”Pria itu membuka map, lalu menyodorkan salinan beberapa nomor. Ada lima belas nomor berbeda.“Ini semuanya terdaftar dengan NIK dan KK atas nama Anda. Empat digunakan untuk penipuan undian palsu. Tiga lainnya jadi alat serangan hoaks politik dan disinformasi di media sosial. Sisanya… beberapa dikaitkan dengan grup gelap di dark web.”Ari terdiam. Tenggorokannya tercekat. Ia hanya memiliki dua nomor aktif: satu untuk urusan pribadi, satu lagi untuk kantor. Dan tidak satu pun dari daftar itu adalah miliknya.“Saya… tidak pernah mendaftarkan nomor-nomor ini,” ucapnya pelan namun tegas. “Saya tahu betul ke mana saja NIK saya saya serahkan.”Salah satu petugas mencatat. “Kami menduga data Anda telah dibocorkan. Mungkin lewat penyalahgunaan sistem registrasi kartu SIM prabayar, bisa juga dari kebocoran database.” Ari menghela napas. Ia pengacara. Ia tahu kasus seperti ini pernah ia baca sekilas di berita, tapi kini ia sendiri yang jadi korbannya.“Berarti,” gumam Ari, “tanpa sepengetahuan saya, identitas saya dipakai untuk mendaftarkan nomor-nomor gelap. Lalu nomor-nomor itu dipakai untuk menipu dan menyebar fitnah.”Petugas itu mengangguk. “Benar. Dan Pak Ari, dalam banyak kasus, korban penyalahgunaan data seperti Anda bisa ikut terseret jika tidak melapor dan menindaklanjuti secara hukum.”Seketika itu juga Ari merasa ngeri. Bukan karena dituduh—tapi karena ia sadar, banyak orang di luar sana mungkin mengalami hal yang sama, tapi tidak pernah tahu.Ia menatap mereka satu per satu. “Kalau begitu, izinkan saya bantu selesaikan ini. Bukan cuma untuk saya. Tapi untuk semua yang mungkin belum sadar kalau data mereka sedang digunakan untuk kejahatan.”Dan di detik itu pula, pengacara yang semalam menulis novel tentang keadilan yang datang terlambat…memutuskan untuk mengubah kisah fiksinya menjadi nyata.Langit Jakarta mulai menguning, menandakan pagi yang seharusnya biasa. Tapi di dalam rumah kecil bercat abu-abu itu, kemarahan mengendap seperti debu yang tak terlihat namun mengganggu napas.Muhammad Ari Pratomo berdiri di balik pintu yang baru saja ia tutup. Sepi. Tiga tamu dari Unit Khusus Digital telah pergi. Tapi kata-kata mereka masih bergema tajam di benaknya.“Nomor-nomor ini semua terdaftar atas nama Anda.”Tangannya mengepal. Napasnya berat. Ia berjalan mondar-mandir, melewati tumpukan berkas hukum, gitar yang belum disentuh, dan laptop yang belum sempat dimatikan."Apa-apaan ini..." gumamnya lirih, tapi panas.Sebagai pengacara, ia tahu prosedur hukum. Tapi sebagai manusia yang datanya disalahgunakan, ia marah — semarah-marahnya."Aku enggak pernah kasih dataku ke sembarangan tempat. Aku enggak pernah izinkan siapa pun pakai namaku. Tapi sekarang malah... dipakai untuk nipu? Untuk hoaks? Untuk politik kotor?!" suaranya meninggi. Tak ada siapa pun di rumah itu, tapi kemarahan tetap harus diluapkan.Ia menatap salinan daftar nomor yang tadi diberikan. Belasan angka tak dikenal. Tapi semuanya terhubung dengan namanya.Nama yang selama ini ia jaga di setiap sidang. Di setiap buku. Di setiap musik yang ia tulis.Kini dipakai untuk menipu ibu rumah tangga, menjatuhkan lawan politik, menyebarkan hoaks, bahkan mungkin lebih dari itu.Identitasnya dicuri. Nama baiknya dipertaruhkan.Ari menatap cermin. Mata lelahnya beradu dengan bayangan diri sendiri."Aku nggak bisa diem. Ini bukan cuma soal aku," gumamnya. “Ini sistem yang rusak. Negara suruh registrasi SIM card pakai NIK, tapi siapa yang jamin NIK itu enggak diperjualbelikan? Siapa yang kontrol?”Ia duduk. Menyalakan laptop. Tangannya gemetar tapi matanya fokus.Tab pertama yang ia buka: berita-berita lama soal kebocoran data SIM card.Tab kedua: akun media sosialnya.Tab ketiga: daftar notaris dan gerai operator yang pernah ia curigai main data.“Aku enggak akan tunggu polisi saja. Aku harus buka ini semua. Aku akan pakai hukum… dan suara.”Di hari itu, Muhammad Ari Pratomo bukan hanya seorang korban.Ia menjelma jadi api kecil yang bisa membakar satu sistem besar yang terlalu lama dibiarkan longgar.Hari belum terlalu siang saat Muhammad Ari Pratomo tiba di sebuah gerai operator seluler di pusat kota. Letaknya kecil, tersembunyi di antara ruko-ruko yang tampak biasa. Tapi bagi Ari, tempat ini adalah titik awal dari teka-teki besar: bagaimana mungkin NIK dan KK-nya digunakan untuk mendaftarkan nomor yang bahkan tak pernah ia sentuh?Dengan jaket hitam dan ransel berisi dokumen hukum, Ari masuk. Seorang petugas customer service menyambut dengan senyum formal.“Selamat siang, ada yang bisa dibantu?”Ari langsung mengeluarkan KTP dan KK-nya. “Saya ingin verifikasi berapa banyak nomor yang pernah didaftarkan menggunakan data ini.”Petugas itu sedikit tertegun. “Baik Pak. Tapi sesuai prosedur, hanya tiga nomor yang bisa terdaftar untuk satu NIK dan KK.”Ari tersenyum kecil—senyum sinis seorang yang tahu hukum lebih baik dari yang berbicara padanya. “Saya tahu. Itu sebabnya saya minta cek langsung. Kita lihat… sistem kalian jujur atau tidak.”Tak lama, petugas kembali dari ruangan dalam. Wajahnya berubah pucat.“Pak… berdasarkan pengecekan kami, NIK dan KK Bapak… terdaftar untuk 1.723 nomor prabayar di sistem kami saja. Belum termasuk operator lain.”Ruangan seketika sunyi.Ari menahan napas. Detik itu juga, darahnya mendidih.“Seribu tujuh ratus dua puluh tiga?”“Iya, Pak. Kami juga tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi…”“Jangan bilang tidak tahu. Aturan di Peraturan Menteri Kominfo jelas. Maksimal tiga nomor. Bahkan untuk satu operator. Kalau sampai ribuan? Itu artinya ada pembiaran. Ada kelalaian. Atau ada komplotan.”Petugas tertunduk. Ari tahu, ia hanya pegawai biasa. Tapi ia juga tahu, ada yang lebih besar sedang dimainkan di balik angka itu. Ada sistem yang terlalu longgar. Ada celah yang dibuka lebar-lebar, dan pelaku kejahatan digital menari di dalamnya.Ari melangkah keluar dari gerai dengan kepala tertunduk, bukan karena kalah—tapi karena sedang menyusun strategi.Tangannya merogoh ponsel. Ia mulai mengetik, mengirim pesan ke teman-temannya di media, sesama pengacara, dan para aktivis digital:“Data saya dipakai untuk ribuan nomor ilegal. Ini bukan sekadar kebocoran. Ini sindikat. Dan saya bersumpah… saya akan kejar siapa pun yang terlibat.”Langit mendung. Tapi bagi Ari, badai baru saja dimulai.Dan kali ini, ia akan menjadi petir pertama yang menyambar.Sore menjelang senja saat Muhammad Ari Pratomo tiba kembali di rumahnya. Tapi kali ini, langkahnya tak lesu. Pandangannya tak lagi buram karena kurang tidur. Ia seperti menemukan sumber energi baru: kemarahan yang punya tujuan.Ia menyalakan lampu ruang kerja, menarik tirai, dan duduk di kursi yang sejak tadi pagi belum sempat ia tiduri.Laptop langsung menyala, notifikasi email dan chat berdatangan. Tapi Ari mengabaikan semuanya. Ia membuka semua akun media sosialnya — Instagram, TikTok, YouTube, Twitter (X), bahkan LinkedIn. Di semua akun itu, ia sudah diverifikasi. Ribuan hingga jutaan orang mengikutinya.Dan kini, ia tak akan diam.Ia menatap kamera. Wajahnya serius. Suaranya dalam, nyaris bergetar karena emosi."Nama saya Muhammad Ari Pratomo.Saya seorang pengacara.Hari ini saya menemukan fakta bahwa data kependudukan saya—NIK dan KK—telah digunakan untuk mendaftarkan lebih dari seribu tujuh ratus nomor SIM card ilegal.Padahal menurut hukum, maksimal hanya boleh tiga.Maka saya ingin tanya:Siapa yang mendaftarkan ribuan nomor ini?Siapa yang memperjualbelikan data saya?Dan kenapa sistem registrasi yang katanya demi keamanan... justru membuka celah kejahatan?"Ia berhenti sejenak. Lalu melanjutkan."Saya tidak sendiri. Mungkin Anda juga jadi korban.Dan jika sistem dibiarkan seperti ini, jangan heran kalau besok-besok, nama Anda digunakan untuk menipu orang, menyebarkan hoaks politik, atau... jadi dalih penangkapan tanpa Anda tahu."Ia menatap kamera lebih dalam."Buat para pelaku:Kalian salah pilih korban.Kalian pikir aku akan diam? Kalian pikir data pribadi bisa kalian pakai sesuka hati tanpa perlawanan?Kalian lupa...Aku bukan cuma pengacara. Aku punya suara.Dan mulai hari ini, aku akan gunakan semua yang aku punya — hukum, musik, tulisan, bahkan algoritma — untuk menyeret kalian keluar dari bayang-bayang."Ia tekan tombol upload.Video berdurasi 2 menit 17 detik itu langsung tayang serentak di semua platform.Komentar mulai berdatangan.Ribuan likes, repost, dan mention bermunculan hanya dalam 10 menit.Orang-orang mulai bertanya, ikut mengecek, bahkan ada yang mengaku menjadi korban serupa.Sebuah gerakan lahir.Dan Ari tahu, inilah awal dari gelombang yang tak bisa dihentikan.Malam itu, tagar #DataDijual #TangkapPelakuRegistrasiIlegal #BocorItuNyata mulai naik ke jajaran trending.Dan bagi pelaku yang selama ini merasa aman…mereka baru saja menyadari: mereka salah lawan.Malam telah larut. Tapi bagi Muhammad Ari Pratomo, gelora dalam dadanya tak mengenal tidur. Setelah unggahannya viral dan dukungan publik mengalir deras, satu hal masih mengganjal di hatinya:“Kalau data pribadi bisa dijual semudah itu… maka yang dicuri bukan sekadar identitas. Tapi masa depan.”Dan sebagai seorang pengacara yang juga musisi, Ari tahu: beberapa luka hanya bisa disuarakan lewat lagu.Ia ambil gitarnya. Duduk sendiri di ruang tamu. Tak ada lampu studio. Hanya cahaya dari laptop dan lampu meja. Tapi inspirasi datang deras—karena lagu ini bukan sekadar karya seni. Ini adalah perlawanan.Dengan suara lirih dan jujur, Ari mulai menyanyikan bait pertama:🎵"Berapa harganya dataku dibuka?Berapa untungnya kalian berbagi luka?Ku tak pernah daftar, ku tak pernah tahuTapi ribuan nomor, pakai namaku""Katanya demi keamanan, demi ketertibanTapi kenapa bocor jadi kebiasaan?Ini bukan kelalaian, ini kejahatanDan hukum tak boleh diam dalam kesunyian…"🎵Suara gitar berpadu dengan denting emosi. Ari menambahkan beberapa notasi, lalu merekam ulang dengan mic studionya.Kemudian, ia beri judul lagu itu:“Identitasku Dijual”(Sebuah Lagu Perlawanan dari Seorang Pengacara yang Jadi Korban)Ia unggah ke YouTube, TikTok, dan Spotify. Deskripsinya tegas:“Lagu ini kutulis sebagai bentuk protes dan seruan kepada negara. Jika data pribadi bisa dijual tanpa pertanggungjawaban, maka negara telah lalai melindungi warganya. Suara ini bukan sekadar lagu. Ini bukti bahwa kami tidak akan diam.”– Muhammad Ari Pratomo (MuhammadAriLaw)Keesokan paginya, lagu itu trending di berbagai platform. Banyak musisi ikut meng-cover. Para aktivis membuat video reaksi. Media mengangkat liriknya sebagai kritik sosial. Bahkan beberapa pejabat mulai memberi komentar diplomatis—tanda bahwa panasnya mulai terasa.Dan saat Ari melihat semua itu, ia hanya berkata lirih:“Aku menulis hukum agar dibaca hakim.Aku menulis lagu agar didengar hati nurani.”Pagi itu berita nasional dibuka dengan tajuk mencolok:“Pemerintah Bereaksi atas Viral Lagu ‘Identitasku Dijual’, Presiden Minta Penelusuran Total SIM Card Ilegal”Muhammad Ari Pratomo memandangi layar televisi dengan mata tajam. Setelah beberapa hari perjuangannya viral, akhirnya negara mulai menunjukkan tanda-tanda bergerak.Juru bicara kepresidenan memberi pernyataan resmi:“Presiden telah memerintahkan investigasi menyeluruh terhadap praktik registrasi kartu SIM ilegal. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bagian dari kejahatan siber yang mengancam hak sipil.”Dalam waktu singkat, Kementerian Komunikasi dan Informatika bersama aparat cyber crime Polri melakukan operasi besar-besaran.Gerai ponsel abal-abal digerebek.Penjual SIM card yang tak sesuai prosedur diamankan.Sejumlah oknum penyalahguna data NIK–KK mulai diperiksa intensif.Beberapa di antaranya tertangkap membawa laptop berisi ribuan data penduduk yang dijual dalam format Excel.“NIK dan KK per kepala, Pak. Per 50 ribu saja,” ucap salah satu pelaku dalam interogasi, videonya bocor dan beredar luas.Ari menyimak perkembangan ini dengan amarah yang belum padam, tapi kini sudah mulai mengarah.“Ini baru awal. Yang ditangkap mungkin cuma pion. Tapi aku ingin raja dan penyedianya ditelanjangi hukum.”Ia kembali membuat unggahan singkat:“Terima kasih untuk kalian yang bersuara.Hari ini beberapa pelaku mulai ditangkap.Tapi kita belum selesai.Jangan biarkan sistem kembali tidur setelah kita bangunkan.Keadilan bukan hanya soal siapa yang salah.Tapi siapa yang berani meluruskan yang salah—meski sendirian.”– Muhammad Ari Pratomo (MuhammadAriLaw)Pengacara. Korban. Dan kini: penggugat sistem.Tagar #TangkapAkarMasalah mulai ramai.Media internasional mulai meliput sebagai contoh “advokasi digital dari warga sipil yang berdampak nasional.”Ari duduk di ruang kerjanya. Ia tahu ini belum usai. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, ia bisa menghela napas lebih lega.Karena negara—meski terlambat—akhirnya tidak lagi diam.Langit malam menggantung kelabu. Kota tertidur, tapi tidak dengan Ari.Di ruang kerjanya, layar laptop memancarkan terang yang dingin. Puluhan tab terbuka: berita-berita penyalahgunaan data, laporan pelanggaran regulasi registrasi SIM card, dan rekam jejak perusahaan penyedia jaringan yang diduga terlibat pembiaran.Meski beberapa pelaku telah ditangkap, amarah Ari belum surut.Tidak ketika ia tahu jutaan data masih mungkin diperjualbelikan.Tidak ketika aparat hanya menyentuh kulit, bukan akar.“Apa gunanya hukum, kalau hanya untuk menghukum yang lemah?”Ari berdiri. Mengambil jaket hitamnya. Di depan cermin, ia menatap bayangannya sendiri.“Mulai hari ini,” gumamnya lirih namun tegas, “aku bukan hanya korban. Aku adalah pelacak. Penyerang. Dan suara yang tak akan kalian bungkam.”Ia menyalakan kamera. Menyapa para pengikutnya dengan tatapan tajam:🎥“Saya Muhammad Ari Pratomo.Pengacara. Korban penyalahgunaan data.Dan hari ini, saya bersumpah:Saya akan terus membongkar praktik ilegal registrasi SIM card ini, sampai ke akar.Saya tidak takut. Saya tidak akan diam.Karena hukum bukan alat kekuasaan. Hukum adalah janji keadilan.Dan saya akan menagihnya.”🎥Unggahan itu meledak. Ribuan komentar mengalir.Beberapa mendukung. Sebagian memperingatkan bahaya.Tapi satu pesan membuat Ari terdiam:“Hati-hati, Mas Ari. Mereka yang kau lawan, bukan cuma penjual SIM. Mereka punya uang. Dan punya orang.”Ari membaca pesan itu sambil tersenyum kecil. Tapi matanya tak lagi lembut. Ada bara di sana.“Biarlah. Karena aku tidak sedang cari sensasi. Aku sedang cari kebenaran. ini untuk Indonesia”Hari-hari berlalu, namun api semangat Muhammad Ari Pratomo tak pernah padam. Ia tahu, di balik ribuan nomor yang terdaftar atas namanya, ada tangan-tangan gelap yang menyembunyikan diri di balik layar.Dengan sigap, ia mulai menelusuri satu per satu nomor yang menggunakan data pribadinya. Dari data publik yang berhasil ia kumpulkan, hingga melalui jaringan koneksinya sebagai pengacara, Ari menggali lebih dalam.Setiap nomor yang ditemukan bukan sekadar angka. Ada rekam jejak panggilan, pesan, hingga aktivitas yang menimbulkan kerugian hukum maupun moral.Ari menghubungi operator, meminta data lengkap pengguna. Ia mengirim somasi kepada beberapa pihak yang terbukti menyalahgunakan data miliknya. Namun tidak semua pihak kooperatif.“Mereka bersembunyi di balik anonim. Tapi aku punya hukum dan kebenaran sebagai senjata,” pikir Ari.Sambil terus mengupayakan langkah hukum, Ari juga memanfaatkan media sosial untuk mengajak masyarakat waspada dan melaporkan jika ada penggunaan data mereka yang mencurigakan.Suatu malam, saat mengamati laporan terbaru, Ari menemukan nomor yang terhubung dengan jaringan buzzer politik dan kejahatan siber. Itu bukan kebetulan. Ia yakin ada skema besar di baliknya.Dengan tatapan penuh tekad, ia menulis di akun sosial medianya:“Aku akan terus mencari semua pelaku yang menggunakan data pribadiku.Karena ini bukan hanya soal diriku.Ini soal keadilan untuk semua yang menjadi korban.Bersama kita lawan kejahatan data!”Dendam yang dulu membara kini berubah menjadi aksi nyata. Muhammad Ari Pratomo, sang pengacara sekaligus aktivis, bersumpah tak akan berhenti hingga semua pelaku terbongkar dan hukum ditegakkan.Selain memburu para pelaku penyalahgunaan data, Ari mengerahkan seluruh pengaruhnya untuk menuntut perubahan sistem.Melalui berbagai kanal, ia mengunggah seruan keras:“Registrasi nomor HP menggunakan NIK dan KK adalah pintu masuk kebocoran data yang berbahaya.Undang-undang perlindungan data pribadi memang ada, tapi nyatanya kebocoran tetap terjadi.Sudah saatnya pemerintah mengadopsi teknologi modern, seperti sidik jari digital dan video pengenalan wajah, sebagaimana yang diterapkan di negara maju lainnya.Ini bukan soal kemudahan, tapi soal keamanan dan perlindungan hak warga negara.”Ia mengirim surat terbuka kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Komisi I DPR RI, mendesak pengkajian ulang metode registrasi nomor ponsel.Ari tahu ini bukan perkara mudah.Namun baginya, perjuangan ini adalah demi keadilan yang lebih besar:“Kalau hukum tidak diperbaiki, maka korban berikutnya akan terus berjatuhan. Dan kita semua terancam.”Ari tetap teguh: bukan hanya mencari pelaku, tapi juga memperjuangkan sistem yang adil dan aman bagi semua.Perjuangan Muhammad Ari Pratomo belum usai. Di tengah gemuruh kemajuan teknologi, masih banyak yang belum menyadari betapa pentingnya menjaga keselamatan data pribadi.Di ruang kerjanya yang sederhana, Ari duduk termenung sejenak. Ia tahu betul, suara kebenaran kadang sulit didengar di tengah riuhnya dunia digital. Banyak yang acuh, menganggap masalah data hanyalah urusan teknis yang jauh dari keseharian mereka.Namun Ari tak menyerah.“Meskipun tak ada yang mendukung, aku akan terus berteriak.Aku tahu betul bagaimana membuat desakan publik.”Sebagai pengacara, ia menguasai cara merangkai kata yang tepat untuk membangkitkan kesadaran dan tekanan kepada pihak berwenang. Setiap tulisan, setiap lagu, setiap video yang ia buat adalah teriakan lantang untuk keadilan.Melalui media sosial, Ari terus membagikan fakta-fakta tentang bahaya kebocoran data pribadi, kasus-kasus penyalahgunaan yang kerap tersembunyi, dan langkah-langkah konkret yang harus diambil oleh masyarakat dan pemerintah.Meski sering mendapat cibiran dan skeptisisme, ia yakin bahwa benih kesadaran itu perlahan tumbuh.“Ini bukan perjuangan untuk hari ini saja. Ini untuk masa depan generasi kita.Aku akan terus menyalakan api ini, sampai semua orang sadar bahwa data pribadi bukan barang dagangan.”Ari berdiri, menatap langit malam dari jendela kantornya.“Selama aku masih mampu, selama suaraku masih bisa didengar, aku akan tetap berjuang. Karena keadilan itu harus diperjuangkan, bukan hanya diucapkan.”Perjuangan Ari adalah kisah tentang keberanian melawan arus, tentang tekad yang tak pernah padam meski harus berjalan sendirian.Suara pengacara yang menuntut keadilan dan melindungi yang terbungkam.Ari semakin dalam menelusuri jejak kejahatan di balik registrasi SIM card ilegal. Kali ini, ia fokus pada para pedagang nomor aktif yang beroperasi di berbagai sudut kota.Dengan data dan jaringan pengacaranya, Ari berhasil mengungkap bahwa para pedagang ini tidak sekadar menjual nomor biasa, tetapi nomor dengan dalih “nomor cantik” yang kerap jadi incaran kalangan tertentu.Apa yang membuat Ari terkejut?Bahwa praktik ini dibiarkan beroperasi leluasa, bahkan oleh sebagian aparat yang seharusnya menjaga keamanan.“Ini bukan hanya soal jual beli nomor. Ini kejahatan nyata yang merugikan banyak pihak, tapi kenapa sampai sekarang ada yang diam?” pikir Ari.Dalam benaknya, Ari mulai merancang strategi:1. Pendidikan dan Edukasi MasyarakatAri tahu, kunci utama adalah kesadaran masyarakat. Banyak orang membeli nomor cantik tanpa tahu risikonya. Mereka menjadi korban, atau tanpa sadar ikut berkontribusi dalam praktik ilegal.Ia berencana membuat konten edukasi yang mudah dipahami, tentang bahaya registrasi nomor menggunakan data pribadi yang tidak valid.2. Tekanan Publik melalui Media SosialDengan ribuan pengikutnya, Ari akan menyuarakan secara masif praktik-praktik ini agar pemerintah dan aparat tidak bisa lagi menutup mata.3. Kolaborasi dengan Penegak Hukum yang BersihAri akan mencari dan mengajak aparat yang memiliki integritas untuk bersama-sama memberantas jaringan ini sampai tuntas.Edukasi untuk Pembaca:Jangan membeli SIM card yang tidak terdaftar secara resmi dengan data asli.Gunakan nomor telepon yang terdaftar sesuai identitas diri yang sah.Waspadai penawaran nomor cantik dengan harga murah yang tidak masuk akal.Jika menemukan praktik penjualan SIM card ilegal, segera laporkan ke aparat atau penyedia layanan resmi.Jaga data pribadi dengan hati-hati, jangan mudah dibagikan di sembarang tempat.Ari yakin, perang melawan kejahatan registrasi SIM card ilegal bukan hanya tugas aparat, tapi tanggung jawab bersama. Dengan edukasi yang tepat dan tindakan nyata, kejahatan ini bisa ditekan sampai ke akar.Jika kasus registrasi SIM card ilegal dan penyalahgunaan data pribadi ini dibiarkan tanpa penindakan tegas, konsekuensinya bisa sangat berbahaya.Data pribadi yang bocor bisa digunakan untuk kejahatan siber seperti penipuan, pencurian identitas, hingga pengancaman keamanan nasional. Nomor telepon ilegal kerap dipakai untuk kampanye hitam, penyebaran hoaks, dan manipulasi opini publik yang merusak demokrasi.Lebih parah lagi, jika semua pelaku tidak segera ditangkap habis, maka kejahatan ini akan terus berkembang, menciptakan ekosistem ilegal yang sulit diberantas, dan membuat masyarakat semakin rentan menjadi korban.Muhammad Ari Pratomo menegaskan:“Ini bukan hanya soal melindungi data pribadi saya, tapi tentang melindungi hak dan keamanan seluruh warga negara.Jika kita diam, kejahatan ini akan terus merajalela.Mari bersama lawan dan tuntut keadilan!”Pesan ini menjadi pengingat bahwa perlindungan data pribadi adalah tanggung jawab bersama, dan kejahatan digital harus dihadapi dengan serius demi masa depan yang lebih aman dan adil.

TANGKAP: Pelaku Registrasi Sim Card No HP Ilegal Dengan Data Orang Lain

Bukan Sekedar kembali

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Hari itu langit Bandara Internasional Soekarno-Hatta tampak biasa saja. Tapi di antara lalu-lalang penumpang dan hiruk-pikuk kendaraan, ada satu sosok yang berbeda: Muhammad Ari Pratomo. Janggutnya kini lebih rapi, wajahnya bersih tanpa sedikit pun polesan dunia, dan sorot matanya... teduh—seakan membawa ketenangan dari Tanah Para Nabi.Ia kembali bukan sebagai pengacara glamor dengan jas mahal dan mobil mewah, bukan juga sebagai influencer yang diburu media. Ia kembali sebagai manusia yang utuh, yang pernah hancur, bangkit, dan menyelamatkan orang lain—sembari menyelamatkan dirinya sendiri.Di ruang kedatangan, hanya ada Tambunan, sahabat lamanya yang kini bertambah uban. Mereka berpelukan lama. Tak banyak kata yang diucap. Hanya lirih:“Lo bukan lagi Ari yang dulu, bro…”Ari tersenyum. “Dan lo tetap jadi pintu pertama gue pulang.”Beberapa hari pertama ia habiskan di rumah kecil peninggalan ayahnya di pinggiran Bogor. Tak banyak orang tahu ia sudah kembali. Tidak ada siaran pers, tidak ada selebrasi. Tapi kabar itu menyebar perlahan dari mulut ke mulut: Pengacara Ari pulang dari Palestina. Bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai pelita.Lalu satu demi satu orang mulai berdatangan.Bukan klien-klien lama dengan jas mahal. Tapi rakyat biasa. Korban penggusuran, buruh kontrak yang di-PHK sepihak, janda-janda yang digantung tak cerai. Mereka datang bukan hanya minta dibela, tapi ingin belajar: bagaimana bisa seorang manusia yang pernah terpuruk... bangkit dan menyembuhkan?Setelah melewati musim-musim kelam dan pengembaraan spiritual yang panjang, Muhammad Ari Pratomo—atau kini lebih akrab dipanggil Bang Ari oleh warga sekitar—akhirnya memutuskan untuk kembali ke profesi yang dulu ia tinggalkan: menjadi pengacara. Tapi kali ini bukan demi popularitas, bukan demi memburu klien kaya, bukan demi sensasi media. Ari kembali karena ia merasa dipanggil. Karena ia tahu: keadilan tidak boleh hanya dinikmati oleh mereka yang punya uang.Dengan tabungan seadanya dan sisa honor dari jaringan kemanusiaan internasional yang ia bangun selama di Palestina, Ari membeli sebuah rumah sederhana di Perumahan Citra Indah, Jonggol. Rumah itu tidak besar, tapi cukup nyaman. Berada di tengah pemukiman yang masih banyak dihuni oleh keluarga muda, pensiunan, dan warga kelas pekerja, tempat itu terasa pas untuk memulai kembali.Ia tidak membangun kantor mewah. Ia hanya menata sebuah ruang tamu menjadi semacam ruang konsultasi terbuka. Sebuah meja kayu tua, dua kursi rotan, satu rak buku hukum, dan papan tulis kecil. Di depan rumahnya ia pasang papan sederhana bertuliskan:“Pos Hukum Rakyat – Gratis untuk yang tak mampu. Terbuka setiap Senin–Jumat.”Dan seperti air menemukan celah, kabar itu cepat menyebar. Hari demi hari, semakin banyak orang berdatangan ke rumah kecil Ari.Ada ibu-ibu yang anaknya dipecat tanpa pesangon, ada kakek tua yang tanah warisannya dicaplok mafia properti, ada sopir angkot yang dijadikan kambing hitam dalam kecelakaan, ada buruh pabrik yang dipaksa menandatangani surat pengunduran diri palsu. Mereka datang dengan wajah lelah dan mata yang hampir kehilangan harapan.Ari menerima mereka satu per satu. Tak jarang hingga larut malam. Ia mendengarkan dengan sabar, mencatat, memberi arahan hukum, bahkan kadang membantu membuatkan surat dan dokumen sendiri. Ia kembali berdiri di pengadilan, tapi kini dengan kemeja putih polos dan sepatu hitam yang sudah agak usang. Ia bukan lagi bagian dari barisan pengacara elite—tapi lebih mirip juru bicara rakyat yang tak bersuara.Anak-anak kecil di kompleks mulai memanggilnya "Om Pengacara." Para tetangga sering datang membawakan makanan atau kopi panas. Banyak dari mereka tak percaya bahwa lelaki yang tinggal di rumah kecil di Jonggol ini adalah sosok yang dulu pernah masuk headline karena membongkar kasus besar.Dan di tengah semua itu, Ari merasa damai.Hari-harinya kembali sibuk. Tapi bukan sibuk yang membebani. Melainkan sibuk yang menyembuhkan. Karena setiap orang yang ia bantu... adalah cermin bahwa dirinya masih hidup. Bahwa hatinya masih berdetak untuk yang lemah.Dan rumah kecil itu—di Jonggol yang jauh dari hiruk-pikuk kota—telah menjadi markas baru dari seorang pengacara yang kembali pulang ke panggilan sejatinya.Suatu pagi yang gerimis, saat Ari sedang menyusun berkas untuk sidang pekan depan, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari seorang perempuan paruh baya yang dulu pernah ia bela dalam kasus sengketa rumah di Solo.“Bang Ari… anak saya akan menikah minggu depan. Kami ingin abang datang. Abang bukan cuma pengacara kami. Abang sudah seperti keluarga. Kami tahu abang sibuk, tapi kalau abang hadir, hati anak saya akan lebih lengkap di hari bahagianya…”Ari membaca pesan itu berulang kali. Ada haru, tapi juga kebingungan.Ia menatap kalender tua di dinding. Hari pernikahan itu hanya berselang lima hari lagi. Ia tahu persis, ia tidak punya cukup uang untuk tiket ke Solo. Bahkan untuk isi bensin pun sekarang ia sedang menghemat. Pendapatannya dari membantu warga miskin belum mampu menutupi kebutuhan hidup dengan longgar. Tapi ia tak pernah mau menolak orang yang datang meminta bantuan.Ari termenung lama di depan jendela, memandangi rinai hujan yang jatuh perlahan. Kepalanya penuh pertimbangan."Ya Allah... aku ingin datang. Tapi aku tak tahu caranya..."Tak lama kemudian, pintu rumahnya diketuk. Seorang pemuda kurir datang, mengantar amplop kecil berisi secarik surat dan uang tunai.Isinya hanya satu kalimat singkat:“Kami tahu abang tidak akan meminta. Tapi kami juga tahu abang pasti ingin datang. Ini dari iuran keluarga kami. Jangan tolak.”Uang itu cukup untuk beli tiket kereta pulang-pergi ke Solo, dan sedikit bekal untuk oleh-oleh. Ari terdiam lama. Tangannya gemetar saat menggenggam amplop itu. Di luar, hujan semakin deras. Tapi di dalam, dadanya hangat. Seakan Tuhan menjawab doa tanpa suara.Ia berangkat ke Solo dengan tas kecil, membawa hati yang penuh syukur. Di kereta, ia hanya duduk diam memandangi sawah-sawah yang terbentang. Bukan karena letih, tapi karena terlalu penuh.Setibanya di sana, keluarga klien menyambutnya seperti saudara jauh yang pulang. Anak perempuan yang dulu menangis saat rumahnya hampir digusur, kini berdiri anggun dalam gaun putih, tersenyum penuh rasa hormat pada Ari. Mereka memeluknya erat.“Kalau bukan karena abang dulu, kami mungkin tak bisa punya rumah, apalagi nikahkan anak kami dengan damai…”Ari hanya tersenyum. Di pelataran gedung pernikahan itu, di antara tawa dan pelukan hangat, Ari merasa... pulang. Bukan ke tempat. Tapi ke makna.Ia sadar: ia mungkin bukan orang kaya. Tapi ia adalah orang yang dibutuhkan. Dan itu... cukup membuat hidupnya berarti.Hari itu matahari Solo menyala hangat. Usai menghadiri pernikahan anak kliennya, Ari memutuskan berjalan kaki menyusuri alun-alun. Ia mengenakan kemeja lusuh yang digulung di lengan, seolah tak ingin menjadi pusat perhatian siapa pun.Tapi langkahnya terhenti di sebuah sudut taman kota. Beberapa anak muda tampak sibuk dengan kamera, tripod, dan mikrofon clip-on. Seorang di antaranya berbicara lantang di depan kamera:“Jangan lupa like, comment, dan subscribe! Dan ingat, tetap semangat jadi content creator lokal!”Ari mendekat. Ia memperhatikan dengan seksama, lalu menyapa sopan.“Maaf, boleh tanya? Ini lagi bikin apa, ya?”Salah satu dari mereka, anak muda berambut pirang highlight, menjawab dengan semangat, “Ini, Pak, lagi bikin konten YouTube. Kami channel edukasi dan hiburan. Bapak nonton YouTube, kan?”Ari tersenyum kecil. “Nonton sih nonton… tapi saya belum pernah bikin. Kalau edukasi, isinya apa biasanya?”Mereka lalu memperlihatkan channel mereka. Tentang tips belajar, wawancara profesi, dan sesekali prank kecil yang lucu. Ari mengangguk pelan, lalu duduk di bangku taman sambil memperhatikan mereka bekerja.Pulang ke penginapan, Ari tidak bisa tidur. Kata-kata anak muda itu menggantung di pikirannya."YouTube… edukasi… publik luas…""Bagaimana kalau hukum dijelaskan dengan cara ini?"Ia bangkit dari tempat tidur, membuka laptop usangnya, dan mulai menulis ide-ide konten. Judul-judul muncul begitu saja:“Apa yang Harus Kamu Lakukan Kalau Digugat Cerai?”“Bedanya Laporan Polisi dan Gugatan Perdata”“Hukum Tidak Hanya untuk Orang Kaya”“Pengacara Bukan Musuh Polisi”Ia tak peduli dengan lighting yang belum sempurna, atau kamera yang hanya dari ponsel tua. Ia tahu, yang penting adalah isi, bukan kemasan. Ia mulai merekam video pertamanya: duduk di teras rumah kecil ayahnya, dengan satu kamera, satu mikrofon klip, dan suara hati yang jujur.“Assalamu’alaikum. Saya Muhammad Ari Pratomo. Saya bukan YouTuber profesional. Tapi saya pengacara yang ingin membuat hukum... mudah dimengerti. Untuk kamu, kamu yang bingung, takut, atau bahkan trauma karena merasa hukum itu milik orang kaya. Bukan. Hukum itu milik kita semua.”Video itu ia unggah dengan judul: “Hukum Itu Milik Semua Orang – Episode 1”Dalam seminggu, views-nya hanya ratusan. Tapi komentar-komentar datang:“Saya baru ngerti bedanya pengaduan dan laporan, makasih banget, Bang.”“Akhirnya ada yang jelasin hukum dengan bahasa manusia biasa.”“Bang, bahas juga dong cara ngelapor KDRT tapi nggak punya uang.”Ari tersenyum. Ia tahu, ini jalannya. Ia tidak hanya kembali sebagai pengacara rakyat. Tapi kini… sebagai suara hukum dari layar-layar kecil di genggaman rakyat.Dan malam itu, ia menuliskan di buku catatan kecilnya:"Keadilan tidak selalu dimulai di pengadilan. Tapi bisa dari sebuah video berdurasi 7 menit yang ditonton oleh seseorang di ujung desa."Malam itu di rumah kecilnya di Citra Indah, Jonggol, sunyi benar. Tak ada suara tawa anak kecil, tak ada obrolan keluarga. Hanya suara jangkrik, sesekali gonggongan anjing dari kejauhan. Di ruang tengah, Ari duduk sendiri dengan gitar akustik usang—pemberian almarhum ayahnya. Matanya menatap jendela, namun pikirannya jauh menembus malam.YouTube memberi Ari harapan. Tapi diam-diam, sepi masih sering datang seperti tamu tak diundang. Ia butuh tempat lain untuk berbicara. Bukan hanya tentang hukum, tapi tentang luka yang tak bisa ia bacakan pasalnya. Tentang cinta, kehilangan, dan harapan yang terus ia genggam meski tangan mulai gemetar.Suatu malam, ia menuliskan lirik pertamanya:“Jika hukum tak memihak,biarlah nada ini berteriak.Jika dunia tuli oleh uang,biarlah lagu ini menjadi terang.”Ari mulai menciptakan lagu-lagu bertema keadilan sosial, hak rakyat kecil, dan jeritan hati yang tak terdengar di ruang sidang. Ia menyulap pojok kamarnya menjadi studio sederhana. Hanya ada laptop bekas, mic USB, dan software rekaman gratis. Tapi ia punya yang tak semua orang miliki: kejujuran dalam luka.Ia merilis lagu pertama di Spotify dan YouTube Music, judulnya: “Suara yang Tak Terdengar.”Di balik suara serak dan petikan gitar yang tak sempurna, ada rasa yang tak bisa dibantah. Lagu itu viral di kalangan aktivis dan mahasiswa hukum.Komentar-komentar berdatangan:“Bang, ini bukan sekadar lagu, ini doa yang diucapkan rakyat kecil.”“Saya putar lagu ini tiap malam sebelum sidang skripsi hukum. Bikin kuat.”“Air mata saya jatuh, Bang. Karena saya tahu rasanya nggak dianggap di pengadilan.”Ari terus berkarya. Lagu demi lagu lahir. Ia tidak hanya bicara lewat hukum dan kata, tapi kini lewat melodi dan nada. Ia menyuarakan keadilan dari tempat yang paling sunyi: dari hatinya sendiri.Di sela waktu merekam lagu dan mengedit video YouTube-nya yang mulai dikenal sebagai “Pengacara Rakyat Digital”, Ari sering termenung. Di rumah kecilnya di Citra Indah, Jonggol, tak ada yang memanggil “Ayah”, tak ada yang menyiapkan teh sore. Yang ada hanyalah kenangan—dan diam yang panjang.Tapi dari kesunyian itu, lahirlah satu kebiasaan lama yang dulu ia tinggalkan saat masih sibuk di dunia litigasi: menulis.Awalnya hanya catatan kecil di kertas sobekan: potongan refleksi tentang hukum, keadilan, luka, dan cinta yang tak berbalas. Lama-lama menjadi paragraf, lalu bab. Ia menyusun semuanya dalam buku pertamanya pasca perjalanannya ke Palestina, berjudul:"Hukum yang Menangis: Catatan dari Ruang Sidang hingga Al-Aqsa"Buku itu bukan teks hukum biasa. Isinya adalah renungan—tentang bagaimana hukum tak selalu berpihak pada kebenaran, bagaimana ayat-ayat bisa menjadi pelita saat pasal tak mampu menyelamatkan.Ari menulis setiap malam. Dengan laptop tuanya, jari-jarinya menari seperti doa. Ia menulis tentang anaknya, tentang Flow, tentang klien-klien kecil yang wajahnya selalu ia ingat, dan tentu, tentang anak-anak Palestina yang membuatnya percaya bahwa kesedihan pun bisa dijadikan bahan bakar perjuangan.Setelah buku itu selesai, ia tak berhenti. Ia menyiapkan naskah kedua:"Pasal, Perasaan, dan Pengampunan"Yang satu ini lebih personal. Sebuah semi-biografi yang ia tulis seperti surat panjang untuk Arya—anak lelakinya yang tak bersamanya. Dalam tulisan itu, ia tidak menyalahkan Flow. Ia tak meratap. Ia justru meminta maaf. Karena dalam perjalanannya, ia belajar: menjadi benar tidak selalu berarti tidak bersalah.Setiap naskah yang ia unggah ke platform digital seperti Karyakarsa dan Medium, dibaca ribuan orang. Komentar mulai berdatangan:“Tulisan Bang Ari bikin saya berpikir ulang soal hukum.”“Saya nangis baca surat untuk anaknya. Terasa jujur dan dalam.”“Bang, tulis lagi. Suara Abang penting buat Indonesia yang sedang bingung membedakan mana keadilan, mana kekuasaan.”Kini, pagi Ari tak hanya diisi dengan sidang pro bono atau membuat konten hukum. Tapi juga duduk di depan jendela, secangkir kopi, dan lembar-lembar yang semakin penuh oleh kata-kata yang dulu ia tahan, kini ia tulis.Ari akhirnya menyadari:Terkadang, yang menyelamatkan manusia bukan kemenangan di ruang sidang—tapi keberanian untuk berkata jujur dalam tulisan.Setelah melalui liku-liku kehidupan yang penuh derita dan kehilangan, Ari akhirnya mengambil keputusan besar yang mengubah jalannya hidupnya dengan cara yang paling bijak dan penuh keikhlasan. Ia memutuskan untuk mengalah dan membiarkan mantan istrinya merawat Arya, putra tunggal mereka yang masih kecil. Keputusan ini bukan karena menyerah, melainkan sebagai bentuk cinta yang tak mudah terlihat—cinta yang rela melepaskan demi kebahagiaan dan masa depan anaknya.Hari-hari Ari kini dipenuhi dengan rutinitas yang sederhana namun bermakna. Ia kembali ke panggilan hatinya sebagai seorang pengacara yang membela mereka yang tertindas dan tak bersuara. Di balik meja kerja dan tumpukan berkas hukum, Ari menemukan kembali alasan mengapa ia dulu memilih profesi ini: bukan untuk kemewahan, tetapi untuk keadilan dan harapan bagi banyak orang.Namun, hidup Ari tidak hanya berputar di dunia hukum. Kesendirian yang kerap menyapa di kala senja membuatnya mulai menyalurkan perasaan dan pemikirannya ke dalam karya-karya kreatif. Ia menulis buku, mengurai kisah hidup, pengalaman, dan renungan batinnya yang dalam, berupaya menjangkau hati banyak orang lewat tulisan. Di sela itu, Ari menciptakan lagu—melodi-melodi yang mengalun dari hatinya yang penuh luka dan harapan, lagu-lagu tentang keadilan, tentang kehidupan, dan tentang pengorbanan yang tidak selalu terlihat oleh mata.Setiap nada dan kata yang tercipta adalah bentuk terapi jiwa sekaligus suara yang ia kirimkan ke dunia. Lagu-lagu itu bukan hanya untuk didengar, tapi untuk dirasakan, menjadi pengingat bahwa dari gelapnya malam, pasti akan ada fajar yang menyapa.Meskipun Arya tinggal jauh bersama ibunya, di setiap malam Ari sering menatap foto kecil anaknya yang terletak di meja kerja. Di situ ia mengirimkan doa-doa tulus, berharap suatu hari nanti, ketika Arya dewasa dan mengerti arti pengorbanan seorang ayah, anaknya akan kembali datang—menemukan Ari, memeluknya erat, dan memahami perjalanan hidup yang telah dilalui bersama-sama.Ada rasa lega yang perlahan mengalir dalam dada Ari. Ia tahu bahwa perjuangannya belum selesai, tapi kini ia telah menemukan kedamaian dalam diri sendiri. Dalam kesederhanaan, Ari menemukan kekuatan yang sejati. Dalam pengorbanan, ia menemukan makna cinta yang tak terhingga.Kisah hidup Ari bukanlah kisah tentang kemenangan instan atau kemewahan, melainkan tentang keteguhan hati yang terus berdiri meskipun dunia seolah runtuh di sekitarnya. Dan di saat pembaca menutup halaman terakhir dari cerita ini, mereka akan menarik nafas lega, karena menyadari bahwa dalam setiap jatuh bangun, selalu ada harapan baru yang siap menyinari hari-hari gelap.Ari mengajarkan kita, bahwa terkadang, kekuatan terbesar ada pada keberanian untuk mengalah, memaafkan, dan terus melangkah maju — dengan hati yang penuh harapan dan jiwa yang tak pernah padam.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Perjalanan Menuju Palestina

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Pagi itu, langit Jakarta masih gelap ketika Ari bersiap meninggalkan kosannya. Tubuhnya yang dulu rapuh kini tampak lebih tegar meski wajahnya masih menyimpan bekas lelah. Di sampingnya, dua sosok yang setia mendampinginya, Tambunan dan Anindya, siap mengantarnya.Mereka bertiga berangkat menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dalam perjalanan, suasana hening menyelimuti mobil, hanya sesekali terdengar suara langkah kaki atau klakson kendaraan lain. Ari menatap jalanan yang mulai sibuk, mencoba menyimpan segala kekalutan di dalam hatinya.Sesampainya di terminal keberangkatan internasional, mereka bertemu dengan kelompok sukarelawan kemanusiaan yang sudah lama berkumpul di sana. Para relawan itu berasal dari berbagai latar belakang, bersatu dalam satu tujuan mulia: membantu rakyat Palestina yang tengah berjuang.“Selamat datang, Ari,” sapa salah seorang koordinator sukarelawan dengan senyum ramah. “Kami sudah menunggu. Bersama-sama kita akan menuju Jordan, sebagai titik awal untuk memasuki Palestina.”Ari mengangguk, menahan perasaan campur aduk antara harapan dan kecemasan. Di sini, ia mulai merasakan semangat baru—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk perjuangan kemanusiaan yang lebih besar.Tambunan dan Anindya berdiri di sampingnya, memberikan dukungan penuh. Mereka tahu, perjalanan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan jiwa yang akan mengubah hidup Ari selamanya.Pintu keberangkatan terbuka, pesawat yang akan membawa mereka lepas landas ke Timur Tengah menunggu. Ari melangkah mantap, menatap ke depan, siap menyambut babak baru hidupnya.Setibanya di Amman, ibu kota Yordania, Ari dan rombongan sukarelawan turun dari pesawat dengan semangat yang membara. Udara pagi yang sejuk menyambut mereka, namun hati Ari terasa berat memikirkan perjuangan panjang yang menanti di depan.Dari Bandara Queen Alia, mereka melanjutkan perjalanan darat menuju perbatasan dengan Palestina. Jalanan berkelok di antara pegunungan dan gurun pasir menambah nuansa dramatis perjalanan itu. Setiap kilometer yang ditempuh terasa seperti menembus batas kenyamanan dan ketakutan yang selama ini membayangi.Dalam mobil, Ari duduk termenung. Bayangan kehidupan yang dulu ia kenal—ruang sidang, tumpukan berkas, klien yang berharap keadilan—beradu dengan gambaran nyata penderitaan yang akan ia lihat nanti. Tapi ada satu hal yang mendorongnya maju: keyakinan bahwa keadilan dan kemanusiaan tidak mengenal batas negara.Sesampainya di perbatasan, mereka disambut oleh relawan lokal yang mengantar mereka masuk ke wilayah Palestina. Ari melihat dengan mata kepala sendiri reruntuhan rumah, wajah-wajah penuh luka, dan anak-anak yang bermain di tengah debu dan reruntuhan. Hati Ari tercekat, tapi juga semakin terbakar untuk membantu.Di antara suara bising dan debu yang mengepul, Ari merasa sebuah panggilan suci menggetarkan jiwa. "Ini lebih dari sekadar perjuangan hukum," pikirnya, "ini adalah perjuangan untuk kemanusiaan, untuk hak setiap insan hidup dengan damai dan bermartabat."Hari demi hari, Ari ikut membantu membangun kembali harapan—melalui hukum, melalui tindakan kemanusiaan, dan dengan mendengar cerita-cerita pilu yang mengajarkannya arti keberanian sejati.Perjalanan ini bukan hanya mengubah nasib orang-orang yang mereka bantu, tapi juga mengubah jiwa Ari sendiri. Dari seorang pengacara yang pernah terpuruk, kini ia menjadi sosok yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih penuh kasih.Beberapa hari setelah tiba di Palestina, Ari mulai terjun langsung ke tengah masyarakat yang tengah berjuang keras. Suasana di desa kecil dekat Gaza begitu berbeda dari dunia yang pernah ia kenal. Rumah-rumah yang sebagian hancur, anak-anak yang tertawa walau berlatar reruntuhan, dan para ibu yang berjuang menghidupi keluarga di tengah ketidakpastian.Suatu sore, Ari diajak oleh seorang relawan lokal ke sebuah komunitas kecil yang baru saja kehilangan rumahnya akibat serangan udara. Di sana, ia bertemu dengan seorang ibu muda yang sedang menyusui bayinya. Wajah ibu itu penuh kelelahan tapi matanya masih menyimpan kilau harapan.Ibu itu bercerita, “Kami tak punya banyak, tapi kami punya satu sama lain. Kami tetap berdiri walau dunia seolah runtuh di depan mata.”Ari tersentuh mendengar kata-kata itu. Ia menyadari bahwa keadilan yang ia cari bukan hanya di ruang pengadilan, tapi di hati manusia yang masih berjuang hidup dengan penuh keberanian.Di tengah pertemuan itu, seorang anak laki-laki berlari kecil mendekat dan menggenggam tangan Ari. “Pak Ari, tolong kami,” katanya polos namun penuh arti.Saat itu, Ari merasakan tanggung jawab yang jauh lebih besar daripada sebelumnya. Ia tidak hanya seorang pengacara, tapi juga saksi bisu dari penderitaan yang butuh suara lantang dan tindakan nyata.Di malam hari, saat bintang berkelip di langit gurun, Ari duduk di depan tenda sukarelawan. Ia menulis catatan hariannya, mencatat setiap kisah, setiap air mata, dan setiap tawa yang ditemui.“Perjuangan ini bukan sekadar tentang hukum,” tulis Ari, “tapi tentang kemanusiaan yang tak boleh pernah padam, tentang suara-suara yang harus didengar, dan tentang harapan yang harus dijaga, walau dalam kondisi paling gelap sekalipun.”Perjalanan Ari ke Palestina bukan hanya mengubah jalan hidupnya, tapi juga membuka matanya akan makna sejati dari keadilan dan kemanusiaan. Ia berjanji, akan membawa kisah-kisah ini ke dunia, agar suara mereka yang terluka tak lagi tenggelam dalam sunyi.Setelah beberapa minggu di Palestina, Ari mulai merasakan panggilan baru dalam hidupnya. Ia bukan lagi hanya seorang pengacara yang membela klien di ruang sidang. Kini, ia adalah seorang aktivis kemanusiaan yang berjuang langsung di lapangan, berdiri bersama mereka yang kehilangan segalanya.Setiap pagi, Ari bergabung dengan para relawan lokal dan internasional. Mereka membangun kembali rumah yang hancur, membagikan bantuan pangan, dan memberikan edukasi tentang hak asasi manusia kepada anak-anak yang hidup dalam konflik.Ari pun mulai memimpin diskusi kelompok untuk korban kekerasan, mendengarkan kisah-kisah mereka yang menyayat hati. “Aku di sini bukan hanya sebagai tamu,” kata Ari suatu kali di hadapan mereka, “tapi sebagai saudara, yang ingin membantu kalian bangkit.”Perubahan dalam diri Ari terlihat jelas. Dari pria yang dulu selalu rapi dengan jas dan dasi, kini ia mengenakan pakaian sederhana, sering kali berdebu dan lelah, tapi matanya memancarkan semangat yang tak pernah padam.Salah satu momen paling menggetarkan adalah saat Ari membantu mendirikan klinik darurat di sebuah desa yang terisolasi. Di sana, ia bekerja sama dengan dokter dan perawat untuk memastikan setiap pasien, termasuk anak-anak yang terluka, mendapat perawatan terbaik.Dalam sebuah diskusi dengan tokoh masyarakat dan pemimpin lokal, Ari menyampaikan visi barunya: “Keadilan bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang menyediakan harapan, tempat yang aman, dan masa depan bagi mereka yang paling rentan.”Berita tentang Ari yang dulunya pengacara dan kini aktivis kemanusiaan mulai menyebar. Ia menjadi suara baru yang mewakili mereka yang tak terdengar.Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Ari duduk di pinggir jalan dengan seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Anak itu menggenggam tangan Ari erat. “Pak, kamu akan selalu di sini?” tanya si kecil penuh harap.Ari tersenyum dan mengangguk, “Aku akan selalu di sini, berjuang bersama kalian.”Perjalanan Ari dari pengacara menjadi aktivis kemanusiaan bukan hanya mengubah dirinya, tapi juga memberikan harapan baru bagi banyak jiwa yang terluka.Hari mulai meredup saat Ari duduk di sebuah sudut puing-puing bangunan yang hancur, ditemani seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun. Matanya yang besar dan penuh ketakutan menatap langit yang mulai gelap. Anak itu hidup sebatang kara — kehilangan keluarga dan tempat tinggal akibat konflik yang tak berkesudahan.Ari menghela napas panjang, perlahan meraih tangan kecil itu dan menggenggamnya dengan lembut. Suara anak itu lirih, “Pak, aku takut sendiri.”Dalam hening, tiba-tiba bayangan anaknya sendiri, Arya, melintas di benak Ari. Ingatan tentang tawa kecil Arya, pelukan hangat, dan wajah polosnya yang kini jauh di Indonesia, membuat dadanya sesak. Rindu yang tak terucapkan mengalir deras bersama air mata yang mulai jatuh di pipinya.Ari menunduk, berusaha menahan kesedihan yang membanjiri hati. Ia sadar betapa besarnya luka yang diderita anak ini — sama seperti luka yang dulu ia rasakan saat kehilangan kehadiran anaknya dalam hidupnya.“Jangan takut, Nak. Aku di sini untukmu. Kita akan hadapi semuanya bersama,” bisik Ari sambil mengusap lembut rambut anak itu.Dalam momen itu, Ari merasa beban hidupnya mengalir keluar, berganti dengan tekad baru. Ia ingin menjadi pelindung, bukan hanya bagi anak ini, tapi juga bagi semua jiwa yang rapuh di tanah penuh luka ini.Air mata yang mengalir bukan hanya tentang kesedihan, tapi juga harapan. Harapan bahwa cinta dan keadilan akan menemukan jalan, meski di tengah kehancuran sekalipun.Setelah beberapa hari di Palestina, Ari merasa hatinya semakin berat dan penuh pencarian makna. Suatu sore, ketika berjalan melewati halaman Masjid Al-Aqsa yang megah, ia bertemu dengan seorang imam tua yang sedang duduk di teras masjid, membaca Al-Qur’an dengan penuh khusyuk.Ari mendekat dengan rasa hormat dan penasaran. “Pak Imam, bolehkah saya belajar lebih dalam tentang Al-Qur’an? Saya merasa jiwa saya kosong dan butuh pegangan.”Imam itu tersenyum hangat dan mengangguk. “Tentu, Nak. Al-Qur’an adalah cahaya yang akan membimbingmu di saat gelap. Mari duduk bersama.”Sejak saat itu, setiap pagi sebelum aktivitas kemanusiaan dimulai, Ari menyempatkan diri datang ke masjid untuk berdiskusi dan belajar tafsir ayat-ayat suci bersama sang imam. Ia belajar makna kesabaran, keadilan, dan keteguhan hati dari setiap surah yang dibacanya.Al-Qur’an perlahan membuka cakrawala baru dalam dirinya. Ari menemukan ketenangan yang selama ini hilang, sekaligus kekuatan spiritual untuk terus berjuang bukan hanya untuk keadilan hukum, tetapi juga keadilan kemanusiaan.Melalui ayat-ayat yang ia pelajari, Ari merasa dipanggil untuk menjadi pembela yang lebih dari sekadar pengacara—ia ingin menjadi pelindung jiwa-jiwa yang terluka, menguatkan yang lemah, dan membawa harapan di tengah derita.Setiap lembar Al-Qur’an yang dibuka, seperti membuka pintu harapan baru dalam hidupnya.Hari-hari Ari di Palestina berubah total setelah ia mulai mendalami Al-Qur’an bersama imam Masjid Al-Aqsa. Setiap ayat yang ia baca dan pelajari seperti menanamkan benih harapan baru di dalam dadanya yang dulu penuh luka dan putus asa. Kesabaran, keteguhan, dan kasih sayang yang diajarkan Al-Qur’an mulai meresap dalam jiwa Ari, membentuknya kembali menjadi sosok yang kuat dan penuh pengabdian.Suatu pagi yang cerah, setelah shalat subuh berjamaah, Ari berdiri di halaman masjid, mengamati anak-anak kecil yang berkumpul di sekitar para relawan. Mereka sebagian besar yatim piatu, kehilangan keluarga akibat konflik berkepanjangan. Mata mereka penuh dengan kerinduan dan ketakutan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Ari teringat pada Arya, anak laki-lakinya yang masih kecil di tanah air. Air mata mulai menetes tanpa bisa ditahan. “Ya Allah, berikan aku kekuatan untuk membela mereka yang tak bersuara ini, seperti aku ingin melindungi anakku sendiri,” bisiknya lirih.Dengan penuh semangat yang baru ditemukan, Ari mulai menginisiasi kegiatan sosial yang terinspirasi dari nilai-nilai Al-Qur’an, khususnya ayat tentang kepedulian kepada sesama, kasih sayang, dan keadilan. Ia mengorganisir program pendidikan bagi anak-anak yatim, mengadakan pengobatan gratis, dan membangun pusat pemberdayaan perempuan untuk membantu mereka mandiri secara ekonomi.Dalam setiap kegiatan itu, Ari selalu mengingatkan semua relawan dan warga bahwa apa yang mereka lakukan adalah bentuk ibadah, mengharap ridha Allah dan menebarkan kasih sayang sebagaimana diperintahkan dalam Al-Qur’an. Ia sering membacakan ayat-ayat suci yang menguatkan dan menenangkan hati, membuat para pendengar terharu dan semakin terpanggil untuk berbuat lebih.Kehadiran Ari yang dulunya dikenal sebagai pengacara kini berubah menjadi sosok pemimpin spiritual dan kemanusiaan. Wajahnya yang dulu letih dan kusam kini bersinar dengan keteguhan iman. Orang-orang di sekitar mulai memanggilnya dengan penuh hormat, bukan hanya sebagai pembela hukum, tapi sebagai pelita harapan yang membawa kedamaian di tengah derita.Suatu sore, saat anak-anak mengelilinginya dan mengikuti kelas baca Al-Qur’an yang ia pandu, seorang ibu berkata lirih, “Pak Ari, engkau seperti malaikat yang datang membawa cahaya di tengah gelapnya kehidupan kami.”Ari tersenyum, hatinya bergetar. Ia tahu, perjuangan yang ia jalani bukan sekadar membela di ruang pengadilan, tapi membangun masa depan yang lebih baik dari akar kehidupan.Malam itu, sebelum tidur, Ari menulis di jurnalnya:“Dulu aku mencari keadilan di pengadilan dunia, kini aku menemukan keadilan yang sejati di pengadilan hati dan iman. Aku yakin, dengan kasih sayang dan keteguhan dalam Al-Qur’an, aku bisa menjadi pembela yang lebih dari sekadar kata-kata — aku bisa menjadi pelindung yang membawa harapan bagi mereka yang terluka.”Kisah Ari menginspirasi bukan hanya warga Palestina yang ia bantu, tapi juga relawan dari berbagai negara yang turut bergabung dalam misi kemanusiaan itu. Ia menjadi bukti nyata bahwa kekuatan spiritual bisa mengubah hidup seseorang dan memperluas dampak kebaikan hingga ke penjuru dunia.Hari-hari Ari di Palestina tidak selalu mudah. Meski hatinya penuh semangat dan keyakinan, realita di lapangan sering kali menghadirkan ujian berat. Konflik yang terus berkecamuk, keterbatasan sumber daya, dan kadang rasa putus asa dari warga yang ia dampingi, menjadi tantangan nyata yang menguji keteguhan iman dan perjuangannya.Suatu pagi, Ari mendapat kabar bahwa salah satu pusat pendidikan yang baru mereka dirikan mengalami kerusakan akibat serangan udara. Anak-anak yang seharusnya belajar dan bermain di sana kini kehilangan tempat berlindung dan harapan. Kesedihan mendalam menyelimuti hati Ari, tapi ia tahu ia harus bangkit.Di tengah puing-puing bangunan, Ari mengumpulkan semua relawan dan warga. Dengan suara yang penuh keyakinan dan mata yang bersinar, ia berkata, “Ini bukan akhir dari perjuangan kita. Allah menguji kita bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menguatkan. Kita akan membangun kembali, lebih kuat dan lebih kokoh, demi masa depan anak-anak kita.”Semangat baru membara dalam diri semua yang hadir. Mereka mulai membersihkan puing, membawa batu bata dan semen seadanya. Ari sendiri ikut turun tangan, bekerja bersama mereka tanpa mengenal lelah. Ia mengingatkan mereka pada ayat Al-Qur’an yang mengajarkan kesabaran dan tawakkal, bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan.Hari demi hari, pusat pendidikan itu kembali berdiri. Lebih dari sekadar bangunan fisik, tempat itu kini menjadi simbol keteguhan komunitas yang tak mudah menyerah pada keadaan. Ari tidak hanya menjadi pemimpin, tapi juga sumber inspirasi yang menyalakan api harapan di hati banyak orang.Selain membangun fisik, Ari juga memperkuat ukhuwah dan nilai-nilai kemanusiaan. Ia sering mengajak warga berdiskusi tentang pentingnya saling tolong-menolong, saling memaafkan, dan menjaga persatuan meski di tengah perbedaan. Ia menanamkan bahwa kedamaian sejati bermula dari hati yang bersih dan jiwa yang terikat pada nilai-nilai kasih sayang Al-Qur’an.Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, Ari duduk bersama para imam dan tokoh masyarakat di masjid setempat. Mereka membahas langkah-langkah strategis untuk mengembangkan program sosial dan pendidikan yang lebih luas lagi. Ari berbicara dengan penuh haru, “Kita bukan hanya berjuang untuk hari ini, tapi untuk generasi masa depan. Mari kita ajarkan anak-anak kita arti cinta, keadilan, dan keberanian lewat Al-Qur’an dan perbuatan nyata.”Kata-kata Ari menggetarkan hati semua yang mendengarnya. Di mata mereka, Ari bukan hanya seorang pengacara yang pernah tersesat, tapi seorang pejuang sejati yang menemukan cahaya di kegelapan dan membagikannya kepada dunia.Di sela-sela kesibukannya, Ari tak pernah lupa untuk berdoa dan membaca Al-Qur’an. Ia menemukan kekuatan baru dalam setiap ayat yang dibacanya, seolah Allah memberi petunjuk dan semangat untuk melangkah lebih jauh lagi.Perlahan tapi pasti, komunitas di sekitar Ari mulai mengalami perubahan. Anak-anak lebih ceria, perempuan mulai mandiri dengan keterampilan baru, dan harapan tumbuh di setiap sudut. Ari tahu ini bukan sekadar keberhasilan dirinya, tapi buah dari iman, kerja keras, dan kasih sayang yang tak kenal lelah.Kisah Ari mengajarkan kita bahwa dalam gelapnya cobaan, selalu ada cahaya yang menanti untuk ditemukan. Dan saat cahaya itu menyala, ia mampu menerangi bukan hanya satu jiwa, tapi banyak kehidupan.Suatu malam di tenda sederhana tempat Ari bermukim, ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk. Dari layar terlihat nama saudara dekatnya di Indonesia. Dengan tangan gemetar, Ari membuka pesan itu. Di sana tertulis kabar yang membuat dadanya sesak: kondisi anaknya, Arya, yang kini diasuh oleh keluarga sang ibu, sedang sakit dan sangat membutuhkan kehadiran ayahnya.Kabar itu datang bak badai di tengah ketenangan yang telah ia bangun di Palestina. Rindu yang selama ini ia pendam tiba-tiba meluap menjadi gelombang besar yang menghantam jiwanya. Ari duduk termenung, menatap langit malam penuh bintang yang tak lagi mampu memberi kelegaan.Di satu sisi, ada perjuangan besar yang sedang ia jalankan di tanah Palestina—membangun harapan, menyalakan api keadilan dan kemanusiaan, menjalankan amanah dari Tuhan lewat ayat-ayat Al-Qur’an yang memberinya kekuatan setiap hari. Di sisi lain, ada tanggung jawab yang tak kalah berat sebagai seorang ayah yang harus hadir untuk anaknya, menyembuhkan luka yang belum sempat ia sentuh sejak lama.Ari berbisik pelan, “Ya Allah, berikan aku petunjuk. Mana jalan yang Engkau ridhoi untukku?”Malam itu Ari tak bisa tidur. Hatinya terbelah antara dua dunia yang ia cintai. Ia mengingat saat-saat kecil Arya di pelukannya, tawa polos yang kini hanya bisa dikenangnya lewat foto dan cerita. Ia tahu, waktu terus berjalan dan kesempatan tidak selalu datang dua kali.Keesokan harinya, Ari bertemu dengan imam masjid yang selama ini menjadi sahabat spiritualnya. Dengan mata yang tulus, Ari membuka isi hatinya, menceritakan dilema yang menyesakkan dadanya.Imam itu tersenyum lembut, “Anakku, Allah tidak pernah membebani seseorang di luar kemampuannya. Berjuanglah di medan yang kau bisa, dan jangan lupakan keluarga yang kau cinta. Ingat, menjaga silaturahmi dan tanggung jawab sebagai ayah adalah bagian dari ibadah terbesar. Jalan terbaik akan datang dari doa dan niat tulusmu.”Nasihat itu menjadi titik terang bagi Ari. Ia memutuskan untuk tidak meninggalkan perjuangannya di Palestina, tapi juga berjanji akan mengatur waktu dan tenaga agar bisa pulang secara berkala ke Indonesia, menemui Arya, dan menguatkan ikatan yang nyaris hilang.Dengan tekad bulat, Ari menghubungi Tambunan dan Anindya untuk mengatur kepulangan yang terencana. Ia sadar bahwa perjuangan di luar negeri tidak akan bermakna tanpa kehadirannya sebagai ayah di rumah.Di depan komunitas Palestina yang mulai ia bina, Ari tampil lebih tegar dan bijaksana. Ia berbagi kisah tentang tanggung jawab, pengorbanan, dan iman yang menjadi fondasi hidupnya. Banyak yang terinspirasi, melihat bahwa seorang manusia bisa sekaligus menjadi pejuang kemanusiaan dan ayah yang penuh cinta.Kisah Ari yang penuh konflik batin ini mengingatkan kita bahwa dalam menjalani kehidupan, kita akan sering dihadapkan pada pilihan sulit. Namun, dengan keimanan yang kuat dan niat yang tulus, jalan yang terbaik akan terbuka, dan hati pun dapat berdamai.Hari-hari pertama di Palestina dulu dipenuhi oleh gelapnya kesepian dan bayang-bayang duka yang membelenggu hati Ari. Depresi yang dulu menggerogoti membuatnya merasa hampa, kehilangan arah, bahkan meragukan makna hidupnya sendiri. Namun, perlahan waktu dan lingkungan baru membantunya membuka mata dan hati.Di tengah gurun dan gedung-gedung tua yang menyimpan sejarah panjang penderitaan, Ari menemukan makna baru lewat kontak dengan sesama pejuang kemanusiaan. Ia mulai menyadari, bahwa kesedihan yang ia rasakan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari perjalanan manusia mencari cahaya.Setiap pagi, setelah salat Subuh di Masjid Al-Aqsa, Ari meluangkan waktu membaca Al-Qur’an dengan khusyuk. Ayat-ayat suci itu bagai embun segar yang menyejukkan hati yang kering. Ia belajar memaknai setiap kalimat dengan rasa syukur dan kerendahan hati.“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,” lirih Ari, mengulang kalimat yang sering ia baca dan kini terasa begitu nyata.Di sela-sela kegiatan sosial, Ari mulai menulis jurnal harian. Ia menumpahkan semua perasaan dan pemikiran yang dulu terpendam. Menulis memberinya ruang untuk memahami luka batinnya dan perlahan mengubahnya menjadi kekuatan.Selain itu, Ari juga membangun hubungan erat dengan komunitas lokal. Bersama mereka, ia mengorganisasi pembagian bantuan, mengajar anak-anak yang kehilangan kesempatan belajar, dan mendampingi keluarga korban konflik. Setiap senyum yang ia terima, setiap terima kasih yang terucap, menjadi obat paling manjur bagi hatinya yang pernah rapuh.Perlahan, rasa putus asa yang dulu menghimpit mulai luntur berganti dengan semangat yang tumbuh dari rasa empati dan tanggung jawab. Ari sadar, dirinya bukan hanya bertarung melawan depresi, tapi juga menjadi inspirasi bagi orang lain yang menghadapi kesulitan lebih berat.Dalam dialog kecil bersama imam masjid, Ari pernah berkata, “Aku dulu merasa hancur, tapi di sini aku belajar bahwa luka tidak selalu harus disembunyikan. Dengan menerima dan berdamai, aku bisa berdiri lebih tegak.”Imam itu tersenyum, “Itulah kekuatan iman dan kemanusiaan, anakku. Ketika kau berdamai dengan dirimu, kau akan mampu berdamai dengan dunia.”Kini, Ari bukan hanya seorang pengacara yang berubah menjadi aktivis kemanusiaan. Ia adalah sosok yang semakin kuat secara spiritual, jiwa yang tangguh sekaligus penuh kasih, siap menapaki jalan panjang penuh tantangan di Palestina, dengan hati yang tabah dan visi yang jelas: membawa harapan dan keadilan bagi mereka yang terlupakan.Di tengah kesibukan aktivitas kemanusiaan yang padat, Ari menemukan sebuah kejutan kecil yang memberinya semangat baru: pertemuan dengan Valiant Bonardo, seorang pengacara muda yang juga berdomisili di Yerusalem. Pertemuan itu terjadi secara tak terduga, saat Ari tengah mengurus dokumen untuk sebuah proyek bantuan hukum bagi warga Palestina.Valiant adalah sosok yang menarik. Wajahnya teduh dengan senyum ramah yang langsung membuat siapa pun merasa nyaman. Ia fasih berbahasa Indonesia—hasil belajar mandiri dan tinggal beberapa waktu di Indonesia sebagai bagian dari program pertukaran mahasiswa hukum.“Assalamu’alaikum, Pak Ari,” sapa Valiant dengan logat bahasa Indonesia yang sempurna saat pertama kali bertemu. “Saya mendengar tentang kerja keras Anda di sini. Saya juga seorang pengacara di Yerusalem, dan saya ingin membantu.”Ari merasa takjub sekaligus lega. Tidak hanya karena menemukan teman sebidang yang mengerti perjuangan hukum di tanah yang penuh tantangan ini, tetapi juga karena Valiant sangat memahami budaya dan bahasa Indonesia, membuat komunikasi mereka mengalir lancar.Valiant ternyata berasal dari keluarga pembesar Kristen Ortodoks di Roma. Ayahnya adalah seorang tokoh penting di kalangan Gereja Ortodoks, sementara keluarganya sudah lama menetap dan berpengaruh di Yerusalem. Meski berlatar belakang keluarga Kristen kaya raya, Valiant sangat rendah hati dan memiliki jiwa sosial yang besar.“Meski saya dibesarkan dalam kemewahan dan tradisi besar, saya ingin berdiri bersama rakyat Palestina dan membantu mereka melalui hukum,” jelas Valiant suatu hari. “Apalagi saya sering mendampingi warga Indonesia yang berkunjung ke sini untuk wisata religi, terutama di gereja-gereja tua dan situs-situs bersejarah. Saya ingin memastikan mereka merasa aman dan mendapat pelayanan yang terbaik.”Kedekatan budaya ini membuat Valiant menjadi penghubung yang penting bagi Ari. Bersama-sama, mereka mulai merancang program bantuan hukum terpadu, juga kegiatan edukasi hukum bagi warga lokal dan wisatawan Indonesia yang datang ke Yerusalem.Di sela-sela waktu kerja, Valiant juga sering mengajak Ari mengunjungi situs-situs religius—menara-menara tua, gereja-gereja bersejarah, dan jalanan berliku yang penuh cerita. Dari sana, Ari belajar banyak tentang sejarah, toleransi, dan bagaimana hukum serta agama bisa saling menopang dalam kehidupan masyarakat yang kompleks.Pertemanan mereka tumbuh menjadi kekuatan baru bagi Ari. Valiant bukan hanya rekan kerja, tapi juga sahabat yang menguatkan di saat Ari merasa lelah dan ragu. Dengan Valiant, Ari merasakan bahwa perjuangan di tanah suci ini bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang persahabatan lintas agama dan budaya yang mampu merajut harapan baru.Suatu sore yang cerah di Yerusalem, Ari dan Valiant berjalan menyusuri lorong-lorong batu tua di kawasan Kota Tua yang penuh sejarah. Mereka mengunjungi tempat-tempat bersejarah seperti tembok-tembok kuno, gereja-gereja dan masjid yang berdiri berdampingan sebagai saksi bisu perjalanan ribuan tahun peradaban dan keimanan.Di sebuah sudut halaman Masjid Al-Aqsa yang teduh, mereka duduk di bangku batu sambil menikmati angin sore yang membawa aroma khas rempah dan sejarah. Di tempat suci ini, Ari membuka pembicaraan yang sudah lama mengusik pikirannya.“Valiant, aku sering membaca hadist Nabi Muhammad tentang tanda-tanda akhir zaman. Kadang aku merasa zaman ini benar-benar seperti yang diceritakan: banyak fitnah, ketidakadilan, dan kekacauan,” ujar Ari dengan suara pelan namun penuh renungan.Valiant mengangguk sambil tersenyum bijak. “Aku juga pernah memikirkan hal itu. Dalam situasi yang sulit ini, kita bisa melihat tanda-tanda itu nyata di sekitar kita. Tapi hadist itu juga mengajarkan kita untuk tetap sabar dan berpegang pada kebaikan.”Ari melanjutkan, “Nabi Muhammad bersabda, bahwa di akhir zaman manusia akan sibuk dengan urusan duniawi sampai lupa pada akherat, banyak dusta dan permusuhan, dan yang paling berat adalah ketika kejujuran jadi langka.”Valiant menimpali, “Benar sekali. Di Yerusalem ini, aku melihat sendiri bagaimana konflik dan ketidakadilan bisa memecah belah masyarakat. Namun aku percaya, setiap manusia punya kesempatan untuk memperbaiki diri dan menebar kebaikan. Itu juga yang kita lakukan—berusaha menjadi cahaya di tengah kegelapan.”Mereka berbincang panjang tentang makna hadist itu, dan bagaimana perjuangan mereka di medan hukum dan kemanusiaan adalah wujud nyata menolak keputusasaan dan melawan fitnah zaman. Ari merasa hati dan jiwanya mulai menemukan ketenangan yang selama ini ia cari.“Ini bukan sekadar tugas profesional, Valiant. Ini adalah panggilan jiwa,” kata Ari sambil menatap langit senja yang mulai merah keemasan.Valiant tersenyum hangat, “Dan aku percaya, dengan niat yang tulus dan usaha yang gigih, kita bisa membawa perubahan. Sesuai hadist, di tengah kesulitan, akan ada cahaya yang muncul dari orang-orang yang beriman dan berbuat baik.”Mereka pun berdiri, melanjutkan perjalanan menyusuri sejarah dan keimanan yang saling menguatkan, dengan harapan bahwa perjalanan mereka akan memberi manfaat tak hanya bagi diri sendiri, tapi juga untuk banyak orang yang membutuhkan.Sinar matahari sore menyusup lembut di antara celah-celah bangunan batu berusia ribuan tahun. Aroma roti hangat, rempah-rempah dari pasar tradisional, dan debu sejarah menyatu menciptakan atmosfer yang tak bisa ditemui di tempat lain. Jalan-jalan sempit yang Ari dan Valiant lalui dipenuhi suara langkah kaki para peziarah dari berbagai penjuru dunia, suara adzan yang bersahutan dari menara masjid, dan lonceng gereja yang berdentang damai.Ari mengenakan gamis putih sederhana dan syal Palestina di lehernya, simbol solidaritasnya yang baru terhadap perjuangan dan keteguhan rakyat negeri ini. Di sisinya, Valiant mengenakan jas panjang hitam yang mencerminkan warisan Ortodoks Roma—kontras budaya dan keyakinan yang justru menjadi jembatan bagi persahabatan mereka.Mereka berhenti di dekat Church of the Holy Sepulchre, lalu duduk di tangga batu yang menghadap ke arah Masjid Al-Aqsa yang agung dan penuh kharisma. Di sanalah, Ari kembali terdiam, menyandarkan tubuhnya sejenak. Ia merasakan sesuatu yang aneh—bukan rasa lelah, tapi rasa damai yang sangat asing baginya. Tidak ada pengadilan, tidak ada gugatan hukum, tidak ada rasa ditinggalkan. Yang ada hanyalah ruang kosong di jiwanya yang perlahan terisi oleh keheningan spiritual.Valiant menatapnya penuh pengertian. “Tempat ini... bukan hanya pertemuan tiga agama, Ari. Tapi juga tempat banyak jiwa datang untuk mencari jawaban. Tak semua pulang dengan jawaban itu, tapi sebagian pulang dengan hati yang lebih ringan.”Ari mengangguk perlahan. “Selama ini aku hidup untuk membela yang lemah. Tapi aku lupa, diriku sendiri juga lemah... dan butuh dibela.”Valiant tersenyum. “Mungkin inilah saatnya engkau membela jiwamu sendiri. Membela rasa putus asa, kecewa, dan luka... dengan keikhlasan, bukan pelarian.”Senja mulai jatuh, membasahi langit Yerusalem dengan warna keemasan dan merah saga. Kicau burung bercampur gema doa dari berbagai arah. Udara menjadi sejuk, membawa angin yang seakan berbisik pada Ari, "Tenangkan hatimu, wahai musafir jiwa."Saat itu juga, suara azan Maghrib berkumandang dari Al-Aqsa. Ari menundukkan kepala, air matanya jatuh perlahan. Ia teringat Arya—putranya yang tak bisa ia peluk. Tapi untuk pertama kalinya, rindu itu tak lagi menyesakkan. Rindu itu berubah menjadi doa. Ia merasa anaknya baik-baik saja. Dan ia pun—untuk pertama kali dalam hidupnya sejak perceraian—juga merasa... baik-baik saja.Valiant berdiri dan menepuk bahu Ari, “Mari, kita shalat bersama di Masjid Al-Aqsa. Kau bisa melanjutkan bacaan Qur’anmu. Imam Ibrahim pasti sudah menunggumu.”Mereka berjalan beriringan menuju masjid. Lampu-lampu taman menyala redup, menerangi jalur setapak menuju rumah Allah. Langkah kaki Ari ringan. Ia bukan lagi pengacara yang hancur. Ia adalah pengelana spiritual yang tengah dibangun kembali oleh cahaya yang datang dari langit.Malam itu, setelah shalat dan membaca surat-surat pendek di pojok masjid, Ari berdzikir pelan. Wajahnya bersinar. Ia tidak hanya menemukan tempat baru untuk mengabdi—tapi juga menemukan kembali dirinya sendiri.Dan dunia, entah bagaimana, terasa lebih luas... dan lebih bersahabat.Hari-hari di Yerusalem mulai berbeda bagi Ari. Setiap pagi setelah Subuh, ia berjalan menyusuri lorong-lorong kota tua, menyalami para pedagang, berbincang dengan anak-anak yatim yang dulu hanya ia pandangi dari kejauhan, dan semakin sering menghabiskan waktu dengan Imam Ibrahim di Masjid Al-Aqsa, mempelajari tafsir Al-Qur’an serta kisah perjuangan para Nabi.Namun, di balik ketenangan itu, Ari mulai merasakan panggilan baru dalam hidupnya.Suatu sore, di sebuah kedai teh kecil di belakang Dome of the Rock, Ari berbincang serius dengan Valiant Bonardo, sahabatnya yang kini lebih dari sekadar pemandu. Mereka berbicara tentang krisis imigran muslim dari Suriah, Palestina, dan Afrika Utara—banyak di antaranya yang tersisih secara sosial, mengalami diskriminasi hukum, dan tak memiliki akses ke keadilan.“Valiant, aku merasa ini bukan kebetulan. Mungkin aku memang harus berhenti menjadi pengacara untuk pengadilan, dan mulai menjadi pembela untuk mereka yang tak pernah punya pengadilan,” kata Ari dengan mata yang basah.Valiant mengangguk pelan. “Dan aku akan bersamamu. Dengan koneksi ayahku, kita bisa memulai dari komunitas Kristen Ortodoks yang membuka ruang kerja sama lintas iman. Aku tahu banyak pemuda Palestina yang juga ingin belajar hukum, tapi tak punya kesempatan.”Dari percakapan itulah, lahirlah gagasan “Nur al-‘Adalah”—sebuah komunitas kecil yang menggabungkan dakwah Al-Qur’an dengan edukasi hukum dan advokasi sosial. Ari mulai mengajar tafsir dan prinsip keadilan dalam Islam di balai pertemuan kecil dekat perbatasan Yerusalem Timur. Bersama Valiant, ia membuat kelas-kelas sederhana tentang hak asasi manusia dalam perspektif Islam dan hukum internasional, yang diikuti warga Palestina, pengungsi, bahkan para relawan internasional.Mereka menggabungkan pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan penerapan langsung: membantu seorang janda Palestina menuntut hak tanahnya, mengurus identitas anak-anak yatim yang tak diakui negara, bahkan mendampingi proses naturalisasi warga imigran yang ingin hidup bermartabat.Lambat laun, komunitas itu dikenal. Bukan karena besar, tapi karena menyentuh jiwa. Nur al-‘Adalah menjadi tempat mereka yang kehilangan arah untuk menemukan cahaya.Ari sendiri berubah. Ia sudah bisa tertawa lagi—bukan tertawa pahit, tapi tulus dari kedalaman jiwa. Ia tetap memeluk kenangan tentang Arya, anak yang ia rindukan, namun kini kenangan itu bukan luka... melainkan doa yang menguatkan setiap langkahnya.Dalam satu sesi kajian, ketika seorang pemuda bertanya, “Apa yang membuatmu bertahan di sini, Ustadz Ari?” — Ari menjawab dengan senyum tenang:“Aku datang ke Palestina sebagai pria yang kehilangan segalanya... dan Allah memberiku kembali semuanya—bukan dengan cara lama, tapi dengan bentuk yang lebih utuh: makna.”Malam-malam Ari kini dihabiskan dengan menulis surat kepada anaknya—surat yang tidak dikirimkan, tapi disimpan dalam sebuah kotak kayu di samping mushaf Qur’an-nya. Ia percaya, suatu hari kelak, Arya akan membacanya. Dan mungkin, jika takdir mengizinkan, mereka akan bertemu lagi.Tapi untuk sekarang, ia tetap di sini. Menanam cahaya.Dan di padang gersang tempat keadilan nyaris pupus, cahaya kecil seperti itu... adalah awal dari kebangkitan besar.Waktu terus berjalan. Sudah hampir dua tahun sejak Ari menginjakkan kakinya di Palestina. Komunitas Nur al-‘Adalah yang ia rintis bersama Valiant Bonardo perlahan menjadi poros penggerak sosial di kawasan Yerusalem Timur. Meski tanpa dukungan institusi besar, pengaruhnya menembus batas-batas agama, bahasa, dan kebangsaan. Media lokal mulai menyorot aktivitas mereka.Seorang jurnalis dari Al Jazeera Arabic menulis artikel mendalam berjudul "From Jakarta to Jerusalem: The Lawyer Who Healed Through Justice"—dan sejak saat itu, nama Muhammad Ari Pratomo mulai diperbincangkan di berbagai forum internasional.Lembaga-lembaga Islam, Kristen Ortodoks, dan organisasi hak asasi manusia mengundangnya untuk berbicara. Ia tampil sederhana: hanya dengan gamis putih, sorban tipis, dan mata jernih yang menyiratkan luka yang sudah berdamai. Namun setiap kalimatnya menusuk hati. Ia tidak sekadar memberi ceramah, melainkan menghadirkan kesaksian hidup.Dalam salah satu konferensi di Amman, Yordania, di hadapan para pemikir dari Universitas Al-Azhar dan Vatikan, Ari berkata:“Keadilan itu bukan hanya pasal dalam buku, bukan hanya ucapan hakim. Keadilan sejati adalah saat anak yatim tidak takut lagi tidur karena lapar. Saat ibu yang kehilangan anak tidak ditinggal sendiri dalam derita. Dan saat kita semua menyadari bahwa perbedaan iman bukan alasan untuk membenci, tapi peluang untuk menguatkan.”Tepuk tangan panjang pun mengiringi pidato itu. Valiant yang duduk di barisan depan hanya tersenyum dan mengangguk bangga.Tak lama kemudian, namanya mulai menghiasi kanal-kanal podcast internasional, kanal YouTube dakwah di Inggris, hingga publikasi di Jerman yang menyebutnya sebagai "Spiritual Legalist from the East." Ari menolak popularitas, tapi menerima semua kesempatan untuk berbicara—karena ia yakin, setiap mikrofon adalah amanah, setiap sorotan kamera bisa menjadi dakwah.Di salah satu wawancara, ketika ditanya apakah ia rindu rumah, Ari menjawab pelan:“Rumahku pernah hancur. Tapi dari kehancuran itu, Allah bangunkan aku tempat baru—yang bukan hanya dinding dan atap, tapi hati-hati yang saling menyembuhkan.”Kini, setiap bulan, Ari menerima surat-surat dari pemuda Indonesia yang ingin belajar hukum dan dakwah di Timur Tengah. Banyak yang datang, tinggal bersamanya di sebuah rumah kecil dekat Masjid Al-Aqsa. Ia ajarkan mereka bukan hanya fiqh atau tafsir, tapi juga pentingnya memahami keadilan sebagai laku hidup—bukan sekadar teori.Dan di salah satu malam Ramadhan, ketika Ari berdiri mengimami shalat di pelataran masjid tua, ia melihat sekilas seorang anak kecil dengan mata bening memperhatikannya dari kejauhan. Untuk sejenak, hatinya tergetar. Anak itu mengingatkannya pada Arya.Setelah selesai, anak itu datang menghampiri.“Apakah kamu... Abi Arya?” tanya si kecil lirih.Ari membungkuk, menatap lembut, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum.“Bukan, Nak. Tapi aku berdoa agar anakku tahu... bahwa ayahnya tetap hidup untuk membela anak-anak seperti kamu.”Dan malam itu, Yerusalem terasa lebih hangat. Bukan karena suhu, tapi karena cahaya kecil itu kini menyebar—menjadi terang.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Hancurnya Kehidupan Sang Pengacara

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Setelah gemerlap pernikahan yang meriah dan penuh haru, kehidupan rumah tangga Ari dan Flow memasuki babak baru. Mereka dikagumi banyak orang—sepasang figur publik yang tidak hanya bersatu karena cinta, tapi juga karena prinsip, perjuangan, dan nama baik. Mereka memiliki segalanya: status, sorotan media, dan seorang anak laki-laki yang lucu dan pintar, buah cinta mereka, Arya.Namun, waktu mengikis kesempurnaan itu perlahan-lahan. Di balik senyum-senyum di Instagram dan tawa ringan saat tampil di media, tersembunyi pertengkaran-pertengkaran kecil yang tumbuh menjadi luka.Ari, dengan prinsip hidup mandiri dan idealisme sebagai kepala keluarga, merasa bahwa tinggal di rumah ibu mertua terlalu mengekang. Ia ingin memimpin rumah tangganya sendiri, dari rumah yang ia beli dengan hasil kerja kerasnya sebagai pengacara. Flow menolak. Baginya, meninggalkan ibunya—yang membesarkannya sendiri tanpa kehadiran sang ayah—adalah bentuk pengkhianatan.“Aku cuma ingin kita hidup di rumah sendiri, Flow,” ucap Ari suatu malam, dengan suara tenang namun tegas. “Bukan untuk menjauhkanmu dari Ibu, tapi untuk menegakkan peran kita sebagai orang tua bagi Arya.”Flow memandangnya dengan mata lelah. “Kamu tidak pernah mengerti, ya? Ibu itu segalanya bagiku. Aku tidak mau meninggalkannya sendiri, apalagi setelah semua yang sudah dia korbankan buat aku. Kalau kamu maksa, ya sudahlah…”Kata-kata itu menggantung seperti kabut di tengah malam. Tak ada yang melanjutkan percakapan. Tak ada pelukan malam itu. Hanya keheningan, dan suara tangisan kecil Arya dari kamar sebelah.Cekcok demi cekcok terus terjadi. Flow yang baru melahirkan, kelelahan fisik dan mental, merasa tidak lagi dimengerti. Ari pun mulai kehilangan kesabaran, namun tetap berusaha menyelesaikan semuanya dengan logika hukum, bukan empati hati.Puncaknya terjadi saat Arya genap berusia dua tahun. Di ulang tahunnya yang seharusnya menjadi perayaan keluarga kecil mereka, Flow mendadak mengemasi barang-barangnya.“Aku akan tinggal dengan Ibu. Dan Arya ikut aku,” katanya pelan namun tegas.Ari tertegun. “Flow… jangan begini. Setidaknya bicarakan dulu baik-baik. Jangan bawa Arya sekarang, malam ini…”Flow menunduk, tak sanggup menatap suaminya. “Maaf, Ri. Aku lelah. Aku cuma butuh tenang. Aku ibunya. Dia butuh aku.”Malam itu Ari menatap kepergian istri dan anak semata wayangnya, Arya, dari jendela rumah kontrakan yang belum sempat ditata rapi. Tangannya gemetar, bukan karena marah, tapi karena kehilangan yang belum sempat dijelaskan. Di meja masih tersisa balon kecil bertuliskan “Happy 2nd Birthday Arya” yang belum sempat dilepas.Beberapa minggu kemudian, Flow mengajukan gugatan cerai. Ari tidak melawan. Ia hadir di sidang sebagai tergugat dan pengacaranya sendiri. Profesional di luar, tapi rapuh di dalam.Putusan resmi turun. Hak asuh sementara jatuh ke tangan Flow. Ari hanya diberi hak kunjungan.Media kembali menyorot:“Muhammad Ari Law Cerai, Anak Laki-lakinya Dibawa Sang Istri”“Kehidupan Sang Pengacara Retak, Arya Jadi Korban Konflik Rumah Tangga”Namun Ari tetap diam. Ia kembali ke meja kerjanya di Posbakum, menyambut klien-klien kecil dengan senyum tipis yang penuh luka. Hanya satu hal yang masih menjadi tujuannya kini: menjadi ayah yang tetap hadir, meski dari kejauhan."Kehilangan yang Membusuk dalam Diam"Tak ada yang menyangka.Tak satu pun.Bahwa seorang pengacara yang dahulu dielu-elukan karena keberaniannya membela rakyat kecil, kini bahkan tak lagi mampu membela dirinya sendiri.Ari mulai datang ke pengadilan dengan pakaian lusuh. Jas hitam kebanggaannya, yang dulunya selalu licin dan wangi, kini kusut dan menyimpan noda kopi basi yang tak sempat dibersihkan. Dasi yang dulu ia kenakan dengan bangga kini hanya tergantung lemas di leher, tak lagi mencerminkan wibawa seorang pengacara.Ada hari-hari di mana ia datang tanpa mandi. Rambutnya lepek, beraroma kecut, dan matanya menyimpan lingkaran gelap yang seolah tak pernah tidur. Rekan-rekan sejawat mulai berbisik di koridor:“Itu Muhammad Ari Law, kan? Yang viral dulu itu…”“Kok sekarang kayak gitu ya?”Di ruang sidang, suaranya tak lagi lantang. Ia lebih sering diam, memandangi kursi kosong di sebelahnya—seakan berharap Arya, putra kecilnya, duduk di sana dan melihat ayahnya tetap berdiri, tetap berjuang. Tapi yang ada hanya gema kosong, dan hakim yang mulai bertanya,“Saudara kuasa hukum, Anda sehat?”Ruang tamu tempat ia biasa menerima konsultasi hukum kini dipenuhi tumpukan kertas tak tersentuh. Cangkir-cangkir kopi sisa malam, abu rokok, dan coretan-coretan dinding tempat ia menuliskan kenangan bersama Flow dan Arya. Salah satunya masih terbaca:“Arya suka dinosaurus. Beli boneka t-rex minggu depan.”Tapi minggu itu tak pernah datang. Arya tak lagi di sana untuk memeluk boneka dinosaurus yang dijanjikan ayahnya.Ari bukan hanya kehilangan istri dan anak. Ia kehilangan dirinya sendiri. Ia tak lagi membalas pesan klien. Tak menyentuh gitar yang dulu ia petik untuk menghibur orang yang kalah perkara. Ia hanya duduk di beranda, menatap langit malam Jakarta yang kini terasa asing.Kadang ia bicara sendiri. Kadang ia mengulang-ulang nama anaknya dalam bisikan:"Arya... Ayah di sini, Nak... Arya..."Malam-malam ia berjalan kaki menyusuri taman tempat dulu Arya berlari kecil sambil tertawa. Ia duduk di bangku yang sama, mengusap bekas tetesan es krim yang dulu menempel di baju anaknya. Tapi kini yang ia temui hanya udara dingin, nyamuk, dan lamunan yang menyiksa.Pernah suatu hari, ia datang ke sidang pidana mengenakan sandal jepit. Panitera memandangnya dengan ragu. Jaksa pun menahan tawa kecil. Tapi Ari tak peduli. Baginya, dunia sudah terlalu hening untuk mendengar ejekan. Yang ia pikirkan hanya satu:“Apakah Arya sudah makan hari ini?”Beberapa klien lama mencoba menghubungi. Beberapa aktivis ingin mengajak kerja sama lagi. Tapi Ari menolak semua itu. Ia bahkan memblokir nomor sahabat-sahabat lamanya. Ia tak ingin ada yang tahu bahwa seorang Muhammad Ari Law, pengacara rakyat, kini hidup sebagai bayangannya sendiri.Setiap malam ia hanya menatap layar ponsel, berharap ada notifikasi video call dari Flow yang memperlihatkan wajah Arya. Tapi layar tetap kosong. Tak ada pesan. Tak ada suara.Hidupnya tak lagi disusun oleh agenda dan perkara. Tapi oleh tumpukan kenangan dan rasa bersalah yang menghancurkannya perlahan.Orang-orang mulai melupakan. Media pun berhenti menulis.Namun di satu sudut Jakarta, ada seorang pengacara yang dulu memperjuangkan keadilan—kini menjadi pria kesepian yang bahkan tak mampu memperjuangkan dirinya sendiri.“Sunyi yang Membunuh dalam Diam”Hari-hari berlalu tanpa makna. Jam tak lagi menjadi penanda waktu, hanya deretan angka yang lewat begitu saja. Muhammad Ari Pratomo, sang pengacara rakyat, kini telah benar-benar menjauh dari apa pun yang dulu membuatnya hidup: hukum, peradilan, musik, bahkan dirinya sendiri.Pagi hari yang dulu dipenuhi agenda konsultasi di Posbakum, kini hanya dimulai dengan sebatang rokok murahan yang menyala di jari gemetar. Ari duduk di kursi reyot yang menghadap ke jendela sempit kosannya. Ia tak menyalakan lampu. Tak menyalakan ponsel. Tak menjawab pesan dari siapa pun.Ia hanya duduk. Melamun. Merokok. Diam.Di dinding kamarnya yang dingin, masih tergantung foto kecil Arya waktu ulang tahun pertama. Wajah mungil dengan topi ulang tahun biru. Ari tak pernah berani menurunkan foto itu. Setiap ia menatapnya, matanya berkaca. Tapi tak pernah benar-benar menangis. Air matanya sudah habis entah di hari keberapa saat Flow meninggalkan rumah sambil membawa Arya, anak semata wayangnya.“Buat apa hidup kalau gak bisa jadi ayah?” gumamnya suatu malam sambil menghembuskan asap ke langit-langit kamar.Sesekali, ia mencoba membuka folder lamanya yang berisi ratusan berkas perkara: sengketa tanah, kasus KDRT, korban PHK, kriminalisasi pengusaha kecil. Semua ditangani oleh Ari dulu dengan penuh idealisme. Tapi kini, berkas-berkas itu hanya menjadi pengingat masa lalu yang terasa jauh.Ia tak ingin membela siapa pun. Ia bahkan tak yakin bisa membela dirinya sendiri.Rokok menjadi sahabatnya. Dalam sehari, Ari bisa menghabiskan dua bungkus. Ia makan asal saja—kadang hanya mie instan mentah yang diremas dan ditaburi bumbunya. Kadang tak makan sama sekali. Ia lebih memilih menyesap kopi hitam yang sudah dingin dan membiarkan lambungnya perih.Tetangga kos mulai khawatir, tapi juga bingung harus bagaimana. Seorang mantan mahasiswa yang dulu ia bantu perkara beasiswanya bahkan datang membawakan makanan, namun Ari hanya mengangguk dan kembali menutup pintu.Ia tak butuh makanan. Ia butuh anaknya kembali.Pada satu malam hujan, ia termenung lebih lama dari biasanya. Lampu mati. Hujan mengetuk genteng dengan irama melankolis. Ari menyalakan lilin kecil. Duduk. Menatap foto Arya.Dalam gumaman yang hanya bisa didengar Tuhan dan malam, ia berkata:“Maaf, Nak... Ayah gagal jadi pahlawanmu. Ayah hanya bisa jadi bayangan dari masa lalu.”Begitulah hari-hari Ari berlalu.Ia tak lagi dikenal di pengadilan.Tak lagi disebut-sebut di media.Nama “MuhammadAriLaw” yang dulu viral di media sosial kini hanya tinggal akun yang tak pernah diupdate.Postingan terakhirnya adalah kutipan pendek:“Ketika hukum tak bisa mengembalikan keluargamu, maka kamu akan tahu — perjuanganmu belum selesai, tapi semangatmu sudah pergi.”Dan memang, semangat Ari benar-benar telah pergi.Yang tertinggal hanyalah raga yang duduk mematung, dikelilingi rokok, bayangan, dan penyesalan yang membeku dalam diam.“Runtuhnya Jiwa yang Terluka”Hari-hari Ari semakin gelap tanpa secercah harapan. Ia sudah bukan pria yang dulu berdiri tegak dengan hati penuh semangat memperjuangkan keadilan. Kini, dia seperti bangkai hidup yang terseret ombak kesedihan yang tiada henti.Pagi berganti sore, Ari masih tergeletak di ranjang kecilnya, tubuhnya yang dulu kuat kini terlihat lemah dan kusam. Jenggot tak terurus tumbuh liar di wajahnya yang dulu selalu rapi dan percaya diri. Matanya merah, sembab, menatap kosong ke langit-langit kamar yang berdebu.Dia lupa kapan terakhir kali mandi.Air di wastafel hanya digunakan untuk membilas rokok yang tersisa, bukan untuk membersihkan diri.Telinganya sudah tak peka pada suara dunia luar. Ia menolak telepon dari teman, bahkan dari kerabat dekat. Suara mereka bagai bayangan yang mengusik kesepiannya.Di sudut kamar, tumpukan surat-surat yang tak pernah dibuka menggunung. Ada surat dari kantor pengadilan yang mengabarkan panggilan sidang, ada pula pesan dari rekan kerja yang mencoba mengingatkannya untuk kembali aktif. Tapi Ari hanya mengabaikannya, seolah tak ada lagi dunia yang ingin ia hadapi.Malam-malamnya paling menyakitkan. Ia kerap terbangun dalam keringat dingin, teringat wajah Arya yang kini tak lagi ada di sisinya. Ia mengulang-ulang kenangan itu, bagaimana tangan mungil anaknya menggenggam jarinya, bagaimana tawa kecil yang mengisi rumah kecil mereka dulu.Namun semua itu kini hanyalah bayangan yang semakin menjauh.Suatu malam, setelah merokok sendirian di balkon kos, Ari menatap langit kelabu penuh awan. Ia berbicara lirih pada dirinya sendiri:“Apa aku masih pantas dipanggil ayah, jika aku tak mampu menjaga keluargaku?”Tiba-tiba air matanya jatuh, mengalir deras tanpa bisa ditahan. Selama ini ia menahan rasa sakit, tapi kini, dinding pertahanan itu runtuh.Tetangga kos mulai berbisik-bisik, beberapa berusaha mengulurkan tangan. Namun Ari menutup diri lebih rapat dari sebelumnya. Ia memilih sendiri dalam kesendirian, terkadang hanya terdiam, sesekali menangis dalam sepi.Setiap langkahnya kini berat, suaranya sering parau karena terlalu banyak merokok dan terlalu sedikit bicara. Ia seperti hantu yang melayang tanpa tujuan, meninggalkan jejak kesedihan di mana pun ia pergi.Dan di suatu pagi yang dingin, Ari duduk di depan jendela, menatap hujan turun pelan. Ia tahu, hidupnya sudah jauh dari yang dulu ia perjuangkan. Tapi di dalam hatinya, ada satu harapan kecil yang terus ia pelihara: suatu hari, mungkin keajaiban akan datang, mengembalikan segala yang hilang.Suatu sore, ketika langit Jakarta mulai redup oleh senja, sahabat Ari, Tambunan, datang mengunjungi kosannya tanpa banyak pemberitahuan. Sesampainya di depan pintu, Tambunan sudah bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda.Begitu pintu dibuka, ia terkejut melihat kondisi Ari yang jauh berubah. Wajahnya yang dulu bersinar penuh semangat kini tampak letih, kusut, dan suram. Tubuhnya yang dulu tegap kini tampak kurus dan lunglai. Aroma rokok dan kesedihan menyelimuti ruangan sempit itu.Tambunan tak kuasa menahan rasa prihatin yang membuncah di dadanya.“Ari... ini kamu? Apa yang terjadi padamu?” seru Tambunan dengan suara berat, menyembunyikan kekhawatirannya.Ari hanya menatapnya tanpa banyak kata, seolah terperangkap dalam dunia lain yang jauh dari kenyataan.Tanpa membuang waktu, Tambunan mengambil langkah tegas. Ia membuka tas Ari dan mengeluarkan sebuah benda kecil yang selama ini mungkin terlupakan: paspor Ari.“Kamu harus pergi. Kita jalan-jalan. Aku tahu tempat yang bisa membuatmu lupa sejenak dari semua beban ini,” ucap Tambunan sambil menyerahkan paspor itu.Ari menatap paspornya, kertas kecil itu seolah membawa harapan yang tak pernah ia kira akan datang lagi.“Ke mana, Tambunan?” Ari bertanya pelan.“Palestina. Tempat perjuangan dan harapan. Aku yakin, di sana kamu bisa temukan kembali dirimu yang dulu. Mari, bangkitlah. Jangan biarkan kesedihan ini menguburmu,” kata Tambunan penuh semangat.Dengan penuh keraguan tapi juga sedikit harapan, Ari mengangguk.Ini adalah awal dari sebuah perjalanan, bukan hanya fisik, tapi juga perjalanan menyembuhkan luka dan menemukan arti baru dalam hidupnya.Begitulah, sahabat sejati hadir di saat terkelam, mengulurkan tangan yang tak hanya mengajak pergi, tapi juga memberi kekuatan untuk bangkit kembali.Dan untuk Ari, perjalanan menuju Palestina adalah titik balik yang ia butuhkan untuk menatap masa depan dengan mata yang baru.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Rutinitas dan Pernikahan yang Mendekat

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Pagi yang Sama, Hati yang BerbedaPagi itu, seperti biasa, Ari terbangun sebelum adzan subuh. Suasana kosan sederhana di sudut Depok masih sunyi. Ia bangkit perlahan, merapikan tempat tidur, lalu mengambil air wudhu. Di atas sajadah kusam yang menjadi saksi doa-doanya selama bertahun-tahun, Ari kembali bersujud. Namun kali ini, doanya lebih tenang… lebih jernih… dan lebih pasrah.Setelah subuh, ia menyeduh teh hangat dan membuka jendela kosan. Udara pagi menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan daun yang baru terkena embun. Suara kendaraan perlahan mulai terdengar dari jalan kecil depan gang. Angkot biru jurusan Pasar Minggu pun bersiap lewat, seperti biasa.Ari bersiap ke posbakum. Kemeja putih dan celana kain abu-abu yang sudah sering ia pakai tetap menjadi seragam andalannya. Ransel cokelat tua di punggungnya berisi map, pulpen, dan satu berkas penting: surat kuasa kasus warga kecil yang ditindas oleh perusahaan properti besar.Di dalam angkot, Ari duduk di pojok, membuka catatan kecil di ponselnya—menuliskan draft lirik lagu. Ia memang pengacara, tapi musik tetap menjadi tempatnya berpulang. Matanya sedikit sayu, tapi ada keyakinan yang terus menyala.Sesampainya di posbakum, suasana mulai hidup. Satpam menyapanya dengan senyum.“Pagi Pak Ari.”“Pagi, sehat terus ya, Pak.”Ia duduk di kursinya, menyapa para pencari keadilan yang sudah antre sejak pagi. Satu per satu ia dengarkan, dicatat, dibantu sebisanya. Tak semua bisa ditangani, tapi semua ia layani.Di tengah rutinitas itu, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Flow. Singkat.“Ari… kalau kamu punya waktu, bisakah kita bicara? Tentang yang tertunda.”Ari menatap layar ponselnya cukup lama. Jemarinya tak langsung membalas. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengunci ponsel itu dan kembali melayani klien berikutnya.Di tempat lain, tanpa Ari ketahui, Anindya juga melihat pesan itu. Ia sudah cukup lama menyadari... bahwa mungkin, kebahagiaan Ari tidak terletak di sisinya.Anindya menatap layar ponselnya cukup lama. Pesan terakhir dari Ari hanya singkat:"Terima kasih sudah jadi bagian penting dalam hidupku. Maaf jika langkahku mengecewakanmu."Ia membaca berulang kali. Tak ada nada marah di hatinya, hanya kesunyian yang mendalam.Sore itu, di dalam mobilnya yang terparkir di depan ruko yang dulu ditawarkan pada Ari, Anindya menutup matanya. Ia menarik napas panjang, mencoba berdamai dengan kenyataan.Ia tahu, sejak beberapa bulan terakhir, hati Ari mulai berpindah. Bukan karena dia tak cukup baik—tapi karena cinta memang tak bisa dipaksa menetap di hati yang salah.Dia membuka Instagram Flow—seorang aktris cerdas, tenang, dan dikenal berani menyuarakan isu sosial. Hijab yang dikenakan Flow tak membuatnya kaku. Justru itulah yang membuatnya anggun. Flow sering terlihat hadir di pengajian terbuka, kegiatan literasi, dan belakangan ini aktif mendampingi Ari menangani kasus pro bono."Dia bukan cuma wanita baik," batin Anindya, "dia pantas."Malamnya, Anindya mengirim pesan kepada Ari."Aku akan selalu mendukungmu, dalam bentuk apapun. Jangan takut menjadi jujur. Kalau bahagiamu bukan bersamaku, itu bukan kesalahan."Pesan itu tak pernah dibalas dengan kata-kata. Tapi keesokan harinya, Ari mengirimkan satu voice note pendek, suaranya berat namun tulus:“Terima kasih, Nin. Kamu orang paling tulus yang pernah aku kenal. Semoga kita tetap bisa saling mendoakan.”Hari-hari Ari kembali dalam ritme yang dikenalnya: berangkat pagi ke posbakum, naik angkot yang sama, duduk di kursi favorit dekat jendela, mendengarkan lagu yang sama dari earphone usang yang selalu ia bawa. Tapi ada satu yang berbeda: sejak pertemuan dengan Flow semakin sering, hatinya mulai terasa tenang. Seolah jalan hidup yang sebelumnya berdebu kini mulai menunjukkan arah yang lebih terang.Flow kadang mengirim pesan singkat, menanyakan hal-hal kecil—tentang hukum, tentang ayat dalam undang-undang, atau hanya sekadar bertanya,"Kalau kamu capek, apa yang biasanya bikin kamu kuat lagi?"Ari tak selalu menjawab panjang, tapi ia tahu hatinya mulai terbuka.Di Ruang KonsultasiSuatu sore, Flow datang ke posbakum sebagai pendamping seorang ibu yang menjadi korban pemutusan kerja sepihak. Setelah sesi konsultasi selesai, mereka duduk di teras kecil kantor, menikmati teh dalam gelas plastik.“Aku kagum, Mas,” kata Flow sambil menatap ke jalan. “Kamu nggak kaya, tapi kamu selalu punya cara bikin orang lain merasa punya harapan.”Ari hanya tersenyum. “Aku nggak mulia. Aku cuma orang biasa yang nggak bisa lihat orang lain dihancurkan sistem.”Hari itu, keduanya pulang naik ojek online yang sama, turun di jalan yang sama, berjalan kaki berdampingan menuju warung nasi kecil. Makan di sana, tanpa banyak bicara. Tapi dalam diam itu, keduanya mengerti: ada ruang yang kini mulai terisi perlahan.Anindya dan Sebuah KeputusanSementara itu, Anindya mulai mengalihkan fokus pada bisnis barunya. Ia mengisi hari-hari dengan klien baru, mengurus izin usaha, dan mulai menulis di blognya soal hukum dan perempuan. Ia masih sering bertukar kabar dengan Ari, tapi dengan frekuensi yang makin jarang—dan hatinya mulai terbiasa.Suatu hari, ia menghapus folder khusus berisi foto-foto kenangan bersama Ari.“Beberapa cinta memang cuma mampir. Tapi itu bukan alasan untuk membencinya,” gumamnya lirih.Flow dan Ari: Langkah Demi LangkahWaktu berjalan.Flow semakin sering terlibat dalam kegiatan hukum sosial bersama Ari. Kadang Flow hadir sebagai narasumber acara literasi hukum di sekolah-sekolah, kadang sekadar mendampingi Ari dalam sidang terbuka yang bisa diakses masyarakat umum. Nama mereka mulai disebut dalam media sebagai “Pasangan Hukum dan Harapan”.Tapi tak satu pun dari mereka bicara soal status.Hingga pada sebuah sore di bulan yang tenang, di teras rumah Ari yang sederhana, Flow berkata:“Kalau suatu hari kamu ingin menetap, aku ingin ada di rumah yang kamu bangun.”Ari menatap mata Flow. Lama. Dalam.“Kalau kamu tak keberatan rumah itu masih bertembok sederhana, dan masa depannya belum sempurna, maka ya—aku ingin membangunnya bersamamu.”Ari tersenyum kecil, tatapannya belum berpindah dari mata Flow.“Berarti ini semacam... iya, ya?” tanya Flow, separuh bergurau, separuh gugup.Ari mengangguk, lalu menjawab dengan tenang, “Iya. Bukan cuma rumah, Flow. Tapi hidup. Kita bangun pelan-pelan. Dengan yang kita punya.”Dan sejak saat itu, sesuatu yang tak pernah dideklarasikan dengan megah mulai tumbuh di antara mereka: kejelasan. Tanpa sorak sorai publik, tanpa unggahan manis di media sosial, Flow dan Ari mulai menyebut satu sama lain sebagai pasangan—dengan cara yang tetap bekerja untuk orang banyak.Mereka tetap hadir di ruang-ruang diskusi hukum, di sudut-sudut sekolah, bahkan di kanal YouTube Ari yang kini rutin menghadirkan konten edukatif dengan Flow sebagai partner diskusi. Chemistry mereka tidak hanya mencuri perhatian, tetapi juga memberi harapan: bahwa perjuangan hukum bisa ditemani cinta yang diam-diam, namun kokoh.Di sisi lain, Anindya—yang pernah menjadi bagian penting dari masa lalu Ari—mengetahui kabar itu dari Ari sendiri, dalam sebuah pertemuan yang mereka jadwalkan dengan kesepakatan dewasa.“Aku bahagia kamu sudah menemukan siapa yang bisa kamu ajak menetap,” kata Anindya, tulus, meski mata menyimpan kenangan.Ari tersenyum. “Aku tidak akan pernah bisa bilang kamu bukan bagian penting hidupku. Tapi sekarang, bagian itu sudah tenang. Dan aku ingin menjaga semuanya tetap baik.”“Termasuk kita tetap jadi sahabat?” tanya Anindya.“Tetap,” jawab Ari. “Kamu sahabat yang tahu aku dari sebelum jadi siapa-siapa. Flow tahu aku saat aku sedang belajar jadi versi terbaik dari diriku. Kalian berbeda, tapi tak saling menggantikan.”Pagi di Posbakum itu seperti biasanya dimulai dengan derap langkah warga yang ingin mengurus perkara. Ari sudah duduk di ruang konsultasi sejak pukul delapan, berkas-berkas terbuka rapi di depannya, dan wajahnya tenang seperti biasa. Namun satu hal kini berbeda: kehadiran Flow yang nyaris selalu menemani.Awalnya, Flow hanya datang saat jeda syuting atau ketika tidak ada jadwal mendesak. Tapi belakangan, ia mulai terbiasa dengan atmosfer Posbakum: tumpukan kasus kecil rakyat, keluh kesah ibu-ibu yang mengurus nafkah anak, hingga lelaki muda yang ingin memperjuangkan hak atas tanah warisan. Flow tidak hanya menemani Ari, tetapi juga belajar menyimak, mencatat, bahkan membantu membuatkan konten edukatif dari kisah-kisah nyata yang mereka temui.Di pojok ruangan itu, tempat biasanya Anindya pernah duduk sambil mengedit dokumen atau mengatur agenda, kini lebih sering kosong. Anindya memang perlahan menghilang dari rutinitas Posbakum. Bukan karena luka, tetapi karena ia mulai sibuk mengembangkan program literasi hukum untuk perempuan di daerah pelosok. Ia dan Ari tetap sesekali saling mengabari, tapi kehadiran fisik mereka sudah jarang bersisian.Yang menggantikan adalah Flow. Bukan dalam posisi yang sama, tapi dalam ritme yang baru. Dalam keakraban yang perlahan mengakar. Ia tak ragu menyiapkan kopi sachet untuk Ari di sela konsultasi, atau tertidur di kursi tunggu saat menunggu Ari menyelesaikan satu kasus panjang.“Gue mulai mikir, kok kalian berdua cocok banget ya,” celetuk Naya, adik kelas mereka yang sekarang magang di Posbakum, sambil menyodorkan print dokumen.Ari dan Flow saling melirik. Flow tersipu, Ari mengangkat alis seolah bilang, “Lho, masa iya?”Naya tertawa, “Udah deh, jangan pura-pura adem. Lo bikin satu video bareng aja, komentar netizen udah kayak ‘kalian couple goals’. Tinggal nunggu deklarasi resmi aja, Bang.”Beberapa minggu setelah ‘komporan’ dari Naya itu, mereka tidak langsung mengubah status. Tapi Ari mulai menyebut Flow sebagai “partner, bukan cuma di konten, tapi juga hidup.”Lalu, di salah satu malam usai sesi syuting yang melelahkan, Flow duduk di tangga depan kantor Posbakum, menyandarkan kepala ke bahu Ari.“Aku belum tahu definisi pasti kita sekarang,” gumam Flow pelan.Ari menoleh, senyumnya kecil namun pasti. “Kalau kamu setuju, kita sebut saja pacaran. Tapi model kita. Yang kerja bareng, berjuang bareng, dan tetap jadi diri sendiri.”Flow mengangguk. “Deal. Pacaran versi kita.”Dan sejak saat itu, tidak ada unggahan manis berlebihan, tidak ada caption berisi janji langgeng. Tapi Posbakum punya warna baru. Ruang diskusi hukum kini disisipi senyum-senyum kecil. Konten edukatif disampaikan dengan tawa ringan. Dan perjuangan, tetap berjalan—dengan cinta yang hadir seperti embun: tidak terlihat datangnya, tapi menyegarkan dunia kecil mereka setiap hari.Hari itu, hujan baru saja reda saat Flow mengajak Ari ke rumahnya untuk pertama kali. Udara masih lembap, jalanan berkilat, dan langit menyisakan warna kelabu. Ari menyetir perlahan, mengamati raut wajah Flow yang tampak antusias namun sedikit cemas. Ia menggenggam tangan Ari erat-erat di depan gerbang rumah bergaya kolonial yang tampak terawat, namun menyimpan aura sepi."Ini rumahku," ujar Flow dengan senyum kecil. "Aku ingin kamu bertemu ibu dan adikku."Saat mereka masuk, aroma kayu tua dan wangi teh melati memenuhi ruangan. Di ruang tamu, seorang perempuan paruh baya menyambut mereka dengan tatapan tajam namun sopan. Wajahnya cantik, tapi matanya seperti menyimpan beban bertahun-tahun."Ibu, ini Ari," kata Flow. "Dia orang yang sering kuceritakan."Ibu Flow menatap Ari beberapa detik, lalu mengangguk tanpa senyum. "Silakan duduk. Flow, tolong buatkan teh."Ari mencoba berbasa-basi. "Rumahnya tenang sekali, Bu. Saya senang bisa berkenalan. Oh ya, kalau boleh tahu, Ayah Flow—"Seketika, wajah ibu Flow berubah. Matanya menyala seperti tersulut api. "Tidak perlu bahas itu," potongnya tajam. "Dia bukan bagian dari rumah ini."Flow kembali sambil membawa teh. Ia menunduk, pura-pura tidak mendengar ledakan kecil barusan.Beberapa menit kemudian, seorang gadis kecil muncul dari balik tangga. Usianya mungkin sepuluh tahun. Ia langsung memeluk Flow dan berbisik, “Ibu tadi teriak lagi ya?”Ari menatap mereka, merasakan ada sesuatu yang sangat tidak biasa. Setelah gadis kecil itu masuk ke kamar, Ari mendekat ke Flow."Flow... aku nggak bermaksud kasar. Tapi setiap kali aku sebut ayahmu, ibumu seperti tersentak. Ada apa sebenarnya?"Flow menghela napas. Ia menggigit bibirnya, lalu akhirnya berkata pelan, "Ayahku pergi... sejak aku kecil. Tapi bukan cuma pergi. Ia meninggalkan luka.""Dia ke mana?""Entah," jawab Flow. "Yang aku tahu... setiap kali Ibu melihat aku atau adikku, dia seperti melihat bagian dari masa lalu yang ingin dia kubur."Ari terdiam. Rumah itu mendadak terasa dingin, seperti menyimpan rahasia yang belum selesai. Lalu Flow menatapnya."Aku butuh waktu, Ari. Mungkin suatu hari kamu akan tahu semuanya. Tapi sekarang... cukup tahu bahwa beberapa nama, kalau disebut, bisa membangkitkan badai yang belum sempat reda."Dan di luar jendela, angin kembali bertiup, membawa suara dedaunan yang bergesekan… seolah menjadi bisikan dari masa lalu yang belum selesai.Setiap pagi, sebelum matahari naik tinggi, Ari sudah tiba di kantor Pos Bantuan Hukum (posbakum) di pengadilan negeri. Tempat itu sederhana—ruangan 3x4 meter dengan dua kursi plastik dan satu meja kayu yang sudah mulai lapuk. Tapi di situlah Ari merasa hidupnya berguna.Antrian selalu ada. Kadang ibu-ibu dengan masalah warisan, kadang buruh yang di-PHK sepihak, kadang remaja yang tersandung hukum tanpa tahu harus bicara apa. Ari mendengar, mencatat, memberi saran hukum gratis, dan seringkali membantu menulis surat permohonan atau jawaban perkara dengan tangan sendiri.Rutinitas itu berat, tapi Ari menjalaninya dengan sabar. Di antara tumpukan berkas dan wajah-wajah yang lelah oleh sistem, Ari menemukan makna dari profesinya: keadilan tak harus mahal, tapi harus diperjuangkan.Setiap sore, saat jam kerja di Posbakum selesai, Ari sudah siap dengan rencana yang sama. Ia menutup laptop dan bergegas keluar dari kantor kecil itu, menyisakan tumpukan berkas yang harus ditangani besok.Hari itu, seperti biasa, Flow sedang syuting di sebuah lokasi di pinggiran kota. Ari tahu betul jadwalnya yang padat dan berantakan, tapi ia selalu berusaha menyesuaikan waktu agar bisa menjemputnya.Sesampainya di lokasi, Ari melihat Flow berdiri di tepi jalan, mengenakan kostum yang berbeda dari biasanya. Mata Flow tampak lelah, tapi senyumnya tetap hangat saat melihat Ari datang mendekat.“Hari ini syutingnya lumayan panjang ya?” tanya Ari sambil membuka pintu mobil Flow.Flow mengangguk, lalu masuk ke dalam mobilnya sendiri, sebuah hatchback berwarna biru tua yang cukup nyaman.“Ada beberapa adegan yang harus diulang beberapa kali. Tapi aku senang kamu selalu datang,” katanya.Ari tersenyum, lalu duduk di kursi penumpang depan. Mereka pun melaju keluar dari lokasi syuting, melewati kemacetan sore hari yang sudah mulai mengular.Di mobil Flow, suasana selalu terasa akrab dan nyaman. Mereka berbagi cerita tentang hari itu, saling mendengarkan lelah dan harapan satu sama lain.Sesampainya di rumah Flow, Ari membantu menurunkan barang-barang syuting. Meskipun hanya mengantar, Ari tahu bahwa momen ini adalah bagian kecil tapi berarti dari perjalanan mereka bersama.Ibunya Flow menyambut mereka dengan tatapan dingin seperti biasa. Ari tidak berkata banyak, hanya memberi salam sopan, dan mereka pun masuk.Rutinitas sederhana ini terus berulang—setiap hari, Ari menjemput Flow dari lokasi syuting dengan mobil Flow sendiri, dan mengantarnya pulang. Bukan tentang siapa yang punya mobil, tapi tentang kehadiran dan perhatian yang selalu mereka bagi.Malam itu, setelah syuting selesai lebih cepat dari biasanya, Ari menjemput Flow dengan hati penuh harap. Di dalam mobil Flow, suasana terasa berbeda dari biasanya. Ari merasakan getaran kegugupan yang tak biasa.Sesampainya di rumah Flow, sebelum masuk, Ari menarik nafas dalam-dalam.“Flow, aku ingin bicara sesuatu yang penting. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Aku ingin melamar kamu.”Flow terdiam, matanya berbinar namun penuh haru. “Ari... aku nggak tahu harus bilang apa.”Tiba-tiba, ibu Flow muncul dari pintu ruang tamu. Wajahnya tetap dingin, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Seolah mengetahui maksud Ari.“Aku dengar kamu ingin melamar anakku,” katanya singkat.Ari mengangguk dengan hormat. “Ibu, saya sangat mencintai Flow. Sebelum saya mengajak keluarga saya datang, saya ingin meminta restu ibu terlebih dahulu.”Ibu Flow menatap Ari lama. Dalam hening, seolah menimbang dan menguji kesungguhan pria itu.“Aku belum pernah melihatmu seteguh ini,” ujarnya akhirnya. “Kalau kamu memang serius, besok siang keluargamu datang ke sini. Kita akan bicara lebih banyak.”Ari mengangguk pelan, mencoba mengendalikan perasaannya. "Ibu, saya benar-benar serius dan sangat mencintai Flow. Namun keluarga saya tinggal di Lampung, jauh dari sini. Saya harus memberi tahu mereka dulu sebelum mengajak mereka datang."Ibu Flow mengernyit, matanya menatap tajam seperti mengukur sejauh mana kesungguhan Ari. "Jadi kamu ingin menunda?"Ari menggeleng cepat. "Bukan menunda, Bu. Saya hanya ingin segala sesuatunya berjalan dengan baik, tidak terburu-buru. Saya ingin keluarga saya siap dan bisa menerima keputusan ini dengan hati yang tenang."Flow memegang tangan Ari erat, memberi semangat tanpa kata-kata.Ibu Flow menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut, "Kalau begitu, sampaikan saja pada mereka dengan jelas dan jujur. Kalau kamu memang serius, aku akan menunggu kabar baik dari kalian."Ari tersenyum penuh harap. "Terima kasih, Bu. Saya berjanji akan segera mengabari."Malam itu, Ari pulang dengan pikiran yang bercampur antara bahagia dan berat. Ia tahu perjalanan mereka belum selesai, tapi langkah pertama sudah diambil: niat yang tulus dan restu yang mulai terbuka.Keesokan harinya, seperti biasa, Ari tiba lebih pagi di kantor Pos Bantuan Hukum. Suasana di sana sudah mulai hidup dengan berbagai orang yang menunggu giliran untuk berkonsultasi. Ari membuka laptop, menyiapkan berkas, dan mulai menerima tamu satu per satu.Di sela-sela persidangan dan diskusi singkat dengan beberapa klien, Ari menyempatkan diri mencari waktu sejenak untuk menelepon orang tuanya di Lampung. Jantungnya berdebar, karena ini bukan panggilan biasa.“Assalamualaikum, Bu, Pak,” sapanya hati-hati saat suara orang tuanya terdengar di ujung sana.“Waalaikumsalam, Ari. Ada apa? Suaramu kedengaran berbeda,” jawab ibunya.Ari menarik napas dalam-dalam. “Saya ingin bilang sesuatu yang penting. Saya sudah bertemu seseorang yang saya cintai... dan saya ingin menikahinya, Bu.”Senyap sejenak di seberang telepon.“Apa kamu sudah yakin, Ari?” tanya ayahnya dengan suara berat.“Aku serius, Pak. Ini bukan keputusan yang mudah. Aku sudah meminta restu ibunya. Aku cuma ingin kalian tahu dulu, karena aku ingin kalian menjadi bagian dari perjalanan ini.”Ibu Ari terdiam, lalu dengan suara lembut berkata, “Kalau kamu sudah mantap, kami akan mendoakan yang terbaik untukmu, Nak. Tapi jangan lupa, menikah itu tanggung jawab besar.”Ari tersenyum lega, “Terima kasih, Bu. Aku janji akan bertanggung jawab.”Setelah itu, Ari mengakhiri panggilan dengan perasaan campur aduk, tapi penuh harap. Rutinitas di Posbakum tetap menanti, namun kini ada kekuatan baru yang menyemangatinya setiap hari.Sesudah menutup telepon dari Ari, ibu Ari duduk termenung sejenak di ruang tamu rumah mereka di Lampung. Kabar tentang niat menikah anaknya itu membawa gelombang perasaan campur aduk—senang, khawatir, dan penuh harap.Dengan suara tegas, ia mengangkat telepon dan mulai menghubungi kakak-kakak Ari, serta saudara-saudara dekatnya satu per satu.“Ini ibu Ari, kita harus segera ke Jakarta. Ari sudah serius dengan wanita itu. Kita perlu bicara dan memastikan semuanya berjalan dengan baik,” ucapnya pada panggilan pertama.Tak lama, keluarga besar Ari mulai bersiap. Mereka mengatur jadwal, membeli tiket, dan mempersiapkan diri untuk perjalanan yang penting.Di antara mereka, ada yang penuh antusias, ada pula yang was-was, tapi satu hal yang pasti: mereka semua ingin bertemu langsung dengan Flow dan keluarganya, demi memastikan masa depan Ari.Sementara itu, di Jakarta, Ari menerima kabar ini dengan campuran perasaan. Ia tahu pertemuan ini akan menjadi babak baru yang menentukan—antara restu keluarga dan harapan cinta yang tengah tumbuh.Namun, ia siap menghadapi semuanya dengan kepala tegak dan hati terbuka.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ari sudah bersiap untuk perjalanan ke Solo. Kasus yang akan ditangani bukan perkara kecil. Seorang pengusaha kain lokal dituduh melakukan kejahatan yang tidak dilakukannya, sebuah kriminalisasi yang terjadi karena permainan pihak-pihak tertentu.Di dalam perjalanan, Ari memikirkan betapa pentingnya integritas dan kejujuran di dunia hukum. Baginya, sebagai advokat yang berjuang demi keadilan, tugasnya bukan hanya membela klien, tapi juga menjaga martabat penegakan hukum.Sesampainya di Solo, Ari langsung menemui kliennya yang tengah tertekan di balik jeruji penjara. Tatapan sedih sang pengusaha menjadi semangat bagi Ari untuk menggali kebenaran.Ari mulai menyusun bukti, mewawancarai saksi, dan menelusuri rekam jejak yang selama ini terabaikan. Ia menemukan bukti kuat bahwa tuduhan itu hanyalah upaya menjebak, demi keuntungan segelintir orang yang korup.Dalam sidang yang penuh ketegangan, Ari tampil dengan keyakinan dan data yang lengkap. Ia bicara bukan hanya untuk membebaskan kliennya, tapi juga menyuarakan harapan agar penegak hukum tidak tersesat dalam godaan korupsi dan tekanan politik.“Kejujuran adalah fondasi utama dalam menegakkan keadilan,” tegas Ari di depan hakim. “Jika kita semua kehilangan integritas, maka hukum bukan lagi pelindung, tapi alat penindasan.”Sidang berakhir dengan keputusan membebaskan sang pengusaha kain, dan Ari merasa tugasnya belum selesai. Ia bertekad terus berjuang menginspirasi rekan-rekannya di dunia hukum untuk tetap berpegang pada kebenaran.Setelah putusan sidang yang membebaskan sang pengusaha kain, suasana di ruang tahanan berubah menjadi penuh sukacita. Klien Ari tersenyum lega, matanya basah oleh rasa terima kasih yang dalam.Di sebuah warung kecil dekat pengadilan, Ari dan kliennya duduk bersama menikmati hidangan sederhana sebagai bentuk perayaan kecil atas kemenangan itu.Kliennya menatap Ari dengan penuh hormat, “Terima kasih, Pak Ari. Anda bukan hanya menyelamatkan saya dari ketidakadilan, tapi juga mengembalikan harga diri saya dan keluarga.”Ari tersenyum hangat dan berkata, “Ini bukan tentang saya, tapi tentang keadilan yang harus kita perjuangkan bersama. Saya senang bisa membantu.”Setelah beberapa saat hening, Ari menambahkan dengan nada lebih ringan, “Sebenarnya, setelah saya pulang ke Jakarta nanti, saya ada kabar bahagia. Saya akan menikah.”Klien itu terkekeh, “Wah, selamat ya, Pak! Semoga keluarga baru Anda penuh berkah dan bahagia.”Ari mengangguk, matanya menatap jauh ke langit senja. “Terima kasih. Semoga ini menjadi awal baru bagi saya, seperti bagaimana kita berjuang untuk awal baru yang adil bagi Anda.”Malam itu, di Solo yang penuh cerita, Ari merasakan semangat dan harapan yang menyatu—antara kemenangan hukum dan perjalanan cintanya yang mulai terbuka.Setelah merayakan kemenangan, klien Ari dengan tulus berkata, “Pak Ari, jangan khawatir soal biaya pesta pernikahan. Kami akan bantu sebagai ungkapan terima kasih atas semua yang sudah Anda lakukan.”Ari tersenyum hangat, “Terima kasih banyak. Bantuan kalian sangat berarti. Tapi yang terpenting adalah keadilan sudah ditegakkan.”Dengan perasaan lega dan semangat baru, Ari pun beranjak pulang ke Jakarta.Sesampainya di kota besar itu, Ari kembali menjalani rutinitasnya di Pos Bantuan Hukum seperti biasa. Setiap pagi ia membuka ruang konsultasi, menerima berbagai macam kasus dari masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum.Meski lelah, Ari tetap fokus dan bersemangat. Ia percaya, pekerjaan kecil yang ia lakukan setiap hari adalah bagian dari perjuangan besar untuk keadilan.Di sela-sela aktivitasnya, ia juga masih menyempatkan waktu untuk menelpon keluarga dan Flow, menjaga hubungan tetap hangat dan penuh perhatian.Rutinitas itu mungkin tampak sederhana, namun bagi Ari, setiap langkah adalah makna dan tanggung jawab yang tidak pernah berhenti.Di kamar kosnya yang sederhana di Jakarta, Ari sedang membaca berkas kasus ketika ponselnya bergetar. Nomor dari Lampung terpampang di layar.Dengan cepat, ia mengangkat telepon.“Ibu, ada kabar apa?” sapa Ari.“Iya, Nak. Kami akan segera ke Jakarta, dalam dua hari lagi. Semua keluarga sudah siap untuk bertemu dan bicara langsung,” jawab ibu Ari dengan suara tegas namun hangat.Ari tersenyum, meski ada sedikit gelisah, “Terima kasih, Bu. Aku sudah menyiapkan tempat tinggal sementara untuk kalian di dekat sini, agar lebih nyaman.”Sesudah telepon, Ari segera mengurus penyewaan sebuah rumah kecil dekat pusat kota, cukup untuk menampung keluarganya yang datang nanti. Ia ingin semuanya berjalan lancar tanpa membuat Flow atau keluarganya merasa terbebani.Beberapa hari kemudian, dengan segala persiapan matang, Ari bersiap menuju rumah Flow. Ia ingin melamar dengan sepenuh hati dan menghormati semua yang terlibat.Keesokan harinya, pagi itu Ari memulai hari seperti biasa di Pos Bantuan Hukum (Posbakum). Ruang kecil yang sederhana itu selalu dipenuhi oleh berbagai orang yang datang dengan masalah hukum mereka masing-masing. Ada yang datang dengan wajah cemas, ada juga yang berharap menemukan keadilan.Ari menyambut semua klien dengan senyum ramah dan telinga yang penuh perhatian. Ia membantu mereka dengan sabar, memberikan pendampingan dan arahan hukum dengan bahasa yang mudah dipahami. Baginya, kehadirannya di Posbakum bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hati untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.Siang hari, setelah sesi konsultasi selesai, Ari bersiap untuk menghadiri sidang terakhir sebuah kasus penting yang sudah berjalan cukup lama: kasus malpraktik di sebuah rumah sakit swasta ternama.Kasus ini melibatkan seorang pasien yang dirugikan akibat kelalaian dokter dan pihak rumah sakit. Keluarganya mempercayakan Ari untuk membela hak mereka dan memastikan keadilan ditegakkan.Karena kendaraan pribadi tidak tersedia, Ari memilih naik angkot menuju Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di dalam angkot yang penuh sesak, ia berdiri sambil memegang tas berisi dokumen-dokumen penting. Suasana ramai dan bising itu menjadi saksi betapa perjuangan hukum tak selalu glamor, tapi harus dimulai dari kesederhanaan.Sesampainya di pengadilan, Ari melangkah masuk dengan penuh keyakinan. Ia tahu betapa besar harapan kliennya, dan betapa pentingnya sidang kali ini untuk memberi pesan kuat kepada rumah sakit dan tenaga medis agar bertanggung jawab.Di ruang sidang yang penuh sesak, Ari menyampaikan argumennya dengan suara tegas dan jelas. Ia menghadirkan bukti-bukti dokumenter, mengajukan saksi ahli medis, dan menyoroti kelalaian fatal yang menyebabkan kerugian pasien.“Dalam dunia kedokteran, kesalahan harus diperbaiki dan ada konsekuensi untuk setiap kelalaian,” kata Ari dengan penuh semangat. “Keadilan bukan hanya untuk korban, tapi juga untuk memberikan efek jera agar kejadian serupa tidak terulang.”Hakim dan para hadirin mendengarkan dengan seksama. Ari merasa bahwa perjuangannya bukan hanya membela satu kasus, tapi menegakkan standar moral dan profesionalisme yang harus dimiliki setiap penegak hukum dan pelaku profesi.Setelah sidang selesai, Ari turun dari ruang sidang dengan perasaan lega dan bangga. Ia tahu perjuangannya masih panjang, tapi setiap langkah kecil seperti ini adalah bagian dari perjalanan besar menuju keadilan yang sesungguhnya.Setelah sidang selesai, Ari melangkah keluar ruang pengadilan dengan langkah mantap. Di depan pintu utama, sudah menunggu beberapa wartawan yang ingin mendapatkan komentar langsung tentang kemenangan besar dalam kasus malpraktik tersebut. Sorotan kamera dan pertanyaan-pertanyaan datang silih berganti.Ari menghela napas sejenak, lalu tersenyum hangat. Dengan suara yang tenang tapi penuh keyakinan, ia menjawab, “Ini bukan hanya kemenangan untuk klien saya, tapi kemenangan untuk keadilan dan profesionalisme di dunia medis. Semoga ini menjadi pelajaran bagi semua pihak agar lebih bertanggung jawab dan mengedepankan keselamatan pasien.”Rekaman wawancara itu kemudian tersebar di berbagai media nasional dan digital. Di televisi, radio, serta platform berita online, nama Ari dikenal luas sebagai pengacara yang gigih memperjuangkan hak rakyat kecil dengan integritas dan keberanian.Banyak yang memuji perjuangan Ari sebagai contoh nyata bahwa penegakan hukum harus jujur dan tanpa kompromi. Tak sedikit juga yang terinspirasi untuk lebih percaya pada sistem hukum dan pentingnya pendampingan hukum yang benar.Di tengah sorotan media, Ari tetap rendah hati dan mengingatkan semua pihak bahwa perjuangan belum selesai. “Saya akan terus berjuang untuk keadilan, bukan hanya di pengadilan, tapi juga di masyarakat. Karena keadilan adalah hak setiap orang, tanpa terkecuali.”Dengan langkah penuh semangat, Ari kembali ke rutinitasnya, membawa semangat baru yang tak pernah padam untuk membela yang lemah dan menegakkan kebenaran.Sepulang dari pengadilan dan sorotan media yang melelahkan, Ari melangkah menuju rumah Flow dengan pikiran penuh harap. Ia tahu bahwa hari ini harus menjadi hari yang penting untuk masa depan mereka berdua.Setibanya di depan pintu rumah Flow, Ari menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu. Tidak lama kemudian, ibu Flow muncul, wajahnya masih menyimpan kekerasan yang terselip dalam kehangatan. Ari menyapa dengan sopan.“Ibu, saya ingin berbicara dengan Ibu tentang sesuatu yang sangat penting, terutama soal wali dalam pernikahan kami,” ucap Ari dengan suara tenang.Ibu Flow mengernyit, sedikit ragu. “Wali itu sudah jelas, kan? Flow sendiri yang akan jadi walinya. Kami sudah bicara soal ini.”Ari mengangguk pelan. “Saya mengerti ibu, tapi dalam ajaran Islam, wali nikah itu memang harus ayah atau keluarga laki-laki dari mempelai wanita. Ini bukan soal formalitas, tapi untuk keberkahan dan sesuai syariat.”Ibu Flow menatap Ari lama, kemudian suaranya melembut, “Ayah Flow… sebenarnya dia seorang musisi terkenal. Tapi saya tidak tahu alamat atau di mana keberadaannya sekarang. Dia sudah lama tak ada kabar.”Ari menghela napas, mencoba menyembunyikan kegelisahan, “Kalau begitu, Ibu, saya akan berusaha mencari tahu dan menghubungi beliau. Ini penting demi kelancaran dan keberkahan pernikahan nanti.”Ibu Flow mengangguk pelan, matanya penuh tanda tanya, tapi juga sedikit lega. “Baiklah, Nak. Kalau memang begitu, saya serahkan padamu.”Hari itu, Ari pulang dengan tekad bulat. Misi mencari wali yang sah kini menjadi bagian dari perjuangannya untuk membangun masa depan bersama Flow sesuai ajaran dan nilai yang mereka pegang teguh.Ari tidak menyerah. Dengan tekad yang kuat, ia mulai menggali informasi tentang ayah Flow yang konon seorang musisi terkenal. Berbekal petunjuk samar dari ibu Flow dan sedikit cerita dari Flow sendiri, Ari menghubungi beberapa teman dan kenalan di dunia musik dan komunitas intel yang selama ini membantunya dalam pekerjaan hukum.Dari jaringan kecil itu, Ari perlahan menyusun potongan-potongan informasi: konser-konser terakhir ayah Flow, studio rekaman tempat ia biasa manggung, hingga nama-nama musisi yang pernah berkolaborasi dengannya. Semua ia telusuri dengan cermat, bertanya, mengonfirmasi, dan menyusun peta lokasi.Setelah beberapa hari yang melelahkan, akhirnya Ari mendapat titik terang: alamat terakhir ayah Flow berada di sebuah kawasan di Jakarta Selatan, sebuah apartemen sederhana namun penuh dengan kenangan masa lalu.Dengan hati berdebar, Ari mencatat alamat tersebut dan mulai merencanakan langkah selanjutnya untuk menghubungi ayah Flow. Ia tahu, ini bukan hanya tentang formalitas pernikahan, tapi juga menyambungkan kembali tali keluarga yang sudah lama terputus.Hari itu, udara Jakarta terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena cuaca, tapi karena beban perasaan yang dibawa Ari dalam perjalanan menuju apartemen di kawasan Jakarta Selatan—tempat di mana ayah Flow diyakini tinggal setelah bertahun-tahun menghilang dari kehidupan keluarganya.Ari menaiki lift dengan hati berdebar. Ia membawa dua hal penting dalam dirinya: amanah sebagai calon suami Flow untuk memastikan pernikahan mereka sah dan diberkahi, serta harapan kecil agar luka lama di keluarga Flow bisa perlahan sembuh.Sesampainya di depan pintu yang dimaksud, Ari mengetuk pelan. Tak lama, seorang pria berusia sekitar lima puluhan dengan rambut mulai memutih dan mata tajam khas seniman membuka pintu. Wajahnya menyimpan kelelahan hidup, namun masih ada sorot karisma dari masa lalu."Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu... Nama saya Ari. Saya calon suami dari Flow."Ayah Flow membeku. Namanya disebut dengan nada lembut, tapi tegas. Dia menatap Ari dengan mata yang mulai berkaca."Flow?" gumamnya. “Anakku?”Ari mengangguk. “Iya, Pak. Putri Anda. Saya datang ke sini karena kami akan menikah, dan sebagai calon suami, saya ingin meminta Bapak menjadi wali nikahnya, sesuai dengan ajaran Islam. Tapi lebih dari itu... saya pikir, mungkin sudah saatnya Bapak bertemu kembali dengan anak-anak Bapak.”Pria itu terduduk pelan di sofa di belakangnya. Tangannya gemetar saat mengambil sebatang rokok, tapi tidak menyalakannya. Hanya menggenggamnya seperti menggenggam masa lalu yang lama terkubur.“Dua puluh tahun,” katanya pelan. “Dua puluh tahun saya nggak tahu kabar mereka. Bapakmu... ini... terlalu pengecut untuk kembali.”Ari duduk di hadapannya. “Tidak ada kata terlambat, Pak. Flow butuh wali. Dan adiknya... juga berhak tahu siapa ayahnya. Saya bisa bantu mempertemukan kalian, jika Bapak siap.”Ayah Flow mengangguk, matanya mulai memerah. “Tolong, Ari... Tolong pertemukan aku dengan mereka. Aku ingin minta maaf. Aku ingin... meski hanya sekali... mereka tahu bahwa ayah mereka masih hidup. Masih mencintai mereka dalam diam.”Ari menjabat tangan pria itu dengan mantap. “Bapak bukan sendiri lagi. Saya akan atur pertemuan itu. Ini bukan hanya untuk pernikahan kami, tapi untuk menyambung kembali silaturahmi yang sudah terlalu lama putus.”Hari itu, perjuangan Ari bukan hanya sebagai calon suami, tapi sebagai jembatan antara dua generasi yang pernah terpisah oleh luka, waktu, dan keheningan.Keesokan harinya, pagi di Jakarta masih diselimuti lalu lintas yang padat dan hiruk pikuk aktivitas kota. Namun bagi Ari, hari itu bukan hari biasa. Ia bukan hanya akan mendampingi kliennya yang diperiksa di Polda Metro Jaya, tapi juga mengatur sebuah pertemuan yang bisa mengubah hidup dua anak perempuan—Flow dan adiknya—yang selama ini tumbuh tanpa sosok ayah.Dengan mobil Flow yang dikemudikan olehnya sendiri, Ari menjemput Flow dan adik perempuannya lebih awal dari biasanya. Di sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil dipenuhi kecanggungan. Flow menggenggam tangan adiknya, sedangkan Ari hanya sesekali menoleh lewat kaca spion.“Plaza Semanggi, ya?” tanya Ari sambil menyunggingkan senyum tipis, mencoba mencairkan suasana.Flow mengangguk. “Apa kamu yakin dia bakal datang?”“Saya sudah bicara dengannya semalam. Dia sangat ingin bertemu kalian. Dia yang minta tempatnya di ruang terbuka, agak netral. Saya pilih Plaza Semanggi karena dekat dan nggak terlalu ramai di jam segini.”Sesampainya di area kafe terbuka lantai atas Plaza Semanggi, Ari mengantar Flow dan adiknya sampai meja yang sudah dipesan. Ia memandang keduanya sejenak, memastikan mereka siap.“Aku harus ke Polda sekarang. Tapi aku akan kembali setelah urusan selesai. Kalian nggak sendiri. Ini waktunya kalian saling bicara tanpa gangguan,” ucap Ari lembut.Flow memandang Ari dengan mata berair. “Terima kasih, Ri. Tanpa kamu... kami nggak akan sampai di titik ini.”Ari hanya tersenyum, kemudian berbalik dan berjalan cepat menuju arah tempat ia memesan ojek online. Dari Semanggi ke Polda Metro Jaya, pikirannya terbelah antara tanggung jawab sebagai pendamping hukum dan doa agar pertemuan keluarga itu berjalan dengan damai.Di Polda Metro Jaya, Ari mendampingi seorang pengusaha perempuan yang dilaporkan oleh rekan bisnisnya karena tuduhan penipuan. Ia fokus, penuh wibawa, dan tetap tenang saat mendampingi klien menjalani pemeriksaan penyidik. Di sela-sela proses, ia sempat memandangi layar ponsel. Ada pesan dari Flow:“Kami sudah bertemu. Dia menangis. Kami pun... bingung. Tapi terima kasih. Ini langkah pertama.”Ari menghela napas lega. Setelah proses pendampingan selesai dan semua dokumen ditandatangani, ia berpamitan pada klien dan buru-buru kembali ke Plaza Semanggi.Saat tiba, ia melihat dari kejauhan sosok Flow, adiknya, dan ayah mereka duduk bertiga. Tangis sudah reda, tapi sisa haru masih tergambar di wajah mereka. Ari tidak langsung menghampiri. Ia menunggu beberapa langkah di belakang, memberi ruang untuk satu keluarga yang sedang merajut kembali benang-benang yang pernah putus.Lalu Flow berdiri, melambaikan tangan dan memanggil, “Ari... kemari. Kami mau kamu duduk bareng.”Ari mendekat, duduk perlahan, dan dalam hati ia tahu: perjuangan ini lebih besar dari kasus di pengadilan. Ini adalah tentang menyatukan kembali hati yang lama tercerai.Ari duduk bersama Flow, adiknya, dan ayah mereka di balkon terbuka Plaza Semanggi. Matahari sore mulai menurun, menyisakan cahaya keemasan yang menambah kehangatan dalam pertemuan yang penuh emosi itu. Ayah Flow, seorang musisi legendaris yang sudah lama tak terdengar kabarnya di media, menatap Ari dengan mata yang tak lagi sekadar menilai—melainkan penuh penerimaan.“Terima kasih sudah mengantarkan anak-anak saya kembali,” ujar sang ayah dengan suara parau. Ia menepuk ringan bahu Ari. “Kalau bukan karena kamu, mungkin saya hanya akan hidup dengan penyesalan sepanjang usia.”Ari mengangguk sopan. “Saya hanya menjalankan niat baik, Pak. Tapi semua ini akan lebih bermakna kalau Bapak bisa jadi wali untuk pernikahan kami.”Ayah Flow menatap lekat wajah putrinya. Flow menggenggam tangan ayahnya, dan mengangguk perlahan.“Pak, saya ingin menikah dengan Ari. Tapi saya tahu, dalam Islam, wali nikah adalah hak ayah. Saya ingin Bapak hadir bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai restu penuh dalam hidup saya ke depan,” ucap Flow lirih tapi tegas.Ayah Flow menghela napas panjang, lalu menatap Ari. “Kalau begitu, kita tentukan saja waktunya. Aku akan bertanggung jawab sebagai ayah kalian. Kita atur segalanya baik-baik.”Ari pun mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya, sesuatu yang selalu ia bawa untuk mencatat hal penting, bahkan di luar dunia hukum. “Saya sudah bicara dengan keluarga saya di Lampung. Mereka akan datang pekan depan. Saya ingin akad dilakukan sesederhana mungkin, tapi sakral. Saya harap Bapak bisa hadir sebagai wali dan keluarga Bapak juga bisa datang.”“Akad diadakan di mana?” tanya sang ayah.“Di rumah Flow, seperti tradisi keluarga. Setelah itu, baru resepsi kecil yang akan dibantu oleh klien saya di Solo.”Ayah Flow tertawa kecil. “Kamu memang pengacara yang beda. Bisa bikin orang yang dibela ikut bantu biaya resepsi.”Ari tersenyum lebar. “Itulah kekuatan dari kejujuran dan keberpihakan. Kalau kita tulus membela, orang akan tulus kembali.”Flow menggenggam tangan Ari di bawah meja. Wajahnya tenang, matanya berbinar.Hari itu, mereka menyepakati: Akad nikah akan dilangsungkan dua pekan lagi, pada hari Sabtu pagi, dengan wali ayah kandung Flow, disaksikan keluarga dari kedua pihak.Dan bagi Ari, keputusan itu bukan sekadar rencana pernikahan. Itu adalah simbol dari rekonsiliasi, perjuangan, dan kebenaran yang ditegakkan bukan hanya di ruang sidang, tapi juga di ruang hati.Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jakarta yang biasanya riuh dan melelahkan, hari itu terasa berbeda. Udara pagi membawa suasana haru dan bahagia, karena hari yang telah lama dinanti akhirnya tiba: hari pernikahan Ari dan Flow.Keluarga Ari dari Lampung sudah tiba sejak dua hari sebelumnya. Sang ibu, dengan mata berkaca-kaca, tak henti memeluk putranya yang selama ini hanya ia lihat sibuk membantu orang lain. “Akhirnya, kamu bahagia juga, Nak,” bisiknya sambil membenahi peci hitam Ari yang dikenakannya hari itu.Prosesi adat Jawa pun dilangsungkan pagi itu, dengan serah-serahan yang disusun rapi: kain batik, buah tangan, hingga seperangkat alat salat. Ayah Flow berdiri gagah sebagai wali, berdampingan dengan keluarga besar dari pihak ibunya. Meski sempat terpisah selama dua dekade, kini mereka berdiri sebagai satu keluarga yang utuh.Flow tampak anggun dalam balutan kebaya putih yang dirancang oleh desainer kenamaan. Wajahnya berseri, matanya mencari-cari Ari di antara para tamu. Dan ketika keduanya akhirnya duduk berdampingan, tampaklah bahwa cinta mereka bukan cinta biasa—tetapi cinta yang tumbuh melalui perjuangan, pengorbanan, dan kesabaran.Akad nikah digelar di sebuah aula megah di kawasan Jakarta Selatan, disulap dengan nuansa adat dan elegansi modern. Lantunan ayat suci Al-Qur’an membuka acara, diikuti dengan ijab kabul yang berlangsung khidmat dan lancar."Aku nikahkan dan aku kawinkan engkau, Flow binti ..." suara ayah Flow bergetar namun mantap, disambut sahutan tegas dari Ari, "Saya terima nikahnya..."“SAH!” seru para saksi dan penghulu. Tepuk tangan dan air mata haru mengiringi momen itu.Acara resepsi digelar malam harinya di ballroom hotel bintang lima. Dihadiri oleh banyak tamu penting: rekan-rekan advokat dari Posbakum, para hakim, jaksa, pengacara senior, bahkan beberapa tokoh nasional dari bidang hukum dan HAM. Tak sedikit pula media yang hadir meliput, karena pernikahan ini bukan hanya pertemuan dua insan, tapi juga simbol dari kisah perjuangan seorang pengacara muda yang kini dikenal luas sebagai pejuang keadilan dari bawah.Klien-klien Ari dari berbagai daerah pun hadir, termasuk pengusaha kain dari Solo yang dengan bangga berkata kepada tamu lain, “Kalau bukan karena Mas Ari, saya masih mungkin duduk di jeruji hari ini.”Flow, yang kini telah resmi menjadi istri, menyambut semua tamu dengan senyum yang tak pernah lepas. Sementara Ari berdiri di sampingnya, mengenakan beskap hitam dan blangkon, dengan mata yang berkaca tapi wajah tetap tegar.Di hadapan para tamu, Ari naik ke podium untuk mengucapkan sepatah dua patah kata.“Saya tidak pernah menyangka bahwa perjuangan saya dalam hukum akan membawa saya ke titik ini. Tapi saya percaya satu hal: ketika kita jujur dalam memperjuangkan keadilan, maka kebaikan akan kembali kepada kita, dalam bentuk yang tak terduga.”Ia menoleh ke Flow. “Dan kebaikan terbesar saya adalah dipertemukan dengan perempuan yang menguatkan, mendampingi, dan menginspirasi.”Para tamu berdiri memberi tepuk tangan panjang. Malam itu, bukan hanya pernikahan yang dirayakan, tetapi juga kemenangan cinta yang bersandar pada kejujuran, integritas, dan iman.Dan di antara keramaian itu, Ari tahu satu hal dengan pasti: hidupnya kini bukan hanya miliknya sendiri—tapi telah menjadi bagian dari keluarga, masyarakat, dan semua orang yang percaya bahwa hukum bukan hanya tentang pasal, tapi tentang perasaan dan kemanusiaan.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Mulai Dikenal dan Kasus Viral Berdatangan

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Seiring waktu, reputasi Ari sebagai advokat yang membela masyarakat kecil mulai menyebar. Berkat keteguhan hatinya dan kemampuan komunikasi yang lugas, cerita tentang perjuangannya di Posbakum Pengadilan Negeri Jakarta Timur makin dikenal luas, terutama di kalangan media sosial.Satu demi satu kasus yang ditangani Ari mulai menjadi perhatian publik. Kasus-kasus yang dulu dianggap sepele kini viral di berbagai platform—mulai dari sengketa warisan keluarga sederhana hingga penipuan oleh rentenir yang merugikan banyak warga miskin.Tak jarang, warga datang dengan rekaman video, bukti-bukti digital, atau cerita yang menyentuh hati, berharap Ari bisa membantu mereka mendapatkan keadilan. Ari pun bekerja ekstra keras, kadang hingga larut malam, untuk merespon dan menyiapkan strategi hukum yang tepat.Media lokal mulai meliput kiprah Ari, sementara beberapa influencer dan aktivis hukum turut menyebarkan kisah keberaniannya. Ari yang dulu hanya dikenal di lingkungan kecil Posbakum, kini mulai dikenal sebagai advokat pembela rakyat kecil dengan hati besar.Meski popularitasnya bertambah, Ari tetap rendah hati. Baginya, setiap kasus bukan soal ketenaran, tapi tentang bagaimana hukum bisa menjadi alat perubahan yang nyata dan memberi harapan bagi mereka yang terpinggirkan.Dan, dari balik layar, Flow selalu menjadi pendukung setianya, menguatkan Ari lewat doa dan semangat, sementara Naya dan Anindya terus membantu menghubungkan Ari dengan jaringan lebih luas demi memperjuangkan keadilan bersama.Bab baru ini menjadi titik awal perjalanan Ari yang lebih besar, dengan tantangan dan peluang yang terus berdatangan seiring kasus-kasus viral yang mengundang perhatian masyarakat luas.Suatu pagi yang cerah di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Ari tengah sibuk menerima konsultasi di Posbakum ketika seorang hakim senior mendekatinya. Dengan suara pelan dan penuh hormat, sang hakim menyampaikan sebuah permintaan khusus."Pak Ari, saya ingin meminta bantuan Anda untuk menangani sebuah kasus penting. Calon besan saya, seorang dokter dan pemilik rumah sakit ternama di kota ini, sedang menghadapi tuduhan malpraktik yang cukup serius."Ari mengangkat alisnya, menunjukkan rasa ingin tahu yang mendalam. "Tentu, Yang Mulia. Bisa ceritakan lebih lanjut tentang kasusnya?"Hakim itu melanjutkan, "Dokter tersebut dituduh melakukan kelalaian saat menangani pasien yang kemudian mengalami komplikasi. Tuduhan ini bisa berdampak besar pada karir dan reputasinya. Saya percaya Anda memiliki integritas dan kemampuan untuk membela kebenaran."Ari menyadari ini bukan hanya persoalan hukum biasa, melainkan juga berhubungan dengan etika medis dan kepercayaan publik. Ia pun setuju membantu dengan penuh tanggung jawab.Dalam beberapa hari berikutnya, Ari mulai mengumpulkan bukti, mewawancarai staf rumah sakit, dan mendalami rekam medis pasien. Ia juga berkonsultasi dengan ahli medis independen untuk mendapatkan pandangan objektif.Sidang pun dimulai. Ari tampil meyakinkan di ruang pengadilan, menyampaikan argumen bahwa dokter tersebut telah menjalankan prosedur standar dengan benar dan komplikasi yang terjadi adalah risiko medis yang tidak bisa dihindari. Ia menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan keterangan ahli yang mendukung.Hakim dan para juri tampak memperhatikan dengan seksama, sementara pihak penggugat mulai kehilangan pijakan. Setelah proses panjang dan mendalam, akhirnya keputusan pengadilan membebaskan dokter dari tuduhan malpraktik.Dokter tersebut mengucapkan terima kasih kepada Ari secara pribadi, dan sang hakim senior merasa lega karena besannya mendapatkan keadilan.Kasus ini semakin mengukuhkan reputasi Ari sebagai advokat yang tak hanya membela masyarakat kecil, tapi juga mampu menangani kasus kompleks yang menyangkut profesional dan elite.Ari pun semakin yakin, bahwa setiap kasus—besar atau kecil—memerlukan ketulusan, kejujuran, dan dedikasi penuh demi keadilan yang sejati.Setelah Ari memberikan nomor ponselnya kepada hakim, tak lama kemudian ponselnya berdering. Ternyata yang menghubungi adalah dokter yang tengah menghadapi tuduhan malpraktik tersebut.Dengan suara tenang namun sedikit terburu-buru, dokter itu berkata, “Pak Ari, terima kasih sudah bersedia membantu. Bolehkah kita bertemu segera? Saya rasa pembicaraan langsung akan lebih efektif. Saya sedang di Hotel Mulia, Senayan. Apakah Anda bisa datang?”Kebetulan, Anindya baru saja tiba dan melihat Ari menerima telepon tersebut. Ia segera menawarkan, “aku antar ke Hotel Mulia. aku sedang tidak ada agenda lain hari ini.”Ari mengangguk, “Terima kasih, Anindya. Baiklah, kita berangkat sekarang.”Mereka pun bergegas menuju mobil dan melaju ke Hotel Mulia, Senayan. Di perjalanan, suasana terasa sedikit tegang namun penuh harapan, karena pertemuan ini bisa jadi kunci untuk menyelesaikan kasus yang sedang Ari tangani.Sesampainya di Hotel Mulia, Senayan, Ari dan Anindya dipersilakan masuk ke sebuah ruang lounge yang tenang. Dokter yang sudah menunggu terlihat lega melihat kedatangan Ari.Dengan suara pelan tapi penuh kegelisahan, dokter itu mulai bercerita, “Pak Ari, sebenarnya saya sudah punya pengacara yang saya bayar mahal, bahkan pakai dolar Amerika. Tapi saat ada pemeriksaan oleh polisi di rumah sakit kami pada hari Minggu, pengacara itu bilang tidak bisa mendampingi karena hari libur dan harus ada biaya tambahan yang sangat tinggi.”Dia menarik napas panjang, “Saya merasa tidak mendapat pelayanan yang layak dan khawatir karena teman-teman dokter harus menjalani pemeriksaan tanpa pendamping hukum. Karena itu, saya mencari bantuan lain dan besan hakim yang mengenalkan saya pada Bapak.”Dokter itu menatap Ari dengan penuh harap, “Saya benar-benar butuh pendampingan yang bisa dipercaya, khususnya saat situasi seperti ini.”Ari mendengarkan dengan seksama, menunjukkan sikap profesional dan empati, “Saya mengerti kekhawatiran Anda. Saya akan bantu semampu saya agar kasus ini bisa diselesaikan dengan adil dan profesional.”Dokter itu mengangkat alis dan bertanya dengan sedikit ragu, "Lalu, Pak Ari, berapa biaya yang harus saya keluarkan kalau ingin memakai jasa Anda?"Ari tersenyum santai dan menjawab, "Bapak harus mencabut kuasa dari pengacara lama dulu. Soal biaya, terserah bapak—berapa pun yang bapak rasa pantas. Saya sendiri cukup dengan ongkos taksi saja kalau memang saya dibutuhkan."Dokter itu terkekeh kecil, merasa aneh sekaligus lega, "Wah, kok ada ya pengacara hebat yang minta bayaran semurah ini? Biasanya saya dengar malah sebaliknya."Ari membalas sambil tertawa ringan, "Kalau memang saya di sini untuk membantu, saya percaya kerja sama itu bukan soal harga mahal, tapi soal saling percaya dan niat baik."Dokter itu tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari sakunya. "Ini saya kasih DP dulu," katanya sambil menyerahkan amplop itu kepada Ari. "Kalau kurang, bilang saja. Setelah ini, saya akan cabut kuasa dari pengacara saya yang lama."Ari menerima amplop itu dengan sopan, mengangguk. "Terima kasih, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik."Dokter itu kemudian memanggil pelayan dan memesan makanan, lalu meninggalkan Ari dan Anindya di ruang pertemuan itu dengan penuh keyakinan.Saat dokter pergi, suasana di ruang pertemuan hotel menjadi sedikit hening. Pelayan mulai menyajikan makanan yang tadi dipesan, namun Ari hanya memandangi meja tanpa banyak bicara. Anindya memperhatikan sikapnya, lalu dengan nada ringan berkata, “Kamu mau aku anter ke mana lagi sekarang?”Ari menoleh, tersenyum tipis. “Balik ke posbakum aja, kayaknya masih banyak kerjaan yang harus diberesin.”Namun Anindya menggeleng pelan, lalu menyahut, “Nggak sekarang. Aku mau nunjukin kamu sesuatu dulu.” Sebelum Ari sempat protes, ia melanjutkan, “Ruko yang pernah aku tawarin buat jadi kantor kamu. Deket kok dari sini. Nggak usah mikir aneh-aneh, aku cuma pengin kamu lihat dulu. Nanti kamu putuskan sendiri, oke?”Ari sempat terdiam, menimbang sejenak, namun akhirnya menurut. Di dalam mobil, perjalanan mereka tak lama. Ruko itu memang dekat dari pusat kota, strategis, berada di kawasan ramai yang masih humanis—diapit beberapa tempat makan sederhana dan toko alat tulis. Ketika sampai, Anindya membuka pintu ruko dengan kunci yang ia ambil dari tasnya.“Coba lihat, ini lantai satu bisa buat ruang tamu atau lobby. Di atas ada dua ruangan. Satu bisa jadi ruang kerja kamu, satu lagi ruang arsip atau tempat istirahat,” jelas Anindya sambil berjalan di dalam ruko yang tampak bersih namun masih kosong.Ari melangkah pelan, melihat-lihat sekeliling. Ia membayangkan dinding-dinding itu dipenuhi berkas kasus, meja panjang dengan komputer, rak buku hukum, dan mungkin... klien dari berbagai kalangan duduk menunggu giliran konsultasi.Anindya memperhatikannya, lalu berkata pelan, “Kamu layak punya tempat yang pantas, Ari. Bukan karena aku kasihan, tapi karena kamu butuh ruang lebih besar untuk bantu lebih banyak orang.”Ari menatapnya, lalu tersenyum—kali ini tulus. “Terima kasih, Anin. Aku belum tahu bisa langsung ambil atau enggak, tapi ini... luar biasa.”Anindya mengangguk pelan. “Nggak usah buru-buru. Tapi kalau kamu mau, ruko ini bisa jadi milik kamu mulai minggu depan.”Di luar, langit mulai gelap. Tapi bagi Ari, tempat baru ini membuka secercah cahaya—sebuah langkah maju yang tak ia duga datangnya dari seseorang yang selama ini selalu ada di sisinya, meski perlahan mulai ia sadari bahwa hatinya sudah mulai terbagi.Setelah melihat-lihat ruko dan mengucapkan terima kasih pada Anindya, Ari minta diturunkan di dekat halte. Ia ingin melanjutkan ke posbakum naik angkot seperti biasa, sesuatu yang bahkan Anindya tak bisa ubah dari dirinya—kesederhanaan yang tak dibuat-buat.Sesampainya di posbakum, suasana kantor sederhana itu seperti biasa: tumpukan berkas, kopi sachet, dan kursi-kursi plastik yang kadang bunyinya berderit. Ari masuk ke ruang kerjanya, membuka tas, lalu mengambil amplop pemberian dokter tadi. Ia membuka pelan-pelan, dan matanya membelalak.Di dalamnya ada uang tunai senilai 100 juta rupiah—pecahan seratus ribu, tertata rapi dalam plastik bank.Ari terdiam cukup lama. Ini adalah uang terbanyak yang pernah ia terima sekaligus selama menjadi advokat—terutama dari kasus yang baru akan ia mulai tangani. Bukan soal nominalnya yang membuatnya tercengang, tapi lebih pada campuran rasa: kaget, syukur, dan keinginan untuk berbagi.Ia bangkit, membuka pintu ruangannya dan berseru, “Semua yang di posbakum hari ini, siap-siap! Kita makan siang bareng. Saya traktir!”Semua terkejut—rekan-rekan sesama advokat muda, staf magang, bahkan Pak Sapto si satpam yang biasanya pendiam, tersenyum lebar. Ari tak berhenti di situ. Ia mengajak juru parkir, tukang sapu jalan yang biasa lewat depan kantor, bahkan abang tukang kopi keliling. Mereka semua diajak ke warung padang paling enak di sekitaran pengadilan.Anindya yang sempat mampir ke posbakum dan melihat keramaian itu dari kejauhan, hanya bisa berdiri terpaku. Ia melihat Ari tertawa bersama mereka, duduk tanpa sekat status sosial, membagikan rezekinya tanpa rasa lebih tinggi. Bukan demi pencitraan, tapi karena memang seperti itulah Ari.Ia menatap pria itu lama. Di hatinya tumbuh dua rasa sekaligus: kekaguman yang makin dalam, dan kecemasan samar—karena ia tahu, seseorang seperti Ari bisa dengan mudah mencuri simpati siapa saja. Termasuk Flow.Di tengah keramaian itu, Ari sempat melirik Anindya, mengangkat tangan menyuruhnya ikut bergabung. Tapi Anindya hanya tersenyum dari jauh, mengangguk, lalu masuk ke mobilnya.Hatinya hangat, tapi juga mulai goyah.Di rumah makan Padang yang sederhana namun selalu ramai itu, suasana penuh tawa. Para anggota posbakum menikmati gulai, rendang, sambal ijo, dan teh tawar hangat. Ari duduk di tengah, berbincang santai dengan satpam dan staf paralegal. Hingga tiba-tiba…“Pak Ari! Pak Ari, mohon maaf mengganggu…”Suara itu datang dari arah pintu. Beberapa orang berjaket media dengan kamera dan perekam suara menghampiri. Semua yang sedang makan seketika menoleh.“Kami dari MetroHukumNews, dan ini rekan saya dari Kompas Hukum. Kami mendapat kabar dari Direktur RS Harapan Raya bahwa Anda adalah pengacara baru yang ditunjuk menangani kasus dugaan malpraktik yang sedang viral. Apakah Anda bersedia kami wawancara sebentar, Pak?”Ari kaget sejenak, tapi segera berdiri dan tersenyum sopan. “Terima kasih atas perhatiannya, saya senang teman-teman media turut mengikuti kasus ini. Tapi izinkan saya jawab seperlunya, ya.”Salah satu wartawan menyodorkan mikrofon kecil.Wartawan: “Benarkah Anda menggantikan pengacara sebelumnya? Apa alasan rumah sakit menunjuk Anda?”Ari: “Saya hanya menjawab panggilan tugas. Dokter pemilik rumah sakit memang menghubungi saya setelah mendapat rekomendasi dari seorang kenalan dekat. Mengenai alasan beliau mengganti pengacara, saya rasa bukan kapasitas saya menjelaskan. Saya hanya menjalankan amanah.”Wartawan: “Apakah Anda merasa yakin bisa menyelesaikan perkara ini, mengingat ini kasus besar dan menyita perhatian publik?”Ari (tenang): “Tugas saya bukan menjual keyakinan, tapi menjalankan proses hukum dengan adil dan proporsional. Yang saya tekankan, saya tidak akan membela kesalahan, tapi saya akan membela hak setiap orang untuk mendapat pembelaan hukum—tanpa memandang siapa dia.”Para wartawan saling melirik, terkesan dengan pernyataan itu.Wartawan lain: “Ada komentar terkait opini publik yang sudah menjatuhkan rumah sakit tersebut bahkan sebelum penyelidikan rampung?”Ari: “Kita hidup di era digital, di mana kecepatan informasi sering melampaui proses hukum. Tapi keadilan bukan produk viral, keadilan adalah hasil dari kehati-hatian dan keberanian melihat fakta. Saya mohon publik memberi ruang bagi proses yang sedang berjalan.”Semua di rumah makan yang tadinya hanya penonton, kini terpaku. Mereka mendengar langsung seorang pengacara bicara bukan dengan jargon, tapi ketulusan.Setelah wawancara singkat itu selesai, para wartawan berpamitan dengan hormat.Ari kembali duduk. Salah satu juru parkir berbisik ke Pak Sapto, “Pak Ari itu beda ya… omongannya sederhana, tapi berani.”Di sisi lain, Anindya yang menyaksikan dari balik kaca mobilnya tanpa turun, merasa hatinya semakin terpaut. Tapi juga… cemas. Bukan hanya Flow yang bisa terpesona oleh Ari. Kini, satu negeri mulai menoleh.Setelah para wartawan pergi, suasana di rumah makan kembali hidup. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Kali ini, bukan sekadar makan siang—ini seperti perayaan kecil yang diselimuti rasa hormat. Para staf posbakum menatap Ari bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai sosok yang memberi harapan bahwa idealisme masih bisa hidup di tengah dunia hukum yang keras.Di Posbakum Malam ItuMalam harinya, Ari kembali ke posbakum. Ia duduk sendiri di ruang kecilnya, menyalakan lampu meja, dan membuka buku catatan yang lusuh. Di sana tertulis tangan:"Keadilan bukan milik orang kaya saja. Ia milik semua yang berani memperjuangkannya, bahkan dengan langkah kecil."Ia tersenyum kecil. Di tengah hiruk pikuk dunia yang mengejar nama besar dan tarif tinggi, Ari tetap memilih jalan sunyi: jalan pengabdian.Tiba-tiba ada ketukan di pintu.“Pak Ari…” suara itu datang dari salah satu mahasiswa magang di posbakum.“Boleh saya ngobrol sebentar?”Ari mengangguk.“Masuk aja.”Mahasiswa itu duduk gugup.“Saya cuma ingin bilang... saya ingin seperti Bapak. Tapi kadang saya takut, nanti hidup saya susah. Tidak punya klien. Tidak bisa beli rumah. Tidak dihargai.”Ari menatapnya dalam diam, lalu berkata:“Kamu tahu, saya naik angkot setiap hari. Sering nggak punya uang di awal bulan. Tapi saya punya satu hal yang tidak bisa dibeli: ketenangan hati. Karena saya tahu, setiap hari saya berjuang untuk sesuatu yang lebih besar dari diri saya sendiri.”Ia melanjutkan:“Jangan takut miskin. Takutlah kehilangan arah. Pengacara bukan sekadar profesi. Ia jalan hidup. Dan kalau kamu jalani dengan niat melayani, uang itu akan datang... bahkan dari jalan yang tidak kamu sangka. Seperti hari ini.”Mahasiswa itu menunduk. Matanya berkaca-kaca.“Terima kasih, Pak.”Di Balik Viral, Ada KetulusanBeberapa hari kemudian, nama Ari mulai ramai dibicarakan di media sosial dan portal berita hukum. Banyak yang menyoroti gaya hidup sederhananya, cara dia menolak tarif selangit, dan bagaimana ia tetap membantu masyarakat kecil meskipun sedang menangani kasus besar.Akun TikTok resmi posbakum bahkan mengunggah potongan wawancara Ari. Komentar bermunculan:“Beginilah seharusnya pengacara, bukan hanya pintar tapi juga berpihak.”“Aku mahasiswa hukum. Bang Ari inspirasiku!”“Kalau aku punya masalah hukum, aku mau cari pengacara kayak dia.”Ari tak terlalu menggubris semua itu. Ia hanya tetap datang ke posbakum, tetap menjawab DM dari warga di Instagram-nya, tetap mengangkat telepon dari ibu-ibu korban penggusuran.Dan di waktu malam, ia tetap menulis lagu. Karena baginya, hukum dan seni sama-sama alat untuk menyuarakan hati yang tak terdengar.Untuk Para Pengacara MudaKisah Ari bukan soal kemiskinan yang dibungkus romantisme. Ini kisah tentang keberanian memilih nilai di atas gengsi. Bahwa menjadi pengacara bukan harus berarti memakai jas mahal dan mobil mewah—tapi tentang hadir ketika rakyat kecil tak tahu harus mengadu ke mana.Dan jika kamu seorang pengacara muda yang pernah ragu: lihatlah Ari.Ia tidak sempurna. Tapi ia berjalan tegak. Dengan idealisme di satu tangan, dan hati nurani di tangan lainnya.Sebab sesungguhnya, keadilan akan terus hidup—selama masih ada satu orang saja yang berani memperjuangkannya.“Kamu bukan hanya pengacara. Kamu adalah suara bagi yang tak punya suara. Dan selama kamu terus berbicara, dunia akan mendengar.”— Muhammad Ari Pratomo

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Lulus Ujian Advokat dan Menemukan Cinta

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Hari itu, langit Jakarta mendung. Ari berdiri di depan gedung tempat pelaksanaan ujian advokat PERADI di kawasan Senayan. Ia menarik napas panjang, menatap lembar pengujian yang masih kosong di mejanya. Ini adalah kesempatannya yang kedua. Ia pernah gagal—dan luka itu masih membekas.Kegagalan sebelumnya bukan hanya soal tidak lulus. Itu tentang keraguan pada diri sendiri. Tentang malam-malam penuh tanya, "Apakah aku cukup pantas menjadi pembela hukum?" Tapi kali ini berbeda. Ari datang bukan dengan ambisi, melainkan kesiapan. Ia belajar lebih matang, tidak hanya teori, tapi juga kasus-kasus nyata. Ia berdiskusi dengan senior, mendalami etika profesi, dan mengoreksi cara berpikirnya. Ujian hari itu bukan lagi musuh, tapi kesempatan untuk membuktikan bahwa ia telah tumbuh.Ia menyelesaikan soal terakhir dengan tenang. Sebelum meninggalkan ruangan, ia sempat menunduk sejenak, berdoa dalam hati. "Jika ini memang jalanku, izinkan aku melangkah."Keluar dari gedung, Ari tidak langsung pulang. Ia berjalan santai di sekitar pelataran. Saat itulah matanya menangkap keramaian kecil di sisi gedung. Ada kru kamera, beberapa orang sedang mempersiapkan syuting. Di tengah mereka, berdiri Flow, seorang artis muda berhijab yang wajahnya sering muncul di layar televisi dan media sosial. Flow dikenal dengan citranya yang anggun dan cerdas, sering membintangi film religi dan juga aktif dalam gerakan sosial.Ari mengalihkan pandangan, tak ingin mengganggu. Tapi langkahnya terhenti saat seseorang memanggil, “Ari?”Ia menoleh. Seorang perempuan dengan penampilan modis menyapanya. “Aku Naya, inget nggak? Kita pernah ketemu di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Waktu itu kamu jadi kuasa hukum ibu-ibu yang digugat soal rumah warisan.”Ari mengingatnya. Naya adalah artis juga. “Oh, iya! Kamu yang traktir aku kopi di plaza arion waktu itu, ya?”Naya tersenyum, lalu menoleh ke arah Flow. “Kamu harus kenalan sama dia. Namanya Flow. Dia lagi syuting untuk kampanye hukum perempuan. Dan dia lagi cari narasumber dari kalangan advokat muda.”Flow mendekat, menyambut dengan sopan. “Assalamualaikum. Mas Ari, ya? Aku sering lihat tulisan kamu di Facebook dan Friendster soal hukum. Aku suka banget cara kamu menjelaskan hukum dengan bahasa yang sederhana.”Ari terkejut, tapi tersenyum. “Waalaikumsalam. Wah, makasih banyak. Nggak nyangka kamu pernah baca.”Obrolan mereka mengalir alami. Flow ternyata bukan hanya cerdas, tapi juga tulus. Ia peduli pada isu-isu hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, dan hak perempuan. Di antara perbincangan tentang pasal dan prinsip keadilan, Ari merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar diskusi.Keesokan harinya setelah pengumuman kelulusan, Ari memulai rutinitas barunya sebagai advokat muda. Ia memilih untuk tetap melayani di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Pengadilan Negeri Jakarta Timur, tempat ia pertama kali jatuh cinta pada profesi ini. Di sana, Ari menangani beragam kasus—dari sengketa warisan, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perkara pidana ringan. Setiap hari adalah kisah baru, dan setiap klien yang datang adalah cermin dari keadilan yang sedang berjuang untuk didengar.Pagi itu, Ari sedang mempersiapkan berkas sidang perkara sengketa tanah antara dua keluarga. Ia mengenakan setelan jas hitamnya dengan toga, tampak gagah dan tenang. Di ruang sidang, ia berdiri percaya diri, menyampaikan argumen hukum dengan bahasa yang tegas namun tidak menggurui.Mentari pagi menembus kaca jendela Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Di lantai dasar, ruang konsultasi Pos Bantuan Hukum (Posbakum) sudah mulai dipenuhi warga. Ari duduk di belakang meja sederhana, mengenakan kemeja putih dan dasi gelap. Di hadapannya, seorang ibu menangis pelan karena digugat cerai oleh suaminya yang hendak menikah lagi.Ari mendengarkan dengan sabar, mencatat, dan memberikan arahan hukum dengan bahasa yang mudah dipahami. Di tempat inilah, dia merasa hidupnya punya makna. Hukum bukan lagi hanya tentang pasal, tapi tentang keberpihakan.Di luar gedung, sebuah mobil mewah berhenti. Turunlah seorang perempuan berkacamata, anggun dengan setelan semi-formal. Dialah Anindya, anak dari seorang menteri berpengaruh. Meskipun berasal dari kalangan elite, Anindya sedang menulis tesis tentang akses keadilan bagi rakyat kecil—dan Posbakum jadi fokus utamanya. Ia juga sudah beberapa bulan menjalin hubungan romantis dengan Ari, yang dia kenal dalam forum akademik hukum.Beberapa saat kemudian, dua perempuan lain tiba. Naya, aktris muda yang kini sedang mengembangkan channel YouTube bertema edukasi hukum, datang bersama sahabat dekatnya, Flow—seorang artis berhijab yang aktif di film religi dan program sosial. Naya pernah mengenal Ari dalam kasus hukum di PN Jaktim, dan merasa Ari cocok untuk dijodohkan dengan Flow. Tanpa disangka, Flow tertarik—bukan pada status Ari, tapi pada isi kepalanya.Di ruang sidang, Ari tampil gagah dalam balutan toga. Ia tengah membela seorang buruh perempuan yang digugat oleh perusahaan karena dianggap melanggar kontrak. Argumennya tajam, datanya lengkap, dan pembawaannya tenang.Dari bangku belakang, ketiga wanita itu menyaksikan dengan pandangan masing-masing.Naya, penuh haru dan bangga. Ia merasa seperti kakak yang menyaksikan adiknya tumbuh.Flow, menatap penuh takjub. Hatinya diam-diam bergetar. Ia tak menyangka, pria yang dikenalnya lewat Naya kini menjadi simbol keteguhan.Anindya, dengan notebook di tangan, mencatat—tapi juga menatap. Ia tahu, hatinya mulai serius. Ari bukan sekadar bahan tesis, tapi harapan yang perlahan nyata.Setelah sidang selesai, Ari keluar ruangan. Ia terkejut melihat ketiga perempuan itu berdiri menunggunya.“Ari,” sapa Naya duluan, “ini lho, Flow, sahabatku. Ingat nggak?”Flow menjabat tangan Ari dengan sopan. “Kamu luar biasa di ruang sidang tadi. Rasanya belum pernah aku lihat pembelaan seberani itu.”Anindya menyusul, dengan nada yang lebih tenang. “Dan kamu baru saja menjawab satu bab penting dalam tesisku.”Ari tertawa kecil. “Kayaknya aku harus siap ditulis dari berbagai sisi, nih.”Mereka tertawa bersama, tapi di antara mereka bertiga, ada garis tak kasat mata—perasaan yang belum selesai.Usai sidang, Ari mengajak ketiga wanita itu ke ruang Posbakum. Ruangan itu sederhana—meja kayu tua, kipas angin berdengung pelan, dan tumpukan berkas di setiap sudut. Beberapa kursi plastik disusun seadanya. Cahaya matahari menyelinap dari jendela kecil yang tak sempurna menutup debu.“Maaf, tempatnya seadanya,” ujar Ari, sambil menarik kursi untuk tamunya.Anindya melihat sekeliling. Matanya sempat berhenti pada plafon yang sedikit mengelupas dan papan nama Posbakum yang sudah mulai pudar. Ada rona iba di wajahnya, bukan karena meremehkan, tapi karena ia tahu Ari pantas mendapatkan lebih.“Kamu udah resmi jadi advokat, Ari,” katanya pelan, “tapi ruang kerjamu masih begini...”Ari hanya tersenyum. “Justru di sinilah aku merasa berguna. Tempat ini bikin aku nggak lupa tujuan awal jadi pengacara.”Anindya diam sejenak, lalu menatap Ari penuh pertimbangan. “Aku punya ruko kosong dekat Plaza Arion. Kalau kamu butuh tempat yang lebih layak untuk bantu lebih banyak orang... aku bisa pinjamkan.”Ari terkejut. Tangannya berhenti memegang gelas. Ia menatap Anindya dengan bingung, antara bangga dan tak enak hati. “Serius, Ndya? Tapi...”Sementara itu, Naya dan Flow saling pandang. Naya hanya mengangkat alis, seperti memberi isyarat kepada Flow untuk memperhatikan. Flow menatap Ari, mencoba membaca reaksinya—bagaimana seorang pria sederhana menanggapi tawaran dari kalangan elite.Dan saat itu, dalam diam, Flow mulai melihat bahwa perasaan tak selalu hadir dari kemewahan... tapi dari cara seseorang menjaga integritasnya meski dalam kesederhanaan.Obrolan mengalir hangat di ruang Posbakum. Naya dan Anindya duduk berhadapan dengan Ari, membuka diskusi soal isu-isu hukum yang selama ini kerap luput dari perhatian media.“Aku pikir, edukasi hukum itu penting banget di YouTube. Tapi aku sadar, lapangan jauh lebih kompleks dari yang terlihat di layar,” ujar Naya, sambil menunjuk beberapa berkas perkara yang menumpuk.Anindya mengangguk. “Iya, dan tesisku justru membuka mata. Di atas kertas semua ideal. Tapi pas ke lapangan, sistemnya sering bikin orang kecil bingung dan nyerah duluan.”Ari ikut menimpali, “Makanya kita perlu gabungkan pendekatan. Kamu dari sisi edukasi, kamu dari sisi kebijakan. Aku di lapangan. Kita bisa saling lengkapi.”Sementara ketiganya larut dalam diskusi, Flow berdiri diam di sisi ruangan. Ia memandangi meja yang penuh berkas dan debu di pojok ruangan. Tak berkata apa-apa, ia perlahan menggulung lengan baju panjangnya, mengambil tisu dari tas kecilnya, dan mulai menyeka permukaan meja yang berdebu.Lalu ia berjalan ke sudut, menemukan sapu, dan mulai menyapu lantai ruang Posbakum dengan tenang. Tanpa diminta, tanpa menarik perhatian. Ia tahu ini bukan tentang pencitraan—ini tentang kepekaan.Ari melirik ke arahnya. Sejenak, kata-kata yang tadi mengalir lancar terhenti di tenggorokannya. Ada rasa yang hangat muncul tiba-tiba—campuran kagum, haru, dan tanda tanya yang belum bernama.Flow tetap menyapu, dan dalam gerakannya yang pelan tapi mantap, dia menunjukkan bahwa kepedulian bisa hadir bahkan dalam bentuk yang paling sederhana.Tiba-tiba, Anindya tersenyum dan mengusulkan, “Gimana kalau kita cari makan dulu? Perut udah mulai keroncongan nih. Sekalian kita lanjut ngobrol santai di luar.”Naya dan Ari mengangguk setuju. Flow juga tersenyum kecil, tapi setelah berpikir sejenak, ia berkata, “Aku di sini dulu aja, ya. Masih ada beberapa hal dari kasus masyarakat yang harus aku perhatikan. Aku tertarik banget sama itu.”Ari mengangguk paham, “Baiklah, nanti kamu nyusul ya.”Flow tersenyum, dan kembali sibuk merapikan ruangan. Ia menyapu lantai terakhir, merapikan kursi, dan memastikan semuanya rapi. Ketika semuanya sudah tertata, ia menghela napas lega.Tak lama kemudian, Flow keluar dengan mobilnya sendiri, mengikuti arah ke restoran tempat Ari, Naya, dan Anindya sudah berjalan menuju.Di sebuah restoran sederhana yang sering dikunjungi Ari dan Anindya, meja mereka sudah penuh dengan hidangan hangat. Suasana nyaman dan santai membuat percakapan mengalir alami.Tiba-tiba, Flow datang memasuki restoran dengan senyum hangat. Ia melangkah ke meja mereka dan menyapa, “Maaf aku telat, aku baru saja beresin beberapa hal di Posbakum.”Ari menyambut dengan senang, “Flow, pas banget kamu datang.”Anindya dan Naya pun tersenyum, menyambut Flow dengan ramah.Mereka pun mulai berdiskusi dengan asik. Topik mereka bergulir dari kasus-kasus hukum masyarakat kecil, rencana edukasi hukum, hingga peluang kolaborasi di masa depan. Flow ikut memberikan pandangan dari sisi sosial dan spiritual, sementara Anindya menyoroti aspek kebijakan dan akademis. Ari dan Naya menyumbang pengalaman lapangan dan media.Percakapan itu membuat keempatnya semakin dekat, bukan hanya sebagai teman, tapi sebagai tim yang punya visi bersama.Setelah selesai makan dan mengobrol hangat, keempatnya beranjak dari meja. Naya dan Flow memutuskan untuk berjalan duluan sambil mengobrol santai, meninggalkan Ari dan Anindya yang masih punya pekerjaan di Posbakum.“Ayo, Ndya, aku antar kamu balik ke Posbakum. Masih ada beberapa berkas yang harus aku cek,” kata Ari.Anindya mengangguk, dan mereka berdua menuju mobil Ari.Sesampainya di Posbakum, Ari terkejut. Ruangan yang tadi sore penuh berkas dan debu kini tampak rapi dan bersih. Meja tertata rapi, lantai bersih tanpa debu, dan suasana jadi lebih nyaman.Seorang rekan Ari yang sedang mengurus dokumen menyambut mereka, “Flow yang beres-beres tadi, Kak. Dia ingin semua terasa nyaman dan enak buat kita kerja.”Ari tersenyum sambil mengangguk, merasa terharu sekaligus bangga. “Terima kasih, Flow. Ini benar-benar membantu.”Anindya ikut tersenyum, “Ini menunjukkan betapa besar perhatian dia, ya.”Malam mulai turun ketika Ari dan Anindya meninggalkan gedung Pengadilan. Jalanan lengang, lampu-lampu kota menyala perlahan. Di dalam mobil, suasana hening. Anindya menyetir dengan tenang, sementara Ari duduk di sampingnya, pandangannya kosong menatap ke luar jendela."Aku antar sampai kosmu, ya," ujar Anindya pelan.Ari hanya mengangguk. Tapi pikirannya tak sepenuhnya di situ. Ia terus teringat Flow—sosok sederhana yang diam-diam merapikan ruangan Posbakum tanpa diminta, yang memilih tetap tinggal demi memahami masalah-masalah rakyat kecil, dan yang tak banyak bicara, tapi hadir dengan kehangatan yang tulus."Ari?" panggil Anindya, membuyarkan lamunannya."Hm?" Ari menoleh."Kamu kelihatan jauh," kata Anindya sambil tersenyum, meski matanya menyiratkan ketajaman.Ari tersenyum kecil, menunduk sejenak, lalu berkata jujur, “Aku cuma kepikiran tentang... Flow.”Anindya tak berkata apa-apa. Tapi senyum di bibirnya perlahan memudar. Ia tahu, tak semua cerita berjalan sesuai rencana.Mobil pun berhenti di depan kosan Ari di Depok. Anindya menatap pria itu sejenak sebelum berkata, “Kalau butuh teman cerita, kamu tahu kamu bisa hubungi aku, kan?”Ari menatapnya dengan tulus. “Terima kasih, Ndya. Benar-benar terima kasih.”Ia turun dari mobil, melangkah masuk ke kosannya, sementara di dalam mobil, Anindya terdiam. Dan malam pun menutup hari itu dengan tanda tanya yang perlahan menemukan jawabannya.Setelah mengantar Ari, Anindya melajukan mobilnya kembali ke rumah dinas orang tuanya. Lampu-lampu kota berpendar di kaca depan, tapi pikirannya jauh lebih berpendar. Sesekali ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh.Ia tak bisa mengabaikan rasa itu—cemburu.Sejak awal, Anindya yakin dialah yang paling cocok untuk Ari. Mereka sefrekuensi dalam pemikiran, punya latar belakang akademik yang kuat, dan sudah menjalin kedekatan selama beberapa bulan. Ia merasa dirinya lebih mengerti dunia Ari, lebih pantas berdiri di sisinya. Tapi malam ini, saat Ari menyebut nama Flow… sesuatu dalam dirinya terguncang.“Kenapa dia? Bukankah aku yang selalu ada untukmu, Ari?” batinnya.Di rumah, ia masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pada siapa pun. Ia membuka laptop, seolah ingin menulis lanjutan tesisnya—tapi pikirannya terus berputar pada lelaki bernama Ari, dan perempuan berhijab sederhana yang perlahan mencuri tempat di hatinya.Sementara itu, di kamar kosnya yang kecil di Depok, Ari duduk sendiri di atas ranjang, masih mengenakan kemeja yang mulai kusut. Lampu kamar temaram, dan di hadapannya, berkas-berkas perkara rakyat kecil berserakan di meja.Namun pikirannya bukan pada perkara-perkara itu.Flow.Ia memikirkan cara Flow menyapu ruangan tanpa bicara, bagaimana ia memilih tinggal sendirian di Posbakum demi memahami kasus-kasus rakyat. Kesederhanaannya, ketulusannya, dan caranya diam-diam menunjukkan kepedulian—semua itu menancap dalam di hati Ari.Ia meraih ponsel. Jempolnya sempat ragu di layar, sebelum akhirnya ia mengetik:“Flow, terima kasih buat hari ini. Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap lihat kamu, aku merasa ingin jadi versi terbaik dari diriku.”Pesan itu belum dikirim. Ari menghela napas, lalu tersenyum sendiri.Dan malam pun terus berjalan, menyimpan perasaan yang mulai tumbuh di tempat-tempat yang tak terduga.Keesokan harinyaMentari pagi kembali menyelinap melalui sela-sela jendela kamar kos Ari. Alarm belum berbunyi, tapi Ari sudah terbangun. Seperti biasa, ia merapikan tempat tidur, mencuci wajah, dan mengenakan kemeja putih favoritnya yang mulai memudar warnanya, tapi tetap rapi dan bersih.Sesampainya di Posbakum, ia membuka pintu ruangan yang kini jauh lebih rapi dari biasanya. Meja telah tertata, rak-rak tersusun baik, bahkan papan pengumuman tertempel rapi dengan informasi terkini soal bantuan hukum.Ari tersenyum. Ia tahu siapa yang berjasa dalam perubahan ini."Flow..." gumamnya pelan.Ia duduk di meja, membuka laptop dan berkas perkara hari itu. Seorang bapak-bapak yang menjadi korban penipuan koperasi sudah menunggu. Dengan nada sabar dan bahasa yang membumi, Ari mulai mendengar kisahnya.Di tengah sesi konsultasi, rekan Posbakum-nya masuk dan menyerahkan beberapa dokumen tambahan."Eh, ruangannya sekarang enak ya. Bersih, wangi lagi," kata rekannya sambil tersenyum.Ari hanya mengangguk pelan, matanya kembali tertuju pada pekerjaan, namun hatinya diam-diam memikirkan satu nama yang entah kenapa mulai sering muncul dalam benaknya—Flow.Setelah dari PosbakumSelesai membantu beberapa klien pagi itu, Ari menutup map terakhir dan berdiri sejenak menatap keluar jendela. Udara Jakarta mulai panas. Ia mengecek dompetnya—uang pas-pasan, seperti biasa. Ia mengunci pintu ruang Posbakum, berpamitan pada petugas jaga, lalu berjalan menuju halte angkot di depan Pengadilan Negeri.Hari ini ia memilih naik angkot, bukan karena tak ada pilihan, tapi karena sudah terbiasa. Di dalam angkot, Ari duduk bersebelahan dengan seorang bapak tua yang membawa bungkusan nasi. Jalanan macet seperti biasa, namun angin yang masuk dari jendela terbuka memberikan sedikit kesejukan.Ia melihat keluar, mengenali setiap ruko, warung, dan tikungan yang sudah akrab dengannya. Tapi kali ini, pikirannya tidak fokus pada jalan.Ia teringat Flow. Sikapnya yang sederhana. Tindakannya yang tanpa banyak bicara tapi penuh makna. Membersihkan ruangan tanpa diminta, tanpa berharap pujian.Lalu, bayangan Anindya pun muncul. Cerdas, terstruktur, dan selalu tahu apa yang dia mau. Tapi akhir-akhir ini, Ari merasa ada jarak yang muncul—bukan secara fisik, tapi dari frekuensi hati.Ari menunduk. Angkot berhenti di lampu merah.Dalam diam, ia sadar... perjalanan hidupnya mungkin sedang membawanya pada pilihan-pilihan yang bukan sekadar soal cinta, tapi juga tentang siapa yang benar-benar berjalan seirama.Malam Hari di Kosan AriSesampainya di kosannya yang sederhana di Depok, Ari menggantung jas dan menyalakan kipas angin. Ia duduk di kasur lantai, membuka jendela kecil agar angin malam masuk. Tapi pikirannya tak tenang. Sejak siang tadi, bayangan Flow terus mengganggu pikirannya—dari tatapan matanya yang teduh, hingga caranya merapikan ruangan Posbakum dengan sabar.Ia menatap gitar di sudut kamar. Sudah lama tidak disentuh.Dengan langkah pelan, ia mengambil gitar akustik itu. Jari-jarinya mulai meraba senar, pelan… lalu memetik perlahan. Ia merasakan nada-nada kecil mengalir—tulus, sederhana, namun penuh perasaan. Lagu itu belum ada lirik, tapi setiap petikan mengandung sesuatu yang tak bisa diucapkan.Ari menutup mata.Dalam suara lirih, ia mulai menyusun bait pertama:"Tak bersuara, tapi kau hadirDalam diam kau bersihkan luka duniaBukan kata yang buatku jatuh,Tapi keteguhan yang tak banyak bicara..."Tangannya berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang, menatap langit-langit.Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, hatinya mulai menulis bukan untuk menyuarakan keadilan, tapi untuk menyuarakan rasa.Dan rasa itu bernama Flow.Kehadiran Tak TerdugaLirik demi lirik mengalir dari hati Ari:"Kau tak datang dengan sorot lampuTak membawa pujian atau kata-kata manisTapi sapumu bicara lebih jujurDari ribuan janji yang pernah kutulis..."Ia menuliskan bait itu di buku catatan kecilnya sambil terus memetik gitar, suaranya lirih. Malam itu terasa begitu hening, hanya ditemani suara jangkrik dan angin yang menyusup lewat jendela.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pelan di pintu kosannya.Ari terdiam. Ia buru-buru meletakkan gitar dan menyelipkan buku catatannya ke bawah bantal. Ia membuka pintu dengan sedikit ragu—dan terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.Anindya.Dengan wajah sedikit lelah namun tetap anggun, Anindya tersenyum. "Maaf tiba-tiba. Aku tadi lewat Depok habis acara kampus. Kupikir... sekalian mampir."Ari mengangguk kecil. "Oh... ya. Masuk dulu, tapi mungkin kita ngobrol di teras aja, agak sempit di dalam."Mereka duduk di teras kosan yang sempit namun cukup untuk dua orang. Anindya memandangi Ari, mencoba membuka percakapan."Aku masih kepikiran soal tawaran ruko itu, Ari. Tempatnya strategis, dekat Arion, dan kamu butuh tempat lebih layak. Aku nggak butuh dibayar juga, anggap aja bentuk dukungan buat kerja sosial kamu."Ari terdiam sejenak. Pandangannya kosong, tubuhnya tegak, tapi sikapnya sedikit lebih dingin dari biasanya."Terima kasih, Anin. Tawaranmu baik. Cuma... aku masih pengen ngerasain berjuang dari tempat yang sederhana dulu. Biar ada cerita yang bisa aku kenang nanti."Anindya menatapnya dalam-dalam. Ia tahu ada jarak. Ada hal yang tak bisa ia sentuh—bukan soal ruangan, tapi soal hati."Dan soal Flow?" tanya Anindya akhirnya, suara pelan tapi jelas.Ari tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, lalu memalingkan wajah.Warteg dan Ingatan LamaMelihat Ari diam, Anindya mencoba mencairkan suasana. Ia tersenyum tipis, lalu mencolek lengan Ari sambil berkata ringan, “Kayaknya kamu butuh makan deh. Jangan-jangan galaunya bukan soal hati, tapi soal perut.”Ari tertawa kecil, akhirnya meleleh juga kebekuan di wajahnya. “Bisa jadi,” katanya sambil berdiri dan mengambil jaket. “Warteg langganan kita, masih buka jam segini nggak, ya?”“Kalau tutup, kita ketuk pintunya,” jawab Anindya sambil berjalan ke arah mobilnya. “Tapi aku yakin, abangnya pasti ingat sama kamu. Pelanggan nasi telur tempe sambal ekstra tiap hari Kamis.”Ari terkekeh. “Wah, kamu masih ingat detail segitunya?”“Masa lupa,” kata Anindya sambil melirik cepat. “Itu masa kenal pertama kita. Sederhana, tapi berkesan.”Mereka tiba di warteg yang dimaksud. Lampu warteg masih menyala, dan memang, abang warteg langsung mengenali mereka. Tanpa banyak tanya, dua piring nasi hangat disajikan di atas meja kayu berlapis kaca. Aroma sambal dan tumis kangkung menyambut malam yang mulai larut.Di sela-sela suapan, mereka ngobrol. Tentang kerja, tesis, bahkan kenangan lucu saat Ari salah ambil lauk milik orang lain dulu.Obrolan mengalir. Tawa mulai sering terdengar. Tapi di mata Anindya, ada sisa tanya yang belum padam. Dan di mata Ari, ada bayang wajah lain yang tetap hadir meski tak disebut.Malam itu, warteg sederhana jadi saksi dua hati yang sama-sama sedang mencoba memahami arah. Namun yang satu perlahan menerima kenyataan, sementara yang lain masih mencari makna rasa.Rasa yang Tak TerucapSuasana di warteg mulai sepi. Hanya tinggal dua-tiga pelanggan yang sibuk dengan piring masing-masing. Di meja pojok, Ari dan Anindya duduk berhadapan, namun kehangatan obrolan tadi mulai meredup.Anindya memperhatikan Ari yang kini lebih banyak diam, sesekali mengaduk sambalnya tanpa benar-benar menyuap. Matanya tidak fokus, pandangannya kosong ke arah luar jendela.“Ari...” Anindya memanggil pelan.Ari menoleh, tersenyum kecil. “Ya?”“Kamu berubah,” ucap Anindya tanpa ragu. “Kamu bukan Ari yang biasanya. Dulu kamu terbuka, penuh semangat, banyak cerita. Sekarang... kamu sering diam. Seolah ada yang kamu simpan.”Ari menunduk, tak langsung menjawab.Anindya melanjutkan, suaranya lebih lembut, “Aku tahu ini bukan soal kerja. Bukan juga soal capek. Ini soal perasaan. Dan... aku cukup peka untuk tahu, mungkin ini karena seseorang.”Ari masih diam.Anindya menarik napas dalam-dalam, lalu mengucap dengan jujur, “Flow, ya?”Ari terhenyak sedikit, lalu mengangkat wajahnya. Tatapannya tidak menyangkal.Anindya tersenyum tipis. Pahit, tapi anggun. “Aku perempuan, Ari. Dan perempuan itu tahu kapan seseorang sedang jatuh cinta, meski belum sempat bilang.”Ari ingin bicara, tapi tak tahu harus mulai dari mana.“Tenang,” ucap Anindya menenangkannya. “Aku nggak marah. Mungkin sedikit kecewa, tapi bukan karena kamu. Hanya... aku perlu waktu untuk menerima. Karena aku pikir, aku punya tempat di hatimu. Ternyata, bukan aku yang kamu jaga di dalam diammu.”Ari menatapnya dalam diam. Malam semakin sunyi. Tapi justru di senyap itulah, rasa-rasa yang tak sempat diucap menjadi paling nyaring.Kenangan yang TertinggalSetelah makan malam yang terasa lebih sunyi daripada biasanya, Anindya berdiri di samping Ari yang baru saja membayar di warteg. Udara malam Jakarta berembus pelan, membawa serta aroma aspal basah dan sisa hujan siang tadi.“Temani aku ke Monas, yuk?” ucap Anindya tiba-tiba, suaranya pelan namun penuh harap.Ari menoleh. Wajahnya ragu.“Dulu kita sering ke sana. Waktu kamu masih nyusun proposal bantuan hukum, dan aku masih semangat bikin riset,” lanjut Anindya mencoba tersenyum. “Ingat nggak, kamu bilang Monas itu jadi saksi banyak mimpi kita?”Ari tertawa kecil, tapi cepat memudar. Ia menunduk, lalu menatap mata Anindya dengan ketegasan yang lembut.“Anin... aku ingat semua. Dan aku hargai semua itu,” ucapnya jujur. “Tapi malam ini... aku lebih baik pulang.”Anindya diam. Senyumnya tak hilang, tapi mulai melemah. “Kamu butuh waktu, ya?”Ari mengangguk pelan. “Dan kejujuran.”Anindya menahan napas. Lalu mengangguk juga, meski terasa berat. “Oke. Kalau gitu aku antar kamu sampai kosan.”Dalam perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara. Radio mobil menyala, tapi lagunya seperti jauh. Yang tersisa hanya keheningan yang mengerti. Setiba di depan kosan, Anindya memandangi Ari yang membuka pintu mobil.“Kalau suatu hari kamu butuh teman cerita—bukan cinta—aku masih di sini,” bisiknya sebelum Ari turun.Ari membalas dengan senyum penuh hormat. “Makasih, Anin.”Malam itu, di kamar kos yang sempit, Ari duduk menatap lirik lagu yang belum selesai. Dan di antara bait-bait rindu yang belum bernada, hanya satu nama yang terus terlintas di benaknya: Flow.Malam larut di kosan kecil itu. Angin masuk dari jendela yang terbuka sebagian. Ari duduk bersila di atas kasurnya yang tak rapi, gitar akustik kesayangannya bertengger di pangkuan. Kertas-kertas berserakan di lantai, coretan-coretan lirik menandai malam-malam sunyi yang perlahan berubah jadi musik.Dengan napas berat dan mata yang sedikit berkaca, Ari mulai memetik senar gitar. Tangannya gemetar kecil, tapi suaranya tegas saat ia mulai menyanyikan lagu yang baru saja selesai ia tulis—judulnya "Melayang."Sepi hati tak terjadiKau ada di siniRasa ini tak terbagiHanyalah untukmu...Suara Ari mengalun perlahan, dalam nada lembut yang mengandung perasaan tertahan. Setiap bait yang keluar dari bibirnya, seolah menggambarkan kegundahan hatinya yang tersangkut antara logika dan rasa, antara masa lalu dan yang kini diam-diam mengisi ruang hatinya.Melayang ku bersamamuMelayang dalam mimpikuRasa ini hanya untukmuDan tak akan terbagi lagi...Matanya terpejam. Di dalam pikirannya, wajah Flow muncul begitu jelas. Senyumnya, caranya menyapu ruangan, dan kesederhanaannya yang justru membuat hati Ari merasa utuh.Setelah lagu selesai dinyanyikan, Ari terdiam. Tangannya masih memeluk gitar, namun jiwanya seperti baru saja terbang jauh.Ia membuka mata perlahan, lalu menatap langit-langit."Flow..." bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.Malam itu, tak ada suara lain kecuali desah angin, denting gitar, dan cinta yang belum sempat diucapkan.Setelah selesai menyanyikan lagu "Melayang," Ari merasa ada ketenangan yang mengalir dalam dadanya. Ia segera membuka laptop usangnya, lalu mulai merekam ulang lagu tersebut dengan suara dan petikan gitarnya yang lembut.Beberapa menit kemudian, file rekaman sudah siap. Dengan jari-jari yang sedikit gemetar karena campuran antara gugup dan harapan, Ari mengupload lagu itu ke kanal YouTube miliknya, Muhammad Ari Pratomo.Di kolom deskripsi, ia menulis singkat:"Lagu baru: Melayang – tentang rasa yang terbang di antara sepi dan harapan."Setelah mengupload lagu Melayang di kanal YouTube-nya, Ari duduk termenung di kursi kayu di kamar kosnya. Matanya menatap kosong ke layar laptop yang kini memutarkan video lagunya sendiri. Pikiran dan hatinya mengembara, melayang antara harapan, rasa rindu, dan keraguan yang membaur.Sementara itu, di sebuah rumah sederhana di Bekasi, Flow juga tenggelam dalam lamunan. Sosok Ari, pengacara sederhana yang ia kagumi, terus menghantui pikirannya. Kekaguman itu berubah menjadi rasa ingin tahu yang mendalam. Dengan jari gemetar, Flow mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Naya."Ya, Naya, aku ingin tahu lebih banyak tentang Ari... Apa dia benar-benar seperti yang aku lihat? Seberapa besar dia berjuang?" tanyanya lirih, suaranya dipenuhi harap dan penasaran.Naya pun menjawab dengan hangat, menjelaskan tentang sosok Ari yang bukan hanya seorang pengacara, tapi juga seorang pria yang tulus dan penuh dedikasi kepada masyarakat kecil. Percakapan itu membuat Flow semakin yakin bahwa Ari adalah seseorang yang layak untuk diperjuangkan.Di dua tempat berbeda, Ari dan Flow sama-sama melamun, terikat oleh rasa yang belum terucap, menanti waktu yang tepat untuk mengurai kisah mereka lebih jauh.Tak lama setelah Ari larut dalam lamunannya, ponselnya bergetar dan berbunyi. Ia mengangkat telepon dengan sopan."Halo, Pak Ari? Saya pengusaha kain dari Solo. Saya tahu Bapak dari internet dan ingin berkonsultasi soal masalah hukum."Ari tersenyum, siap membantu. "Silakan, Pak. Saya Ari, silakan ceritakan kendala yang Bapak hadapi.""Saya menghadapi masalah dengan giro kosong. Pembayaran saya sering bermasalah karena ada pihak yang menggunakan giro kosong terhadap saya, dan ini mulai berdampak pada bisnis saya," jelas pengusaha itu dengan suara serius.Ari mencatat dengan teliti. "Baik, Pak. Kasus giro kosong termasuk tindak pidana penipuan atau pemalsuan dokumen, tergantung kasusnya. Apakah Bapak sudah melaporkan ke pihak berwajib?""Saya sudah, tapi prosesnya lambat dan saya khawatir kalau ini berlarut-larut, saya akan rugi besar," jawab pengusaha itu.Ari memberi saran. "Kalau begitu, Bapak bisa menyiapkan bukti-bukti transaksi dan dokumen terkait. Saya akan bantu membuatkan surat somasi dan jika perlu, mendampingi Bapak dalam proses hukum agar hak Bapak terlindungi.""Terima kasih, Pak Ari. Itu sangat membantu."Belum sempat Ari mengakhiri, pengusaha itu melanjutkan dengan kasus lain. "Selain itu, saya juga mendengar ada korban rentenir yang berkedok bisnis. Apakah Bapak bisa membantu kasus seperti itu?"Ari menjawab tegas, "Tentu, Pak. Rentenir berkedok bisnis biasanya masuk dalam ranah hukum perlindungan konsumen dan tindak pidana. Kami bisa membantu korban untuk mengumpulkan bukti, mengajukan laporan, dan mengupayakan penyelesaian hukum.""Bagus, Pak Ari. Saya akan kirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan secepatnya."Setelah percakapan selesai, Ari kembali menulis catatan di mejanya, siap menyiapkan langkah-langkah untuk membantu klien barunya dari Solo. Hatinya kembali terisi semangat untuk terus memperjuangkan keadilan, baik untuk rakyat kecil maupun pebisnis yang terjerat masalah hukum.Pagi itu, Ari kembali memulai rutinitasnya dengan sederhana. Ia keluar dari kosan di Depok dan berjalan menuju halte angkot terdekat. Setelah menunggu beberapa menit, angkot yang biasa ia naiki pun datang. Dengan santai, Ari naik dan duduk di kursi samping jendela, menatap jalanan yang mulai sibuk.Perjalanan singkat menuju Pengadilan Negeri Jakarta Timur terasa penuh makna baginya. Di angkot, ia sesekali memperhatikan penumpang lain, para pekerja, ibu-ibu, dan anak-anak sekolah yang juga berjuang menjalani hari. Pikiran Ari melayang pada berbagai kasus yang akan ia tangani hari itu, serta harapannya untuk memberikan bantuan hukum yang nyata bagi masyarakat kecil.Setibanya di pengadilan, Ari turun dengan semangat yang tak pernah pudar. Ia siap menghadapi hari baru di Posbakum, tempat di mana hukum bukan sekadar aturan, tapi jembatan keadilan bagi mereka yang sering terpinggirkan.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Kisah Cinta Pengacara

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Setelah kegagalan pada ujian advokat pertama, Ari memutuskan untuk tidak larut terlalu lama dalam kecewa. Ia kembali menjalani rutinitasnya di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan semangat yang lebih tenang, meskipun belum sepenuhnya pulih dari luka dalam hati.Setiap pagi, Ari tiba lebih awal dari jam operasional. Ia selalu datang dengan jaket tuanya, menyeduh kopi instan di ruang kecil staf, lalu membuka laptop butut yang sudah menemaninya sejak kuliah. Di sinilah ia membaca kembali materi-materi hukum, mencoba memahami kasus-kasus baru yang akan ia tangani, dan sesekali menonton ulang rekaman video seminar atau pelatihan hukum yang pernah ia ikuti.Aktivitas sehari-harinya di pengadilan penuh dengan interaksi manusia dari berbagai latar belakang. Mulai dari ibu rumah tangga yang ingin memperjuangkan hak waris, pedagang kecil yang digusur sepihak, hingga buruh kasar yang tidak dibayar selama berbulan-bulan. Mereka datang ke Posbakum bukan hanya membawa dokumen perkara, tetapi juga membawa kesedihan, kemarahan, bahkan keputusasaan. Ari menjadi tempat mereka bertanya, tempat mencurahkan isi hati, dan tempat bergantung.Ia tidak hanya menjelaskan hukum dengan bahasa sederhana, tetapi juga mendengarkan. Dan di situlah kekuatannya. Ari membuat para pencari keadilan merasa didengar dan tidak sendirian.Di sela-sela pekerjaannya, Ari kerap membaca kembali soal-soal latihan untuk persiapan ujian advokat berikutnya. Ia membuat jadwal belajar sendiri dan berkomitmen menjalaninya meski malamnya masih harus membuka kedai kopi kecil untuk bertahan hidup.Ketika tidak sedang menghadapi klien, Ari sering membantu teman-temannya yang kesulitan membuat draft permohonan atau surat gugatan. Ia tak pelit ilmu, dan karena itu, perlahan mulai dihormati oleh rekan-rekan relawan lainnya. Bahkan Pak Yan Apul, pengacara senior yang memimpin Posbakum, mulai melibatkan Ari dalam kasus-kasus yang lebih kompleks.Namun, yang tidak banyak orang tahu, setiap malam sebelum tidur, Ari menatap sertifikat PKPA yang tergantung di dinding kosannya. Ia berbisik dalam hati, “Ujian berikutnya aku akan siap. Aku akan lulus. Bukan demi gelar, tapi demi mereka yang tak punya suara.” Itulah rutinitas Ari—pagi di pengadilan, siang membantu menyusun berkas, malam di kedai kopi yang sunyi, dan dini hari belajar sendirian. Hari-hari berat, tapi Ari menjalaninya dengan hati yang tak pernah padam. Ia tahu, jalan ini panjang dan penuh luka. Tapi ia juga tahu, di ujungnya ada cahaya bernama keadilan.Sore itu, setelah hari-hari melelahkan di pengadilan dan kedai kopi, aku memutuskan untuk menenangkan diri sejenak. Aku tahu, kalau terus dibiarin kepenatan ini numpuk, semangat bisa patah pelan-pelan. Maka, aku menghubungi Pak Tambunan, sahabatku sejak PKPA dulu, dan kami sepakat ketemu di Plaza Arion, di Rawamangun, nggak jauh dari pengadilan.Di sebuah kedai kopi dengan suasana remang yang nyaman, aku duduk berhadapan dengan Pak Tambunan. Aku pesan kopi hitam tanpa gula seperti biasa, sementara dia pilih latte dengan ekstra foam.“Gue ngerti elu kecewa soal ujian kemarin, Ri,” kata Pak Tambunan membuka obrolan. “Tapi serius, banyak banget yang nggak lulus. Bahkan bokap gue bilang, soal-soalnya emang super teknis dan njelimet.”Aku cuma senyum tipis. Gak mau nunjukin kalau hatiku masih ada rasa sakit. Aku alihkan pandangan ke jendela besar yang nunjukin lampu jalan, mobil lalu-lalang, dan manusia yang terus bergerak.“Aku cuma butuh waktu,” jawabku pelan. “Tapi jangan salah, gue nggak nyerah. Ini bukan soal gengsi. Ini soal janji ke diri sendiri dan orang-orang yang selama ini percaya sama gue.”Pak Tambunan angguk, matanya tulus banget nunjukin rasa hormat. “Dan elu udah jauh lebih tangguh dari kebanyakan lulusan hukum yang gue kenal. Gue bangga, Ri.”Tanpa aku sadari, dari meja pojok dekat jendela, ada seorang gadis yang memperhatikan kami. Dia terlihat elegan, pakai blus putih dan celana kulot krem, duduk sendiri dengan laptop terbuka dan buku tebal di sampingnya. Di depannya ada kopi dan selembar kertas yang kayaknya baru dia selesaiin buat presentasi atau wawancara.Sesekali dia menoleh ke arah kami, memperhatikan tanpa berlebihan. Ada sesuatu beda dari aku—kesederhanaanku, cara aku menunduk saat denger, cara aku tahan perasaan tapi tetap berdiri tegak.Gadis itu senyum samar, lalu balik lagi fokus ke laptopnya.Dia adalah Anindya Saraswati, putri semata wayang seorang menteri yang sering muncul di televisi nasional. Kebetulan dia lagi ngerjain proyek riset tentang akses keadilan buat masyarakat kecil, dan sore itu dia lagi nyusun laporan soal Posbakum. Dia belum tahu siapa aku. Dan aku belum tahu, tatapan singkat dari meja sudut itu akan jadi awal sesuatu besar — yang bisa ngubah hidup gue, bukan cuma sebagai calon advokat, tapi juga sebagai pria yang selama ini cuma percaya perjuangan, dan belum pernah percaya cinta.Setelah menghabiskan waktu sore bersama Tambunan di kedai kopi Plaza Arion, Ari kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan langkah pelan. Sisa kopi hitam yang masih terasa di tenggorokannya seolah jadi pengingat bahwa hari ini belum sepenuhnya selesai. Ia masih harus mengurus beberapa berkas di bagian PTSP, dan entah mengapa, perasaannya agak campur aduk—antara lelah, pasrah, dan diam-diam, ada sesuatu yang berbeda.Gedung pengadilan tampak lebih tenang saat malam mulai merayap. Cahaya lampu menyinari lorong dengan temaram yang menggantung. Ari mengambil nomor antrian lalu berdiri di dekat dinding, matanya menerawang. Di kepalanya, suara Tambunan masih terngiang."Gue ngerti elu kecewa, Ri, tapi hidup nggak berhenti cuma gara-gara satu ujian."Ari menghela napas. “Iya, Tam… tapi rasanya… aku belum cukup layak,” gumamnya lirih.Baru saja ia meresapi pikirannya sendiri, dari samping, hadir siluet yang tak asing. Gadis itu—yang tadi sore sempat memperhatikannya dari sudut kedai kopi—kini berdiri tak jauh darinya, di antrean yang sama. Masih dengan blus putih dan kulot krem, elegan tapi sederhana, membawa map biru dan buku catatan di tangan.Ari sempat menoleh, dan seakan dunia menyepakati pertemuan ulang ini, mata mereka bertemu.“Eh… sore tadi kamu di kedai kopi, ya?” Gadis itu berbicara lebih dulu, suaranya lembut namun percaya diri.Ari mengangguk pelan. “Iya. Duduk sama temen. Agak rame, ya?”Dia tersenyum kecil. “Nggak juga. Justru obrolannya menarik. Tentang ujian advokat, kan?”“Aku gagal,” ucap Ari tanpa membungkus luka. “Tapi ya… hidup tetap jalan.”Ada jeda singkat sebelum gadis itu merespons. Tatapannya lembut. “Maaf ya. Tapi kamu hebat, lho. Banyak yang nyerah di titik ini.” Ari hanya tersenyum. Ia belum tahu harus menjawab bagaimana.“Aku Anindya, by the way,” gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan.“Ari.” Ia menyambut uluran itu.“Lagi ngurus apa?”“Berkas Posbakum. Aku magang di sana.” Suaranya terdengar lebih tenang dari sebelumnya.Anindya terlihat terkejut sekaligus tertarik. “Serius? Aku lagi nulis tesis soal bantuan hukum struktural buat masyarakat menengah bawah. Posbakum jadi salah satu studi kasusnya.”Ari mengangkat alis. “Kebetulan banget.”Sebelum pembicaraan berlanjut, nomor antrian Anindya dipanggil. Dia melirik ke layar, lalu menatap Ari.“Kayaknya giliran aku. Tapi, semoga ketemu lagi ya. Aku penasaran banget sama pengalaman kamu di Posbakum.”“Boleh. Kapan-kapan mampir aja ke meja konsultasi, aku biasanya ada tiap siang.”Anindya mengangguk dan melangkah pergi.Ari menatap punggungnya menghilang di balik pintu loket. Ada sesuatu yang tertinggal di dadanya—rasa ringan yang aneh, tapi tidak asing. Entah karena tatapan itu, atau percakapan singkat yang terasa tulus. Ia bersandar sebentar di dinding koridor, menatap atap tinggi pengadilan itu sambil menarik napas dalam."Anindya, ya..." gumamnya dalam hati. "Nama yang anggun untuk pertemuan yang tidak biasa."Dan mungkin, hidup sedang menyiapkan bab baru yang tak pernah ia rencanakan.Hari-hari kembali berjalan seperti biasa. Ari kembali larut dalam rutinitas posbakum dan persidangan-persidangan yang menumpuk. Ia sudah terbiasa datang pagi-pagi ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur, menyapa petugas PTSP, memeriksa jadwal perkara, lalu menyusuri lorong demi lorong menuju ruang sidang. Tak ada yang istimewa hari ini—setidaknya sampai siang. Ia baru saja menyelesaikan pendampingan terhadap seorang ibu rumah tangga yang dituduh mencuri barang bukti perceraian oleh suaminya sendiri. Di ruang tunggu, Ari membuka map lusuh berisi catatan tangan yang sudah penuh coretan. Peluh menetes di pelipisnya, tapi sorot matanya masih menyala.Beberapa petugas pengadilan sudah hafal wajah Ari. Bahkan beberapa hakim pun mulai memperhatikannya. Ia dikenal sebagai anak magang yang tak banyak bicara, tapi selalu hadir di ruang sidang—meski tak semua perkara penting, dan kadang tak dibayar.Bagi Ari, setiap perkara yang ia dampingi adalah wajah lain dari keadilan. Ada kasus pedagang ditipu pemasok, ada buruh di-PHK sepihak, bahkan pernah seorang anak kecil datang meminta bantuan karena ibunya dipukul ayah tiri."Semua orang cuma butuh didengar… dan dibela," gumam Ari sambil menatap kursi-kursi kosong di ruang tunggu sidang Tipiring.Sore itu, saat langit Jakarta mulai menguning, Ari duduk sendiri di tangga belakang gedung pengadilan. Sambil menyeruput air putih dari botol isi ulang, ia membuka ponselnya—melihat beberapa pesan dari kedai kopi miliknya. Beberapa orang menanyakan jadwal konsultasi malam ini, beberapa lagi hanya mengucapkan terima kasih karena pernah dibantu.Hari-harinya melelahkan, tapi bukan lelah yang sia-sia.Ia tersenyum tipis."Aku belum lulus advokat. Tapi hukum sudah memilihku sejak lama," batinnya.Dan Jakarta, dengan segala hiruk-pikuknya, tak pernah berhenti mempertemukan Ari dengan cerita-cerita yang membuatnya terus berjalan.Hari itu, ruang sidang sederhana di lantai dua Pengadilan Negeri Jakarta Timur dipenuhi oleh para pengunjung yang ingin menyaksikan jalannya persidangan terbuka. Kasus yang ditangani bukan perkara besar—hanya sengketa antara pekerja kebersihan dan pihak manajemen gedung yang memecatnya tanpa pesangon. Namun bagi Ari, tak ada perkara yang kecil ketika hak seseorang dirampas.Ia berdiri tegak, mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut karena duduk terlalu lama, dasi yang tak lagi rapi, dan mata yang menunjukkan kurang tidur. Di hadapannya, hakim mengetuk palu kecil sebagai tanda bahwa sidang dimulai."Majelis yang mulia, saya ingin menegaskan kembali bahwa klien kami diberhentikan secara sepihak tanpa adanya bukti pelanggaran kerja..." Kalimat demi kalimat mengalir dari mulut Ari. Suaranya tak lantang, namun penuh ketegasan. Setiap argumen dibingkai oleh data dan pasal, disampaikan bukan dengan gaya pengacara kawakan, melainkan dengan keyakinan seorang manusia yang benar-benar percaya pada keadilan.Di deretan bangku pengunjung, duduklah seorang wanita muda yang memperhatikannya diam-diam.Anindya.Ia mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan warna gelap. Rambutnya disisir rapi ke belakang, dengan laptop kecil di pangkuan dan pulpen di tangannya, seolah sedang mencatat sesuatu. Sebenarnya, Anindya datang bukan untuk menyaksikan sidang itu secara khusus. Ia sedang mengumpulkan bahan untuk penelitian lapangan mengenai akses keadilan dan sempat diarahkan staf pengadilan ke ruang sidang terbuka tersebut.Namun sejak matanya menangkap sosok yang sedang bicara di hadapan majelis hakim, konsentrasinya terpecah.Ia mengenali pria itu. Wajahnya familiar. Cara bicaranya tenang, struktur argumentasinya lugas. Semua mengingatkannya pada seseorang yang sempat ia lihat—di sebuah kedai kopi, duduk bersama seorang pria berbadan besar, tertawa dan berdiskusi hangat. Anindya bahkan masih ingat suara lirih pria itu ketika bicara di meja sudut."Aku cuma butuh waktu."Ari tak menyadari kehadiran Anindya. Fokusnya sepenuhnya tertuju pada pembelaan dan nasib kliennya. Tangannya membuka berkas, menunjuk bukti surat peringatan kerja yang tak pernah diberikan, lalu menjelaskan kronologi dengan bahasa yang dimengerti oleh semua orang di ruangan.Anindya memperhatikan.Bukan sekadar karena simpatik, tapi karena ada sesuatu yang tumbuh perlahan: rasa hormat.Ia tak tahu siapa nama pria itu. Tapi ia tahu, dari cara dia berdiri dan berbicara di ruang sidang sederhana itu, bahwa dia sedang menyaksikan seorang pejuang.Seorang calon advokat, yang mungkin tak punya gelar besar atau nama belakang terkenal—tapi yang setiap harinya berjuang demi mereka yang tak punya siapa-siapa. Dan meski tak ada percakapan sore itu, diam-diam dalam hati Anindya berkata, “Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.”Dan Ari, yang hari itu keluar dari ruang sidang dengan kertas notulensi di tangan, masih belum tahu… bahwa seseorang di antara para penonton telah mencatat bukan hanya pembelaannya, tapi juga dirinya.Sore merayap pelan, membawa hawa lembab khas Jakarta yang baru saja diguyur hujan ringan. Langit masih menyisakan warna kelabu, dan halaman Pengadilan Negeri Jakarta Timur mulai lengang. Ari melangkah keluar dari pintu utama gedung sambil merapikan map lusuh yang selalu ia bawa ke mana-mana. Langkahnya pelan. Ia sudah membayangkan perjalanan panjang naik Transjakarta, lalu berganti angkot ke arah Rawamangun, lalu menyusuri gang sempit menuju kosan kecilnya.Namun sebelum ia sempat menuruni anak tangga terakhir, suara lembut menghentikan langkahnya.“Mas… Ari, ya?”Ari menoleh. Sejenak ia heran, tak menyangka namanya dipanggil. Matanya menangkap sosok wanita muda berperawakan anggun dengan blouse putih bersih, berdiri beberapa meter darinya sambil menenteng tas kerja dan kunci mobil.Anindya tersenyum ramah. “Kita sempat ketemu di ruang sidang tadi. Saya Anindya,” ucapnya, sopan.Ari mengangguk singkat. Baru kali ini dia bisa menatap gadis yang diam-diam memperhatikannya dari bangku pengunjung tadi. Wajahnya bersih, mata jernih, dan caranya bicara menunjukkan pendidikan dan kelembutan.“Saya kebetulan arah pulangnya lewat Rawamangun. Kalau Mas nggak keberatan, mau bareng?”Ari sempat ragu. Tawaran seperti itu bukan hal biasa. Ia terbiasa menolak bantuan, apalagi dari orang yang baru dikenalnya. Tapi sore itu tubuhnya sudah penat, dan mungkin… hanya sekali ini saja, pikirnya.“Kalau memang searah… boleh,” ucapnya pelan.Tak lama, mereka berjalan bersama menuju area parkir. Mobil hitam metalik dengan logo Eropa menyala halus ketika Anindya menekan remote. Pintu terbuka otomatis, kabin dalamnya sunyi dan harum, dengan interior kulit cokelat muda yang tampak mahal. Ari berdiri mematung sejenak. Sepanjang hidupnya, mobil adalah kemewahan yang ia lihat dari luar jendela, bukan dari dalam kabin. Bahkan naik taksi online pun jarang—lebih sering ia memilih jalan kaki atau bus kota demi hemat ongkos.Anindya membuka pintu penumpang di sebelah kiri. “Silakan, Mas.”Ari mengangguk pelan. "Terima kasih." Suaranya hampir tak terdengar.Begitu ia duduk, perasaannya campur aduk. Kaku, canggung, dan entah kenapa merasa seperti penyusup. Tapi Anindya tetap tenang di balik kemudi, memutar lagu jazz pelan, dan menyetir dengan percaya diri menyusuri jalanan sore Jakarta yang mulai macet.Mereka tak banyak bicara di awal. Hanya suara AC dan gemuruh kendaraan di luar yang terdengar.“Mas Ari… sering pegang kasus kayak tadi?” Anindya membuka percakapan sambil tetap menatap jalan.Ari melirik sejenak, lalu kembali menatap lurus. “Cukup sering. Di posbakum, kasus orang kecil nggak ada habisnya.”Anindya mengangguk. “Saya lagi riset soal akses keadilan untuk masyarakat tidak mampu. Dosen saya bilang, kadang kita harus duduk diam di ruang pengadilan kalau mau paham betul realita hukum di lapangan.”Ari tersenyum tipis. “Kalau begitu, kamu sudah memilih tempat yang tepat.”Mereka tertawa kecil.Sore itu, di dalam mobil mewah yang melaju perlahan di antara deretan kendaraan, dua dunia yang berbeda bertemu. Tak disengaja. Tak direncanakan. Tapi terasa hangat.Dan bagi Ari, sore itu adalah kali pertama ia duduk di kursi empuk mobil Eropa—bukan sebagai pengacara mahal, bukan sebagai orang penting—tapi sebagai seseorang yang diperhatikan, tanpa harus pura-pura hebat.Mobil melaju perlahan di tengah padatnya arus lalu lintas sore itu. Dari balik kaca, gedung-gedung rendah, penjual kaki lima, dan anak-anak sekolah yang baru pulang membentuk lukisan kota yang kontras. Suasana di dalam kabin terasa hening—bukan karena canggung, melainkan karena masing-masing larut dalam pikirannya.Anindya yang duduk tenang di balik kemudi, menoleh sejenak. "Mas Ari… aku boleh tanya sesuatu yang agak serius?" Ari mengangguk pelan. “Boleh.”Suara Anindya melembut. “Selama di posbakum, dari semua kasus yang Mas Ari tangani… apa yang paling bikin Mas merasa marah? Atau mungkin... sedih?”Ari sempat terdiam. Pertanyaan itu seperti menariknya kembali ke ruang-ruang kecil pengadilan, ke kursi plastik di pojok kantor posbakum, ke raut wajah-wajah yang datang membawa harapan—dan kadang pulang dengan kecewa.Ia menyandarkan punggung, menatap ke luar jendela sejenak sebelum bicara.“Ada seorang ibu… dituduh mencuri susu. Dia ambil dua kaleng dari rak minimarket, katanya buat anaknya yang masih bayi. Dia nggak lari. Nggak sembunyi. Tapi tetap ditahan, tetap diborgol, tetap diadili.”Anindya memegang kemudi lebih erat. Tak menjawab, hanya mendengar.Ari melanjutkan. “Aku dampingi dia dari awal. Aku lihat sendiri bagaimana dia nggak punya pilihan. Suaminya pergi, dia kerja bersih-bersih rumah orang, gajinya dipotong terus. Waktu aku tanya kenapa nekat, dia cuma bilang... ‘Saya cuma pengin anak saya minum susu seperti anak orang lain.’”Suara Ari merendah. “Kasusnya memang ringan, hukumannya juga nggak besar. Tapi stigma yang dia dapat… berat. Sampai anaknya sendiri dikeluarkan dari PAUD, katanya ‘takut nularin kelakuan ibunya.’”Anindya menoleh sejenak. “Itu kejam…”Ari mengangguk pelan. “Aku pernah marah, pernah sedih, tapi lama-lama… yang paling terasa itu rasa lelah. Karena aku tahu, besok bakal ada lagi yang datang. Kasus lain. Wajah lain. Tapi ceritanya… ya, sama.”Mobil berhenti sejenak di lampu merah. Anindya memandang Ari dengan mata yang tak biasa. Ada rasa hormat di sana, juga kekaguman yang pelan-pelan tumbuh dari pemahaman, bukan hanya dari simpati.“Aku pikir aku udah tahu banyak soal hukum rakyat kecil,” katanya pelan. “Ternyata, aku cuma ngerti dari buku. Bukan dari luka.”Ari hanya tersenyum tipis.Lampu berubah hijau. Mobil kembali melaju.Dan di antara jalanan sore Jakarta yang padat, dua dunia yang tadinya berjauhan mulai saling memahami. Sebuah awal yang sunyi, tapi penuh makna—bukan karena siapa mereka, tapi karena apa yang mereka dengarkan dari satu sama lain. Setelah mobil melewati simpang Rawamangun dan keluar dari keramaian Jalan Pemuda, Anindya melirik jam di dashboard lalu menoleh ke Ari yang duduk di sampingnya."Mas Ari, masih ada waktu, kan?" tanyanya santai. "Aku lapar. Yuk, kita makan dulu. Aku tahu satu tempat enak. Sekalian ngobrol lagi soal Posbakum."Ari sedikit bingung, tapi tetap tersenyum sopan. "Boleh. Kalau nggak merepotkan."Anindya tertawa kecil. "Naik mobilku, Mas. Nggak mungkin repot."Tak lama kemudian, mobil itu berhenti di sebuah gedung restoran megah yang berdiri mencolok di sudut kawasan Kelapa Gading. Cahaya lampu gantung yang menggantung dari langit-langit lobi restoran terlihat dari luar, menciptakan bayangan hangat yang jatuh ke marmer putih berkilau. Parkirnya penuh mobil-mobil berpelat khusus, dan seorang valet langsung menyambut ketika Anindya turun.Ari menatap sekeliling dengan sorot mata yang jujur—ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat semewah ini. Bahkan langkahnya terasa ragu waktu berjalan masuk, seolah setiap lantai yang ia tapaki terlalu mahal untuk sol sepatu lamanya.Begitu duduk, pelayan datang membawa daftar menu yang panjang dan penuh istilah asing. Anindya memesan dengan lancar, sementara Ari hanya menunduk menatap daftar dengan alis sedikit mengerut."Ada menu yang Mas kenal?" tanya Anindya sambil tersenyum.Ari tersipu, lalu menunjuk menu paling sederhana yang masih bisa ia eja. "Ini aja, deh. Yang penting halal."Anindya tertawa pelan. "Aman, Mas. Di sini semua makanan halal dan… piringnya aja udah lebih mahal dari sepatu aku waktu SMA."Ari ikut tersenyum, tapi hatinya berdesir. Bukan karena kemewahan yang dia tapaki hari itu, tapi karena kenyataan bahwa untuk pertama kalinya, dunia yang sangat jauh dari kesehariannya terasa sedikit terbuka. Bukan karena dia mengejarnya, tapi karena seseorang menarik tangannya untuk mengenalkannya, tanpa merendahkan atau menggurui."Mas Ari…" suara Anindya kembali lirih di sela-sela makan, "Kenapa tetap mau di Posbakum? Padahal kan bisa aja ambil kerjaan kantor hukum gede, klien korporat, fee tinggi..." Ari meletakkan sendoknya perlahan."Aku masih percaya, hukum bukan cuma buat yang bayar paling banyak. Tapi buat yang paling nggak punya siapa-siapa. Kalau semua yang ngerti hukum cuma mau bantu yang kuat, yang lemah bakal terus diam. Dan diam itu… sering kali artinya kalah."Anindya mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya, bukan hanya makanan mahal yang mengisi pikirannya, tapi juga cerita-cerita yang tak pernah ia baca di jurnal akademik.Dan malam itu, di restoran penuh lampu gantung dan peralatan makan berkilau, dunia hukum dan empati duduk satu meja. Di antara sendok perak dan piring mahal, suara kecil dari mereka yang tak terdengar perlahan mendapat ruang untuk dikenang.Anindya terdiam sejenak setelah mendengar jawaban itu. Matanya menatap Ari, tapi bukan sekadar memandang wajah—dia sedang mencoba membaca lebih dalam. Seolah kata-kata Ari membuka jendela ke sesuatu yang selama ini hanya dia baca di laporan riset, tapi belum pernah dia lihat sejelas dan setulus ini.“Kamu... beda ya,” gumamnya, hampir tak terdengar.Ari hanya tersenyum tipis, tidak merasa sedang mengucapkan sesuatu yang luar biasa. Baginya, itu bukan kalimat heroik—itu kenyataan yang dia jalani tiap hari. Dia lebih nyaman mendengar tangisan ibu-ibu di Posbakum daripada tawa politikus di rapat-rapat meja bundar.Anindya mengalihkan pandangan ke luar jendela restoran. Lampu kota mulai menyala. Jakarta tampak seperti lukisan mahal yang berpendar di bawah langit kelabu. Tapi di balik gemerlap itu, dia tahu, ada luka-luka yang tersembunyi. Dan Ari… adalah salah satu dari sedikit orang yang memilih untuk masuk ke luka itu, bukan menghindarinya.“Orangtuaku selalu bilang kalau dunia ini keras, jadi kita harus naik setinggi-tingginya supaya aman dari jatuhnya orang lain,” kata Anindya pelan. “Tapi kamu malah turun… ikut jatuh bareng mereka.”Ari menoleh, menatap Anindya dengan penuh perhatian. Tak ada sikap menggurui, tak ada niat mengubah cara hidup orang. Dia hanya ingin hadir, dan tetap berdiri di tempat di mana keadilan sering dilewati.“Aku nggak turun,” jawab Ari. “Aku cuma belum pernah naik. Dan aku nggak buru-buru ke atas kalau harus ninggalin orang-orang yang lebih butuh dibantu.”Anindya mengangguk perlahan. Kagum, tanpa kata-kata. Malam itu, kagum tak diucapkan, tapi terasa. Bukan karena Ari mempesona dengan prestasi atau penampilan, tapi karena keberaniannya bertahan di tempat yang sering ditinggalkan. Dan di antara gelas-gelas anggun dan suara sendok yang beradu pelan, Anindya tahu—dia sedang duduk bersama seseorang yang tak biasa.Malam itu menjadi awal dari sesuatu yang berbeda. Setelah percakapan di restoran, hubungan Ari dan Anindya tak lagi terasa kaku seperti sebelumnya. Ada yang berubah—bukan karena suasana tempat makan mahal itu, tapi karena keduanya sama-sama jujur dalam diam dan bicara.Hari-hari berikutnya, pertemuan mereka tak lagi kebetulan. Kadang di pengadilan, kadang di kedai kopi tempat Ari biasa menerima konsultasi hukum, dan sesekali saat Anindya datang ke posbakum, pura-pura membaca riset tapi matanya lebih sering mengarah ke satu sosok yang sibuk dengan berkas dan tangisan klien-klien kecil.Ari pun, perlahan, mulai merasa nyaman. Jika dulu ia selalu kaku di hadapan orang yang berasal dari "dunia atas", kini Anindya justru menunjukkan sisi berbeda—ia tak pernah merendahkan, tak pernah menggurui. Ia mendengar. Dan bagi Ari, didengar tanpa dihakimi adalah kemewahan yang jarang ia dapatkan.Di sela-sela hari yang sibuk, mereka mulai saling bertukar cerita. Anindya tak sungkan bertanya, dan Ari pun mulai terbiasa membagikan potongan hidupnya.Kadang Ari tertawa kecil saat Anindya mengeluh soal tugas kuliahnya atau bagaimana dia bosan menghadiri acara-acara formal kenegaraan. Kadang pula, Anindya hanya mendengarkan Ari bercerita tentang seorang ibu yang ingin mendapatkan hak waris, atau seorang pedagang kecil yang kehilangan kiosnya karena salah tafsir peraturan daerah.Mereka mulai memanggil nama tanpa ragu. Tidak lagi ‘Ibu’ atau ‘Saudari’, tidak lagi penuh kehati-hatian seperti dua dunia yang saling ragu menyapa.Dan Ari tahu, meski ia masih tidur di kosan sempit dan menjual kopi tiap malam, ada seseorang yang kini tak hanya melihat dia sebagai ‘calon advokat biasa’, tapi sebagai seseorang yang layak dikenang dan dipahami.Dalam hati, ia bergumam pelan—“Ternyata, ketika kita benar-benar tulus berjuang, semesta tahu siapa yang pantas datang, dan siapa yang akan bertahan.”Setelah makan malam yang penuh cerita dan tawa, Ari dan Anindya pun beranjak pulang. Suasana di mobil Anindya terasa hangat, berbeda dari dinginnya rutinitas yang selama ini Ari jalani. Mereka berbincang ringan, sesekali saling melempar senyum yang makin mengikis rasa canggung di antara mereka. Saat melintasi jalanan Jakarta yang mulai sepi, Anindya tiba-tiba berkata, “Ri, mampir sebentar ke kosan lu ya? Gue pengen lihat tempat elu tinggal.”Ari sempat terkejut, tapi juga merasa ada sesuatu yang berbeda saat dia mengangguk. “Boleh, tapi kosan gue sederhana banget, nggak kayak rumah lu yang mewah.”Anindya tertawa ringan, “Justru itu yang pengen gue lihat, gimana elu bisa bertahan di sini.”Sesampainya di kosan, Anindya melihat segala kesederhanaan yang Ari jalani. Kosan kecil yang penuh tumpukan buku hukum, beberapa kertas catatan, dan aroma kopi yang masih melekat. Dia duduk di kursi kecil sambil memperhatikan Ari yang sibuk merapikan sedikit barang-barangnya.“Lu hebat, Ri. Gue bisa lihat betapa kerasnya elu berjuang,” kata Anindya tulus.Ari hanya tersenyum, ada rasa hangat yang perlahan tumbuh di dadanya. Malam itu, mereka berbagi cerita lebih dalam, tentang mimpi, perjuangan, dan harapan di tengah kerasnya dunia hukum dan kehidupan.Sebelum Anindya pamit pulang, Ari merasa sesuatu telah berubah dalam dirinya. Ada secercah harapan yang mulai menyala — bukan hanya untuk kariernya, tapi juga untuk sebuah kisah yang lebih dari sekadar profesionalisme.Di kosan yang sederhana itu, suasana jadi semakin hangat. Anindya duduk santai di kursi kayu tua, sementara Ari merapikan beberapa buku hukum yang berserakan di meja kecilnya. Mereka berdua mulai ngobrol dengan lebih leluasa, seolah waktu melambat dan hanya milik mereka berdua.“Ari, gue pengen tahu lebih banyak soal elu. Gimana bisa elu sekuat ini, bertahan di tengah kerasnya kehidupan di Jakarta?” tanya Anindya dengan mata penuh penasaran.Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita tentang perjalanan panjang yang sudah kulalui: dari Lampung, kuliah, perjuangan tanpa uang, sampai bagaimana aku harus jualan kopi sambil magang di kantor pengacara demi mewujudkan cita-cita jadi advokat.Anindya mendengarkan dengan serius, kadang tersenyum, kadang mengangguk penuh pengertian. “Gue salut sama lu, Ari. Banyak orang pasti udah nyerah di posisi elu,” katanya.Aku tersipu, tapi hatiku hangat. “Gue cuma pengen buktikan kalau orang kecil kayak gue bisa berjuang dan menang lawan ketidakadilan.” Malam itu, obrolan kami mengalir begitu saja, dari topik hukum sampai mimpi-mimpi pribadi. Ada rasa nyaman yang tumbuh, seolah kami sudah saling mengenal jauh lebih lama dari yang sebenarnya.Anindya menatapku dengan lembut. “Kita harus sering ngobrol kayak gini, Ari. Gue yakin, elu punya banyak hal hebat yang bisa dibagi ke dunia.”Aku mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang berbeda mulai mengisi ruang di dalam hatiku. Malam itu, di kosan kecil itu, sebuah persahabatan baru mulai tumbuh — yang mungkin kelak akan menjadi lebih dari sekadar teman.Malam itu, sebelum Anindya pulang, aku mengajaknya ke warteg langgananku yang sederhana tapi punya rasa yang bikin kangen. Aku ingin gantian mentraktir dia, sebagai tanda terima kasih atas perhatiannya selama ini.“Kita makan di warteg dekat sini aja, Anin. Tempat gue sering makan, makanan di sana enak dan harganya pas di kantong,” kataku sambil tersenyum.Anindya mengangguk, matanya berbinar. “Oke, Ari. Gue penasaran pengen coba warteg favorit elu.”Di warteg itu, suasana sangat berbeda dari restoran mahal yang kemarin kami datangi. Lampu redup, suara piring dan gelas bersautan, serta aroma masakan rumahan yang menghangatkan hati. Aku memesan beberapa lauk sederhana — ayam goreng, tumis sayur, dan tempe goreng.Anindya tampak senang mencoba setiap suapan dengan antusias, sesekali mengangguk tanda puas. “Enak banget, Ari. Gak nyangka warteg juga bisa jadi tempat spesial.”Aku tersenyum lebar. “Kadang, yang sederhana justru yang paling berarti, Anin.”Malam itu, sambil menikmati hidangan sederhana, kami berbagi cerita dan tawa. Aku merasa, kehadiran Anindya membawa warna baru dalam hidupku — bukan hanya soal perjuangan hukum, tapi juga tentang arti persahabatan dan perhatian yang tulus.Tiba-tiba, suasana hangat di warteg itu pecah oleh suara pengamen yang masuk sambil membawa gitar tua. Dia mulai bernyanyi dengan nada lirih namun penuh perasaan, lagu-lagu jalanan yang sudah akrab di telinga para pengunjung.Aku merogoh saku dan memberikan pengamen itu uang lima ribu rupiah, sambil tersenyum menghargai perjuangannya. Setelah itu, aku iseng meminjam gitarnya. “Boleh gue coba?” tanyaku dengan suara pelan. Pengamen itu mengangguk ramah, menyerahkan gitarnya padaku. Aku mulai memetik senar dengan hati-hati, lalu mulai menyanyikan lagu yang kubuat sendiri: Sang Pengacara Rakyat.Suara aku mungkin belum sempurna, tapi setiap lirik mengalir dari hati — tentang perjuangan membela yang lemah, tentang keadilan yang harus diraih bukan hanya di pengadilan tapi juga di jalanan, dan tentang mimpi sederhana seorang pengacara yang ingin mengubah dunia.Orang-orang di warteg itu berhenti sejenak, mendengarkan dengan saksama. Anindya menatapku dengan mata penuh kekaguman, dan aku merasa, saat itu bukan hanya aku yang bernyanyi, tapi juga harapan yang kami bagi bersama.Ketika lagu selesai, tepuk tangan kecil mengalir dari para pengunjung. Aku mengembalikan gitar pada pengamen dan tersenyum pada Anindya, merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh—sebuah perjalanan baru yang lebih dari sekadar hukum dan pengadilan.Dalam perjalanan pulang menuju kosan Ari, suasana di dalam mobil terasa hangat namun penuh keheningan yang nyaman. Anindya memecah sunyi dengan suara lembut, “Ari, aku penasaran... kamu punya pacar nggak?”Aku mengalihkan pandangan sejenak dari jalanan yang mulai remang oleh lampu kota. Hati terasa sedikit berdebar, tapi aku mencoba tetap tenang. “Belum, Anin,” jawabku pelan, memanggilnya dengan nama kecil itu.Dia tersenyum, sedikit menggoda, “Kenapa belum? Apa Ari terlalu sibuk jadi ‘pengacara rakyat’ sampai lupa urusan hati?”Aku tertawa kecil, “Mungkin benar juga. Tapi aku percaya, kalau cinta itu datang, dia bakal ngerti perjuangan aku.”Anindya menatapku dengan mata penuh arti, seolah menyimpan rahasia yang ingin segera dia bagi. “Kalau begitu, semoga cinta itu cepat datang, ya. Karena aku yakin, Ari pantas mendapatkan yang terbaik.”Perbincangan itu mengalir ringan, tapi di balik kata-kata sederhana, terasa sebuah benih yang mulai tumbuh—benih yang mungkin kelak akan mewarnai kisah hidup kami lebih dari sekadar perkara dan pengadilan.Setelah mengantar Anindya sampai depan pintu kosan, aku melihat dia melambaikan tangan dengan senyum hangat sebelum masuk ke dalam mobil mewahnya dan pergi meninggalkan aku yang berdiri terpaku. Kamar kosanku yang sederhana terasa begitu sunyi begitu pintu tertutup rapat. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke arah dinding, pikiran mulai melayang.Entah kenapa, pertemuan sore ini dengan Anindya meninggalkan jejak yang berbeda di hatiku. Bukan hanya soal perjuangan atau kasus yang aku tangani, tapi juga tentang sesuatu yang jauh lebih pribadi—tentang cinta, harapan, dan mungkin sebuah awal yang baru.Aku menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak, membiarkan lamunan itu mengalir, membayangkan masa depan yang mungkin belum pernah aku bayangkan sebelumnya.Dalam kesendirian itu, aku menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya soal menjadi pengacara yang tangguh, tapi juga tentang membuka ruang di hati untuk sesuatu yang selama ini aku simpan rapat.Pagi itu suasana Pengadilan Negeri Jakarta Timur terasa lebih ramai dari biasanya. Deretan wartawan berseliweran, kamera dan mikrofon mereka fokus mengarah ke ruang sidang utama. Ada seorang artis muda yang sedang menghadapi perkara hukum—usianya seumuran dengan Anindya.Artis itu sudah didampingi pengacara, tapi dari cara dia beracara di persidangan, aku melihat pembelaannya kurang maksimal. Ada kegelisahan yang tersirat dalam gerak-gerik sang pengacara, seolah belum sepenuhnya menguasai kasus atau kurang memahami betul latar belakang kliennya. Aku duduk di bangku penonton, mengamati dengan seksama setiap detil jalannya sidang, merasakan bahwa kesempatan itu bisa saja menjadi pelajaran berharga bagiku.Di tengah hiruk-pikuk itu, pikiranku melayang pada posbakum dan kasus rakyat kecil yang selama ini aku tangani—yang selalu penuh perjuangan dan tanpa sorotan media. Aku bertanya dalam hati, apakah keadilan bagi mereka juga akan seberat itu untuk diperjuangkan?Sidang itu menjadi cermin sekaligus tantangan baru bagiku, untuk terus belajar dan memperkuat diri demi bisa memberikan pembelaan yang lebih baik di masa depan.Setelah sidang artis itu selesai, wartawan segera mengepungnya untuk wawancara. Sorotan kamera dan tanya jawab bergulir cepat, namun pengacara artis itu terlihat sibuk menerima telepon, wajahnya berkutat dengan layar ponsel, seolah kurang fokus memperhatikan kliennya sendiri.Di sisi lain, aku sudah bersiap untuk sidangku sendiri. Ketika tiba giliran aku berbicara, aku mengerahkan suara sekeras mungkin, dengan keyakinan yang mengalir dari setiap kata yang kuucapkan di ruang sidang. Suaraku memenuhi ruang, tegas dan jelas, berusaha menyampaikan fakta serta pembelaanku secara optimal. Tak kusangka, artis yang tadi diwawancara tadi mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia segera mengakhiri wawancaranya, mengucapkan sesuatu pada wartawan, lalu bergegas masuk ke ruang sidang tempat aku berada. Ia duduk dengan serius menonton aku beracara, memperhatikan setiap gerak dan kata yang kuucapkan.Saat itu aku sadar, walau pengacaranya kurang fokus, dia mencari sesuatu—mungkin sebuah pembelaan yang tulus dan kuat. Matanya tetap tertuju padaku, seakan menilai apakah aku bisa menjadi sosok yang berbeda dalam dunia hukum yang penuh liku ini.Setelah sidang usai, artis itu berjalan mendekatiku dengan senyum ramah. “Hei, aku suka cara kamu bicara tadi di ruang sidang. Namaku Naya,” katanya sambil mengulurkan tangan.Aku mengangkat tangan, berjabat erat. “Ari,” jawabku singkat tapi sopan.Naya lalu mengajak duduk di ruang tunggu yang sepi. “Aku penasaran, kamu baru pertama kali membela klien besar?” tanyanya, suara pelan tapi penuh arti.Aku mengangguk. “Iya, ini pengalaman yang cukup menegangkan buat aku.”Dia menghela napas, lalu mulai curhat, “Masalah yang aku hadapi ini berat, Ari. Aku merasa pengacaraku sekarang nggak benar-benar peduli. Dia sibuk dengan urusan lain, aku seperti cuma proyek buat dia.”Aku mendengarkan dengan serius, merasa bahwa ini bukan cuma soal hukum, tapi juga soal kepercayaan dan perjuangan.“Kalau kamu butuh bantuan, atau sekadar teman bicara, aku di sini,” kataku mantap.Naya tersenyum lega, “Terima kasih, Ari. Aku senang bisa kenal kamu.”Naya mengajakku ke Plaza Arion setelah hari yang melelahkan di pengadilan. Kami masuk ke sebuah kedai kopi dengan suasana hangat dan nyaman, tempat yang pas untuk melepaskan penat.Aku duduk di seberangnya, sambil menyeruput kopi hitam pahit favoritku. Naya mulai bercerita, kata-katanya mengalir begitu deras, seperti menumpahkan semua beban yang selama ini ia pendam. Aku hanya menjadi pendengar dalam diam, menyimak setiap keluh kesahnya tentang tekanan dari media, tuntutan karier, hingga rasa kesepian yang tak terlihat oleh banyak orang.Sesekali aku mengangguk, memberi perhatian tanpa harus menginterupsi. Meskipun aku tak banyak bicara, hadirku cukup membuatnya merasa lega, seperti ada seseorang yang benar-benar peduli.Di situ, aku sadar bahwa kadang mendengarkan adalah bentuk keadilan yang paling sederhana, tapi paling berarti bagi mereka yang tengah berjuang.Hari itu, Anindya datang ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur dengan penuh semangat. Ia mencari Ari ke berbagai sudut pengadilan, berharap bisa bertemu langsung dengannya. Anindya berkeliling ke ruang sidang, bagian administrasi, dan akhirnya menuju Posbakum, tempat Ari biasanya membantu masyarakat yang membutuhkan pendampingan hukum.Namun, saat Anindya tiba di Posbakum, Ari sedang tidak ada. Mungkin ia sedang menangani klien di ruang sidang atau sedang keluar mengurus sesuatu yang penting. Anindya menunggu sebentar dengan harap, tapi waktu terus berjalan tanpa tanda-tanda Ari muncul.Sedikit kecewa, Anindya pun akhirnya meninggalkan Posbakum. Meski belum berjumpa, keyakinannya tetap kuat bahwa suatu saat ia akan bertemu kembali dengan Ari, pengacara muda yang tulus dan berdedikasi.Anindya, sambil menunggu Ari yang tak kunjung datang di Posbakum, memutuskan untuk mencari informasi lain yang bisa membantu tesisnya tentang akses keadilan bagi masyarakat kecil. Ia bertemu dengan beberapa rekan Ari di Posbakum, yang dengan ramah menyambut dan bersedia diwawancarai.“Saya sedang mengerjakan tesis tentang peran advokat muda dalam membantu masyarakat miskin,” ujar Anindya sambil mencatat dengan penuh semangat.Salah satu rekan Ari yang cukup dekat, mengenakan jas hitam dan tampak sudah beberapa kali bekerja bersama Ari, menyela dengan senyum, “Kalau menurut gue, yang paling tepat buat wawancara itu memang Ari. Dia bukan cuma paham soal hukum, tapi juga benar-benar turun langsung ke masyarakat kecil, berjuang buat mereka tanpa pamrih. Dia selalu punya cerita yang kuat soal kasus-kasus yang kadang nggak dilirik orang lain.”Teman Ari itu melanjutkan, “Kalau kamu mau dapat perspektif yang lebih dalam dan otentik soal bagaimana advokat muda menghadapi tantangan hukum di lapangan, Ari orangnya. Dia juga punya energi yang beda, selalu konsisten walau kadang harus kerja keras sampai malam.” Kemudian teman itu menambahkan, “Kebetulan tadi aku lihat Ari pergi ke Plaza Arion bareng artis yang baru saja sidang, jadi kalau kamu mau ketemu, mungkin bisa coba ke sana dulu.”Anindya mengangguk, mencatat informasi itu dengan seksama. “Terima kasih banyak, ini sangat membantu. Aku akan coba ke sana.”Dengan informasi itu, Anindya semakin yakin bahwa pertemuan dengan Ari bukan hanya kebetulan, melainkan awal dari sesuatu yang penting, baik untuk tesisnya maupun perjalanan hidupnya sendiri.Langit sore Jakarta menggelap perlahan, awan tipis menggantung di atas gedung-gedung tua di sekitar Rawamangun. Anindya akhirnya tiba di Plaza Arion setelah mengikuti petunjuk dari teman Ari di Posbakum. Ia sempat ragu—mungkin Ari sudah tidak di sana, mungkin ia akan tampak terlalu mencarinya. Tapi langkahnya terus membawanya maju, digerakkan oleh dorongan yang tidak sepenuhnya bisa ia jelaskan.Begitu masuk ke salah satu kedai kopi di lantai dua, matanya langsung menangkap sosok yang ia cari. Ari. Duduk di sudut ruangan yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Tapi kali ini, dia tidak sendiri.Di hadapan Ari duduk seorang wanita muda berpenampilan glamor. Wajahnya familiar. Anindya mengenalinya—dia artis yang baru saja menjalani sidang di pengadilan tadi pagi. Naya. Wajah yang kerap muncul di layar kaca, kini tersenyum dan berbicara begitu lepas dengan Ari. Tangan mereka tidak bersentuhan, namun ada jarak yang sudah cukup dekat untuk membuat dada Anindya berdesir pelan—bukan karena kagum, tapi karena getir yang samar.Anindya berdiri beberapa meter dari meja mereka, berpura-pura menatap menu yang terpampang di atas kasir, namun matanya tak lepas dari dua sosok itu. Ia melihat cara Naya tertawa, mencondongkan tubuhnya, dan menatap Ari dengan ekspresi hangat yang terlalu familiar. Anindya tahu ekspresi itu. Ia pernah melakukannya sendiri, meski mungkin belum seberani itu.Ari tampak tenang, masih dengan gaya khasnya—menyimak, mengangguk, sesekali menyela dengan kalimat pendek. Tapi ada sorot matanya yang membuat Anindya ingin segera tahu apa yang mereka bicarakan. Bukan karena curiga. Tapi karena... peduli.Ia hampir berbalik dan pergi ketika Ari akhirnya melihat ke arah pintu. Mata mereka bertemu. Wajah Ari berubah seketika. Terkejut. Senang. Bingung. Ia berdiri refleks, menyapa.“Anindya?” Naya menoleh. Tatapannya cepat mengukur siapa perempuan ini.Anindya mengulas senyum kecil. Ia melangkah pelan, menenangkan getaran di dadanya yang belum mau surut.“Hai, Ari. Aku sempat ke Posbakum, kamu nggak ada. Temanmu bilang kamu ke sini.”Ari mengangguk, lalu dengan gerakan sopan mempersilakan duduk. “Ini… Naya. Kami tadi sempat ngobrol soal perkara yang sedang dia hadapi.”Naya tersenyum ramah, “Kamu teman Ari juga ya?”Anindya hanya mengangguk sambil tersenyum. Di matanya, tak ada kemarahan. Tapi di hatinya, ada rasa yang ia simpan rapat—cemburu, diam-diam tumbuh.“Aku cuma mau ngobrol sebentar sama Ari soal bahan tesisku,” kata Anindya pelan, menatap Ari seolah ingin memastikan bahwa alasan kedatangannya murni profesional. Tapi dalam hatinya, ia tahu—itu bukan satu-satunya alasan.Setelah beberapa menit suasana terasa agak canggung, Naya meraih tas kecilnya dan berdiri dari kursinya. Senyum masih terpasang di wajahnya, meski ada sedikit jeda yang tak bisa ditutupi.“Aku pamit dulu ya, Ari,” ucapnya lembut sambil melirik sekilas ke arah Anindya, lalu kembali ke Ari. “Terima kasih untuk obrolannya.”Ari berdiri sopan, membalas dengan anggukan dan senyum tipis. “Hati-hati di jalan, Naya.”Naya hanya melambaikan tangan sebelum melangkah pergi, sepatu hak tingginya berdetak pelan meninggalkan lantai kedai kopi yang mulai sepi.Setelah kepergian Naya, keheningan sempat menggantung di antara Ari dan Anindya. Tidak ada yang langsung bicara. Hanya suara mesin espresso dan denting sendok dari meja lain yang memecah diam.Ari akhirnya membuka suara, “Kamu mau langsung pulang?”Anindya menggeleng pelan, lalu menatap Ari, kali ini tanpa keraguan. “Kalau kamu nggak keberatan, aku ikut kamu ke kosan. Ada beberapa pertanyaan tambahan buat tesisku… dan mungkin, aku cuma ingin ngobrol.”Ari tersenyum, “Ayo.” Mereka meninggalkan Plaza Arion bersama, berjalan beriringan ke parkiran mobil Anindya. Tidak banyak kata yang diucapkan sepanjang perjalanan, tapi kehangatan terasa mulai merambat, seperti lampu jalan yang satu per satu menyala saat malam turun.Di dalam mobil, Anindya menyetel musik pelan. Ari duduk di sampingnya, kali ini tanpa rasa canggung seperti dulu. Rasanya seperti ada ruang baru yang sedang dibangun—perlahan, namun lebih dalam.Sesampainya di depan kosan, Ari membuka pagar kecil dan menoleh. “Masuk dulu?”Anindya mengangguk, menepikan mobil, dan turun.Di dalam kosan Ari, ruangan sederhana itu menyambut mereka dengan kehangatan yang berbeda. Tak ada kemewahan, hanya kenyamanan yang jujur. Anindya duduk di kursi kayu dekat jendela, sementara Ari menuangkan dua gelas air putih.“Kosanku mungkin nggak mewah,” kata Ari sambil tersenyum kecil, “tapi dari sini, aku sering dengerin suara kehidupan yang sebenarnya.”Anindya memandangnya dalam diam, lalu tersenyum. “Justru itu yang bikin aku betah ngobrol sama kamu, Ari. Kamu nggak dibuat-buat.”Ari hanya membalas dengan anggukan. Di dalam dadanya, ada sesuatu yang mulai tumbuh. Dan malam itu, obrolan mereka pun kembali mengalir—tentang hukum, tentang hidup, dan diam-diam... tentang rasa.Mobil melaju perlahan keluar dari area Plaza Arion, membelah keramaian sore yang mulai padat. Lampu kota mulai menyala satu per satu, memberi suasana temaram yang lembut di balik kaca jendela mobil.Anindya menyetir dengan tenang, namun dari ekor matanya sesekali ia melirik ke arah Ari yang duduk di samping. Wajah Ari tampak seperti biasa—tenang, sedikit lelah, tapi tidak menunjukkan gelagat bersalah ataupun menyembunyikan sesuatu. Justru sikap itu yang membuat Anindya tak bisa menahan pertanyaannya lebih lama.“Tadi... perempuan yang sama kamu di kafe, artis yang dari sidang itu...” Suaranya menggantung. “Kalian dekat, ya?”Ari menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Baru kenal tadi siang.” Anindya mengangguk pelan, lalu menatap ke depan lagi. Tapi rasa penasaran tak kunjung surut. Ia menghela napas, lalu memberanikan diri bicara lagi, suaranya sedikit lebih pelan, seolah tidak ingin terlalu kentara.“Kamu kayaknya gampang bikin perempuan nyaman ya, Ari.”Ari terkekeh kecil, tanpa nada menggoda. Justru lebih seperti geli pada dirinya sendiri. “Kamu salah besar kalau mikir gitu.”“Kenapa?”Ari menyandarkan punggung ke jok, menatap langit senja yang mulai gelap di luar jendela. “Aku nggak pernah pacaran, Din.”Anindya menoleh cepat. “Serius?”Ari mengangguk ringan. “Iya. Mungkin karena aku terlalu sibuk ngurus hidup orang lain... urusan hukum rakyat kecil, sidang-sidang, posbakum, klien-klien yang nggak bisa bayar. Jadi kalau soal perasaan, aku... bisa dibilang kurang peka.”Anindya terdiam. Antara tak percaya dan terenyuh. “Tapi kamu perhatian banget ke orang-orang.”Ari menoleh sebentar, kali ini menatap mata Anindya. “Perhatian itu satu hal. Tapi peka soal perasaan... itu level lain, dan aku jujur aja, belum sampai sana.”Anindya hanya tersenyum. Ada rasa hangat yang aneh mengalir di dadanya. Cemburunya belum sepenuhnya hilang, tapi penjelasan Ari justru membuatnya lebih ingin mengenal pria itu lebih dalam lagi—bukan karena pengalaman asmaranya, tapi karena ketulusannya yang langka.Mobil berhenti di sebuah lampu merah. Anindya melirik jam tangan mewah di pergelangan kirinya, lalu dengan santai berkata, “Ari, gimana kalau kita makan malam di tempat yang kemarin? Restoran Perancis itu… aku lagi pengin pasta mereka.”Ari yang duduk di sebelahnya tersenyum kecil. “Makasih, Din. Tapi kali ini, boleh aku yang tentuin tempatnya?”Anindya mengangkat alis, penasaran. “Kamu mau ngajak aku ke mana?”Ari menoleh dan mengangguk ke sisi jalan, ke sebuah warung sederhana di bawah pohon besar, dengan lampu kekuningan dan bangku panjang dari kayu. Ada beberapa pekerja masih makan di sana, tertawa santai sambil menyeruput kopi dan menyendok nasi goreng dari piring seng. “Ke sana. Warung langganan abang-abang ojol sama petugas keamanan pengadilan. Masakannya enak, murah, dan... hidup banget suasananya.”Anindya tertawa pelan, sedikit terkejut tapi tidak menolak. “Kamu benar-benar beda, ya.”Ari hanya mengangkat bahu. “Makan itu soal rasa dan cerita. Di tempat kayak gitu, kamu bisa dengar suara hidup yang sebenarnya.”Anindya akhirnya meminggirkan mobilnya. Mereka turun dan berjalan kaki ke warung itu. Di sepanjang langkah, Anindya menyadari satu hal—bersama Ari, hidup terasa lebih nyata. Bukan soal mewah atau tidak, tapi tentang bisa merasa terhubung dengan dunia yang sering luput dari pandangan orang-orang sekelasnya.Dan saat sepiring nasi goreng telur dan dua gelas teh hangat disajikan di meja kayu sederhana itu, Anindya tersenyum lebar.“Kayaknya, ini makan malam terbaikku minggu ini.”Ari tersenyum sambil mengaduk saus sambal di piringnya. “Karena kali ini, bukan restorannya yang mahal... tapi ceritanya.”Di tengah suasana warung yang ramai tapi akrab, suara sendok beradu dengan piring seng terdengar seperti musik latar khas yang hanya bisa ditemui di tempat-tempat semacam ini. Lampu kuning menggantung seadanya, memberi cahaya lembut di wajah Anindya yang tampak tak canggung lagi menyantap nasi goreng sederhana di depannya.Ari, seperti biasa, makan perlahan. Menikmati tiap suap seperti menghormati kerja keras tukang warung dan cerita hidup yang dibawanya.Anindya melirik Ari. “Ari…”“Hm?” Ari menoleh sambil tetap mengunyah.“Boleh nanya sesuatu yang bukan tentang hukum?”Ari mengangguk pelan, menaruh sendoknya. “Tanya aja.”Anindya menyandarkan punggungnya di kursi, memutar gelas teh hangatnya perlahan. “Selama ini… kamu pernah jatuh cinta?”Ari sedikit terdiam. Pertanyaan itu seperti datang dari dunia yang asing. Dia mengalihkan pandangan ke luar warung, melihat orang-orang yang lewat sambil membawa kantong plastik belanjaan, lalu kembali menatap Anindya. “Aku…” Ari menarik napas. “Kayaknya nggak pernah mikirin soal itu secara serius. Dulu terlalu sibuk bantu ibu, lalu ngejar kuliah sambil kerja. Setelah itu ya langsung masuk dunia hukum. Cinta, pacaran, perasaan… semacam jadi hal yang nggak sempat dipelajari.”Anindya menatapnya dalam. “Berarti belum pernah pacaran?”Ari tersenyum kecil, mengangguk. “Belum. Nggak tahu caranya juga. Mungkin terlalu peka soal ketidakadilan… tapi malah kurang peka soal perempuan.”Anindya tertawa pelan, tapi sorot matanya lembut, seolah menyimpan rasa yang perlahan tumbuh. “Berarti… aku harus ngomong pakai pasal biar kamu paham ya?”Ari terkekeh, lalu mengangkat gelas tehnya. “Kalau begitu, kita bahas aja pasal tentang hati yang diam-diam berjuang.”Tawa mereka menyatu dengan suara warung yang hidup. Dan malam itu, di warung sederhana di pinggir jalan, dua dunia yang sangat berbeda mulai menemukan titik pertemuan—melalui obrolan hangat, nasi goreng sederhana, dan satu pertanyaan tentang cinta yang tak lagi asing.Belum sempat Ari menjawab candaan Anindya, tiba-tiba dari kejauhan terdengar petikan gitar yang sederhana. Seorang pengamen muda dengan wajah lusuh dan tas ransel robek menghampiri meja mereka sambil menyapa sopan.“Permisi, boleh saya nyanyi satu lagu, Kak?”Sebelum Ari sempat bereaksi, Anindya lebih dulu merogoh dompetnya dan tanpa banyak bicara memberikan selembar uang seratus ribu. Si pengamen terbelalak kaget, tapi Anindya hanya tersenyum.“Sebentar,” katanya pelan. “Boleh saya pinjam gitarnya sebentar?”Pengamen itu, masih terkejut, menyerahkan gitarnya tanpa ragu. Anindya lalu menyerahkannya ke Ari.“Sekarang giliran kamu yang nyanyi,” ujarnya sambil menatap Ari dalam-dalam. “Nyanyiin lagu tentang cinta. Aku pengin tahu, dari seseorang yang katanya belum pernah pacaran… kayak apa cinta di matamu.”Ari tampak ragu, tangannya menyentuh senar gitar yang sudah tak lagi mulus. Beberapa senar bahkan sedikit karatan. Tapi jemarinya tahu arah. Ia sudah terlalu lama bersahabat dengan musik di sela-sela diam dan beban pikirannya. “Ini dadakan banget…” gumam Ari, tapi senyum tipis muncul di bibirnya. “Tapi baiklah.”Ari mengatur posisi duduknya. Suasana warung yang tadinya bising mulai melambat. Beberapa pengunjung melirik penasaran. Anindya bersandar santai, matanya tak lepas dari Ari.Ari mulai memetik, perlahan… nada-nada pelan menyatu dengan malam. Lalu ia mulai bernyanyi—lagu yang belum pernah ia perdengarkan pada siapa pun. Lagu tentang cinta yang tak bersuara, tentang perhatian yang tak dituntut balas, dan tentang perasaan yang hadir diam-diam, tanpa pernah diminta untuk dimengerti 🎵 "Bukan kata-kata manis yang kuberi Tapi setia yang tak pernah kau sadari Tak kuucap cinta karena tak pandai Namun selalu ada, saat dunia tak berpihak padamu..." 🎵 Anindya mendengarkan tanpa berkedip. Sorot matanya berubah. Ada rasa hangat yang mengendap di dadanya. Lagu itu sederhana, tapi jujur. Dan justru karena kejujurannya, setiap kata terasa lebih dalam.Saat lagu selesai, pengunjung warung bertepuk tangan kecil. Anindya hanya diam, menatap Ari dengan cara yang berbeda.“Jadi begini rasanya jatuh cinta… lewat lagu,” ucapnya pelan.Ari menatapnya heran. “Apa?”Anindya tersenyum. “Nggak, cuma ngomong sama diri sendiri.”Dan malam pun melanjutkan perjalanannya. Di pinggir jalan Jakarta yang ramai, dua hati yang belum saling menyadari perlahan mulai menemukan frekuensi yang sama—lewat nada, senyap, dan secangkir teh hangat.Setelah kenyang dan lagu usai, suasana di antara mereka menjadi lebih ringan. Anindya masih tersenyum-senyum kecil, memandangi Ari yang kini tampak lebih santai.“Aku ada ide,” kata Anindya sambil memainkan sedotan es jeruknya. “Mau nggak ikut aku ke Monas?”Ari mengangkat alis, heran. “Monas? Malam-malam begini?”“Kenapa? Emangnya kamu belum pernah ke sana?” Ari menggeleng pelan sambil terkekeh. “Selama saya di Jakarta, saya malah belum pernah ke Monas. Kebanyakan ke pengadilan.”Anindya tertawa, geli. “Astaga, kamu tuh tinggal di kota ini kayak tamu yang cuma mampir di ruang tunggu. Yuk, sekarang kita ke sana.”“Yakin Monas masih buka?” Ari mencoba mencari celah.“Buka nggak buka, kita tetap bisa lihat dari luar. Jalan kaki juga bisa kalau kamu nggak takut capek.”Ari berdiri, meraih jaket lusuhnya. “Kalau kamu kuat jalan sama pengacara rakyat, ya ayo.”Anindya menyambar tas kecilnya. “Siap, Tuan Pengacara. Tapi jangan protes ya kalau aku godain sepanjang jalan.”Ari menatap Anindya sebentar, menahan tawa. “Berarti kita sama-sama harus siap-siap… saling ngeledek.”Dan mereka pun berjalan berdampingan menyusuri trotoar menuju Monas. Lampu-lampu jalan menyala temaram, suara kendaraan melintas membentuk latar kota yang hidup. Di tengah udara malam Jakarta yang lembap, dua orang yang berbeda dunia, kini tertawa bersama.Mereka saling melempar godaan kecil—tentang gaya jalan Ari yang katanya terlalu kaku, tentang cara Anindya yang seperti turis baru datang ke Jakarta, dan tentang dunia hukum yang perlahan menjadi latar cerita mereka berdua.Tak ada yang luar biasa dari perjalanan itu—kecuali perasaan yang mulai tumbuh diam-diam di antara langkah kaki yang menyamakan arah.Malam semakin larut. Lampu-lampu Monas menyala megah, menyinari langit kota yang mulai tenang dari hiruk-pikuk siang. Di salah satu bangku beton di sekitar taman Monas, Ari dan Anindya duduk berdampingan. Di tangan mereka masing-masing, segenggam kacang rebus hangat yang baru saja dibeli dari pedagang keliling.“Aku baru sadar,” ujar Anindya sambil mengupas kulit kacang, “kita belum pernah ngobrol santai kayak gini sebelumnya.”Ari tersenyum kecil, lalu menoleh pelan. “Iya, biasanya kita ngobrolnya di antara berkas perkara atau… waktu kamu nanya soal tesis.”Anindya tertawa kecil. “Atau waktu kamu traktir aku di warteg.” Ari mengangguk sambil terkekeh. Malam itu, ada sesuatu yang lain dalam tatapan mereka—lebih lembut, lebih terbuka.“Aku boleh nanya sesuatu?” tanya Ari, kali ini dengan nada lebih serius.Anindya menoleh, menatap Ari. “Tentu, tanya aja.”“Kamu dari dulu keliatan beda. Cara kamu bicara, cara kamu berpikir… kamu bukan dari latar belakang biasa, ya?”Anindya terdiam sejenak. Tangan yang memegang kacang berhenti bergerak. Ia menatap Monas yang menjulang, seolah mencari kekuatan dari cahaya di puncaknya.“Aku nggak pernah cerita ini ke siapa-siapa di pengadilan,” katanya perlahan. “Tapi kamu beda, Ari.”Ari hanya diam, memberi ruang.“Aku anak menteri,” lanjut Anindya. “Papa sekarang masih menjabat. Makanya aku kadang merasa serba tanggung. Di satu sisi, aku hidup dengan segala kemudahan. Tapi di sisi lain… aku selalu merasa jauh dari realita. Makanya aku ambil topik tesis soal akses hukum untuk rakyat kecil—aku ingin lihat dan paham, bukan cuma dari atas menara gading.”Ari terdiam, menatap Anindya dalam-dalam. Tak ada ekspresi terkejut di wajahnya, hanya kekaguman yang pelan-pelan tumbuh.“Jadi itu alasan kamu mendekat ke Posbakum?” Ari bertanya pelan.Anindya mengangguk. “Dan itu juga alasan kenapa aku… ingin kenal kamu lebih jauh.”Ari menunduk sedikit, tersenyum tipis. “Jujur aja, aku nggak nyangka kamu anak menteri. Tapi aku senang kamu nggak sembunyi di balik nama besar keluargamu.”Anindya menatap Ari. “Aku nggak pengin dikenal karena siapa ayahku, tapi karena apa yang aku lakukan. Sama kayak kamu, kan? Kamu juga dikenal bukan karena siapa keluargamu, tapi karena apa yang kamu perjuangkan.”Ari memandangi kacang rebus di tangannya, lalu tertawa kecil. “Lucu juga ya, anak menteri dan pengacara rakyat… makan kacang bareng di Monas.”Anindya ikut tertawa. “Mungkin itu yang bikin kita nyambung—kita sama-sama nggak suka pura-pura.” Di bawah cahaya Monas yang megah, mereka berdua tenggelam dalam percakapan panjang. Tak ada yang mereka rencanakan malam itu. Tapi semuanya terasa tepat. Hangat. Dan jujur.Udara malam Jakarta masih terasa hangat saat mereka berdiri di pelataran parkir dekat Monas. Lampu-lampu taman berpendar lembut, menambah suasana tenang setelah obrolan yang penuh keterbukaan. Anindya berjalan lebih dulu menuju mobilnya, lalu berhenti dan menoleh ke belakang, melemparkan sesuatu ke arah Ari.Kunci mobil.Ari refleks menangkapnya. “Ini apa?”Anindya menyeringai. “Kamu yang nyetir.”Ari memandangi kunci di tangannya, lalu mengangkat wajah. “Aku… belum pernah nyetir mobil.”Anindya mengangkat alisnya, tampak terkejut, lalu tertawa renyah. “Serius? Seumur hidup belum pernah?”“Serius,” jawab Ari, masih memandangi kunci itu seolah benda asing.Anindya mendekat, senyumnya mengembang. “Kalau gitu, malam ini kita belajar nyetir.”Ari menggeleng pelan, separuh menolak, separuh geli sendiri. “Aku nggak yakin. Bisa-bisa kita nyasar sampai Bekasi.”“Yakin aja dulu,” balas Anindya ringan. “Tenang, aku duduk di sebelah. Mobil ini otomatis. Gampang banget. Ayo, kita mulai dari keliling Monas dulu. Nggak usah buru-buru.”Ari masih tampak ragu, namun tatapan penuh semangat dari Anindya terlalu sulit untuk ditolak. Ia berjalan pelan ke pintu sopir, membukanya, lalu duduk di balik kemudi. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam setir.Anindya masuk dari sisi penumpang, memasang sabuk pengaman sambil tetap tersenyum. “Lurus aja dulu. Aku bakal kasih tahu pelan-pelan.”Mesin dinyalakan. Mobil mulai melaju perlahan.Ari tampak tegang, matanya fokus menatap jalan kosong di depan. “Kalau aku tabrak pohon gimana?” “Ya jangan ditabrak dong,” jawab Anindya sambil tertawa. “Inget, kamu pengacara. Kalau kamu nabrak pohon, pohonnya nanti yang minta keadilan.”Ari tak bisa menahan tawa. Tegangnya mulai mencair.Malam itu, di jalanan lengang sekitar Monas, mereka bukan sekadar belajar menyetir mobil. Mereka sedang belajar mempercayai satu sama lain. Belajar membuka pintu-pintu yang selama ini tertutup rapat—dengan cerita, tawa, dan keberanian untuk mencoba hal baru bersama.Dan bagi Ari, itu bukan cuma pelajaran menginjak gas dan rem. Tapi pelajaran hidup. Dari seorang wanita yang datang tak terduga, namun mulai mengubah dunianya, satu tawa demi satu tawa.Saat mobil mulai bergerak perlahan, tangan Ari menggenggam setir dengan canggung. Keringat dingin membasahi telapak tangannya, bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lain—sesuatu yang mulai terasa asing di dadanya.Anindya duduk di sebelah, tubuhnya sedikit condong ke depan. Tangan kanannya menunjuk ke beberapa tombol di dashboard.“Ini lampu. Ini wiper. Kalau ini buat mundur, ya tinggal geser ke sini,” ucapnya pelan, suaranya tenang, nyaris seperti bisikan.Wajah mereka dekat. Sangat dekat.Aroma parfum Anindya yang lembut bercampur dengan udara malam yang hangat, membuat jantung Ari berdetak lebih cepat dari biasanya. Ketika tangan Anindya tak sengaja menyentuh pergelangan tangannya saat mengajari posisi tuas, Ari menahan napas sejenak.Ada sesuatu yang berbeda.Selama ini, Ari selalu bisa menjaga jarak. Dengan siapa pun. Termasuk perempuan. Tapi malam ini, sesuatu di dalam dirinya perlahan runtuh. Entah karena ketulusan Anindya, entah karena sorot matanya yang hangat saat memberi arahan, atau mungkin karena tawa kecilnya yang mengalir tanpa dibuat-buat.Ari membelokkan setir perlahan, berusaha tetap fokus. Tapi pikirannya melayang-layang, mencari pegangan dalam perasaan yang baru saja tumbuh dan belum sepenuhnya ia pahami.“Aku belum pernah seakrab ini sama perempuan,” gumam Ari tanpa sadar, nyaris seperti berbicara pada diri sendiri.Anindya melirik. “Kamu bilang apa?” Ari tersenyum gugup. “Nggak… aku cuma bilang… makasih.”Anindya menatapnya sebentar, lalu membalas dengan senyum yang lebih lembut dari biasanya. “Aku juga senang bisa ngajarin kamu sesuatu.”Mobil terus melaju pelan, berputar di sekitar area Monas yang sepi. Tapi dalam diri Ari, segalanya terasa mulai berputar lebih cepat.Sore tadi ia masih mengira hatinya tenang.Kini, semuanya mulai berubah.Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ari sadar—ia sedang jatuh cinta.Di perjalanan pulang menuju kosan, suasana di dalam mobil terasa hening, hanya suara mesin dan deru angin yang menembus jendela sedikit terbuka.Ari duduk di kursi pengemudi dengan tangan masih menggenggam setir, tapi pikirannya melayang jauh. Jantungnya berdetak cepat, namun bibirnya tetap tertutup rapat.Di balik ketenangan itu, ada gelombang rasa yang bergejolak — rasa gugup, bimbang, dan keinginan kuat untuk mengungkapkan sesuatu yang selama ini tersembunyi di dalam dada.“Aku mulai jatuh cinta,” gumam Ari dalam hati, nyaris tak percaya dengan kata-kata itu sendiri.Tapi kata-kata itu enggan keluar dari mulutnya.Bagaimana jika dia salah membaca perasaan? Bagaimana jika pengakuan itu malah merusak hubungan yang sudah mulai terjalin?Dia menoleh sekilas ke sebelah, melihat Anindya yang duduk santai dengan senyum kecil yang hangat, tanpa tahu betapa berat beban pikiran Ari saat itu.“Kenapa aku nggak berani bilang?” tanyanya dalam hati, merasa seolah ada tembok tak terlihat yang menghalangi bibirnya untuk bicara.Mobil melaju di jalanan yang sepi, lampu-lampu kota berkelip lembut seolah turut menyimpan rahasia kecil Ari.Diam-diam, dia berharap malam ini akan memberi keberanian, atau setidaknya waktu untuk memahami apa yang sebenarnya dia rasakan. Dan di balik segala keraguannya, satu hal pasti — hatinya mulai terpaut pada Anindya, lebih dari sekadar teman belajar nyetir atau rekan bercerita.Tapi untuk sekarang, rahasia itu tetap terkunci rapat, menunggu saat yang tepat untuk diungkapkan.Malam itu, setelah tiba di kosan, Ari menyalakan lampu kamar dan duduk termenung di pinggir ranjang. Bayangan wajah Anindya terus terngiang-ngiang, senyumnya, cara bicaranya yang hangat, bahkan tawa kecilnya yang ringan.“Aku harus bilang ke dia,” pikir Ari. Namun, suara keraguan dalam hatinya kembali bersuara, “Tapi bagaimana kalau dia nggak merasakan hal yang sama?”Keesokan harinya, pagi yang cerah menyambut. Ari berjalan menuju pengadilan dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya. Hatinya masih bergejolak, tapi ada semangat baru yang tumbuh.Di sela-sela sidang, Ari mencoba mempersiapkan kata-kata untuk mengungkapkan perasaannya. Meski sederhana, itu terasa seperti misi besar. Ketika waktu istirahat tiba, Ari melihat Anindya duduk di bangku taman dekat pengadilan, sibuk mencatat sesuatu di buku catatannya.Ari mendekat dengan napas sedikit terengah, bukan karena capek tapi gugup.“Hai, Anindya,” sapa Ari dengan suara yang lebih percaya diri dari malam sebelumnya.Anindya menoleh dan tersenyum, “Hai, Ari. Ada apa? Kamu terlihat beda hari ini.”Ari menghela napas, lalu mulai berkata pelan, “Aku… sebenarnya ingin bilang sesuatu kemarin, tapi aku nggak berani.”Anindya menatap penuh perhatian.Ari melanjutkan, “Aku merasa… aku mulai jatuh cinta padamu. Mungkin ini terlalu cepat, tapi aku nggak mau menyembunyikan perasaan ini lagi.”Anindya terdiam sesaat, lalu tersenyum hangat dan menggenggam tangan Ari, “Aku juga merasakan hal yang sama, Ari. Aku senang kamu berani bilang begitu.”Hati Ari meledak-ledak bahagia. Semua keraguan yang selama ini menghantui sirna sudah. Mereka duduk bersama di taman itu, merajut awal sebuah kisah yang baru, penuh harapan dan perjuangan. Tiba-tiba, dari arah jalan masuk, suara langkah kaki Tambunan terdengar riuh.“Hei, Ri!” sapa Tambunan dengan semangat saat mendekat.Aku langsung berdiri, “Tambun! Lagi apa di sini?”Dengan senyum nakal, dia melihat Anindya yang berdiri di sampingku. “Oh, ini pacar lu ya, Ri?” goda Tambunan sambil terkekeh.Aku buru-buru memperkenalkan, “Tambun, ini Anindya.”Anindya tersenyum sopan, “Senang bertemu dengan Pak Tambunan. Tambunan mengangguk, “Senang juga, Ndy.”Setelah itu, dia langsung memberikan kabar yang membuat hatiku berdebar, “By the way, ada kabar gembira, ujian advokat gelombang kedua bakal digelar. Kesempatan lu buat buktikan kemampuan, Ri.”Aku menatap Tambunan penuh semangat, “Terima kasih, Pak. Aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”Anindya menatapku penuh dukungan, dan seketika semangat itu terasa makin kuat di dalam diri.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Menapak Jalan Baru: Awal Perjuangan di Ibu Kota

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Hari itu, sebelum memulai perjalanan ke Jakarta, Ari melangkah mantap menuju kampusnya. Dengan perasaan campur aduk antara harap dan cemas, ia mengurus transkrip nilai dan ijazah sementara sebagai syarat administrasi wisuda yang akan segera tiba. Suasana kampus terasa hangat dan penuh kenangan—tempat di mana ia melewati perjuangan tanpa henti selama ini.Petugas administrasi kampus menyambut Ari dengan ramah, memproses dokumen-dokumen yang ia butuhkan. Sambil menunggu, Ari duduk di bangku taman kampus, memandang sekeliling yang familiar, mengingat setiap malam yang ia habiskan untuk menyelesaikan skripsi, setiap diskusi panjang dengan dosen pembimbing, serta nasihat bijak dari para pengacara yang membimbingnya.Setelah semuanya selesai, Ari membawa berkas-berkas itu pulang ke kosnya. Ia menatap berkas-berkas di tangannya dengan rasa bangga dan lega, meskipun perjalanan masih panjang di depan. Hari-hari berikutnya akan menjadi saatnya mempersiapkan diri untuk langkah besar berikutnya.Ketika waktu wisuda semakin dekat, dengan hati yang penuh haru dan semangat membara, Ari pun akhirnya bersiap meninggalkan kampung halamannya. Ia menaiki bis Damri menuju pelabuhan Bakauheni, memulai perjalanan panjang yang membawanya melewati lautan dan berbagai tantangan menuju Jakarta, kota penuh peluang dan cerita baru yang menantinya.Di atas kapal laut yang membawa dari Bakauheni ke Merak, Ari duduk termenung. Suara ombak dan hembusan angin laut menemani pikirannya yang melayang, membayangkan masa depan yang ia cita-citakan. Perjalanan ini bukan sekadar perpindahan tempat, tapi simbol dari perjuangan dan mimpi yang sedang ia kejar dengan sepenuh hati.Sesampainya di Pelabuhan Merak, Ari merasakan udara baru yang penuh dengan aroma harapan dan tantangan. Dengan langkah mantap, ia melanjutkan perjalanannya naik kereta dan angkutan umum menuju Depok, tempat Universitas Indonesia berada. Pilihannya jatuh pada kawasan yang tak jauh dari kampus UI—agar ia bisa dengan mudah mengakses perkuliahan profesi advokat yang akan segera dimulai.Setibanya di Depok, Ari mulai mencari kosan sederhana namun nyaman. Ia menelusuri gang-gang kecil dan menanyakan ke beberapa warga sekitar. Meskipun belum memiliki banyak modal, Ari tetap bertekad mendapatkan tempat tinggal yang layak untuk menata hidup dan memfokuskan diri pada studinya. Akhirnya, ia menemukan sebuah kamar kos kecil dengan dinding bercat putih dan jendela menghadap ke taman kecil. Pemilik kos, seorang ibu ramah, menyambut Ari dengan senyum hangat. Harga sewa yang terjangkau menjadi angin segar bagi Ari yang masih harus berhemat untuk kebutuhan lain.Di kosan barunya itu, Ari menata barang-barangnya seadanya. Walau sederhana, kamar itu menjadi saksi awal perjalanan baru yang penuh perjuangan dan semangat. Setiap sudutnya mengingatkan Ari pada janji dirinya sendiri untuk tidak menyerah dan terus berjuang demi masa depan yang lebih baik.Dengan kosan yang kini menjadi tempat berlindung dan belajar, Ari pun mulai membayangkan perjalanan panjang sebagai mahasiswa profesi advokat di ibu kota. Sebuah babak baru yang penuh tantangan, tapi juga kesempatan yang tak akan ia sia-siakan.Setelah menetap di kosan kecilnya di Depok, Ari mulai menata rutinitas barunya. Setiap pagi, dia membuka buku-buku hukum dan menyusun catatan skripsinya yang kini mulai memasuki tahap akhir. Namun, dia tahu bahwa untuk menjadi advokat yang sesungguhnya, teori saja tidak cukup. Ia harus memperdalam ilmu lewat praktik nyata.Dengan tekad kuat, Ari mulai menelusuri kawasan perkantoran di Jakarta dan sekitarnya, mencari kantor pengacara yang bersedia menerima dirinya sebagai magang atau asistennya. Ia mengunjungi gedung-gedung bertingkat yang menjulang di pusat kota, dari satu kantor ke kantor lain, menawarkan diri dan menjelaskan niatnya untuk belajar dan bekerja keras.Sayangnya, satu per satu pintu tertutup rapat di hadapannya. Beberapa pengacara menolak dengan alasan tidak ada kuota magang, yang lain bilang mereka sudah penuh dengan staf, dan ada pula yang sekadar mengabaikan Ari begitu saja. Penolakan demi penolakan itu mulai melelahkan hati Ari.Namun, ia tak menyerah. Setiap kali langkahnya terhenti oleh pintu yang tertutup, ia mengingat kembali pesan dari ketiga pengacara yang telah membimbingnya dulu, dan juga nasehat Kang Hasan tentang pentingnya kesabaran dan keikhlasan dalam berjuang.Di sela-sela pencariannya, Ari tetap disiplin menjalani kuliah profesi advokat dan terus menyelesaikan skripsinya dengan penuh semangat. Ia tahu, perjalanan ini tidak mudah, tapi ia yakin kerja keras dan ketulusan hatinya akan membuka jalan suatu saat nanti.Hari demi hari berlalu dengan perjuangan dan penolakan yang tak kunjung reda. Namun dalam setiap kegagalan, Ari belajar lebih banyak tentang keteguhan, keuletan, dan arti sebenarnya dari sebuah perjuangan. Ini bukan hanya tentang mencari pekerjaan, tapi membentuk diri menjadi sosok pengacara yang kelak bukan hanya pintar secara hukum, tapi juga kuat secara jiwa. Meski diterpa rintangan, semangat Ari tetap membara. Ia yakin, suatu saat pintu yang tepat akan terbuka, dan dia akan melangkah masuk bukan sekadar sebagai pelajar, tapi sebagai pejuang keadilan sejati. Hari-hari Ari di Jakarta semakin penuh tantangan. Setelah menetap di kosan sederhana di Depok, setiap pagi ia bergegas meninggalkan kamar kecilnya dengan membawa tas berisi dokumen, buku hukum, dan secangkir kopi seadanya. Dengan tekad bulat, Ari mulai menyusuri jalanan Jakarta yang padat dan berdebu, menuju gedung-gedung tinggi yang menjadi pusat kantor pengacara ternama.Namun, kenyataan tidak semanis harapannya. Di tiap pintu kantor yang dibukanya, Ari disambut dengan tatapan dingin atau kalimat penolakan yang hampir sama. "Maaf, kami tidak membuka lowongan magang sekarang," kata seorang resepsionis dengan sopan namun tegas. Di tempat lain, seorang sekretaris menolak dengan alasan "Tim kami sudah penuh, mungkin lain waktu."Ari mencoba menjelaskan latar belakangnya—lulusan sarjana hukum dengan pengalaman magang di beberapa kantor pengacara, serta semangat belajar yang tinggi—namun kata-kata itu seakan tenggelam dalam kesibukan mereka yang tak punya waktu. Beberapa kali ia bertemu dengan pengacara yang terkesan sibuk dan tidak memperhatikannya sama sekali.Setiap penolakan yang ia terima seolah menambah beban di dadanya. Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang serba cepat, Ari merasa seperti batu kecil yang terhimpit di antara reruntuhan gedung-gedung tinggi. Malamnya, ia duduk termenung di kamar kos yang sederhana, menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar layak?”Namun, kelelahan dan kesedihan itu tak mampu memadamkan api semangatnya. Ari selalu teringat pesan dari Kang Hasan, Mas Ratno, dan Pak Agusman yang mengajarinya bahwa perjuangan adalah guru terbaik. Ia tahu, sulitnya mencari tempat belajar dan berpraktik bukanlah tanda untuk berhenti, melainkan ujian untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhan.Dengan langkah yang tak pernah menyerah, esoknya Ari kembali melangkah ke jalanan Jakarta. Penolakan demi penolakan tetap ia terima, tapi keyakinan dalam hatinya semakin kuat: suatu hari, pintu yang tepat akan terbuka, dan di situlah ia akan menorehkan kisahnya sebagai pengacara sejati.Hari-hari Ari di Jakarta semakin penuh tantangan. Setelah menetap di kosan sederhana di Depok, setiap pagi ia bergegas meninggalkan kamar kecilnya dengan membawa tas berisi dokumen, buku hukum, dan secangkir kopi seadanya. Dengan tekad bulat, Ari mulai menyusuri jalanan Jakarta yang padat dan berdebu, menuju gedung-gedung tinggi yang menjadi pusat kantor pengacara ternama. Namun, kenyataan tidak semanis harapannya. Di tiap pintu kantor yang dibukanya, Ari disambut dengan tatapan dingin atau kalimat penolakan yang hampir sama. "Maaf, kami tidak membuka lowongan magang sekarang," kata seorang resepsionis dengan sopan namun tegas. Di tempat lain, seorang sekretaris menolak dengan alasan "Tim kami sudah penuh, mungkin lain waktu."Ari mencoba menjelaskan latar belakangnya—lulusan sarjana hukum dengan pengalaman magang di beberapa kantor pengacara, serta semangat belajar yang tinggi—namun kata-kata itu seakan tenggelam dalam kesibukan mereka yang tak punya waktu. Beberapa kali ia bertemu dengan pengacara yang terkesan sibuk dan tidak memperhatikannya sama sekali.Setiap penolakan yang ia terima seolah menambah beban di dadanya. Di tengah hiruk-pikuk kota besar yang serba cepat, Ari merasa seperti batu kecil yang terhimpit di antara reruntuhan gedung-gedung tinggi. Malamnya, ia duduk termenung di kamar kos yang sederhana, menatap langit-langit sambil bertanya dalam hati, “Apakah aku benar-benar layak?”Namun, kelelahan dan kesedihan itu tak mampu memadamkan api semangatnya. Ari selalu teringat pesan dari Kang Hasan, Mas Ratno, dan Pak Agusman yang mengajarinya bahwa perjuangan adalah guru terbaik. Ia tahu, sulitnya mencari tempat belajar dan berpraktik bukanlah tanda untuk berhenti, melainkan ujian untuk membuktikan ketulusan dan kesungguhan.Dengan langkah yang tak pernah menyerah, esoknya Ari kembali melangkah ke jalanan Jakarta. Penolakan demi penolakan tetap ia terima, tapi keyakinan dalam hatinya semakin kuat: suatu hari, pintu yang tepat akan terbuka, dan di situlah ia akan menorehkan kisahnya sebagai pengacara sejati.Di pagi yang mendung, Ari mengenakan kemeja terbaik yang ia punya—warna biru laut yang mulai pudar karena sering dicuci. Sepatunya tak lagi mengilap, tapi ia menyemirnya dengan sisa semangat yang masih ia punya. Ia tahu, hari itu adalah hari penting. Sebuah firma hukum besar di bilangan Sudirman membuka lowongan asisten magang. Nama firma itu sudah dikenal seantero negeri—pengacaranya sering tampil di televisi dan menangani kasus-kasus kelas kakap.Ari tiba lebih awal, duduk di lobi mewah dengan langit-langit tinggi dan lantai marmer dingin yang memantulkan langkah-langkah para eksekutif. Jantungnya berdegup keras saat namanya dipanggil.“Mr. Muhammad Ari Pratomo, please come in.”Di dalam ruangan, seorang pengacara senior duduk dengan jas mahal, didampingi dua orang staf HR yang membawa berkas-berkas lamaran. “So, Mr. Ari,” kata sang pengacara dengan logat Barat yang kental. “Tell us about your legal background.”Ari tersenyum kaku. Ia mengangguk pelan, mencoba menahan gugup. Ia menjawab dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, “I… come from Lampung. I was… intern in three legal office… I learn about… um… legal document, legal aid, and litigation…”Salah satu staf HR tampak menahan senyum, yang lain hanya menunduk. Ari tahu pelafalannya buruk. Ia tahu kata-katanya berantakan. Tapi ia juga tahu, ini bukan saatnya menyerah. Ia terus menjawab, meskipun lidahnya terasa kaku dan pikirannya berputar cepat.Pengacara senior itu menyela, “How is your legal writing in English? Can you make an agreement draft in English?”Ari menarik napas dalam. “I will try, Sir. I can learn… and I work hard. Very hard.”Ada jeda. Sebuah keheningan yang menggantung. Lalu, kalimat itu keluar.“Thank you, Mr. Ari. We appreciate your effort. But we’re looking for someone who already fluent. Good luck for your next opportunity.”Ari tersenyum sopan. “Thank you, Sir.” Lalu ia keluar ruangan dengan kepala tertunduk.Di koridor, Ari berjalan perlahan. Setiap langkah terasa berat. Rasa malu, kecewa, dan hampa berkelindan di dada. Namun ia tetap berjalan. Di luar gedung, angin Jakarta meniup wajahnya yang basah oleh peluh dan sedikit air mata yang tak bisa ditahan. Ia berdiri di pinggir jalan, memandangi keramaian ibukota, lalu duduk sebentar di halte terdekat.Dalam hati, ia bicara kepada dirinya sendiri. “Bukan karena aku bodoh. Tapi aku belum siap. Dan aku akan belajar sampai aku pantas.”Hari itu, Ari kembali ke kosan. Ia menulis semua pertanyaan wawancara dalam bahasa Inggris dan mencari artinya satu per satu. Dengan kamus di tangan dan tekad di dada, ia tidak berhenti. Sebab ia tahu: kegagalan hari ini adalah pijakan menuju kemenangan esok.Malam itu hujan turun pelan di jendela kecil kamar kos Ari. Lampu temaram menyorot wajahnya yang tertunduk di meja kayu lapuk. Tumpukan surat lamaran yang ia kirim ke berbagai kantor pengacara ternama masih berserakan. Semua tanpa jawaban. Beberapa bahkan dikembalikan, tanpa dibuka. Bekal uang hasil penjualan motor RX-King kesayangannya pun makin menipis. Di dompetnya, hanya tersisa uang pas-pasan untuk bertahan beberapa hari ke depan. Hari-harinya di Jakarta terasa semakin sunyi, semakin berat. Setiap malam ia menghitung sisa hari sebelum benar-benar tak punya uang lagi untuk makan.Dengan lelah, ia menyalakan air panas di termos listrik kecil pinjaman dari tetangga kos. Ia menuang kopi sachet terakhir ke gelas plastik bening, lalu duduk sambil memandangi dinding kamar yang penuh coretan motivasi yang ia tulis sendiri.Di antara tumpukan koran bekas yang digunakan sebagai alas meja, matanya tiba-tiba menangkap sepotong iklan kecil di pojok halaman. Potongan koran itu semula hanya akan ia jadikan alas gelas. Tapi tulisan tebal itu menghentikan gerakannya.“Pendaftaran Terbuka: Pendidikan Profesi Advokat (PERADI) – Fakultas Ilmu Komunikasi UI, Depok – Gelombang Terakhir Tahun Ini!”Ari menegakkan punggungnya. Ditatapnya potongan koran itu dengan penuh harap dan keraguan sekaligus. Matanya berkaca-kaca. Sebuah cahaya seperti menyala kembali dalam pikirannya. Ia membaca ulang kalimat itu tiga kali, memastikan bahwa ini bukan ilusi dari rasa lapar dan letih yang menumpuk.Tangannya bergetar saat ia mengambil pulpen dan menyalin informasi pendaftaran di sobekan kertas kecil. “Gedung Komunikasi UI, Depok. Mulai Senin depan.”Hatinya dipenuhi pertanyaan: Apakah uangnya cukup? Bagaimana kalau tidak lulus seleksi? Apakah ini terlalu nekat?Namun satu hal yang ia tahu: jika ia tidak mencoba, ia akan menyesal seumur hidup.Ari berdiri. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, wajahnya memancarkan keyakinan. Hujan di luar masih turun perlahan. Tapi di dalam dadanya, badai keyakinan sedang membesar.Ia berkata pelan pada dirinya sendiri, “Aku belum selesai. Ini mungkin jalan terakhir, tapi bisa jadi jalan terbaik.”Pagi itu, langit Depok masih redup, kabut tipis menyelimuti halaman depan kampus UI. Ari berdiri di depan gedung Fakultas Ilmu Komunikasi, menggenggam map biru kusam berisi fotokopi KTP, pas foto, dan lembar transkrip nilai sementaranya. Wajahnya pucat, tapi matanya menyimpan tekad. Ia sudah menulis ulang kalimat pembuka di kepalanya puluhan kali. Hari ini adalah hari penentuan—apakah ia bisa ikut Pendidikan Profesi Advokat (PPA) atau harus pulang ke kampung halaman sebagai pecundang yang tak jadi sarjana hukum utuh. Langkahnya berat saat menaiki tangga lantai dua. Di ujung lorong, sebuah meja registrasi dijaga oleh dua panitia muda berseragam rapi. Di samping meja, ada banner besar bertuliskan “PENDIDIKAN PROFESI ADVOKAT PERADI – UI” dengan logo resmi dan wajah-wajah alumni yang tersenyum penuh kemenangan. Ari menelan ludah. Ia tidak punya kemenangan apa-apa hari ini—yang ia punya hanya keberanian untuk memohon.“Selamat pagi, Mas. Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu panitia, tersenyum sopan.Ari mengangguk pelan, lalu menjawab dengan suara yang bergetar namun sopan, “Maaf, saya sangat ingin ikut PPA ini. Nama saya Muhammad Ari Pratomo. Saya baru lulus, tapi ijazah saya masih proses. Bisa tidak saya tetap ikut dan ijazahnya menyusul?”Panitia itu tampak ragu, membuka map formulir di depannya, lalu mengernyit. “Hmm, salah satu syarat utama memang harus sudah lulus dan ada fotokopi ijazah. Kalau belum ada, berarti belum bisa ikut gelombang ini, Mas.”Ari menghela napas dalam. Tapi ia tak menyerah.“Saya punya transkrip nilai resmi dari fakultas. Wisuda saya bulan depan. Saya bersumpah akan menyerahkan ijazah asli segera setelah keluar. Mohon... saya tidak punya waktu lagi. Ini satu-satunya gelombang tahun ini.”Panitia lain bergumam pelan, lalu meminta Ari menunggu sebentar karena harus berkonsultasi dengan koordinator.Beberapa menit kemudian, seorang pria berkemeja putih dan berjas hitam keluar dari ruangan dalam. Ia adalah Pak Seno, Koordinator Pendaftaran. Pria itu berwibawa dan matanya tajam. Ia menatap Ari dari atas ke bawah seolah menilai mental dan niatnya dalam satu tatapan.“Apa betul Anda belum punya ijazah dan belum bayar penuh?” tanyanya to the point.“Iya, Pak. Saya... saya tidak punya cukup uang. Saya hanya minta dibolehkan mencicil. Satu juta sekarang, sisanya menyusul. Saya akan cari kerja sambilan. Tapi saya mohon... jangan tolak saya hanya karena uang. Saya tidak minta gratis. Saya hanya minta kesempatan.”Pak Seno diam sejenak. Tangannya menyilang di dada. Matanya memandang jauh ke arah lorong kampus seakan menimbang beban permintaan yang sederhana tapi berat ini. Lalu ia berjalan pelan ke dekat Ari dan berkata: “Kamu tahu berapa banyak yang seperti kamu datang tiap tahun? Janji ini-itu, akhirnya tak menepati. Kalau kami lunak ke satu orang, yang lain akan menuntut hal yang sama. Ini sistem, bukan soal kasihan.”Ari menggigit bibirnya. Tapi ia tak kehabisan akal.“Pak... kalau saya mundur hari ini, saya tidak punya pilihan lain. Saya anak seorang sopir truk. Saya jual motor satu-satunya untuk datang ke Jakarta. Tapi saya tidak mau hidup dengan rasa menyesal karena tidak mencoba. Jika saya tak bisa dipercaya, coret saya dari daftar kapan pun. Tapi beri saya kesempatan untuk membuktikan... saya layak jadi advokat.”Hening sejenak. Bahkan suara angin pun terdengar lewat jendela lorong.Pak Seno memandang wajah Ari yang bersih dan serius. Lalu ia menarik napas panjang dan akhirnya berkata pelan, “Kalau kamu berani janji begitu, saya pun berani ambil risiko untukmu.”Ari menatap penuh harap.“Kamu diterima... dengan catatan. Buat surat pernyataan di atas materai hari ini juga. Ijazah menyusul maksimal tiga minggu. Cicilan harus lunas dalam dua bulan. Jika lewat, kamu otomatis keluar.”Air mata Ari hampir menetes.“Terima kasih, Pak. Sungguh... terima kasih banyak... saya tidak akan mengecewakan Bapak.”Pak Seno hanya mengangguk, lalu kembali ke ruangannya. Ari pun menoleh ke dua panitia yang sekarang tersenyum padanya dengan rasa hormat. Salah satu dari mereka berkata pelan, “Jarang ada yang berani bicara seperti kamu.”Hari itu, Ari menulis surat pernyataan dengan tangannya sendiri. Ia membubuhkan tanda tangan di atas materai sambil menggigil, bukan karena dingin, tapi karena seluruh hidupnya terasa bergantung pada secarik kertas itu. Dan ketika ia menyerahkan formulir pendaftaran, ia tahu: perjuangannya belum selesai. Tapi untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Jakarta, jalan di depannya terbuka meski hanya sedikit.Langkah kecil itu menjadi awal dari langkah besar yang akan mengubah hidupnya.Hari pertama di kelas PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) itu, udara Depok terasa lebih panas dari biasanya. Ari bangun lebih awal dari biasanya di kamar kosnya yang sempit dan hanya muat satu kasur tipis, meja lipat kecil, dan gantungan baju. Kemeja putih yang ia setrika semalam telah digantung dengan rapi di dinding. Celana hitam satu-satunya yang masih layak pakai telah disiapkan, meski bagian ujungnya sedikit robek dan sudah dijahit ulang.Ari berdiri di depan kaca kecil yang menempel di lemari plastik, menyisir rambutnya sambil memandangi bayangan dirinya sendiri. “Hari ini langkah baru, Ri,” gumamnya. Ia tersenyum tipis. Meskipun dompetnya hanya berisi uang sisa seadanya, tekadnya tetap penuh.Sesampainya di gedung Fakultas Hukum tempat kelas PKPA berlangsung, Ari melihat puluhan peserta lainnya sudah berkumpul di depan aula. Mereka terlihat berbeda. Kebanyakan mengenakan pakaian bermerk, sepatu kulit mengilap, bahkan beberapa membawa mobil sendiri dan berbicara dengan logat ibu kota. Ari menunduk pelan, merasa kecil dengan sepatu tuanya yang warnanya sudah pudar dan tas selempang yang mulai sobek di sudutnya.Namun ia cepat-cepat menguatkan diri. Ia tahu dirinya datang bukan untuk gaya, tapi untuk belajar. Untuk menjadi seseorang. Untuk menepati janji kepada ayahnya—bahwa ia akan menjadi sarjana hukum yang tak hanya lulus, tapi juga layak membela keadilan.Di dalam aula, suasana terasa tegang sekaligus menyenangkan. Suara derap sepatu, denting gelas kopi dari meja panitia, dan tawa ringan peserta lain mengisi ruangan. Ari memilih duduk di barisan belakang, membuka buku catatannya dan menulis tanggal: Hari Pertama PKPA – Pendidikan Profesi Advokat.Seorang pria paruh baya dengan jas abu-abu memasuki ruangan. Namanya dikenalkan sebagai Bapak Hendra Wicaksono, SH, MH, advokat senior dari firma hukum ternama. Beliau membuka kelas dengan suara berat dan penuh wibawa."Selamat pagi. Selamat datang para calon advokat Indonesia. Di ruangan ini kalian semua setara. Latar belakang kalian tidak penting. Yang penting, siapa kalian nanti di ruang sidang."Ari terdiam. Kalimat itu menampar sekaligus membesarkan hati. Ia mencatat dengan semangat.Satu demi satu, materi mulai diberikan. Tentang etika profesi, kode etik advokat, sejarah dunia peradilan, sampai teknik litigasi dasar. Ari menyimak dengan penuh perhatian, tak sedikit pun berani membuka ponsel. Sementara di sekitar, sebagian peserta malah asyik bermain gadget atau sesekali menguap.Ketika sesi tanya jawab dibuka, tak ada yang angkat tangan. Ari awalnya ragu. Tapi ada dorongan kuat dari dalam dirinya. Ia tahu, jika ingin diperhitungkan, ia harus bersuara. Dengan perlahan, ia mengangkat tangan."Maaf, Pak. Saya ingin bertanya. Jika dalam praktik kita membela seseorang yang sejak awal kita tahu bersalah, sejauh mana kode etik memberi ruang agar kita tetap menjaga profesionalitas sekaligus nurani kita sebagai manusia?"Ruangan tiba-tiba hening.Bapak Hendra menatap Ari dengan mata menyipit. Lalu beliau tersenyum."Pertanyaan yang sangat bagus. Siapa nama kamu, Nak?""Ari, Pak. Muhammad Ari Pratomo."Pak Hendra mengangguk. “Kamu mengingatkan saya pada masa muda saya dulu.”Ari tersenyum kaku, sementara beberapa peserta mulai memperhatikannya. Hari itu, untuk pertama kalinya sejak ia menginjakkan kaki di Jakarta, ia merasa... diperhatikan bukan karena penampilannya, tapi karena pikirannya.Kelas pertama berakhir menjelang sore. Ari keluar dari ruangan dengan buku catatan penuh coretan dan kepala penuh semangat baru. Di halaman kampus, ia duduk sejenak, melepas sepatu tuanya dan memijat kaki yang pegal. Tapi wajahnya tenang. Hatinya ringan.Ia membuka dompet dan menghitung uang terakhirnya. Masih cukup untuk satu minggu makan dengan hemat. Ia tahu, besok tantangan lain akan datang. Tapi hari ini, ia telah membuktikan satu hal:Bahwa tempatnya bukan hanya di bangku belakang. Tapi juga di antara mereka yang kelak akan berdiri di depan sidang, memperjuangkan kebenaran.Dan dari sinilah, cerita baru Ari sebagai calon advokat dimulai.Jam istirahat tiba. Ari berdiri dari kursinya, meregangkan punggungnya yang terasa pegal karena duduk terlalu lama. Ia melirik ke sekeliling, memperhatikan para peserta PKPA yang mulai bergerak ke luar ruangan, ada yang langsung ke kantin, ada pula yang berkumpul membentuk lingkaran kecil, membicarakan topik-topik ringan dengan tawa lepas.Ari melangkah pelan ke lorong menuju kantin fakultas. Ia tak membawa bekal, dan uang di dompet hanya cukup untuk satu bungkus nasi sederhana. Ia memilih menu paling murah: nasi, telur dadar, dan sayur bening. Dengan nampan sederhana, ia berjalan mencari tempat duduk kosong. Namun sebelum ia sempat duduk, terdengar suara berat dari arah belakangnya."Bro, sini aja duduk bareng. Lu sendirian, kan?"Ari menoleh. Seorang pria bertubuh besar dengan kulit cokelat gelap, rambut sedikit ikal, dan senyum lebar sedang menunjuk kursi kosong di sebelahnya. Namanya tertera di name tag: Tambunan.Ari mengangguk, “Boleh, makasih ya.”Setelah mereka duduk, suasana langsung cair."Gue Tambunan. Dari Medan. Tapi udah lama di Jakarta, kuliah di Trisakti. Lu sendiri?""Ari. Dari Lampung. Baru aja nyampe Jakarta minggu lalu."Tambunan menaikkan alisnya. “Gila, baru nyampe udah langsung PKPA? Lu serius banget, bro.”Ari tertawa kecil. “Iya, karena kalau nunggu-nunggu terus, nggak akan mulai-mulai.”Obrolan mereka semakin akrab. Ternyata Tambunan orangnya ramah dan blak-blakan. Ia dengan santainya menceritakan suka duka kuliah hukum, kerja sambilan, bahkan pernah magang di kantor hukum yang boss-nya galak bukan main.“Gue juga udah nyoba ngelamar ke kantor-kantor di sini,” kata Ari. “Tapi semuanya nolak. Mungkin karena gue kelihatan kayak orang kampung.”Tambunan tertawa. “Yah, jangan minder, bro. Orang kota juga banyak yang goblok. Yang penting otak dan semangat lu. Buktikan aja. Nanti juga mereka bakal nyari lu sendiri.”Ari merasa hangat. Untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Jakarta, ia merasa punya teman yang bisa diajak tertawa, diskusi, dan mungkin, berbagi mimpi. Tambunan bukan hanya teman makan siang, tapi dalam beberapa menit saja sudah seperti sahabat yang lama hilang.Sebelum kembali ke kelas, Tambunan menepuk pundak Ari.“Lu gue ajak ngopi nanti sore, ya. Gue kenal satu dua orang dari kantor pengacara. Siapa tahu bisa bantuin lu cari tempat magang.” Ari mengangguk penuh haru. Ia tak menyangka, di tengah kesepian dan tekanan hidup di ibu kota, ia menemukan cahaya kecil: sahabat baru bernama Tambunan.Dan dari obrolan sederhana di kantin itulah, benih persahabatan mereka tumbuh — yang kelak akan menjadi salah satu kekuatan terbesar Ari dalam menempuh jalan panjang menuju Profesi advokat.Sore itu, usai kelas PKPA selesai, langit Jakarta mulai berubah jingga. Debu dan panas khas ibu kota masih terasa melekat di kulit, membuat banyak peserta buru-buru mencari kendaraan pulang. Ari masih duduk di bawah pohon besar dekat gedung Fakultas Hukum UI, menunggu angkutan umum yang entah kapan lewat. Tangannya menggenggam map lusuh berisi catatan dari kelas tadi, dan pikirannya mulai melayang ke sisa uang yang semakin menipis.Tiba-tiba, suara klakson pendek terdengar dari arah gerbang kampus.“Bro! Ari!” teriak suara berat yang kini mulai akrab di telinganya.Ari menoleh dan melihat Tambunan sedang membuka jendela mobil—sebuah sedan mewah berwarna hitam, dengan pelat nomor khusus. Ia tersenyum lebar dan melambai.“Lu naik apaan pulangnya? Jangan bilang naik metromini?” serunya sambil tertawa.Ari tersenyum kecut. “Iya… kalau beruntung dapat.”Tambunan membuka pintu penumpang. “Udahlah, masuk aja sini. Gue anterin. Sekalian ngobrol.”Awalnya Ari ragu. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah, dan tawaran itu terlalu menggoda. Ia masuk ke dalam mobil, duduk dengan hati-hati, takut mengotori jok kulitnya yang mewah.Mobil melaju pelan keluar dari kompleks kampus. Di dalam mobil, suasana hening sejenak sebelum Tambunan membuka percakapan.“Gue sebenarnya anak dari pengacara yang mungkin lu kenal. Nama bokap gue: Dr. Binsar Tambunan, S.H., M.H., punya kantor hukum sendiri di kawasan Sudirman.”Ari kaget, menoleh cepat ke arah Tambunan. Nama itu cukup sering muncul di berita hukum nasional.“Serius? Kantor Hukum Tambunan & Partners itu?” Tambunan mengangguk santai. “Yoi. Tapi gue nggak pernah suka bawa-bawa nama bokap. Gue pengen buktiin sendiri di PKPA ini. Biar gue nggak dikenal cuma karena anak siapa.”Ia menoleh ke Ari dan tersenyum kecil. “Makanya gue respek banget sama lu, Ri. Dari cara lu jawab pertanyaan di kelas, cara lu diskusi soal kasus… lu tuh tajem dan tenang. Padahal gue tahu lu lagi hidup susah. Tapi lu tetap nekat dateng, belajar, dan nggak minder. Itu mental pejuang.”Ari terdiam. Jantungnya berdebar pelan, bukan karena pujian, tapi karena haru.“Gini deh, gue udah bilang ke bokap soal lu. Gue cerita soal lu yang pinter, tapi kesulitan cari tempat magang. Bokap tertarik. Kalau lu mau, mulai minggu depan lu bisa bantu-bantu di kantor.”Ari terbelalak. “Serius, Bun?”“Seriuslah. Tapi jangan harap enak. Bokap galak, dan gue juga bakal keras ke lu. Tapi itu kesempatan emas. Di kantor itu, kita pegang kasus besar. Korporasi, pidana berat, sampai perkara internasional. Lu siap?”Ari mengangguk cepat. “Gue siap. Gue nggak akan nyia-nyiain.”Tambunan tertawa lebar. “Itu baru jawaban calon partner masa depan.”Mobil mewah itu terus melaju menyusuri padatnya jalanan Jakarta. Di balik kemudi, Tambunan terus berbicara dengan penuh semangat, menjelaskan kantor ayahnya, sistem kerja, dan orang-orang hebat yang mungkin akan Ari temui. Sementara di kursi penumpang, Ari duduk mematung, menatap ke luar jendela dengan mata yang mulai basah.Dalam diamnya, Ari tahu: hidupnya baru saja berubah.Ia datang ke Jakarta dengan bekal pas-pasan dan harapan yang hampir padam. Tapi hari ini, ia mendapatkan sesuatu yang jauh lebih mahal dari uang — sebuah kesempatan. Dan semuanya berawal dari pertemuan sederhana di kantin PKPA, dengan seseorang bernama Tambunan.Malam itu, setelah diantar Tambunan hingga ke gang kecil menuju kosannya di Depok, Ari berjalan perlahan melewati jalan setapak sempit yang hanya muat satu motor. Lampu-lampu temaram dari rumah warga menyinari langkahnya, dan aroma wangi gorengan dari warung ujung gang membuat perutnya kembali berbunyi. Tapi ia tak mampir. Uang di dompet tinggal dua lembar sepuluh ribuan, dan ia harus hemat, paling tidak sampai akhir pekan. Sesampainya di kamar kosnya yang sempit—tak lebih dari 3x3 meter, hanya ada kasur tipis, meja belajar, dan gantungan baju—Ari meletakkan tas, lalu duduk di lantai. Lampu neon di langit-langit berpendar redup, mengiringi keheningan yang menggantung di udara.Ia menatap langit-langit sambil menarik napas panjang. Di matanya, Jakarta terasa seperti medan tempur. Menuntut segala daya, logika, dan kesabaran. Ia bersyukur telah mendapatkan peluang dari Tambunan, tapi satu hal yang tak bisa ia abaikan: hidup di kota ini butuh uang. Banyak uang.“Magang di kantor pengacara itu bagus buat masa depan, tapi sementara ini gue tetap harus makan, bayar kos, ongkos ke kampus, dan beli kebutuhan PKPA…” gumamnya pelan.Pikirannya melayang cepat, seperti pengacara yang sedang memetakan strategi pembelaan. Ia mencoba mengingat semua kemampuan dan pengalaman di luar hukum yang ia miliki. Ia bukan anak konglomerat. Ia bukan pula jebolan luar negeri. Tapi ia punya semangat dan kemauan bertahan.“Dagangan… usaha kecil…” bisiknya. Ia teringat masa-masa dulu di kampus, saat sering bantu teman jualan fotokopi bahan hukum atau bantu jaga warung kopi di dekat fakultas.Lalu satu ide muncul. Ia bangkit cepat dan membuka map berisi catatan materi PKPA. Di situ ada daftar peserta dan kelas. "Gue bisa mulai dari sini," bisiknya.Ari mulai menuliskan rencana di atas kertas kosong:Jual minuman kopi kemasan dingin untuk peserta PKPA di pagi hari.Titip snack murah di kelas.Jualan catatan ringkas materi hukum — yang ia ketik ulang dengan bahasa yang mudah dipahami.Ia tersenyum kecil. “Kalau orang lain bisa hidup dari bisnis online dan makanan ringan, kenapa gue enggak?”Malam itu Ari menyusun strategi. Ia coret-coret daftar bahan, modal awal, siapa yang bisa jadi pembeli pertama. Ia mulai browsing cara buat kopi botolan modal hemat. Ia juga menuliskan ide nama usaha kecilnya: “LexKopi” — Ngopi Sambil Belajar Hukum.Ari tertawa kecil. “Aneh juga, tapi lucu.”Jam menunjukkan pukul 11 malam. Tapi matanya tetap menyala. Semangatnya tumbuh dari tekanan. Ia tahu perjuangan belum selesai. Bahkan bisa dibilang baru dimulai.Tapi malam itu di kamar sempit dan panas itu, seorang pemuda bernama Ari tidak tidur dalam ketakutan. Ia tidur dalam rencana. Dalam strategi. Dalam harapan.Karena di balik ratusan gedung tinggi Jakarta, Ari tahu: yang bertahan hidup bukan yang paling kaya… tapi yang paling keras kepala dalam memperjuangkan mimpi.Pagi itu, matahari baru saja mulai menembus celah-celah tirai kosan Ari saat ia sudah bangun, menyambut hari pertama penuh tantangan di pendidikan profesi advokat. Dengan langkah masih agak mengantuk, Ari merapikan buku-bukunya, mempersiapkan diri menghadapi materi hukum yang padat. Di kelas, suasana serius bercampur rasa penasaran, saat dosen-dosen mengalirkan ilmu yang selama ini hanya bisa Ari pelajari lewat buku dan praktik seadanya.Siang hari, selepas kelas, Ari langsung bergegas menuju kantor pengacara ayahnya Tambunan yang megah di pusat kota Jakarta. Walau merasa seperti ikan kecil di kolam besar, Ari bertekad menyerap semua pengalaman berharga. Ia membantu mengerjakan berkas-berkas, mencatat dengan teliti, bahkan sesekali diajak berdiskusi tentang kasus yang sedang ditangani. Meski begitu, tekanan kerja tak pelak membuat Ari harus cepat beradaptasi, berpacu dengan waktu dan ekspektasi tinggi dari lingkungan barunya.Setelah magang, malam hari menjadi momen paling melelahkan. Dengan modal nekat dan semangat, Ari mulai menjalankan usaha kecilnya: menjajakan kopi kemasan dingin kepada teman-teman sekelas PKPA dan warga sekitar kosan. Berkeliling dari satu titik ke titik lain, mengangkat tas penuh kopi dan snack, ia menyapa calon pembeli dengan senyum yang mulai melelahkan. Tubuhnya letih, matanya mulai berbayang karena kurang tidur.Namun, di balik lelah dan kantuk yang menggerayangi, Ari tetap teguh. Setiap tegukan kopi yang ia jual bukan hanya tentang usaha mencari nafkah, tapi juga simbol dari kegigihan seorang pemuda yang ingin meraih mimpi besar di tengah kerasnya ibu kota. Hingga akhirnya ia jatuh terlelap, dengan rasa puas karena telah menjalani hari penuh perjuangan—mengasah ilmu, menimba pengalaman, dan mempertahankan asa yang tak pernah padam.Ari menghela napas panjang saat memandang kalender yang menandai tanggal wisuda semakin dekat. Meski sudah lama menantikan momen itu, kenyataan hidup di Jakarta yang penuh tantangan membuatnya harus memutar otak keras untuk bisa pulang ke Bandar Lampung dan mengambil ijazahnya secara langsung.Setiap hari, Ari banting tulang ekstra. Siang ia mengasah ilmu di pendidikan profesi advokat, sore magang di kantor pengacara Tambunan, malamnya berkeliling menjual kopi demi menambah uang tabungan. Penghasilan yang didapat tak seberapa, tapi Ari tak pernah menyerah. Ia menabung sedikit demi sedikit, menahan rasa rindu dan lelah yang menyelimuti tubuhnya.Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya terkumpul cukup uang untuk ongkos pulang. Dengan hati penuh haru dan semangat yang membara, Ari membereskan barang-barangnya di kosan. Ia tahu, momen ini bukan sekadar perjalanan pulang, tapi juga tanda awal baru untuk masa depannya.Sesampainya di Bandar Lampung, Ari langsung menuju kampus dengan langkah mantap. Meski lelah perjalanan masih terasa, ia tak mau menunda lagi mengambil ijazah yang menjadi simbol perjuangannya selama ini. Setiap detik di kampus mengingatkannya pada segala suka dan duka yang pernah dilalui.Momen wisuda pun tiba, Ari berdiri di antara teman-teman seangkatannya dengan penuh kebanggaan. Semua jerih payahnya terbayar lunas. Namun ia tahu, perjalanan belum selesai—ini hanyalah awal dari babak baru yang penuh harapan dan tantangan. Dengan ijazah di tangan dan semangat tak pernah padam, Ari siap menatap masa depan yang lebih cerah.Ruangan wisuda penuh sesak dengan suara gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai para hadirin. Ari duduk di barisan tengah, jantungnya berdebar kencang, napasnya terasa berat. Ia menatap daftar nama yang terpampang di layar, bergantian dipanggil satu per satu oleh MC.Setiap nama yang terdengar membuat dadanya semakin sesak. Ada rasa haru, cemas, dan kebanggaan yang saling bertarung di dalam hatinya. Ia mengingat perjuangannya selama ini—banting tulang, menahan lapar, begadang, dan menghadapi penolakan tanpa henti."Sebentar lagi giliranmu," bisik hatinya.Lalu, tiba saatnya. Suara MC mengumandangkan, "Muhammad Ari Pratomo, Sarjana Hukum."Tubuh Ari seketika terasa ringan, ia berdiri perlahan dengan langkah gemetar namun penuh keyakinan. Saat berjalan menuju panggung, seluruh pandangan tertuju padanya. Beberapa tetes air mata haru mulai mengalir di pipinya, mengiringi setiap langkah yang mengantarkannya meraih hasil dari perjuangan tanpa henti itu.Di atas panggung, Ari menerima ijazah dengan tangan yang sedikit gemetar, namun matanya bersinar penuh kebanggaan dan syukur. Tepuk tangan meriah membahana, mengiringi momen sakral yang akan ia kenang sepanjang hidup.Saat kembali ke kursi, Ari duduk dengan dada yang membuncah—bukan hanya karena gelar yang diraih, tapi juga karena segala luka dan jerih payah yang kini berbuah manis. Dalam hati, ia bersumpah untuk terus berjuang, tak hanya untuk dirinya, tapi untuk semua yang percaya padanya.Setelah prosesi wisuda usai, dan suasana kampus mulai lengang, Ari melangkah penuh semangat dan rasa syukur. Langkahnya membawa kenangan panjang tentang perjuangan yang tak mudah, namun kini terasa manis. Ia bertekad untuk menemui tiga sosok penting dalam hidupnya—Mas Ratno, Kang Hasan, dan Pak Agusman—yang selama ini menjadi pilar kekuatannya di dunia hukum.Pertama, ia mengunjungi kantor Mas Ratno. Sesampainya di sana, ia disambut hangat oleh Mas Ratno yang tampak bangga. Ari pun mulai bercerita panjang lebar tentang perjalanan hidupnya di Jakarta, mulai dari kesulitan mencari kantor pengacara yang mau menerimanya, perjuangannya mengikuti Pendidikan Profesi Advokat, hingga segala suka duka yang ia hadapi selama magang di kantor Tambunan, putra Mas Ratno.Mas Ratno mendengarkan dengan seksama, kadang tersenyum, kadang mengangguk penuh pengertian. Ari menuturkan bagaimana ia harus membagi waktu belajar, magang, bahkan berjualan kopi demi bisa bertahan hidup. “Mas, saya sempat merasa putus asa, tapi saya ingat semua ajaran dan nasihat Mas, Pak Agusman, dan Kang Hasan. Itu yang membuat saya tetap bertahan,” ujar Ari dengan mata berkaca-kaca.Mas Ratno menepuk bahu Ari, berkata, “Kamu hebat, Ari. Tidak semua orang punya keberanian dan keteguhan hati seperti kamu. Perjuanganmu bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk mereka yang belum punya suara.”Setelah itu, Ari melangkah ke pondok pesantren milik Kang Hasan. Di sana, ia disambut dengan senyum hangat dan pelukan penuh kehangatan. Ari menceritakan bagaimana nasihat Kang Hasan soal keadilan dan hati nurani menjadi pondasi kuat saat ia menghadapi ujian skripsi dan berbagai tantangan di Jakarta.Kang Hasan mendengar kisah Ari dengan penuh perhatian, lalu berkata dengan lembut, “Ari, jalanmu masih panjang. Ingatlah, menjadi pengacara bukan hanya soal menang atau kalah, tapi bagaimana kamu memperjuangkan keadilan dengan hati yang jujur dan tulus. Jadikan itu kompas dalam setiap langkahmu.”Terakhir, Ari menemui Pak Agusman. Di kantor yang sederhana namun penuh aura kebijaksanaan itu, Ari berbagi pengalaman tentang kasus-kasus yang ia tangani selama magang, bagaimana ia belajar berkomunikasi dengan klien dan bernegosiasi, serta bagaimana ia menemukan kekuatan dalam kesulitan.Pak Agusman tersenyum, “Kamu sudah melewati banyak hal, Ari. Tapi ingat, ilmu hukum itu hidup dan terus berkembang. Jangan berhenti belajar dan selalu rendah hati. Karena di sanalah kekuatan seorang advokat sejati.”Malam itu, setelah berkunjung ke ketiga mentor yang sangat berarti dalam hidupnya, Ari pulang dengan hati yang penuh haru dan tekad yang semakin membara. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru permulaan, dan dengan bimbingan mereka, ia siap menghadapi masa depan.Cerita Ari menjadi inspirasi tentang keteguhan hati, kerja keras, dan pentingnya bimbingan dalam meraih mimpi. Ia tak hanya mendapatkan gelar sarjana hukum, tapi juga warisan nilai-nilai luhur yang akan ia bawa sepanjang hidup dan kariernya sebagai seorang pengacara yang benar-benar memperjuangkan keadilan.Tak lama setelah Ari kembali ke Bandar Lampung dan sempat menikmati momen penuh kehangatan bersama keluarga serta para mentor, telepon genggamnya bergetar di meja kamarnya. Nama “Tambunan” tertera jelas di layar. Dengan rasa penasaran bercampur sedikit cemas, Ari mengangkatnya.“Halo, Ari. Kamu di mana sekarang?” suara Tambunan terdengar agak terburu-buru.“Saya baru sampai di Lampung, Pak. Baru saja wisuda dan sempat pulang,” jawab Ari, mencoba menyembunyikan sedikit lelah dari suaranya.“Tapi Ari, ada kabar kurang menyenangkan. Kasus baru muncul dan klien kami sangat butuh bantuan. Kami juga sudah beberapa sesi pendidikan profesi advokat yang kamu lewatkan, dan itu penting sekali. Kamu harus segera balik ke Jakarta,” Tambunan menegaskan dengan nada serius.Ari menghela napas panjang. Rasa berat dan dilema langsung menghinggapi pikirannya. Ia ingin sekali menikmati kebahagiaan wisuda dan momen keluarga, tapi tanggung jawab dan panggilan profesi seolah memanggilnya kembali. “Baik, Pak. Saya akan segera urus keberangkatan saya,” jawab Ari dengan suara mantap, berusaha menyembunyikan kegelisahan.Sehari berikutnya, Ari mulai mempersiapkan segala keperluan untuk kembali ke Jakarta. Di tengah kesibukan itu, pikirannya terus berputar—bagaimana ia akan menghadapi tugas-tugas baru di kantor pengacara, mengejar ketertinggalan pendidikan profesi advokat, dan tentu saja mengatasi tantangan kasus yang menanti. Perjalanan ke Jakarta bukan hanya sekadar berpindah tempat, melainkan melangkah kembali ke medan perjuangan yang penuh liku.Perjalanan menggunakan bis Damri dari Bandar Lampung menuju pelabuhan Bakauheni terasa lebih berat kali ini. Setiap kilometer yang dilalui seakan membawa beban pikiran semakin berat, namun tekadnya tak pernah luntur. Di kapal laut, Ari duduk di sudut gelap kapal, menatap lautan yang luas, memikirkan masa depan yang belum pasti tapi penuh harapan.Setibanya di Jakarta, hiruk-pikuk kota besar langsung menyambutnya. Ari segera menuju kosan di Depok dekat kampus UI, tempat yang dulu ia tempati. Ia tahu waktu sangat berharga, dan ia harus segera beradaptasi kembali dengan ritme pendidikan dan pekerjaan yang menuntut.Hari-hari berikutnya diwarnai dengan rutinitas padat: menghadiri sesi pendidikan profesi advokat yang selama ini tertinggal, belajar keras demi mengejar materi, serta mempersiapkan diri untuk menghadapi kasus yang dipercayakan kepadanya. Meski lelah dan penuh tekanan, Ari tak pernah mengeluh. Ia terus menggenggam harapan dan mimpi untuk menjadi advokat yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga berjiwa sosial dan penuh integritas.Suasana di kelas PKPA kini terasa lebih menantang. Ari harus mengejar ketertinggalan, namun di sisi lain ia mendapatkan dukungan dari teman-teman dan mentor yang memahami perjuangannya. Tambunan, sahabat barunya, selalu memberikan semangat dan arahan, membantu Ari melewati masa-masa sulit.Kisah Ari yang kembali dari Lampung, dengan segala tantangan yang menghampiri, mengajarkan kita tentang arti keteguhan hati, bahwa perjuangan tak selalu mulus, tapi dengan niat dan kerja keras, pintu-pintu kesempatan akan terbuka lebar. Ari membuktikan bahwa meski langkahnya berat, dia tidak pernah berhenti berjalan maju.Pagi itu, di sebuah ruangan megah yang dipenuhi aroma kopi dan dokumen hukum, Ari duduk berhadapan dengan seorang pria yang dari sorot matanya saja sudah tampak bahwa dia bukan orang biasa. Pria itu adalah ayahnya Tambunan — Tuan Victor Tambunan, seorang pengacara top yang namanya melegenda di seantero ibukota. Bertahun-tahun mendampingi pengusaha, politisi, hingga warga biasa dalam perkara besar dan kecil, menjadikan Victor tak hanya dihormati, tetapi juga disegani.Namun pagi itu, dia tak duduk sebagai pengacara yang sombong dan tinggi hati. Ia duduk sebagai seorang mentor, sebagai seorang ayah, dan sebagai orang yang menaruh harapan pada Ari."Ari..." suara beratnya membuka percakapan. “Kamu anak cerdas. Tapi dunia hukum ini bukan sekadar soal teori dan pasal-pasal.”Ari menatapnya penuh hormat.“Kalau kamu ingin jadi pengacara yang tahan banting, yang tidak cuma pintar bicara tapi paham penderitaan, kamu harus turun langsung. Kamu harus lihat sendiri wajah hukum yang sebenarnya.”Ari mengangguk perlahan. Tuan Victor lalu menyandarkan tubuhnya dan melanjutkan dengan nada yang lebih pelan tapi dalam, “Aku ingin kamu belajar dari tempat yang benar-benar keras. Bukan dari firma besar, bukan dari ruang ber-AC. Tapi dari medan paling jujur... dari rakyat kecil yang berjuang hanya untuk didengar.”Ari terdiam. Kata-kata itu menampar lembut, membuka kesadaran yang selama ini samar.“Aku akan merekomendasikan kamu ke Posbakum — Pos Bantuan Hukum — di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,” ujar Tuan Victor sambil mengambil selembar kartu nama dari laci meja. “Di sana dipimpin langsung oleh Yan Apul. Dia itu pengacara yang dalam. Mungkin tidak terkenal di media sosial, tapi dikenal di hati orang-orang miskin Jakarta. Dia pernah nolak jadi pengacara artis demi dampingi tukang becak yang dirampas haknya.” Ari menerima kartu itu dengan dua tangan, dadanya berdebar.“Kamu akan banyak belajar dari dia. Tentang hukum, tentang rasa, dan tentang makna menjadi pembela rakyat.”Ari terdiam beberapa saat. Ia mencium tangan Tuan Victor dengan mata berkaca-kaca.“Terima kasih, Pak. Saya akan belajar sungguh-sungguh. Saya tidak akan mengecewakan kepercayaan Bapak.”Tuan Victor menepuk bahu Ari.“Banyak anak muda datang ke Jakarta untuk jadi pengacara hebat. Tapi tidak banyak yang bersedia jadi pengacara yang berguna. Jadilah yang kedua, Ari.”Hari itu, langkah Ari mengarah ke tempat yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Bukan gedung pencakar langit, bukan firma hukum bergengsi. Tapi ke sebuah ruangan sederhana di dalam kompleks Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Tempat di mana hukum menyapa mereka yang tak punya uang untuk membayar.Hari Senin pagi, udara Jakarta masih terasa hangat meski mentari baru saja merangkak naik. Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, Ari melangkah dengan langkah pasti menuju Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Bukan sebagai pengacara terkenal, bukan sebagai pembela kasus besar. Tapi sebagai seorang murid yang ingin belajar langsung dari denyut nadi hukum yang paling jujur — di Pos Bantuan Hukum.Gedung pengadilan itu tampak megah dengan cat putih yang mulai memudar di beberapa sisi. Di depan gerbang, para pencari keadilan sudah mulai berdatangan — ada ibu-ibu membawa map usang, bapak-bapak tua dengan wajah penuh harap, dan beberapa pemuda yang tampak kebingungan mencari loket informasi. Semua wajah itu mengandung cerita yang Ari belum sepenuhnya pahami, tapi dia tahu… dirinya harus ada di sini.Dengan ransel yang sudah mulai usang dan sepatu yang tak lagi mengilap, Ari melangkah masuk dan langsung menuju ruang kecil bertuliskan: "POSBAKUM – Pos Bantuan Hukum". Di dalam, ruangan itu hanya diisi tiga meja tua, beberapa kursi plastik, dan rak berisi map perkara yang sudah menguning. Namun di balik kesederhanaannya, ruangan itu dipenuhi semangat yang luar biasa.“Eh, kamu anak baru ya?” sapa seorang perempuan berkacamata yang sedang menata berkas.“Iya, saya Ari… Muhammad Ari Pratomo. Direkomendasikan Pak Victor untuk belajar di sini. Saya ingin bertemu Pak Yan Apul,” jawabnya dengan sopan.Perempuan itu tersenyum, “Wah, anak rekomendasi Pak Victor! Saya Dita. Ini teman-teman saya, Rian dan Desi,” katanya sambil menunjuk dua orang lagi yang sedang duduk menulis. “Pak Yan lagi di ruang sidang, tapi kamu duduk aja dulu. Nanti pasti kamu diajak ikut.”Rian, seorang pria bertubuh kurus dengan rambut klimis menyambut Ari dengan tawa hangat. “Selamat datang di medan tempur. Di sini kamu gak cuma belajar pasal, tapi juga belajar sabar.”Desi, seorang perempuan berhijab dengan suara lembut, menambahkan, “Kadang-kadang klien kita gak ngerti hukum sama sekali, tapi tetap harus kita dampingi. Bahkan kalau perlu, kita jadi penerjemah hukum buat mereka.”Ari langsung merasa diterima. Tidak ada suasana kompetisi, tidak ada tekanan gengsi. Yang ada hanya semangat kolektif untuk membantu. Ini bukan tempat untuk pamer gelar, tapi tempat untuk benar-benar mengulurkan tangan.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang pria paruh baya masuk, mengenakan kemeja putih sederhana, dasi abu-abu kusut, dan membawa map lusuh. Wajahnya tenang, karismanya langsung terasa.“Ini anak baru kita?” tanyanya sambil menatap Ari tajam, namun hangat.“Iya, Pak. Ari,” jawab Ari sambil berdiri dan menjabat tangan dengan hormat.“Yan Apul. Saya bukan orang hebat, tapi saya percaya keadilan itu harus dibela, bukan ditunda. Kalau kamu di sini, kamu harus siap berjuang. Siap?”Ari mengangguk mantap, “Siap, Pak.”“Bagus. Hari ini kamu ikut saya sidang. Dengar, catat, rasakan. Nanti kita bahas bareng-bareng.”Hari itu, Ari resmi menjadi bagian dari Posbakum PN Jakarta Timur. Bersama teman-teman barunya — Dita yang tegas, Rian yang humoris, dan Desi yang sabar — ia mulai menjalani hari-hari yang penuh dengan perkara, tangisan klien, tumpukan dokumen, dan harapan-harapan yang menggantung di lorong pengadilan.Tapi justru dari tempat sederhana itulah, Ari merasa dirinya makin dekat dengan makna hukum yang sesungguhnya: bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang hadirnya keadilan bagi mereka yang selama ini dibungkam oleh ketidakmampuan dan ketidakberdayaan.Pagi itu masih menyisakan sisa embun saat Pak Yan Apul melirik jam tangannya dan memberi isyarat pada Ari untuk mengikutinya. Tanpa banyak kata, mereka berjalan menyusuri lorong panjang Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Setiap langkah terasa berat bagi Ari, bukan karena lelah, tapi karena ia tahu, untuk pertama kalinya, ia akan menyaksikan secara langsung dinamika persidangan dari bangku pendamping bantuan hukum.Mereka masuk ke sebuah ruang sidang kecil. Di sana, seorang ibu paruh baya duduk di kursi terdakwa. Tubuhnya kurus, jilbabnya lusuh, dan tangan kasarnya bergetar menahan malu. Di sampingnya, seorang jaksa muda tengah mempersiapkan berkas dakwaan. Ari langsung merasakan sesuatu yang menyesakkan dadanya. Ini bukan kasus besar, bukan sengketa miliaran, tapi entah mengapa terasa begitu berat.“Kasusnya ringan di atas kertas, tapi berat di hati,” bisik Pak Yan kepada Ari sambil menyerahkan salinan berkas.Ari membaca cepat: Nama: Ibu Sri Wahyuni. Usia: 43 tahun. Pekerjaan: buruh cuci. Tindakan: mencuri dua kotak susu formula di sebuah minimarket. Alasan: untuk anaknya yang sedang sakit dan tak bisa minum apapun selain susu formula.Ketika sidang dibuka, suara palu ketua majelis menggema lirih. Jaksa mulai membacakan dakwaan dengan nada datar. Ibu Sri tertunduk, tak sekalipun menatap ruangan. Air matanya jatuh satu-satu.Pak Yan berdiri tenang, lalu maju ke depan. “Majelis Hakim yang saya hormati,” katanya membuka pledoi, “saya tidak ingin mengurangi arti keadilan, tapi izinkan saya meletakkan nurani dalam ruang ini. Klien kami, seorang ibu yang tak punya daya, hanya ingin menyambung hidup anaknya. Ia tak punya uang, tak punya pekerjaan tetap, dan bahkan tak punya siapa-siapa.”Ia menoleh ke Ari sebentar, memberi isyarat agar memperhatikan setiap sudut argumen yang dibangun. “Jika keadilan hari ini hanya berdiri pada nilai dua kotak susu, maka marilah kita bertanya: berapa harga seorang ibu yang rela dipenjara demi sebotol kehidupan untuk anaknya?”Ruangan hening. Jaksa bahkan tak sanggup menatap wajah Ibu Sri. Hakim terlihat menunduk sejenak, menarik napas dalam.Di tengah persidangan, tiba-tiba Ibu Sri membuka suara dengan suara bergetar, “Saya cuma ingin anak saya sehat, Yang Mulia. Saya gak niat mencuri. Saya cuma mau dia punya tenaga buat sembuh. Saya rela dipenjara asal dia jangan mati kelaparan.”Ari menahan napas. Tangannya mengepal. Suatu rasa keadilan yang baru ia pahami kini bergemuruh dalam dada. Inilah hukum dari sisi manusia yang sesungguhnya — sisi yang tak diajarkan di bangku kuliah, tapi hadir lewat air mata, lapar, dan cinta ibu.Sidang ditutup dengan putusan menangguhkan penahanan Ibu Sri dan memberikan arahan untuk mediasi restoratif dengan pihak minimarket yang bersedia berdamai. Ibu Sri hanya bisa menangis. Dan di luar ruang sidang, saat Ari ikut membantu mengantar beliau keluar, ibu itu menggenggam tangan Ari erat, “Terima kasih, Nak. Kamu baik…”Ari hanya bisa menunduk, menahan air mata yang nyaris pecah. Di sebelahnya, Pak Yan menepuk pundaknya pelan, “Kamu sekarang sudah merasakan hukum yang sesungguhnya, Ari. Keadilan tidak selalu tentang menang, tapi tentang siapa yang tetap punya hati.”Dan hari itu, di tengah lorong usang pengadilan, Ari tahu, langkahnya menuju pengacara sejati baru saja dimulai.Sore itu, selepas sesi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang mulai memasuki materi tentang etika dan tanggung jawab moral pengacara, Ari bergegas menuju Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Di tangannya tergenggam map lusuh berisi dokumen fotokopi yang tadi pagi ia susun sambil menyeruput kopi jualannya. Kasus yang ia tangani kali ini datang dari Pos Bantuan Hukum (Posbakum) — seorang karyawan perusahaan pembiayaan yang dituduh menggelapkan dana konsumen hingga puluhan juta rupiah.Namanya Pak Reno, pria berusia 37 tahun dengan wajah lelah dan mata sayu. Saat pertama kali mendatangi Posbakum, ia hanya membawa selembar surat panggilan dan secarik kertas pengakuan bertanda tangan atas namanya. Namun ia bersikeras, tanda tangan itu ditekan oleh atasannya, bukan keputusannya sendiri.“Saya cuma disuruh tanda tangan buat pencairan bonus katanya. Saya gak pernah tahu kalau itu uang konsumen,” ucap Pak Reno dengan suara nyaris putus. “Saya gak pernah megang uang itu, Mas. Tapi sekarang saya yang dituntut.”Ari meneliti berkas dan mencoba menyusun strategi. Dalam hati ia tahu ini bukan perkara mudah. Tuduhan penggelapan menyangkut nama baik dan masa depan seseorang. Dan lebih sulit lagi jika bukti administratif memberatkan, meski sebenarnya korban hanya dijadikan kambing hitam.Di ruang sidang yang padat sore itu, Pak Yan hanya mengantar sampai ruang tunggu. "Ari, coba kamu maju sendiri hari ini. Saya ingin lihat kamu menangani ini dari awal sampai akhir. Saya percaya," ucapnya sambil menepuk bahu Ari.Langkah Ari terasa berat namun mantap. Ia berdiri mendampingi Pak Reno. Jaksa penuntut menguraikan dakwaan: penggelapan dana senilai 72 juta rupiah, dengan bukti dokumen pencairan yang ditandatangani terdakwa. Sesuai Pasal 374 KUHP.Ketika tiba giliran Ari membela, ia berdiri, menghela napas panjang, lalu membuka argumennya.“Yang Mulia, jaksa hanya menghadirkan satu alat bukti berupa surat bermeterai yang ditandatangani Pak Reno. Namun tidak pernah ada bukti bahwa uang tersebut diterima atau digunakan oleh klien kami. Ia hanya staf lapangan, bukan bagian keuangan, bukan manajer, bukan juga penanggung jawab proyek. Klien kami ditekan untuk tanda tangan sebagai formalitas — dan tekanan itu terjadi dalam situasi kerja yang tidak setara, tanpa saksi, tanpa notulensi, tanpa pemahaman menyeluruh.”Hakim mengangguk pelan, sementara Ari melanjutkan dengan memperkuat argumen melalui dokumen internal SOP kantor yang menunjukkan bahwa wewenang pencairan bukan berada di tangan Pak Reno.Di sisi pembelaan akhir, Ari membuka fakta tambahan — dua mantan karyawan yang memberikan kesaksian tertulis bahwa metode tekanan seperti itu kerap terjadi, dan semua uang selalu dikuasai oleh atasannya, bukan staf lapangan.“Yang Mulia,” tutup Ari dengan suara mantap, “jika keadilan diukur dari tanda tangan yang ditekan dan dipelintir, maka hari ini saya mewakili mereka yang tak bisa melawan di bawah meja kerja atasan yang zalim.”Majelis hakim menunda sidang untuk putusan pekan depan. Namun usai persidangan, Pak Reno menggenggam tangan Ari dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Mas Ari. Baru kali ini saya merasa didengar. Semoga Allah balas kebaikanmu.”Ari tersenyum, letih dan puas. Dalam perjalanan pulang naik angkot, ia merebahkan kepala ke jendela kaca yang berembun. Dua perkara, dua jiwa, dan dua kali pula ia menyaksikan bagaimana hukum bisa menyentuh sisi paling manusia dari kehidupan.Malam itu, di kamar kos kecil yang pengap di Depok, Ari menulis di catatannya:“Menjadi pengacara bukan tentang menang di pengadilan, tapi tentang membuat orang kecil merasa tidak sendirian.”Dan ia pun tertidur dalam peluh perjuangan dan hangatnya harapan.Pagi itu langit Jakarta tampak mendung, seolah ikut memantulkan suasana hati para pedagang kecil yang duduk berdesakan di ruang tunggu Posbakum Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ari baru saja tiba, tas selempang berisi dokumen masih menggantung di bahunya. Setelah mencatat kehadiran dan menyalami beberapa rekan Posbakum, ia dipanggil oleh staf yang membawa satu kasus baru — kasus yang akan membuatnya semakin memahami bagaimana hukum seringkali menjadi medan berat bagi rakyat kecil.“Mas Ari, ini ada Ibu Heni, pedagang lama di daerah Rawamangun. Lapaknya digusur paksa oleh oknum Satpol PP. Barang dagangannya hancur, kerugian sampai belasan juta. Tapi yang lebih parah, dia sekarang malah dilaporkan balik karena statusnya di Facebook dianggap mencemarkan nama baik aparat.”Ari menatap perempuan paruh baya itu yang duduk dengan wajah lelah, namun matanya penuh api perlawanan. Di tangannya tergenggam lembaran fotokopi surat panggilan polisi. Ia tak menangis, tapi tubuhnya sedikit gemetar saat mulai bercerita.“Mas... Saya cuma tulis di Facebook: 'Beginikah negara memperlakukan kami? Oknum berseragam menghancurkan dagangan kami seperti bukan manusia.' Itu pun saya tulis karena marah dan kecewa. Tapi malah saya dipanggil polisi. Dibilang menyebar kebencian.”Ari terdiam sesaat. Ia menatap lembaran salinan status Facebook itu, kemudian menatap wajah Ibu Heni. Dalam hatinya ia tahu, ini bukan hanya perkara hukum — ini soal ketimpangan kekuasaan dan suara kecil yang berusaha didengar.“Bu,” kata Ari pelan namun yakin, “saya akan dampingi Ibu. Status Ibu adalah bentuk ekspresi kekecewaan. Itu bukan penghinaan personal. Kita akan lawan dengan cara hukum yang benar.” Beberapa hari kemudian, Ari berdiri di ruang mediasi kepolisian, mendampingi Ibu Heni menghadapi pihak pelapor — seorang perwira Satpol PP dan pengacaranya. Ari menyampaikan pembelaan awalnya dengan hati-hati namun tegas.“Perlu dibedakan antara kritik terhadap tindakan oknum dengan serangan pribadi. Klien kami tidak menyebut nama, pangkat, atau foto siapa pun. Ia hanya menyampaikan perasaan setelah kehilangan mata pencaharian akibat tindakan aparat. Pasal pencemaran nama baik tidak boleh dipakai untuk membungkam kekecewaan warga.”Pengacara pelapor menyela dengan nada tinggi, menyebut status Facebook sebagai ‘penghasutan’ dan ‘fitnah yang bisa memperburuk citra institusi’. Namun Ari membalasnya dengan mengutip pasal-pasal UU ITE terbaru dan berbagai putusan MA tentang hak warga negara dalam menyuarakan kritik sosial.Setelah berjam-jam mediasi dan negosiasi, akhirnya polisi memutuskan bahwa perkara tidak layak dilanjutkan ke tahap penyidikan. Tidak cukup unsur pidana.Di luar ruangan, Ibu Heni menunduk dalam-dalam, menahan air mata. Kali ini bukan karena takut, tapi karena lega. Ia menggenggam tangan Ari.“Mas... Saya cuma orang kecil. Tapi Mas bikin saya ngerasa gak sendirian.”Ari hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia tahu, kemenangan hari ini bukan untuknya. Tapi untuk setiap suara kecil yang kerap dibungkam oleh seragam dan jabatan.Malam harinya, Ari kembali ke kosan, membuka laptopnya yang mulai uzur, dan menulis catatan:"Kadang, tugas pengacara bukan sekadar membela di ruang sidang, tapi menjaga agar suara rakyat tidak lenyap dalam kebisingan kekuasaan."Lampu kamar menyala temaram. Sementara di luar, hujan mulai turun pelan, membasahi Jakarta yang masih menyimpan ribuan kisah ketidakadilan — menunggu Ari untuk datang dan mendengarkan.Hari itu, aula Fakultas Hukum Universitas Indonesia dipenuhi wajah-wajah penuh harap. Para peserta Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) dari berbagai penjuru negeri, kini duduk rapi mengenakan kemeja terbaik mereka. Di antara mereka, Ari duduk di barisan tengah, jas pinjaman Tambunan melekat gagah di tubuh kurusnya. Matanya tak henti menatap podium, tempat di mana sebentar lagi nama-nama akan dipanggil, dan sebuah sertifikat akan menjadi bukti langkah pertama menuju mimpi panjang: menjadi advokat yang sesungguhnya.Pembawa acara mulai memanggil satu per satu peserta yang telah dinyatakan lulus mengikuti seluruh sesi PKPA. Suasana terasa haru namun penuh kebanggaan."Muhammad Ari Pratomo..."Nama itu menggema dari pengeras suara, membuat Ari tersentak kecil. Ia berdiri, menarik napas panjang, dan melangkah ke depan. Riuh tepuk tangan terdengar, terutama dari Tambunan yang berdiri sambil bersiul kecil — membuat beberapa orang melirik geli. Tapi Ari tak mempedulikan itu. Ia menatap lembar sertifikat di tangannya seperti sedang memegang kunci gerbang masa depan.Namun, ia tahu betul: ini baru awal.Masih ada dua tahap lagi yang harus ia lewati — dan dua tahap itu bukan perkara ringan. Yang pertama, magang selama dua tahun di kantor hukum yang resmi terdaftar. Ari telah menjalani sebagian magang tersebut di kantor ayah Tambunan, namun ia tahu jalan masih panjang dan harus terus mencari jam terbang dan perkara riil agar benar-benar matang.Yang kedua, ujian advokat. Satu langkah penentu yang akan membuktikan apakah ilmunya selama ini mampu dibawa ke medan nyata. Banyak cerita rekan-rekan yang gagal, bahkan setelah dua atau tiga kali ikut ujian. Tapi Ari tidak takut. Ia sudah terlalu lama berjalan untuk hanya ragu di depan pintu.Setelah acara selesai, Ari duduk berdua dengan Tambunan di warung kopi dekat kampus. Di meja mereka, selembar sertifikat terselip di map cokelat, terkena noda kopi yang mengering."Akhirnya," kata Tambunan sambil menyandarkan badan, "tinggal dua langkah lagi, Ri."Ari mengangguk pelan, menatap langit malam Depok yang berpendar samar oleh lampu jalan.“Dua langkah yang mungkin akan jadi yang paling berat... Tapi juga paling menentukan,” balasnya.Tambunan menatapnya serius. “Lo udah sampai sini, Ri. Jauh dari rumah, jual motor, ngopi malam-malam cuma buat survive. Jangan pernah berhenti. Dua tahap itu bukan penghalang. Itu penegasan. Bahwa lo bukan cuma pengacara di atas kertas.”Ari hanya tersenyum. Dalam diamnya, ia tahu satu hal: ia mungkin datang dari kota kecil, dengan logat yang belum sepenuhnya hilang, dan uang yang seringkali pas-pasan. Tapi semangatnya — itu tak pernah kecil.Dan malam itu, dengan secangkir kopi hangat dan mimpi yang belum selesai, Ari bersiap melangkah lagi. Kini lebih yakin, bahwa setiap tetes keringat dan air mata akan menjadi batu loncatan menuju satu gelar yang ia perjuangkan sepenuh hati: Advokat.Pagi hari, matahari baru mengintip dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta Timur ketika Ari sudah berdiri rapi di depan gedung Pengadilan Negeri. Kemejanya sederhana, namun disetrika dengan rapi. Ia membawa tas selempang berisi map, buku catatan, dan kode etik advokat yang sudah lusuh di pojok-pojoknya.Di dalam pengadilan, ia kembali bertemu dengan Pak Yan dan para staf Posbakum. Wajah-wajah yang sudah mulai akrab kini menyapanya hangat. Hari ini ada beberapa kasus yang harus ditangani. Seorang ibu tua kehilangan rumah karena tipu daya rentenir, seorang buruh pabrik dipecat tanpa pesangon, dan seorang pemuda dituduh mencuri motor padahal hanya pinjam milik temannya.Ari duduk mendengarkan mereka satu per satu. Ia mencatat dengan rinci, memberi penguatan, membacakan pasal-pasal yang relevan, dan mulai menyiapkan dokumen untuk advokasi. Ia tak hanya belajar hukum di sini — ia belajar memahami luka orang kecil yang sering tak terdengar suaranya.Setelah seharian di pengadilan, sore menjelang malam Ari pulang ke kosannya di Depok. Tapi malam bukan waktu untuk beristirahat baginya. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia menata gerobak kecil yang ia sulap menjadi kedai kopi sederhana di pinggir jalan — tak jauh dari gerbang masuk sebuah rumah kos besar yang dihuni banyak mahasiswa dan pekerja.Kedainya ia beri nama: “Kopi & Konsultasi”.Bukan sekadar nama. Setiap malam, sambil menyeduh kopi hitam atau susu jahe, Ari membuka sesi konsultasi hukum gratis bagi siapa pun yang datang. Ada yang bertanya soal kontrak kerja, ada pula yang galau karena hutang pinjol. Seorang satpam curhat soal perceraiannya. Mahasiswa bercerita tentang sengketa warisan orangtuanya.Ari tak pernah menagih bayaran. Cukup beli segelas kopi, dan mereka bisa bicara. Kadang ia lelah. Sangat lelah. Badannya kurus dan matanya sering sembab karena kurang tidur. Tapi setiap malam, ketika ia selesai menutup kedai sekitar pukul 1 dini hari, ada perasaan hangat di dadanya. Seolah-olah ia tahu, apa pun rintangannya, ia sedang berada di jalan yang benar.Sambil menata gelas-gelas ke ember kecil dan mengunci gerobak, ia menatap langit Jakarta yang temaram."Pelan-pelan, Jakarta. Aku belum selesai," gumamnya.Dan di dalam benaknya, satu kalimat terus hidup:“Keadilan bukan hanya milik yang mampu membayar mahal, tapi milik siapa pun yang berani berharap.”Setiap malam di kedai kecilnya, Ari bukan hanya menyajikan kopi—ia menyajikan ruang aman bagi mereka yang tak didengar di tempat lain. Di sudut jalan Depok yang tenang namun penuh cerita, “Kopi & Konsultasi” menjadi saksi bisu air mata dan luka-luka yang tak tampak.Meja kayu sederhana, bangku plastik, dan lampu temaram cukup untuk membuat orang-orang berani membuka cerita hidup mereka. Di sinilah Ari mendengar kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal suaminya tanpa nafkah dan dokumen cerai, padahal ia harus menghidupi dua anak kecil. Di malam lain, datang seorang driver ojek online yang kena tilang semena-mena, padahal hanya terlambat perpanjang SIM karena tak sanggup membayar.Setiap cerita seperti merobek lembar-lembar baru dalam catatan batin Ari. Mereka datang dengan wajah lelah, suara pelan, dan mata yang menyimpan rindu pada keadilan. Dan di depan mereka, Ari hanya seorang pria muda dengan gelas kopi, bolpoin, dan segenap tekadnya untuk mendengarkan dan mencarikan jalan. “Mas Ari, saya cuma pengen tahu... apakah hukum di negeri ini cuma berpihak pada yang kaya?” tanya seorang pedagang kaki lima malam itu. Matanya berkaca-kaca karena gerobaknya digusur tanpa peringatan oleh aparat.Ari diam. Ia tahu, tak semua bisa dijawab dalam satu malam. Tapi ia menjawab dengan caranya sendiri — mendengar, mencatat, dan menjanjikan bahwa ia akan mencari celah hukum yang bisa memperjuangkan mereka.Setiap kali mengunci gerobak kopinya di akhir malam, Ari merasa seolah menggembok satu gudang cerita tentang penderitaan yang tak masuk berita.Tapi ia tak mengeluh.Karena ia tahu, ini bukan tentang jadi pahlawan. Ini tentang jadi manusia.Dan setiap tetes air mata yang ia lihat di kedai kopinya, mengukir satu janji di hatinya:Bahwa hukum tidak boleh hanya milik yang mampu — tapi milik setiap orang yang memerlukan keadilan.Di bawah langit Jakarta, dengan aroma kopi dan malam yang hening, Ari terus merawat harapan. Satu gelas demi satu cerita.Makin hari, kedai kopi milik Ari bukan sekadar tempat berteduh dari lelahnya Jakarta. Kedainya menjelma menjadi semacam pos pengaduan sunyi yang tak dimiliki negara. Orang datang bukan untuk menikmati rasa pahit manis dari secangkir kopi, tapi untuk meluapkan getir hidup yang tak tertampung di pengadilan, tak dipedulikan oleh sistem, dan tak dianggap oleh kekuasaan.Setiap malam, bangku plastik di depan gerobak Ari dipenuhi wajah-wajah gelisah. Mereka menunggu giliran bukan untuk memesan, tapi untuk berbicara. Dan anehnya, tak satu pun dari mereka datang membawa uang. Mereka hanya membawa berkas-berkas penuh coretan tangan, fotokopi laporan polisi yang tak ditindaklanjuti, surat panggilan yang membingungkan, atau sekadar cerita yang sudah berkali-kali ditolak oleh kantor hukum besar.Ada yang menangis karena digugat balik setelah menjadi korban penipuan. Ada anak muda yang dipecat tanpa pesangon karena melaporkan pelecehan. Ada janda tua yang tanah warisannya hendak dikuasai mafia tanah.Dan Ari… selalu ada di tengah mereka. Menyeduh kopi dengan satu tangan, membuka berkas dengan tangan lain, dan membuka hatinya sepenuhnya untuk mendengarkan.Namun yang paling membuat hati Ari remuk adalah satu kenyataan: Kedainya makin ramai, tapi bukan karena jualannya laku. Melainkan karena tangisan keadilan yang tak pernah berhenti mengalir.Malam itu, Tambunan mampir. Dengan mobil hitamnya yang biasa parkir jauh agar tak mencolok. Ia melihat sendiri betapa gerobak kopi Ari dikelilingi penderitaan.“Ri, tempat ini... bukan sekadar warung. Ini tempat pengakuan dosa hukum kita,” bisiknya, pelan.Ari hanya tersenyum letih.“Aku enggak punya banyak, Ban. Tapi selama mereka datang dengan air mata... aku nggak bisa tutup gerobak ini.”Tambunan menatapnya lama. Lalu tanpa berkata-kata, ia bantu Ari menyajikan kopi, mengangkat berkas, dan sesekali menghibur pengunjung dengan candaan receh yang membuat mereka bisa tertawa—meski hanya sebentar.Malam-malam berikutnya, berita tentang kedai Ari mulai menyebar dari mulut ke mulut. Bukan sebagai “tempat kopi enak”, tapi sebagai tempat di mana hukum masih mau mendengar.Dan begitulah, kedai itu tumbuh bukan karena menu yang lengkap. Tapi karena jiwa yang utuh. Karena bagi mereka yang terpinggirkan, Ari dan gerobaknya adalah tempat terakhir untuk berharap.Di antara asap kopi, dinginnya malam, dan tumpukan masalah hukum yang tak pernah usai, Ari tetap berdiri. Bukan sebagai penjual kopi biasa. Tapi sebagai penjaga lilin kecil keadilan yang terus menyala di tengah gelapnya Jakarta.Akhirnya, kabar yang selama ini ditunggu-tunggu datang juga. Sebuah pengumuman dari DPN Peradi tersebar luas—Ujian Advokat Gelombang Satu resmi akan digelar. Pengumuman itu bukan sekadar informasi biasa. Bagi mereka yang selama ini berjuang dalam senyap di balik meja posbakum, itu adalah momen krusial, ujian hidup yang akan menentukan apakah pengabdian dan peluh selama ini akan menemukan jalan resminya sebagai seorang advokat.Ari membacanya pagi-pagi dari layar ponsel miliknya yang retak di sudut kiri. Tangannya sempat gemetar. Bukan karena takut, tapi karena seperti diingatkan kembali bahwa perjuangan panjang ini belum berakhir, justru akan segera memasuki babak paling menentukan.Di ruang kecil Pos Bantuan Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Timur, suasana mendadak riuh. Semua yang tergabung sebagai paralegal dan peserta magang di sana berkumpul. Ada yang memotret pengumuman dari WhatsApp group, ada yang langsung mengisi formulir pendaftaran online, dan tak sedikit yang hanya duduk diam—merenungi kesiapan mereka sendiri.Pak Yan Apul masuk, melihat mereka satu-satu, lalu berdiri di tengah ruangan.“Ini bukan cuma soal lulus atau tidak. Ini soal keberanian kalian untuk berdiri sejajar. Selama ini kalian melayani rakyat kecil, tapi belum punya kewenangan penuh. Ini saatnya kalian rebut legitimasi itu. Jangan pikirkan siapa yang akan lulus. Pikirkan siapa yang tidak akan kalian bantu jika kalian berhenti di sini.”Semua terdiam. Lalu satu per satu mulai mengambil keputusan. Mendaftar.Ari adalah yang pertama menyerahkan berkasnya. Di belakangnya menyusul Rara, Dito, Tambunan—meski ayahnya bisa dengan mudah mengamankan posisi di kantor besar, Tambunan memilih ikut jalur rakyat. Ikut mendaftar dari Posbakum.Hari itu, di antara tumpukan berkas perkara dan tangisan klien yang belum berhenti berdatangan, para calon advokat Posbakum sepakat: mereka akan berjuang, bukan untuk nama, bukan untuk popularitas, tapi untuk janji diam mereka kepada rakyat—bahwa hukum bukan milik orang kaya saja.Mereka belajar bersama, malam-malam di kedai kopi Ari berubah menjadi sesi belajar darurat. Tambunan menyumbang buku-buku hukum tebal, Ari menyiapkan kopi gratis untuk yang belajar, dan Pak Yan sesekali datang memberi pembekalan materi dan mental.Ujian itu akan datang. Dan mereka siap. Bukan karena mereka merasa hebat, tapi karena mereka tahu—di balik status advokat yang akan mereka kejar, ada suara-suara kecil yang selama ini bergantung pada mereka.Dan bagi Ari, ini bukan akhir. Ini justru permulaan dari pengabdian yang sesungguhnya.Hari itu, suasana aula tempat ujian advokat digelar terasa tegang sejak pagi. Semua peserta datang dengan pakaian rapi dan wajah penuh harap. Ari mengenakan kemeja putih lengan panjang, dasi hitam, dan jas pinjaman dari Tambunan. Ia duduk di kursinya dengan tenang, mencoba mengendalikan degup jantung yang sedari tadi tak karuan.Soal ujian pun dibagikan.Ari menatap lembar demi lembar dengan penuh semangat. Ia mengingat kembali malam-malam begadang di kedai kopi, buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan fakultas hukum UI, diskusi panjang dengan Tambunan dan teman-teman Posbakum, serta semua perkara yang pernah ia tangani bersama Pak Yan. Semua pengalaman itu terasa seperti amunisi yang cukup.Dengan percaya diri, ia mengisi satu per satu jawaban. Ada soal yang membuatnya tersenyum karena ia ingat pernah mendebatkan hal serupa saat menangani kasus maling susu di supermarket. Ada pula soal yang cukup membuatnya berpikir keras, tapi Ari tidak panik. Ia yakin.Beberapa minggu berlalu, dan hari pengumuman pun tiba. Nama-nama yang lulus diumumkan melalui situs resmi dan juga papan pengumuman yang ditempel di kantor DPN Peradi.Ari datang sendirian. Ia berdiri di depan papan pengumuman yang sudah dikerumuni banyak peserta lain. Matanya menelusuri satu per satu baris nama."Tambunan… Rara… Dito…" bisiknya perlahan.Ia terus mencari."Muhammad Ari Pratomo..."Namun nama itu tak juga ditemukan. Ia membaca lagi. Lebih pelan. Lebih teliti. Sampai akhirnya kenyataan menamparnya keras. Namanya tidak ada. Ari menatap papan pengumuman itu lama. Dunia seakan berhenti berputar. Semua suara di sekelilingnya mendadak menghilang, menyisakan gemuruh kecewa dalam dadanya sendiri. Ia mundur perlahan, lalu berjalan menjauh, menunduk, seperti seseorang yang baru saja kalah dalam perang yang ia yakini akan ia menangkan.Di halte bus Transjakarta, ia duduk lama, menatap langit yang mulai kelabu. Angin sore menerpa wajahnya, seolah ikut menertawai harapannya yang runtuh.“Aku gagal…” gumamnya lirih.Tangannya mengepal. Ia bukan menyesali dirinya, tapi ia merasa telah mengecewakan banyak orang. Pak Yan, orang tuanya di Lampung, teman-teman Posbakum, bahkan semua klien yang berharap suatu hari nanti dia bisa benar-benar menjadi pengacara resmi.Namun di balik kekecewaan itu, ia tahu satu hal:Ini bukan akhir. Ini adalah pelajaran. Ini adalah seleksi alam untuk para pengabdi kebenaran.Dan Ari, meskipun sedang jatuh, tidak punya rencana untuk menyerah.Pagi itu, suasana Posbakum Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak seramai biasanya. Hujan gerimis sejak dini hari seperti tahu bahwa hati Ari masih diguyur kecewa yang belum reda.Ari datang dengan langkah pelan. Wajahnya kusut, rambutnya sedikit berantakan karena semalam ia tertidur tanpa sempat mandi. Jaket lusuh yang membalut tubuhnya seperti ikut menyimpan letih yang panjang. Ia menyapa rekan-rekan Posbakum yang sudah lebih dulu tiba, tapi senyumnya tak seperti biasanya—lebih datar, lebih berat.“Eh, Ri… lo udah tahu hasil ujian kemarin?” tanya Sari, teman satu angkatan di PKPA yang duduk di meja depan sambil menyiapkan berkas perkara.Ari hanya mengangguk pelan. “Udah,” jawabnya singkat.Pak Syaiful, pensiunan guru besar hukum yang juga ikut ujian dan kini menjadi relawan senior di Posbakum, mendekat dengan ekspresi tenang.“Gimana, Ri?” tanyanya lembut, seperti seorang ayah kepada anak yang baru jatuh.“Gagal, Pak…” jawab Ari, menunduk. Ia tidak sanggup menatap mata siapa pun pagi itu.Seketika ruangan hening sejenak. Beberapa yang mendengar menoleh. Namun bukan ejekan atau sindiran yang datang, justru simpati dalam diam.“Kamu bukan satu-satunya, Nak,” kata Pak Syaiful sembari menepuk bahu Ari. “Dari ribuan peserta, cuma delapan belas yang lulus. Saya juga nggak lolos. Bahkan Pak Wirya, pensiunan hakim tinggi itu… juga nggak lulus. Ini ujian yang bukan cuma soal pintar, tapi soal ketahanan.”Ari terkejut. “Pak Wirya… nggak lulus?”Pak Syaiful mengangguk mantap. “Iya. Jadi jangan kamu kira kegagalanmu itu aib. Justru di sinilah dibentuknya mental pejuang hukum. Yang kuat akan bangkit, yang lemah akan menghilang.”Ari mengangguk pelan, seperti menyesap semangat dari kata-kata itu. Ia duduk di bangkunya yang biasa, menatap map-map permohonan bantuan hukum yang menumpuk di meja.Tambunan datang menyusul, dengan wajah bingung melihat Ari yang murung. “Lo nggak lulus juga?”Ari hanya menatapnya dan mengangguk.“Gue juga nggak. Bokap gue bilang, ‘Itulah kenapa lo harus belajar dari orang-orang yang jalan hidupnya bukan disiapin, tapi ditempa.’ Dan sekarang gue ngerti maksudnya.”Ari tersenyum samar. Ia merasa sedikit lega. Ternyata bukan hanya dirinya yang gagal. Dan bukan hanya dirinya yang tetap memilih bertahan.Pagi itu, Posbakum kembali hidup perlahan. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena semangatnya menyala kembali. Ari membuka map pertama, membaca surat permohonan dari seorang buruh yang di-PHK sepihak. Ia menarik napas panjang.Gagal di ujian bukan berarti gagal jadi pembela keadilan.Dan dari hari itu, Ari tahu: ia akan bangkit. Bukan karena dunia menyuruhnya, tapi karena hati nuraninya tak pernah mengizinkannya berhenti.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Detik detik ujian Skripsi

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Pagi itu, udara di sekitar kampus Bandar Lampung terasa segar, namun hati Ari bergolak dengan perasaan campur aduk. Ia tiba lebih awal, mengenakan pakaian rapi dan membawa berkas skripsi yang sudah ia siapkan dengan sebaik mungkin. Di dalam tasnya, tersimpan harapan besar yang selama ini ia bangun dengan kerja keras dan kegigihan.Di ruang tunggu ujian skripsi, Ari berdiri di antara puluhan mahasiswa lain yang sama-sama menanti giliran dipanggil. Suasana begitu tegang, wajah-wajah penuh cemas dan doa terpancar dari setiap sudut ruangan. Beberapa mahasiswa terlihat sibuk mengulang-ulang catatan mereka, ada yang menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, sementara yang lain sibuk berbisik satu sama lain.Ari mencoba menenangkan diri dengan menarik nafas panjang, tapi detak jantungnya tetap cepat tak beraturan. Ia duduk di pojok ruangan, memeriksa kembali poin-poin penting yang akan ia sampaikan. Namun matanya sesekali melirik ke pintu ruang ujian, berharap segera dipanggil. Di sana, terdengar suara dosen sedang mengajukan pertanyaan kepada mahasiswa yang tengah diuji. Suara itu membuat suasana semakin nyata, betapa berat dan pentingnya momen yang akan segera dihadapinya.Waktu berjalan begitu lambat. Ari memperhatikan beberapa mahasiswa keluar dari ruang ujian dengan ekspresi yang berbeda-beda — ada yang tersenyum lega, ada pula yang terlihat sedih dan kecewa. Hal itu semakin menambah beban di pundaknya. Ia tahu, ujian ini bukan sekadar formalitas, tapi juga pertaruhan masa depan yang selama ini ia perjuangkan.Ketika namanya akhirnya dipanggil, Ari berdiri dengan tubuh sedikit gemetar. Ia mengumpulkan seluruh keberanian yang tersisa, menatap wajah para dosen penguji yang sudah siap dengan catatan dan pertanyaan tajam. Langkahnya menuju ruang ujian terasa berat, tapi tekadnya tetap kuat. Hari ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya, sebuah tantangan yang akan menentukan apakah perjuangannya selama ini berbuah manis atau tidak.Di dalam ruang sidang, tiga dosen penguji duduk dengan ekspresi serius. Salah satunya membuka naskah skripsi Ari yang telah penuh coretan tinta merah."Langsung saja," ujar Dosen Penguji 1. "Skripsi Anda berjudul Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus antara Klien dan Advokat. Dari judulnya saja, kami sudah punya banyak pertanyaan. Tapi mari kita mulai dari landasan hukum yang Anda pakai."Ari mengangguk. "Saya menggunakan KUHPerdata Pasal 1792 sampai dengan 1819, serta Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, terutama Pasal 15 dan 16 yang mengatur tentang fungsi dan tanggung jawab advokat dalam menjalankan kuasa hukum...""Stop," potong Dosen Penguji 2. "Itu dasar umum. Semua mahasiswa hukum tahu itu. Yang kami ingin tahu, di mana letak analisis yuridis-nya? Di mana letak kebaruan penelitianmu?"Ari diam. Ia membuka-buka catatannya, tapi pikirannya berkabut.Dosen Penguji 3 melanjutkan, "Kamu menulis bahwa 'surat kuasa khusus merupakan bukti perikatan formal antara klien dan advokat'. Bukankah ini terlalu dangkal? Mana pendekatan yuridis normatifnya? Mana komparatifnya? Mana kasus nyatanya?""Saya... saya mencoba mengangkat perspektif peran surat kuasa khusus tidak hanya sebagai dokumen hukum administratif, tapi juga sebagai manifestasi dari kepercayaan antara dua pihak...""Kalau cuma bicara 'kepercayaan', lebih baik kamu ambil jurusan Psikologi, bukan Hukum," cetus Dosen Penguji 1 tajam. Tawa tipis terdengar dari salah satu sudut ruangan, mungkin dari penguji tamu.Ari terdiam. Napasnya sesak. Tapi ia tidak boleh mundur."Bab 3 ini," ujar Dosen Penguji 2 sambil mengangkat lembar yang penuh coretan, "kamu mengutip banyak sekali dari jurnal, tapi tidak ada satu pun studi lapangan. Kamu bilang pernah ikut magang di tiga kantor pengacara. Mana aplikasinya? Mana pengalaman nyatamu yang dimasukkan ke analisis?"Ari mengangguk. "Saya... memang belum membuat studi lapangan yang formal, karena waktu penyusunan skripsi bersamaan dengan masa sidang perkara yang cukup kompleks...""Lantas, kenapa tidak minta perpanjangan waktu? Kenapa tidak buat lampiran? Kamu kira teori dan kenyataan bisa berdiri sendiri? Ini hukum, Ari. Bukan opini pribadi!"Ari menarik napas panjang. Ia mencoba tetap tenang. "Saya ingin menjadikan skripsi ini sebagai ruang refleksi, Pak. Dari apa yang saya alami saat mendampingi para pengacara senior, saya mulai memahami bahwa surat kuasa khusus bukan hanya soal formalitas hukum, tapi juga soal bagaimana tanggung jawab advokat terhadap moral, terhadap nurani...""Nurani?" Dosen Penguji 3 tersenyum sinis. "Kamu bicara nurani di sidang akademik? Ini bukan ceramah agama, Ari. Ini ujian hukum. Bicara dengan presisi, bukan perasaan."Ari menunduk. Tapi ia tak menyerah. "Justru itu, Bu. Saya percaya hukum akan kehilangan jiwanya bila kita tidak menghidupkannya dengan nurani. Dan saya ingin skripsi ini menjadi pengingat bahwa hukum bukan sekadar teks, tapi amanah...""Lalu kamu mau lulus dengan amanah atau dengan data? Kami di sini bukan untuk menilai moral kamu, tapi metodologi kamu. Jangan terjebak pada retorika!"Ari mengangguk lagi, kali ini lebih pelan. Ia merasa seolah dihantam dari berbagai penjuru. Tapi dalam dadanya, sesuatu tetap menyala—keyakinan bahwa apa yang ia tulis bukan semata-mata untuk lulus. Tapi untuk menyuarakan kebenaran dari sisi yang mungkin tak populer di ruang sidang akademik: hati nurani.Sidang masih berlangsung. Dosen terus membuka halaman demi halaman, membacakan kutipan, mengkritik struktur, mempertanyakan keaslian analisis, mencela kurangnya data sekunder.Namun Ari bertahan. Meski gemetar. Meski hati dan pikirannya terasa diperas habis-habisan. Ia tahu, ini bukan akhir. Ini hanya ujian. Dan ujian sejati bukan hanya tentang lulus atau tidak, tapi tentang apakah seseorang tetap bisa berdiri tegak—meski dikelilingi keraguan, tekanan, dan ketidakadilan.Di luar ruang, langit mulai mendung. Tapi di dada Ari, masih ada cahaya kecil yang terus menyala.Dosen Penguji 1 bersedekap, sorot matanya tajam menusuk ke arah Ari. "Baik, kalau kamu merasa sudah belajar dari banyak pengalaman di lapangan, sekarang saya tanya... Di halaman 42 skripsimu, kamu menulis bahwa 'Surat kuasa khusus dapat dijadikan dasar tunggal pembelaan apabila klien tidak mampu hadir secara fisik.' Apa kamu sadar pernyataanmu ini menyesatkan secara hukum?"Ari menegakkan punggung. "Pernyataan itu saya dasarkan pada praktik kasus yang saya ikuti di kantor Pak Agusman. Ada klien yang sakit parah dan tidak bisa hadir sidang, namun tetap mendapatkan pembelaan penuh karena surat kuasa khusus telah mencakup kewenangan absolut kepada advokatnya.""Ya, tapi di sini kamu membuatnya terdengar seolah-olah itu hukum yang berlaku universal!" bentak dosen itu. "Kamu tidak menulis konteks secara lengkap! Kamu tahu tidak apa akibat dari penulisan seperti ini kalau dibaca mahasiswa lain? Bisa sesat paham, bisa fatal!"Dosen Penguji 2 ikut menimpali, dengan nada mengejek, "Kalau begini caranya kamu menulis, saya jadi ragu kamu benar-benar paham beda antara norma yuridis dan fakta lapangan. Atau jangan-jangan kamu hanya copy-paste pengalaman lalu tempelkan dengan bahasa legal formal seolah itu karya ilmiah?"Ari menghela napas panjang, namun tetap menjawab sopan. "Saya tidak copy-paste, Bu. Saya tulis sendiri berdasarkan observasi dan konsultasi dengan pembimbing saya. Justru saya ingin memperlihatkan bahwa praktik hukum tidak selalu hitam-putih. Bahwa surat kuasa bisa menjadi alat yang vital jika dimaknai secara tepat."Tapi dosen Penguji 1 tidak berhenti. Ia membuka halaman lain, lalu menghentakkan jari pada kertas. "Dan ini! Apa-apaan kamu menulis, 'Keadilan bukan hanya keputusan, tapi perjalanan nurani dari pengacara dan hakim.' Ini kamu kira kutipan buku sufi? Ini fakultas hukum, bukan pesantren!"Ari terdiam sejenak. Kepalanya menunduk, tapi bukan karena kalah—melainkan menahan diri dari amarah yang mulai mendidih. Ia teringat wajah Kang Hasan, senyumnya yang selalu tenang ketika menasihati, "Ilmu yang paling tinggi itu bukan hafalan, tapi kebijaksanaan. Dan itu datang dari nurani yang jujur.""Kalimat itu saya buat setelah mengikuti Kang Hasan di Lembaga Bantuan Hukum," jawab Ari dengan suara yang mulai serak. "Saya melihat sendiri bagaimana beliau menyelesaikan perkara-perkara perdata dan pidana kecil tanpa harus naik sidang. Dia hanya duduk dengan kedua belah pihak, bicara dari hati, dan mendamaikan mereka. Itu lebih adil dari sekadar menang di pengadilan.""Tapi tidak ada relevansinya dengan skripsi hukum!" bentak dosen Penguji 3. "Kamu ini terlalu emosional. Kalau kamu jadi pengacara kelak, kamu pasti mudah dikalahkan karena kamu lebih banyak pakai hati daripada otak!"Kata-kata itu menusuk. Ari menggenggam ujung kursi kuat-kuat. Tapi ia tak membantah. Ia tahu, semua kalimatnya sedang diuji bukan hanya sebagai materi ilmiah, tapi sebagai prinsip hidup.Dosen Penguji 2 lalu tertawa kecil sambil bersandar. "Saya rasa kamu lebih cocok jadi motivator daripada sarjana hukum. Saran saya, kalau kamu ingin lulus, perbaiki skripsi ini dan buang semua embel-embel idealisme yang tidak berguna itu."Ari tersenyum tipis. "Kalau itu syaratnya, mungkin saya akan lulus, tapi saya akan gagal sebagai manusia. Dan saya lebih memilih lulus sebagai manusia yang tetap memegang prinsip."Seisi ruangan hening.Satu dosen berdehem. Yang lain menoleh sinis.Waktu terasa begitu lambat. Tapi Ari tetap duduk, tidak gentar. Ia tahu: ini bukan soal nilai. Ini ujian karakter.Dan ia siap.Ketegangan di ruang sidang masih menggantung di udara seperti kabut yang pekat. Ari menatap ke depan, matanya belum berkedip sejak terakhir ia menjawab dengan kalimat yang mengguncang: "Saya lebih memilih lulus sebagai manusia yang tetap memegang prinsip."Tak satu pun dosen berbicara. Yang terdengar hanyalah suara jam dinding yang berdetak pelan, seperti menghitung detik menuju vonis akhir.Dosen Pembimbing Ari, yang sejak tadi diam dan hanya mencatat, akhirnya meletakkan pulpennya."Baik," katanya pelan, suaranya datar.Ari menelan ludah. Ia tak bisa membaca ekspresi dosennya—apakah itu tanda kecewa? Marah? Atau...?"Silakan keluar dulu. Kami akan berdiskusi," ucap Dosen Penguji 1, tetap dengan wajah tanpa ekspresi.Ari berdiri. Kakinya terasa berat. Ia membungkuk sopan dan melangkah keluar, kepalanya sedikit tertunduk. Di luar, teman-temannya menatapnya dengan berbagai ekspresi. Beberapa menyeringai puas, beberapa berbisik sambil melirik sinis. Salah satu dari mereka menepuk bahunya."Gue dengar dari penguji tadi, lo digempur habis-habisan. Gagal, ya?" katanya sambil tertawa kecil. "Makanya bro, jangan idealis mulu. Dunia hukum tuh bukan tempat buat orang suci."Ari hanya tersenyum tipis. "Mungkin," katanya singkat. Lalu duduk di ujung bangku tunggu, menatap tanah. Detik-detik berlalu. Setiap menit seperti satu jam. Ia memejamkan mata sejenak, mengulang semua jawaban yang ia lontarkan tadi. Di satu sisi ia yakin, tapi di sisi lain, keraguan mulai mencubit. Apa aku terlalu jujur? Terlalu berani? Terlalu... nekat?Lima belas menit kemudian, pintu ruang sidang terbuka."Saudara Muhammad Ari Pratomo, silakan masuk kembali," panggil suara dari dalam.Dengan napas dalam, Ari melangkah masuk. Ia berdiri tegap, namun detak jantungnya seperti genderang perang.Di dalam, ketiga dosen duduk tegak, ekspresi mereka masih dingin. Tidak ada senyum. Tidak ada petunjuk.Dosen Penguji 2 membuka suara pertama. "Setelah berdiskusi panjang, kami sepakat untuk memberikan penilaian terhadap skripsi Anda."Ari bersiap. Apapun hasilnya, ia akan menerimanya."Saudara Muhammad Ari Pratomo...," lanjutnya. "Kami ingin menyampaikan bahwa..."Dosen itu berhenti sejenak. Lalu saling pandang dengan penguji lainnya. Dosen Pembimbing kemudian tersenyum. Untuk pertama kalinya."Bahwa Anda adalah mahasiswa pertama dalam sejarah fakultas ini yang menulis skripsi dengan pendekatan moralitas hukum berbasis pengalaman nyata, keberanian intelektual, dan nilai-nilai keadilan dari hati nurani. Semua yang tadi Anda alami...," ia tersenyum lebar, "...adalah bagian dari ujian terakhir kami terhadap mental Anda."Ari membelalak."Kami...," lanjut Dosen Penguji 1 dengan nada lembut kali ini, "...tidak sedang menjatuhkan Anda. Kami ingin tahu seberapa kuat Anda bertahan pada kebenaran yang Anda yakini. Dan Anda... lulus. Bukan hanya secara akademik, tapi sebagai calon advokat masa depan."Dosen Pembimbing berdiri. "Dengan ini, kami beri nilai A. Skor 98. Nilai tertinggi di antara seluruh peserta sidang skripsi tahun ini."Ari terdiam. Mulutnya sedikit terbuka. Matanya mulai berkaca-kaca."Saya... saya..." ia terbata.Dosen Penguji 3 yang tadi paling garang kini tersenyum sambil berkata, "Jangan menangis, Ari. Tapi simpan keberanian dan hati nurani itu. Dunia hukum Indonesia membutuhkan lebih banyak orang seperti kamu."Suara detik jam terasa kembali, tapi kali ini seolah berdetak diiringi lagu kemenangan.Ari membungkuk. "Terima kasih, Bapak dan Ibu Dosen. Terima kasih..."Dan saat ia keluar dari ruang sidang, cahaya matahari terasa jauh lebih hangat. Teman-temannya yang tadi mengejek terdiam. Salah satu dari mereka bahkan menelan ludah melihat wajah Ari yang penuh kelegaan.Hari itu, Muhammad Ari Pratomo tidak hanya lulus sebagai sarjana hukum. Tapi sebagai calon pengacara berhati nurani—yang tahu, bahwa kadang, ujian paling berat bukan soal benar atau salah, tapi soal tetap berdiri ketika semua mencoba menjatuhkan.Dan ia menang. Dengan hati.Setelah lulus, Ari memutuskan untuk melanjutkan Pendidikan Profesi Advokat di Jakarta. Namun, ia tidak memiliki cukup uang. Dengan berat hati, ia menjual motor RX King pemberian ayahnya—simbol perjuangan keluarganya—untuk biaya hidup dan pendidikannya di ibu kota.Di Jakarta, Ari menghadapi tantangan baru: kehidupan yang keras, persaingan ketat, dan godaan untuk mengkompromikan prinsipnya. Namun, ia tetap teguh pada nilai-nilai yang ia pegang.Suatu hari, saat sedang mengikuti perkara pro bono, Ari bertemu dengan seorang klien miskin yang terancam kehilangan rumahnya. Meski tidak dibayar, ia berjuang mati-matian, menggunakan segala ilmu dan pengalamannya. Kasus itu akhirnya dimenangkan, dan nama Ari mulai dikenal sebagai pengacara muda yang berintegritas.Kisah Ari mengajarkan bahwa keadilan sejati tidak hanya ditemukan di ruang sidang, tetapi juga dalam keteguhan hati untuk tetap jujur dan berprinsip, meski di tengah tekanan dan godaan."Hukum tanpa nurani hanyalah mesin tanpa jiwa. Tapi ketika keduanya bersatu, di situlah keadilan sejati hidup."

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Menolak Cinta, Memilih Karier

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Senja merayap masuk ke jendela kamar kos Ari, menebarkan cahaya oranye yang hangat namun mengusik pikirannya yang sedang mendung. Di atas meja, buku-buku hukum berserakan, sebagian terbuka, sebagian sudah penuh coretan stabilo. Tapi kali ini, bukan soal pasal atau yurisprudensi yang memenuhi kepalanya. Ari duduk diam, merenung—tentang masa depan, tentang arah hidup setelah toga dilepas dari kepala.Sebagai mahasiswa tingkat akhir di fakultas hukum, Ari tahu satu hal dengan pasti: dunia setelah wisuda tak akan ramah. Pilihan terbentang luas—menjadi jaksa, hakim, notaris, atau pengacara. Tapi di balik semua itu, Ari hanya ingin satu: menjadi orang yang bisa memperjuangkan keadilan untuk mereka yang tak punya suara. Hukum bukan hanya soal menang dan kalah di ruang sidang, tapi tentang keberanian membela yang benar, walau tak populer.Sementara itu, di sekitarnya, satu demi satu teman-temannya mulai menjalin cinta, membuat rencana pernikahan, dan berbicara soal rumah masa depan. Ari hanya tersenyum. Ia tahu dirinya berbeda. Cinta bisa datang nanti. Tapi kesempatan membangun masa depan, jaringan, dan nama baik—hanya datang sekali. Ia memilih karier."Kalau nanti aku jadi pengacara," gumamnya pelan, "aku ingin dikenal bukan karena gaya hidupku, tapi karena keberanianku berdiri untuk yang tertindas."Dan dari malam itulah, langkahnya dimulai—sendiri, teguh, dan penuh ambisi.Ari tahu betul medan yang akan ia hadapi. Dalam pikirannya, menjadi jaksa, hakim, atau polisi bukan sekadar soal lulus seleksi atau mendapat nilai tinggi. Di era sekarang, bukan rahasia umum lagi bahwa banyak posisi di dunia hukum dan penegakan keadilan membutuhkan "jalur dalam"—koneksi dengan pejabat, kenalan petinggi, bahkan restu dari orang-orang yang memiliki kuasa.Ia menghela napas panjang. Bukan karena iri, tapi karena sadar dirinya bukan bagian dari lingkaran itu. Ia membiayai kuliahnya sendiri sejak semester dua, dengan kerja sambilan dan bantuan beasiswa. Tak ada orang dalam. Tak ada uang pelicin. Yang ia punya hanyalah prinsip, mimpi, dan warisan moral dari satu sosok yang sangat ia hormati: ayahnya.Ayah Ari adalah seorang abdi negara—intelijen yang hidup dalam bayang-bayang negara, bekerja dalam senyap, tapi memegang teguh kejujuran seperti napasnya sendiri. Sejak kecil, Ari dibesarkan dengan nilai-nilai yang tegas: pantang menerima suap, menjauhi kolusi, dan tidak menyentuh nepotisme. Bagi ayahnya, Indonesia tidak akan berubah kalau generasi berikutnya menyerah pada sistem yang busuk. Dan Ari menyerap itu semua, bukan karena takut, tapi karena ia percaya."Ayah nggak punya harta, tapi kamu punya nama baik. Jangan nodai itu," pesan ayahnya suatu malam, ketika Ari baru lulus SMA dan mengatakan ingin masuk fakultas hukum.Dan kini, di tahun terakhir kuliahnya, Ari mulai benar-benar mengerti apa maksud kata-kata itu. Ia tahu, mungkin kariernya akan lebih sulit, lebih terjal. Tapi ia juga tahu: kalau ia bisa sampai ke puncak tanpa menjual prinsip, itulah kemenangan sejati.Malam makin larut. Suara azan maghrib sudah lama berlalu, dan kamar kos itu hanya ditemani lampu belajar yang mulai redup. Tapi justru dalam keheningan itulah, tekad Ari tumbuh semakin kuat. Semua renungan, keresahan, dan nilai-nilai yang tertanam sejak kecil bermuara pada satu pilihan yang perlahan membentuk arah hidupnya.Bukan jaksa, bukan hakim, bukan pula polisi.Ia sadar, tanpa koneksi atau titipan, menembus jalur birokrasi institusi negara akan seperti menggenggam pasir di tengah angin. Tapi di luar sistem itu, masih ada satu jalan—satu profesi yang bisa dia perjuangkan dengan caranya sendiri, dengan idealismenya sendiri, dan dengan kebebasan menentukan siapa yang ingin ia bela: pengacara."Ya," ucap Ari pelan, namun mantap. "Saya akan jadi pengacara hebat."Bukan sekadar pengacara yang menang perkara. Tapi pengacara yang berdiri untuk keadilan. Yang dikenal bukan karena orang dalam, tapi karena keberanian, integritas, dan konsistensi. Ia ingin membuat orang percaya lagi bahwa hukum bukan alat kekuasaan, tapi jalan menuju harapan.Dan di lubuk hatinya yang terdalam, Ari tahu: suatu hari nanti, ada satu orang yang paling ingin ia buat bangga—anaknya. Walau bayangannya masih samar, meski saat itu ia belum tahu kapan akan menjadi seorang ayah, ia percaya: perjuangan ini akan berujung pada cinta yang tak akan pernah ia tinggalkan.Langit malam di Bandar Lampung tampak tenang, hanya ditemani suara jangkrik dan gemerisik angin dari jendela kamar kos yang tak pernah benar-benar rapat. Di kamar sempit berukuran 3x4 meter itu, Ari—mahasiswa Fakultas Hukum semester akhir—duduk termenung.Di atas meja belajarnya, lembaran-lembaran materi hukum pidana berserakan, namun pandangan matanya kosong. Pikirannya mengembara jauh, menembus dinding kamar, membayangkan hidup setelah wisuda nanti. Ia tahu waktunya sudah dekat. Tapi pertanyaan itu terus mengusik:Akan jadi apa aku setelah ini?Jaksa? Hakim? Polisi?Ari menggeleng pelan. Di dalam hati kecilnya, ia tahu betul bahwa ketiga jalan itu bukan sekadar soal nilai atau kemampuan. Di zaman sekarang, masuk institusi negara adalah hal rumit. Banyak yang bilang: "Kalau nggak ada orang dalam, jangan berharap banyak."Ari sadar, ia bukan anak siapa-siapa.Ia membiayai kuliahnya sendiri. Menulis opini hukum di media lokal, kadang bekerja paruh waktu di kantor hukum kecil, atau jadi notulen saat seminar. Ia tak punya koneksi, tak punya kerabat pejabat, tak punya orang dalam. Hanya idealisme dan kenangan akan didikan ayahnya—seorang mantan intelijen negara yang hidup bersahaja di sudut kota Pringsewu.Ayahnya selalu berkata,"Jangan harap negara bersih, kalau kita sendiri mulai dari kotor. Kalau kamu mau jadi penegak hukum, jadilah yang berdiri di atas kebenaran. Bukan atas nama titipan."Kalimat itu seperti mantra. Sejak kecil, Ari disuapi nilai-nilai kejujuran, pengorbanan, dan harga diri. Ia tahu, ia tak bisa berjuang di sistem yang tak bisa dia masuki tanpa menjual nurani.Dan malam itu, di tengah kesunyian Bandar Lampung, Ari menemukan jawabannya.Ia menatap dinding dengan tatapan penuh tekad."Saya akan jadi pengacara hebat," gumamnya mantap.Ia tak butuh restu penguasa. Tak butuh jalur cepat. Ia ingin membangun nama dengan caranya sendiri—melalui kerja keras, pengetahuan, dan hati yang bersih. Ia ingin dikenal bukan karena siapa yang ia kenal, tapi karena siapa yang ia bela.Keesokan harinya, Ari kembali ke kampus seperti biasa. Langit Bandar Lampung pagi itu agak mendung, tapi tidak menurunkan semangatnya. Ia datang lebih awal, membawa setumpuk berkas yang semalam ia susun rapi: permohonan perbaikan nilai untuk dua mata kuliah yang nilainya belum mencapai target, dan proposal skripsi yang telah ia revisi berkali-kali.Di dalam hati, ia tahu, waktu bukan lagi untuk ditunda.Langkahnya menyusuri koridor kampus penuh tekad. Satu demi satu ia datangi dosennya, dengan tutur kata sopan dan argumen yang kuat. Ia bukan mahasiswa yang pintar bicara kosong, tapi tahu kapan harus tegas dan kapan harus menunduk."Pak, saya mohon diberi kesempatan revisi. Saya tidak ingin nilai ini jadi penghambat untuk skripsi saya," ucapnya mantap di ruang dosen.Sang dosen hanya mengangguk pelan, menandatangani lembar form revisi, dan menatap Ari dengan senyum tipis. "Kamu termasuk yang nggak nyerah, Ri. Terusin ya. Jangan setengah-setengah."Ari membalas dengan anggukan hormat. Ia tahu betul, perjuangan ini bukan sekadar soal nilai. Ini soal pembuktian bahwa anak biasa bisa lulus luar biasa. Bahwa tanpa koneksi, tanpa fasilitas mewah, seseorang tetap bisa berdiri sejajar—dengan kerja keras dan hati yang jujur.Setelah urusan revisi nilai beres, ia menuju ruang program studi. Proposal skripsinya kini berada dalam map merah yang nyaris lusuh. Judulnya berani: "Korupsi Struktural dalam Pemerintahan Lokal: Studi Analisis Kritis terhadap Mekanisme Pengawasan Internal."Judul itu ia pilih bukan tanpa alasan. Korupsi adalah racun bangsa. Dan dari bangku mahasiswa, ia ingin mulai bicara. Bukan sekadar untuk lulus. Tapi sebagai janji awal perjuangannya di dunia hukum.Dan hari itu, langkah Ari terasa lebih ringan. Bukan karena masalahnya hilang, tapi karena hatinya telah mantap: ia sedang berjalan ke arah yang ia pilih sendiri.Namun hidup tak selalu menyambut niat baik dengan mulus.Proposal skripsi Ari yang sudah ia siapkan dengan penuh riset dan referensi literatur kembali ditolak. Ini kali ketiga dosennya memberi catatan, bukan soal substansi, tapi alasan-alasan yang tidak jelas: kurang aktual, terlalu berani, belum sesuai arahan institusi."Coba ganti topik yang lebih ringan saja, Ri. Ini terlalu politis," ujar dosen pembimbingnya sambil menyeruput kopi di ruang dosen.Ari menunduk, menahan kecewa. Tapi ia tak menyerah.Hari-hari berikutnya ia habiskan di perpustakaan kampus. Ia menelaah ulang semua referensi, membandingkan metode, memoles argumen. Setiap halaman yang ia baca adalah langkah baru dalam perjuangannya. Tapi kelelahan fisik mulai menghampiri. Matanya sayu, pundaknya tegang, dan waktu istirahat makin sedikit.Beberapa teman wanitanya mulai menyadari kehadirannya yang berbeda. Ari bukan tipe yang sok pintar, tapi cerdas. Ia bukan yang banyak bicara, tapi ketika bicara—selalu masuk akal dan tegas."Ari itu cowok keren ya. Kalem, tapi kelihatan punya tujuan hidup," bisik salah satu mahasiswi ke temannya saat melihat Ari di kantin sendirian sambil membaca jurnal.Beberapa dari mereka mulai mencari-cari kesempatan untuk bicara, sekadar mengajak diskusi atau menawarkan bantuan. Tapi Ari tetap menjaga jarak. Ia menjawab sopan, tak pernah kasar, tapi tak juga memberi ruang untuk mendekat.Baginya, cinta bisa menunggu. Tapi masa depan tidak.Ia tahu betul, masa muda hanya datang sekali. Dan kalau ia ingin jadi pengacara yang dikenal karena kualitas, bukan karena titipan, maka ini adalah saatnya menabur benih.Di tengah kelelahan, penolakan, dan godaan yang datang tanpa diundang, Ari tetap memilih satu jalan: jalan menuju impiannya. Dan ia tak akan membiarkan apa pun mengalihkan fokusnya.Karena ia bukan sedang mengejar gelar.Ia sedang membangun takdir.Di tengah kelelahan yang memuncak, Ari masih datang ke kampus seperti biasa. Ransel lusuhnya penuh kertas-kertas catatan skripsi yang terus ditolak. Tatapannya mulai sering kosong. Hanya kopi dan tekad yang membuatnya tetap berjalan.Suatu sore di perpustakaan fakultas, ia menemukan secarik kertas terselip di dalam bukunya yang tertinggal sehari sebelumnya. Tulisannya halus dan rapi. Wangi lembut dari parfum kertas itu menyiratkan bahwa pengirimnya bukan sembarang teman sekelas."Halo, Ari. Maaf kalau surat ini mengganggu. Aku sering lihat kamu belajar sendirian, dan menurutku kamu orang yang sangat serius dan punya semangat yang langka. Aku dari Fakultas Ekonomi. Kalau kamu berkenan, aku ingin kenal lebih jauh. Tapi kalau tidak, tidak apa-apa. Tetap semangat ya. —Seseorang yang kagum diam-diam."Ari terdiam sesaat. Ditatapnya kertas itu tanpa ekspresi. Hatinya sebetulnya hangat sesaat—diakui, dihargai. Tapi kemudian, seperti refleks, ia lipat surat itu perlahan dan masukkan ke dalam saku ranselnya. Tidak dibalas. Tidak dicari siapa pengirimnya.Bukan karena ia sombong. Bukan karena dia tidak bisa membalas perhatian.Tapi pikirannya terlalu penat. Hari-harinya hanya diisi oleh kegagalan akademik, tekanan hidup, dan rasa khawatir akan masa depan. Setiap kali mengingat proposalnya ditolak, seakan-akan dunia menolaknya untuk menjadi besar. Untuk sukses. Untuk membuktikan diri pada dunia—dan pada anaknya kelak.Ari hanya menarik napas dalam, menatap langit sore dari jendela kampus."Maaf," bisiknya lirih, entah pada siapa.Hari mulai gelap saat Ari keluar dari kampus. Skripsinya belum juga diterima. Tapi ia tahu, diam bukan solusi. Ia tak bisa hanya mengandalkan teori dari bangku kuliah—ia butuh melihat dunia nyata, bagaimana hukum bekerja di luar kertas, bagaimana pengacara sejati berjuang.Ari menghidupkan motor RX King kesayangannya—motor warisan dari ayahnya yang dulu sering dia banggakan. Suaranya meraung klasik, mengiringi langkah Ari menyusuri jalanan Bandar Lampung yang mulai ramai menjelang malam.Dengan helm separuh wajah dan jaket jeans tua, ia berkendara pelan, memperhatikan papan nama di pinggir jalan. Kantor hukum, kantor notaris, LBH, sampai pengacara independen yang menempelkan spanduk kecil di tembok ruko.Ia berhenti di salah satu kantor sederhana bertuliskan:"Kantor Hukum & Konsultasi – Adv. R. Iskandar, S.H."Ari memarkirkan motornya. Kantornya kecil, tak mewah, tapi tampak hidup. Ada beberapa map hukum di etalase. Ia mengetuk pintu, dan seorang staf menyambutnya ramah."Saya mahasiswa hukum, Pak. Boleh saya belajar di sini, atau sekadar bertanya soal profesi pengacara?"Staf itu tersenyum. "Pak Iskandar suka anak muda yang niat. Masuk aja, nanti saya panggilkan beliau."Di ruang kecil itu, Ari duduk, menunggu sambil menatap rak penuh berkas perkara. Harum kopi hitam dan kertas bercampur menjadi suasana yang entah mengapa membuatnya tenang. Ini bukan kampus. Ini dunia nyata. Dan ia ingin menjadi bagian dari dunia ini.Dalam benaknya, perlahan tumbuh sebuah ide baru:Mungkin skripsiku bukan sekadar soal korupsi... Tapi soal peran pengacara dalam memperjuangkan keadilan rakyat kecil.Judulnya bisa... 'Pengacara dan Ketimpangan Akses Keadilan di Daerah Urban'... atau sesuatu yang lebih tajam.Malam itu, Ari pulang dengan semangat baru. Angin malam menerpa wajahnya saat ia kembali menunggang RX King, seolah dunia berbisik:Terus maju, Ari. Jalanmu baru dimulai.Ari mengendarai RX King-nya menyusuri jalanan Bandar Lampung yang mulai sepi menjelang malam. Ia menepi di depan sebuah kantor kecil dengan papan nama berwarna putih bertuliskan:"Kantor Hukum Suratno Hadisubroto"Bangunan itu terlihat sederhana, pintu kayu tua dan jendela berbingkai besi berkarat. Tidak banyak lampu yang menyala, membuat suasana menjadi sunyi dan hening.Ari mematikan mesin motor dan menatap sejenak papan nama itu. Dengan langkah mantap, ia membuka pintu dan melangkah masuk.Di dalam ruangan, hanya ada satu orang pria berusia sekitar 40-an, mengenakan kemeja rapi dan kacamata. Ia tersenyum ramah dan menyapa."Selamat sore, saya Ratno. Tapi teman-teman biasa memanggil saya Mas Ratno. Apa yang bisa saya bantu?"Ari membalas sapaan itu dengan sopan dan mengutarakan maksud kedatangannya: ingin belajar lebih banyak tentang profesi pengacara dan mencari pengalaman di dunia nyata.Mas Ratno tersenyum sambil mengangguk, "Silakan masuk, Ari. Duduk dulu, saya pesan kopi dari warung depan."Ari pun duduk di kursi kayu yang sederhana di ruang tamu kantor. Tak lama kemudian, seorang pengantar kopi muda datang membawa dua gelas kopi hangat.Pengantar kopi itu menatap Ari dengan rasa penasaran, lalu bertanya kepada Mas Ratno, "Mas, itu siapa ya? Kenalin dong."Mas Ratno tersenyum dan menjawab santai, "Ini Ari, mahasiswa hukum yang baru ingin belajar lebih banyak tentang profesi pengacara. Dia datang dari kampus, masih muda tapi penuh semangat."Pengantar kopi itu mengangguk hormat, lalu menyerahkan kopi dengan senyum ramah kepada Ari dan Mas Ratno sebelum meninggalkan kantor.Mas Ratno menyesap kopinya, lalu memandang Ari dengan serius."Jadi pengacara itu nggak semudah yang kamu kira, Ari. Banyak ujian yang harus kamu lalui — bukan cuma soal hukum di buku, tapi juga menghadapi realita di lapangan, tekanan klien, dan kadang korupsi yang sulit dihindari."Ia menarik nafas panjang, menatap Ari dengan tegas."Tapi kalau kamu punya tekad dan integritas, jalan itu bisa kamu tempuh. Jangan cuma cari gampangnya saja."Ari melihat ke saku jaketnya, lalu bertanya, "Mas, boleh saya merokok?"Mas Ratno mengangguk santai, "Silakan, Ari. Silakan."Ari keluar dari kantor, melangkah ke warung kopi depan jalan. Ia membeli sebungkus rokok dan korek api dari penjual warung yang ramah.Sambil menunggu rokoknya menyala, penjual kopi itu tersenyum dan menggoda, "Kok masih muda sudah merokok, ya? Nanti bisa kalah sama orang tua."Ari hanya tersenyum tipis dan mengabaikan godaan itu. Ia kembali ke kantor, menyalakan rokoknya perlahan, menghirup asap sebagai jeda dari penat pikiran.Ari kembali ke kantor dengan asap rokok yang masih tipis mengepul dari ujung bibirnya. Mas Ratno menyambutnya dengan tatapan penuh perhatian."Sekarang, Ari, aku akan jelaskan sedikit tentang tahapan jadi pengacara menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat," kata Mas Ratno membuka pembicaraan."Pertama, kamu harus menyelesaikan pendidikan hukum di perguruan tinggi. Setelah itu, mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus advokat yang diselenggarakan oleh organisasi advokat yang diakui.""Setelah lulus pendidikan advokat, kamu harus menjalani magang di kantor hukum yang sudah berpengalaman selama minimal dua tahun.""Baru setelah itu, kamu bisa mengikuti ujian profesi advokat. Kalau lulus, kamu akan resmi menjadi advokat dan bisa membuka praktek sendiri."Mas Ratno menatap Ari dengan serius. "Prosesnya panjang dan penuh tantangan, tapi itu semua harus kamu lalui kalau ingin menjadi pengacara yang profesional."Setelah menjelaskan tahapan menjadi pengacara, Mas Ratno menatap Ari dengan serius."Nah, Ari, mulai besok pagi datang saja ke kantor ini. Aku akan ajak kamu ikut sidang, supaya kamu bisa langsung belajar praktik hukum di pengadilan."Ari mengangguk pelan, hatinya berdebar. Ini kesempatan yang selama ini ia cari — belajar langsung dari pengalaman nyata, bukan hanya teori di kampus.Keesokan harinya, di pagi hari yang cerah di Bandar Lampung, Ari memutuskan untuk mengambil langkah besar. Ia menghubungi dosennya untuk mengabarkan bahwa ia akan menghentikan sementara proses skripsinya. Fokusnya kini beralih total ke dunia hukum praktis bersama Mas Ratno.Dengan tekad kuat, Ari melangkah ke pengadilan pertama yang akan ia ikuti bersama Mas Ratno. Hatinya penuh harap dan semangat baru, walau tahu perjalanan ini tak akan mudah.Keputusan itu membuat Ari merasa hidupnya mulai benar-benar menuju tujuanPagi itu, Ari tiba lebih awal di kantor kecil Mas Ratno. Udara Bandar Lampung masih sejuk, dan jalanan belum terlalu ramai. Ia mengenakan kemeja rapi dan membawa tas kecil berisi buku catatan serta pena — perlengkapan sederhana untuk seorang pemula yang haus akan ilmu.Mas Ratno sudah menunggu di depan kantor dengan wajah serius namun hangat. "Siap, Ari?" tanyanya sambil tersenyum tipis."Siap, Mas," jawab Ari dengan penuh semangat.Mereka berdua melangkah bersama menuju gedung pengadilan negeri yang letaknya tidak jauh dari kantor. Bangunan pengadilan itu kokoh dan megah, dengan tiang-tiang tinggi yang menunjukkan betapa pentingnya lembaga ini dalam menjaga keadilan.Sesampainya di dalam ruang sidang, Ari merasa atmosfer berbeda. Suara ketukan palu hakim, bisik-bisik pengunjung, dan aroma kayu tua memenuhi ruangan. Semua itu terasa asing sekaligus menggugah semangatnya.Mas Ratno memperkenalkan Ari pada panitera pengadilan dan beberapa staf lain yang sudah lama bekerja di sana. Mereka menyambut Ari dengan ramah, memberikan sedikit wejangan dan motivasi.Sidang pertama yang mereka hadiri adalah kasus sengketa warisan. Hakim membuka persidangan dengan tegas, meminta pihak-pihak yang bersengketa untuk menyampaikan argumen masing-masing.Ari mencatat dengan seksama setiap kata yang diucapkan — bagaimana hakim mengatur jalannya sidang, bagaimana pengacara saling memberikan bukti dan saksi, serta bagaimana para pihak berusaha membuktikan kebenaran.Di sela-sela sidang, Mas Ratno menjelaskan hal-hal penting kepada Ari. "Perhatikan sikap pengacara saat berbicara di depan hakim, bagaimana mereka menggunakan bahasa hukum yang tepat, dan cara mereka membangun argumen secara sistematis," ujar Mas Ratno.Waktu berlalu, dan Ari mulai merasakan beratnya menjadi pengacara. Tidak hanya menguasai hukum, tetapi juga harus memiliki keberanian dan ketegasan.Meski capek dan penuh tekanan, Ari merasa ini adalah pengalaman berharga yang tidak akan didapatkan di ruang kelas. Ia semakin yakin bahwa jalan yang ia pilih adalah benar.Setelah sidang usai, Mas Ratno mengajak Ari untuk berdiskusi singkat di kantornya. Mereka membahas apa yang terjadi di ruang sidang dan bagaimana Ari harus mempersiapkan diri untuk tahap berikutnya.Ari pulang malam itu dengan pikiran penuh inspirasi dan hati yang semakin kuat. Ia tahu perjalanan menjadi pengacara hebat masih panjang, tapi hari ini adalah langkah awal yang menentukan.Setelah sidang selesai, mereka keluar dari ruang pengadilan dengan langkah yang sedikit berat karena lama berdiri. Mas Ratno menoleh ke arah Ari dan bertanya dengan nada hangat, "Ari, kamu mau ke mana setelah ini?"Ari menghela napas, wajahnya masih terlihat letih. "Entahlah, Mas. Skripsi saya juga masih sering ditolak dosen, jadi rasanya bingung harus ke mana."Mas Ratno tersenyum tipis, mencoba memberi semangat. "Kalau begitu, ayo kita pulang ke kantor. Aku akan ajarkan kamu hal-hal praktis yang wajib dikuasai seorang pengacara. Mulai dari membuat surat kuasa, gugatan, dan dokumen hukum lainnya."Ari mengangguk penuh semangat, "Baik, Mas. Saya ingin belajar semua itu."Mereka berjalan menyusuri trotoar menuju kantor kecil Mas Ratno yang tak jauh dari pengadilan. Sepanjang jalan, Mas Ratno mulai menjelaskan bahwa menjadi pengacara bukan hanya soal berada di persidangan, tetapi juga kemampuan membuat dokumen hukum yang tepat dan benar.Sesampainya di kantor, Ari duduk di meja kerja dengan penuh perhatian. Mas Ratno membuka beberapa contoh surat kuasa dan gugatan yang sudah dibuat sebelumnya. "Lihat ini, Ari. Surat kuasa ini adalah surat yang memberi kuasa kepada pengacara untuk mewakili klien di pengadilan. Kalau kamu membuat ini dengan benar, klien akan percaya dan proses hukum bisa berjalan lancar."Mas Ratno mulai membimbing Ari untuk membuat surat kuasa dengan langkah demi langkah. Ari menulis dengan hati-hati, sesekali bertanya ketika ada kata atau istilah yang belum ia mengerti."Selain surat kuasa, ada juga surat gugatan yang harus kamu kuasai. Surat gugatan adalah dokumen awal yang menjadi dasar pengajuan perkara di pengadilan," tambah Mas Ratno.Ari merasa antusias dan bertekad mempelajari semua itu dengan serius. Momen itu terasa sangat berarti baginya, membuka pintu menuju karier yang selama ini ia impikan.Selesai belajar membuat surat kuasa di kantor, Ari memutuskan untuk keluar sebentar membeli kopi ke warung kecil di seberang jalan. Warung itu sederhana, dengan aroma kopi yang harum menguar ke jalan.Penjual kopi, seorang wanita paruh baya yang ramah, menyapa Ari dengan suara ceria, "Mas, mau kopi hitam atau kopi susu? Yang panas atau dingin?"Ari hanya mengangguk pelan, "Kopi hitam saja, Bu. Yang panas."Sambil menunggu kopi dibuat, wanita itu tak henti mengamati Ari yang terlihat serius dan agak tertutup. Dengan senyum nakal, ia mulai menggoda, "Mas Ari ini, kok kelihatan capek dan tegang terus ya? Jangan-jangan ada gebetan yang bikin pusing?"Ari menatapnya sebentar dengan mata dingin tapi sopan, "Tidak, Bu. Saya hanya sedang fokus belajar."Wanita itu tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana, "Wah, kalau begitu rajin banget. Anak muda sekarang jarang yang seperti Mas Ari, serius sama masa depan."Ari kembali menatap ke depan, mengambil kopinya, lalu mengangguk singkat, "Terima kasih, Bu."Walau digoda, Ari tetap menjaga jarak dan tetap fokus pada tujuan hidupnya. Ia tahu, sekarang bukan saatnya untuk meladeni hal-hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari cita-cita menjadi pengacara hebat.Setelah kembali ke kantor, Ari duduk di meja kerjanya dan mulai membaca dokumen surat kuasa yang Mas Ratno berikan untuk dipelajari. Ia mengerutkan kening, mencoba memahami setiap kata dan kalimat dalam surat itu.Dalam diam, Ari kemudian bertanya, "Mas Ratno, sebenarnya apa fungsi surat kuasa ini? Kenapa penting sekali dalam profesi pengacara?"Mas Ratno tersenyum dan duduk di seberang Ari, siap menjelaskan. "Surat kuasa, Ari, adalah dokumen resmi yang memberikan wewenang kepada pengacara untuk mewakili klien dalam urusan hukum. Fungsi utamanya adalah sebagai bukti bahwa pengacara memiliki hak dan kewenangan untuk bertindak atas nama klien di pengadilan maupun dalam proses hukum lainnya."Ia melanjutkan, "Secara hukum, surat kuasa ini diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, serta Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1792 KUHPerdata disebutkan bahwa kuasa adalah pemberian wewenang oleh seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum atas namanya."Mas Ratno menambahkan, "Tanpa surat kuasa yang sah, pengacara tidak bisa mewakili klien dalam sidang. Jadi, surat ini bukan hanya formalitas, tapi juga perlindungan hukum bagi pengacara dan klien. Misalnya, kalau ada gugatan atau perkara yang sedang berjalan, pengacara yang memegang surat kuasa itulah yang berhak mengurus semua prosesnya."Ari mengangguk perlahan, mulai mengerti. "Jadi surat kuasa itu seperti izin resmi dari klien supaya pengacara bisa bertindak atas namanya?""Betul sekali," kata Mas Ratno. "Itulah sebabnya kamu harus belajar membuatnya dengan teliti dan benar, supaya tidak ada masalah hukum di kemudian hari."Ari merasa semangatnya makin besar, menyadari betapa pentingnya hal-hal kecil seperti surat kuasa dalam perjalanan menjadi pengacara.Tak terasa hari mulai merayap ke senja, langit Bandar Lampung berubah menjadi semburat jingga yang hangat. Ari menutup buku catatannya dan membereskan dokumen surat kuasa yang tadi dipelajarinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dari kantor Mas Ratno.Sesampainya di rumah sederhana di pinggir kota, Ari melepas sepatu dan langsung menuju teras kamar. Ia duduk di kursi kayu yang sudah mulai lapuk, mengambil sebatang rokok dari bungkus yang terselip di saku jaketnya. Dengan tangan sedikit gemetar karena lelah, ia menyalakan rokok itu dan menghela asapnya perlahan, menatap langit malam yang mulai gelap.Diam-diam, rokok itu bukan hanya sekadar penghilang penat, tapi juga menjadi teman dalam keheningan malam, tempat Ari merenung dan mencari kekuatan untuk terus berjuang demi masa depannya—dan demi tatap mata anaknya, Arya, yang selalu ia impikan.Asap rokok perlahan naik, menghilang bersama harapan dan tekad yang terus membara di dada Ari.Malam itu, setelah mengisap beberapa hisap rokok di teras, tiba-tiba muncul ide cemerlang di benak Ari. Ia teringat percakapannya dengan Mas Ratno tentang pentingnya surat kuasa dalam profesi pengacara. Dengan semangat yang baru menyala, ia bergegas ke meja belajarnya dan membuka laptop yang sudah lama ia simpan."Aku harus buat judul skripsi yang benar-benar relevan dengan pengalaman dan cita-citaku," pikir Ari. Dengan cepat ia mulai mengetik, "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus Antara Klien dan Pengacara."Saat jarinya menari di atas keyboard, pikirannya mengurai berbagai hal tentang surat kuasa itu."Surat kuasa khusus adalah instrumen hukum yang sangat vital. Di dalamnya terkandung pemberian kuasa secara spesifik dari klien kepada pengacara untuk menangani perkara tertentu. Ini bukan sekadar surat biasa, tapi menjadi fondasi legitimasi bagi pengacara untuk bertindak dalam sistem hukum," pikir Ari dengan serius.Ia membayangkan bagaimana tanpa surat kuasa yang benar dan sah, seorang pengacara akan kesulitan membela hak-hak kliennya, bahkan bisa berhadapan dengan masalah hukum sendiri."Aku harus jelaskan aspek-aspek yuridisnya, mulai dari dasar hukum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1792 dan seterusnya, juga aturan profesi advokat dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003. Selain itu, aku juga harus menelaah penerapan praktisnya di pengadilan—bagaimana surat kuasa khusus ini menjadi bukti sah dalam proses litigasi."Dalam hatinya, Ari merasa ini bukan sekadar tugas akademik, tapi juga langkah nyata untuk memahami profesinya lebih dalam dan mempersiapkan diri menjadi pengacara hebat.Dengan mata yang mulai mengantuk tapi semangat tak surut, Ari terus mengetik, merangkai kalimat demi kalimat yang kelak akan menjadi karya yang membanggakan.Setelah semalaman merangkai kata dan menyusun kerangka skripsi, pagi itu Ari melangkah dengan penuh keyakinan menuju kampusnya di Bandar Lampung. Dengan setumpuk dokumen dan proposal yang sudah diperbaiki, ia menatap gedung fakultas hukum yang dulu pernah membuatnya merasa ragu.Sesampainya di ruang dosen pembimbing, Ari menyerahkan proposal skripsi berjudul "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus Antara Klien dan Pengacara" kepada dosennya. Dengan suara yang mantap, ia menjelaskan alasan pemilihan judul tersebut."Pak, saya memilih judul ini karena ingin mengkaji secara mendalam aspek hukum dan praktis surat kuasa khusus. Ini penting bagi pengacara, apalagi saya ingin memperkuat dasar profesi saya dan memperluas pemahaman saya sebelum terjun ke dunia praktik," ujar Ari.Dosen pembimbing itu menatap proposal dengan seksama. Setelah beberapa saat, beliau mengangguk dan memberikan beberapa catatan kecil untuk penyempurnaan."Ini topik yang bagus dan relevan dengan profesi kamu. Namun, kamu harus perhatikan kerangka dan sumber hukum yang digunakan agar analisisnya tajam dan mendalam. Jangan lupa sertakan studi kasus untuk memperkuat argumen," kata dosen dengan nada serius tapi memberi semangat.Ari menerima masukan itu dengan lapang dada. Ia bertekad untuk memperbaiki dan menyelesaikan skripsinya dengan baik. Hari itu, meski belum resmi disetujui sepenuhnya, Ari merasa sudah melangkah maju dan semakin dekat dengan impiannya menjadi pengacara nomor satu.Setelah mengajukan proposal skripsi barunya, Ari berjalan keluar dari ruang dosen dengan perasaan lega yang baru saja tumbuh. Namun, suasana kampus tak pernah benar-benar tenang baginya. Di tengah keramaian mahasiswa yang berlalu-lalang, beberapa teman wanita di fakultas hukum mulai mendekatinya dengan senyum dan gaya menggoda."Eh, Ari! Kamu kok serius banget sih terus? Santai dong, yuk kita nongkrong!" goda salah satu dari mereka sambil menyentuh lengan Ari dengan manja.Teman yang lain ikut menimpali, "Iya, kamu terlalu fokus sama skripsi, nanti capek sendiri. Mending ikut kita, refreshing sebentar."Namun, Ari hanya tersenyum tipis tanpa balas kata. Matanya tetap tertuju pada tumpukan buku di tangannya dan pikirannya yang masih berkutat pada analisis skripsi. Ia tak ingin tergoda oleh ajakan itu karena tahu betul apa yang ingin ia capai."Terima kasih ya, tapi aku harus fokus dulu sama skripsi. Ini penting banget buat masa depanku," jawab Ari dengan suara tenang namun tegas.Mereka akhirnya mengangguk sambil sedikit kecewa, namun menghargai keputusan Ari. Ari pun melangkah pergi meninggalkan mereka, kembali ke perpustakaan untuk menyiapkan bahan-bahan skripsinya.Di balik sikap dinginnya itu, Ari sebenarnya sadar betul godaan dan distraksi semacam itu adalah ujian kecil untuk menjaga fokusnya demi mimpi yang jauh lebih besar. Ia bertekad, tidak ada yang boleh mengalihkan perhatiannya, bukan sekarang.Saat Ari duduk termenung di sudut kantin kampus, matanya kosong menatap hiruk-pikuk mahasiswa lain yang tengah bersenda gurau. Pikiran tentang masa depan, skripsi, dan impian menjadi pengacara nomor satu berkecamuk di dalam benaknya.Tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari belakang membuatnya tersentak."Ari, kamu ada waktu sebentar? Mari ke ruang dosen," suara itu adalah Pak Rafi, dosen pembimbingnya yang juga dikenal tegas namun perhatian.Ari segera berdiri dan mengikuti Pak Rafi menuju ruang kerjanya. Sesampainya di ruang dosen, Pak Rafi membuka laptop dan menunjukkan sebuah email."Aku ada kabar baik buat kamu, Ari. Proposal skripsi yang kamu ajukan kemarin sudah diterima oleh dewan penguji. Mereka menilai topik yang kamu pilih sangat relevan dan berpotensi memberikan kontribusi besar bagi dunia hukum," kata Pak Rafi dengan senyum ringan.Rasa lega dan kebahagiaan langsung mengalir deras dalam dada Ari. Semua perjuangan, penolakan, dan tekanan selama ini mulai menemukan titik terang."Terima kasih, Pak. Aku berjanji akan bekerja keras agar skripsi ini selesai dengan baik," jawab Ari penuh semangat.Pak Rafi mengangguk, "Itu sikap yang tepat. Ingat, proses ini belum selesai, masih banyak tantangan yang harus kamu hadapi. Tapi aku yakin kamu mampu."Ari mengangguk mantap, kini hatinya dipenuhi rasa percaya diri dan motivasi baru. Ia tahu perjuangannya belum usai, tapi untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan harapan yang nyata.Keluar dari ruang dosen, Ari melangkah dengan lebih ringan. Ia kembali siap menghadapi segala tantangan demi impian

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Menyusun Skripsi dan Belajar Jadi Pengacara

Di publikasikan 02 Jun 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Setelah menerima kabar baik tentang diterimanya proposal skripsi berjudul "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus Antara Klien dan Pengacara", Ari merasakan beban berat yang selama ini menumpuk mulai berkurang. Namun, ia sadar bahwa jalan di depan masih panjang dan menantang.Dengan tekad baru, Ari mulai mengatur waktunya secara ketat agar bisa fokus mengerjakan skripsi sambil terus belajar secara praktik di kantor pengacara Suratno Hadisubroto, yang diasuh oleh Mas Ratno.Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar terik, Ari sudah berada di kampus. Ia menyusuri lorong perpustakaan, membuka buku-buku hukum yang berkaitan dengan tugas akhirnya. Ia membuat catatan rinci dan menyusun kerangka analisis yang sistematis. Di sela waktu, Ari mencoba menyerap segala teori dan konsep hukum tentang surat kuasa dari berbagai literatur dan jurnal akademik.Sore hari, Ari bergeser ke kantor pengacara Suratno Hadisubroto di Bandar Lampung. Di sana, Mas Ratno menjadi mentor sekaligus guru praktiknya. Ari diajak untuk langsung terjun ke berbagai aktivitas kantor, mulai dari mengamati jalannya sidang, menyiapkan dokumen-dokumen hukum, hingga belajar bagaimana menyusun surat kuasa yang efektif dan sesuai dengan aturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.Meski kadang lelah, Ari merasa semangatnya terus menyala. Belajar teori di kampus dan praktik langsung di kantor pengacara memberikan kombinasi yang sempurna. Ia mulai memahami betapa berat dan kompleksnya profesi pengacara—bukan sekadar membaca buku, tapi bagaimana menerapkan hukum dalam kehidupan nyata dengan segala dinamika dan tantangannya.Mas Ratno pun sering memberikan masukan kritis dan motivasi agar Ari tidak mudah menyerah. "Jadi pengacara itu bukan hanya soal menang di pengadilan, tapi soal bagaimana kamu bisa membantu orang yang benar-benar membutuhkan keadilan," kata Mas Ratno suatu hari usai sidang.Hari-hari Ari mulai dipenuhi rutinitas yang padat namun penuh makna. Ia merasakan perubahan besar dalam dirinya; dari sekadar mahasiswa hukum yang penuh keraguan, kini ia mulai tumbuh menjadi sosok pengacara muda yang percaya diri dan bertekad kuat.Setiap pagi, selepas mengerjakan skripsi, ia langsung bergegas ke kantor Mas Ratno. Di sana, Ari bukan hanya belajar teori dan teknik penyusunan dokumen hukum, tetapi juga menyaksikan bagaimana pengacara profesional berhadapan dengan berbagai kasus yang kompleks.Suatu sore, saat Ari membantu menyiapkan berkas untuk sebuah gugatan, Mas Ratno berkata, "Ari, hukum itu bukan sekadar aturan di atas kertas. Di balik itu ada hidup manusia, ada harapan dan keadilan yang harus diperjuangkan. Ingat itu."Kata-kata itu menggetarkan hati Ari. Ia menyadari profesinya bukan hanya untuk mencari pengakuan atau status, tapi untuk memberikan suara bagi yang tak terdengar.Walau terkadang letih dan terseret keraguan, Ari terus melangkah. Ia membayangkan tatapan bangga anaknya Arya suatu hari nanti, ketika bisa berkata, "Itulah ayahku, pengacara hebat yang berjuang untuk keadilan."Perjalanan ini bukan tanpa ujian. Beberapa kali Ari merasa ingin menyerah, terutama saat harus menyeimbangkan antara studi, praktik, dan masalah pribadi yang terus mengintai. Namun, keinginan untuk kembali dipeluk anaknya menjadi api yang tak pernah padam di dadanya.Setiap tantangan yang dihadapi Ari, ia anggap sebagai batu loncatan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Dan langkah-langkah kecil yang ia jalani hari ini adalah pondasi untuk masa depan yang ia impikan.Setiap pulang dari mengikuti sidang bersama Mas Ratno, Ari langsung membuka laptopnya untuk melanjutkan menyusun skripsi dengan semangat yang tak pernah surut. Judul skripsinya, "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus Antara Klien dan Pengacara," menjadi fokus utama pikirannya.Di kantor pengacara Suratno Hadisubroto, Ari belajar banyak dari Mas Ratno tentang berbagai dokumen hukum, terutama surat kuasa yang sering digunakan dalam praktek sehari-hari. Ia mulai memahami fungsi penting surat kuasa sebagai alat pemberi kuasa dari klien kepada pengacara untuk mewakili mereka dalam proses hukum. Pengetahuan ini ia rangkum dengan detail dalam skripsinya, menyatukan teori undang-undang dengan pengalaman praktik nyata.Waktu Ari banyak dihabiskan dengan membaca literatur hukum, merangkai kalimat demi kalimat yang menggambarkan esensi surat kuasa, dan menulis dengan penuh ketelitian. Meski lelah, ia tahu bahwa skripsi ini bukan sekadar tugas akademik, tapi juga bekal penting untuk kariernya sebagai pengacara.Setiap dokumen yang ia pelajari dan buat di kantor menambah pemahaman Ari tentang tanggung jawab seorang pengacara. Ia percaya, dengan menguasai dasar hukum dan praktik ini, ia bisa menjadi pengacara yang handal dan bisa membanggakan anaknya kelak. Semangatnya tak pernah padam, terus menyala di tengah rutinitas kampus dan kantor hukum yang menantang.Ari menjalani hari-harinya dengan tekad yang kuat untuk menyelesaikan skripsi sekaligus menimba ilmu di kantor pengacara Suratno Hadisubroto. Di sela-sela kesibukan mengikuti berbagai aktivitas kantor, ia terus menggali pengetahuan hukum dan keterampilan praktis sebagai calon pengacara.Setiap malam, setelah kantor sepi, Ari duduk di depan laptopnya dengan penuh fokus. Ia mengerjakan skripsinya yang berjudul "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus Antara Klien dan Pengacara". Dengan penuh ketelitian, Ari menyusun bab demi bab, merinci dasar hukum yang berlaku dan mengaitkannya dengan praktik nyata yang ia temui selama belajar di kantor.Ketika menghadapi kesulitan, ia tidak menyerah. Justru masalah-masalah yang muncul menjadi tantangan yang memacu semangatnya untuk terus maju. Ari sering membaca ulang Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, mencari arti penting setiap pasal dalam konteks perlindungan hukum klien dan tanggung jawab seorang pengacara.Di kantor, Mas Ratno selalu memberikan bimbingan yang membangun. Ari belajar bagaimana menyusun surat kuasa yang benar, memahami fungsi dan kekuatan hukum surat tersebut, serta cara mengkomunikasikannya kepada klien dengan jelas dan profesional.Walau terkadang kelelahan dan tekanan datang, Ari tetap fokus menjaga konsistensi antara kuliah dan praktek kerja lapangan. Dia tahu bahwa perjuangan ini adalah fondasi utama untuk karier pengacara yang akan dibangunnya. Tidak ada ruang untuk menyerah, karena setiap upaya kecil adalah langkah maju menuju impiannya.Semangat Ari tak pernah pudar. Ia yakin dengan kerja keras, disiplin, dan ilmu yang terus diasah, ia bisa menaklukkan rintangan dan menjadi pengacara yang handal dan dipercaya. Malam-malam panjang di depan laptop dan pengalaman belajar langsung di kantor pengacara adalah bekal berharga yang menyiapkan dirinya menghadapi dunia hukum yang nyata dan penuh tantangan.Sambil terus menyusun skripsinya yang menjadi pegangan utama dalam perjalanan akademisnya, Ari merasa bahwa untuk menjadi pengacara hebat, tidak cukup hanya belajar dari satu sumber saja. Ia ingin memperluas wawasan dan menambah pengalaman dengan belajar dari berbagai kalangan pengacara yang memiliki keahlian dan gaya yang berbeda-beda. Dengan semangat itu, suatu hari Ari memutuskan untuk mengunjungi kantor pengacara lain di Bandar Lampung yang cukup dikenal, yaitu kantor Agusman Candra Jaya.Setibanya di sana, Ari disambut dengan suasana yang berbeda dari kantor Suratno Hadisubroto. Kantor Agusman Candra Jaya tampak lebih modern dan ramai dengan aktivitas. Ada banyak pengacara muda yang bekerja dengan dinamis, beberapa tengah berdiskusi serius soal kasus, sementara yang lain sibuk dengan berkas-berkas klien. Ari merasa energinya terisi kembali melihat atmosfer kerja yang penuh semangat dan profesional.Ia diterima oleh salah satu staf kantor dan diperkenalkan kepada Agusman, seorang pengacara senior yang memiliki reputasi kuat dalam menangani kasus-kasus kompleks. Agusman menyambut Ari dengan hangat dan terbuka, mendengarkan dengan seksama alasan Ari datang serta niatnya untuk belajar lebih dalam mengenai profesi pengacara.Agusman kemudian mengajak Ari mengikuti beberapa aktivitas di kantor. Ari diajak melihat proses persiapan berkas, pengaturan jadwal sidang, dan cara komunikasi dengan klien yang efektif. Tidak hanya itu, Agusman juga memberikan Ari kesempatan untuk ikut serta dalam sesi diskusi strategi kasus yang sedang mereka tangani. Ari menyimak dengan penuh perhatian, mencatat berbagai hal baru yang belum ia temui sebelumnya.Di sela-sela itu, Agusman berbagi cerita tentang perjalanan kariernya yang tidak mudah. Ia menegaskan bahwa menjadi pengacara hebat tidak hanya soal ilmu hukum di buku, tetapi juga bagaimana menjaga integritas, berani mengambil risiko, dan selalu berempati kepada klien. Kata-kata Agusman menyentuh hati Ari, menambah semangatnya untuk terus berjuang.Sore hari, setelah aktivitas kantor selesai, Ari duduk di ruang kerja Agusman, sambil membuka laptopnya kembali untuk meneruskan penulisan skripsi. Ia mulai mengaitkan pengalaman baru hari itu dengan topik yang sedang ia garap, memperkaya analisis yuridisnya tentang surat kuasa khusus. Setiap pengetahuan dan pengalaman yang ia peroleh di kantor pengacara menjadi bahan bakar semangat yang tak pernah padam.Melalui kunjungannya ke kantor Agusman Candra Jaya, Ari belajar bahwa profesi pengacara adalah perpaduan antara ilmu, seni komunikasi, dan karakter pribadi. Ia semakin yakin bahwa jalan yang dipilihnya adalah panggilan hati yang harus dijalani dengan penuh dedikasi dan ketulusan.Kisah Ari di sini menginspirasi bahwa untuk mencapai puncak kesuksesan, kita harus berani keluar dari zona nyaman, membuka diri terhadap pembelajaran baru, dan terus berusaha tanpa kenal lelah. Sebab, dalam perjuangan itulah karakter kuat seorang pengacara sejati terbangun, dan langkah-langkah kecil menuju mimpi menjadi nyata.Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar meninggi, Ari sudah bersiap dengan map berisi draft skripsinya dan catatan kecil berisi hal-hal penting yang ia pelajari sehari sebelumnya. Di pundaknya tergantung tas lusuh berisi laptop, dan di matanya menyala semangat yang tak pernah padam. Ia sudah membuat rutinitas baru: pagi ia ke kampus untuk bertemu dosen pembimbing skripsinya, siang ia ke kantor Mas Ratno, dan sore menuju kantor Agusman Candra Jaya.Hari-harinya padat. Tapi tak sekalipun Ari mengeluh.Di kampus, Ari kini menjadi mahasiswa yang mulai diperhatikan. Bukan karena penampilan, bukan pula karena ikut organisasi besar, tapi karena konsistensinya. Setiap minggu, ia datang ke ruang dosen pembimbingnya membawa perkembangan terbaru bab per bab. Jika dosennya memberikan catatan, ia catat rapi dan langsung diperbaiki malam itu juga. Ia tidak ingin menunda. Baginya, skripsi ini bukan sekadar syarat kelulusan. Ini adalah bukti bahwa ia punya ketekunan, bahwa ia pantas menyandang gelar sarjana hukum.Dosen pembimbingnya, seorang akademisi senior yang terkenal ketat dan kritis, awalnya sempat ragu saat Ari mengajukan judul "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus antara Klien dan Pengacara." Namun, perlahan, sang dosen mulai kagum. Bukan hanya karena kedalaman analisis Ari, tetapi juga karena Ari terus datang dengan bab-bab yang semakin matang. Sang dosen akhirnya menjadikan Ari sebagai contoh ketika mengajar mahasiswa lain: "Lihat Ari, dia tahu apa yang dia mau, dan dia serius menjalani prosesnya."Setelah dari kampus, Ari langsung meluncur ke kantor Mas Ratno. Di sana, ia belajar hal-hal teknis yang tak diajarkan di kelas. Menyusun surat gugatan, menganalisis kronologi kasus, bahkan belajar menghadapi klien. Ia duduk, menyimak, bertanya bila perlu. Dan setiap jeda, ia sempatkan menyalin beberapa catatan penting ke laptop, menyambungkan pengalaman nyata itu ke bab skripsinya yang berkaitan.Sore menjelang, Ari berpindah ke kantor Agusman Candra Jaya. Kantor ini memberinya perspektif berbeda. Jika di kantor Mas Ratno ia belajar dasar dan kedisiplinan klasik profesi pengacara, maka di sini Ari melihat bagaimana pengacara menangani perkara besar dengan strategi, media, dan pendekatan modern. Ia belajar membaca karakter klien, memahami dinamika sosial, dan yang terpenting: cara menjaga integritas di tengah kerasnya dunia hukum.Malam harinya, setelah semua perjalanan itu, Ari kembali ke kos. Duduk di teras kecilnya, menyalakan rokok, dan membuka laptop. Ia melanjutkan bab yang belum rampung, menyisipkan teori hukum dan membandingkannya dengan praktik yang ia lihat hari itu. Perlahan tapi pasti, skripsinya bukan hanya sekadar tulisan akademik. Ia menjelma menjadi karya hidup — campuran antara ilmu dan pengalaman nyata.Kisah Ari adalah kisah banyak orang yang memilih berjalan lambat tapi pasti. Yang percaya bahwa kerja keras hari ini akan menjawab doa-doa masa depan. Bahwa tak perlu terburu-buru mengejar cinta, ketika diri sendiri belum selesai diperjuangkan. Ia membuktikan bahwa fokus, disiplin, dan kesungguhan adalah kunci, bahkan untuk mereka yang memulai dari titik yang paling sederhana.Ari bukan hanya menulis skripsi. Ia sedang menulis takdirnya sendiri.Setiap langkah Ari seakan berpijak di dua dunia yang berbeda, tapi saling melengkapi — dunia akademik yang menuntut ketepatan teori, dan dunia praktik hukum yang menantang logika dan mentalitas. Namun dari dua dunia inilah, Ari membentuk dirinya menjadi seseorang yang tidak hanya mengerti hukum di atas kertas, tetapi juga memahami bagaimana hukum bekerja di tengah masyarakat.Di kampus, Ari sudah tidak asing lagi bagi para dosen dan petugas perpustakaan. Ia datang bukan hanya untuk konsultasi, tapi juga untuk membaca berbagai referensi hukum yang jarang disentuh mahasiswa lain. Buku-buku tebal yang penuh dengan pasal dan tafsir hukum ia baca dengan seksama, dan tak segan menyalin bagian penting ke catatan kecilnya. Ia paham bahwa untuk menjadi pengacara hebat, ia harus berpijak pada dasar yang kuat: literasi hukum.Beberapa mahasiswa melihat Ari sebagai 'aneh' karena tak pernah ikut nongkrong atau sekadar berkumpul membahas hal ringan. Tapi diam-diam, mereka pun mulai terinspirasi. Ari membuktikan bahwa kesuksesan bukan datang dari kepandaian bicara semata, tapi dari kerja nyata yang berulang dan terus-menerus.Di kantor Mas Ratno dan Agusman Candra Jaya, Ari semakin banyak belajar. Ia mulai bisa membedakan gaya bahasa surat kuasa untuk kasus perdata dan pidana. Ia memahami bahwa surat kuasa bukan hanya formalitas, tapi titik awal tanggung jawab besar: hubungan hukum antara klien dan kuasa hukumnya.Pernah suatu hari, Ari ditugaskan untuk membantu menyiapkan dokumen perkara perdata yang cukup rumit. Ia menghabiskan waktu hingga larut malam meneliti yurisprudensi dan mengolah kronologi peristiwa menjadi argumentasi hukum yang bisa digunakan di persidangan. Ketika dokumen itu diserahkan ke pengacara senior, mereka mengangguk puas. Mas Ratno bahkan berkata, "Kalau kamu terus begini, Ari, kamu bukan hanya lulus skripsi, kamu siap jadi pengacara muda yang disegani."Itu menjadi semangat baru untuk Ari. Sepulang dari kantor, meski tubuh lelah, ia tak pernah meninggalkan laptopnya. Ia duduk di depan layar, menuliskan bab demi bab skripsi dengan penuh semangat. Ia menautkan teori dengan kejadian nyata yang ia alami. Ia menulis bukan hanya untuk mendapatkan nilai, tapi untuk menyumbang sesuatu yang berarti bagi dunia hukum.Ari juga mulai berpikir lebih dalam: kelak ketika ia benar-benar menjadi pengacara, ia ingin membela orang-orang kecil yang tak tahu caranya memperjuangkan keadilan. Ia ingin membela kebenaran, bukan sekadar memenangkan perkara. Dan semua ini ia tuangkan dalam bagian akhir skripsinya — tentang urgensi integritas dan etika dalam hubungan kuasa antara klien dan pengacara.Tak jarang, malam-malam itu diwarnai suara rintik hujan di atap kosnya. Namun Ari tetap mengetik. Ditemani secangkir kopi sachet dan semangat yang tak pernah padam. Di momen-momen sunyi itu, ia tersenyum sendiri. Ia tahu, ia sedang tidak menghabiskan waktu. Ia sedang membangun masa depan.Dan bagi setiap pembaca kisah ini, semoga semangat Ari menjadi pengingat: bahwa perjuangan, kejujuran, dan kerja keras adalah fondasi tak tergantikan menuju mimpi. Bahwa bahkan dari sudut kecil di kota Bandar Lampung, seorang mahasiswa bisa tumbuh menjadi pengacara hebat — asal tak menyerah, asal terus melangkah.Setiap hari, seolah tak pernah kehabisan energi, Ari menjalani rutinitas yang padat namun bermakna: pagi hingga siang ia di kampus, mengurus revisi skripsinya yang makin mendekati sempurna — sore hingga malam, ia membagi waktunya di dua kantor pengacara, belajar langsung dari dunia nyata. Tak ada waktu untuk bersantai, tapi anehnya, Ari tak pernah merasa lelah secara batin. Justru, ada semacam semangat yang terus menyala, membakar tekadnya.Di kantor Mas Ratno, Ari mulai dipercaya mendampingi klien dalam sesi konsultasi. Meski belum bisa bicara banyak, ia diam-diam mencatat gaya komunikasi Mas Ratno yang tegas namun tetap simpatik, dan bagaimana ia menyusun logika hukum dari cerita klien. Di kantor Agusman Candra Jaya, yang lebih banyak menangani perkara perdata bisnis dan korporasi, Ari belajar bagaimana hukum menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan kepentingan antar pihak. Ia mulai bisa membedakan nuansa bahasa hukum: kapan harus bersikap lunak, kapan harus tajam, dan kapan harus tegas tanpa kompromi.Setiap pengalaman itu menjadi pelajaran hidup yang tidak pernah ia dapat dari ruang kelas. Dan Ari menyadari satu hal: ia mencintai pekerjaan ini. Bukan sekadar karena ia ingin sukses, tapi karena ia merasa "hidup" saat berada di tengah proses hukum — menulis, berpikir, berdiskusi, bahkan mendengarkan keluhan masyarakat yang mencari keadilan. Ada panggilan hati yang tumbuh. Dalam sunyi, ia mengakui dalam hati, "Inilah aku. Ini jalanku."Skripsinya yang berjudul "Analisis Yuridis Surat Kuasa Khusus antara Klien dan Pengacara" pun makin menunjukkan kedalaman. Ia tidak sekadar menyusun berdasarkan referensi, tapi membumbui dengan pengalaman empiris. Dosen pembimbingnya pun terkesan, sering memujinya dalam bimbingan. "Kamu bukan cuma menulis skripsi, Ari. Kamu sedang menulis cermin profesi," kata sang dosen suatu hari.Di tengah kesibukannya, Ari tetap menjaga integritas. Ia tidak pernah menerima uang dari kantor — semua ia lakukan demi belajar. Bahkan saat salah satu pengacara menawarkan uang lelah, ia menolak halus. "Saya masih belajar, Mas. Biarlah ini jadi amal ilmu buat saya."Pernah suatu ketika, Ari diminta menyusun draf surat gugatan sederhana untuk klien yang tidak mampu. Ia mengerjakannya dalam waktu semalam. Paginya, draf itu diketik ulang dan diajukan ke pengadilan. Beberapa hari kemudian, Mas Ratno berkata, "Gugatan kamu itu diterima baik sama hakim. Bagus strukturnya. Kamu punya bakat, Ri."Ari tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, tapi dalam hatinya ada rasa bangga dan percaya diri yang perlahan tumbuh. Bakat itu bukan karena ia lebih pandai dari orang lain — tapi karena ia tak berhenti berusaha dan selalu rendah hati dalam belajar.Ia mulai membayangkan masa depannya. Kantor hukum yang ia dirikan sendiri. Logo sederhana dengan nama "Ari Pratomo & Associates – Menyuarakan Keadilan untuk yang Terbungkam." Ia ingin menjadi pengacara yang tidak hanya hebat di ruang sidang, tapi juga dekat dengan rakyat. Yang tidak menakutkan, tapi memberi harapan. Bukan pengacara yang hanya menumpuk harta, tapi yang menjadikan hukum sebagai alat perubahan.Dan malam-malam itu, seperti biasa, ia duduk di teras kamar kosnya. Menyalakan rokok, membuka laptop, dan kembali menyempurnakan bab demi bab skripsinya. Di layar, kata-kata mengalir — bukan sekadar kalimat ilmiah, tapi suara hati seorang pemuda yang telah menemukan jalannya.Dia adalah Ari. Mahasiswa biasa yang dengan kerja keras, kejujuran, dan keyakinan, perlahan berubah menjadi pengacara luar biasa. Sebuah inspirasi tentang bagaimana mimpi tak harus dimulai dari istana, tapi bisa tumbuh dari lorong kampus, warung kopi, dan kantor kecil yang sunyi — asal tekadnya kuat dan hatinya bersih.Hari itu, setelah bimbingan skripsi selesai lebih awal dari biasanya, Ari berjalan santai menyusuri koridor kampus sambil membawa map tebal berisi hasil revisinya. Udara sore terasa hangat, dan bayangan matahari memantul dari dinding gedung hukum. Di sela langkahnya, ia memutuskan untuk tidak langsung menuju kantor pengacara, ingin sedikit mengendorkan pikirannya yang terus bekerja tanpa jeda.Tanpa sengaja, ia melintas di sebuah gedung kecil di dekat kampus, agak tersembunyi di balik deretan ruko dan pepohonan. Sebuah plang sederhana terpampang di depannya: "LBH Thaifah Al Mansurah – Lembaga Bantuan Hukum untuk Umat." Tampilan bangunannya tidak mencolok, dindingnya pun mulai pudar, tapi terasa ada aura ketulusan yang memancar dari tempat itu. Di depannya terparkir beberapa sandal jepit dan sepeda motor tua. Ada rak kecil berisi buku-buku hukum dan tafsir, seolah tempat ini hidup dari semangat, bukan kemewahan.Ari memperlambat langkah. Matanya tertuju pada seorang lelaki paruh baya berkemeja putih lusuh dan sarung yang digulung hingga lutut. Lelaki itu sedang membantu seorang ibu berkerudung tua mengisi formulir. Ia berbicara lembut, penuh kesabaran. Seorang mahasiswa yang duduk di bangku panjang menyapa Ari pelan, "Mau konsultasi juga, Kak? Itu Kang Hasan, pengasuh pondok dan ketua LBH ini."Ari hanya tersenyum dan mengangguk sopan. Entah kenapa langkahnya malah membawanya mendekat, padahal ia tidak merencanakan masuk ke tempat itu.Setelah ibu itu pergi dengan wajah lega, Ari memberanikan diri menyapa, "Assalamualaikum, Kang... saya Ari, mahasiswa hukum."Kang Hasan membalas dengan hangat, "Waalaikumussalam... Ari? Silakan duduk, Nak. Lulusan hukum?""Belum, Kang... lagi susun skripsi.""Alhamdulillah... itu artinya kamu sedang bersiap jadi bagian dari orang-orang yang membawa keadilan. Ayo duduk sini, cerita apa yang bisa dibantu?"Obrolan mereka pun mengalir. Ari menceritakan bahwa ia sedang belajar langsung di dua kantor pengacara dan tengah menyusun skripsi tentang surat kuasa. Kang Hasan mendengarkan dengan tenang, sesekali mengangguk dan memberi nasihat ringan. Tidak terasa, waktu berlalu hampir satu jam. Ari merasa seperti menemukan dimensi baru dari dunia hukum — bukan hanya gugatan dan pasal, tapi keberpihakan, keikhlasan, dan pelayanan pada yang lemah."Jadi pengacara itu bukan sekadar bicara di pengadilan, Nak," ujar Kang Hasan pelan. "Tapi bagaimana kita hadir jadi jalan keluar. Orang kecil datang ke sini kadang tak tahu harus mulai dari mana, tapi mereka bawa doa dan harapan. Kalau niatmu lurus, hukum akan jadi amal."Kata-kata itu menancap di hati Ari.Sejak hari itu, Ari menambahkan satu tempat lagi dalam rutinitasnya. Pagi tetap di kampus, siang hingga sore di kantor Agusman Candra Jaya, lalu malam kadang di kantor Mas Ratno atau ke LBH Thaifah Al Mansurah jika ada agenda. Ia belajar banyak dari Kang Hasan, bukan hanya tentang perkara hukum, tapi tentang hati, keikhlasan, dan makna menjadi pelayan masyarakat.Ia mulai menyalin beberapa pengalaman itu ke dalam catatan skripsinya — tanpa menyebut nama, tapi merekam nilai-nilai yang ia pelajari. Dalam revisinya, ia menambahkan bab analisis perbandingan praktik surat kuasa di lembaga komersial dan lembaga bantuan hukum, sebagai bentuk pendalaman terhadap implementasi.Dosen pembimbingnya terkejut dengan kedalaman data dan sudut pandangnya. "Ari, kamu bukan hanya mengerjakan skripsi. Kamu sedang membuka jalan berpikir baru tentang peran pengacara."Ari hanya tersenyum. Dalam hati ia bersyukur. Langkah kakinya yang tanpa sengaja melewati kantor kecil itu, ternyata adalah bagian dari skenario besar hidupnya. Kini, ia tahu bahwa menjadi pengacara bukan hanya tentang menang — tapi tentang hadir untuk mereka yang tak punya suara. Dan di situ, ia merasa makin yakin, ia ada di jalan yang benar.Suatu malam selepas maghrib, suasana di LBH Thaifah Al Mansurah mulai sepi. Para santri yang membantu pelayanan hukum sudah pulang ke pondok, hanya tinggal beberapa buku hukum terbuka di meja dan suara lembut tilawah dari kamar belakang. Kang Hasan sedang menyapu halaman ketika Ari datang dengan wajah lelah tapi tetap bersahaja."Assalamualaikum, Kang...""Waalaikumussalam, Ari. Sudah makan malam?" tanya Kang Hasan sambil tersenyum, meletakkan sapu dan mempersilakan Ari duduk di bangku bambu di teras."Belum, Kang. Tapi nggak lapar. Hati saya lagi penuh, Kang... Pengen cerita."Kang Hasan duduk di sampingnya, menatap langit yang mulai gelap. "Silakan, Nak. Tempat ini juga tempat untuk melepas beban, bukan cuma menyelesaikan perkara."Ari menghela napas panjang. "Saya sekarang rutin ikut Mas Ratno dan Pak Agusman Candra, Kang. Di dua kantor itu saya benar-benar belajar banyak hal. Dari strategi hukum, cara berdebat, menyusun gugatan, sampai menghadapi klien-klien kaya yang kadang angkuh... Tapi makin saya pelajari itu semua, hati saya malah makin sering gelisah.""Gelisah kenapa?" tanya Kang Hasan pelan, penuh perhatian."Saya takut, Kang. Takut jadi pengacara yang hanya pandai bicara, tapi lupa makna keadilan. Saya lihat ada pengacara yang cerdas luar biasa, tapi mereka sibuk mempertahankan yang bayar mahal... dan seringkali membela yang salah. Sementara di tempat ini, saya lihat Kang Hasan bantu orang tanpa minta apa-apa. Rasanya beda, Kang. Saya jadi bingung, saya harus ke arah mana."Kang Hasan tersenyum. Matanya redup tapi dalam."Mas Ratno dan Pak Agusman adalah guru yang baik. Mereka membentuk ketajaman pikiranmu, itu penting. Tapi ketajaman hati juga harus diasah. Itulah kenapa kamu sampai ke sini, Ari. Hukum itu ibarat pisau. Di tangan orang yang bijak, dia menyelamatkan. Tapi di tangan yang salah, dia melukai."Ari menatap Kang Hasan dengan mata berkaca-kaca. "Saya ingin jadi pengacara yang bisa membela yang benar, Kang. Tapi realita kadang bikin saya takut tergoda. Uang, nama besar, jabatan... itu semua nyata.""Justru itu ujianmu, Nak," jawab Kang Hasan. "Jalan kebenaran memang sempit. Tapi di situlah letak kehormatan seorang pengacara. Kau bisa belajar dari mereka semua, Mas Ratno, Pak Agusman... ambil ilmunya. Tapi jangan pernah lepas pegangan hatimu. Jangan biarkan dirimu jadi kosong karena terlalu sibuk ingin menang."Ari mengangguk pelan. Kata-kata itu terasa menyentuh relung yang terdalam. Ia merasa ditenangkan."Mulai malam ini," lanjut Kang Hasan, "jika kau berkenan, bantu aku juga di sini seminggu dua kali. Dengar keluh orang-orang kecil. Bantu tulis aduan mereka. Kau akan menemukan wajah hukum yang tak pernah diajarkan di bangku kuliah."Ari terdiam sejenak. Hatinya menghangat. "Saya bersedia, Kang. Terima kasih sudah percaya..."Kang Hasan menepuk bahunya. "Kalau begitu, mari kita mulai perjalanan ini dengan seimbang. Biarkan akalmu diasah oleh para profesional, dan hatimu ditempa oleh doa-doa orang kecil."Malam itu, Ari pulang dengan semangat yang berbeda. Ia merasa menemukan kompas. Kini ia tahu bahwa ia tak harus memilih antara dunia Mas Ratno, Pak Agusman, dan Kang Hasan. Ia bisa berjalan di antara ketiganya, mengambil cahaya dari semua arah — demi satu tujuan: menjadi pengacara yang bukan hanya tangguh di pengadilan, tapi juga utuh di hati nurani.Dan di setiap malamnya, sembari menyusun skripsi di kamar kosnya, Ari mulai menulis bukan hanya berdasarkan teori... tapi dari kisah nyata orang-orang yang selama ini tak terlihat — dan dari perjalanan hatinya sendiri yang mulai mencintai keadilan, lebih dari sekadar kemenangan.Seiring waktu berjalan, Ari semakin mengenal tiga tokoh penting yang kini mewarnai perjalanannya: Mas Ratno yang tajam, realistis, dan penuh strategi; Pak Agusman Candra yang disiplin, rapi, dan sangat teknikal dalam urusan hukum; serta Kang Hasan — seorang kiyai sederhana yang juga pengacara, namun memiliki pendekatan yang sama sekali berbeda.Pada suatu siang yang tenang, Ari duduk di ruang tamu LBH Thaifah Al Mansurah, membantu menyusun surat keterangan tidak mampu untuk seorang buruh bangunan yang dituduh mencuri bahan proyek. Kasus itu sederhana, namun menyakitkan. Si buruh mengaku mengambil dua batang besi bekas karena gajinya belum dibayar dua bulan. Pemilik proyek, seorang kontraktor kaya, melaporkannya atas dasar pencurian.Ari yang sudah terbiasa melihat kasus semacam ini bersama Mas Ratno dan Pak Agusman langsung berpikir soal strategi pembelaan: mencari bukti tak ada niat jahat, menunjukkan tidak adanya kerugian signifikan, hingga kemungkinan perdamaian. Namun ketika ia berdiskusi dengan Kang Hasan, ia mulai mendengar sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya."Masalah ini bukan cuma soal hukum positif, Ri," ujar Kang Hasan sembari menyiapkan teh hangat. "Ini soal rasa keadilan yang lebih dalam. Islam tidak hanya bicara tentang membela klien kita, tapi juga bagaimana menjaga keadilan untuk semua pihak. Bahkan untuk orang yang berseberangan dengan kita."Ari terdiam."Kalau kita hanya fokus membela klien agar menang, kita bisa lupa satu hal penting: apakah kemenangan itu adil?" lanjut Kang Hasan. "Keadilan sejati bukan tentang siapa yang paling kuat argumennya, tapi siapa yang paling jujur pada hatinya."Ari merenung. Dalam dunia hukum yang keras, ucapan Kang Hasan terasa seperti embun di padang pasir."Jadi menurut Kang Hasan, saya sebagai pengacara tidak harus selalu membela klien mati-matian?"Kang Hasan tersenyum. "Bela dengan segenap kemampuanmu, Ri. Tapi jangan pernah melawan nuranimu. Kalau kau tahu klienmu salah, jangan dustakan hatimu. Tugas kita bukan hanya memenangkan perkara — tugas kita adalah menjaga agar keadilan tetap hidup, bahkan jika itu artinya memberi ruang kepada pihak lawan untuk didengar secara adil."Hari itu, Ari menyadari sesuatu yang menggetarkan hatinya: selama ini ia berpikir tugas pengacara adalah melindungi klien, apapun yang terjadi. Tapi Kang Hasan menunjukkan bahwa pengacara bisa lebih dari itu — ia bisa menjadi penengah yang adil, penyeimbang yang tulus, bukan sekadar petarung yang haus menang.Dalam setiap langkah Ari setelah itu — di ruang sidang bersama Mas Ratno, di meja konsultasi dengan Pak Agusman, dan di kantor kecil Kang Hasan — ia mulai menanamkan prinsip itu dalam dirinya. Ia ingin jadi pengacara yang ahli di hukum, fasih dalam strategi, tapi juga jernih dalam hati.Setiap kali ia melihat Kang Hasan menengahi konflik antara dua warga desa yang berseteru, bukan dengan argumen keras tapi dengan ayat-ayat Qur'an dan kisah hikmah, Ari merasa terinspirasi. Bahwa hukum bisa menjadi jalan dakwah. Bahwa pengacara bisa jadi wakil keadilan, bukan sekadar wakil klien.Dan dalam skripsinya, Ari mulai menulis lebih dalam. Ia tak hanya mengulas pasal demi pasal soal surat kuasa, tapi mulai menyelipkan bab analisis tentang makna tanggung jawab moral seorang pengacara. Ia tulis:"Bahwa kuasa hukum bukan hanya berarti mewakili secara hukum, tapi juga menjaga amanah dan akhlak. Seorang pengacara tidak sedang meminjamkan suaranya kepada klien semata, tapi juga sedang memperjuangkan wajah hukum yang jujur, adil, dan manusiawi."Hari demi hari, Ari semakin jatuh cinta pada dunia hukum — bukan karena kekuasaannya, tapi karena harapan untuk membuat hukum menjadi lebih manusiawi.Ia tahu, jalannya masih panjang. Tapi dengan tiga guru yang begitu berbeda — satu strategis, satu teknikal, dan satu spiritual — Ari perlahan-lahan menemukan dirinya. Ia bukan hanya sedang belajar menjadi pengacara. Ia sedang belajar menjadi manusia yang adil.Hari itu angin sore membawa aroma tanah basah dari halaman pondok pesantren Thaifah Al Mansurah. Ari duduk bersila di teras LBH bersama Kang Hasan, menyantap pisang goreng dan teh hangat. Sore itu tidak ada sidang, tidak ada naskah hukum di meja. Hanya ada obrolan tenang antara murid dan guru—bukan dalam bentuk gelar, tapi dalam bentuk jiwa."Ri," kata Kang Hasan pelan, "kau tahu, banyak orang ingin menjadi pengacara karena ingin terlihat hebat. Punya jas mahal, bicara lantang di pengadilan, membela klien besar, diliput media. Tapi jadi hebat belum tentu jadi baik."Ari menoleh dengan dahi berkerut. Kang Hasan melanjutkan dengan suara lirih tapi penuh tenaga."Menjadi hebat itu mudah, cukup kerja keras dan ambisi. Tapi menjadi adil... ah, itu urusan nurani. Itu urusan langit."Ari mulai menunduk. Kata-kata Kang Hasan masuk seperti cahaya ke celah-celah yang selama ini gelap dalam benaknya. Ia ingat bagaimana ia dulu mendambakan pujian dosen, apresiasi klien, bahkan pengakuan dari sesama mahasiswa. Tapi belum pernah ia bertanya: untuk siapa aku belajar hukum ini?"Dalam Islam, Ri," ujar Kang Hasan sembari menatap langit jingga, "hakim itu harus adil. Tapi pengacara juga akan dimintai pertanggungjawaban. Kalau kau tahu klienmu salah, dan kau bela dengan niat semata menang, kau mungkin lolos dari hukum negara. Tapi kau tak akan lolos dari timbangan akhirat."Ari menggigit bibirnya. Kata-kata itu berat. Namun ia tahu, di sanalah letak kejujuran."Jadi... kalau saya punya klien yang bersalah, saya harus menolaknya?" tanya Ari pelan."Bukan begitu, Nak," Kang Hasan menjawab lembut. "Kalau dia datang padamu dengan kejujuran, ingin bertobat dan bertanggung jawab, maka bimbing dia. Lindungi hak-haknya sebagai manusia. Tapi jangan pernah kau ajarkan dia berbohong demi menang. Kalau dia minta itu... maka diam pun lebih baik daripada membela yang batil."Ari diam. Pandangannya menerawang.Kang Hasan melanjutkan, "Kau sudah ikut Mas Ratno dan Pak Agusman. Itu bagus. Mereka ahli. Tapi jangan lupa, ilmu hukum tanpa nurani hanya akan jadi alat kezaliman yang dibungkus legalitas."Ari mulai paham. Apa yang membuat Kang Hasan berbeda bukan karena dia memakai sarung dan bukan setelan jas. Bukan karena ia ngaji sebelum bekerja. Tapi karena setiap tindakan hukumnya dimulai dari kesadaran bahwa keadilan bukan milik siapa pun—keadilan adalah milik Tuhan. Dan siapa pun yang mempermainkannya, sedang bermain-main dengan api.Malam itu, saat Ari pulang ke kamar kontrakannya, ia tak langsung membuka laptop. Ia duduk di sudut ranjang, menyalakan rokok, dan merenung. Di hadapannya terbuka draft skripsi, halaman analisis yuridis tentang surat kuasa.Namun kini, pikirannya menulis sesuatu yang berbeda."Surat kuasa bukan hanya dokumen hukum. Ia adalah amanah. Amanah untuk mewakili suara yang mungkin sudah hilang. Amanah untuk tidak memutarbalikkan kebenaran demi kemenangan. Karena dalam setiap tandatangan, tersimpan satu tanggung jawab: adakah kita sedang menolong keadilan, atau sedang menyembunyikannya?"Ari tahu, jalan pengacara yang seperti ini mungkin tidak akan membuatnya cepat kaya. Tapi ia mulai yakin, bahwa jika ia bisa menjadi pengacara yang adil, maka itulah kekayaan sejatinya.Ia tidak ingin hanya hebat di depan kamera. Ia ingin dikenang di langit sebagai orang yang pernah mencoba berlaku adil, meski tidak sempurna.Dan sejak hari itu, setiap kali ia mengetik bab demi bab skripsinya, setiap kali ia duduk di ruang sidang bersama Mas Ratno atau Pak Agusman, dan setiap kali ia kembali ke LBH Kang Hasan—ia tahu satu hal:Menjadi hebat adalah pilihan. Tapi menjadi adil adalah panggilan.Sore itu, langit mulai berubah kelabu, menandakan hujan akan turun. Ari masih duduk bersila di teras LBH Thaifah Al Mansurah. Suasana hening. Hanya suara ayam jantan di kejauhan dan desiran angin yang melewati dedaunan pisang di pekarangan pondok. Kang Hasan menyandarkan punggungnya ke tiang kayu, menatap jauh ke arah jalan kecil yang sunyi, lalu mulai berbicara dengan suara rendah namun menusuk ke kedalaman hati."Ri..." katanya perlahan. "Hidup itu bukan hanya tentang siapa yang menang. Tapi tentang apa yang kau bela, dan kenapa kau membelanya. Hukum tanpa hati akan jadi seperti pedang di tangan orang buta."Ari menatapnya penuh perhatian. Tak ada buku hukum, tak ada diktat, tak ada perdebatan. Yang ada hanya percakapan antara hati dan hati."Kalau nanti kau jadi pengacara sukses," lanjut Kang Hasan, "kau akan diuji bukan saat kalah... tapi justru saat menang. Apakah kemenanganmu membuatmu rendah hati atau malah merasa paling benar. Apakah kemenanganmu membuatmu semakin peduli, atau malah buta terhadap penderitaan orang kecil yang tak mampu membayar jasa hukum."Ari menghela napas. Perlahan, kata-kata itu seperti menghunjam ke dalam pikirannya yang selama ini sibuk mengejar kelulusan, sibuk dengan logika dan undang-undang, sibuk membuktikan diri layak menjadi sarjana hukum."Kalau kau ingin jadi pengacara beneran," lanjut Kang Hasan, "jangan pernah jual nuranimu. Karena kelak, klien bisa pergi, gelar bisa pudar, uang bisa habis, tapi yang kau miliki paling berharga adalah hati yang masih bisa membedakan mana hak dan mana yang batil."Ia berhenti sejenak, menatap Ari penuh makna."Jujur itu tidak akan selalu membuatmu cepat naik. Tapi percayalah, jujur akan membuatmu tetap berdiri tegak saat semua sedang jatuh. Karena hukum yang sejati, bukan hanya ditulis di buku, tapi ditulis di dada orang-orang yang takut pada Tuhan."Ari merasa tenggorokannya tercekat. Dunia yang ia kenal selama ini—kelas-kelas kuliah, ruang pengadilan, suasana tegang debat hukum—tiba-tiba terasa kecil dibandingkan makna dari apa yang sedang ia dengarkan.Kang Hasan menatap langit, lalu menoleh kembali."Kalau suatu saat kamu disuruh memilih, Ri... antara membela orang salah demi uang, atau menolak dan tetap miskin—pilihlah yang membuat Tuhan ridha, bukan yang membuat manusia kagum."Hujan mulai turun perlahan. Butir-butirnya menyentuh tanah, menimbulkan aroma harum yang khas. Ari menunduk, matanya memerah. Bukan karena hujan, tapi karena nuraninya disentuh.Kang Hasan menepuk bahunya pelan."Kau bisa jadi pengacara hebat, Nak. Tapi lebih dari itu, jadilah manusia yang adil."Dan di tengah suara hujan yang turun lembut, Ari tahu—perjalanannya baru saja dimulai. Sebuah perjalanan menjadi bukan hanya sarjana hukum, bukan hanya praktisi hukum. Tapi manusia yang mewakili suara kebenaran, yang kelak tidak hanya dibela oleh klien, tapi juga akan dibela oleh Tuhan karena telah menjaga kejujuran dan nurani di tengah dunia yang terus berubah.Malam itu, Ari baru pulang dari pertemuan dengan Kang Hasan. Hatinya penuh getaran. Bukan karena lelah, tapi karena kata-kata yang terus bergema dalam benaknya. Bahwa menjadi hebat itu baik, tetapi menjadi adil jauh lebih mulia. Bahwa seorang pengacara bukan hanya tentang memenangkan perkara, tapi tentang menjaga nurani.Sesampainya di kamar, ia meletakkan tasnya, menyalakan laptop, dan menyalakan sebatang rokok. Di atas meja kecil, draft skripsi yang belum rampung tergeletak bersama buku-buku hukum. Tapi malam itu, bukan teori yang ingin ia salin. Ia ingin menulis dari hatinya.Jari-jarinya mulai bergerak di atas keyboard. Bukan karena tuntutan kampus, tapi karena panggilan dari dalam diri. Ia menuliskan tentang surat kuasa, namun dari sudut pandang yang berbeda. Ia menyisipkan refleksi tentang kepercayaan, kejujuran, dan keadilan sebagai fondasi utama antara pengacara dan klien. Ia mengutip pemikiran Kang Hasan, tanpa menuliskan nama, tapi maknanya jelas: bahwa hukum tidak boleh terpisah dari hati.Tiap kalimat yang ia tulis terasa hidup. Ia tidak sekadar menyusun skripsi, ia sedang merajut keyakinan. Di tengah malam yang sunyi, Ari menyadari bahwa ini lebih dari sekadar tugas akhir. Ini adalah fondasi masa depannya. Ia ingin dikenal bukan hanya sebagai sarjana hukum, tapi sebagai pribadi yang menghidupi hukum dengan hati.Ia mengetik lagi. Tentang bagaimana surat kuasa bukan sekadar alat formal untuk membela seseorang di pengadilan, tapi juga kontrak moral untuk memperjuangkan kebenaran, walau tidak selalu berpihak pada pemenang. Ia tuliskan semua itu dengan jujur, dari hati yang tersentuh oleh perjalanan barunya.Dan sebelum tidur, ia menuliskan satu catatan kecil di ujung halaman:"Jika suatu hari aku jadi pengacara, izinkan aku lebih dulu menjadi manusia. Biar aku bisa membela bukan hanya dengan akal, tapi dengan nurani."Ari mematikan laptopnya. Malam telah larut. Tapi semangatnya baru saja menyala.Setiap hari, Ari menjalani rutinitas yang padat namun penuh makna. Pagi hari ia berangkat ke kampus, membawa berkas skripsi yang terus ia poles dengan semangat yang tak pernah padam. Di kampus, ia rutin berdiskusi dengan dosen pembimbingnya, menyerap arahan dan kritik yang membangun agar hasil akhirnya tak hanya sekadar memenuhi syarat akademis, tapi benar-benar mencerminkan pemahaman dan integritasnya sebagai calon pengacara.Selepas kuliah, Ari langsung melanjutkan langkahnya ke kantor-kantor pengacara yang telah menjadi sekolah kehidupan baginya. Di kantor Suratno Hadisubroto, ia belajar ketekunan dan ketelitian dalam mempersiapkan dokumen hukum. Di sana, ia melihat bagaimana perjuangan di balik meja kerja sangat menentukan jalannya persidangan. Mas Ratno, yang sabar dan disiplin, mengajarkan Ari arti tanggung jawab yang besar, bahwa setiap surat dan dokumen bukan sekadar kertas, melainkan harapan dan kepercayaan klien yang harus dijaga.Di kantor Agusman Candra Jaya, Ari menemui sosok yang gigih dan cerdas dalam strategi hukum. Agusman mengajak Ari memahami bahwa menjadi pengacara bukan hanya tentang hukum tertulis, tetapi juga kemampuan beradaptasi dengan realitas sosial dan kepekaan membaca situasi. Dari sini Ari belajar berani mengutarakan pendapat, bernegosiasi dengan berbagai pihak, dan menjaga etika profesi di tengah tekanan.Setiap sore, Ari juga menyempatkan diri untuk mengunjungi kantor Lembaga Bantuan Hukum Thaifah Al Mansurah, tempat Kang Hasan mengajar dan membimbing. Dari Kang Hasan, Ari mendapat pelajaran yang tak ternilai: bahwa keadilan sejati lahir dari hati yang tulus dan nurani yang bersih. Kang Hasan menanamkan nilai-nilai kejujuran, kemanusiaan, dan kesederhanaan yang melengkapi ilmu hukum yang Ari pelajari secara formal. Ia belajar bahwa di balik setiap kasus, ada manusia dengan harapan dan kesedihan yang harus dihargai.Rutinitas yang padat itu tidak membuat Ari lelah. Justru, setiap langkahnya membangun fondasi yang kuat bagi masa depannya. Ia semakin mencintai dunia hukum bukan hanya sebagai profesi, tetapi sebagai jalan pengabdian dan perjuangan. Di tengah kesibukan menyusun skripsi dan menimba ilmu dari para pengacara hebat, Ari terus mengingat pesan Kang Hasan: "Jadilah pengacara yang adil, bukan hanya yang menang."Semangat dan ketulusan itulah yang menjadi bahan bakar Ari untuk terus maju, menjalani hari-harinya dengan penuh harapan dan keyakinan bahwa ia akan menjadi pengacara yang bukan hanya hebat di mata hukum, tetapi juga di mata nurani manusia.Hari-hari Ari terus bergulir dalam ritme yang disiplin dan penuh semangat. Setiap pagi, ia menyiapkan diri dengan tekad kuat untuk menaklukkan tantangan baru. Di kampus, Ari tak hanya sibuk dengan skripsinya, tapi juga aktif mengikuti diskusi-diskusi hukum yang diadakan dosen dan teman-temannya. Ia selalu mencatat hal-hal penting, bertanya, dan menyerap ilmu dengan antusiasme yang menular.Setelah kuliah, ia tidak langsung pulang. Ari memilih mendatangi kantor Suratno Hadisubroto dulu, tempat Mas Ratno mengajarkan detil-detil teknis menjadi pengacara. Di sana, ia belajar cara membuat surat kuasa, dokumen gugatan, dan mempersiapkan bukti-bukti yang akan dipakai dalam persidangan. Ia melihat betapa setiap kata dalam dokumen itu bisa menentukan nasib seseorang, dan ia merasa beban itu sekaligus kehormatan besar.Sore hari, di kantor Agusman Candra Jaya, Ari melihat bagaimana seorang pengacara harus piawai dalam berargumen dan memecahkan masalah dengan cepat. Agusman sering mengajak Ari ikut dalam pertemuan dengan klien, berdiskusi tentang strategi, dan menyiapkan pembelaan. Dari sini, Ari belajar bahwa pengacara harus cerdas, sabar, dan kreatif dalam menghadapi berbagai situasi.Tak lupa, Ari selalu menyempatkan diri ke Lembaga Bantuan Hukum Thaifah Al Mansurah untuk bertemu Kang Hasan, pengacara sekaligus ustad yang mengajarkan pentingnya keadilan yang berlandaskan nurani dan hati. Dari Kang Hasan, Ari belajar bahwa hukum tidak hanya soal menang-kalah, tapi tentang memberikan keadilan yang sebenar-benarnya, yang mengutamakan kemanusiaan dan kebaikan bersama.Walau jadwalnya padat, Ari tak pernah kehilangan semangat. Malam hari di kamarnya, ia melanjutkan penyusunan skripsi dengan penuh dedikasi, menggabungkan ilmu yang ia dapat dari kampus dan pengalaman praktik langsung di kantor pengacara. Setiap bab skripsi ia tulis dengan hati-hati, memasukkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab yang ia pegang teguh.Rutinitas Ari bukan hanya soal belajar dan bekerja keras, tapi juga tentang membentuk karakter dan integritas. Ia tahu, jalan menjadi pengacara yang hebat bukan hanya tentang keahlian teknis, tapi juga tentang bagaimana menjaga hati dan pikiran tetap jernih, serta selalu berjuang demi kebenaran dan keadilan.Kisah Ari yang gigih dan penuh tekad ini menjadi inspirasi bagi siapa saja yang bermimpi besar, bahwa dengan kerja keras, ketulusan hati, dan semangat belajar yang tak pernah padam, kita bisa meraih cita-cita dan membuat perubahan berarti dalam hidup dan masyarakat.Di suatu pagi yang cerah, Ari bersama Mas Ratno menerima tugas menangani kasus sengketa tanah di daerah Lampung Timur. Kasus ini bukan perkara biasa — lahan yang diperebutkan adalah milik sekelompok masyarakat desa yang sudah lama berseteru dengan pemilik baru yang kuat secara politik. Suasana di lapangan sangat tegang; masyarakat yang terlibat keras kepala dan sulit diajak berdialog. Bahkan hakim pengadil kasus itu dikenal sulit dan sangat memihak pihak berkuasa.Ketika Ari dan Mas Ratno tiba di desa tersebut, mereka langsung merasakan ketegangan yang mencekam. Warga yang terlibat sengketa tak segan memperingatkan mereka dengan kata-kata kasar dan tatapan penuh kecurigaan. Suatu malam, ketika hendak meninggalkan desa usai menemui klien, mereka hampir diserang sekelompok orang yang tidak puas dengan kehadiran mereka. Nyawa mereka benar-benar dalam bahaya.Namun, Ari yang sudah banyak belajar dari Kang Hasan tentang pentingnya berdiplomasi dengan hati nurani, mulai berusaha menenangkan situasi. Ia mengajak Mas Ratno untuk menggelar pertemuan kecil dengan beberapa tokoh masyarakat yang berpengaruh. Dengan sabar dan penuh hormat, Ari mendengarkan keluh kesah warga, dan menyampaikan bahwa tujuan mereka bukan untuk memihak, tapi untuk mencari keadilan yang sebenarnya.Ari menggunakan ilmu hukum yang ia pelajari untuk menjelaskan hak dan kewajiban semua pihak secara jelas dan mudah dipahami. Ia juga mengajak mereka untuk membuka hati, mengesampingkan dendam lama, dan mencari solusi damai agar tidak ada lagi korban yang jatuh. Pendekatan ini mulai membuka pintu dialog yang selama ini tertutup rapat oleh emosi dan prasangka.Meski masih banyak tantangan, suasana mulai mencair. Ari dan Mas Ratno terus bekerja keras mengumpulkan bukti, mempersiapkan dokumen, dan berkoordinasi dengan pihak pengadilan. Mereka juga menguatkan klien mereka untuk tetap sabar dan percaya proses hukum akan berjalan adil.Akhirnya, setelah proses panjang dan penuh ketegangan, keputusan pengadilan mulai berpihak pada klien Ari dan Mas Ratno. Mereka pun pulang dari Lampung Timur dengan selamat, membawa pelajaran penting bahwa keberanian dan kejujuran, dikombinasikan dengan hati yang tulus dan pendekatan diplomasi, mampu membuka jalan bagi keadilan meski dalam kondisi yang paling sulit sekalipun.Kisah ini menjadi tonggak penting bagi Ari. Ia sadar bahwa menjadi pengacara bukan hanya soal menang di pengadilan, tapi juga bagaimana menyentuh hati manusia dan menjaga keadilan tetap hidup dalam setiap langkah perjuangan.Ari kembali ke kamar kosnya dengan langkah berat namun penuh tekad. Ia duduk di depan laptop, membuka kembali dokumen skripsinya yang sudah mulai terisi beberapa bab. Peristiwa di Lampung Timur terus terbayang jelas di pikirannya—konfrontasi dengan masyarakat keras, sikap tidak adil hakim, dan bagaimana ia berhasil berdiplomasi dengan pendekatan hati nurani yang diajarkan Kang Hasan.Sambil mengetik, Ari menuliskan kisah itu secara rinci, menggambarkan setiap tantangan dan solusi yang ditempuh. Ia memasukkan analisis tentang pentingnya peran pengacara yang tidak hanya mengandalkan hukum tertulis, tetapi juga kepekaan sosial dan keadilan yang manusiawi. Setiap bab ia lengkapi dengan kutipan hukum dan pengalaman nyata yang memperkaya argumennya.Selain itu, Ari mencurahkan pikirannya tentang betapa pengalaman di tiga kantor pengacara mengajarkan banyak hal berbeda. Dari Mas Ratno ia belajar disiplin dan ketegasan, dari Pak Agusman Candra ia mengasah strategi dan taktik, sementara dari Kang Hasan ia mengerti makna keadilan yang sebenarnya, yang berlandaskan nurani dan ajaran agama.Di tengah malam yang sunyi, Ari tetap tekun mengetik tanpa merasa lelah. Skripsi itu bukan sekadar tugas, melainkan cermin perjalanan hidup dan perjuangannya menjadi pengacara yang berintegritas. Setiap kalimat tertulis dengan penuh kesungguhan, membangun fondasi yang kuat untuk masa depannya.Ia yakin, dengan ilmu dan pengalaman yang terus ia gali, ia akan mampu menorehkan prestasi dan menjadi sosok pengacara yang tidak hanya hebat di mata hukum, tetapi juga dihormati karena kejujuran dan keadilannya. Semangat itu yang terus membakar hatinya saat ia menyelesaikan bab demi bab skripsinya.Setelah melewati malam-malam panjang dengan penuh perjuangan menyusun skripsi, Ari mulai merasakan hasil kerja kerasnya berbuah manis. Di kampus, ia semakin rutin mengajukan setiap bab skripsinya kepada dosen pembimbing dengan rasa percaya diri yang tumbuh perlahan.Setiap kali bertemu dosen pembimbing, Ari mendapatkan masukan yang membangun dan dorongan untuk terus memperbaiki dan mengembangkan argumennya. Tidak hanya dosen pembimbing, para dosen lain di Fakultas Hukum pun mulai memperhatikan karya Ari. Skripsinya yang menggabungkan teori hukum dengan pengalaman nyata dari lapangan mendapatkan pujian karena keaslian dan kedalaman analisisnya.Ari juga mulai diundang untuk berdiskusi dalam seminar internal kampus, di mana ia mempresentasikan hasil penelitiannya. Pendapatnya yang lugas dan argumentasi yang kuat membuatnya menjadi salah satu mahasiswa yang menonjol. Banyak dosen menghargai kegigihan dan komitmennya dalam menyelesaikan skripsi, apalagi dengan latar belakang kerja praktik yang nyata.Di sela kesibukan di kampus, Ari tetap aktif melanjutkan belajar di kantor pengacara. Namun, kampus menjadi tempat utama di mana ia mengasah kemampuan akademisnya. Ia merasa mendapat dukungan yang tulus dari para dosen, yang membuatnya semakin yakin bahwa pilihannya menjadi pengacara bukan sekadar mimpi, tetapi panggilan hidup.Hari demi hari, Ari terus berjuang menyelesaikan skripsinya dengan penuh semangat, menggabungkan ilmu yang ia dapat dari pengalaman praktik dan arahan akademis. Karya tulisnya tidak hanya menjadi bukti kecerdasannya, tapi juga cerminan ketulusan hati dan perjuangan tanpa henti.

Kembali Ke Pelukan Ayah : Kisah Kerinduan Pengacara Terhadap Anaknya

Bab 60 Melawan Matilda

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Mereka dataaang!”“Seraaang ….”Bulan Dua 357 Mirandi, pertempuran Barat melawan Timur pecah.Cun Dok, negara terdekat dari pangkalan militer luar Kara di Kolom Tiga dan Empat-Tiga, membuka perang yang sebetulnya hampir saja batal dengan mengerahkan pasukan kavaleri untuk menyerbu kemah sekutu.Kami yang kala itu sejatinya hendak membubarkan diri usai mendapat respons positif dari Mapu Matilda, terpaksa menyambar senjata demi mempertahankan diri lalu menyerbu balik atas nama harga diri.*** Musim Semi tahun lalu ….“Jadi bagaimana caramu mau membantuku di perang ini?” Ketika aku mendengarkan proposal si berisik untuk perang melawan mapu benua.“Sederhana,” akunya yang langsung tumpang kaki begitu duduk di kursi seberangku, “kembali ke titik awal semua ini. Waktu pertama kita mendaftar buat jadi pemberontak di Panji Beruang.”“Hah?” Mataku memicing dan kepalaku juga agak memiring dengar omongannya, heran. “Maksudmu?”“Kau ingat kenapa kita nekat jalan kaki dari Zaowi sampai ke Zara?”Malam itu kami kabur gegara Zaowi jadi lautan api dan semua orang yang terjebak di kota dibantai habis oleh pasukan berpanji biru milik kekaisaran lama.“Aku ingat …,” kataku, putar badan terus menghadap penuh padanya. “Cuma, malas juga bahas kenangan menyebalkan kita waktu itu, kau tahu.”“Ya ….” Ia rada buang muka. “Maksudku bukan kenangannya, tapi alasan kenapa Zaowi diserang.”Aku tidak mengerti.“Dengar.” Ia memperbaiki duduk. “Pelaku—” ucapnya, agak tertahan. “Pelaku pembakaran Zaowi bukan Matilda Barat, Ure. Jangan mendelik padaku dulu, aku bisa jelaskan semuanya. Oke?”“Baiklah.” Kuambil kursi lantas duduk di depannya. “Ceritakan padaku. Kita lihat apa saja yang sudah kau tahu sampai bisa sepercaya diri ini.”“Hari itu.” Maxwell memulai cerita. “Saat kau, aku, sama si manja pergi berburu naik kereta baruku. Panji Beruang. Atau, Mantel Emas jika harus kuperjelas. Sudah mengepung Zaowi.”“Kita berdua sama-sama tahu bila mereka memang punya peta penyerangan di Tanderi, ‘kan?”“Maksudku ….” Ia kelihatan ragu. “Mereka—”“Mereka yang menyerang dan membakar Zaowi waktu itu?!” selaku, gemas pada sikapnya yang sepotong-sepotong dalam bercerita. “Kau bodoh kalau mengira aku sama si Lamda belum tahu semua ini.”“Jadi kalian sudah tahu?”“Gak usah melotot,” tambahku, “aku sama Lamda sengaja gak bilang padamu karena kau terlalu impulsif.”Maxwell kini melongo.Aku paham bila tatapan heran sama air mukanya sekarang berganti kecewa. Toh, cerita soal dalang dibalik sabotase sama pembakaran Zaowi memang wajar untuk ia anggap sesuatu yang takkan tertebak olehku maupun Lamda karena kami keluar duluan dari Panji Beruang.Cuma, di luar semua itu aku senang dia masih sama. Bocah berisik yang sederhana.“Sudahlah, kau sudah tahu ini, ‘kan?”“Kalian benar-benar gak setia kawan,” keluhnya, “sengaja kusimpan fakta itu buat bikin kau sama si man—akh! Sia-sia kalau ternyata kalian tahu duluan mah ….”Aku ingin tertawa.“Jangan ketawa!” sergahnya, menunjuk mukaku sebal. “Kau gak tahu sekesal dan semuak apa selama ini aku harus pura-pura hormat pada orang yang sudah membuat ayahku—”“Berhenti di situ!” potongku, bangkit terus mengambil gulungan dari keranjang dekat papan strategi. “Nih, peta Matilda Timur. Ketimbang protes gegara bawa berita basi, kenapa gak tunjukkan apa yang bisa kau lakukan buatku di perang ini?”“Buat apa kau kasih aku peta?” Kulihati dirinya dengan kepala miring.“Oh, rencanaku, ‘kan, ya?”“Bagus.” Ia juga masih gampang teralihkan seperti biasa. “Kepalamu ternyata bukan dekorasi.”“Sialan.”“Aku mau mengirim orang ke kota-kota di Timur,” akuku, menunjukki gulungan peta yang baru saja dirinya buka. “Jadi pas perang pecah, kepala bate mereka bisa kupanen sekaligus.”“Kau benar-benar—”“Cuma!” Aku belum selesai. “Rencana ini belum tentu berhasil.”“Kenapa?”“Kau belum lihat penghuni kemahku, ya?”Maxwell menggeleng.“Hah.” Aku tepuk jidat, merasa salah sudah menanyainya. “Lupakan, intinya perang bisa batal dan kita gak jadi melawan Matilda. Itu saja. Meski orang-orangku ada di Timur, kita tetap butuh kepastian jika perang ini benar-benar akan pecah. Paham?”“Itu makanya aku kemari.”“Eh?”“Dengar.” Maxwell menutup peta tersebut lalu membuangnya ke belakang. “Bate Manik bilang, kau bakal kesulitan memulai perang dengan situasi aliansi kalian sekarang, Ure. Makanya beliau khusus menyuruhku buat datang kemari dan membantumu memastikan bahwa perang ini tetap akan terjadi.”‘Pembual,’ batinku dengar omongan besarnya, “terus apa rencanamu jadinya?”“Aku mau ….”Saat itu si berisik bilang dia dan orang-orangya mau menyusup ke Cun Dok buat menyergap satu atau dua kota kemudian membakar mereka untuk memancing serangan balik dari pasukan Timur.Persis yang dilakukan Mantel Emas waktu menyulut amarah massa terhadap status quo di masa lalu. Lagu lama dan siapa sangka rencana tersebut masih berhasil hari ini ….*** “Sekarang apa rencana kalian?”Aku cekak pinggang di depan para perwakilan Aliansi Melawan Matilda, hari kedua serangan Cun Dok ke kemah sekutu. Hendak memastikan sikap kami terhadap Timur.“Dua hari kita diserang padahal setuju buat gencatan senjata,” ujarku, “apa masih mau menung—”“Tidak!”“Benar, kami tidak ingin menunggu serangan ketiga.”“Jadi ….” Kucondongkan diriku ke orang yang baru saja bicara. “Apa yang mau kita lakukan, Bura?”“Melawan!”“Benar. Kita harus melawan!”“Setuju. Ayo tunjukkan jika kita juga bukan penakut!”‘Hahaha.’ Aku ketawa dalam hati, reaksi mereka sesuai keinginanku. “Kalau begitu tunggu apa lagi, angkat senjata kalian dan atur barisan malam ini. Besok pagi, giliran kita yang menyerang mereka—”“Yaaa!” Sorak-sorai terdengar di sepanjang pangkalan luar Kara malam itu, gemuruh roda meriam dengan ringkik kuda menyusul kemudian. Kemah sekutu yang pada malam-malam sebelumnya sunyi, kini riuh dan ramai oleh gemerincing alat-alat perang. Bak musik nan menyenangkan dahaga telinga ….*** Satu setengah dekade, kuperhatikan Eldhera baru dan ikut mengalir bersama perkembangannya yang gila di era Mirandi, melihat meriam, melihat mesiu, hingga melihat kelahiran dengan kejatuhan para penguasa di tanah para naga ini. Diriku bahkan menjadi salah satu di antara mereka, haha.Kembali dari Tanah Merah, bersekolah demi bisa membaca, melihat dunia dari sudut pandang penduduk Eldhera, lalu perlahan naik ke posisi dan meraih hal-hal yang belum pernah kumimpikan sebelumnya. Mencoba jalan cerita berbeda, memulai langkah sebagai satu dari mereka yang bukan siapa-siapa, menuai prestasi di luar kata normal sebagai penggugat penguasa lama, bahkan nekat mendirikan negara.Aku, penyintas era Cloria yang terlempar ke masa di mana jasadku seharusnya membusuk di bawah tanah.Aku, teman gila yang jarang bicara dan selalu bilang bosan ketika diajak lari-larian oleh Lamda.Aku, karib yang juga rival si berisik saat berburu mencek di hutan selatan Zaowi.Aku, orang paling kaku di kesatuan Mantel Putih dari Panji Beruang. Seorang upa sementara, tupa, caupa, yoram, dan bura paling ambisius sekaligus kanselir terserakah milik Bravaria. Orang yang diam-diam berani menyelundupkan penduduk Kolom Dua-Tiga ke tanah Kesik lantas mendirikan Kara lalu berdiri sebagai pu atau raja mereka. Orang aneh kalau kata Stella. Entahlah, aku tidak tahu lagi harus menulis apa. Catatanku sudah mau habis dan aku gak tahu mau menutupnya bagaimana. Menyedihkan, bukan? Memang! Aku sendiri pesimis, tapi siapa sangka perang melawan Matilda benar-benar terjadi di bagian ini. Lebih mengejutkan lagi sebab siasat yang malah mewujudkannya adalah jebakan yang dulu membawaku bersama Maxwell dan Lamda ke langkah pertama kami sebagai pemberontak …. *** “Jambu?”“Semua bura telah bersiap di kemah masing-masing, Pu.”“Kirim merpati ke elite kita di sembilan kota Matilda.” Kusulam jemari sambil duduk depan meja strategi, rampung mengatur siasat bersama semua orang. “Malam ini waktu buat memetik ‘piala-piala’ kita ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 59 Pahlawan Benua

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Siapa ini, Qonia?”Musim Gugur 356 Mirandi. Prapertempuran melawan mapu benua kini menyentuh area klimaks. Dua belas ribu serdadu ‘terbaik’ Kara telah disebar ke sembilan kerajaan di Matilda Timur, Cun Dok, We Dong, Qu Jong, Sur Wung, Hu Xin, Ha Yam, Xin Dux, Heu Lang dan Mong Ni. Bersiap ‘tuk memetik kepala pucuk pimpinan mereka begitu gaung sangkakala terdengar dari perbatasan Kolom Tiga dan Empat-Tiga.“Enam bulan kita mengatur siasat sambil menunggu rel kereta ke pangkalan ini selesai,” ujarku, tumpang kaki dan topang dagu saat menerima orang yang diantar ke markas utama kemah oleh kepala ahli strategi militerku. “Sekali lagi kutanya, siapa orang Timur yang kau bawa menghadapku, Qonia?”“Pu Kara.” Orang yang ahli strategiku bawa memberi hormat, khas orang timur. “Salam. Saya, Xuan Yin, utusan Mapu Matilda untuk Kerajaan Baru Kara.”“Oh.” Spontan aku bangkit lekas merangkul bahu sang utusan. “Jadi kau utusan Matilda buatku, hahaha. Bagus, aku sedang bersiap untuk menyerbu Cun Dok dan We Dong tahun depan,” akuku, mengajak dirinya buat pindah tempat ngobrol ke tenda sebelah. “Seandainya saja utusanku membawa kabar baik sepulang dari negara kalian aku tentu takkan bertahan di sini, tapi jawaban mereka kemarin itu ngambang ….” Sebagai penginvasi, diriku memang tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Mumpung utusan Matilda ada di sini, kenapa tidak kugunakan dirinya ‘tuk menunjukkan seserius apa Kara dalam pertempuran pembebasan benua ini. Toh, kekuatan kami kini sebanding berkat kemunculan pahlawan di tempat mereka.*** Dua bulan lalu. Ketika Dorothe berhasil menuntaskan tugasnya ….“Jambu, apa kabar kemunculan pahlawan di pelabuhan Mong Ni sudah kau periksa?”“Sudah, Pu.” Sang Bura Panji Gorgon menggelar peta Matilda Timur di meja strategi. “Orang-orang kita di Mong Ni, Heu Lang, dan Xin Duk mengonfirmasi kehadiran pahlawan bersama seluruh armada penjelajah benua kecil. Mereka bahkan bersaksi bila kapal pahlawan langsung dibombardir bajak laut begitu berlabuh di Mong Ni minggu kemarin.”“Bagus.” Kugebrak meja strategi sekali dan kusapu mata semua orang sekilas. “Kirim berita ke Satu Mare, pahlawan lebih memilih Timur daripada Barat sebagai rumahnya.”Memanfaatkan munculnya pahlawan yang notabene adalah orang Barat di Timur sebagai pemantik, aku hendak menyulut negara-negara di Aliansi agar turut membantu Kara melawan Matilda. Juga, supaya bate-bate yang selama dua tahun terakhir acuh tak acuh serta setengah hati dalam meladeni proposal Kara agar tegas mengambil sikap di perang benua nanti. Maka sengaja kutebar rumor pahlawan lebih memilih bersanding bersama penyintas dunia lain ketimbang memulihkan Barat yang tengah dilanda krisis dewasa ini ….“Menggunakan kecewa sebagai suluh,” terangku di depan Qonia, “aku mau Barat satu suara. Matilda gak perlu ada di antara kita. Titik.”“Rencana brilian, Pu,”“Jangan senang dulu,” tambahku, tumpang kaki di depan papan strategi. “Siasat adu domba punya banyak celah dan dia bisa gagal kapan saja jika kebenaran terlalu jelas. Jadi ….” Kulirik tangan kananku. “Jambu, jangan biarkan ada utusan yang berhasil pulang ke Barat selain orang-orang kita bulan depan. Jelas?”*** “Utusan Xuan Yin, gak perlu kujelaskan kenapa aliansi Barat berkemah di perbatasan Timur, bukan?”Kulipat tangan selesai mendengarkan suruhan Matilda di hadapanku. Antara senang dan tidak, kabar yang ia bawa bukan menjernihkan situasi kami, tetapi juga tidak menyuburkan bibit konflik yang telah kutanam selama ini.“Jika Mapu Matilda benar ingin kami menarik pasukan dari perbatasan, maka tolong kembalikan pahlawan ke tanah di mana seharusnya dirinya berada.” Begitu kataku lantas melihat para Bura, perwakilan negara-negara anggota Aliansi, di ruangan. “Soal perintah tadi, apa dirimu pikir kami masih Matilda Barat?”“Benar. Aku merasa Mapu meremehkan kami karena sembilan negara dulunya adalah Matilda Barat.”“Setuju. Apanya yang gencatan senjata bila hanya kami yang mundur dan pahlawan tetap di Timur?!”“Dengar sendiri, ‘kan?” kataku, angkat tangan ke arah sang utusan. “Kami sepakat gencatan senjata jika—dan hanya jika, Mapu Matilda bersedia menyerahkan pahlawan.”Xuan Yin tidak banyak bicara setelah itu, dirinya kemudian lebih fokus mendengarkan apa tuntutan kami ketimbang memaksakan perintah Mapu Matilda di tenda tersebut sampai pertemuan berakhir.Yang, tentu saja, tidak membuatku puas.“Apa pendapatmu soal orang bernama Xuan Yin tadi, Jambu?”“Tidak ada yang spesial,” ucapnya, menggeleng kecewa. “Namun, bura-bura lain sepertinya memercayai orang ini untuk menyampaikan keluhan pada Mapu Matilda.”“Kau benar, lantas apa saranmu?”“Kenapa tidak kita—”“Menghabisinya bukan solusi,” timpalku sambil menjuling, “jika dia mati sepulang dari sini, itu cuma bakal jadi bumerang buat rencanaku. Sebab orang-orang akan mulai menduga ada pihak ketiga yang ingin Timur dan Barat berkonflik serta otomatis membersihkan nama Matilda dari tuduhan memonopoli pahlawan.”“Kurasa tidak melakukan apa-apa adalah pilihan terbaik, Pu.”“Ho.” Aku menoleh pada Qonia. “Kenapa kau berpikir begitu, Kepala Strategi?”“Situasi Timur dan Barat sudah panas sejak isu pahlawan ditambah menghilangnya para utusan yang tiba-tiba bulan lalu,” terangnya, mulai jalan mondar-mandir di hadapanku sama Jambu. “Meski Matilda Timur tidak langsung runtuh, tapi ketidakpercayaan terhadap mereka juga bertahan.”“Hem.” Kulipat tangan depan dada terus elus dagu. “Itu masih kurang, Qonia.”“Betul!” timpal sang ahli strategi semangat, “makanya kita butuh sedikit dorongan ….”*** Tujuh bulan sebelumnya ….“Kudengar Pu Kara ada di sini, mana dia?!” pekik seseorang, memanggil-manggil diriku dari depan kemah strategi sambil jalan cekak pinggang dan teriak-teriak bak orang gila. “Mana laki-laki gendut yang katanya berhasil menculik putri semata wayang Weka Mapu Varujin itu, hah—manaaa?!”Awalnya aku tak mau peduli, tapi semakin dekat omongannya juga makin bikin kuping panas. Jadi, sebagai kepala negara dengan harga diri tinggi, kusambar gada dekat tirai tenda kemudian keluar memapaknya.“Mana—““Berisik!” pekikku, melompat dengan tangan terayun mengikuti lentingan badan ke belakang siap untuk ‘mengeplak’ kepala orang tersebut. “Bukannya kasih salam kau malah cari gara-gara di tempatku!”Bdum! Ia berhasil menghindar dari ayunan pertama.“Woi, Ure!” teriak orang itu dengan kaki terangkat sebelah, “kau mau membunuhku, ya, hah?!”“Benar!” timpalku yang lalu memutar gada ‘tuk ayunan kedua, “aku mau menumbuk cocot berisikmu yang kayak kaleng, Maxwell—hiyaaa!”“Oi-oi-oooi!” Ia menunduk, menghindari ayunan keduaku. Swush! Sadar nyawanya terancam, orang ini pun ambil langkah seribu. “Ure, aku menyesal menemuimuuu!”“Woi, jangan lariii ….”Begitulah, aku kejar-kejaran sama sobat karib berisikku itu sepanjang kemah strategi sampai ke pagar luar. “Kau benar-benar kejam ….” Hingga sekian saat kemudian, dirinya terbaring dengan kepala benjol-benjol di beberapa tempat habis kena jitak. “U—”“Salahmu,” sambarku yang juga ikut merebah, “kenapa datang-datang bukannya bilang salam malah—”“Bukan!” selanya kemudian duduk, “maksudku kau sama si Lamda benar-benar melupakanku.”“Dih!” Aku menoleh. “Bukannya kau yang selama ini terus menghindari kami, hah?” balasku, duduk lalu cekak pinggang ke arahnya. “Aku beberapa kali menulis surat buatmu biar datang ke Taria, tapi kudengar kau malah mengambil misi di ujung Parpara. Jangankan datang, membalas suratku saja enggak.”“Bukan aku gak mau balas,” timpalnya, membela diri. “Cuma, Bate Manik selalu mengirimku buat menjaga wilayah barat laut tiap kali suratmu datang, Ure.”“Huh.” Aku buang muka. “Kau kan bisa menulis setelah pulang?”“Mana ada!” Ia lompat ke depanku dan pasang muka gemas. “Aku iri kalian bisa lepas dari Panji Beruang, tahu. Setelah Pu Julius sakit-sakitan tugasku makin banyak ….”‘Eh?’ Aku mendelik. “Ma-maksudnya Pu Julius sakit-sakitan?”“Hah.” Maxwell hela napas dan menjuling. “Kau gak tahu, pas dengar kabar Bura Bella meninggal Pu Julius macam orang gila,” terangnya penuh ekspresi, “dia mengabaikan semua orang terus jadi banyak bengong sambil mengurung diri dan mabuk-mabukan, semua urusan pemerintah ditangani Bate Manik setelah itu.”“Hem.” Kupasang muka gak percaya. Bukan apa-apa, pasalnya aku dan Bura Julius masih sempat bertemu sebelum diriku pergi melamar Trira, ‘kan? Jika ia memang jadi pesakitan sejak kabar Bura Bella meninggal, harusnya saat itu keadaannya sudah parah. “Terus siapa yang menyuruhmu kemari kalau bukan Pu—”“Bate Manik!” sambarnya, “beliau mau aku membujukmu biar mendukung Bravaria. Katanya, jika perang melawan Matilda Timur sukses dirinya akan menjadi sekutu setia Kara.”“Kau.” Kugelengkan kepala dengar hal tersebut. “Citra Bravaria di kepalaku jadi rusak, tahu,” akuku terus balik merebah, “kenapa dia yakin membantuku di kampanye ini pilihan terbaik, kemarin kalian sanggup membendung pasukan Aliansi tanpa bantuan siapa pun, ‘kan?”“Bravaria memang berhasil menang, tapi ini bukan solusi permanen.”Hem. Tumben si berisik yang biasanya jarang berpikir bicara macam ahli strategi.“Bilang padaku.” Aku balik duduk lantas melihatnya. “Apa Bate Manik yang mengajarimu semua omongan barusan, Maxwell?”“Memang ada orang lain yang bisa mengajariku?”“Pantas,” komentarku lalu bangkit dan merapikan diri, “kita bahas tawaranmu di tendaku. Aku penasaran kalian mau menawarkan apa buat jadi sekutu setiaku setelah perang ini ….”Hari itu Maxwell menceritakan banyak hal, aku sampai tidak ingat semua.Namun, satu paling jelas, si berisik bersedia mengambil peran supaya Kara bisa cuci tangan di kampanye ini serta tak kehilangan pendukung biarpun telah melawan Matilda Timur. Bahkan, ia sampai mengajukan proposal yang aku sendiri gak percaya bila itu hasil pikirannya. Proposal yang kelak menjadi dorongan di rencanaku ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 58 Pangkalan Luar

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Mereka dataaang!”“Bura?”Kukibaskan tangan sekali, merespons Qonia sebagai lanjutkan seperti biasa, kemudian bangkit terus naik ke menara pengawas. Kusisir situasi pangkalan sekilas, melihat mereka yang baru tiba dan lagi menyeruak dari gerbong-gerbong logistik lalu merangsek ‘tuk berbaris di lapang apel pertama Kemah Panji Gorgon, dekat perbatasan Distrik Selatan Kuil Widupa, Dataran Tengah. Kolom Tiga-Tiga, Musim Semi 356 Mirandi.“Berapa kereta yang datang hari ini?” Kuselisik perlengkapan mereka dari jauh, mencari satu dengan zirah atau jubah mencolok. Seseorang yang sudah lama tidak kudengar kabarnya. “Apa kau tahu?”Prajurit yang kutanya menggeleng, jelas bahwa di menara tersebut tugasnya hanya mengamati.“Cek!” Merasa bodoh, aku pun menjuling sekilas lantas memberi perintah. “Tolong panggil Ahli Strategi Qonia kemari pas beliau selesai ….”*** Tiga bulan sebelumnya ….“Hem ….”Kulipat tangan sambil menunduk usai lihat penampakan final armada perang Kara yang mau berangkat ke Dataran Tengah musim dingin kemarin, berpikir. Tiga belas ribu elite empat panji, berbaris dalam empat divisi dengan dua ribu enam ratus sekian personel masing-masing. Berdiri tegap, mengenakan zirah lengkap, dan membawa tiga senjata yang salah satunya berupa senapan tipe anyar. Mereka, mencerminkan kegagahan militer Kara.Namun, tetap saja kurasa kurang.“Aku gak nemu pengalaman di muka mereka, Jambu,” akuku, menyampaikan kesan atas pasukan yang ia sebut elite di antara elite tersebut. “Kau serius mau mengandalkan anak-anak hijau ini?”“Mereka telah digem—”“Aku mau pasukan lain!” selaku yang lantas menunjuki dada sang bura gemas, “mereka yang paham bunyi komando dan bisa bergerak tanpa perintah, pasukan se—seperti …, atau harus kubilang, ‘Aku mau semua perwira yang kau tarik ke Taria tiga tahun ini.’”Jambu mendelik satu detik, benar-benar cepat, sebab detik kedua mukanya sudah balik datar.“Atau,” lanjutku yang hendak memberi penegasan, “beri aku orang-orang yang gak mau hidup sekalian!”Sebenarnya prajurit yang ia siapkan tidak buruk. Mereka pria matang dengan latihan yang juga mumpuni, label elite di antara elite yang disematkan kepada orang-orang itu pun bukan isapan jempol. Sialnya, bukan jenis ini yang kubutuhkan pas tahu identitas sama lihat biodata mereka. Jika harus kubilang, pilihan Jambu ketika itu gak cocok buat kampanye gila kami. Begitu ….“Mereka lebih baik ketimbang yang di Taria,” kataku pada sang Bura Panji Gorgon di sebelah, “amatir yang memang gak mau hidup dan betulan cari mati.”“Bawahan tidak mengerti, kenapa Anda ingin pasukan yang …, kehidupannya buruk?”“Kita akan kalah di perang ini,” jelasku, menoleh dirinya singkat kemudian duduk di pembatas tepi menara dan balik memperhatikan barisan di bawah sana. “Jadi setelah para utusan pulang, regu pembunuh bakal kita kirim ke semua kota—atau sekarang juga bisa kita cicil, buat memetik kepala bate-bate di Timur.”Kulihat ia yang kini pasang muka gak percaya waktu mendengarkanku.“Orang normal gak cocok buat misi modelan begitu, Jambu—jika itu penasaranmu.”“Maksud Anda ….”“Gak usah pura-pura bodoh,” tukasku, menepis delik tanya dari mata sang bura. “Kau bukan anak kemarin sore atau baru mengikutiku hari ini.”“Kalau begitu Anda tidak akan mendeklarasikan perang pada Matilda Timur—”“Kita belum dengar jawaban Matilda, Jambu …,” ujarku lantas pindah ke kursi malas, “menyatakan perang sebelum tahu bagaimana lawan sama saja dengan judi, bakar uang cuma-cuma. Kau tahu sendiri diriku ini anti buang-buang sumber daya, ‘kan—bangunkan aku pas Qonia kemari ….”*** Bulan lalu ….“Setengah pasukan kita sudah dipulangkan, Pu.”“Oh.” Mulutku membulat dengar laporan Kepala Ahli Strategi Militer Qonia, tatkala ia minta waktu khusus ‘tuk bicara empat mata. “Masih mending ketimbang merenggut seorang ayah dari keluarga kecilnya atau menyuruh satu-satunya penerus keluarga buat mengakhiri garis keturunan mereka.”“Jadi alasan kenapa Anda merevisi daftar pasukan kita untuk mencegah—”“Apa kau mau putra semata wayangmu pergi berperang, Qonia?”Sang ahli strategi menggeleng.“Itu maksudku …,” jelasku terus lanjut rebahan di singgasana, Aula Istana Bate Taria. “Tolong jangan bilang ini sama Jambu, dia jenis komandan yang menjual bela negara di atas kepentingan pribadi.”“Hahaha. Bawahan mengerti.”“Ngomong-ngomong, rel kita sudah sampai mana?”“Ah, soal itu.” Qonia mengambil dua gulungan dari keranjang pinggir meja strategi lantas menggelar salah satunya. “Ini keterangan dan peta dari Mata Satu, mereka bilang rel kita berhenti di—sebentar, Pu. Apa namanya kemarin ….”Penasaran, aku pun mendekat lalu mengintip titik yang lagi ia periksa pakai lup.“Oh, itu bekas pelabuhan rumah tempa—”“Eh?!” Sang ahli strategi menoleh, heran. “Anda tahu aksara baru Dataran Tengah?”‘Bukan aksara baru, mereka cuma kembali mengunakan tulisan sebelum era Matilda …,’ batinku sebelum terus berkilah, “aku pernah ke sana tiga tahun lalu, kau lupa?”“Ah, benar. Kemampuan belajar dan daya ingat Anda menakjubkan, Pu.”“Daripada pujianmu, aku lebih ingin dengar laporan sebelah peta itu,” kataku kemudian menarik kursi dan duduk, siap mendengarkan dirinya saksama. “Apa lagi yang mereka bilang selain sudah sampai sana?”“Ah, baik …, orang-orang Mata Satu melanjutkan pembukaan jalur kereta kita, sebentar lagi mereka akan menembus dua pertiga Kolom Tiga-Tiga. Pembangunan stasiun pemeriksaan awal telah selesai, Kara kini bisa mengirim lebih banyak orang ke—”“Di mana letak stasiun itu, Qonia?”“Ah, sebelah sini ….”Ia menunjuk ke perbatasan antara Kolom Tiga dan Dua-Tiga.“Hem ….” Aku dapat ide. “Qonia, beri tahu Jambu sama semua perwira, kita akan membangun pangkalan luar pertama Panji Gorgon dekat stasiun ini!”Gak butuh waktu lama. Satu minggu sejak sang ahli strategi mengumumkan perintah tersebut, semua kebutuhan rencana itu pun siap. Bahkan, hanya dalam dua pekan, diriku bersama sekian ribu garda depan armada perang Kara sudah menginjakkan kaki di sana.Hingga hari ini, sebulan sejak ide tadi muncul. Kara sudah punya empat pangkalan militer luar di Kolom Tiga-Tiga ….*** “Dengan dua nanti sore totanya jadi enam, Pu.”Begitu keterangan yang kuterima waktu Kepala Ahli Strategi Militer Qonia melaporkan jadwal stasiun dan Kemah Militer Luar Panji Gorgon hari ini. Ada enam kompi tentara yang akan datang kemari.Namun, sebalnya tidak satu pun dari mereka mampu membuatku tersenyum.“Kapan pasukan sekutu mau dikirim kemari, Qonia?” tanyaku, masih berharap akan ada kabar bagus. “Kau bilang Vom dan Bravaria setuju buat membantu kampanye kita, ‘kan?”“Ambasador Edberd memberi kita tanggal kira-kira, antara kemarin sampai minggu depan.” Ahli Strategi Qonia memberiku selembar kertas. “Laporan mata-mata juga telah mengonfirmasi keterangan para diplomat kita. Hasilnya, Bravaria memang mengirim batalion kecil ke Taria hari ini. Sedang Vom lagi bersiap di Hika dan baru akan mengirim pasukan mereka kemari besok.”Hem, rupanya aku salah baca. Ternyata maksud si Berisik Maxwell waktu menulis ‘aku bakal ke tempatmu besok lusa’ di suratnya adalah datang ke Taria, bukan Kemah Panji Gorgon di sini. Sialan.Menyesal kutunggu dia dari pagi ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 57 Mapu Benua

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Sayang, kabar genting!”Kujeda kegiatan di kebun halaman bekalang, lekas berbalik merespons pekikan Oukubo dari arah pintu.Ia, dari jauh pun, kala itu kelihatan amat panik waktu menyongsongku. Muka pucat, napas agak tersengal, serta memberikan kesan tidak tenang yang juga amat kuat.Seolah sesuatu yang benar-benar atau sangat buruk tengah terjadi ….“Apa yang—”“Dari Taria,” sela sang elf, buru-buru menunjukkan dua helai kain. “Ikat merah, merpati ungu sama putih. Satu dari Yoram Kepala Jambu, satu lagi punya cap Panji Derik.”Kusambar dua surat di tangannya, kubaca, kemudian cepat-cepat pergi membersihkan diri.“Kubo, tolong ambil gulungan di laci kamar!”Bulan Enam 355 Mirandi. Setahun sejak pemekaran Kara dan konstruksi rel kereta uap dilanjutkan pascagempa dahsyat tahun lalu, kabar yang kutunggu akhirnya tiba. Kepulangan Mapu Benua ke Eldhera.Matilda Davida ….“Bagaimana semuanya?” tanyaku, memeriksa persiapan kami di ruang strategi, Markas Besar Militer Panji Kalajengking. “Penyintas dunia lain sudah kembali dan sekutu kita cuma Vom sama Taria. Semangat kalian gak kendur, ‘kan?”“Bura, tidak ada alasan untuk kami patah semangat.”“Benar kata Yoram Soso, kita sudah mengusahakan usaha terbaik.” Vio menoleh ke para ahli siasat dan mengangguk, isyarat agar mereka mengatur miniatur alat-alat perang di atas peta. “Yakin saja, Bura. Kami takkan mengecewakan Anda.”“Bukan maksudku meragukan kalian, Yoram ….” Kuperhatikan penampakan meja setrategi kami. “Cuma, pembangunan rel ke Dataran Tengah belum selesai dan kita gagal dapat dukungan massa.”“Tolong jangan cemas, Bura. Kami tidak akan bermental lemah dan takut mati hanya karena kita melawan penyintas dari dunia lain. Sebaliknya, ini jadi kebanggaan sebab Kara punya keberanian di atas rata-rata.”“Benar, Bura. Kita sudah terbukti unggul di poin itu.”“Bagus.” Aku senang dengar jawaban mereka. “Mari lanjutkan diskusi kita kalau begitu ….”*** Hari berikutnya, tanggal 18 Bulan Enam, perintahku dikirim ke empat panji di empat wilayah utama Kara.Yoram kepala empat panji, Jambu, Kalia, Vio, dan Zendaya, yang juga merupakan wajah militer Kara sejak saat itu menyandang pangkat bura dan bertanggung jawab serta sepenuhnya memiliki wewenang untuk terjun atau menghindari pertempuran tanpa harus melapor padaku.Mengikuti putusan tersebut, Nazila Trira juga seluruh unit khusus yang mengawalnya pun kutarik mundur ke Cassava. Bersiap membacakan dekret penambal keosongan kekuasaan kalau-kalau diriku tidak berhasil kembali usai Kampanye Matilda Timur atau sesuatu terjadi dalam prosesnya.“Semua orang sudah siap pergi, Bura.”“Gak panggil aku Tuan Mi, Stella?” tanyaku, menggoda si Tupa Unit Tulip yang kini telah naik pangkat jadi seorang caupa. “Kita masih ada di wilayah Sisik Kayu, kau tahu.”“Huh. Buat apa?” Ia angkat dagu di atas kuda, kelihatan bangga sekali. “Pura-puranya kan sudah beres—eh, ya! Anda jahat, Bura.”“Jahat?” Satu alisku terangkat. “Maksudnya, Caupa?”“Hem.” Stella buang muka sebelum menjawab. “Anda ini, jangan kira menaikkan pangkatku sama si sipit cukup buat permintaan maaf, ya, Bura. Aku bakal minta kalung berlian pas Anda pulang dari Ti—”Gadis pirang itu berhenti pas kulempar sekantung uang.“Tuh, enam belas platinum. Bagi dua sama Ranra. Kalau cuma kalung berlian, jangan tunggu aku pulang.”“Iiih!” Stella malah cemberut kukasih uang begitu. “Ma-maksudnya itu Anda harus janji akan mengajakku jalan-jalan sama beli kalung berlian pas pulang nanti, Bura. Bukan malah ngasih u—”“Kau yang salah, Pirang!” timpal Ranra, nimbrung dan mendekat dari belakangnya. “Sudah tahu bura kita ini gak peka, malah kau ajak berbelit-belit.”“Huh.” Stella mendengkus. “Kalau gitu semua platinum ini buatku saja, kau gak usah dibagi.”“Woi!” pekik Ranra, “jangan serakah kau, ya—hei, Stellaaa! Berhentiii, Stellaaa ….”“Hem.” Kucekak pinggang sebentar lantas mendekat ke kereta Nazila Trira. “Kurasa sia-sia diriku khawatir pada keselamatan Anda, ya, Trira?” ujarku sambil lihat dua caupa tadi kejar-kejaran, “Ranra sama Stella—” “Selain mereka, wanitamu juga menemaniku.”Kusenyumi Oukubo sebelah Trira.“Selamat jalan, mohon jaga diri Anda—”“Beri aku kabar bagus segera, Ure. Ingat itu!” Wajah beliau sebelum mundur dan menutup gorden kereta sama sekali tidak bisa kubaca. Aku seolah baru saja menghadapi orang yang bukan Nazila Trira. Aura juga ketenangannya agak lain.“Halbert.” Kutoleh Caupa Unit Tombak Terbang, yang kini telah jadi yoram, di sebelah. “Orang dari divisi intelijen akan mengambil alih Sisik Kayu sama semua anak usahanya. Pastikan mereka benar-benar paham tempat ini sebelum kau kembali ke perbatasan, dan bilang juga kontrak dengan Serikat harus dipenuhi.”“Dimengerti ….”*** Sebulan kemudian, Bulan Tujuh 355 Mirandi, bakal armada perang Kara telah dihimpun dan dipersenjatai dengan senapan sama meriam-meriam tipe baru di Taria. Mereka kini menjelma jadi elite di antara elite, pasukan berani mati yang menurut Jambu tidak perlu diragukan kualitasnya.Akan tetapi, jumlah pasukan ini hanya sekitar sepuluh ribu. Masih jauh jika incaranku adalah kemenangan mutlak, apalagi lawan kami merupakan penyintas dari dunia lain. Orang di balik bubuk hitam dan ketel uap.“Aku tahu ini baru persiapan awal,” kataku, selesai baca laporan Jambu di ruang strategi, Aula Istana Bate Taria. “Benar kita punya sebelas bulan sebelum para utusan kembali dari Matilda Timur, tapi sepuluh ribu masih benar-benar ….”Qonia, kepala ahli strategi di ruangan tersebut, mendekat waktu kulirik.“Tolong bersabar, Pu,” ucapnya, mengasongkan sebuah gulungan. “Terburu-buru juga tidak bagus untuk acara besar Anda, apalagi diplomat-diplomat kita sedang berusaha membujuk tetangga-tetangga Kara.”“Kalau bukan karena tahu rencanamu, sudah kutulis dekret buat memanggil setengah panji militer kemari, Qonia.” Kutaruh gulungan darinya di meja strategi lantas mundur ke singgasana. “Aku akan bersabar, tapi bila waktunya tiba siap ataupun tidak kau akan ikut ke Timur bersamaku.”“Bawahan mengerti.”“Bagaimana hasil panen kita tahun ini, Daniel?”Daniel, Yoram Kepala Legiun IV Angkatan Perang Kara, keluar dari barisan.“Taria punya dua lumbung baru tahun ini, Pu ..., dan separuh cadangan gandum kita sedang dikemas untuk bekal kampanye tahun depan. Jika panen sekarang tetap stabil serta tidak ada gangguan apa-apa, perang melawan Matilda Timur bukan masalah meski makan waktu panjang.”“Oh.” Kutopang dagu sambil tumpang kaki. “Bagus. Kuharap rel kereta kita juga selesai tahun ini, percuma bekal banyak kalau gak bisa dikirim ke garis depan, ‘kan?”“Soal itu, Pu ….” Jambu keluar dari barisan. “Mata Satu dan orang-orang Seren yang mengawal proyek ini bilang, kita kekurangan bahan ba—”“Apa maksudmu?!” Aku mendelik dengar laporan barusan. “Rel itu prioritas kita,” jelasku lekas mengubah posisi duduk, “bahkan seperempat platinum bar kupasrahkan agar dia selesai lebih cepat dua tahun lalu. Kenapa sekarang tiba-tiba kurang bahan, hah?”Jambu tidak menjawab, ia hanya tertunduk samping peta strategi.“Tahun lalu kaubilang jika rel kita sudah menyentuh Purtara,” tambahku terus tanya, “seharusnya dia gak bakal kesalip rel punya Aliansi, ‘kan, Jambu?”“Seharusnya memang tidak, Pu.” Jambu maju selangkah. “Rel kita sudah sampai separuh Dataran Tengah, tapi pengrajin bilang mereka menemui kendala saat menerobos—”“Cukup.” Aku tahu. “Berarti masalahnya bukan cuma di bahan, tapi medan Dataran Tengah yang berbatu dan sulit ditembus juga?”“Benar, Pu.”“Aku gak bisa maksa kalau situasinya begitu.” Kukibaskan lenganku, menyerah. “Buka saja gudang senjata terus kirimi mereka bahan peledak. Jangan sampai separuh Dataran Tengah menunda rencanaku.”“Dimengerti ….”Rel kereta dari Satu Mare sampai perbatasan luar antara Dataran Tengah dan Kerajaan Cun Dok di Kolom Empat-Tiga Matilda Timur tidak boleh menghambat rencana kami. Sebab, ia yang akan kuandalkan untuk mengangkut logistik ke garis depan ketika perang melawan Matilda pecah.Jika musim panas tahun depan rel ini belum juga jadi, bagaimana caraku harus menyiasatinya?***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 56 Sabuk Besi

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Jam berapa sekarang?”Aku menoleh Okubo di kursi sebelah, ingin tanya apa acara Neraca Padi bakal segera mulai ataukah masih lama. Lobi gedung mereka sudah ramai, tetapi orang-orang serikat tidak kunjung mengumumkan apa pun terkait agenda pertemuan hari ini. “Jam dekat meja resepsionis sana gak kecil, loh, Sayang,” timpal sang elf, malah mendorong pipiku pakai telunjuk biar melihat ke benda yang ia maksud. “Haruskah aku menyebut—”“Harus!” timpalku yang sigap berbalik kemudian menangkap lengannya, “kau wanitaku, ‘kan?”“Tumben.” Kubo tersenyum, manis sekali. “Biasanya kau cuek kalau di depan umum, Sayang. kenapa tiba-tiba jadi manja begini?” tanyanya, mendorong punggung tangan ke bibirku. “Sun.”Muah! Gak tahu kena angin apa, tapi diriku hari itu memang agak ingin main-main.“Ehem!” Sampai beberapa tamu menegur kami. “Kurasa tujuan kita datang kemari bukan untuk melihat adegan mesra dari sepasang kekasih, Tuan-Tuan, Nonya ….”Komentar yang cuma kubalas senyum remeh dengan lirikan singkat.‘Suruh siapa kalian gak bawa pasangan?’ Begitu pikirku tadinya, mau membalas terus bodo amat. Namun, panggilan dari tangga keburu melerai hingga kami serentak pindah ke lantai dua. “Semua, Kepala sudah hadir di ruang rapat ….”Agenda Neraca Padi hari ini adalah pemekaran Sabila yang terlalu mendadak. Maksudku, para pendatang di sini menganggap pembangunan empat kantor muri baru di Distrik Tenggara dan Timur Sabila sangat tiba-tiba. Mereka merasa hal tersebut sewenang-wenang serta merugikan kaum pendatang karena lahan bebas yang sebelumnya dianggarkan ‘tuk menampung pengungsi malah menjadi wilayah administratif dan tidak bebas lagi.Padahal pemekaran itu juga kurencanakan sejak jauh-jauh hari dan bukan acara mendadak macam apa yang mereka tuduhkan ….*** “Bagaimana?”“Ada orang baru di Serikat,” ucap Oukubo, menjawab pertanyaan Trira waktu kami naik kereta. “Mungkin suruhan Ailansi, Nona.”“Apa katanya?”Aku menggeleng menanggapi beliau lantas duduk sebelah Kubo.“Mereka mau menghambat pemekaran Kara, ‘kan?” lanjut Trira, mengasongkan secarik kertas. “Kata para pelanggan salon, dirimu memang gak punya hati.”“Hah?”“Ya. Gak punya hati. Menangkap tentara di perbatasan terus menyandera mereka biar dapat tambahan ransum sama bekal militer—gegara dua hal itu pelanggan-pelangganku menganggap kalian licik, tahu.”‘Huh.’ Kusenyumi beliau terus melirik jendela sekilas. “Gak selicik Aliansi yang sudah membuang mereka dan melimpahkan kesalahan pada kita, Nona,” balasku kemudian mengambil kertas di tangan Kubo, “tapi pelanggan Anda gak salah, mereka cuma kena hasud.”“Jadi apa rencanamu?”“Gak ada.” Aku menggeleng. “Kara punya jadwal sendiri, dan Sabila juga begitu,” ujarku lantas mengetuk jendela dua kali, isyarat pada kusir agar menepi. “Baiklah, Nona. Kurasa diriku harus mengunjungi seorang teman dan takkan bisa menemani Anda sampai Sisik Kayu.”“Hem.” Beliau melambaikan tangan sambil senyum waktu aku turun dari kereta. “Jangan lupa bawa oleh-oleh pas kau pulang, Tuan Mi ….”Kubalas senyuman Trira lalu melambai hingga mereka menjauh ….*** “Sekarang ….” Aku di depan Rumah Keluarga Deker. Rumah penginapan, tempat Polka kutitip habis kucomblangkan biar dapat bibit kuda hitam Dataran Tengah. “Tuan Mi!”“Apa semua pengunjung penginapan juga selalu melongok dapur tiap kali datang kemari, Rey?” tanyaku kemudian melempar sekeping platinum pada putra pemilik penginapan yang sesaat lalu kelihatan sibuk sama kegiatan di pojok ruangan, “aku paham jika ayahmu sedang ke luar, tapi apa Cheilin juga—”“Berhenti di situ, Tuan Mi,” timpal anak itu, menggigit koin dariku lekas melap kemudian mengantunginya dan mendekat. “Istriku lagi mengurus kudamu di belakang sama Tosari.”“Oh.” Mulutku membulat. “Aku mau kepiting rebus, Rey,” kataku terus putar badan dan menunggunya di lobi, “satu platinumku harusnya lebih dari cukup buat pesan sepuluh porsi, ‘kan?”Musim semi tahun lalu aku bertemu seorang imigran Dataran Tengah sepulang dari Singkawa. Dia punya kuda hitam yang bagus, jadi aku mengikutinya sampai ke penginapan ini. Rumah Keluarga Deker.Siapa sangka, kami rupanya berjodoh. Selang beberapa waktu ia membuka stan comblang kuda, di sini—dan itu jadi kesempatan terbaik buat anakan kavaleriku. Polka.Sejak itulah penginapan ini akrab dengan kami.“Kudamu benar-benar rewel, Tuan Mi,” ucap Rey, mengeluh usai menaruh sepanci kaki kepiting masak ke atas meja. “Ah, ya! Kudengar serikatmu mau pindah markas, apa benar?”“Benar,” jawabku kemudian mengambil satu kaki kepiting, “kepitingmu gak sebesar biasanya. Apa mereka juga pindah sarang gegara sering kau tangkapi, Rey?”“Haha. Lucu.”“Hei, ayolah. Gak biasanya kau cemberut di depanku, Bocah. Apa istrimu lagi datang bulan, hah?”“Bukan itu. Kau tahu Regu Pengumpul Mayat Bambu Kuning, ‘kan, Tuan Mi?” Rey pasang muka serius usai hela napas sambil geleng. “Ini tahun kedua ekspedisi mereka di utara, tapi secuir kabar pun be—”“Maksudmu kelompoknya si Ruqya, ‘kan?” selaku, menaruh cangkang kepiting ke piring kosong. “Terakhir kudengar mereka terlihat di wilayah Xidi, tapi aku gak tahu lokasi persisnya—jika itu yang mau kau tahu.”“K-kau betulan tahu mereka ada di mana?”Tentu aku tahu. Kepala regu mereka orang yang memetakan wilayah Banori sama Bravaria buatku.“Cuma ….” Kucondongkan badan sedikit ke bocah di seberangku. “Rey, gak biasanya kau khawatir sama orang lain,” ujarku terus tanya, “bilang padaku, apa Satu Mare meneror istrimu dan Tosari lagi?”“Bukan.” Anak itu menjuling. “Bukan Satu Mare, tapi Tosari aneh belakangan ini, Tuan Mi. Dia sering tanya kapan kakaknya pulang terus suka bengong sendiri tiap habis kerja,” terangnya yang lanjut mencurahkan isi hati sambil menemaniku makan kaki kepiting ….Isi hati, termasuk keluhan buat situasi Sabila, perkembangan bisnis ayahnya, orang-orang, hingga desas-desus yang lagi hangat belakangan di sekitaran sini.Ketika dirinya selesai. “Jadi maksudmu Satu Mare sekarang penuh sama penadah barang-barang ilegal—dari dulu juga sudah gitu, Rey.” Aku berlagak tidak puas dengar kabar dari mulut anak itu. “Akh, kau.”“Beda, Tuan Mi. Sekarang lebih banyak. Bayangkan, mereka sampai punya senapan Matilda Timur.”“Hem.” Kuelus dagu dua kali perlahan, pura-pura berpikir. “Aku ogah membayangkan ceritamu, tapi kalau ini benar …, kira-kira, siapa dalang di belakang mereka?”“Gak tahu.” Anak itu cepat geleng kepala. “Cuma, kudengar Pu Kara mendanai pembangunan rel kereta dari sana sampai ke Dataran Tengah, bukan? Apa mungkin ….”Cih! Bagus, sekarang namaku terseret gosip dengan Satu Mare juga.“Kau yakin Pu Kara yang jadi dalang kehebohan di Satu Mare, bukan pihak lain?”“Ma-maksudnya, Tuan Mi?”“Bayangkan begini, ada orang—atau kepala negara, anggaplah begitu. Bisa lebih dari satu. Mereka melihat Kara berkembang sangat pesat, terus karena merasa gak mau tersaingi orang-orang ini akhirnya terpaksa membuka hubungan dengan luar dan ….”Kulihat anak itu sangat serius mendengarkanku.“Eh, tapi ….”“Tapi apa, Tuan Mi?”“Kurasa kecurigaanku gak berdasar,” kilahku, sengaja menggantung cerita. “Kalau sudah menyamai Kara, buat apa juga menjelekkan penguasanya, ‘kan?”“Huh.” Rey mendengkus. “Gak ada yang gak mungkin di dunia, Tuan Mi. Bisa saja Pu Kara memang dijebak buat semua kehebohan di Satu Mare, apalagi ….” Ia lirik kanan kiri sebelum lanjut berdeduksi. “Kudengar pembangunan rel-rel di sana memang buat memaksa Kara membuka wilayah juga, kau tahu?”“Gak masuk akal!” sergahku, mendalami peran sebagai pendengar awam. “Kara memang sudah membuka wilayah buat pendatang, ‘kan—jangan mengada-ada, membuka wilayah bagaimana lagi maksudnya?”“Eh, justru lebih masuk akal teori Kara dijebak di kehebohan Satu Mare sama rel kereta mereka, Tuan Mi.”Bagus. Satu lagi rumor lahir di khalayak ramai. Dengan begini Kara takkan terlalu dipojokkan dan tekanan buatku gegara pemekaran distrik sama konstruksi rel dari Satu Mare juga sedikit melonggar ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 55 Senapan Pelantak

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ure.”“Aku tahu ….”Dua bulan berselang sejak gempa bumi pada pertengahan musim semi lalu, tepatnya pada puncak Musim Panas 354 Mirandi, musuh bebuyutanku pun tertangani. Delapan Bintang Benua, kini hanya tinggal nama.“Kau membawa mutiara mereka, ‘kan?”Namun, sesuatu yang gak biasa terjadi. Tatkala Bintang Benua terakhir mengembuskan napas terakhirnya.“Kau membawa mutiara mereka, ‘kan?” ucap Saintess, menanyaiku hal serupa berulang-ulang. “Ure. Kau membawa mutiara mereka, ‘kan?”Aku tidak menanggapi pertanyaan tersebut, pasalnya sosok Saintess di luar Kuil Widupa usai para bintang benua kuhadapi benar-benar di luar kata normal. Terlebih, auranya tak mirip Saintess sama sekali. Kemunculan mendadak, hawa kehadiran gelap, lalu gelagat aneh yang cuma peduli pada Mutiara Bintang Benua bahkan ketika tanganku masih berlumuran merah. Dia bukan Saintess ….“Siapa kau?” bentakku, menjaga jarak darinya. “Buat apa dirimu kemari?”“Ahaha. Kau ini lucu, Ure. Aku Saintess.”“Bukan!” Kupanggil Cakram Ungu lantas pasang kuda-kuda. “Kau bukan Saintess, aku kenal bagaimana dirinya. Apa tujuanmu muncul di hadapanku, hah?!”“Aku Saintess, Ure.” Ia kukuh. “Diriku kemari buat melihat bintang benua terakhir di belakangmu, itu sa—ah, ya! Kau sudah mengambil mutiaranya, ‘kan?”‘Mutiara lagi?’ batinku yang kini makin waspada, “kenapa kau terus tanya mutiara?”“Gak apa-apa, gak apa-apa ….” Ia kibaskan tangan di depan muka. “Aku cuma penasaran sama benda sihir paling kuat sebenua itu. Kau mau memperlihatkannya padaku, ‘kan?”“Memperlihatkan?”“Ya. Sekali saja. Tunjukkan padaku seperti apa bentuknya,” pinta sang ‘Saintess’, ia maju satu langkah. Yang, spontan membuatku juga mundur satu langkah. “Kenapa kau mau lihat benda itu?”“Aku cuma penasaran, Ure—hei! Kenapa kau terus menjauhiku?”“Jangan pura-pura beloon!”“Apa maksudmu—”“Ini!” Kulempar Tapak Dewa dengan Pukulan Naga padanya sekaligus kemudian melompat meninggalkan tempat itu dan kembali ke Kara secepat yang diriku bisa tanpa pernah menoleh ….*** Sekembalinya ke rumah. Oukubo dan Nazila Trira langsung mengomeliku lantaran tiba-tiba hilang tanpa kabar selama hampir tiga bulan. Keduanya mengeluh semua orang tahu aku mengirim dua ribu platinum ke tempat Vio beserta perintah ‘tuk melanjutkan konstruksi rel juga pembangunan kantor muri baru, tapi malah tidak memberi tahu mereka apa-apa. Namun, baik itu Trira maupun Oukubo, dua-duanya sepakat buat tidak memaksaku menceritakan apa pun yang telah kulakukan selama beberapa waktu ini. Dan, keesokan paginya kehidupanku pun berlanjut.Tumpukan berkas di Sisik Kayu menguras tenagaku sampai petang menjelang, kemudian di rumah laporan demi laporan menahan mataku agar jangan dulu terpejam hingga larut malam. Membuatku mendadak ingat bila dua bulan memburu Bintang Benua ternyata jauh lebih tenang daripada kehidupan normal ….“Huh.” Juga, aku lupa pada kabut manis dari bibir Oukubo sampai ia balik menyelimutiku. “Muri mengirim laporan pemekaran distrik terus bilang progres kita sangat signifikan, Sayang.”“Kelihatan,” timpalku, topang dagu memperhatikan sang elf. “Distrik Tenggara sekarang punya tiga alun-alun sama kantor muri baru yang belum selesai.”“Gak cuma itu. Peta rel yang diperbarui mengikuti denah wilayah baru juga su—”Ia langsung berhenti tatkala sikut kirinya kucolek-coleki, balas menatap sayu, menaruh padudan di ujung meja, lantas menangkap tangan kiriku dan menuntunnya untuk mundur ke ranjang kami. Ehem! Mari lewatkan adegan di kamar ini hingga ke esok hari, tanggal 17 Bulan Lima 354 Mirandi. Ketika diriku menemui suruhan Aliansi di Karite atau Kantor Muri Tengah milik Distrik Timur Sabila ….“Kenapa, baru lihat potongan kepala negara macam dirikukah?” tanyaku, tumpang kaki dan topang dagu menerima para utusan yang katanya membawa pesan penting tersebut. “Kepalaku masih sakit habis baca laporan pemekaran Kara sama konstruksi rel di semua distrik, jadi tolong persingkat omongan kalian dan langsung bilang Ketua Aliansi mau apa dari kami.”“Ba-baik, Pu.” Salah seorang utusan menghampiri kasim samping tangga singgasana lalu menyerahkan sebuah gulungan, ultimatum, berisi larangan kepada seluruh anggota Aliansi agar jangan melakukan kontak dengan Bravaria dan Dataran Tengah hingga keduanya berhenti menginvasi barat benua.Tuntutan yang, tentu saja, membuat satu sudut bibirku naik.Sebab lewat ultimatum inilah jalan untuk memulai serangan ke Timur akan terbentang ….*** “Aku mau menjual ultimatum ini buat memaksa Aliansi menyerang Timur,” kataku pada Vio, Yoram Kepala Panji Kalajengking, di Aula Istana Bate Sabila. “Penyintas dunia lain akan berlabuh tahun depan, jika dirinya betulan kembali maka Bravaria sama Dataran Tengah-lah satu-satunya sekutu yang tersisa.”“Lantas bagaimana kita akan menggunakan ultimatum tadi, Bura?”“Tunjukkan gulungan itu ke sisa-sisa tentara yang terlantar di perbatasan, serap mereka, sebar rumor ke negara tetangga, terus pastikan bila bla-bla-bla ….” Bersama para ahli strategi Kara, kuatur siasat demi siasat di ruangan tersebut lalu kulakukan simulasi demi simulasi hingga lahirlah rencana yang kami namai Senapan Pelantak seminggu kemudian.“Kenapa senapan pelantak?” tanya Oukubo, melirik heran di kereta sepulang dari Distrik Tengah. “Terus apa yang mau kau lakukan sekarang, Sayang?”“Aku?” Kutunjuk muka sendiri lantas bersandar ke sudut gerbong. “Gak ada. Empat panji bakal mengambil alih semua wilayah sama melanjutkan proyek-proyek tiap distrik sampai selesai.”Kubo merebah ke badanku.“Kau gak ada rencana buat hilang tiba-tiba lagi, ‘kan?”“Kalau aku gak di rumah, paling lagi melawat tetangga-tetangga ki—”“Katamu gak ada renca tadi ….” Ia menyambar tanganku, mencubit, dan memeluknya. “Gimana, sih, ah.”“Ya. Memang gak ada rencana, cuma melawat ke Parat atau Dataran Tengah saja, kok.”“Eh!” Sang elf mendelik. “Soal Parat, kapan kau mau mengembalikan Trira?”“Kenapa kau tanya itu, Sayang?” Kukecup tepi kening Oukubo, merespons juling sama delik matanya biar berhenti. “Setelah Trira duduk di singgasana Pu Kara, beliau bebas kalau mau pulang ke ayahnya.”“Hem. Kalau gitu caranya aku masih harus mengawal gadis itu sampai kenaikan tahta kedua dong, ya?”Kenaikan tahta kedua, berangkat dari dekret yang kutunjukkan pada Trira tahun lalu. Aku berencana menjadikan dirinya Pu Kara sementara, sebagai pengganti diriku selepas perang melawan Matilda digelar. Apa pun hasilnya, baik menang ataupun kalah, beliau tetap akan menggantikanku hingga masa jabatan kepala negara pertama Kara berakhir di 360 Mirandi—begitu bunyi dekretku kala itu.Hanya saja, setengah masa jabatan tentu takkan cukup ‘tuk menuntaskan apa yang telah kumulai di Tanah Kesik ini, bukan? Kara yang kami inginkan belum sepenuhnya terwujud.Alhasil. Demi niat itu pula maka di tahun berikutnya atau 361 Mirandi nanti, Trira terpaksa kuatur supaya ikut serta dan harus menang pada perebutan kekuasaan yang diselenggarakan lewat adu kecakapan sama keahlian dalam pertempuran. Mau tidak mau ….“Jika bukan kau, Sayang, lantas siapa lagi?” Kualihkan pandangan ke luar jendela. “Biar gak secermat ahli-ahli strategi, dirimu tetap yang paling kuat bahkan tanpa Toro di tanganmu, ‘kan?”“Ya, dan kau juga membuangku lewat cara ini, ‘kan?”“Eh—”“Ssst!” Ia menyegel bibirku pakai telunjuk. “Aku tahu maksudmu baik, memerdekakanku. Cuma, rasanya juga seperti dirimu baru saja mencampakkanku, tahu.”Kuhalau tangannya dari wajahku.“Apanya yang mencampakkanmu, dih?”“Sisa kebersamaan kita kini jadi terhitung hari,” akunya kemudian merapikan duduk dan menatapku, “kau memakaiku, memintaku ini itu, terus membuangku lewat selembar kertas bernama sertifikat merdeka—jangan menyanggahku! Biar kutumpahkan dulu semua keluh cinta ini kepadamu ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 54 Lokomotif

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Selamat datang.”Aku celingak-celinguk, kuperhatikan interior kedai kopi John pelan-pelan. Coba mengagumi penampakan baru tempat usaha bekas anak buah Geng Gigi Emas tersebut.“Aku suka,” pujiku, duduk di depan bar tempat barista meladeni tamu. “Tolong panggil Johnatan buatku, Nona. Pesananku cuma dia yang bisa penuhi ….”Kutaruh sekeping perak di atas meja.“Sebentar.”Sesaat kemudian.“Siapa berandal yang mencariku, hah?” teriak John, muncul bersama barista sebelumnya sambil marah-marah. “Buat apa kubayar gadis ini kalau aku masih tetap—”Ia berhenti pas kubuka tudung jubah dan melambaikan tangan.“Booos?!”“Aku yang minta gadis itu memanggilmu, John,” kataku lantas mengeluarkan sekantung perak, “kau mau memarahiku gegara mengganggu waktu santaimukah?”“Ahaha.” Ia menggosok-gosokkan tangan dan mendekat. “Aku mana berani, Bos. Ahaha ….”Sikap yang membuat barista di belakangnya melirik sinis.“Ini.” Kudorong kantung uang tadi padanya. “Bantu aku menemukan seorang penadah ….”*** “Siapa penadah yang kita cari ini, Bos?”“Kudengar dia dealer senjata api,” kataku yang lalu mengasongkan secuir kertas, “kata orang, dirinya itu hafal betul lekak-lekuk jalan di Satu Mare terus susah buat ditemui. Menurutmu, berapa persen peluangku bakal ketemu sama orang ini nanti malam, John?”“Hem.” Ia terdiam sejenak sebelum meresponsku. “Aku tahu tempat bagus buat menginap,” ujarnya yang kemudian menyalip terus lari, “ikut aku, Bos!”John, kala itu, membawaku ke sebuah penginapan tua. Penampakan luarnya biasa, dari kayu, halaman sedang sama dua lantai, papan nama kusam serta hampir tidak terbaca, terus lokasinya agak jauh dari toko juga tempat-tempat hiburan khas Satu Mare.“Aku pesan kamar paling mewah buat bosku,” pinta John pada resepsionis, “sama ….”Mereka, ia dan si resepsionis, saling membisikkan kalimat-kalimat kode. Tidak kuperhatikan jelas. Namun, malam harinya seseorang mencariku ke penginapan tersebut.Orang yang ingin kutemui.“Ling Long, dealer senjata nomor satu sedaerah ini ….” Pria kuning gendut dengan rambut bob dan kumis menjuntai macam ikan lele. “Kudengar kau berani bayar mahal buat senjata-senjataku.”“Aku bawa lima puluh platinum dalam bentuk perak,” kataku, meladeni sang dealer di lobi penginapan tersebut. “Apa saja yang bisa kudapat dengan uang segitu, Tuan Ling Long?”“Bah!” Ia tepuk lutut. “Kau mau borong senjataku, hah?!”“Tergantung,” timpalku yang lantas menaruh sekantung uang ke hadapan kami, “tunjukkan contoh barang yang kau punya dan sebutkan harga mereka, aku takkan membeli senapan murah dengan harga selangit.”Ling Long selanjutnya mengambil sebuah buku, macam katalog, berisi gambar lengkap dengan informasi sama keterangan harga senjata-senjata yang si dealer jual.“Bagaimana?”“Aku tertarik pada senapan yang gak ada di bukumu,” lanjutku, mendorong kantung uang tadi padanya.Ia, melihatku agak lama sebelum berkilah. “Tidak ada senapan lain di tempatku selain senapan-senapan di buku ini, Saudara.”“Gak usah pura-pura ….” Kukeluarkan sekantung uang lagi. “Kukira aku tadi bilang membawa lima puluh platinum dalam bentuk perak di sini, Tuan Ling Tong. Apa di matamu diriku ini kelihatan mengada-ada?”“Bukan-bukan.” Si lele kuning menggeleng. “Aku bukan meragukan dirimu atau apa pun itu, Saudara, tapi diriku betulan tidak punya barang yang sedang kau cari jika tak ada di bukuku.”“Oh.” Mulutku membulat sebelum punggungg ini kutarik buat merebah ke sandaran kursi. “Begini, Tuan Ling Long. Jujur, ada dua barang yang menarik di bukumu.”Karena gak berhasil dapat informasi soal senapan Matilda Timur dari orang di depanku, aku pun mencoba cara lain. Kutawari dirinya sebuah kerja sama dengan sedikit bumbu ancaman ….“Tuan Ling Long, jangan bilang kau gak sanggup.” Kucondongkan badan usai menyebutkan tawaranku. “Di bukumu ada revolver, dia jelas bukan lontak macam senapan-senapan lama kita. Kalau dirimu berkeras menghindariku terus bilang peluru sama senapan genggam satu itu juga gak pernah ada, kurasa aku salah telah datang dan percaya dirimu dealer nomor satu di dunia bawah ini.”Ling Long tidak menjawab, mukanya hanya merah padam ketika itu.“Gak akan kutanya kau dapat pasokan mesiu sama selongsong peluru jenis ini dari mana?” sambungku lekas menegaskan, “yang jelas kumau dirimu cuma menjualnya kepadaku ….”*** Keesokan paginya, tanggal 15 Bulan Enam, Ling Long memberiku jawaban tegas. Ia menolak kerja sama dariku dan memutuskan untuk takkan pernah berbisnis denganku maupun orang-orangku setelah itu. Dirinya bahkan sampai melarikan diri dari Satu Mare beberapa jam sebelum jawaban tersebut dikirim.Namun, yang tidak dia tahu adalah, aku juga mengirim jerangkong buat membuntutinya tadi malam dan secara diam-diam telah ‘menukar’ seluruh cetak biru di brankas yang ia kosongkan sebelum pergi.“Satu beres,” kataku, menaruh cetak biru senapan Matilda Timur ke meja lalu selonjoran di sofa. “Selain memendam rahasia, lobi ini juga menjanjikan keamanan. Aku benar, ‘kan, Pemilik Penginapan?”“Kau sudah tahu,” sahut suara dari meja resepsionis, “kenapa masih tanya?”“Cuma memastikan,” akuku kemudian bangkit, “alasanku kemari gak cuma buat memaksa Ling Long pergi dari sini, kau tahu. Namun ….”Kukeluarkan plat besi yang kudapat dari divisi intelijen dan menaruhnya di meja si resepsionis. Tuk! “Oh.” Pria bekumis di depanku mengambil plat besi tersebut, mengarahkannya ke sumber cahaya, lantas menaruhnya kembali. “Jadi gembong cuma penyamaran,” ujarnya yang lekas mengambil sesuatu dari laci di belakang meja, “ini …, aku tidak pernah bertanya apa isi paket pelangganku, tapi kau pengecualian.”“Buka saja. Mending lihat sendiri, ‘kan?”“Hem.” Orang itu kini melirikku pakai delikan aneh. “Kau sekarang punya meriam, senapan pendek yang mereka sebut pistol, sama peluru praktis berselongsong besi. Apa rencanamu dengan benda-benda ini?”“Aku mau menyerang Matilda Timur,” jawabku lantas menarik kotak di tangannya sama kertas-kertas di meja lobi sana pakai Benang Pandora terus mengantungi mereka. “Ada satu gambar lagi yang kuinginkan buat rencanaku, Pemilik Penginapan.”“Apa itu?”“Gambar ketel yang digunakan buat menarik pedati.”“Aku belum pernah dengar gambar yang seperti itu,” akunya kemudian pasang harga, “tapi bukan berarti tidak bisa kucari tahu. Satu platinum, beri aku tiga hari.”“Baiklah ….”Sesuai janji. Tiga hari kemudian, tanggal 18 Bulan Enam, pemilik penginapan pun menyodorkan cetak biru kereta uap yang bertanda tangan Mapu Matilda Timur, Matilda Davida, ke hadapanku.“Luar biasa!” Aku semringah. “Sepuluh ribu koin perak dan aku mendapatkan kereta uap ini, hahaha.”“Kudengar mereka menyebutnya lokomotif, tapi benda itu bukan digunakan sebagai alat perang.”“Memang,” timpalku, buru-buru menyimpan kertas tersebut. “Lokomotif ini ‘tuk kendaraan logistik berat, dengannya mengirim ribuan serdadu atau bahkan perbekalan dan perkakas melintasi benua dalam sehari bukan lagi masalah.”“Pantas kau sesenang itu ….”*** Hari berikutnya, tanggal 19 Bulan Enam, semua cetak biru yang kudapat dari Satu Mare kukirim ke divisi intelijen buat diperbanyak lalu diserahkan pada para pengrajin. Sebulan kemudian denah titik-titik stasiun dengan jalur rel kereta uap mulai menimpa peta-peta wilayah Kara, mulai ujung Cassava, Basilika, Sabrina, hingga Sabila kecuali distrik timur dan tenggaranya. Tanggal satu bulan berikutnya, konstruksi besar-besaran pun dilakukan. Seribu platinum menggelontor begitu saja dari kantong pribadiku dan dua pertiga populasi Kara dikerahkan buat proyek tersebut.Lucunya, setengah bulan kemudian Aliansi tiba-tiba tampil sok baik dengan menawarkan dana dan tenaga tambahan guna melumasi rencana besarku itu.“Hahaha. Baiklah-baiklah ….” Meski, ya, iktikad baik mereka tetap kuterima, walau kugeser ke proyek baru di tempat lain. “Kenapa kita gak hubungkan saja kerajaan-kerajaan di Aliansi ke Satu Mare?”Ya. Bulan selanjutnya, rel dengan stasiun kereta api juga mulai dibangun di wilayah-wilayah tetangga Kara hingga ke Satu Mare melintasi Distrik Tenggara dan Timur Sabila. Uang dan tenaga, semua diurun oleh tujuh negara di Aliansi. Alhasil, orang-orang di barat benua menjadi super duper sibuk khusus untuk proyek satu ini.Sampai tahun berganti dan hal-hal yang kuantisipasi bersama Saintess pun terjadi ….“Ure.”“Aku tahu.”Pertama, gempa bumi mengguncang Eldhera pada pertengahan Musim Semi 354 Mirandi hingga menjeda proyek-proyek tadi serta langsung menguras dua ribu platinum dari kantong pribadiku ‘tuk memulai ulang semua kembali—termasuk dengan pemekaran distrik dan pembangunan kantor-kantor muri baru.Kedua, gempa dahsyat ini, juga jadi tanda bahwa Benua Kecil ‘lah tenggelam kembali ke dasar samudra di selatan dan era baru pada siklus Eldhera sudah muncul ke permukaan.Ya. Era Delapan Bintang Benua ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 53 Suasana Baru

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Hem ….”Aku takjub dengan penampakan salon Trira. Gak hanya mencolok, kesan beda dari yang lainnya juga kuat. Meski baru lihat dari luar, sekali lirik aku tahu salon ini hanya menerima pelanggan wanita.“Hei, sesuai aturan—”“Tahu,” selaku sebelum putar badan dan balik ke dalam kereta, “cuma Kubo yang akan pergi dengan Anda, Nona. Sambil menunggu, aku mau jalan-jalan saja.”“Bagus. Kami pergi. Dah ….”Tanggal 13 Bulan Enam. Aliansi menyerah menginvasi Bravaria. Mereka bahkan mengabaikan pasukan di Banori sejak pernyataan tersebut disiarkan ke seluruh benua satu setengah bulan ini. Dan, gegara itu pula, para bate sekarang lebih fokus dengan wilayah sendiri-sendiri ketimbang meladeni kemauan Aliansi.Situasi paling menguntungkan buat Kara.“Berhenti di depan … kembali saja ke salon dan tunggu Trira sama Kubo, jika mereka tanya bilang aku cari oleh-oleh di area belanja.” Ada yang mau kulakukan sendiri di kawasan terpadat se-Distrik Timur ini, dan jalan kaki akan lebih baik. “Terima kasih ….”*** Sekarang, aku sudah sendiri.‘Apa yang mau kulakukan?’ gumamku dalam hati, celingak-celinguk melihati pertokoan di kanan kiri jalan dan mengagumi mereka. “Hem. Pantas orang-orang menyebut Distrik Timur pusat belanja, segala macam barang ada di sini.”“Permisi.”Aku berhenti di depan sebuah toko, tepat setelah pramuniaga mereka mencegatku.“Boleh minta waktunya sebentar, Tuan. Kami dari ….”Kudengarkan dua wanita di depanku sampai selesai.“Selain tunai kami juga menerima cara pembayaran berjangka, Tuan. Bagaimana?”“Aku mau lihat barang yang kalian iklankan tadi,” kataku lantas belok ke toko mereka, “tolong ….”Sesaat kemudian.“Silakan datang lagi.”Seratus perak di toko pertama. Kita lihat berapa yang akan kuhabiskan sampai ujung jalan sana. “Selamat datang ….” Toko kedua. “Selamat datang.” Ketiga.“Selamat.”Empat.“Selamat.”Lima dan seterusnya sampai ….“Silakan datang kembali.”“Berapa yang sudah kumasuki?” Aku berbalik dan melihat gunung belanjaan. “Hem, sekarang bagaimana caraku membawa mereka ke Distrik Tenggara?”“Tuan?”Aku menoleh.“Kau bicara padaku?”“Ahaha, benar.” Pria paruh baya, kulit sedikit legam dengan rambut dan kumis kuning beruban, setengah bungkuk sambil menggosok-gosokkan tangan sebelahku. “Tuan, kulihat Anda melamun lama pinggir jalan sini. Apa butuh tambahan tenaga buat membawakan barang-barang ini?”“Oh.” Mataku membulat. “Kau menawarkan jasa angkutkah?” tanyaku lantas melongok samping dengan belakang orang tersebut, “eh, mana kereta milikmu, Pak Tua?”“Hoho. Bukan diriku, Tuan,” ujarnya yang lalu menunjuk ke kanan, “tapi mereka.”Hem. Sudut bibirku naik pas lihat orang-orang yang ia rekomendasikan. Mereka kekar, punya bahu lebar dengan badan berotot, serta sekilas tampak bisa dipercaya dari luar.“Hahaha.” Aku senang. “Mereka masih kurang, keluarkan semua angkong kalian!” pintaku pada si kakek paruh baya, “barang-barangku mau kubawa ke distrik lain ….”Total, sudah dihitung sama biaya lima puluh unit angkong pengangkut, aku menghabiskan lima ribu keping perak hari itu untuk perabot macam sofa, kursi, meja, rak, lemari, bangku, vas, serta seabrek pretelan lain buat menghias ruang tengah, ruang tamu, ruang keluarga, sama halaman depan dan belakang rumah.Gak lupa sekian potong baju tambah sekotak perhiasan baru buat Trira dengan Oukubo juga.Yang ternyata malah dibalas jerit sama belalakan heran oleh keduanya ….“Ure. Apa-apaan ini, hah?!”“Betul. Kenapa halaman kita jadi begini, Tuan?”Keduanya, Oukubo juga Nazila Trira, kompak geleng kepala begitu lihat penampakan baru halaman depan rumahku sekembalinya dari salon di Distrik Timur.“Kenapa halaman rumahmu jadi lain—jangan-jangan ….” Trira bahkan langsung melesat ke dalam rumah buat memeriksa seluruh ruangan hingga tembus ke halaman belakang lalu menjerit. “Ureee!”Kubo, yang notabene lebih kalem daripada sang putri, mencubit pinggangku lantas tanya.“Jadi selain belanja baju, oleh-olehnya semua ini?”“Jangan melihatku begitu,” balasku yang lalu merangkul dan mengajaknya menyusul Trira, “bukanya kau bilang mau suasana baru, Sayang?”“Ya, gak dengan mengubah seisi rumah juga.”“Aku cuma beli kursi sama beberapa perabot doang, kok, gak banyak—”“Gak banyak, tapi hampir semua ruangan ada perabot baru. Huh.” Ia memukul lenganku pelan. “Sofa sama meja di ruang tamu, kursi tambah rak di ruang tengah, karpet buat lesehan di ruang keluarga, vas, lemari, gantungan topi, kendi payung, rak sepatu … berapa total semuanya?”“Ya. Berapa harga furnitur baru di rumah kalian?” sambung Trira, nimbrung usai kembali dari halaman belakang. “Bisa-bisanya kau membeli begitu banyak barang tanpa mengajakku, Ure. Tega sekali.”“Ahaha.” Aku garuk pipi dihunjam telunjuk oleh beliau. “Anda dengan Kubo kan lagi di salon, Trira.”“Jangan mengalihkan topik,” tukas Trira, semakin mendelik. “Jawab saja, berapa uang yang kau habiskan buat semua barang baru di rumah ini, hah?”“Itu …, itu, gak banyak, kok—”“Berapa?” Kubo dengan Trira mendadak kompak, keduanya seirama melipat tangan dan cekak pinggang memelototiku.Hingga diriku spontan telan ludah, kemudian pasrah menjawab. “Sama biaya angkut tambah gaun-gaun Anda, total semuanya jadi lima ribu perak. Gak mahal, ‘ka—”“Lima ribu peraaak?!”*** “Tumben pakai jubah, mau ke mana?”Senyumku mekar menanggapi Oukubo, segera kurapikan simpul jubah lantas menghampiri dan mengecup kening sang elf mesra. Berpamitan sebelum keluar rumah pagi itu, tanggal 14 Bulan Enam 353 Mirandi.“Kau belum jawab mau ke mana, Sayang ….” Ia cubit ujung jubahku. “Bukan mau kelayapan atau main ke tempat aneh-aneh, ‘kan?”“Aku. Ke Satu Mare. Ada urusan sama si John.”“Bukan mau pesan linda, ‘kan?” tukasnya, menatap penuh curiga. “Kau gak ada rencana jadi bandar—”“Hush.” Kukecup pipinya sekali. “Mana ada aku jadi bandar. Kalaupun iya, paling bandar linda tipe nol.”“Linda tipe nol?”“Linda versi keretek,” terangku sambil jalan dan merangkulanya sampai gerbang, “tapi aku juga gak mau barang itu masuk pasar, loh, ya. Cukup kau saja yang tahu ada linda tipe nol, Kubo.”“Hem.”“Sudah, ya, Sayang. Aku berangkat ….” Muah! Kukecup ia sekali lagi lalu naik ke atas kereta dan melambaikan tangan ….Urusan di Satu Mare adalah soal meriam sama senapan Matilda Timur, telik sandi berhasil mencuri cetak biru mereka dan menyelundupkannya lewat jaringan pasar gelap bersama aliran barang ilegal.Aku awalnya tidak peduli, sebab senapan lontak tipe baruku juga sudah dimodifikasi agar jangkauan sama daya serangnya menyamai senapan-senapan mereka. Namun, saat laporan Jodi dengan Wale, dua yoram dari divisi intelijen, menyebut Matilda Timur sedang mengembangkan kereta dan kendaraan uap seketika diriku pun tidak bisa berhenti penasaran.Meski baru sekadar rumor, mesin uap bukan sesuatu yang boleh dianggap main-main. Apalagi diriku tahu betul revolusi industri di dunia lamaku terjadi setelah benda-benda bertenaga hewan dan manusia digantikan oleh roda-roda gigi dengan ketel-ketel yang dipanaskan ….“Gak perlu menunggu,” kataku pada kusir kereta, sesaat kami sampai ke gerbang Satu Mare. “Urusan di sini bakal lama. Bilang saja sama Nona, kita bakal dapat pelanggan baru kalau aku berhasil.”Sekarang.Selain kepulangan pahlawan, Delapan Bintang Benua sama periode pertapa pascaperang besar, kini diriku menghadapi masa baru di mana senjata api dengan mesin uap muncul di Eldhera. Kekhawatiranku pada zaman Mirandi ini bukan lagi perseteruan antar maniak bela diri dan praktisi-praktisi sihir, tetapi sudah melibatkan koboi-koboian beserta pistol dengan senapan di tangan mereka.***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 52 Nazila Trira

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kenapa kau percaya padaku?”‘Kenapa percaya padanya ….’Aku tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana Trira lima bulan lalu. Terutama saat kutahu mata cemerlang yang menatap waktu kutunjukkan dekret penambal kekosongan kekuasaan kala itu melihat bukan dengan keingintahuan atau sekadar rasa penasaran belaka, tetapi juga sebuah keyakinan buah daripada pengetahuan.Sampai sekarang pun aku masih belum bisa menjawabnya ….“Kenapa aku percaya padanya?” tanyaku menanyai diri, memperhatikan Trira bolak-balik keluar masuk Ruang Direktur dengan Ruang Berkas dari tangga lantai dua Kantor Utama Sisik Kayu. “Aku sudah melihat gadis itu sama Stella setengah jam ini, mereka mondar-mandir kayak setrikaan, Ra.”Ranra, Sekretaris Sisik Kayu, sebelahku menggeleng sambil angkat bahu.“Katanya Nona habis beli buku baru,” ucapnya yang lantas meninggalkanku keheranan sendiri, “beliau lagi menata ulang ruang berkas kita, Tuan Mi. Cuekkan saja—”“Bukan!” Kususul Ranra dari belakang. “Maksudku, laporan bulan kemarin belum kuterima. Harusnya dia sudah menaruh berkas-berkas itu sebelum makan siang tadi, ‘kan?”Tanggal 12 Bulan Enam 353 Mirandi.Hidupku berlanjut. Sebagai Kepala Sisik Kayu, banyak hal kukerjakan sepanjang minggu. Mulai dari memeriksa jadwal harian, memastikan stok produk, bahkan mengevaluasi hingga merencanakan agenda selesai baca laporan yang menumpuk atau diasongkan Ranra ke meja kerja. Cek! Tadi itu kegiatan di Sisik Kayu. Ketika sampai rumah, jadwalku beda lagi. Merpati warna-warni sudah biasa bertengger dekat jendela menunggui kedatanganku pas jam pulang kantor tiba. Buat apa? Burung-burung pos tersebut hendak menyerahkan laporkan dari atasan mereka ….“Bagus, tidur telat lagi malam ini,” gerutuku pas menarik kain dari salah satu kaki merpati, “nasib o nasib.”*** “Hari ini gak ke kantor?”“Gak.” Kutoleh Oukubo singkat, ia mendekat bersama kotak tembakau dengan padudan giok lalu duduk sebelahku seperti biasa. “Berapa kali harus kubilang udut gak bagus buat paru-paru, Kubo?”“Cuma sehari sekali,” timpalnya, “itu batasanku, ‘kan?”“Hem.” Aku gak bisa komentar, sejauh ini sang elf memang benar-benar cuma mengisap tembakau sekali sehari saat di depanku. “Aku menyesal pernah memintamu buat mencoba candu—”“Asal jangan linda tipe pertama atau dua saja!”Jawaban yang sontak membuatku mendelik.“Hah. Kuakui salah sudah membuat linting jahanam itu,” akuku, menjeda kegiatan buat meladeni dirinya di meja halaman depan tersebut. “Bisakah kau lupakan aku pernah mem—”“Gak. Huh ….”Kuusap wajahku sehabis dikepuli asap sama Kubo.“Sekarang ada banyak tanda tanya di kepalaku tentangmu, Sayang,” akunya, tumpang kaki lantas melipat tangan dan menatapku curiga. “Misal, apa kau betulan seorang alkemis?”“Hah?” Kupasang muka polos, berharap ia tidak jadi menanyaiku apa pun. “Dari mana datangnya ide liar itu, Kubo. Kau tiap hari bersamaku, ‘kan?”“Sebelum kita ketemu,” tegasnya, “aku cuma tahu dirimu besar di Zaowi terus mendaftar ke Mantel Putih pas remaja sama jadi terkenal setelah menjabat kanselir beberapa tahun dan sekarang seorang Pu.”“Nah, tuh ta—”“Aku belum selesai!” Ia melotot. “Aneh, orang yang gak punya riwayat sekolah alkimia macam dikau tahu takaran obat dan bisa meracik linda. Enggak masuk akal.”Aku tersinggung, meski dirinya barusan juga memujiku. Jelas diriku tahu takaran obat sama bisa meracik linda, itu hal remeh. Aku belajar alkimia dari nenek Freta dan Cherry, dua alkemis nomor satu di era mereka. Kemudian kusempurnakan keahlianku di Istana Naga Timur sebelum Kekaisaran Hydra runtuh, setelahnya jalan alkimiaku juga menanjak pas kenal Tabib Suno dengan Toksisian Elma di awal kemunculan Delapan Bintang Benua zaman Chloria. Dia kira keahlianku muncul tiba-tiba kali.“Jawab aku, kau betulan bukan alkemis, ‘kan?”“Kau maunya jawaban begimana?” tanyaku, balik menatapnya. “Jelas-jelas tahu riwayatku dan kita tinggal bersama selama ini, apa keberuntungan sekejap macam begitu saja sudah membingungkanmu, hah?”“Bukan!” Kubo cekak pinggang. “Aku cuma heran … lihat, dirimu bahkan tahu daun singkong punya khasiat melemaskan tembakau kering kalau mereka ditaruh di kotak yang sama. Kau itu bukan pecandu, tapi tahu semua ini—gak masuk akaaal, ih!”Kuangkat tangan sebahu menjawab pekik gemas tersebut.“Sayang, anggap saja keberuntunganku tinggi. Ya?”Sang elf menyerah. Ia duduk pasrah sambil mengisap padudan dan tak bicara apa-apa hingga sekian saat. Sedang diriku, lanjut pada kegiatan yang sempat tertunda, menggambar aliran pasukan aliansi sebelas negara dari barat benua sampai perbatasan Dataran Tengah dan Kolom Empat-Tiga.Kami tak saling tanya lagi beberapa waktu sampai ….“Aku gak mengganggu kalian, ‘kan?” Seseorang muncul dan mencairkan kebisuan di antara kami, Nazila Trira. “Oi, Ure. Kau lagi apa?”“Menggambar,” jawabku singkat, fokus pada apa yang tengah kulakukan. “Anda butuh apa, Trira?”“Tidak ada ….” Gadis itu duduk di seberangku dan Oukubo, sungkan dengan malu-malunya tiap kali kemari tampaknya telah hilang. “Aku bosan sendirian di rumah. Stella pergi ke pasar, terus Ranra bilangnya ada urusan sampai sore.”“Dayang sama pelayan di tempat Anda lebih dari selusin padahal ….” Aku menoleh pada Kubo, isyarat agar dia mengambilkan camilan buat tamu kami. “Mau minum apa?”“Beda. Jus jeruk. Biar kata di rumahku banyak dayang mereka susah diajak bicara, tahu.”‘Jelas susah diajak bicara, soalnya Anda gampang lompat topik sama suka tiba-tiba asyik sendiri,’ batinku, menutup peta selesai kugambar dan mengantunginya. “Gak ke salonkah, Trira?”“Nanti siang—ah, ya! Aku mau cerita, Serikat menawariku buat buka cabang baru bulan ini.”“Bagus dong.”“Bagus palamu.” Beliau merebah ke meja. “Yang ada usahaku bangkrut, Ure.”“Loh, kok?”“Cek! Coba pikir ….”Oh. Jadi Aliansi belum menyerah buat mengirim orang ke Sabila. Setelah gagal menyuap pejabat Kantor Muri Distrik dan membuka tempat hiburan di sini, mereka kini mau pinjam usaha-usaha yang sudah duluan jadi rupanya. Hem.Dua musim tidak ada kemajuan dan gagal mendapat tambahan dana sama perkakas baru buat Kampanye Banori, aku paham bila Aliansi makin frustasi. Hahaha ….*** “Kudengar pasukan pertahanan kota kau sebar ke perbatasan, ya?”Aku tidak menjawab ditanya Trira. Mataku lebih ingin menikmati hijaunya alam yang tampak memesona, terbingkai oleh jendela kereta yang lagi kutumpangi menuju salah satu salon beliau di Distrik Timur.“Anda dengar kabar dari mana, Nona?” tanya Kubo, menggantikanku meladeni Trira. “Jika ini rumor baru dari Aliansi, saya rasa Anda tidak perlu menanggapinya serius.”“Hem, tapi pelanggan-pelangganku mengeluh gegara perbatasan makin ketat, tahu, Kubo. Kau gak bakal percaya kalau kubilang mereka ….”Trira membeberkan semua yang hendak beliau konfirmasi.Aku sampai terkejut. Setengah dari apa yang gadis itu ceritakan benar kecuali perintah penangkapan sama interogasi tertutup yang ia sebut dilakukan Panji Kalajengking. Sebab mereka malah tidak pernah kusuruh ke mana-mana selain berpatroli di wilayah tugas masing-masing. Namanya juga pasukan kota, buat apa keliaran sampai perbatasan, ‘kan?Akan tetapi, apa yang beliau singgung sebetulnya menarik. Angkatan Pertahanan Kara atau Legiun III Panji Goron memang kusiagakan di Distrik Timur agar siap membendung serbuan lanjutan dari Banori kapan saja terutama setelah Aliansi kalah perang. Bila ini soal mereka maka rumor tadi mengambil sudut pandang penyusup yang gagal menyelinap ke Kara lewat utara ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 51 Pelayaran Penutup di Kalvaruma

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Sesuai rencana ….”Tanggal 25 Bulan Dua 353 Mirandi.Urusanku di Sigkawa telah rampung. Pabrik baru yang kubagi bersama Neraca Gandum beroperasi dengan baik, protokolnya benar dan produksi mereka stabil bahkan tingkat kemasifannya mengalahkan Sisik Kayu. Agenda terselubungku juga selesai setelah gudang-gudang tetangga meledak tanpa hambatan. Mwehehe.Adapun hal di luar rencana yang belum beres, itu cuma pertemuan sama si botak sekarang.“Akhirnya, kita ketemu juga. Aku sampai bosan menunggu tiga minggu di penginapan, Saudara.”“Ahaha.” Dia, pria botak yang mengaku sebagai kepala geng gigi emas ini, menyambutku di feri nan penuh kesenangan. “Aku harus memastikan hidanganku sesuai dengan selera tamu-tamu kehormatanku, ‘kan?”Satu jam sebelumnya, di dermaga tempat kami berpisah beberapa minggu lalu.“John, kita sepakat saat aku ketemu si botak kau mengambilkanku peta pasar gelap kalian, bukan?”“Te-tentu saja, Bos. A-aku, aku akan melakukannya dan kita pasti bertemu lagi di Satu Mare.”“Kalau begitu kenapa masih di sini, pergilah.”“Ba-baik ….”Janji dari mulut pejudi yang takkan sepenuhnya kupercaya.“Kubo ….” Kuambil dekret yang kutulis tadi malam. “Kita sama-sama tahu tinggal kau yang bisa kuandalkan sekarang,” kataku lalu mengasongkannya, “kudengar senapan-senapanku sudah dibawa ke luar Mantrus, rute pengiriman mereka memutar lewat Hika dan akan sampai di Banori bulan depan.”“Huh.” Kubo meniupkan asap tembakau ke gulungan tersebut. “Menyergap mereka di jalan cukup mudah, tapi memastikan jumlahnya utuh setelah melewati Satu Mare tetap mutahil.”“Jangan biarkan mereka keburu lewat sana kalau gitu. Bisa, ‘kan?”“Baik.” Sang elf tersenyum, menyambar dekretku, menggantungnya di pinggang, kemudian bangkit lantas memanggil Toro. “Jangan protes jika aku merapal mantra tingkat menengah, ya, paham?”“Lakukan sesukamu.” Kukibaskan tangan dan tersenyum, mengantar kepergiannya yang langsung melesat bak burung garuda ke angkasa. “Eh, ya! Jangan merusak merekaaa ….”Semua persiapan telah selesai. Kampanye Banori berjalan sesuai rencana dan apa yang seharusnya datang ke Kara akan tetap tiba pada waktunya. Termasuk buah dari pertemuan dengan pria botak satu ini ….“Jujur aku berharap, Saudara,” akuku, celingak-celinguk melihat dekorasi beserta segala hal yang telah ia siapkan ‘tuk pertemuan di kapal tersebut. “Selain para penghibur, kurasa kau gak ada niat sama sekali.”“Ahaha, tolong jangan menyulitkanku, Saudara,” pintanya, mengangkat gelas sebagai tuan rumah di ujung meja sana. “Mari-mari, kita mulai saja jamuan dan agenda pertemuan hari ini ….”*** “Saudara.”“Saudara.”Sesuai dugaan. Si botak menggunakan pertemuan di kapal itu buat mengukuhkan diri juga kelompoknya sebagai satu dari sekian elite sindikat dengan mafia di Singkawa dan Pluma. Kartel. Dia sengaja mengumpulkan pemasok barang ilegal di satu tempat agar bisa diatur leluasa. Tidak buruk untuk ukuranku yang baru pertama kali lihat dunianya ….“Aku capek terus mengangkat gelas meladeni mereka di ballroom ini …,” akuku lantas mengambil selinting ganja yang telah kuracik khusus buat kutunjukkan di depan si botak, “cobalah, Saudara. Kusiapkan khusus untuk pertemuan kita. Aku menyebutnya linda.”“Linda?”“Linting daun. Daun-daun kering kemarin, kugulung pakai nipah,” terangku kemudian mengambil selinting lagi, “dan ini jenis kedua, lebih berat ketimbang yang kau pegang.”“Kupikir kau cuma mau jadi pemasok bahan mentah, Saudara?” tanyanya, melihatku curiga. “Kalau begini caranya, haruskah kuatur—”“Kelompokmu bisa menjualkannya buatku, ‘kan?” potongku yang lalu minta buat diambilkan korek, “coba dulu saja, aku mau tahu kau berani pesan berapa—ah, ya, resep rahasianya bukan untuk dijual.”Si botak mengangguk dua kali.“Biar kucoba dulu ….” Ia mendelik pas isapan pertama, melihatku, terus mengisap dan mendelik lagi. “Kau benar-benar lain, Saudara. Barangmu ini sa—”“Eit!” Kurampas linda di tangannya sebelum isapan ketiga. “Jangan mengisapnya lebih dari itu, kau takkan sanggup menangani efek setelahnya,” kataku yang lantas mematikan dan melempar linting ganja tersebut ke nampan salah seorang pelayan, “jadi, berapa kau berani pesan buat permulaan?”“Soal itu. Aku …, aku ….”Ia berusaha fokus, tapi kutahu pikirannya sedang ingin linda yang baru saja kubuang. Terbukti, dirinya pun segera minta waktu dan menyuruh salah seorang anak buah menemaniku. Mwahaha. Aku ketawa dalam hati ….*** “Saudara.”“Oh, hai, Saudara.”“Aku tidak menemukanmu di ballroom tadi, jadi aku mencari sampai kemari ….”Siapa pria jangkung yang lagi menegurku ini? Aku tidak kenal.Kumis tipis, rompi cokelat, rambut klimis, pantofel berkilap, juga wangi. Dandanannya gak norak dan dia punya kesan terpelajar yang kuat. Buat apa orang dari jenisnya di kapal gembong barang-barang terlarang.Hem.“Kesanku padamu agak beda, Saudara,” ujarku terus balik melihati danau malam itu dan mengaku, “diriku gak terbiasa di keramaian, jadi aku di sini buat menenangkan diri sekalian cari angin.”“Hahaha.” Ia ikut berdiri sebelahku. “Aku datang di saat yang tidak tepat sepertinya …, ah, ya! Aku, James.”“James?” Kuhadapkan diri padanya. “Bukankah kita sepakat buat hanya memanggil satu sama lain dengan ‘saudara’ di kapal ini?” tanyaku, mengingatkan pada bunyi pesan si botak sebelum kami naik ke atas kapal.Namun, tampaknya hal itu punya pengecualian. “Benar, tapi kata ‘saudara’ saja belum cukup untuk orang yang hendak menjalin hubungan lebih dalam, bukan?”Setuju. Poinnya bisa diterima.“Jadi kau mengakui bila mau menjalin hubungan denganku, begiukah?”James tersenyum, ia pun menjelaskan bisnisnya setelah itu. Dan, ya, orang ini ternyata punya koneksi erat dengan keluarga-keluarga bangsawan di empat negara. Fakta yang membuat sudut bibirku naik.Dia bilang, barang yang kuberikan pada si botak membuat dirinya tertarik. Ia berniat memodaliku dengan ladang siap garap di Erre, Ibu Kota Pendidikan Singkawa, serta akan membiayai produksi hingga dua tahun ke depan jika diriku bersedia menjadikannya penadah esklusif.Tawaran yang menggiurkan, bukan?“Sangat menggiurkan,” akuku sebelum kemudian menunjukkannya dua batang linda, “ini jenis pertama, yang tuan rumah kita isap di ballroom tadi. Satu lagi, jenis kedua. Kekerasan efek mereka sangat jauh.”James elus dagu.“Linda kedua lebih berat daripada jenis pertama. Kalau baru buka usaha, kusarankan coba ambil beberapa slof yang ringan dulu, tapi aku takkan menyarankanmu buat mengisapnya lebih dari dua kali sehari. Sudah lihat apa yang terjadi pada tuan rumah kita, ‘kan?”Malam itu kami bertukar kontak.James selanjutnya memberiku lokasi ladang yang tadi ia singgung lalu berjanji untuk menyiapkan semua keperluan agar produksi linda bisa segera kami mulai sebelum undur diri.Caranya bernegosiasi lugas dan jauh dari kata bertele-tele. Aku sangat suka, jujur saja. Sayang, pertemuan pada malam tersebut menjadi saat pertama sekaligus yang terakhir bagi kami.Bukan hanya antara diriku dan James, tetapi semua penumpang di kapal milik si botak. Sebab pada malam kedua pelayaran mengarungi Kalvaruma itu feri tersebut dikabarkan hilang tanpa jejak usai sempat terlihat melintas di perairan Pluma ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 50 Monopoli

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Tuan Mi.”“Belum ke kantor, Kepala?”“Kulihat ada kuda Anda di luar ….” Damian melepas topi lantas duduk di seberangku. “Kuharap Anda tidak keberatan untuk menjamuku secangkir teh, Tuan, Nyonya.”Kuangkat tangan, memanggil pelayan, lalu mengangguk.“Tentu,” ucapku kemudian, “aku ingin pesan ikan kukus semangi di warung ini, tapi wanitaku bilang dirinya masih kenyang. Jadi, aku di sini sambil menunggu jam makan siang.”“Aha, kulihat Anda punya selera, Tuan Mi.” Sang kepala serikat mencondongkan diri. “Ikan kukus semangi warung ini nomor dua di Yothe, tapi tidak semua orang punya keberuntungan mencicipinya.”“Hem.” Mataku memicing. “Bukan nomor satu, tapi gak semua bisa mencicipi. Bukannya kedengar agak kontradiktif, ya, Kepala?”“Itu karena ikan yang mereka gunakan, Tuan Mi.”“Ikan?”“Benar.” Damian agak mundur waktu pelayan menyajikannya teh. “Terima kasih …, sampai mana tadi?”“Ikan yang digunakan warung ini—”“Ah, benar. Mereka menggunakan salmon yang cuma muncul di pertengahan sampai akhir musim semi, kalau Anda kemari sebulan lebih awal atau dua bulan lagi saja misal …, kujamin papan iklan di depan itu tidak akan ada.”Kuangkat tanganku sekali lagi, isyarat buat memanggil pelayan.“Kuborong semua ikan kukus semanggi kalian hari ini,” kataku usai dengar keterangan Damian, “tiga buat makan siang kami di sini, lima kubungkus, sisanya tolong bagikan sama orang-orang yang lewat.”“A-anda seriu, Tuan?”“Apa aku kelihatan bercanda pesan sebanyak itu?” tanyaku lantas mengeluarkan sekantung uang ke atas meja, “sebutkan saja harga yang harus kubayar dan lakukan persis seperti kataku tadi ….”*** “Aku baru tahu seratus perak hanya recehan di depan Kepala Sisik Kayu?”“Jangan mengejekku, Kepala,” timpalku, menjuling pada Damian. “Jika sekeping emas saja kuanggap besar terus bagaimana aku akan membeli bisnis-bisnis pesaingku, ‘kan?”“Hahaha.” Ia terbahak lalu mengambil kotak tembakau. “Bisnis arang ini sudah seperti keretek,” ujarnya kemudian, “peminat dua komoditas itu terus meningkat sejak mereka pertama kali masuk pasar ….”Antara setuju dan tidak.“Aku lebih suka menyebutnya bisnis kelas dan gaya hidup,” akuku lantas berkata, “orang sudah pada tahu semua dua benda ini amat bahaya, tetapi tetap menginginkan mereka buat mengadu status.”“Hahaha. Aku kecanduan mengisap tembakau setelah coba selinting dari koleksi Dominic,” ujar sang ketua serikat, “dan kini diriku tidak lagi sanggup untuk berhenti, Tuan Mi. Aku sudah menyerah, mati karenanya pun kasarnya sekarang diriku telah rela.”Kugelengkan kepala dengan senyum pahit. Dan, spontan kupandangi punggung Kubo setelahnya. Ia, yang lagi melipat tangan sembari melamun di jendela sana, membuatku tiba-tiba diterpa rasa bersalah. Sebab demi keegoisanku, dirinya rela menjadi salah seorang pengisap candu ringan tersebut. Cek! *** “Kalian bahas apa tadi?”Aku tersenyum ditanya Oukubo, sesaat Damian undur diri.“Cuma bisnis, kok, Sayang,” jawabku yang lantas merapikan diri, “dia mau buka pabrik keretek, tembakau campur cacahan cengkih, di Yothe katanya. Terus, Neraca Gandum mau mengajukan pinjaman ke Aliansi.”“Oh.” Mulut sang elf membulat. “Waktu kalian bicara serius, kulihat seekor merpati ungu terbang ke arah penginapan,” tuturnya, menggandeng lenganku erat. “Sebaiknya kita kembali sekarang ….”Macam yang dibilang Kubo, dua ekor merpati lagi bertengger tengah menungguku di jendela kamar waktu kami kembali. Salah satunya warna ungu.Satu dari Jambu, kaki merah dengan kain kuning. Satu lagi dikirim oleh Angkatan Pertahanan Darat milik Panji Gorgon di Distrik Timur Sabila, merpati ungu dengan pesan rahasia soal utusan-utusan baru Aliansi.Jambu bilang kampanye Bravaria terjeda gagara sekutu kehabisan bekal. Sementara satu lagi ….“Mereka minta kita buat segera mengirim ransum ke Banori,” tuturku, membakar pesan dari dua merpati tersebut. “Jangan melihatku begitu, kau gak dilarang bicara di kamar ini, ‘kan, Sayang.”“Sayang. Aku akan menatapmu macam tadi tiap hari biar dipanggil sayang.”“Oh, ayolah—”“Canda.” Oukubo menarik kursi lantas duduk dan topang dagu sambil melihatku. “Aliansi pasti lagi putus asa gegara kebakaran kemarin, terus mereka juga sudah mulai frustasi sebab kampanye di Banori gak ada kemajuan dua bulan ini.”“Baru dua bulan,” timpalku yang lalu meniru dirinya, topang dagu di meja tersebut. “Aku pernah nyerang kota, tapi gak ada kemajuan sampai lewat setahun penuh. Kalau mau adu pahit, ya, dua bulan doang gak ada apa-apanya buat orang Bravaria.”“Makanya kubilang mereka lagi putus asa, Sayang.” Ia colek hidungku gemas. “Bravaria punya pengalaman membendung serangan di kampanye panjang, sedangkan lawannya dibukan-bukan juga tetap amatir yang menang jumlah doang. Keduanya gak seimbang.”Aku setuju. Kekuatan utama Matilda Barat sudah lenyap di Hujan Abadi. Aliansi sekarang hanya rekrutan baru yang belum matang dan ngebet maju ke medan perang, secara kualitas jelas menang lawan mereka.“Kalau bangsamu sampai mau keluar dari hutan, mana yang akan kalian bantu?”“Bangsaku?”“Ras elf sama peri hutan …,” jelasku, memegang tangan yang sejak tadi mencolek pipi dan hidungku. “Aku yakin kalian gak akan cuma diam pas perang besar nanti, ‘kan?”“Aku gak bisa jawab,” akunya, sekilas kelihatan murung. “Orang tuaku sudah tinggal di desa manusia pas diriku lahir. Kalau kau percaya, aku pun ragu apakah mereka menganggapku—”“Gak usah sedih!” potongku yang lantas menyentuhkan tangan sang elf ke pipi, “kau masih punya aku jika mereka gak mengakui—bahkan aku yakin bersamaku jauh lebih baik ketimbang sama mereka.”Oukubo tersenyum, manis sekali.*** “Jadi, kau kalah lagi?”Keesokan paginya, tanggal 22 Bulan Dua. Sesuai kesepakatan bersama, John pun menyerahkan diri usai berhutang gegara kehilangan seratus lima puluh ribu perunggu di meja judi. Menyedihkan ….“Aku gak akan minta uangku balik,” kataku, senang sebab langkah pertama buat mengambil alih sindikat Singkawa bisa kumulai dari orang ini. “Sebagai gantinya aku mau kau melakukan sesuatu buatku ….”Setelah memikirkan banyak kemungkinan berulang kali secara masak, juga bolak-balik menimbang ini itu bersama Oukubo. Aku sampai pada kesimpulan bahwa jika diriku mau Singkawa menjadi sekutu, kekuatan yang harus kudekati bukanlah militer mereka. Akan tetapi, orang-orang di dunia gelapnya. Atau, jaringan sindikat yang pas kuselidiki ternyata menguasai dua pertiga wilayah kerajaan paling selatan di peradaban manusia Eldhera baru tersebut.Dan, orang ini akan menjadi bidak sekaligus batu loncatanku buat menggenggam mereka.“Kau sanggup, John?”Pejudi yang memang sudah lesu itu makin lesu.“Aku gak akan memaksa, tapi bagaimana caramu buat mengembalikan lima belas emasku jika kesempatan sekali seumur hidup ini kau lewatkan?”Ia telan ludah.“Kau cuma perlu lakukan dua hal …,” kataku, melakukan repetisi buat membujuknya. “Utangmu kuanggap lunas bila kau berhasil membawakanku peta lokasi seluruh pasar gelap sama tempat usaha si botak terus membantuku mengirim orang buat membuka usaha di sana.”“Kau betulan akan menganggap utangku lunas kalau aku membawakan peta markas kami?”“Ya. Setelah aku punya minimal satu toko di tiap pasar gelap kalian, utangmu kuanggap lunas.”Aku menoleh pada Kubo, isyarat supaya dirinya mengambilkan kontrak yang telah kusiapkan.“Kemari. Kalau kau setuju tandatangani dua kertas di meja ini ….”John kelihatan ragu.Jelas sekali bila ia enggan mengkhianati si botak maupun geng mereka. Namun, utang yang kugunakan buat menjerat dirinya juga tidak ringan. Jadi, meski sangat enggan serta benar-benar terpaksa. Dia tetap melangkah ke meja walau sambil gemetar lalu menandatangi perjanjian denganku tanpa pikir panjang. Mwahaha ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 49 Sabotase

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Hoaaam—”“Dia keluar lagi ….” Oukubo menggerakkan kepala, isyarat agar aku melongok ke luar jendela. “Seseorang menunggunya di gerbang penginapan, mereka kelihatan buru-buru.”“Paling mau judi lagi,” komentarku, balik pada surat yang malas kubaca di meja tersebut. “Daripada itu, malam ini mesiu dari Satu Mare lagi diangkut ke gudang-gudang Pluma ….”Tanggal 13 Bulan Dua 353 Mirandi.Usai bicara dengan Ketua Serikat Neraca Gandum dan melihat bagaimana pabrik arang di Yothe dikelola, diriku jadi tahu Aliansi tengah menyimpan dua rahasia di belakang Kara. Persiapan invasi pascakampanye melawan Bravaria sama skema pengeringan sumber daya hingga pengambilalihan aset secara bertahap.Instruksi pembiayaan kampanye Banori dan penyerahan senapan lontak kemarin juga merupakan langkah awal dari skema tersebut. Agenda yang sebenarnya sempat dicurigai oleh orang-orang dari divisi intelijen.Namun, tidak diselidiki lebih lanjut karena berbasis dugaan tanpa dasar.Selanjutnya, fase dua skema tadi atau tahap di mana serikat menjadi instrumen penting, yakni penarikan bakat-bakat sama calon pemodal potensial ke luar Kara. Alasan kenapa mereka menggelontorkan banyak uang supaya pabrik sama tempat-tempat usaha dipindahkan dari Sabila ke Satu Mare atau negara-negara tetangga ….“Terus apa rencanamu, Tuan?”Kubakar surat terakhir selesai kubaca malam itu lalu topang dagu dan tersenyum pada Oukubo.“Gak ada,” akuku kemudian, “selain menunggu kabar dari Jambu soal pegiriman senapan lewat Vom sama menulis laporan produksi arang di sini aku gak punya rencana, Kubo.”“Si botak sama gengnya, gak mau kau apa-apakan gitu?”“Setelah gudang mesiu Pluma meledak besok malam, persiapan mereka juga bakal tertunda. Kita gunakan kesempatan ini buat menyabotase jaringan sindikat di sini.”“Katamu gak punya rencana ….” Elf yang sejak tadi menatap sambil bersandar ke kisi jendela itu mendekat, mengangkat daguku, lalu jalan dan naik ke ranjang. “Kau mau aku menunggu di penginapan atau—”“Ikut dengaku!” sambungku, mundur dari meja buat menyusul dirinya. “Langit empat negara bakal meriah sama kembang api mulai besok sampai seminggu ke depan ….”*** Besoknya, tanggal 14 Bulan Dua, apa yang kubilang pada Oukubo kemarin malam pun terjadi.John tergopoh mendobrak restoran penginapan demi mengabariku bahwa si botak dengan gengnya bakal butuh waktu lagi buat mengatur pertemuan di kapal feri. Bahkan, diriku pun sampai diminta agar jangan mendekati kota-kota atau berkeliaran di sekitar Pluma sementara ini.Ia tidak memberitahuku mengapa, tapi kita semua tahu alasannya.Selang satu malam, merpati ungu hinggap di jendela penginapanku dan Oukubo. Burung itu memekarkan senyumku lewat pesan yang juga sanggup membuat sang elf bersemangat di atas ranjang. Mwahaha …. “Bagus!” Hingga tanpa terasa, waktu seminggu pun telah berlalu. “Mesiu dari Satu Mare sudah meledak semua, kini empat negara gak punya lagi bahan peledak di gudang-gudang mereka.”“Aku senang mendengar—”Kulintangkan tangan menghadang Oukubo, meminta dirinya agar jangan dulu ke mana-mana.“Laporan ini baru kubaca separuh,” kataku, mengasongkan secuir kertas dari kaki merpati di belakangnya biar dia lihat. “Kenapa gak dengar ceritaku sebelum—”“Kata yang jempolmu tutupi itu, ‘Beres!’” ujarnya, menyambar lalu melempar kertas tersebut ke api lilin hingga merpati tadi pun tersentak dan terbang pulang pada pengirimnya. “Kalau kau bilang cerita, kuyakin bukan soal kebakaran gudang mesiu Parat malam ini, ‘kan?”“Benar.”“Wajah senangmu beda dari kemarin ….” Ia memutar kursi lantas duduk di pangkuanku. “Katakan padaku apa rencanamu untuk besok, Sayang. Kara sungguh telah menyabotase aliran mesiu dari Satu Mare, tapi mustahil buat dicurigai sebab mereka meledak setelah masuk gudang.”“Meskipun begitu Aliansi akan tetap menuduhku, ‘kan?”“Jadi, apa jawabanmu untuk mereka?”“Jaringan sindikat dan mafia di Singkawa ….”*** “Kau kelihatan kurang tidur, John.” Kulap tanganku selesai merapikan alat makan lalu menyediakan diri ‘tuk meladeni anak buah si botak yang lagi berdiri sambil menunduk pinggir meja makan pagi itu.“Kalau ini bukan soal kemajuan rencana pertemuan sama bosmu sepertinya diriku gak bisa bantu,” kataku, mendahului apa pun yang ada di kepalanya. “Utangmu sudah seribu perak, John.”“Bos!” Ia berlutut. “Kumohon. Pinjamkan aku lima ratus keping lagi dan aku akan membayarnya dua hari—tidak, besok pagi! Aku akan mengembalikannya tiga kali lipat besok pagi.”“Kau juga bilang itu kemarin,” timpalku, mundur dari meja makan kemudian jalan memutari dirinya yang lagi memohon. “Aku gak ada rencana buang uang hari ini, John.”“Nyonya!”Aku berhenti, terus berbalik dan melihat cara ia berlutut pada Kubo. Dirinya benar-benar jatuh, John tidak menunjukkan kebanggaan ataupun harga diri seorang lelaki di mataku. Kasihan. “Kau dengar keputusan suamiku, ‘kan, John?” Namun, meski dengan sikap begitu ia pun tetap gagal. Sang elf lekas bangkit kemudian menyusul ke ambang pintu. “Keberuntunganmu di meja judi terlalu buruk, kau juga harus mengerti kenapa kami berhenti memodali—”“Tunggu!” Anak buah si botak yang sudah bangkrut itu makin merendahkan diri, pemandangan paling gak kusuka di ruang makan VIP tersebut. “Kumohon, Bos, Nyonya! Akan kulakukan apa saja buat kalian jika masih kalah setelah ini, beri aku kesempatan sekali lagi. Hanya sekali lagi. Kumohooon ….”“Cek!” Kulirik Oukubo sebentar. “Kau dengar apa katanya, Sayang?”“Dia mau melakukan apa saja katanya,” timpal elf yang lagi menggandeng lenganku, “kurasa kita bisa ….”Aku menggeleng membalas kedipan nakal wanitaku terus menjatuhkan sekantung perak ke depan kami.“Kau sendiri yang bilang, John!” kataku yang kala itu lanjut putar badan sama Oukubo lantas bicara sambil lalu, “kesempatan terakhir, apa pun hasilnya temui aku besok pagi ….”*** Sesuai dugaan. Anak buah si botak langsung ambruk di rumah judi hingga tengah malam ….“Dia betulan masuk ke rumah judi lagi, Sayang.”“Memang niatnya itu, ‘kan?” kataku, mengentak Polka pelan usai lihat John masuk ke perjudian. “Pinjam uang banyak, pasang taruhan, terus berharap menang dan tiba-tiba kaya. Penyakit para pejudi.”“Ketimbang udut, kurasa candu judi lebih bahaya.”Aku tidak komentar. Udut saja sudah kebiasaan buruk sebetulnya, merusak diri dan orang-orang di sekitar lewat kepulan ringan secara perlahan. Sekarang aku malah melihat pejudi gila juga.“Kenapa diam saja?” tanya Oukubo, merebah ke diriku. “Gak bisa jawabkah?”“Kau cuma lagi bikin pembelaan.” Kujeda laju Polka di depan sebuah warung. “Gak ada yang mending di antara dua hal buruk yang salah satunya lebih buruk, Kubo. Lihat, warung ini pasang iklan di pintu masuk.”“Ini tulisan baru, ‘kan?”“Katanya mereka punya ikan kukus semangi.”“Huh ….” Elf yang lagi merebah padaku itu menengadah. “Aku masih kenyang, terus isi padudanku masih banyak. Jangan turun dari punggung Polka dulu.”“Terus kita mau diam depan warung begini saja?”“Anggap lagi berjemur.”“Bentar lagi panas, Kubo.” Aku turun dari kuda lalu menggendongnya. “Kita berteduh di dalam sama pesan rumput buat si Polka saja dulu, kalau kau gak mau makan.”“Hem.” Ia melipat tangan. “Terserah, deh.”Akhir minggu ketiga di Bulan Dua.Rencanaku berjalan mulus. Sangat mulus bahkan. Aku sudah memverifikasi peta dan memeriksa benteng-benteng Pluma, dapat banyak informasi, terus membangun koneksi di Singkawa.Sayang, meskipun begitu perjalanan bisnis ini belum berakhir. Damian membangun pabrik di Yothe dengan pikiran Trira tahun lalu. Ia masih perpanjangan tangan serikat dalam memonopoli perdagangan arang dan menjadi pemasok tunggal bahan bubuk mesiu untuk Aliansi.Kalau kubiarkan, usahaku mencegah tujuh negara punya pasokan bahan peledak selama perang melawan Bravaria akan sia-sia.***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 48 Sindikat dan Yothe

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kau pemilik dua keranjang di sana?”Aku menoleh ke orang-orang Soros yang tengah menjaga keranjang ganjaku sekilas, memastikan mereka tidak tahu apa-apa, kemudian melihat siapa yang barusan mengajakku bicara.“Ya. Aku pemilik dua keranjang di sana,” kataku, melepas pelukan Oukubo di lenganku lantas bangkit. “Itu barang yang mau kujual di Yothe, jika kalian tertarik.”“Lebih dari tertarik,” aku pria botak di depanku, diikuti seringai dua orang di kanan kirinya. “Bisa kita bicara serius di sebelah sana, Saudara?”‘Saudara?’ batinku sebelum tersenyum lalu menoleh Oukubo, meminta dirinya agar menunggu bersama wanita-wanita Soros. “Tentu, selama ini bisnis yang menguntungkan telingaku selalu terbuka untuk tawar-menawar di mana saja.”“Hahaha!” Kami tertawa bersama kemudian melipir ke ujung geladak.Ketika dirasa sudah ada privasi buat kami. “Langsung saja, kau membawa ganja kering, ‘kan, Saudara?”Benar. Aku menyembunyikan ganja di bawah gulungan sutra dalam keranjang itu, sama bubuk datura juga sebetulnya. Namun, buat apa kukatakan pada kalian.“Gak,” elakku lantas berdalih, “isi keranjangku itu sutra, kalian bisa cek sendiri.”Mereka kelihatan bingung.“Ma-mana mungkin,” ucap pria botak yang mengajakku bicara, agak gelagapan. “S-saudara, tolong jangan bercanda. Ka-kami mengikutimu dari Zuku, dan semua anak buahku bersaksi bila barang yang kaubawa di keranjang itu adalah ganja kering. Tenang saja. Kami bukan mau merampok, aku mau beli.”“Aku gak lagi bercanda, isi keranjang-keranjang di sana itu memang betulan rol sutra ….” Kulipat tanganku lalu tersenyum dan berbalik. “Kalau gak percaya, kalian boleh lihat sendiri—ikut!”Kubawa mereka buat memeriksa satu keranjangku.“Lihat ….” Kuambil satu rol sutra kemudian kuasongkan. “Gak bohong, ‘kan?” kataku yang juga memberi isyarat lewat gerakan kepala, “barang yang kau cari ada di bawahnya, tuh.”Si botak dengan dua temannya, pas tahu betulan ada ganja di keranjangku, langsung ketawa senang lantas kembali mengajakku melipir setelah mematung sekian detik.“Ahaha. Saudara, ayo lanjutkan bisnis kita sebelah sana ….”*** Hari berikutnya, tanggal 10 Bulan Dua 353 Mirandi. Kubo dan aku telah sampai di Yothe, tujuan perjalanan kami. Dari sini orang Serikat akan membawaku ke lokasi pabrik baru kemudian menunjukkan beberapa contoh hasil kerja mereka, begitu rencananya.Akan tetapi ….“Terima kasih sudah mengawalku sampai tujuan ….” Sebelum itu kami harus menutup urusan-urusan yang tidak sengaja terbentuk sepanjang jalan sebelum berlabuh di dermaga pelabuhan kota ini. “Sesuai janji, delapan puluh perak sisa pembayaran.”Doglas, kapten orang-orang Soros yang mengawalku, semringah menerima upah mereka.“Senang bekerja denganmu, Tuan Mi,” ucapnya, menoleh kawan-kawannya ceria. “Aku dengan saudara-saudaraku akan tinggal di kota sampai minggu depan, cari kami di serikat jika butuh pengawal lagi.”“Hahaha.” Kusambut uluran tangannya semangat. “Tentu, tapi jalan pulangku mungkin akan lebih panjang dan terjal ketimbang semalam. Markas regu dagangku ada di Kara, Doglas.”“Bagus! Berarti upah kami juga akan lebih banyak—”“Hahaha!” Kami tertawa bersama sebelum mereka pamit undur diri ….Dan, tibalah giliran untuk urusan selanjutnya. “Kurasa kita bisa bahas detail kesepakatan yang tadi malam belum selesai, Saudara.”“Baiklah.” Pria botak yang menungguku mendekat bersama orang-orangnya. “Aku tidak punya jaringan di kota ini, Saudara. Jujur saja. Cuma, kita bisa atur pertemuan di feri milik kelompokku. Bagaimana?”“Kapal pesiar?” Singkat mataku membulat sebelum tanganku terlipat depan dada. “Hem. Boleh juga, aku belum pernah makan di feri,” akuku lantas mendekat pada si botak dan berbisik, “urusanku di Yothe bakal lama, tinggalkan satu orangmu buat menemaniku supaya kita bisa saling menghubungi.”Ia tersenyum.“Hahaha. Itu mudah …, John!”Selanjutnya, kami pun berpisah untuk meneruskan urusan masing-masing. Aku, Oukubo, Polka, dan satu orang anggota geng si botak masuk kota, sedang dia juga anak-anak buahnya yang ternyata banyak putar badan buat mengatur tempat beserta waktu pertemuan kami sesuai janji tadi.*** “John!”Orang yang lagi menuntun kekang Polka menoleh, tapi buru-buru buang muka pas lihat Oukubo mengisap padudan. Kuyakin lirikan sang elf menakuti anggota geng si botak tersebut ….“Aku gak suka masakan di kapal tadi,” kataku, hendak memintanya buat mencarikan tempat bagus. “Kau punya saran kita bisa makan siang di mana?”“Aku juga baru datang kemari, Bos.”“Oh, ya, aku lupa. John, lihat sini—” Lung! Kulempar sekantung perak padanya. “Lihat warung di sana?” tanyaku, menunjuk sebuah kedai. “Kami akan menunggu di situ. Tolong carikan penginapan buat kita yang masakannya enak, bisa?”“Penginapan yang masakannya enak?”“Benar.” Kuacungi dia jempol. “Pesan saja rekomendasi koki dan coba cicip sedikit. Kalau lidahmu cocok, cepat kembali terus kabari kami.”“Hem, kalau begitu aku harus makan di sana dulu?”“Makanya kukasih kau seratus perak, John …,” jelasku, menunjuk kantung di tangannya pakai dagu. “Gak perlu pesan yang mahal. Jika menu standarnya saja enak apalagi—”“Aku paham!” Wajahnya cerah. “Eh, tapi …, kurasa uang segini belum—”Kulempar lagi sekantung perak. Lung! “Jangan bilang kurang,” kataku, pasang muka cemberut. “Hidangan termahal di Barat itu bebek, kudengar seporsinya memang ada yang sampai tujuh ratus perunggu. Cuma, kau masih tetap bisa datang ke banyak tempat, ‘kan?”“Ahaha, Bos. Kau terlalu serius—aku akan mencarinya sekaraaang ….”Begitu dirinya pergi.“Dua ratus perak untuk kabur.” Oukubo bersandar padaku. “Benar-benar boros.”“Siapa bilang dua ratus perak itu buat kabur, Kubo?” balasku, mengentak kuda pelan ke arah kedai tidak jauh dari tempat kami. “Aku betulan mau dia mencari penginapan yang punya masakan enak buat kita ….”*** “Selamat datang …, silakan.”“Kami pesan sepoci teh hangat kalau ada,” kataku, menaruh dua keping perak di meja. “Jika tidak, bawa apa saja yang manis kemari—dan ….” Kukeluarkan sepucuk surat. “Tolong serahkan amplop ini ke Kantor Serikat Neraca Gandum, bilang dari orang Sisik Kayu kalau mereka tanya.”“Ah, baik ….”Sesaat kemudian.“Anda utusan dari Sisik Kayu untuk serikatkukah?” Seseorang menegurku, pria klimis dengan rompi merah dan kemeja putih yang lalu mengenalkan diri sebagai Damian, Kepala Serikat Neraca Gandum dari Yothe. Orang yang setipe dengan Dominic, Kepala Serikat Neraca Padi, oportunis dan senang memonopoli.Darinya, aku kini tahu separah apa situasi Singkawa di masa perang ini. Juga, bagaimana satu demi satu serikat diperas hingga rugi berat lantas bangkrut lewat bermacam peraturan baru yang mengatasnamakan ketahanan ekonomi negara oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab di pemerintahan.Selain itu, dirinya pun memberitahuku bila sindikat sangat menjamur di sekitaran Yothe. Kabar yang, terus terang saja, bikin diriku menyesal telah membuat janji temu dengan kelompok si botak sebelumnya.Aku sampai tepuk jidat dan geleng-geleng kepala. “Kau tahu, Ketua. Aku senang sekaligus menyesal sudah datang kemari,” akuku terus topang dagu, “senang karena keputusanku buat datang sendiri kemari tepat, tapi juga menyesal sebab kadung punya hubungan dengan salah satu sindikat yang tadi dirimu sebut.”“Kurasa diriku paham, Tuan Mi. Lantas apa rencana Anda selanjutnya?”“Gak ada.” Kuketuk-ketukkan telunjuk dengan jari tengah di meja. “Aku topang dagu begini gegara enggak punya ide apa-apa. Kalau ada saran, sebaiknya berhenti bersikap formal terus bilang saja blak-blakan.”“Hahaha.” Ia terbahak singkat lantas mencondongkan diri. “Aku sudah dengar bagaimana sepak terjang Anda dari Dominic. Dan, ya, kesanku hari ini mengonfirmasi banyak hal. Salah satunya, diriku yakin kuota produksi arang di sini tidak akan bertambah meski Bate sendiri yang turun langsung memintanya, bukan?”“Buat urusan satu itu aku berani bilang kau salah ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 47 Kabar Angin

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana, berapa kau berani bayar?”Hari ke-8 di Bulan Dua 353 Mirandi.Atau akhir minggu pertama di perjalanan menuju Singkawa. Aku dan Kubo telah sampai ke Pluma Tengah. Kota Zuku ‘tuk lokasi persisnya. Ibu kota pendidikan mereka.“Berapa kali harus saya bilang, kami tidak menerima ganja dan serbuk kecubung, Tuan. Betul Zuku itu kota pendidikan Pluma, gudang riset dan banyak penelitian juga, tetapi mohon mengerti bahwa barang-barang yang Anda bawa ini ilegal.”“Benar, semurah apa pun ganja kering Anda kami tetap takkan membelinya tanpa izin tertulis dari Bate.”“Hem.” Aku cemberut meladeni penjaga di Gerbang Zuku, mereka menghadang dan tidak membiarkanku menjajakan benda-benda yang kubawa dari sarang bandit kemarin bahkan di luar tembok kota. “Terserah kalau kalian gak mau beli, tapi jangan menghalangi calon pelangganku juga dong, akh!”“Tidak bisa, Tuan!” Mereka berkeras. “Anda berkeliaran membawa barang-barang terlarang di kerajaan kita. Sebagai aparatur negara kami mana bisa membiarkannya begitu saja, bukan?”“Terus kalian mau apa?” tanyaku, membuka kendi datura dan menunjukkan isinya. “Lihat, barangku sudah diproses, tapi satu pun belum berhasil kujual … gak masalah. Orang-orang Rono dan Iqrus juga mengusirku sebelum datang kemari … kalau memang gak ada niat beli, ya sudah biarkan aku pergi.”Kusegel kendi datura tadi lalu kulempar ke keranjang.“Minggir!” sergahku, menarik kekang kuda kemudian melengos dari sana. “Jangan halangi jalan ….”*** “Sampai kapan kita mau pura-pura jadi penjual ganja?”Aku menoleh lalu senyum merespons tatapan heran Kubo.Ganja kering sama bubuk kecubung cuma iseng. Keinginan usil saja sebetulnya. Aku aslinya sedang melihat penampakan tembok baru dan cara hidup orang-orang Pluma. Mencari celah buat menanam pengaruh di negara ini, jika harus mengaku.“Sampai orang-orang yang mengikuti kita menunjukkan diri,” kataku, sontak memeluk pinggang Kubo dan mengentak kuda lari ke kota selanjutnya. “Ha!”Hari berikutnya ….“Mereka masih mengikuti kita.”“Ya.” Aku turun dari punggung Polka lantas menghampiri penjaga. “Hallo ….”Kota terakhir sebelum menyewa perahu dan menyeberang ke Yothe, Reni.“Tuan Penjaga, boleh kutanya apa nama dermaga terdekat dari sini sama apakah ada pendekar yang bisa kusewa buat mengawal perjalanan air di kota?”“Oh. Dermaga terdekat dari sini itu Morote, ikuti saja jalan besar ke barat daya setelah persimpangan dari Gerbang Selatan. Kalau soal pendekar ….” Penjaga di depanku garuk kepala. “Coba tanya ke orang serikat. Anda akan menemukan gedung dengan lambang tameng dan dua pedang menyilang jika mengikuti jalan ini sampai alun-alun.”“Ah, terima kasih ….”Setelah membayar dua puluh perunggu, aku dan Oukubo pun menuju gedung yang si penjaga maksud.“Yang ini?”“Huh.” Kubo mengepulkan asap tipis ke udara. “Tameng sama dua pedang menyilang di depannya, kurasa benar. Ini memang gedung yang kita cari.”“Ya, baiklah.” Aku turun dari punggung Polka. “Kalau begitu tunggu apa lagi ….”Di dalam Gedung Serikat.“Gak ada bangku, terus papan misi ditaruh di tengah. Orang sini gak suka leha-leha …,” simpulku, celingak-celinguk melihati sekitar, tepat sebelum mata ini tetiba tertarik pada kelompok beranggotakan empat laki-laki dan dua orang perempuan. “Hem, pindah ke kiriku, Kubo ….Aku baru tahu suku dari pedalaman Beardi berkeliaran di sekitar sini juga.”Sengaja kukatakan itu buat menarik perhatian kelompok tersebut. “Suku Soros,” kataku, cekak pinggang pada mereka. “Diriku kemari untuk bertemu Kalian.”“Kami belum pernah melanggar hukum atau melakukan tindak kriminal sebelum ini,” ucap seseorang dari kelompok itu, pria dengan ikat kepala kuning dan gada besar sama ornamen tulang berukir kepala banteng menggantung di pinggang. “Kurasa ada salah paham di antara kita.”“Benar, kau memang sudah salah paham.” Kuambil segenggam koin perak lalu menunjukkannya di depan mereka. “Aku mau menyewa kalian buat jadi pengawalku sampai ke Yothe ….”*** “Kau yakin mereka bisa diandalkan, Sayang?”Kuraih padudan yang hendak Oukubo isap lalu membuang abu sama sisa tembakaunya ke danau.“Kau sudah udut pas kita di Reni,” kataku, mengembalikan padudan tersebut. “Aku gak mau batuk-batuk di dekatmu terus gagal menikmati langit malam di atas perahu ini.”“Gak mau gagal menikmati langait, atau ….” Sang elf meraih tanganku lantas melingkarkannya ke pinggang terus bersandar padaku. “Gak mau kemesraan kita rusak gegara gagal tampil keren sebelahku?”“Dua-duanya.”“Huh.” Ia terkekeh pelan. “Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa orang-orang Soros bisa diandalkan?”Aku tak langsung menjawab, kubiarkan embus angin malam mengisi keheningan antara kami sebentar.“Kau lihat ikat kepala mereka, ‘kan, Sayang?” ucapku, menarik tubuhnya agar makin lekat padaku. “Benda itu bukti jika mereka telah melewati upacara kedewasaan dan dianggap matang secara usia.”Tangan kiri Oukubo menyentuh tanganku di pinggangnya.“Terus, kau juga lihat tali di bahu sama dada mereka, ‘kan?”“Gak kuperhatikan,” akunya, memutar-mutar padudan di depan muka.Kulanjut ceritaku. “Selain buat mengaitkan senjata, bagi orang-orang Soros tali ini ibarat cundrik di kita. Tanda kalau mereka sudah melewati serangkaian latihan hingga layak disebut pendekar.”“Jadi kau mau bilang orang-orang itu setingkat sama para pemuda yang baru selesai wajib militer?”“Tentu orang-orang Soros lebih baik …,” tambahku, yang sontak membuat sang elf menatap heran dengan tanda tanya mencuat. “Kau akan tahu jika memperhatikan gantungan tulang di pinggang mereka, Sayang.”“Aku gak paham.”“Suku Soros punya adat menggantung bagian tengkorak buruan terbesar mereka yang sudah dipahat dan diberi ukiran khusus di pinggang sebagai simbol ketangkasan,” terangku lantas berbalik, “benar, ‘kan?”Orang yang sejak beberapa saat lalu berdiri di belakang kami terbelalak kutembak begitu.“A-aku, aku tidak—”“Gak masalah!” selaku yang kemudian memberi dirinya penegasan, “toh, aku cuma mempekerjakan orang dengan kemampuan jelas. Itu kenyataan dan kalian memang layak dipanggil ahli ….”*** Sebelumnya, di Gedung Serikat Kota Reni.“Jujur saja, aku pernah disergap bandit sebelum sampai kemari ….” Ketika hendak merekrut orang-orang suku Soros. “Meski berhasil selamat, daganganku gak bisa kujual dan kami terus diikuti setelah dari Rono.”“Di mana kalian disergap?”“Dekat perbatasan.”Orang tadi, pria yang merespons celetukku sesaat lalu, menoleh kanan kiri. Ia dengan teman-temannya lalu kompak mengangguk, entah apa maksudnya.“Tolong jangan tersinggung,” ujar si pria kemudian, “tapi kami harus pastikan bila misi ini bukan jebakan atau hal-hal semacam itu. Tidak masalah, bukan?”“Aku pergi dari sarang bandit bersama tawanan mereka, jika itu yang membuatmu curiga.”Gak bohong. Aku dan Oukubo memang pergi dari sarang bandit kemarin bersama para tawanan mereka, tentu setelah membagikan jarahan selain selusin rol sutra sama benda-benda ilegal yang kuangkut di punggung Polka.Meski tanpa menyebut apa yang telah kulakukan di sana, jawaban segitu harusnya cukup.“Kami memang dengar kabar soal tawanan yang kabur dari gua bandit dengan kendi dan periuk beberapa hari lalu,” akunya, “apa itu adalah kalian?”“Aku gak bisa bilang aku salah satu dari mereka. Kami memang membawa beberapa barang pas pergi dari sana, tapi belum tentu juga kita membahas sarang bandit yang sama, ‘kan?”“Jarak Reni ke Yothe tidak jauh.” Raut pria di depanku berubah, jadi agak tegang. “Namun, sampai mencari pengawal hanya untuk pergi ke sana berarti masalah yang kalian hadapi bukanlah jarak, benar?”“Sudah kubilang aku diikuti ….”Jika mampu mencacah informasi hingga sanggup mengaitkanku dengan kabar tawanan yang lari bersama jarahan dari sarang bandit beberapa hari lalu, orang-orang Soros sudah terbukti awas.Dan. Menyewa mereka buat mengawalku ke Yothe memang pilihan terbaik ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 46 Perjalanan Bisnis

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Hoaaam ….”“Kau kelihatan kusut, apa tidurmu nyenyak—”“Gak.” Kugelengkan kepala tanpa gairah menanggapi Nazila Trira lantas balik topang dagu, buang waktu sebelum Oukubo memanggil. “Enggak ada masalah sama tidurku. Aku cuma lagi bosan, Nona.”“Oh.” Mulut Trira membulat, ia kemudian duduk lalu memeriksa berkas di mejanya sekilas. “Kulihat Kubo sama Stella di lobi, katanya dia lagi menyiapkan bekal buatmu ke Singkawa. Gak jadi sewa pengawal, tah?”Sekali lagi, aku menggeleng merespons Trira.“Perbatasan Pluma masih ketat,” tuturku, melihat beliau lesu. “Kalau bawa rombongan perizinannya bakal lama, belum lagi biaya ini itu, jadi mending pergi berdua biar cepat.”“Berdua?”“Sama Kubo.”“Eh, ya!” Trira tiba-tiba mundur dari meja lekas mengambil sesuatu dari laci di belakang meja Ranra. “Aku baru ingat, Serikat mengirim surat ….”Surat? Amplop coklat dengan stempel Neraca Padi. Namun, tak punya tanggal kirim dan alamat penerima. “Kurasa ini dari Kepala Serikat,” tebakku lantas mengantonginya, “terima kasih—ah, ya! Anda mau oleh-oleh apa pas kami pulang dari Singkawa, Nona?”“Oleh-oleh?” Nazila Trira menoleh dengan mata agak terpicing. “Tumben, pas pulang dari Zona Netral saja kau gak bawa apa-apa, ‘kan, Tuan Mi?” tutur beliau yang kini melipat tangan dan menghadap penuh heran ke arahku, “hari ini ada angin apa?”“Gak ada apa-apa, kok ….” Untuk ketiga kali, aku menggeleng lagi. “Cuma lagi ingin belikan sesua—”“Tuan!” panggil Oukubo dari arah pintu, menyelamatkanku dari Triara tepat waktu. “Bekal sudah siap.”Tanpa ba-bi-bu, diriku pun lekas mundur dari meja, memapak dirinya, serta undur diri dari Ruang Direktur dan Kepala Sisik Kayu tersebut semringah. Kurasa gak perlu kusebut sesenang apa diriku ketika itu ….*** “Stop!”“Aku, Mi, dari Sisik Kayu ….” Kutunjukkan pengenal kepada tentara di pos pemeriksaan sebelum memasuki wilayah Pluma, juga surat-surat lain dari Kepala Neraca Padi dan Kantor Muri Distrik Tenggara. “Tujuanku, Yothe di Singkawa.”Yothe, tempat di mana pabrik arang Serikat berada, satu dari sekian alibi agar aku bebas berkeliaran.Maksudku, dalam tanda petik, perjalanan bisnis menjadi kedok supaya diriku leluasa memeriksa situasi lapangan sebelum agenda bulan ini dilakukan. Sabotase distribusi mesiu yang awalnya mau musim depan, jika kalian lupa. Aliansi kadung menuduh Kara bermain api dengan niat menyergap aliran ekspedisi bubuk hitam dari Satu Mare itu, ‘kan, kemarin?Mereka tidak salah, tapi rencanaku berubah dan bukan menyergap pas waktu ekspedisi.“Totalnya tujuh ratus perunggu.”“Hah?” Aku melongo. “Tujuh ratus perunggu?” tanyaku, memastikan bila diriku tidak salah dengar. “Biaya lewat doang sampai semahal itu.”“Biar kata cuma lewat, tetap masuk wilayah, bukan?” timpal tentara yang meladeniku di pos pemeriksaan tersebut, “Tuan, ini jadi mahal karena Anda hanya berdua, dan tidak bawa bagasi lagi.”“Aku paham, tapi kenapa kalian gak pakai penyesuaian tarif?” keluhku yang lalu mengambil tujuh keping perak, “setelah dari sini aku juga tetap harus bayar tol pas masuk kota, ‘kan?”“Kami mengerti ketidakpuasan Anda …,” ujar si tentara, tersenyum menerima uangku lalu menyerahkan secuir izin masuk. “Namun, kebijakan Pu Pluma bukan sesuatu yang bisa kita utak-atik. Kami minta maaf.”“Hah.” Sebal, tapi tidak bisa apa-apa. “Sudahlah. Kurasa menulis keluhan buat Pu pun cuma buang-buang waktu,” gerutuku sambil lalu dan menuntun kekang si Polka biar cepat-cepat keluar dari sana ….*** “Aku gak akan menyalakan semua kabin atau memforsir pegawai kita macam tahun lalu lagi …,” ujar Trira, menenangkanku saat pamitan di gerbang depan Sisik Kayu bersama Oukubo. “Kau tenang saja, Tuan Mi.”“Terima kasih, Nona.” Aku tersenyum menanggapi beliau. “Saya percaya Anda sudah lebih bijak daripada saat itu. Ranra, kau yang bertanggung jawab penuh selama aku pergi.”“Saya mengerti.”“Stella ….” Aku tak tahu harus berpesan apa pada Tupa Unit Tulip yang kebagian jadi pengelola dapur dan penginapan tersebut. “Kau …, lakukan saja apa yang harus kaulakukan, ya, paham?”“Siap, Bos!”Bersama Oukubo, aku bertolak dari Markas Sisik Kayu dengan diantar senyum juga lambaian tangan oleh semua orang. Menunggangi Polka, kudaku, kami berdua hendak melakukan perjalanan bisnis ke Singkawa sekaligus mau melihat penampakan pabrik arang Serikat di sana. Begitu bunyi rencananya.Namun ….“Kita baru masuk Pluma,” keluhku sebelum lantas menengadah di punggung kuda dan meradang, “kenapa malah sudah kena sergap bandit segala, aaakh …!”“Hem.” Oukubo, dengan begitu santainya, bersandar ke badanku lantas berucap, “Bandit biasanya terlibat bisnis ilegal, kau tahu ….” Ia ambil padudan lalu mengayun-ayunkannya, menunjuki topeng orang-orang yang lagi menghadang kami satu per satu. “Di sarang mereka, pasti banyak opium, Sayang.”Dengar waniaku bilang opium, aku seketika mendelik.“Kau mau kita—”“Ya!” selanya yang kemudian memerintahku semangat, “tangkap terus jarah isi sarang merekaaa ….”Entah dapat dari mana, tapi idenya itu boleh juga. Aku jadi punya kesempatan buat melepas kesal sehabis kena palak di pos pemeriksaan sebelum ini ….“Mwehehe.”*** “Sudah semua, ‘kan?”“Su-sudah, sudah, Tuan.”“Bagus!” Aku cekak pinggang, rampung menguras sarang bandit yang kena apes gegara menyergapku dan Kubo sore tadi. “Hahaha. Sayang, ada barang mahal gak di situ?”“Hem ….” Sang elf geleng kepala pas menolehku, tanda bila tidak ada benda berharga di tumpukan harta bandit yang lagi kubariskan depan gua ini. “Selain ganja kering sama biji datura, barang berharganya cuma sutra-sutra itu, lihat ….”Kulihat arah yang ia tunjuk.“Sudah kupisahkan semua, Sayang. Mereka miskin.”“Hem.” Kulipat tangan depan dada, melirik para bandit, kemudian jalan bolak-balik di depan mereka. “Kita rugi dong, ya?” heranku, “gak dapat apa-apa banget sama kebagian capek tenaga doang—”“Gak juga, Sayang,” sahut Kubo yang lalu menerangkan, “mereka cuma bandit kecil. Kita kebilang untung tahu, sebab di gua ini ada sepeti gulungan sutra, sekendi biji datura, sama dua keranjang ganja kering.”Aku berhenti mondar-mandir.“Yah. Kalau kau bilang gitu aku jadi gak bisa protes dong …,” rajukku lekas kembali padanya, “terus mereka sekarang mau kita apakan, Sayang?”Mata sang elf menyapu para bandit selirik sebelum memilih keputusan yang bikin gemetar.“Bunuh saja ….”Aku tidak berkomentar.Masa lalu Oukubo dengan orang-orang dari dunia gelap memang tidak bagus, kurasa. Jadi, kutarik seluruh senjata bandit-bandit itu pakai Benang Pandora terus kulempar balik pada mereka. Lung!Selanjutnya kurapal juga kutuk jerangkong di depan gua tersebut ….“Mereka orang-orang kita sekarang.”“Aku baru tahu kau seorang praktisi sihir hitam,” celetuk Oukubo, tatkala bandit-bandit tadi kini berlutut dalam wujud kerangka hidup di hadapan kami.Yang, spontan kusahuti pakai lirik geli. “Sihir berwarna itu gak ada, Kubo. Hitam putih, tergantung sudut mana kita melihatnya.”“Aku bukan sedang menghakimimu, kok,” terangnya, “gak perlu menjelaskan apa pun padaku.”“Baiklah.” Kuangkat tangan kiri ke arah para jerangkong di hadapan kami. “Pergi. Pluma punya tiga markas besar militer, temukan dan ledakkan gudang-gudang senjata mereka sama diri kalian di sana!”Aku tidak berniat memelihara monster-monster amatir ini. Memusnahkan kutuk mereka setelah sebuah tugas sudah merupakan langkah terjauhku ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 45 Rasa dari Candu

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ada kabar baik buatkukah?”“Kau pernah isap tembakau?” tanyaku, menanggapi mata penasaran Oukubo spontan, waktu pintu kereta kubuka selesai dari Kantor Serikat Neraca Padi. “Kukira padudan dari gading gajah atau cula badak bakal jadi cendera mata bagus.”“Aku bukan penikmat candu,” akunya, meraih kerah jubah lantas mendudukkanku dalam kereta. “Cuma, jika kau mau diriku jadi salah satunya maka a—”“Hanya tanya,” selaku, mengakhiri topik absurd tersebut lalu mengetuk jendela kereta, isyarat pada kusir agar jalan. “Kita sama-sama bukan pecandu, kenapa harus mengubah itu?”Oukubo membuka lengan kemudian merebah padaku.“Aku sudah menangkap ide aneh di kepalamu,” tuturnya dengan senyum manja, “akui saja, kau mau lihat tanganku memegang pipa dan mulutku meniup asap, ‘kan?”Binggo! Ia menebak bayangan di kepala yang kudapat setelah melihat Ketua di kantornya sekian saat lalu.“Kurasa ….” Aku bergeser buat bersandar ke sudut gerbong. “Memang mustahil menyembunyikan pikiran liarku darimu, ya, Kubo?” “Panggil aku sayang,” pinta sang elf tiba-tiba, “aku selangkah di depan Rere soal memahamimu ….”Entah harus senang atau bagaimana, tapi wanita yang lagi bersandar padaku ini memang agak lain.“Belikan aku padudan atau pipa candu,” sambung Oukubo, “terserah mana saja, dan kau akan lihat diriku yang lebih menggoda ketimbang isi kepala—”“Sudah kubilang tadi cuma tanya, Kubo. Mana mau aku kau jadi pecandu ….”Begitu kataku padanya di kereta sepulang dari kantor serikat hari itu, tanggal 16 Bulan Satu 353 Mirandi, penuh keyakinan nan teguh. Tidak ingin ia mengisap candu. Namun, dasarnya mulut lelaki, selang sekian hari diriku malah mengukirkannya sebatang padudan giok serta membelikan sekotak tembakau.“Hahaha!” Hingga ia terbahak memegangi perut. “Kan, kau kalah sama keinginan nakalmu ….”Ya. Aku takkan mengelak. Rasa penasaran memang telak mengalahkanku saat itu.*** “Mengisap candu gak bagus buat paru-paru—”“Terus kenapa mengukirkan padudan giok susu ini sama membelikanku sekotak tembakau iris kemarin?”Aku tidak bisa menjawab, balasannya tepat sasaran.“Jangan cemas begitu,” ucap Kubo, selesai mengisi padudan dan hendak menyalakannya. “Aku tahu batas, kok, Sayang. Janji, cuma isap sedikit dan cuma di depanmu.”“Gak usah bilang janji,” balasku, topang dagu lalu memperhatikan dirinya. “Kita kan enggak tahu ke depan bakal gimana habis isapan perta—um … uhuk! Uhuk!”“Payah!” komentarnya, sesaat asap hasil cekokan dari mulut Oukubo kumuntahkan semua. “Kau memang gak bakat jadi pecandu, huh.”Sialan. Aku gak siap disosor kayak barusan.“Kubilang aku bukan ….” Aku berhenti bela diri, ketika itu mataku lebih ingin pasrah menikmati kepiawaian wanita di depanku dalam mengisap candu. “Kau kelihatan lebih lihai daripada bayangan di kepalaku, Kubo. Benar belum pernah—”“Yang kuberikan padamu tadi, itu pengalaman pertama,” selanya lalu mendekat padaku, “mau lagi?”Sontak aku menggeleng, enggan dicekoki asap macam sebelumnya.“Kenapa?” Kubo memegang lenganku. “Dari mulutku, loh, ini. Masa gak mau—”“Ogah, ah!” sergahku, berusaha menjaga jarak biar si wanita jangan sampai macam-macam. “Kau sendiri yang bilang aku gak ada bakat, ‘kan?”“Ya ilah.” Ia menjuling. “Lupakan asapnya, ini gaya ciuman baru kita.”“Idih!” Mataku mendelik dan kepalaku memperlebar jarak kami. “Orang gak mau, ya, gak mauuu ….”Aku berontak sekuat tenaga. Sayang, hal itu justru membuat sang elf makin semangat menggodaku.Bahkan perlawanan bukti keenggananku macam tidak berarti tatkala bibirnya ingin meniupkan asap yang baru ia isap sambil tersenyum padaku sampai ….“Kurasa aku datang di waktu yang salah.” Seseorang, Nazila Trira, menegur dan menjeda kegiatan kami di halaman depan tersebut. “Kalian lagi apa?”“Penyelamatkuuu!” panggilku semringah, lekas menyambut dan mempersilakan sang putri duduk. “Trira, Anda menyelamatkanku. Silakan-silakan … Kubo, hidangkan teh sama camilan. Sana.”Tanpa ekspresi, elf yang sesaat lalu asyik menggodaku undur diri lantas kembali bersama sepoci teh dan camilan di atas nampan.“Nona—”“Jangan pergi,” ucap Trira, menahan Oukubo saat dirinya hendak memberi kami privasi. “Aku kemari buat memberi tahu majikanmu soal berita dari perbatasan, jadi gak bakal lama.”Kubo lanjut duduk sebelahku setelah diriku mengangguk padanya, setuju.“Kenapa Anda yakin Aliansi sudah kalah, Trira?” tanyaku, menyambung topik yang sempat terjeda waktu sang elf datang. “Kita sama-sama tahu Bravaria cuma bertahan di Perang Banori ini, bukan?”“Berhenti menguji kesabaranku, Ure. Kau tahu persis omonganku terbukti di kampanye ini, bahkan sampai Kara nanti naik panggung pun mereka akan tetap kalah.”Aku takkan menyangkal, Aliansi memang bakal terus kalah bagaimana pun cara mereka mengatur pasukan untuk menggempur Bravaria dari depan. Begitulah pengaturan pada rencanaku.Sebab seandainya negara Bura Julius itu lenyap, maka Kara-lah musuh enam negara selanjutnya.Kecuali ….“Bila Matilda Timur runtuh seperti Barat dan Tengah.” Kuambil dekret yang telah kusiapkan untuk Nazila Trira dan menaruhnya di hadapan beliau. “Bisakah Anda membawa Kara ke masa keemasannya, Trira?”“Apa maksudmu, Ure?”“Seperti yang Anda tahu, mustahil buat memastikan jika diriku masih akan tetap hidup setelah pahlawan zaman ini kembali ke benua utama, Trira,” akuku, membuka dekret tersebut. “Karena itu pulalah harus ada yang menggantikanku sebagai Pu Kara—tentu ini skenario terburuk di rencana kita ….”Selain delik heran saat membaca dekret tersebut, aku sama sekali tak mampu menerka wajah putri Weka Mapu Varujin itu. Apakah dirinya senang, kecewa, atau apa?Tentu, belasan tanda tanya memang membidikku seketika setelahnya. Namun, tidak satu pun benar-benar menyuarakan isi hati gadis yang berhasil menawan hatiku sejak masih berpangkat yoram di Mantel Putih ini. Padahal diriku berharap, hahaha.*** “Kau yakin gadis itu sanggup memenangkan hati orang-orang Kara?”Aku tersenyum menanggapi pertanyaan Oukubo, sesaat Nazila Trira pergi.“Gak,” akuku, terus terang. “Kara mungkin akan langsung pecah pas aku kalah di perang besar nanti, Kubo. Cuma, kita juga enggak bisa nilai orang dari penampilan luar doang, ‘kan?”Elf sebelahku menyalakan padudannya lagi.“Poin itu aku setuju,” ujar sang elf, tersenyum mengisap tembakau. “Siapa sangka seleramu wanita model begini, ‘kan, Sayang—huh.”“Jangan kau tiup asapnya ke mukaku!” Kuempas asap manis dari mulut Oukubo kembali pada peniupnya sekali kibas. “Atau—”“Atau apa?”“Tembakau gak bagus buat paru-paru, Kubo.” Kudorong pipi yang ia asongkan buat menantangku. “Jangan keseringan udut di depanku.”“Hah?” Matanya kini membulat. “Apa barusan, u … udud, udud?”“Udut,” ulangku yang lalu menarik padudan dari tangan sang elf pakai Benang Pandora, “itu kata lain buat ganti mengisap rokok. Rokok sendiri sebutan tembakau yang digulung sama daun nipah.”“Tembakauku kan gak digulung sama daun nipah?”“Sama saja.” Kuketukkan padudan miliknya ke pinggir meja sekali. Tuk! “Toh, asapnya kau isap juga.”“Hem.” Oukubo topang dagu melihatku. “Terus mau bagaimana?”“Ya, jangan sering-sering.” Kukembalikan padudannya. “Aku gak mau kau kecanduan udut ….”Perang melawan Matilda makin dekat. Repot kalau wanitaku sampai menghambur-hamburkan uang gegara kecanduan ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 44 Lewat Serikat

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kerja bagus, Tuan Mi.”“Hem.” Kubalas jempol Trira pakai delikan singkat pagi ini. Mau bagaimana, pujian beliau pun kutanggapi datar gegara suasana hati gak karuan sehabis dibangunkan paksa.Olehnya. Aku, yang semalam menginap di kantor sama Oukubo, ditanyai ini itu saat masih antara setengah sadar dan tidak. Ketika dalam tahap mengumpulkan nyawa sebelum siap menjalani hari.Bahkan, aku tidak tau apa saja yang ‘lah putri Weka Mapu Varujin tersebut tanyakan, pokoknya jawabanku pas itu cuma ya atau hem—sekadar konfirmasi acak dan senada.Kecuali pertanyaan terakhir. Sebab, ia sanggup membangunkanku seketika. “Gak, aku menolak kalau harus membuka distrik lain buat pendatang sebelum perang melawan Bravaria selesai,” tegasku, sadar pertanyaan usil Trira punya potensi mengganggu rencana besar Kara. “Anda dapat ide ini dari siapa, Nona?”“Cuma ide acak,” kilahnya, menghindariku dan kembali ke meja direktur. “Aku hanya berpikir, kenapa kita tidak meluaskan jangkauan usaha dengan menambah populasi di Kara.”“Hah.” Kuhela napas dengar pengakuan tersebut. “Aku gak mau bahas hal di luar drama kita di Sisik Kayu,” ujarku lantas undur diri, “terima kasih sudah membangunkanku, Nona. Biar kubawa Kubo pulang dulu ….”Siangnya, waktu diriku kembali usai membersihkan diri di rumah.“Kau masih gak mau—”“Gak!” potongku, tahu ke mana arah obrolan Trira. “Kalau mau bahas distrik atau kebijakan Sabila, datang saja ke rumahku lain kali. Aku cuma mau membahas urusan arang di Sisik Kayu, titik.”“Kau benar-benar kaku, Tuan Mi,” komentar beliau, “padahal di sini gak ada siapa-siapa selain kau, aku, sama Ranra di meja sekretaris sana. Apa kita enggak bisa—”“Gak.”“Aku bosan bahas bisnis terus ….”Padahal kami baru bicara lagi setelah lama tak bertemu, tapi ia bilang bosan.“Aneh.”“Kau bilang apa?”“Aneh,” ulangku, “kita baru bicara lagi kemarin dan hari ini, tetapi Anda sudah bilang bosan bahas bisnis.”“Ya ….” Trira melipat tangan. “Gak tahu, pokoknya aku bosan saja.”Kulirik Ranra di meja sebelah.“Apa kegiatan Nona Nima selama aku absen, Ra?”Ranra, Sekretaris Sisik Kayu, menjeda kegiatan lalu melihat meja direktur sekilas sebelum membalasku.“Beliau cuma bengong, baca buku, sama main-main di sekitaran pabrik.”“Aku gak cuma main-main, loh, ya!” timpal Trira, membela diri. “Aku keliling buat menginspeksi kegiatan pabrik, restoran, sama penginapan kita dua hari sekali. Terus, buku-buku yang kubaca juga buat nambah wawasan soal tata kelola usaha dan bisnis.”Aku malah ragu dengar pengakuan beliau, jujur.“Baiklah,” kataku lekas tanya, “terus kenapa berkas kemarin gak Anda apa-apakan, Nona?”“I …, itu, itu kan tugasmu sebagai CEO, Tuan Mi!”“Hah.” Sekali lagi, diriku pun hela napas dengar pembelaan sang Direktur Sisik Kayu. “Ya, ya. Berhubung pekerjaanku banyak, jadi tolong jangan membahas hal di luar i—”Tok-tok! Ketukan di pintu menjeda kami. Ketukan yang sempat membuatku dan Trira silih lirik sebelum beliau bertanya siapa di luar.“Saya, Mele, dari bagian penyelia.”“Masuk.”“Direktur, CEO, Nyona, Sekretaris ….” Seorang wanita, hangat menyapa semua orang di ruangan sebelum mendekat dan menghadap ke meja direktur. Dari apa yang kudengar, ia hendak melaporkan kenaikan jumlah permintaan bubuk arang oleh Pangkalan Luar Sisik Kayu untuk wilayah di luar Sabila.Juga, pesan Serikat yang mulai agak mengganggu. “… begitu, Nona. Kurir-kurir kita mengadu orang-orang sana terus minta tambahan kuota bubuk arang di tiap pengiriman.”Aku menggeleng pas Trira melihatku.“Baik, laporanmu sudah kuterima. Biar kuurus ini sendiri!” ucap beliau pada sang penyelia, “lain kali kalau mereka minta tambahan kuota lagi bilang sama kurir-kurir kita gak usah digubris dan abaikan saja, Serikat harus membuat permohonan tertulis jika benar mereka mau kuota pengiriman kita naik.”Dan, sesaat penyelia tersebut undur diri ia pun cekak pinggang di depanku.“Kau dengar semuanya, ‘kan?”“Ya.”“Kau juga tahu harus apa, ‘kan?”“Ya—tidak!”“Apa?!”“Nona—ehem.” Kurapikan dudukku, bersiap ‘tuk mengemukakan alasan depan sang direktur. “Perjanjian dengan serikat hanya menstabilkan produksi pabrik sampai tahun 356 Mirandi. Seperti yang Anda bilang tadi, kita gak wajib meladeni permintaan dadakan mereka apalagi tanpa ada permohonan tertulis.” “Aku setuju,” aku beliau, “maksudku, bisakah kau menemui Serikat dan mengatakan itu di depan mereka langsung, Tuan Mi. Kurasa tetap tidak sopan mengabaikan seseorang, apalagi dia kolega bisnis kita, ‘kan?”“Oh.” Mulutku membulat. “Bilang dong ….”Hari itu, ditemani Oukubo, aku pun mendatangi serikat. Namun, bukan untuk membahas penambahan kuota bubuk arang atau hal terkait sesuai permintaan Trira. Melainkan ….“Kudengar Serikat dapat suntikan dana dari Aliansi, Ketua. Aku kemari buat tanya apakah sisik kayuku juga bakal ambil bagian dalam penggolangan dana ini atau tidak.”“Kau benar-benar sesuatu, Tuan Mi,” ujar Ketua Serikat Neraca Padi, menyalakan pipa tembakau di tangan lalu mengisapnya perlahan. “Huh …, tadinya dana ini mau kugolangkan sendiri, tapi karena dirimu tahu kurasa kita harus membuat sedikit pengaturan.”“Kurasa juga begitu.” Kulipat tanganku. “Kuyakin kepala regu dagang lain belum ada yang tahu, jadi mari tutup hal ini di antara kita berdua saja. Bagaimana?”Ia terkekeh pelan.“Kau lebih mirip ketua sindikat ketimbang kepala regu dagang biasa,” akunya, kembali mengisap ujung pipa lantas mengembuskan asap putih ke samping kiri. “Cuma, aku suka. Sebab dengan begini kita lebih bebas bertukar pendapat tanpa perlu berhati-hati.”“Lewatkan basa-basinya, Ketua.” Kutaruh sekeping platinum di mejanya. “Aku malas duduk lama di depan mejamu yang penuh asap. Terus juga, seseorang menungguku di kereta.”“Aku tidak bisa menolong kalau soal mejaku yang berasap,” balasnya enteng, “nikmat tembakau belum sanggup kulawan, Tuan Mi. Cuma, aku mengerti jika istrimu sedang menunggu di luar sana ….”Ia ambil platinumku lantas memeriksanya saksama.“Koin miria.” Ketua melihatku dan platinum tersebut bergantian. “Kurasa kita belum sedekat itu sampai kau memberiku uang termahal di benua ini,” ucapnya yang lantas menaruh koinku di meja, “terlepas dari hubungan sebagai mitra kerja, aku tidak bisa membantumu di luar kemampuanku.”“Aku tahu. Makanya aku kemari hanya untuk bertanya, gak lebih.”“Kalau itu aku bisa bantu.” Ia sambar platinum tadi dan buru-buru mengantonginya. “Namun, seperti yang kubilang, kita harus membuat sedikit pengaturan. Dana dari Aliansi ini untuk ….”Sesuai dugaan, Aliansi hendak menanam mata-mata lewat serikat. Suntikan dana hanyalah kedok. Aslinya mereka membayar Ketua supaya suruhan tetangga bisa masuk wilayahku tanpa dicurigai. Hem.“Jadi maksud Anda mereka sudah punya kandidat buat mengawasi proyek ini?”“Benar!” Ketua semringah. “Kita cuma perlu mengurus izin usaha, merekrut pekerja, terus menerima dua puluh persen dari keuntungan bisnis-bisnis mereka.”“Masalahnya usaha yang Aliansi mau kita tangani itu tempat hiburan, Ketua. Anda yakin jika Kantor Muri Distrik bakal memberi izin?”“Jangan khawatir ….” Entah kenapa, tapi pria di depanku kelihatan amat percaya diri. “Selama kita tahu keinginan pejabat-pejabat korup di sana, semua bisa diatur. Hahaha ….”Jujur, aku kesal dengar para pejabat Kantor Muri dikomentari korup.Meski lagi berperan sebagai kepala regu dagang dan tidak punya hubungan khusus dengan pemerintah selain sebagai warga negara, tapi pas dengar orang-orangku dicap korup rasanya tetap menyebalkan.Namun, gegara konsekuensi peran, diriku juga gak bisa berbuat apa-apa selain ikut tertawa di meja penuh asap tersebut sialannya.***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 43 Hadiah Balasan

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Serius mau melepaskan mereka?”Kutarik pinggul Oukubo yang kala itu tengah kupangku supaya lebih lekat padaku.“Perasaanku saja atau gerbong ini memang tiba-tiba jadi sempit, Kubo?” tanyaku menggodanya, coba mengalihkan topik lewat guyon agar fokus sang elf berubah. “Kau juga—”Aku langsung berhenti tatkala telunjuk lentiknya menempel di bibirku.“Kurasa aku gak perlu bilang sesakral apa urusan berat badan wanita, ‘kan, Tuan?” tuturnya lembut, tetapi bikin merinding siapa pun yang dengar. “Lihat mataku saat bica—”“Bura.” Beruntung, panggilan dari luar kereta menyelamatkanku. “Sesuai perintah, tahanan dilepas secara terpisah dan ….”Agenda di Distrik Selatan terpenuhi. Hadiah dari tetangga dekat Kara sudah kuterima dan telah kubalas sebaik yang kubisa. Meski tak seheboh kejadian di kediaman Weka Mapu Varujin, mengembalikan mata-mata mereka tanpa cedera kurasa cukup untuk menjadi sebuah peringatan.Macam yang dibilang tahanan di Ruang Bawah Tanah Kantor Muri tadi pagi ….“Jangan terlalu kejam?”“Ya, jangan terlalu kejam,” ulang tahanan di depanku, menekankan hasil diskusi kami. “Caramu merapal penyembuh sudah jahat. Sekarang kau mau mengembalikan mereka buat jadi ‘hadiah’ atas nama Kara, itu keterlaluan namanya.”“Dia benar!” dukung orang-orang di sel sebelah, “kalian bajingan yang tidak punya hati, mengembalikan kami ke Pluma sama saja dengan menyuruh mati tanpa kehormatan.”“Itu intinya,” jawabku semringah, menanggapi para tahanan dengan senyum dan tangan terbuka. “Aku tahu mereka mengirimmu juga teman-temanmu untuk menyusup lalu membuat kacau Kara, paling gak memata-matai, jika kalian kembali siapa pun dalang penyelundupan ini akan lebih waspada, bukan?”“Argh!” Salah seorang tahanan menjerit. “Kenapa kepala orang-orang Kara sekeras batu,” keluhnya sambil meratap di sela-sela jeruji pembatas sel, “sudah kubilang aku itu pembuat senjata, kami kabur dari Pluma karena penguasa mereka tidak membayar upah—”“Berhenti membela diri, Wiliam!” bentak tahanan sebelahnya, “dia tidak pernah menghitung kita sebagai ancaman. Sebaliknya, orang ini menganggap mata-mata hanyalah sebagai pengisi kantong uang.”“Aku suka orang cerdas,” timpalku, makin senang seseorang mengerti caraku. “Kara belum bisa menjalin hubungan dagang dengan negara lain tanpa mengandalkan serikat ataupun pihak ketiga, kuyakin kalian pun paham sesulit dan seserius apa situasi itu buat kami. Jadi—”“Aku tidak menemukan kaitan dengan praktik melepas mata-mata di perbatasan ini, maaf saja.”“Bisa kuterima.” Kuanggukkan kepala pelan dua kali, paham sudut pandang tahanan satu itu. “Langkah ini memang sulit diterima. Toh, hubungannya pun gak langsung. Terus juga, selain berisiko, dia bisa membuat kami disalahpahami sebagai ceroboh, pengecut lemah, atau enggak tegas dalam bersikap.”“Lantas kenapa tetap kalian lakukan?”“Oh.” Mulutku membulat. “Jadi kau lebih suka mati di penjara setelah tangan dan kakimu patah?”“Oi-oi-oi!” Tahanan-tahanan lain di sel sebelah mengerubungi pria tersebut. “Kau jangan membuat situasi kita malah jadi buruk—”“Benar, aku masih bisa memohon kesempatan lain jika tetap hidup setelah kita keluar dari sini.”“Lihat.” Kulipat tangan puas. “Teman-temanmu saja gak sependapat, itu jadi bukti bahwa langkahku jauh akan lebih awet ketimbang mengintrogasi kalian sia-sia. Jadi, simpan tenagamu. Ketimbang mengorekku, bukankah memikirkan cara supaya tetap selamat setelah kulepas di perbatasan nanti masih jauh lebih penting.”“Apa untungnya membiarkanku hidup?” tanya si tahanan, abai pada orang-orang yang mengerubunginya.Pertanyaan paling berani, menurutku, juga yang paling pintar di ruang bawah tanah ketika itu.Sebab, “Bukan cuma jadi bahan laporan, keterangan dariku memang menaikkan peluang hidupmu setelah kembali ke Pluma jika pertanyaan barusan kuladeni. Hem. Sayang kau bekerja untuk negara lain.”“Jadi membiarkanku hidup juga jadi dilema, ‘kan?”“Gak juga,” akuku terus terang, “tapi kalau kuberi tahu, kalian gak bakal bawa apa-apa pas menyusup lagi kemari. Rugi.” Aku menggeleng, kecewa. “Bahkan, sekarang saja kau sudah membuatku rugi jika teman-temanmu mengerti obrolan kita.”“Tenang saja, mereka tidak dibutuhkan jika aku hidup ….”Jawaban yang menarik, kuakui.Dengan melepaskan mereka terpisah, aku membantunya mengamankan peluang hidup setelah ia gagal sebagai mata-mata. Sekaligus memastikan bahwa benar-benar takkan ada yang paham obrolan kami dan dialah satu-satunya peringatan dari Kara buat Pluma.Tidak buruk, tetapi masih berisiko lantaran belum menjamin takkan ada yang berani mendahului ataupun melaporkan dirinya dengan tuduhan ‘agen ganda’ pada atasan mereka.Namun, siapa peduli.Bukan masalahku ….*** “Kau sudah lihat grafik yang dikirim Serikat tadi pagi?”Lewat tengah hari di ruanganku, Lantai Dua Kantor Utama Sisik Kayu. Sesuai dugaan. Diriku langsung kena todong setumpuk laporan tambah sembur keluh waktu kembali dari Distrik Selatan, padahal aku sama sekali belum memeriksa isi laporan soal pabrik ataupun urusan dengan Serikat mulai awal produksi tahun ini sampai hari kemarin. Jujur. Perhatianku terkuras oleh surat-surat dari perbatasan, divisi intelijen, sama seabrek dokumen yang dilampirkan Jambu bareng laporan-laporan tentang perkembangan Taria. Jadi meski jawaban pertanyaan Trira hanya bentuk konfirmasi, bagiku nan tidak tahu apa-apa ini bobotnya tetap sangat berat.“Belum.”“Kenapa?!” sergah beliau, mengepalkan tangan sambil cekak setengah pinggang dengan hawa dominasi yang kuat. “Kau itu CEO, kepala pelaksana kegiatan lapangan perusahaan kita ….”Aku tidak bisa berkutik. Semua yang wanita di depanku bilang benar, keluh maupun gugatannya mustahil kuhindari sebab diriku memang mengabaikan Sisik Kayu seminggu ini.“Diriku minta maaf, Nona …,” kataku, pasrah serta sadar diri. “Anda benar, aku bersalah karena melalaikan tanggung jawab. Tidak ada bantahan.”“Bagus. Sekarang kau tahu harus apa, bukan?”Kulirik Oukubo di sebelah sebelum lanjut meladeni sang direktur.“Tidak,” akuku, terus terang. “Bagaimana aku tahu harus berbuat apa sebelum membaca laporan-laporan di depan Anda ini, Nona Direktur?”“Terus kenapa belum kau lakukan, hah?”“An—” Kalimatku terhenti, sadar bahwa meladeni Trira takkan ada gunanya. “Baik, tolong beri waktu ….”Selanjutnya, diriku pun mengambil lembur hari itu. Kubaca semua laporan dari Ranra kemudian mengatur rencana buat memuaskan keinginan Trira yang ia tumpahkan pas melihatku di meja kepala perusahaan tadi siang. Tidak ada keluhan, semua ini memang konsekuensi atas perbuatanku sendiri.Kasarnya, suruh siapa gak bisa atur waktu sama membagi prioritas.“Kenapa hasil tulisanmu lebih tebal ketimbang laporan-laporan ini, Tuan?” tanya Oukubo pas pekerjaanku selesai, ia sigap membuka kursi lalu duduk di pahaku—tumpang kaki seperti biasa.Lewat tindakan tersebut, sang elf telah mengklaim balik diriku selepas terjerat oleh tuntutan tugas sebagai pemangku jabatan Kepala Pelaksana Kegiatan Harian Sisik Kayu. Sikap yang juga memang kuharapkan dari wanita-wanitaku, jujur saja.Diriku menyukai itu. Sangat.Sebab egoku sebagai lelakinya terpenuhi.Namun, soal pertanyaan tadi, aku tidak langsung menjawab. “Kubo, kerjaanku baru beres, Sayang.”“Gak mau tahu!” timpalnya yang langsung merebah ke tubuhku, “apa diriku gak jadi pelipur lelahmukah?”Di posisi capek macam ini, jujur keberadaannya tidak terlalu signifikan. Meski ia asongkan diri segera demi diriku malam itu, sudut bibirku nyatanya hanya terangkat sedikit. Entah harus kujelaskan bagaimana ….“Sini ….” Kupangku dirinya lantas kubawa ia pindah ke sofa. “Kita menginap di sini malam ini, aku kepalang kantuk buat jalan pulang, Kubo. Gak apa-apa, ‘kan?”Ketika tubuhnya kubaringkan, Oukubo tidak bilang apa-apa. Sang elf hanya menatap sayu sampai ia selesai kuselimuti pakai jubah kami ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 42 Satu Cara dan Lainnya....

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Gak bisa kupercaya ….”Tanggal 15 Bulan Satu, 353 Mirandi. Kini aku tahu kenapa Aliansi mau repot bayar orang guna menyebar rumor lantas mengirim utusan untuk membacakan putusan kemarin sehabis baca surat balasan dari Jambu, Yoram Kepala Angkatan Perang Kara, di kereta menuju Distrik Selatan.Sehari pascapembacaan putusan sepihak Aliansi di Kantor Muri Distrik Tenggara Sabila.“Hahaha!” Tawaku terus pecah tiap kali baca laporan tersebut. “Hahaha, aku gak salah baca, ‘kan—Kubo, beneran mereka bilang senapan-senapan kita pernah mau dirampok pas dikirim ke Taria?”Oukubo, yang kala itu rebahan di depanku, sejenak tersenyum remeh. Ia mengambil kertas dari tanganku, membaca, kemudian mengembalikannya.“Benar,” ucapnya agak kedengar malas, “mere—”“Hahaha!” Tawaku kembali pecah. “Setelah bisnis kotor di Purtara sama Mapute gagal, mereka mau cuci tangan dan melimpahkan kesalahan pada kita,” simpulku, membakar surat Jambu tadi lalu melemparnya ke luar jendela. “Haha, haha, haduh ….”Peka suasana hatiku berubah, Kubo selanjutnya bangkit lekas pindah duduk ke sebelahku. “Mereka takut pada kita,” ujarnya, “wilayah sama militer Kara lebih kuat daripada gabungan tujuh negara di Aliansi. Aku yakin langkah ini juga pilihan terakhir gegara gak punya cara lagi, Tuan.”“Mungkin.” Kubuka lengan supaya ia leluasa merebah ke tubuhku. “Bentar, aku munduran biar enak … taktik kemarin rada remeh,” lanjutku, menyambung topik soal rencana Aliansi. “Ketimbang nyergap terus gagal, mereka aslinya bisa pesan senjata lewat serikat. Kalau boleh kubilang—”“Aliansi gak sekaya kita …,” timpal Oukubo, “apalagi mereka masih ada di bawah bayang-bayang Bravaria. Jika ingat itu, kurasa menyewa bandit memang sudah langkah terbaik.”“Ya, tapi hasilnya malah bikin malu, ‘kan?”“Itu karena gagal saja.” Kubo meraih lengan kiriku lantas menyulamkan Jari kami dan melingkarkan sambil mendekapnya di pinggang. “Kalau mereka berhasil, kita sudah rugi besar sekarang.”“Hem.” Aku menjuling singkat. “Kalaupun berhasil Mata Satu sama para perompak akan memburu mereka sebelum berhasil keluar dari Mapute. Saat itu, kerugian Aliansi bakal jauh lebih besar daripada kita.”“Tuan, kau pernah bilang angkatan perang kita gak boleh terlalu dipercaya ….” Kubo menatapku, kerling matanya memberiku tanda tanya. “Karena senapan-senapan baru ini rahasia tingkat tinggi, bahkan cuma segelintir yang tahu, apa mungkin mereka—”“Bisa jadi,” selaku, buang muka terus melihat pemandangan di luar. “Alasan Jambu kutaruh di Taria juga gegara itu, Kubo ….”Panji Gorgon ada sebagai bukti pengkhianatanku terhadap Mantel Putih di masa lalu, jadi miris sebetulnya karena mereka menjadi militer utama negara di atas ketidaksetiaan tersebut. Kami terang-terangan membelot dari Bravaria untuk membangun fondasi awal Kara di tanah Kesik.Jika ingat fakta sejarah ini, aku maklum bila angkatan perang pertama Kara kini tengah menyiapkan tangga menuju kejatuhanku di Taria. Benar. Sangat kumaklumi ….*** “Terima kasih sudah menyambutku, Muri.” Kulakukan peregangan kecil begitu turun dari kereta, depan Kantor Muri Distrik Selatan. Coba mengurangi pegal sehabis perjalanan sembari menunggu ‘nyonya’ di belakang selesai.“Sudahkah?” tanyaku, menoleh lalu mengulurkan tangan. “Kita masih harus ke Sisik Kayu setelah dari sini, kalau telat Ranra bakal ngomel lagi—”“Aku gak suka sekretaris sipitmu,” timpal Oukubo ketus, mengangkat roknya sedikit kemudian melangkah turun pelan-pelan. “Tuan.”“Kalian cocok, Kubo ….”Ngomong-ngomong, agenda di Distrik Selatan adalah laporan soal pergerakan mata-mata Pluma.Semalam aku dapat kain kuning di kaki merpati ungu. Dari Wale, Yoram Legiun III Angkatan Laut Kara alias Kepala Divisi Intelijen Panji Gorgon, yang memintaku untuk membuat penilaian langsung. Aku tidak bisa menolak. Jika ia sampai menulis permohonan agar diriku turun tangan, artinya orang-orang ini tidak sederhana macam para imigran di Kaliyara. Apalagi mereka tertangkap pas keliaran sambil bawa barang ilegal, jadi gak bisa cuma ‘disapu’ terus ditimbun seperti biasa.“Inikah?”“Mereka tertangkap di hutan barat daya, tidak punya keterangan identitas, dan membawa bahan peledak. Kami tidak berani memulai interogasi sebelum melaporkan semua pada Anda—”Muri berhenti bicara waktu aku menoleh.“Aturan lama …,” kataku, berhenti di depan sel berisi seorang tahanan. “Sita semua barang mereka, tanya asalnya, terus lepas di perbatasan atau kirim ke Satu Mare. Aku gak suka tamu tak diundang yang juga gak punya tata krama menerobos halaman rumahku.”“Tanah ini bukan punyamu, Bajingan!” timpal seseorang, remaja usia lima atau enam belas tahun, tahanan di sel sebelah. “Matilda Barat tuan rumah sebenarnya, dan itu kami, bukan dirimu—cuih!”Sudut bibirku naik dengar sahutan tersebut.“Diam, kau tidak tahu sedang bicara pada sia—”“Gak perlu marah sama anak-anak,” ujarku, menegur pengawal muri lantas bergeser ke sel anak itu. “Dia cuma belum tahu apa-apa. Apa aku be—”“Jangan sok baik di depanku, Bajingaaan!” sergah si anak, tiba-tiba berdiri lalu menunjuk-nunjukiku dan memaki. “Kalian yang membuat Matilda Barat runtuh, menghancurkan desaku, mem—bla bla bla ….”Mataku membulat, tidak sangka sekaligus kaget. Pertama kali lihat ada anak memaki diriku, yang notabene orang asing dan tidak ia kenal, separah caranya. Bahkan pikiranku sempat kosong sepersekian detik, tak sanggup membayangkan seberat apa tragedi yang pernah ia alami sampai kata-kata tajam dan menyakitkan keluar dari mulutnya di usia belia.“Muri.” Ketimbang marah, aku lebih ke menaruh iba. “Apa dia juga tertangkap di hutan barat daya?”“Benar, anak ini yang menjaga gerobak dengan bahan-bahan peledak.”“Hah.” Aku menengadah sekejap. “Aturan tetap aturan,” kataku lekas kembali ke sel sebelumnya, “lucuti barang anak itu dan kirim dia sama teman-temannya ke perbatasan. Gak ada pengeculian, paham?”“Mengerti.”“Ngomong-ngomong, Muri ….” Kugenggam gembok sel di depanku kemudian meremukkannya. “Aku ada urusan sama orang ini, kalian boleh pergi atau tunggu di luar saja.”Tanpa banyak tanya, Muri Distrik Selatan bersama orang-orangnya pun putar badan setelah undur diri.“Teknik barusan ….” Kini, orang yang hendak kuajak bicara membuka mata. “Apa nama—”“Yang mana?” tanyaku, merapikan jerami sebelum bersila di depannya. “Aku belum memeragakan jurus apa pun, kau tahu.”“Heh.” Ia terkekeh. “Jadi, meremas gembok besi sampai menjadi debu bukan teknik bela diri?”“Oh.” Mulutku membulat sebelum meniru gaya duduk si tahanan, melipat tangan di depan dada. “Cuma gerakan acak, apanya yang teknik bela diri,” kataku lantas menggeser topik, “tapi kalau seorang ahli yang bilang, mungkin benar itu sebuah teknik.”“Kau tidak harus menggodaku jika tidak ingin mengatakannya.”“Huh.” Giliranku yang terkekeh. “Nama teknik ini terlalu murah buat dilirik seorang calon berserker.”Si tahanan terdiam, ia melihatku dari balik poni gimbal dengan tatapan yang sukar dijelaskan. Liar seperti singa, tetapi tidak memancarkan sorot ataupun hawa haus darah khas para makhluk buas.“Jangan tersinggung,” lanjutku sambil tersenyum, “orang yang tetap bungkam setelah tangan dan kakinya berkali-kali patah memenuhi syarat untuk mengambil kelas lanjutan itu, paling enggak dari segi tekad yang gak tergoyahkan. Kondisi mental begitu cuma dipunya seorang berserker, kau tahu.”“Huh.” Ia buang muka. “Kalian membayar penyihir cincin ganda untuk melayaniku setiap akhir sesi tanya jawab, senang rasanya bisa membuat tuanmu bangkrut.”“Hahaha!” Aku terbahak. “Tuanku, hahaha ….”“Aku tidak tahu anjing-anjing Kara boleh menertawakan majikan mereka,” cela si tahanan, “dari segi ini tuanku jelas jauh lebih punya wibawa.”“Kau benar,” timpalku sambil memegangi perut, “kau benar … saking wibawa sampai kalian para bawahan tidak bisa tenang padahal jauh dari dirinya, hahaha.”“Kau!”Bagus, aku menang jika dia kesal.“Kalau boleh kubilang,” sambungku, merapikan duduk. “Ini gak ada urusan sama tuanku ataupun tuanmu, tapi aku suka kegigihanmu—terus terang. Jadi, biar kujelaskan sedikit soal mantra penyembuh yang kau nikmati selama sesi ‘tanya jawab’ tadi.”“Oh.”“Menurut isi buku sama catatan-catatan Stellar, ada dua macam sihir penyembuh di glorian,” ujarku, balik melipat tangan. “Pertama, regenerasi.”“Mau mencerahkan wawasankukah?”“Bisa dibilang begitu,” sahutku kemudian lanjut menerangkan, “mempercepat pertumbuhan sel baru atau menumbuhkan kembali organ yang hilang dengan mengganti sel-sel rusak. Ini disebut regenerasi.”“Yang kedua?”“Regresi.”“Oh, aku baru tahu jika mereka berbeda,” aku pria di depanku, menunduk dan mengusap-usapi dagu.Yang, spontan ditimpali oleh anak di sel sebelah. “Jangan percaya omong kosongnya. Aku pernah tinggal di Panti Asuhan Purumera. Biarawati-biarawati di sana mahir sihir penyembuh, tapi mereka tidak pernah menye—”“Diam!” bentak pria di depanku, sorot matanya betulan kesal. “Bocah, jangan mengganggu obrolan orang dewasa kalau kau gak tahu apa-apa. Dasar.”Keluhan yang juga mendatangkan keluh. Namun, itu sudah benar. Sebab sikap tahanan di hadapanku kini sejalan dengan rencanaku terhadap mereka ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 41 Kolam Ikan

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana penampilanku, cantik, ‘kan?”Aku menoleh, lantas tersenyum mengagumi penampilan baru Oukubo. Kerudung dipadu cadar ungu nan membalut separuh wajah serasi dengan gaun yang ia kenakan. Anehnya, pilihan busana Kubo pada malam itu malah menambah daya sensualnya di mataku—padahal penampilan sang elf kebilang tertutup.“Entah cuma perasaanku atau daya pikatmu memang makin kuat?” tanyaku, mengakui telah jatuh pada pesona Oukubo sejak pandangan pertama malam tersebut. “Aku gak rela kau pakai baju ini di luar ….”Tanggal 11 Bulan Satu, 353 Mirandi.Awal musim semi nan meriah, harus kuakui. Sejak garda depan Aliansi pergi menyerang Bravaria, kepalaku sering sekali dilanda pening. Laporan demi laporan mengalir sepanjang pekan dan mendarat tepat di meja ruang tamu dari pagi hingga sore, benar-benar menguras perhatian.Aku dengan Oukubo jadi jarang dapat kesempatan berdua ….“Kenapa gak rela?” tanya sang elf, merobek amplop lalu duduk sebelahku. “Pakaianku sopan dan tertutup, masa ya kau cemburu—lihat! Ini dari Angkatan Laut Gorgon, Tuan.”Kulirik kertas di tangannya sekilas, memastikan segel yang lagi ia tunjukkan.“Itu yang kedua minggu ini,” kataku, merangkul bahu dan memeluk Oukubo. “Kurasa ….”“Kurasa apa?” Kubo mencolek pipiku. “Katanya imigran Singkawa tertangkap di Kaliyara. Aku setuju. Kau memang harus pergi ….”Imigran Singkawa. Bukan cuma bernyali, mereka terbukti cerdik kalau betulan tertangkap di Kaliyara. Sebab itu artinya orang-orang ini berhasil menembus Pluma yang menurut Halbert mustahil disusupi.Cek! Kepalaku kini berdenyut ….“Hem.” Kupejamkan mataku di leher Oukubo. “Ada Pluma di antara Kara dan Singkawa. Jika naik perahu sampai ke Kaliyara, bagaimana cara mereka melewati pemeriksaan di sana?”“Bukanya sebagian Moran masuk wilayah Corvia?” timpal elf yang lagi kupeluk, “bisa saja mereka—”“Mustahil.”“Kenapa?”“Divisi Pelopor Angkatan Laut Kara ada di Distrik Selatan Cassava, Kubo. Tanpa perjanjian tertulis dan segel pu milikku, mana mungkin mereka membiarkan perahu asing masuk dari arah Corvia.”“Lah, terus bagaimana cara imigran-imigran ini bisa muncul di Kaliyara?”‘Itu pertanyaanku juga,’ batinku sembari melekatkan tubuh kami, “mana kutahu ….”*** “Tuan. Nyonya.”“Urusan kali ini mungkin akan lama, jadi tolong minta Stella buat mengurus rumahku setelah mengantar kami ke Distrik Barat—satu lagi! Jika Nona Nima tanya, bilang aku mengurus izin pabrik di distrik lain ….”Besoknya, tanggal 12 Bulan Satu, aku dengan Oukubo naik kereta ke Distrik Barat Sabila. Hendak melihat lokasi dan mengurus perizinan pabrik baru. Namun, itu hanya alasan luar. Aslinya untuk menemui Yoram Legiun III Angkatan Perang Laut Kara, Kepala Divisi Intelijen Panji Gorgon, atau orang yang melaporkan penangkapan imigran Singkawa di Kaliyara. Wale el Vomtia.“Bura.”“Lewatkan basa-basinya, Wale.” Kukibaskan tangan pas dirinya tiba, ingin fokus ke pokok bahasan kenapa ia kupanggil menghadap. “Suratmu bilang, legiun pertama angkatan laut kita menangkap perahu imigran Singkawa di Kaliyara.Bukan cuma satu atau dua, tetapi belasan sekali sergap. Aku kemari mau dengar cerita lengkapnya. Jadi, Yoram, tolong jelasankan saja mulai dari detail itu.”“Dimengerti ….”Lelaki jangkung di depanku menoleh ajudan sebelahnya dan mengangguk, isyarat agar sang ajudan pergi kemudian kembali dengan membawa peta wilayah perairan yang kukira adalah Moran.“Hem.”“Imigran yang kita tangkap bukan berasal dari Singkawa, Bura,” ujar Yoram Wale, membuka topik dengan fakta menggelitik. “Mereka adalah mata-mata terlatih milik tetangga dekat kita, Pluma.”Keterangan yang sontak membuatku menatap penuh tanya, heran.“Caupa, tolong gelar peta terbaru Pluma … benar yang itu, terima kasih. Bura, ini dia ….”Mataku mendelik. Siapa sangka Pluma yang dua tahun lalu hanya punya satu kota kini telah memiliki tiga markas besar sekaligus pusat komando militer di tiga wilayah administratif setingkat Sabila.“Luar biasa, Yoram Wale. Aku salut padamu. Kau benar-benar menyelidiki mereka dengan sangat baik.”“Ah, Anda membuatku malu, Bura.” Yoram Legiun III Angkatan Laut Kara tersebut garuk kepala. “Aku digaji memang untuk hal-hal semacam ini, ‘kan?”“Hahaha.” Sikap yang membuatku tambah menyukainya. “Kalau saja semua divisi intelijenku berdedikasi tinggi sepertimu, aku takkan ragu buat mengirim kalian ke Timur sebelum perang besar nanti.” “Anda terlalu memuji, Bura.”“Ngomong-ngomong, Yoram ….”Kubisiki ia kabar angin yang kudengar belakangan, terkait bocornya produksi senapan lontak tipe baru dan rencana sabotase pengiriman bubuk mesiu dari Satu Mare untuk Aliansi musim depan.“Bisakah kau kirim orang buat melacak dari mana sumber kabar-kabar itu?”Sang Kepala Divisi Intelijen termenung.“Sebenarnya gak masalah jika Aliansi sampai tahu …,” kataku, berjalan ke kursi lalu duduk. “Toh, senapan-senapan baru kita juga sudah hampir jadi. Cuma, seingatku instruksi buat menyabotase pengiriman bubuk mesiu dari Satu Mare belum kuberikan pada siapa pun.”“Bawahan mengerti ….”Dua hari kemudian, laporan darinya menumpuk di mejaku. Isinya soal tanggal eksekusi mata-mata Pluma kemarin, kronologi cara mereka menyusup, rangkuman rumor terkait gerakan bawah tanah sekitar Sabila, sama deretan nama-nama para terduga kuat penyebar isu sabotase yang kuminta ia carikan.Apesnya. Tidak lama berselang, bahkan hampir bareng dengan laporan-laporan tersebut, suruhan Aliansi Anti-Bravaria pun turut mengetuk pintu ruang kerjaku.Tepat ketika laporan-laporan tadi tengah kubakar di perapian ….“Abu surat-surat ini saja belum dingin,” gumamku sebelum menyambut para utusan di Kantor Muri Distrik Tenggara bersama pejabat-pejabat di sana, “kenapa mereka gak ngasih kabar dulu, sih, akh?!”“Namanya juga Aliansi, Bura,” timpal Vio, Yoram Kepala Panji Kalajengking, yang saat itu kebetulan sedang berpatroli di perbatasan. “Kalau gak mendadak, malah aneh, ‘kan?”“Hem.” Aku menjuling singkat. “Kau benar ….”*** “Aku gak salah dengar, ‘kan, tadi?” tanyaku pada Vio di ruang kerja tera, selesai menyimak putusan Aliansi yang baru saja dibacakan oleh para utusan di Balai Penyambut Tamu, Kantor Muri Distrik Tenggara Sabila, setengah dupa sebelumnya. “Mereka jauh-jauh kemari buat memalak kita, hah?”Menyebalkan. Aliansi menyuruh Kara mendanai Kampanye Banori, dan mereka terang-terangan meminta senapan-senapan lontakku agar diserahkan sebagai bentuk pertama dari dukungan tersebut bulan depan.“Benar, Bura. Kudengar mereka ingin Kara membiayai perang sekutu di Banori dan menyerahkan senapan-senapan baru kita kepada Aliansi ….”‘Asem!’ makiku dalam hati, ‘berani benar mereka.’“Secara de jure kita memang belum diakui Aliansi,” ujar Muri Distrik Tenggara, empunya tempat, tampak pesimis di ruangan tersebut. “Mereka sengaja mengangkat hal ini untuk menekan kita, Pu.”“Terus?” Aku mendelik dengar tanggapan pasrah barusan. “Kau mau aku mengirim hasil panen kita tahun ini buat jadi bekal pasukan boros mereka dan menyerahkan senjata bakal angkatan perangku cuma-cuma, begitu?”Ia dan Vio kompak buang muka, menghindari tatapanku.“De jure maupun de facto, Kara sudah jadi negara,” tegasku di depan mereka, “Vom dan Dataran Tengah mengakui kedaulatan kita. Jika Aliansi memang menjual hal itu untuk memerasku, maka aku juga takkan segan buat membalas dengan menyerbu balik mereka.”“T-tolong tenang, Bura. Jika kita terpancing gegara ini, reputasi yang sudah Anda bangun akan rusak ….”Cek! Benar kata Vio. Tujuanku bergabung dengan Aliansi Anti-Bravaria kemudian membuka dua distrik Sabila untuk pendatang ialah demi menunjukkan bahwa Kara bukan musuh benua, jika aku keburu nafsu lantaran situasi sekarang hingga mengambil keputusan gegabah maka pengorbanan kami selama ini ‘kan jadi sia-sia.Namun, aku juga tidak suka didikte oleh mereka.“Jujur, aku tidak suka cara utusan-utusan tadi bersikap.”“Bukan cuma Anda, Bura,” aku Vio yang didukung anggukan kepala muri, “kami pun begitu.”“Terus ….” Kucondongkan badan pada keduanya. “Apa kalian benar-benar tidak punya ide?” tanyaku yang lalu memberi penekanan, “aku tidak ingin menjamu mereka lama-lama.”Aku merasa Kara bak ikan hias di akuarium. Selain dikepung dari tujuh arah, kenyataan bahwa kami bukan pecahan Matilda Barat membuat Aliansi memandang negara ini sebelah mata. Sebelas dua belas dengan Bravaria. Aku bahkan yakin kamilah sasaran kampanye Aliansi berikutnya bila nanti mereka sudah tidak ada ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 40 Lanjut Kerja

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Aku tidak menyangka Serikat akan membangunkan pabrik baru untuk kita di luar Sabila, Tuan Mi.”Awal tahun baru.Obrolanku bersama ketua dan orang-orang Neraca Padi sebelum Direktur Sisik Kayu sebelahku memasuki ruangan menjadi rahasia di antara rahasia. Dengan lima persen keuntungan, pabrik-pabrik baru yang Trira singgung barusan akan mengikuti semua prosedur dari orang-orangku hingga kerja sama ini selesai.Memberiku akses penuh buat masuk ke gudang-gudang senjata tetangga …. “Sepertinya mereka memikirkan proposal kita tahun lalu, Nona. Menaikkan kapasitas produksi hingga titik maksimal tanpa risiko, atau pendeknya: efisien.”“Aku tidak mengerti bahasamu,” timpal Trira, kembali ke meja di belakang.Aku, mengikutinya dan kembali ke mejaku. “Anda tidak harus mengerti. Cukup tanda tangani saja semua proposalku sama punyanya serikat kalau penawaran mereka menguntungkan bisnis kita.”“Hem.” Beliau buang muka. “Aku memang tidak ahli soal per-arang-an, tapi aku juga harus selektif. Kalau keputusan atau langkahmu merugikan perusahanku, aku juga yang nanti bakal kena imbas.”Perusahaanku? Nazila Trira benar-benar mendalami peran.“Eh, ya, Nona. Apa salon Anda jadi buka cabang baru bulan ini?”“Soal itu ….” Trira merebah di kursinya. “Aku tidak tahu, keuntunganku akhir musim dingin kemarin gak se-wah bulan-bulan sebelumnya. Ditambah saingan-saingan baru, kukira salonku harus punya strategi jitu biar enggak kehilangan pelanggan.”“Saingan?”“Ya, saingan. Mafia sama tempat-tempat hiburan besar mulai melirik usaha salon belakangan ini, mereka bahkan punya layanan plus-plus yang disukai pelanggan—kau tahu maksudku, ‘kan?”“Tunggu, maksud Anda tempat hiburan … bordil?”“Apa lagi?” Trira menjuling singkat. “Selain pub, bordil laku keras di lokasi urban macam Sabila, tahu.”“Bukannya Muri melarang tempat-tempat macam itu, ya?”“Kau tahu ‘Satu Mare’?” tanya beliau, melirikku lewat ekor mata. “Lahan bebas di luar perbatasan. Mereka menggunakan lokasi tanpa hukum itu buat membuka rumah-rumah bordil dan semacamnya.”“Hem.” Aku menengadah, terus bersandar ke punggung kursi. “Kalau lokasinya di luar Sabila kita gak bisa berbuat apa-apa—”“Itu dia!” sambar Trira, kelihatan sangat gemas. “Mereka gak kena sentuh hukum, pelanggan-pelangganku mengeluh suami mereka tiap malam pergi ke sana, terus sekarang mereka juga punya salon sendiri. Pria-pria hidung belang ini membawa para pelangganku kabur pakai alasan di sana sekalian bayar.”Masuk akal. Ketimbang bayar dua kali mending pindah langganan biar hemat. Bisa kuterima.“Apa kau gak bisa melakukan sesuatu?” jerit sang direktur dari kursi beliau, “ubrak-abrik usaha mereka atau apa kek, biar pelanggan-pelangganku pada balik ke salon kita.”Kukerlingkan mata merespons permintaan beliau, tidak tahu harus bilang apa. Hukum sama urusan di luar wilayah sendiri, bukan kuasaku.“Aku tahu melac*r atau hal-hal macam ini biasa buat para hidung belang, tapi jangan merebut pelanggan-pelangganku juga, Sialaaan!” maki Trira, lebih baik tidak kukatakan bagaimana beliau di kursinya. “Arrrgh! Ingin sekali kurobohkan bangunan-bangunan liar mereka—akh!”Kulihat Ranra di sebelah, ia fokus pada berkas di meja dan tidak terusik sedikit pun. Hebat.“Hem.” Aku berpikir ….Kalau urusannya hukum, selama ada di lingkungan Sabila aku bisa mengirim tentara untuk membubarkan mereka. Namun, ketika di luar perbatasan hal itu malah akan jadi bumerang.Apalagi Satu Mare yang Nazila Trira rujuk adalah lokasi yang ‘dimaklumi’ oleh Aliansi. Ini bukan rahasia, tetapi juga bukan hal yang banyak orang tahu. Pada peta baru Kolom Satu dan Dua-Tiga ada area kecil dengan penanda warna kuning, daerah berotonomi khusus serta sengaja dipelihara Aliansi.Mereka itu titik muara sekaligus tempat bertemunya informasi sensitif dengan rahasia, jadi kalau kugusur paksa justru kamilah yang akan rugi dalam urusan ini. “Berat, benar-benar berat ….”*** “Apa kau bilang?”Aku dan Oukubo silih lirik merespons delikan Trira. Sendok, garpu, dengan sumpit langsung kami letakkan kembali pada saat itu.“Jangan bercanda, ya!” Beliau kini menunjuk-nunjukiku dan Oukubo bergantian. “Kalian pikir aku ini siapa, hah? Gak ada tuh kudu kalah kalau belum perang di kamusku ….”Biar kujelaskan apa yang sedang terjadi.Duduk perkaranya: Trira dapat laporan sekian lusin pelanggan menyudahi keanggotaan salon tepat sesaat sebelum jam makan siang, alasannya suami mereka pindah tugas ke kota-kota lain di luar Sabila.Karena ini jam makan, kubilang pada beliau supaya jangan dulu memikirkan hal tersebut. Namun, respons yang kuterima malah anggapan bahwa diriku tidak mendukung dan sedang memintanya merelakan para pelanggan-pelanggan tadi.Sesederhana itu.“Aku yakin ini pasti gegara salon-salon murahan i—ya, aku yakin sekali pasti gara-gara mereka!”“Nona ….” Kucoba buat mengambil kembali waktu makan yang beliau sita. “Anda boleh marah, tapi tolong lepaskan tudung saji di meja. Lihat, piring saya dan punyanya Kubo masih belum terisi apa-apa.”Kulintangkan tangan ke pipi, hendak berbisik.“Apa Anda juga gak malu, dilihati banyak orang ….”Dengar kata malu, beliau agak tenang.“Ehem. Aku barusan sedang coba membuang unek-unek,” ujar beliau, melepaskan pegangan tudung saji. “Kalian bisa lanjut makan tanpa diriku ….”Begitulah. Trira undur diri dari meja makan ….“Sayang.” Sekarang, giliran wanita sebelahku yang berulah. “Lihat, nonamu begitu marah. Apa kau masih tidak mau melakukan apa-apa?” tanyanya dengan nada manja dan berkali-kali memukul pelan lenganku, “aku pokoknya gak mau, ya, kalau kau sampai kehilangan pekerjaan—huh.”Diriku sebetulnya geli lihat Oukubo begitu. Akan tetapi, tingkahnya tersebut terbukti ampuh buat menetralkan suasana restoran pasca-Trira tiada. Orang-orang yang sebelumnya menoleh seketika kembali pada kegiatan di meja masing-masing, tidak satu pun dari mereka memperhatikan mejaku dan Oukubo setelah itu. Hem. Sudut kanan bibirku sampai naik.“Kau beruntung—”“Bukannya pintar?” sambung Oukubo, pelan. “Aku gak kalah sama si pirang gendut, ‘kan?”Maksudnya Merike.“Ya.” Kucolek dagunya terus lanjut makan ….*** Sore hari. Ketika belum ada laporan yang harus kubaca, Nazila Trira tidak banyak mengomel serta gak terus melotot padaku dari meja kerja direktur, dan Oukubo sepanjang hari duduk anteng di pangkuanku. Aku bisa meregangkan tangan sambil bilang, “Akhirnya ….”“Apa kita sudah boleh pulang?”Aku menoleh ke Ranra dengar pertanyaan tersebut, meminta Sekretaris Sisik Kayu itu buat menjawabkan.“Belum.” Mengerti, ia pun mundur dari meja lantas mendekat dan menjelaskan alasannya kenapa. “Nona masih memeriksa berkas di ruang sebelah bersama Stella, laporan produksi hari ini belum siap, terus hasil pemeriksaan dengan dokumen-dokumen pabrik baru yang dijanjikan serikat juga belum datang, sama ….”Sang sekretaris memilah-milah kertas di tangan sebelum mengasongkannya. “Tolong tanda tangani dua berkas buat agenda besok ini sebelum pergi, aku takut Anda datang terlambat lagi seperti tadi pagi.”Kuambil berkas darinya lalu kububuhi tanda tangan dan kukembalikan.“Ada lagi?”“Ti—” Ranra tiba-tiba berhenti kemudian balik menghadapku, padahal barusan kakinya sudah melangkah agak jauh dari mejaku. “Daripada elf gatal satu ini, saya lebih suka dua yang lain.”Begitu kalimat penutupnya sebelum benar-benar pergi. Meninggalkan seberkas senyum di bibirku sama satu raut cemberut di muka Oukubo ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 39 Drum Arang

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Bura, tiga ratus ribu tentara Aliansi sudah bergerak dari perbatasan ….”Musim Semi 353 Mirandi.Banori, titik temu pada rencana kampanye aliansi delapan negara, telah ramai bahkan sebelum matahari bersinar. Delegasi enam kerajaan, hari ini mengirim prajurit-prajurit terbaik mereka ke wilayah Bravaria.“Kuda putih.” Kuatur miniatur perangkat perang di meja strategi mengikuti laporan telik sandi, Aula Istana Bate Sabila. “Jubah Hitam, Unikorn, Vegasis, Antares, dan Bintang Tenggara. Halbert, siapa saja yang akan menyerang dari belakang bersama kita?”Halbert, Caupa Unit Tombak Terbang, menaruh dua bendera di belakang peta Arathea.“Angkatan Laut Singkawa, Naga dan Beruang Air.”“Hem.” Kugaruk pipi sambil melipat tangan, berpikir. “Selain Mantel Ungu dan Emas, kudengar si berisik, Maxwell, sekarang jadi yoram terus punya batalion sendiri. Menurut kalian, di mana posisi mereka dalam perang ini?”“Kumbang Rusa, Bura?”“Menurut mata-mata kita ….” Vio, Yoram Kepala Panji Kalajengking, Panglima Utama Pasukan Pertahanan Sabila, menggeser bendera putih ke dekat Parpara. “Tentara elite musuh terkonsentrasi di area ini, Bura.”Aku dan semua orang silih lirik.“Bura, apa Yoram Jambu benar-benar tidak akan mengirim pasukan dari Taria?” tanya Halbert, sepertinya hendak memastikan sesuatu. “Jika kabar ini benar, Platium akan—”Dirinya berhenti ketika aku mengangkat tangan.“Kekuatan tempur Bravaria hanya tersisa dua ratus ribu paling banyak …,” ujarku, mundur lalu duduk di singgasana. “Akan tetapi, kenapa mereka tidak menyerah saat tiga ratus ribu pasukan aliansi ini datang ke perbatasan dan masih sempat menyisihkan pasukan di daerah terpencil?”Kutopang daguku memperhatikan semua orang.“Coba pikir, bagaimana lima puluh ribu pasukan mantel ungu dan emas mereka membendung gempuran di utara hingga timur laut Koana sebelum hujan abadi beberapa tahun silam.”“Jangan-jangan—”“Selamat!” Kuangkat tanganku menyambut wajah-wajah terkejut mereka. “Kalian satu langkah mendekati level Bura Bella dari Mantel Jerami.”Pertempuran Banori dan Bravaria tidak sesederhana dua lawan tiga ratus ribu. Meski mengambil inisiatif dengan menyerbu duluan, nyatanya kami sudah kalah set gegara medan yang telah dipersiapkan matang oleh lawan.“Bura, kalau begitu apa Aliansi akan kalah?”“Ronde pembuka ini, ya.” Kuanggukkan kepala menanggapi Susan, Tupa Pertama di Unit Pemanah Kuda Caupa Edberd. “Medan di selatan Naxin hingga ke selatan Parpara adalah pegunungan berbatu, tidak ada celah untuk memakai meriam ataupun perkakas berat dan kavaleri konvensional mulai dari utara dinding alam Vom itu. Satu-satunya harapan cuma hujan panah.Pertanyaannya sekarang. Apa yang dipilih Aliansi waktu menyerbu Naxin hari ini?”*** “Tuan, hari ini Trira mengundang Ketua dan Anggota Serikat ke Sisik Kayu.”“Aku tahu ….”Kuelus kepala Oukubo yang lagi bersandar ke bahuku. “Pabrik sudah balik beroperasi. Tahun ini adalah panggung debut regu dagang kita di level baru, Kubo.”“Tahun ini aku mau kau terus bersamaku.”“Hahaha.” Ucapannya ditambah guncangan kereta membuatku terbahak. “Selama kita belum bergerak ke Dataran Tengah, kau akan terus bersamaku.”“Iiih.” Oukubo memukul dadaku pelan. “Kalau sudah ada Rere, bokongku gak bakal menarik lagi buatmu, ‘kan, Tuan?”“Ngomong-ngomong.” Kuangkat dagunya pakai telunjuk. “Rere memanggilku ‘Sayang’ pas kami di—”“Rubah Licik,” gumamnya, menepis tanganku menjauh. “Aku gak akan kalah sama si pirang gendut dalam segala hal. Tuan, kirim diriku ke perbatasan. Akan kubawakan kepala lawan-lawan Kara ke hada—”“Sssth!” Kuletakkan telunjukku di bibir Oukubo. “Tugasmu cuma menemaniku ….”Semangat bersaing elf yang lagi kupangku ini boleh juga. Sayang, aku dengan semua orang sudah kadung berjalan di atas rencana matang. Menambahkan variabel baru cuma akan melencengkan hasil yang kami inginkan ….*** “Tuan Mi, ketua dan orang-orang serikat sudah menunggu di ruang direktur.”“Bagaimana Direktur?”“Beliau sedang menginspeksi pabrik sebelum tim produksi mulai menyalakan kabin-kabin kita lagi.”“Oh.” Aku cekak pinggang sebelum masuk kantor utama. “Kabari Nona, kita bisa menyalakan dua dari tiga kabin arang sepanjang minggu, tapi tidak boleh lebih daripada itu. Sambil menunggu beliau, aku juga akan bicara sama orang-orang serikat soal kerja sama serbuk arang buat bahan mesiu yang mereka mau ….”Bersama gemuruh serta hawa panas di timur laut jauh Sabila, gemuruh juga hawa panas dari pabrik-pabrik Sisik Kayu turut membuka 353 Mirandi. Bahkan, cicit orang-orang di sini terdengar lebih meriah ketimbang lolong sangkakala dengan tabuhan genderang di sana.Aku, yang baru saja tiba bersama Oukubo, sampai terbengong sesaat membuka pintu ruang direktur.“Tu-tuan Mi?”“Ah.” Buru-buru kuusap wajah. “Selamat pagi, Tuan-Tuan, Nyonya. Ini hari pertamaku masuk kerja setelah libur panjang, maaf sudah membuat Anda semua menunggu.”“Tidak apa-apa, Tuan Mi.” Dominic, Kepala Serikat Neraca Padi, menyambutku. “Kami yang datang terlalu awal, bahkan kudengar direktur Anda masih melakukan inspeksi di pabrik Sisik Kayu.”“Silakan duduk ….” Aku berjalan ke mejaku, seberang meja direktur dan sebelah meja sekretaris. “Sambil menunggu nonaku, mari bicarakan proyek serbuk arang kita. Jujur, aku tak mau melewatkan kesempatan untuk menjadi pemasok utama aliansi delapan negara.”Kudapati wajah terkejut semua orang ketika berbalik usai mengambil berkas tahun kemarin.“Kenapa?” tanyaku, pura-pura kaget dengan reaksi mereka. “Bukannya serikat memang menandatangani perjanjian dengan Aliansi dan negara-negara di selatan, kita menjadi pemasok bubuk arang selama lima tahun sejak tahun kemarin, bukan?”Ketua Serikat dan orang-orangnya masih terdiam.“Oh, ayolah. Aku bukan cuma menyelidiki itu …,” kataku kemudian mengambil contoh acak, “Tuan Lilyad, kudengar Anda membuka pabrik arang sendiri di Singkawa. Tuan Jackson dan Ketua, Anda berdua bahkan diam-diam merekrut pekerjaku tahun kemarin. Kalian ini, benar-benar ….”Kugerak-gerakkan telunjuk pada mereka.“Sudahlah, aku bisa mengerti. Toh, tender terbuka macam pesanan kemarin memang kesempatan emas. Kita sama-sama pebisnis, tidak perlu ada yang ditutupi.”Sekarang, setelah tertangkap basah, orang-orang itu silih lirik dan tertawa garing—menyebalkan.“Haha, Tuan Mi.” Ketua mendekatiku. “Serikat terlanjur menandatangani kontrak dengan negara-negara di selatan, kalau kuota tahun kemarin tidak terpenuhi kerugian kita sangat besar. Terima kasih sudah mau mengerti situasi kami, tapi … tolong rahasiakan ini dari nona Anda.”“Aku bisa menutup mulutku,” jawabku lalu mengasongkan berkas dengan rencana tahun kemarin, “tapi di catatan ini Anda dan semua orang bilang tidak bisa membuat arang sendiri, bukan?”Ia menoleh ke orang-orang di belakang.“Nonaku mungkin tidak tahu, tapi selisih pada laporan penjualan kami tahun ini dan tahun lalu mungkin takkan luput dari pertanyaan kritis beliau.”“Ahaha. Aku paham, aku paham ….” Ketua menggenggam tangan dan mengayun-ayunkannya. “Saat kuota bulan ini terpenuhi, pabrikku dengan milik kelompok-kelompok lain akan kututup. Sisik Kayu pasti kembali jadi penyuplai utama serikat.”“Huh.” Satu sudut bibirku naik sebelum berdecak. “Cek! Ketua, aku bukan orang yang hanya mengincar keuntungan cepat. Namun, juga kestabilan jangka panjang. Itu kenapa kucegah Nona menyalakan semua kabin tahun lalu.”Ketua mengusap-usap jenggot sambil mengangguk.“Karena itu juga …, ketimbang menutup pabrik-pabrik Anda dengan milik kelompok lain serta mengurangi pemasukan serikat, kenapa tidak membiarkan kami mengelolakannya saja?”Sekali lagi, orang-orang ini pun melongo.“Aku tahu ini agak memaksa,” lanjutku lantas mengajukan proposal, “tapi dengan stok melimpah dan arus kas stabil, bukan tidak mungkin jika permintaan dari Aliansi akan naik dua atau tiga tahun lagi ….”Siapa peduli jika Ketua ataupun anggota-anggota lain punya pabrik arang. Selama arus produksi mereka bisa kupantau dan perang ini tetap kusetir Sisik Kayu gak perlu memonopoli pasar atau apa pun sebab semua akan tetap mengalir ke arah yang kumau ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 38 Akhir Tahun dan Agenda Tahun Depan

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Kukira kau gak bakal pulang ….”Minggu kedua di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 352 Mirandi. Sekembalinya dari Dataran Tengah, delikan tajam dengan berondong pertanyaan langsung menyambutku di Kantor Utama Sisik Kayu.Nazila Trira, siapa lagi, segera mengintrogasiku terkait pembubaran Matilda Tengah serta alasan di balik aliran pasukan Aliansi yang Panji Kalajengking biarkan melintasi Distrik Timur Sabila beberapa bulan ini.Ia, bersama semburan tanda tanya dari mulutnya, membuatku tergelayut lemas di depan meja kerja.“Tri—”“Panggil aku Nona!” Telunjuk beliau memang mungil, tapi lebih keras daripada jarum langit. “Orang-orang ini memangkas pemasukan salonku empat bulan tera—”“Anda betulan buka salon, Nona?”“Iyalah!” sergah beliau, cekak pinggang dan melotot. “Kau pikir aku buka usaha apa di tempat yang banyak pendatang wanitanya ini, hah?”Kulambaikan tanganku, tak sanggup lagi meladeni beliau.“Kenapa denganmu, Tuan Mi? Jangan bilang capek, beri dulu aku penjelasan kenapa tentara-tentara dari selatan melin—”“Kampanye tahun depan,” jawabku, lesu. “Tahun depan mereka mau menyerbu Bravaria dari arah Xetum di Banori, Nona. Kalau Anda lihat peta, pasukan enam negara akan menyerang dari sana sementara kita membantu lewat samping.”“Samping?”“Mantrus.” Kutunjuk gambar di pojok ruangan, peta Kolom Satu dan Dua-Tiga Benua.Nazila Trira, cepat-cepat mendekati peta tersebut kemudian memeriksanya. “Maksudmu kalian, kalian—akh! Kenapa aku bisa gak sadar. Kalian membuka wilayah di tiga distrik Sabila sama menerima pendatang baru kemari untuk rencana ini.”“Pintar.”“Berisik!” bentak Trira sebelum hanyut dalam pikirannya, “aku gak butuh pujianmu ….”*** Merunut agenda yang telah kususun bersama Jambu dan para yoram empat panji, begitu musim semi tiba Bravaria akan ditekan dari tiga arah oleh aliansi tujuh negara. Sedang kami, Kara pada puncak konflik dan saat-saat kritis tersebut, akan mengirim proposal gencatan senjata dengan imbalan kedaulatan mutlak.Maksudku, ketimbang mengurusi Bravaria yang bisa digempur kapan saja, bukankah menyingkirkan bakal ancaman kedaulatan mereka dulu bakal lebih penting. Matilda Timur bersama penyintas dunia lain.Hanya, apakah rencana itu akan berhasil? Tidak ada yang tahu ….‘Aku merasa bodoh …,’ batinku memikirkan semua ini. “Kubo?”“Tuan.” Oukubo, ia tersipu membawakanku handuk. “Kau terlalu lama di Dataran Tengah.”“Ya.” Kuabaikan dirinya terus keluar dari bak, melapi badan, lalu melengos dari kamar mandi. “Kau benar, tapi sekarang aku tahu setebal apa tembok timur yang nanti akan kita dobrak—”“Bukan.” Ia tiba-tiba saja memeluk tubuhku dari belakang. “Maksukdku, kau terlalu lama membiarkanku kering ….”Oh. Mari lompati adegan berikutnya sampai ke besok pagi ….“Apa sesuatu terjadi selama aku tidak ada?” tanyaku, membuka obrolan ketika sarapan bersama Oukubo dan Dorothe. “Maksudku, Trira sama Sisik Kayu.”Dorothe menggeleng.“Hem.” Aku berpikir. “Berarti selain arang, Serikat tidak menaruh minat sama salonnya Trira, ya?”“Gak juga,” sambung Oukubo, ia mendekat lalu mengambil seiris kentang goreng dari piringku. “Ada dua regu dagang yang coba memodali beliau, Mutiara Merah Muda sama Selendang Mawar.”“Katanya tadi tidak terjadi apa-apa?” tanyaku lagi, melihat ke Dorothe.Oukubo kembali mengambil seiris kentang, menggigit separuhnya, kemudian meyuapkan sisanya padaku tanpa sungkan. “Memang bukan di Sisik Kayu, kok, Tuan.”“Terus?” Kuterima suapan tersebut, sekalian kuemut juga ujung telunjuknya sebentar.Ia bersandar ke bahuku. “Kalau kau percaya, Tuan, Trira menghasilkan sepuluh ribu keping perak empat bulan ini, beliau bahkan memasang lowongan dan buka cabang baru minggu kemarin.”“Benarkah?” Kusambar kentang di tangannya. “Itu kabar bagus—eh, ya, kalian sendiri gimana? Gak cuma malas-malasan doang, ‘kan?”“Hem.” Oukubo membetulkan duduk. “Dorothe selesai membaca semua buku astronomi di rak—”“Kau?” Kutengadahkan daguku, menunjuk dirinya. “Jangan bilang cuma main-main sambil mengurung diri di kamar macam orang depresi.”“Kalau ya kenapa?” tanyanya, mengasongkan pipi dan topang dagu membalasku. “Aku membayangkanmu setiap malam, Tuan. Aku menunggumu menggeraya—”“Cukup-cukup.” Kudorong wanita itu menjauh. “Kita bicarakan hasrat privatmu nanti …,” kataku kemudian menghadap ke temannya, “berapa persen ilmu astronomi yang berhasil kau serap, Dorothe?”Darah campuran elf—manusia itu menunduk, ia tidak berani menjawab langsung.Cek! Apa boleh buat. “Dorothe.” Kupanggil bonsaku. “Tongkat ini salah satu senjataku yang paling tua, dia bisa berubah bentuk jadi pedang dan merupakan andalan di perang besar pada masa lalu.”“Widih—”“Kau diam!” Aku melotot pada Oukubo yang tiba-tiba beranjak. “Biarkan aku bicara sama Dorothe dulu.”Melihat reaksiku, ia pun balik duduk, bersandar ke bahuku, lalu mencamili kentang di piring tanpa suara.“Aku akan menulis dekret.” Kembali pada Dorothe. “Pergilah ke Basilika, minta kapal induk sama meriam-meriam terbaik dari mereka, setelah itu berlayarlah di Sungai Snaxi hingga ke lautan musim semi nanti.”Kuserahkan Bonsa padanya.“Ini, bawa tongkatku sebagai bukti perintah.”“T-tuan?”“Tugasmu cuma satu: sergap rombongan pahlawan dan jangan biarkan kapal-kapal mereka berlabuh di dermaga sama pelabuhan-pelabuhan Parat.”Dorothe mundur dari meja, menerima tongkatku, kemudian berlutut.“Menger—”“Bawa ini juga.” Kulepas cincin perintah Panji Derik. “Kalau yoram-yoramku mengabaikan perintah setelah melihat cincinku, leher mereka boleh kau tebas.”Menurut Saintess, pahlawan dan penyintas akan sampai ke benua secara terpisah. Jika perkiraan tersebut benar, maka peluangku menang perang makin besar apabila menyingkirkan salah satunya terlebih dulu. Untuk itu, selain Bonsa sama cincin perintah, Dorothe juga kubekali kepala medusa dan Mutiara Long dalam misi ini.Aku gak mau ambil risiko. Meski Nazila Trira sekarang masih terbukti menjaga Kara dari serbuan Parat, kemunculan pahlawan di sisi mereka bisa saja membuat hal itu tidak lagi efektif. Jadi ketimbang menunggu sambil cemas mending kuambil langkah preventif …. *** “Tuan?”“Apa?” Kudorong kepala Oukubo agar menjauh dari bahuku. “Kau kedeketan, Kubo.”“Gak mau ….” Namun, ia malah makin menempelkan diri padaku. “Kita lagi di rumah, terus gak ada siapa-siapa juga selain kau dan aku, ‘kan? Kenapa enggak boleh deketan, hah?”“Kau mau aku melotot lagi?” ancamku, siap-siap buat menjuling.Yang, sialnya, malah dibalas pakai dekap erat sama rengekan. “Aaa, gak mauuu ….”Lama dirinya begitu sampai ….“Apa Rere juga dapat senjata sama barang-barang baru?” Ia membuka obrolan dengan nada curiga dan penasaran. "Tuan, apa Merike kau hadiahi senjata atau benda ajaib di Dataran Tengah?”“Enggak.”“Massa?” Oukubo manyun. “Gak percaya. Kalau Dorothe saja dikasih sebanyak tadi mana mungkin budak kesayanganmu yang paling montok enggak dapat apa-apa. Bohong, ah.”Kujulingkan mataku dengar omongan barusan.“Cek! Kau pikir kalian itu apa, hah?”“Kami?” Ia tunjuk muka sendiri. “Wanita-wanitamu, ‘kan? Meski bukan istri sah, aku tetap—”“Cukup-cukup.” Aku gak mau dengar lagi. “Kau sebetulnya mau apa, Kubo? Bilang saja terus terang.”“Jawab dulu. Apa Rere juga dikasih senjata sama barang-barang ajaib?”“Enggak.” Kugelengkan kepalaku. “Aku gak ngasih Rere apa-apa di Dataran Te—”“Jujur!”“Iya.”“Jujur!” Matanya melotot. “Kalau enggak, aku ngambek nih.”“Dih.” Spontan aku menoleh dan membuat jarak dengannya. “Apa-apaan kau, Kubo? Memangnya—”“Tuaaan ….” Ia merengek lagi, kali ini sambil menitikan air mata. “Aku nangis, nih.”“Hah.” Kujulingkan mataku, sebal meladeni wanita jenis ini. “Aku gak ngasih Rere sen—eh, bentar! Kotak senapanku kutinggal di sana, sih. Cuma, itu gak dihitung memberi, ‘kan?”“Kan!” Oukubo memeluk lenganku, erat. “Rere juga dapat senjata.”“Kubilang dia kutinggal, bukan kuberi—”“Tapi Rere menjagakannya buatmu, ‘kan?” potong Oukubo, pindah jadi berlutut di depanku. “Tuan, kasih aku senjata ajaib juga. Merike sama Dorothe sudah dapat, tinggal diriku yang belum.”Kulihat dirinya tanpa bilang apa-apa.“Ya. Ya-ya. Ya-ya-ya?”Lama kutermenung memperhatikan tingkah Oukubo. Dia yang begini mengingatkanku pada Mihu, istri yang kumakamkan dekat Rumah Kecil. Rengekannya pas mau sesuatu sama persis ….“Kasih, ya, Tuan?”Aku tersenyum lantas menengadah.“Baiklah, tapi jangan rewel lagi—”“Baiiik!” Ia langsung merangkul dan memeluk-ciumiku. “Aku akan telentang tiap malam khusus buatmu, Tuan—muah ….”Entah apa yang kupikirkan ketika itu.Namun, kadung bilang mau ngasih, jadi kukeluarkanlah Toro lalu memberikannya pada Oukubo. Tongkat sihir dari ranting pohon suci dengan jantung naga yang katanya Salsabila cari-cari.Sekarang. Selain Mutiara Ungu dengan Pisau Liuk, senjataku tinggal Cakram Delima Ungu. Pisau melingkar yang ditempa Linci saat aku berguru di Puncak Teratai Salju bersama Xin-Xin ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 37 Kawan Lama

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ayah.”Aku tersenyum menyambut Alexa yang pulang hari ini.“Bagaimana kondisimu, kau sudah baikan, ‘kan?”“Lihatlah sendiri.” Kuputar badan di depan anak itu. “Apa ayahmu ini kelihatan masih gak berdaya, hah?”“Hahaha.” Alexa memeluk pinggangku. “Aku senang kau sudah baikan, Ayah. Ah, ya ….” Ia menuntunku ke luar gerbang. “Ayo temui guru sihir penyembuhku, Nona Wanyan.”Guru sihir penyembuh?“Nona Wanyan, ini ayahku.”Wanita muda, seorang elf hitam.“Salam, Nona. Aku ayahnya Lexa, maaf jika putraku merepotkanmu selama di sekolah—ah, mari-mari, kita bicara di dalam. Tidak enak mengobrol di depan gerbang begini ….”Sesaat kemudian, di halaman belakang—tempatku biasa menjamu tamu.“Silakan dicicipi, anggap saja rumah sendiri.”“Terima kasih, Tuan Mi.” Senyum gadis itu sangat manis, sikap dan pembawaannya juga elegan. Kukira ia adalah keturunan bangsawan ras peri hitam dari Hutan Pilar Hitam di Kolom Empat-Empat. “Ah, ya, diriku kemari sekalian mau mengantarkan surat.”“Surat?”“Benar.” Gadis itu merogoh kantong dan mengeluarkan sepucuk amplop. “Saintess menitipkan surat ini untuk Anda. Beliau bahkan berpesan, biarawati kami sangat kewalahan di perbatasan, Tuan Mi.”“Oh. Aku mengerti.” Kuterima surat darinya lalu kubuka ….Selesai kubaca. “Tolong sampaikan pesanku pada Saintess, orang-orangku sedang di perjalanan.”“Akan kusampaikan ….”Tidak seperti tamu-tamu sebelumnya. Guru sihir penyembuh Alexa hanya mampir sekejap. Ia lekas undur diri begitu diriku membuka surat dan memberi pesan balasan untuk Saintess ….“Ayah, mana Nona Wanyan?”“Sudah pulang,” jawabku, melengos ke ladang dan balik pada kegiatan sebelum Alexa memanggilku dari pintu depan beberapa saat lalu. Memetiki daun-daun herba buat diolah.Sementara Alexa, yang sempat mematung sembari menenteng nampan dekat kursi malas dan meja tamu, cuma memiringkan kepala lantas merebah dan mencamili kue-kue kecil di sana.Hari itu, minggu ketiga Bulan Delapan 352 Mirandi, rencanaku mengalami percepatan.Bangsawan-bangsawan yang terusir dari Dataran Tengah tempo hari kini mengatur tentara di perbatasan Kolom Tiga dan Empat-Tiga, memblokir Jalur Benang dan kompak melakukan aksi mogok makan massal—meminta Saintess agar membuka kembali zona netral untuk Kekaisaran Matilda.Hal yang bikin penerus Salsabila sakit kepala sampai mendesakku segera mengirim orang ke perbatasan buat menangani mereka ….*** Satu bulan kemudian. Suruhan Jambu buat membantu Kuil Widupa menangani para demonstran sebelumnya pun tiba. Mereka bandit-bandit yang pernah kubicarakan dengan Merike awal musim gugur ini.Laskar Kunci Rusak ….“Kau serius garong-garong itu suruhan orangmu, Mi?” tanya Saintess, waktu ia bertamu ke Baruke. “Bukan maksudku enggak percaya, tapi apa gak ada tentara yang lebih profesional. Yang kita hadapi sekarang—”“Aku juga gak mau mengirim mereka,” timpalku yang lalu menjelaskan, “tapi apa boleh buat. Yoram panji gorgonku kadung membayar bandit-bandit ini buat mengusir para simpatisan Matilda dari halaman kuil widupamu, ‘kan?”“Hah ….” Saintess merebahkan diri di sofa ruang tamuku. “Tahu begini aku gak bakal minta bantuan, da.”“Nasi sudah jadi bubur.”“Eh, ya, Mi. Peta yang lagi kau gambar itu bukan Kolom Empat-Tiga, ‘kan?”“Hum.” Kuabaikan dirinya dan coba fokus pada pekerjaan, menggambar alur suplai dengan jalur lalu lintas pasukan bantuan untuk kampanye aliansi delapan negara tahun depan.Kegiatan yang, tentu saja, tidak bisa lolos dari mata penasaran Saintess. “Oi, jawab. Ini peta kolom mana?”“Tunggu aku selesai dulu,” kataku, berusaha fokus. “Nanti juga kukasih tahu—”“Ogah!” sergahnya, menyambar peta setengah jadi tersebut. “Coba kulihat ….”Ingin rasanya kujambak gadis tengil ini dan memakinya sampai pekak, tapi apa daya. Kalau bukan gegara status kami sebagai sekutu, nasibnya sudah kubuat macam Sabrina—saintess sebelum Salsabila.“Ini Kolom Dua-Tiga?”Aku menjuling.“Ya, ya, ya … gak perlu melotot padaku, aku cuma mau memastikan saja.” Ia mengembalikan petaku lantas balik merebah di sofa. “Ah, ya. Soal permintaanmu kemarin, Tikar Dagang mengirim pembawa pesan.”Mataku lansung mendelik, melihat Saintess penuh harap.“Semalam dia muncul di pagodaku, setengah dupa sebelum aku merapal suar glorian.” Sekarang gadis itu kelihatan kesal. “Kelompok ini benar-benar sesuatu, datang dan pergi sesukanya—Cih!”“Apa orang itu bilang sesuatu?”“Katanya, mereka gak bakal turut campur pada perang kalian dan takkan memihak ataupun membantu pihak mana pun.”“Terus permintaanku?”“Mereka bilang, senapan rundukmu, mitraliur, semiotomatis, dan senapan-senapan serbu sama aksi baut sudah gak diproduksi lagi. Sejak sage sebelumnya, Kawasan Kemah Tikar Dagang cuma menjual amunisi—entah apa maksudnya.”“Hem.” Kugulung petaku lekas menyimpannya ke laci rak pojok ruangan. “Mereka benar-benar persisten, aku gak bisa maksa kalau begitu caranya.”“Kenapa kau mau pesan senjata ke mereka, bukannya kalian sudah punya para kurcaci, Mi?”Menoleh Saintess, kukeluarkan kotak senapanku. Vey.“Apa itu?”“Ini, Vey, kotak senapanku ....”*** “Soal barang yang kau tunjukkan di ruang tamu ….” Saintess menoleh sebelum naik ke kereta. “Leluhurku takkan ragu buat mengeluarkan semua harta Kuil Widupa demi benda itu, kuharap dirimu jangan pernah menunjukkannya di hadapan beliau.”“Aku mengerti.”Sudut bibirnya naik.“Baguslah ….”Minggu keempat di Bulan Sembilan. Urusan di Dataran Tengah akhirnya selesai. Aku telah mendapat jawaban atas rasa penasaran belakangan ini dan bisa lanjut pada rencana kampanye tahun depan. Kemah Tikar Dagang masih ada. Meski tidak bersedia membantu macam di perang Kyongdokia—Jian Seng mereka juga takkan menjadi lawanku dalam perang besar sekarang.Berkat dua hal itu saja diriku kini bisa bernapas lega, takkan ada masalah buat semua rencanaku dan Kara ke depannya. Sisanya cuma ….“Re, tolong kemaskan beberapa baju dan siapkan kereta untuk besok. Hari ini aku mau melihat Alexa.”“Tuan, a—”“Kau tinggal sini,” selaku, menebak pikirannya. “Siapa nanti yang akan menjaga anak manja sama rumahku ini kalau bukan dirimu, Re?”Ia menunduk, memberi hormat, kemudian undur diri.“Ah, ya!” Kutahan langkahnya sebentar. “Aku mukin pulang telat malam ini, kau gak perlu menungguku.”Merike mengangguk lantas berlalu dan menutup pintu ….*** “Sore, Paman.”“Ah, kau datang lagi!” Pemilik toko herbal yang pernah kudatangi terbelalak dan menjatuhkan swipoa dari tangannya pas melihatku. “Buat apa dirimu kemari, hah?”Aku menjuling sebelum mendekat ke mejanya.“Singkirkan tanganmu dari mukaku, Paman. Aku kemari buat jual herbal—lihat ….” Kukeluarkan lima ratus butir Embun Rumput Bulan, tujuh puluh dua Pemadat Inti, seratus lima puluh Pemudar Aura, dan enam puluh Peluruh Residu Elemen ke atas meja. “Total ada 782 pil. Bagaimana, hebat, ‘kan?”Ia kini ternganga.“Aku tidak akan mengambil harga penuh,” lanjutku, “cukup beri aku enam puluh dua platinum untuk Pil Pemadat Inti sama Embun Rumput Bulan, sisanya kuberikan padamu gratis.”Entah gegara kelewat senang, kaget, atau apalah penyebabnya. Ketika itu si pemilik toko malah terduduk ke belakang, bengong, lalu kejang-kejang. Membuat beberapa orang di sana histeris dan cepat-cepat memanggil tabib.Setelah dirinya siuman pascaperawatan ….“A-aku di mana?”“Hah ….” Tabib yang memeriksa si pemilik toko menggeleng. “Kau harus berhenti makan daging kambing. Lihat dirimu Dong Tua, kejang-kejang macam kena ayan.”“Aku kenapa?”“Kau gak sadarkan diri ta—”“Kau!” Ia menunjukku. “Aku ingat. Kau membawa banyak pil ke tempatku—ahaha … Alkemis …, Alkemis Hebat, tokoku cuma toko kecil, tolong jangan permalukan diriku lagi. Kumohon, Alkemis ….”Semua orang buang muka lihat dia merengek di kakiku.Membuatku jadi merasa bak penjahat di rung rawat tersebut.“Paman, kau ini bilang apa?” Kupaksa dirinya bangkit. “Aku ke tempatmu karena tokomu satu-satunya di sini yang bisa menjual Bunga Hantu kemarin, diriku sama sekali bukan mau mempermalukanmu.”Kusapu lirikan semua orang sekilas.“Lihat, orang-orang jadi melihatku buruk, ‘kan?”“Tapi, Alkemis!” Si pemilik toko berkeras. “Kau hari ini membawa terlalu banyak obat ke tokoku. Aku tidak sanggup membelinya, apalagi pil-pilmu jenis obat spiritual.”“Obat spiritual?” Tabib yang baru saja merawat paman pemilik toko tiba-tiba nimbrung. “Maksudnya obat ki khas para pertapa, hah?”“Be-benar, Tabib Cha. O-orang ini membawa empat peti obat spiritual ke tempatku, bagaimana aku tidak ayan, hah? Coba kau bayangkan.”“Benarkah?” Sang Tabib tampak antusias. “Bo-boleh kulihat obat-obat Anda, Tuan Alkemis?”Menangkap sikapnya sebagai peluang, kukeluarkan pil-pil tadi di depan mereka.“Semua 782 butir: 72 Pemadat Inti, 500 Embun Rumput Bulan, 150 Pemudar Aura, sama 60 Peluruh Residu Elemen. Kujual enam puluh platinum dalam bentuk perak atau perunggu, tidak menerima kasbon.”Ia, si tabib, melongo sebentar sebelum menawar.“A-aku akan membelinya, t-tapi tabunganku cuma empat puluh lima platinum.”“Kalau begitu tidak u—”“A—tunggu-tunggu-tunggu!” Dia menahanku. “Beri aku waktu, enam puluh platinum saja, ‘kan?”“Ya.” Kulihati dirinya sekilas lalu melipat tangan dan membuat alasan. “Harusnya kujual lebih, tapi karena cuci gudang harga segitu kurasa juga cukup.”“Baik.” Transaksi pun dibuat, Klinik Tabib Cha memborong pil-pil tersebut dan aku mendapat enam puluh platinum dalam bentuk enam ratus ribu keping perak zaman ini pada malam tersebut.Dan, sebelum pergi, kuberi paman pemilik toko juga orang-orang yang mengantarnya tiga ratus lima puluh keping perak buat hadiah sebagai saksi. “Nah, urusanku sudah selesai. Tabib Cha, Paman, Semuanya, aku pamit. Terima kasih banyak, sampai jumpa ….”Selepas dari klinik, aku pun lanjut ke Kuil Widupa lalu menemui Alexa sesuai rencana. Memberi tahu anak itu jika diriku akan kembali ke Sabila besok dan dia gak perlu pulang ke Baruke setiap minggu mulai musim dingin nanti ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 36 Praperang Besar

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Ayaaah!”Hari-hariku di Baruke berlanjut.Satu mingu sekali Alexa pulang membawa teman, satu demi satu dia kenalkan dan menjadi akrab dengan situasiku bersama Merike. Kadang para pengajar di kelasnya juga ikut berkunjung, membuatku yang biasa menyuling obat dengan tenang beberapa kali meledakkan tungku.Namun, sebagai ayah yang baik, aku selalu pasang muka senyum serta berusaha agar tampak gembira bila menyambut mereka di depan Alexa.“Siapa ini, Lexa?” tanyaku, waktu menyambut tamu baru kami. Alexa, seperti biasa, semringah mengenalkan orang yang mengikutinya. “Ini guru alkimiaku, Ayah. Alkemis Florin. Profesor Flo, ini ayahku.”“Ah, Profesor Florin.” Kupersilakan dirinya masuk. “Mari-mari …, tidak enak berdiri di pintu gerbang lama-lama—Reee! Tolong bawakan sepoci teh sama beberapa camilan buat tamu kita.”Sesaat kemudian, di halaman belakang rumah.“Kuharap Lexa tidak merepotkan Anda di sekolah, Profesor,” ujarku, membuka topik obrolan dengan sang guru alkimia. “Anak itu sangat periang, terlalu bersemangat bahkan. Aku selalu cemas bila mengingatnya.”“Hahaha.” Pria di depanku mengusap janggut. “Anda bisa saja, Tuan Mi … kalau boleh jujur, diriku sangat terpukau dan punya harapan pada bakat putra Anda.”Klise. Hampir tiap pengajar yang Alexa bawa menyinggung bakat anak itu, tapi diriku sendiri belum pernah melihat apa bentuk bakat tersebut.“Alexa?” Kupasang muka terkejut. “Aku baru tahu dia punya bakat di alkimia.”“Di antara semua yang pernah kuajar ….” Profesor Florin mencondongkan badan. “Kurasa hanya Laye—”“Ayaaah!” pekik Alexa dari lantai dua, menjeda obrolanku dan si profesor. “Pot bunga hantuku mana, aku gak bisa menemukannya di kamar.”“Pot bunga hantu?”“Benar. Aku mau menunjukkannya pada Profesor Flo.”“Tanya Rere …,” kataku terus balik duduk bersama guru alkimianya. “Lihat sendiri, ‘kan, Profesor. Anakku sangat aktif, energinya me—ah, Anda mau bilang apa tadi?”“Oh.” Sang profesor memperbaiki gestur. “Hanya Layeli yang sebanding dengan putra Anda, Tuan Mi.”“Siapa Layeli?” tanyaku, memicingkan mata. Prof. Florin berdeham kemudian berkata, “Salah seorang binaan Saintess, jenius alkimia di Kuil Widupa.”Kuangguk-anggukkan kepalaku.“Meski belum semahir Layeli, Alexa punya potensi ….”Aku tidak akan kaget. Semua pengajar yang dibawa Alexa mengatakan hal senada. Namun, tidak satu pun terbukti pas diriku turun langsung buat memeriksa anak itu.Entah karena standarku yang ketinggian. Atau, mereka cuma sedang menjilat dan bicara omong kosong.“Ngomong-ngomong, Tuan Mi, apa Anda seorang herbalis?” tanya Prof. Flo, sesaat diriku membuka kipas dan melihati ladang di seberang kami. “Tanaman-tanaman ini bahan pil dengan ramuan obat, bukan?”“Huh.” Satu sudut bibirku naik. “Aku hanya amatir, Profesor. Tanaman-tanamanku kutanam sebagai hobi, bukan sesuatu yang layak Anda lirik.”“Tuan Mi—”“Ayah!” Lagi-lagi, pekikan Alexa membuatku dan sang guru alkimia menoleh. “Rere bilang kau menumbuk bunga hantuku kemarin ….”Aku keluar dari kursi malas lalu mendekat kepadanya.“Ah, benar.” Kukeluarkan botol serbuk racun tersebut. “Aku baru ingat. Bunga putih di kamarmu, ‘kan? Ini dia, sudah kugerus jadi serbuk.”“Ih, Ayaaah!” Ia menyambar botol kramik di tanganku. “Aku mau menunjukkan bunga itu kepada Prof. Flo hari ini, kenapa malah kau tumbuk?”Kugaruk kepalaku menerima keluhan Alexa.“Mau bagaimana,” kataku lantas jongkok di depannya, “bungamu sudah mau layu, Lexa. kalau gak kugerus dia bakal kering di pot—”“Itu bungaku!” jerit si bocah sebelum kemudian membanting botol Gerusan Sari Bunga Hantu tadi hingga pecah. Prank!Tindakan yang sontak membuatku mendorongnya mundur dan teriak, “Awas, Lexa!”*** “Ayah …, Ayah!”Sekian saat kemudian. Kudapati Alexa menangis di pinggir ranjang bersama Merike.“Kau sadar, Ayah.”“Memang aku kenapa?” tanyaku, melirik semua orang di kamarku sekilas. “Kenapa, kenapa kalian semua di sini …, Prof. Florin, Saintess, Nyonya Laura, teman-temannya Lexa?”“Maafkan aku, Ayah.” Alexa memeluk pinggangku erat. “Aku gak sengaja meracunimu ….”Racun? Oh, aku mengerti.“Alexa, sekarang ayahmu sudah siuman,” ucap Saintess, tanggap menangkap maksud lirikanku. “Biarkan dirinya istirahat, Nak. Prof. Flo, tolong bawa Alexa dan semua orang keluar.”“Baik, Nona.”Ketika hanya sisa diriku, Merike, dan Saintess saja di sana.“Kau benar-benar—”“Hei!” jeritku, merespons sentilan tangan Saintess yang tiba-tiba ke keningku. “Aku masih sakit di sini.”“Masih sakit palamu,” timpal sang mercusuar sihir glorian, cekak pinggang di depanku. “Kau tahu, Alexa histeris memintaku memeriksamu tadi siang. Dia bahkan mengancam akan membakar altar persembahan kalau aku gak mau datang kemari.”“Anak itu ….”“Lain kali jangan pura-pura mati lagi.”“Pura-pura mati?”“Jangan memasang muka polos di depanku, Mi!” Telunjuk gadis itu mencuat ke mukaku. “Jangan pikir aku gak tahu, ya. Penerima berkat istana naga kebal segala racun di benua, Sialan.”“Hehe.” Kuangkat tangan sebahu, menyerah. “Aku cuma mau menggoda Alexa sedi—”“Tapi bukan dengan membuat anak itu kalap juga, Brengs*k!” makinya, segarang Salsabila. “Kau tahu aku sedang memimpin pertemuan dengan para delegasi Matilda Timur, meninggalkan mereka ketika diskusi berlangsung sama saja dengan menyatakan perang.”“Bukannya kita memang mau memerangi mereka?” timpalku, menepis tangan Saintess dari tali jumsuit-ku. “Dengar. Dengan ataupun tanpa pertemuan di istanamu, Dataran Tengah tetap akan jadi ceruk konflik. Anggap saja aku memotong tali kemunafikan dan kepura-puraan kalian tepat sebelum Matilda kembali ke benua utama.”“Kau—” Kata-kata Saintess tertahan sebentar, entah gegara apa. “Pokoknya aku ogah terlibat. Urusanmu sama penyintas zaman ini gak boleh sampai menyeret dataran tengahku, paham?”“Aku tahu ….” Diriku turun dari ranjang lantas mendekat ke jendela. “Dari dulu kesibukan di kota-kotamu memang gak pernah tersentuh konflik dua sisi benua. Kalian macam berada di dunia lain ….”Merike mendekat waktu aku menoleh.“Kirim merpati kaki ungu ke Taria, panggil Jambu sama unit khususnya buat bersiap di Distrik Timur Zona Netral. Ah, ya, kirim juga merpati kaki merah dengan ikat kain hijau ke Sabila.”Setelah Merike berlalu ….“Kudengar pasukan Kara sekarang punya tiga panji baru, yakin mereka akan setia padamu, Mi?”“Gak,” jawabku, duduk di kursi pojok ruangan. “Mereka akan menikamku ketika waktunya pas, gak perlu repot menghabiskan tenaga buat meramalku. Daripada itu, kau yakin delapan bintang benua akan keluar sebelum penyintas dan pahlawan pulang?”Lama ia termenung di sudut jendela sebelum menjawabku.“Penglihatan yang kudapat dari cermin jendela waktuku menunjukkan bayangan seorang pertapa tengah membawa mutiara bintang benua tepat sebelum pertempuran di timur pecah,” ujarnya, melipat tangan ke arahku. “Kesimpulanku para bajing*n itu akan terhambat atau sesuatu terjadi sebelum perang besar.Jika bukan dirimu, pertapa mana lagi yang punya kesumat mendalam terhadap mereka?”“Kau yakin diriku yang membawa mutiara bintang benua di sana?”Ia tidak menjawab.“Salsabila gak pernah dapat gambaran jelas pas meramal masa depan lewat cermin ajaib kalian,” jelasku, menoleh ke langit seberang jendela. “Jika dirimu benar-benar melihatku dalam cermin itu, berarti saintess zaman ini lebih hebat daripada di zamanku.”“Buang pujianmu. Kemampuanku adalah hasil pelatihan leluhur, sehebat apa pun itu gak mengubah fakta bahwa merekalah peletak fondasi awalnya.”Nada bicara gadis ini terdengar hipokrit buatku.“Aku gak tahu apa perjanjianmu dengan leluhur, tapi setiap pagi beliau selalu memintaku mendekatkan salah seorang murid dengan Alexa. Aku kemari sekalian mau memastikan hal itu, Mi,” akunya, “apa kau menjanjikan sesuatu kepada Kuil Widupa di luar zona netral?”Satu sudut bibirku naik.“Barang yang diminta leluhurmu buat permintaanku cuma palu delima yang kalian taruh di Altar Jiwa hari itu, gak ada hal lain lagi.”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 35 Apa Tujuannya

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Aku pulaaang ….”Minggu pertama Musim Gugur. “Lexaaa!” pekikku, berlari dari halaman samping. “Jangan menginjak hala—”Bdum! Aku terlambat.“Ayaaah!” Anak itu sudah blepotan kena tumpahan lumpur.Biar kujelaskan apa yang lagi kulakukan.Dua hari lalu ….Ketika melihat papan iklan sebuah toko. “Paman, di depan kulihat ada gambar Rumput Bunga Hantu. Apa Anda masih punya?”“Kalau papan itu masih di sana berarti masih ada …,” jawab sang pemilik toko, ketus, ia melirikku dari atas sampai bawah kemudian melipat koran di tangannya. “Apa kau seorang alkemis, dari serikat mana?”“Aku ….” Kugaruk pipiku. “Aku bukan dari serikat mana-mana?”“Oh, alkemis nganggur.”Sialan, tapi dia benar. Aku memang menganggur.“Anda bisa saja, Paman.” Percuma kuberikan alasan juga, faktanya diriku memang tidak punya pekerjaan apa-apa di Dataran Tengah. “Ah, ya, soal Rumput Bunga Hantu tadi—”“Kujual delapan keping emas,” selanya, menaruh tangan kiri di atas meja dan menatapku. “Herba ini sudah sangat jarang di pasaran, sekalinya ada alkemis biasa takkan melirik karena metode penanganan racunnya yang rumit. Aku tidak mau rugi, jadi kujual dia delapan emas.”“Boleh kutawar, ‘kan?” tanyaku, menempelkan tangan ke mejanya antusias. “Aku juga mau beli beberapa herba lain, jadi tenang saja, Paman. Kau gak akan rugi.”“Hem.” Ia memalingkan badan sekian derajat sambil melipat tangan dan mengelus janggut. “Lima persen, tidak boleh minta le—”“Dua puluh!” tawarku yang lalu menambahkan barang lain, “aku juga butuh Lilin Salju sama Mutiara Ungu, potongan lima persen apa bedanya dengan harga penuh?”“Bunga dengan Rumput yang kau minta bukan barang biasa,” timpal si pemilik toko, “modal mencarinya juga sangat tinggi, jangan menyulitkanku. Sepuluh persen atau tidak sama se—”“Setuju!” sambarku yang lekas menaruh sekeping platinum, “beri aku juga ….”Selanjutnya, kusebutkan nama-nama herba yang kumau hingga total harga dikurang diskon tadi pas satu platinum koin di atas meja. Membuat sang pemilik toko ternganga setelahnya ….“Kau benar-benar memerasku.”“Selain menyuling pil dan menyeduh ramuan, aku juga harus pandai menghitung, Paman. Kalau tidak tahu harga bahan-bahan obat, bagaimana aku akan menakar ramuanku?”“Paling tidak beri aku kesempatan untuk menghasilkan uang …,” keluh si pemilik toko, tepat sebelum ia menaruh bungkusan herba kering terakhir bersama pesanan-pesananku di atas meja. “Sudah semua, kau boleh memeriksanya lagi kalau mau.”“Aku percaya padamu, Paman ….”Selesai berbelanja bahan herbal hari itu aku jadi kepikiran untuk membuat tungku sama kuali alkimia baru, karena ini jugalah dari kemarin kuaturkan formasi ‘lumpur merah spesial’ di halaman depan.Siapa sangka. Alexa ternyata bakal pulang terus masuk ke formasi pelentur aura dan meledakkan adonan lumpur ajaiku itu hari ini ….“Sudah. Badanmu sudah bersih lagi. Sana ambil baju.”“Lain kali jangan memasang hal aneh di halaman depan, Ayah,” keluh anak itu, selesai kumandikan pinggir kolam belakang. “Untung cuma bom lumpur.”“Hush!” Aku bangkit lantas mengambilkan baju buat temannya. “Kau juga kalau pulang kasih kabar, jangan menyelinap kayak maling macam tadi. Lihat temanmu, jadi ikutan kena jebakan, ‘kan—”“Aku sudah tulis surat, Ayah.”“Benarkah?”“Tanya Zola.” Alexa menoleh temannya. “Dia saksinya kalau aku sudah menulis surat kemarin.”Kulirik temannya.“Be-benar, Paman. Alexa sudah menulis surat, tapi dia lupa untuk mengirimkannya.”“Hah?” Aku mendelik, sekaligus ingin tertawa dengar keterangan barusan. “Kau menulis surat terus lupa buat mengirimnya itu sama saja dengan tidak, Lexa.”Anak itu berbalik, selesai mengikat pinggang pakaiannya.“Setidaknya aku sudah berusaha ….”*** “Ah, ya! Ayah, Zola ini murid utama Kuil Widupa. Dia yang termuda dan paling pintar di antara lima belas asuhan Saintess ….”Ini kali pertamaku melihat Alexa memuji seseorang. Biasanya anak itu tidak mudah terkesan serta jarang sekali mengakui orang lain di depanku, bahkan waktu kami bertemu Saintess pun wajahnya gak seantusias ini.Apakah anak yang duduk sebelahnya benar-benar hebat?“Sudah-sudah ….” Kulap pipi Alexa. “Makan dulu yang benar, nanti baru puji temanmu lagi.”“Hehe.” Ia nyengir kemudian menoleh pada temannya. “Tambah lagi laukmu, Zola ….”Zola, pria mungil sebelah Alexa ini memang gak biasa—harus kuakui. Tubuh kecilnya cukup padat buat ukuran anak-anak, dan ketenangannya juga lebih halus ketimbang penampilan luar yang masih muda. Pantas disukai Saintess.Apa mungkin ….“Namamu Zola, ‘kan?” Kudekati teman Alexa itu pas dirinya duduk sendiri di halaman belakang. “Aku suka Rumput Bulan, makanya halaman ini kupenuhi sama mereka.”Ia melihatku, tapi tidak mengatakan apa-apa.“Ah, haha … aku akan jujur padamu. Zola, apa putraku bikin masalah selama di sekolah?”Zola menggeleng.“Syukurlah. Kau tahu, Alexa sangat aktif. Aku takut bila dia bakal bikin ulah di—”“Ayah!” pekik Alexa dari belakang, membuatku dan temannya berbalik spontan. “Jangan merusak citraku kepada Zola, ya. Aku ini murid utama Saintess juga, tahu.”“Aku gak bicara buruk tentangmu, kok.” Kugaruk pipi dengar keluhan anak itu. “Tanya temanmu, apa aku barusan menjelekanmu apa tidak?”“Zola, jangan terhasud omongan ayahku ….” Ia meraih lengan temannya kemudian pergi. “Kita ke kamarku saja, biar kutunjukkan buku-buku koleksiku.”Hem. Melihat mereka berlalu diriku jadi makin penasaran.Kemarin Salsabila memintaku melatih anak dengan berkat para kurcaci, sekarang Alexa membawa teman unik ke rumah, jika mau iseng hal ini jadi berkaitan kalau ingat watak si bekas saintess.*** “Apa Alexa sudah tidur?”“Sudah—ah ….”Kutarik Merike agar berbaring.“Hari ini adonan lumpurku hancur,” ucapku, perlahan mengelus pipi sembari menatap wajahnya. “Besok aku mau pergi buat nyari bahan baru. Kau gak papa sendirian di rumah, ‘kan, Re?”Elf putih satu itu tersenyum, manis sekali, dia balas menatapku serta berani meyambar puncak bibirku sebelum lanjut bersuara. Cup!“Aku akan menunggu ….”“Kau—” Hingga, diriku pun lupa diri. Daya sensual Merike merasukiku. Kudekap ia erat, kuciumi, serta kuendus lehernya berkali-kali dalam ketidakberdayaan diri yang makin dan makin membuatku bergairah. Kuusap, kuremas, bahkan kuselisik pangkal rambut juga kepalanya kala itu.Aku menjadi liar.Terutama saat lenguh dari mulutnya menggetarkan dadaku. “Tuan ….”Mari lompati adegan ini sampai beberapa ‘gebrakan’ ke depan ….“Kau masih bangun?” bisikku, pelan-pelan membuka mata dalam dekapan Merike.Ia mengusap janggutku, memelintir, lalu menarik wajahku padanya. “Aku bangun duluan.”“Kukira kau gak tidur, Re? Baguslah ….”“Kenapa, takut aku gak puaskah?”‘Obrolan macam apa ini?’ batinku sebelum ganti topik, “Ngomong-ngomong, Re, kudengar bandit-bandit, rampok, begal dan para pencuri membuat persekutuan di Hutan Purtara. Menurutmu, apa mere—”“Kurasa kau jadi lebih serakah daripada biasanya akhir-akhir ini …,” sela Merike, menempelkan kening ke pelipisku. “Apa terjadi sesuatu padamu, Sayang?”“Ya.” Kutarik dirinya supaya kami makin lekat. “Aku mulai memikirkan kemungkinan lain, Re.”Hening sekejap.“Jika Kuil Widupa merilis purwarupa senapan lontak baru dan menyebarluaskan cetak birunya, bukankah ada kemungkinan kalau Matilda punya versi yang lebih canggih dari itu?”“Oh, jadi kau khawatir bila musuh ternyata menipu kita.”“Wanita itu datang dari dunia yang melampaui Eldhera di segi teknologi, Re.” Kusibak rambut elf yang lagi merebah di tubuhku. “Meski tanpa sihir, senapan mereka sanggup menembus tengkorak di jarak tiga ribu meter bahkan lebih. Belum lagi bom nuklir yang—”“Bukankah kita juga punya para penyihir?”Kuperhatikan Merike saksama, ia masih setenang biasanya.“Jika ketakutanmu terbukti, benar Kara hanya perlu melipatgandakan kekuatan …,” ujarnya, mendekapku erat dan mendekatkan bibir ke kupingku. “Akan tetapi, jangan sampai salah mengambil langkah ….”Bisikannya membuatku merinding.“Saat perang selesai dan benua kembali damai, bukankah semua orang juga harus kembali pada kebiasaan lama mereka?”Sekaligus mengingatkanku pada tujuan awal kenapa perang dengan Matilda ini kumulai ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 34 Perjanjianku dan Salsabila

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

Setelah pertemuan dengan Saintess dan Salsabila, Dataran Tengah kini kembali menjadi zona netral. Bukan lagi Matilda atau anak kekaisarannya, bukan pula kerajaan yang hanya menaungi ras manusia. Akan tetapi, zona bebas konflik serta muara peradaban tiga benua besama para penghuni-penghuninya—kecuali monster, tentu saja. Ada regulasi khusus mengenai ini.Intinya Dataran Tengah yang kukenal telah kembali. Meski, ya, harga yang kubayar untuk itu sangat mahal.“Aku mau kalian kembali ke Dataran Tengah yang kutahu dan Bonsa akan kutinggalkan di sini ….”Salsabila hanya senyum kecil dengar tawaranku.Aku tahu. Baginya, harta benua bukan lagi sesuatu untuk dilirik. Meski tongkatku tidak ada duanya, hal itu tidak serta merta menjadikan gadis serakah ini menyetujui proposal tersebut.Dia, Salsabila nan sangat kukenal, meminta hal lain yang jauh lebih menakutkan.“Jujur saja, aku sudah menjelajahi seluruh benua satu tahun setelah kalian menghilang. Buat menemukan senjata-senjatamu, kalau kau tanya untuk apa, Mi.”Senjataku?“Golok Besi Gunung yang berat itu, Pisau Macan Kumbang beracunmu, sama tongkat sihir dari ranting pohon suci yang kau beri jantung naga di Stellar …, Toro.”Aku terdiam mendengarkan si bekas saintess.“Mencari mereka bukan perjalanan mudah, kuberi tahu …,” akunya lalu melipat tangan, bangga. “Namun, jangan panggil aku Dewi Pisau Pembelah Waktu kalau gak berhasil. Selain tongkat sihir, dua lainnya telah kutemukan. Walau, ya, enggak bisa kutarik dari tempat mereka menancap juga ….”Hem. Kulirik dirinya curiga.“Jangan melihatku begitu.” Ia kini berpaling. “Kau tahu sendiri jiwa kolektorku takkan membiarkan harta-harta benua lenyap di tangan orang lain, bukan?”“Aku tahu, makanya kutawarkan Bonsa padamu. Jika Dataran Tengah kembali kurasa benua a—”“A!” Telunjuk Salsabila mencuat padaku. “Paham, tapi aku gak mau tongkatmu. Benda itu gak cocok buat Kuil Widupa, dia ditempa khusus untuk orang buta. Sayang, mataku dan mata penerusku masih sehat.”“Terus kau maunya apa?” tanyaku, sebal dengar komentar barusan. “Mataku juga sangat sehat pas dulu mengayunkan Bonsa. Kau tahu sendiri, bukan?”“Hem ….” Salsabila melihatku. “Baiklah. Kalau memang benar ingin dataran tengahku kembali, dengarkan baik-baik. Kumau kau jangan menempa senjata kelas mistis selama lima milenium ke depan.”Syarat yang benar-benar menakutkan, tetapi tidak bisa kutolak. Cek! “Bagaimana, sanggup?”Di situasi normal, kehilangan harta kelas benua sudah merupakan bencana. Namun, pada kasusku, karena bisa menempa kembali hal tersebut jadi tidak terlalu mengerikan.Salsabila, saintess dari zamanku ini, benar-benar tahu bagaimana memanfaatkan celah. Jika tidak menempa senjata sendiri, diriku terpaksa harus bergantung dan mengandalkan orang lain—mau gak mau. Atau. Jangan-jangan ….“Jujur saja. Bila, kau mau aku mengajarkan keahlianku, ‘kan?”Kemungkinan lain yang lebih cocok dengan tabiat gadis ini, dirinya mau memaksaku mengambil penerus.“Huhuhu … murid raja penempa dari selatan boleh menghilang, tapi tidak dengan keahliannya. Kalau gak mau mengangkat penerus, kau hanya perlu tabah melihat kualitas senjata-senjata benua menurun selama lima milenium ke depan. Enggak sulit, bukan?”Sudah kuduga.“Huh ….” Kupanggil palu kristal delimaku. “Nih.”“Eh?! Kau gak mau menawar syaratku dulu, Mi?” tanyanya, tidak segera menerima palu tempa spesialku tersebut. “Kasih masukan atau mengurangi jangka waktunya juga boleh, kok. Kenapa mesti buru-buru?”Aku, yang tahu benar bagaimana muslihatnya, cuma mendelik sebal. “Pokoknya jaga Palu Delima ini baik-baik, aku akan mengambilnya lagi setelah lima milenium.”“Hem.” Aku tahu dirinya juga kesal. “Sayang sekali. Padahal aku punya kandidat penerus terbaik buat kau latih. Anak yang punya berkat para kurcaci dan bisa meniup tungku naga. Yakin gak mau mengajarinya?”“Kalau sudah bisa meniup tungku naga, berarti gak perlu bimbinganku.”“Kau benar-benar gak berubah, masih sekeras kepala dulu ….”*** “Ya. Kau masih bersamaku sekarang ….”Kuusap permukaan togkatku, Bonsa, pakai jempol lantas mengembalikannya ke Kantong Hati Naga selesai mengingat obrolan dengan Salsabila. Sore hari, ketika menunggu Alexa pulang, di depan sekolahnya. “Ah, Lexaaa! Sini ….”Tanggal 19 Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.“Ayah Angkaaat!”“Kau gak nakal di kelas, ‘kan?” Kuacak-acak rambut bocah itu begitu dirinya sampai. “Bagaimana teman-temanmu, kalian—”“Ayah ….” Ia manyun. “Aku lapar.”“Ho.” Kuangkat tubuhnya ke udara sebentar. “Kita hari ini jajan di luar, bagaimana?”“Mauuu! Aku mau sate sama hati ayam ….”Agendaku di Dataran Tengah berjalan lancar—sangat mulus, bahkan.Bertemu Salsabila, menyekolahkan Alexa, kemudian menggeser bakal lokasi pertempuran Kara melawan Matilda dari ujung Kolom Dua dan Tiga-Tiga ke Kolom Empat-Tiga. Bukankah ini hebat? Sekali dayung, tiga hal pun kudapat.Meski, ya, harga yang mesti kubayar juga tidak murah.“Ayah Angkat, di sana ….”“Ah, benar. Ayo ke sana … Paman, apa masih ada meja kosong untuk kami?”Pedagang yang lagi mengipasi sate dengan daging-daging di atas pembakaran melirikku dan Alexa sekilas, menoleh, lalu balik pada kegiatan sebelumnya.“Naik saja ke lantai dua,” ucap sang pedagang sebelum lanjut berbisik, “mulut orang-orang ini kasar dan bau, gak bagus buat telinga anak-anak. Jangan lupa, tutupi kuping putramu sambil jalan ke tangga.”“Ah, terima kasih.” Kukeluarkan sekeping platinum lekas menaruhnya dekat pembakaran. “Paman, tolong bakarkan dua puluh tusuk taican sama satu kilo daging kambing—”“Jangan lupa hatinya juga, Ayah.”“Ah, benar. Tolong tambah juga setengah kilo hati ayam, kalau bisa dengan sedikit nasi.”Si pedagang kembali melihatiku dan Alexa.“Hanya kalian berdua?” tanyanya sebelum polos berkata, “jarang ada yang pesan sebanyak itu—eh?!”Ia melotot pas lihat uangku.“Apa tidak ada uang kecil, aku tidak punya kembalian untuk koin besar ini.”“Simpan saja kembaliannya, Paman,” kataku, tersenyum mendorong tangan si penjual kembali. “Anggap saja aku memborong daganganmu malam ini.”“Kalau memborong, harus kau ambil semua!” teriaknya tiba-tiba, ia merentangkan tangan gembira.Yang, senang hati kubalas, “Baik. Kalau begitu undang semua orang untuk makan di warungmu, bakarkan semua daging di rak dagangan malam ini, Paman!”“Kalian dengar itu?!” pekik sang pedagang, “aku tidak tahu ada hal baik apa hari ini, tapi malam ini kalian semua bebas makan di warungku. Semua daganganku sudah terjuaaal!”“Yaaa ….”Selanjutnya kedai tersebut semakin ramai hingga larut malam ….*** “Saudara ….” Dua orang mendekat ke mejaku dan Alexa, sesaat kami menikmati hidangan. “Aku tidak tahu hal baik apa yang terjadi padamu juga putramu hari ini, tapi aku, Zende, dengan adikku, Zenri, bukan orang yang tidak bersyukur. Kami kemari untuk menyapamu, sekalian mengucapkan terima kasih.”“Ah!” Aku segera keluar dari meja lalu membalas salam keduanya. “Terima kasih, Saudara Zende, Saudara Zenri. Aku, Mi, penjual arang dari Sabila. Aku datang kemari untuk menyekolahkan putraku, Lexa, di Kuil Widupa. Selama tiga hari kami menunggu jawaban, dan hari ini dirinya telah menjadi murid Saintess.”“Benarkah?” Keduanya kelihatan senang. “Saudara Mi, aku dan adikku turut gembira untuk kalian berdua … Nak, menjadi murid Saintess bukan sesuatu yang bisa dicapai sembarang orang. Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan dan buat ayahmu bangga.”“Tentu saja, Paman.” Alexa mengangkat satenya tinggi-tinggi. “Aku akan menjadi hebat seperti Ayah.”“Hahaha, aku senang mendengarnya.” Zende balik menghadapku. “Saudara Mi, kurasa aku dengan adikku takkan mengganggu kalian lagi. Sekali lagi kuucapkan selamat, kami permisi. Adik Kecil.”“Selamat tinggal, Paman ….”Setelah dua orang tersebut, datang lagi orang-orang yang hendak mengucapkan selamat.Kecualikan Alexa yang bisa tertidur dan pulas, diriku hampir-hampir tidak tuntas makan meladeni mereka hingga tengah malam. Meja itu benar-benar sibuk.Sungguh hari yang berat ….***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 33 Matilda Tengah

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Silakan ikuti diriku ….”Tanggal 16 Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.Dua bulan meninggalkan Kara, aku akhirnya tiba di Dataran Tengah. Wilayah netral di bawah pengawasan Kuil Widupa dan saintess-nya.Bersama Merike, usai memeriksa Militer Taria, kami akhirnya membawa putra Bura Bella dan Bura Parami, Alexa, dari tempat Jambu ke tanah di mana putraku, Yaspin, dahulu tumbuh.Namun, siapa sangka kesanku terhadap sang empunya wilayah akan sedikit berbeda daripada rencana.Ya. Sangat beda sebetulanya ….“Aku baru tahu kalau Kuil Widupa punya lorong bawah tanah selain jalan masuk labirin …,” ucapku, coba menghidupkan suasana yang sangat sepi sejak kami mengikuti Saintess dari aula utama kuil. “Apa ini jalan ke ruang rahasia?”“Tidak ada ruang rahasia atau hal semacam itu di Kuil Widupa!” timpal sang ibu asuh, masih sekasar saat kami di atas. “Aku tidak percaya. Nona Saintess, kenapa kita membawa orang luar kemari …?”Antara sebal dan tidak. Aku masih dongkol atas sikap si ibu asuh, tetapi juga paham perasaannya pas gadis yang ia momong sedari orok tiba-tiba membawa orang asing ke tempat mereka. Gak ada angin gak ada hujan. Apalagi ini area terlarang.Mungkin, jika mau berandai, situasi sekarang akan sama seperti Miaw-ku suatu saat tiba-tiba membawa teman laki-laki ke rumah. Gak bohong, sebagai ayah diriku juga bakal sekesal dirinya.Meski Saintess bukan putri kandung si ibu asuh, aku paham perasaan wanita itu.“Mereka bukan orang luar, Laura. Spiritku berdenging dan memintaku mengantar mereka ke Altar Jiwa.”Oh, jadi tempat yang kami tuju itu Altar Jiwa? Aku baru pertama kali dengar.“Ah—Re, Lexa!” panggilku, spontan melompat ke depan mereka ketika getaran aneh tiba-tiba memancar dari ujung lorong. “Sembunyi di belakangku ….”Siap memapak apa pun, kurapal Tapak Dewa dan Pukulan Naga sekaligus.“Lihat sendiri, ‘kan?” ucap sang Saintess, menenangkan si ibu asuh sebelum menegurku. “Belum pernah ada yang bereaksi dengan spirit selain diriku di altar ini … Tamu, tolong redam aura Anda. Kita tidak bisa masuk kalau kepalan dan telapak tangan Anda membuat para pendahuluku waspada.”“Hem ….” Ingat status kami, aku pun menurut. Kuturunkan tanganku, melepas rapal Kulit Baja, kemudian mengambil topeng putih dan memakainya. “Segini cukup?”“Sebetulnya tidak harus seekstem itu, tapi terima kasih ….”Begitu melewati lorong. Mataku, Merike, bahkan Alexa. Kami bertiga dibikin terbelalak menyaksikan apa yang menyambut di ruangan tersebut ….“Me-menakjubkan—Ayah, lihat!”“Kau benar, Lexa. Ini memang luar biasa.”*** “Ayah Angkat, kau serius?” tanya Lexa, lebih lesu daripada saat tiba di Dataran Tengah, sesaat kami keluar dari halaman Kuil Widupa. “Padahal kau baru menjemputku, kenapa sekarang mau meninggalkanku lagi?”Aku tersenyum, menggendong, lalu menaikkannya ke punggung kuda.“Anak nakal. Kata siapa aku mau meninggalkanmu, hah?”“Tadi, kau bilang aku harus berlatih di bawah pengawasan wanita itu ….”Oh, aku paham.“Kau takut nenek di samping Saintess, Lexa,” tebakku, tersenyum pada Merike, meraih dan menggenggam tangannya, lantas menarik kekang kuda. “Ya, ‘kan?”Anak itu tidak menjawab.Hening di antara kami kemudian berlanjut hingga mentari sore berlalu dan ….“Rumah Kecil ….”Mataku dibikin berkaca pas tahu Gerbang Baruke ternyata masih kokoh di tempatnya.“Tuan?”“Ayah, ini tempat siapa lagi?”“Ini?” Kulepas kekang kuda dan tangan Merike lalu berjalan mendekati pintu. “Lama …, ya …, sudah sangat lama ….”Kutiup permukaan gebang rumah kenanganku bersama Doll dan Letta tersebut, merabainya, mengendus, lantas coba kubangkitkan ingatan-ingatan manisku semasa menghuninya. Rumah kecilku.“Kukira pelukan Rere sama bantal pelana ini jauh lebih hangat ketimbang pintu rumah seseorang, Ayah,” celetuk Alexa, meletuskan balon kenanganku ketika itu. “Ayah Angkat, perutku sudah lapaaar ….”Huh. Dasar anak-anak.“Aku enggak butuh disenyumi, Ayah!” rengeknya, tepat sebelum histeris. “Kasih aku makan! Makan, kau dengar tidaaak?”“Haha.” Aku bisa apa, kenanganku nyatanya cuma hidup dalam ingatanku seorang. “Baiklah-baiklah ….” Kudorong pintu rumah lama itu lekas mengambil kekang kuda dan membawa mereka ke dalam. “Sampai musim dingin nanti aku akan menemanimu tinggal di sini ….”*** Minggu ketiga Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.Sehari usai kunjunganku ke Kuil Widupa, Dataran Tengah yang pada masaku merupakan zona netral dua benua kini kembali mengibarkan bendera wilayah bebas, memerdekakan diri, lantas menghapus embel-embel Matilda dari peta-peta mereka.Panji-panji Matilda Tengah diturunkan, gelar dengan kekuasaan pejabat juga bangsawan seketika dicopot, sisa anggota keluarga, kerabat bahkan karib-karib kekaisaran pun dipulang-pulangkan dari empat distrik. Selanjutnya, Saintess kemudian naik ke puncak pagoda dan kembali merapal suar glorian—isyarat bahwa Dataran Tengah tidak lagi tunduk ataupun terikat pada aturan mapu benua.Hingga tiga hari setelahnya ….“Tuan, ada panggilan untuk Anda.”“Dari?”“Kuil Widupa.”“Apa Lexa kena masalah di sekolah?” tanyaku, bangkit dari kursi malas lalu menerima surat yang dibawa Merike. “Aku gak percaya anak itu sudah bikin gara-gara di minggu perta—”Setelah kubaca.“Oh, kukira dia bikin ulah … Re, jangan melihatku begitu. Aku cuma khawatir.”“Tuan, apa Tuan Muda Alexa betulan kena masalah?”Kulihat dirinya.“Alexa bukan putramu. Kau gak perlu ikut cemas, Re. Lagian ini bukan panggilan, tapi undangan.” Kuremas bahu kiri Merike lantas melewatinya. “Aku mungkin pulang telat, jangan menungguku ….”Dalam tiga hari. Seluruh benua tahu jika Dataran Tengah telah bangkit dari tidur panjang ….*** “Aku ingin bicara dengannya,” ujarku, menunjuk patung Salsabila di antara spirit Altar Jiwa, Kuil Widupa, tiga hari lalu. “Aku me—”Kata-kataku terhenti.Seketika: sensasi familier muncul, sekitarku membeku, seluruh bising yang sesaat lalu kudengar lenyap. ‘Mantra pembeku waktu,’ batinku sebelum menyapa kawan lama, “kau benar-benar muncul seperti yang dibilang gadis itu, Bila?”Aku kemudian berbalik. Menghadap wanita yang selama berabad-abad menjadi karib keluargaku di masa lalu, Salsabila.“Oh. Ayolah …,” desisnya, dengan mata juling dan nada kecewa. “Setelah bertahun-tahun lenyap, kukira kau takkan kembali dan aku akan terus menikmati masa damai, Mi.”“Apa ini keluhan buatku yang baru saja pulang?” tanyaku, tidak tahu harus merespons bagaimana.Yang, sialnya, langsung dibalas maki dan jerit. “Sialaaan! Ke mana saja kau, Brengs*k! Aku repot mengurus kekacauan gegara ulah keluarga dengan guru dan murid-muridmu, tahu. Kenapa kau malah hilang ….”Haha, beberapa saat kemudian.“Jawab aku!” Salsabila melotot. “Apa lubang di langit Kesik tahun itu juga ulahmu, hah?”Kaget sehabis menerima berondongan keluh dari mulut pedas milik teman lama yang kini berwujud spirit, aku kala itu cuma bisa mengerling, tersenyum, angkat bahu, terus nyengir.“Hehe.”“Hah ….” Membuat karib Doll satu itu hela napas, pasrah. “Kukira aku gak perlu tanya, kau memang orang yang melubangi langit Kesik, ‘kan?”Dan aku tetap diam saat ditanya.“Ngomong-ngomong, mana istri semokmu, Mi?” Ia kini celingak-celinguk. “Aku bisa merasakan aura, tapi enggak melihat—tunggu dulu!” Salsabila mendekat. “Aku …, aku mencium baunya darimu—aduh!”“Munduran dikit!” kataku, menyentil kening Salsabila agar menjauh. “Kau terlalu dekat.”“Oi, jawab aku.” Namun, sepertinya gadis yang lagi melayang-layang di hadapanku tidak peduli. “Kenapa aura istrimu mengalir darimu—ah! Apa jangan-jangan ….”“Apa pun isi kepalamu sekarang, kujamin bukan itu, Bila!” jelasku lantas mengeluarkan tubuh istriku yang telah membatu dari Kantong Hati Naga. “Dia bersamaku. Sayangnya—”“Doooll!” pekik Salsabila, tepat di sebelahku.Bisa kalian bayangkan betapa pekaknya kupingku pas itu. ‘Cek!’“A-a-apa yang … hoi, Mi! Apa yang terjadi padanya, katakan padaku masalah a—um! Um … um!”“Hah ….” Kini giliranku yang hela napas, lega usai membekukan mulut bekas saintess super duper berisik yang kini jadi spirit pakai segel dingin. “Kau terlalu berisik, Bila.”Kukantongi tubuh Doll kembali.“Istriku membatu saat kami melawan medusa. Dia begini demi melindungiku,” tuturku pelan, masih tidak tahan pas ingat kejadian nahas tersebut. “Kalau kau tahu, tunjukkan aku di mana sarang naga legenda yang bisa memberinya berkat ….”Setelah kuceritakan pengalamanku bersama Doll di dunia lain ….“Haaa, Doooll! Kau bodoh. Harusnya biarkan saja suami jelekmu membatu saat itu—aaa ….”Antara sebal dan terharu, aku bingung harus menanggapi gadis ini bagaimana.“Oi, Mi.” Telunjuknya mencuat. “Istri mudamu juga naga, ‘kan?”Maksudnya Letta?“Suruh saja dia untuk membatalkan pembatuan Doll,” ujarnya, gak pakai sungkan. “Kalau dirinya berhasil memberi berkat naga legenda padanya, kalian akan kembali bersama—adaw! Kenapa kau memukulku, hah? Jawab!”“Kau pikir aku gak memikirkan hal itu, ya?” Kulirik ia sebal. “Kau lupa berkah istana naga putri dan istriku sudah diberikan pada siapa … lagi pula dia masih tertidur sekarang, aku gak bisa membangunkannya.”“Kalau istrimu saja gak bisa bantu, terus buat apa kemari?” tanya Salsabila, manyun dan buang muka.Cek! Aku bangkit. “Kau tahu, aku kemari buat menawarkan senjata.”“Maksudmu?”“Bonsa.”“Oh. Tongkat perubah bentuk itu …?” Salsabila memutariku. “Apa kau sekarang jadi miskin? Senjata yang berhasil menebas delapan bintang benua bukan harta biasa, yakin mau dijual.”Sialan. Mentang-mentang tadi kubilang ‘menawarkan’ ia langsung mengejekku.“Aku bukan mau menjualnya, Bila.”“Terus?”“Aku mau kalian kembali jadi Dataran Tengah yang dulu kutahu ….”***

Kara: Dunia yang Berbeda

Bab 32 Kabar untuk Tengah Benua

Di publikasikan 01 Jun 2025 oleh Bengkoang

“Lihat mereka ….”Tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 352 Mirandi.Sesuai rencana kemarin, Trira hari ini benar-benar mengerahkan Sisik Kayu buat menjelajahi seluruh pasar di Sabila. Sejak pagi, bahkan ketika diriku bertolak menuju Taria, gerobak dengan kuda-kuda markas kami telah lalu lalang hingga perbatasan.Luar biasa.“Padahal tadi baru papasan, sekarang sudah ketemu lagi,” ujarku, mengintip ke luar kereta. “Trira betulan tidak mau buang waktu ….”Nazila Trira tidak bilang apa usaha yang mau dirinya buka, tetapi dari barang dan benda-benda di daftar yang sebelum berangkat sempat kuperiksa kukira itu adalah salon kecantikan.Ya, salon kecantikan.Khusus untuk wanita ….“Hem.” Aku balik merebah ke pangkuan Merike. “Kalau dipikir-pikir, sekarang aku malah ragu bisnis Trira bakal berhasil. Sabila memang membuka perbatasan dan menerima banyak pendatang, tapi kebanyakan cuma pengungsi sama pelarian-pelarian biasa, ‘kan?”Merike tersenyum, manis sekali.“Gimana menurutmu, Re?” tanyaku, meraih tangannya lalu kukecup dan dekap. “Apa Sabila masih bakal sama pas kita pulang nanti ….”Menjadikan Taria dengan Kuil Widupa sebagai alasan buat absen dari Sisik Kayu, diam-diam kukirim juga Panji Kelabang dan Kalajengking untuk siaga di perbatasan sama jalur-jalur air. Memantau pasukan Aliansi yang sejak minggu lalu sudah berkemah di pinggiran wilayah kami.Sebagai sekutu, jujur aku tidak memercayai mereka. Perang sepuluh tahun mengajariku jika negara-negara ini tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan ….*** “Bura.”“Bura.”Sebulan kemudian, aku dan Merike pun tiba di Taria. Kota bebas yang dijuluki Gerbang Telaga Mapute. “Salam, Semua. Terima kasih sudah menyambutku ….”Setelah menolak otoritas Vom dan menerima perlindungan Sabila, Taria selanjutnya kujadikan pangkalan militer luar sekaligus negara satelit Kara. Cukup vital buat ukuran kota tepi danau.Jadi, Jambu dan orang-orangnya kutempatkan di sini.“Berapa kemajuan rencana kita?”“Lima puluh persen, Bura.”“Cetak biru yang kukirim padamu. Para pengrajin sudah melihatnya, bukan?”“Para dwarf minta tambahan upah—”“Berapa?” selaku, menaruh tangan dan mengetuk-ketukkan telunjuk juga jari tengah di meja strategi, Aula Istana Bate Taria. “Bilang pada mereka, ‘Selama senapan-senapan lontak tipe baru itu selesai bareng sama perlengkapan kita tahun depan, uang bukan masalah.’”“Selain dwarf, kita juga punya masalah lain, Bura.”Melihat ekspresi Jambu dan semua orang, aku tahu ini agak serius.“Katakan saja,” kataku, mundur dari meja strategi lantas naik ke singgasana. “Aku kemari buat memeriksa rencana kita, kalau ada masalah diriku memang seharusnya diberi tahu.”“Geng Mata Satu dengan para perompak menemukan pangkalan militer di bekas Kota Cuni dan wilayah Tolitoli,” lanjut Jambu, membeberkan temuan-temuan mereka. “Kemungkinan pangkalan-pangkalan ini merupakan sisa-sisa pasukan kekaisaran lama yang berhasil selamat dari hujan abadi, Bura.”“Kalian yakin itu bukan pangkalan militer Bravaria?”“Belum bisa dipastikan, Caupa Roban masih memeriksa mereka.”“Oh.” Kurebahkan diriku. “Kalau sudah jelas siapa-siapanya, tawari mereka suplai terus bujuk jadi sekutu. Buat melawan Matilda, bahkan Bravaria sekalipun berguna menambah kekuatan kita ….”*** Minggu berikutnya, perjalanan kulanjutkan. Bersama Merike, kami menumpang salah satu kapal perompak hingga tepian Hutan Purtara lalu berkuda sampai Dataran Tengah dan tiba di Kuil Widupa setelah setengah bulan.Memasuki minggu ketiga Bulan Enam, Musim Panas 352 Mirandi.“Kita beruntung, sampai kemari pas musim panas berakhir.”“Ini baru tengah bulan, Ayah Angkat,” timpal seseorang, anak-anak, putra Bura Parami dengan Bura Bella, ia menunduk lesu di punggung kudaku bersama Merike. “Secara teknis, kita masih—”“Ya, ya ….” Kukibaskan tangan meladeni si bocah. “Enggak bisa lihat ayahmu senang,” ujarku, balik badan dan menggendongnya turun. “Ugh! Kau berat sekali, Lexa.”“Salahkan paman Jambu, dia memberiku daging dan gulai setiap hari. Aku sampai enek ….”“Giliranmu, Re.” Kuraih Merike lantas menggendongnya. “Eh? Kau merapal mantra peringan tubuh?”“Aku gak mau disebut gendut,” bisiknya pelan, saat memelukku.Yang spontan kubalas, “Aku suka kau yang berisi ….”“Ayah-ayah.” Lexa menarik-nariki ujung jubahku. “Lihat. Pintu ini sangat besar, tapi gak ada seorang pun yang menjaga. Apa jangan-jangan gak ada orang di dalam?”“Saintess gak butuh orang buat menjaga gerbang rumahnya,” jawabku, tersenyum menanggapi kepolosan anak itu. “Sini, bantu ayah memukul lonceng ini ….”Entah sudah berapa milenium, penampakan kuil terbesar di Eldhera sekaligus pintu masuk dunia bawah tersebut tidak banyak berubah. Terawat dengan baik, bahkan burung dan serangga-serangga kecil tidak berani melintas di atasnya. Hebat.Sekarang aku jadi penasaran, apa rumah kecilku juga masih ada?“Mohon tunggu sebentar, saya akan segera mengabari Saintess ….”“Ayah-ayah, kau menciumnya juga, ‘kan?” bisik Lexa, sesaat biarawati penyambut tamu pergi. “Bau bunga sama kaliyandra. Perempuan tadi sangat harum, lebih wangi dari Rere.”“Dia masih anak-anak.” Aku menoleh Merike.Namun, wanita sebelahku tampaknya tidak terlalu peduli. Dirinya hanyut pada hal lain. “Sangat indah … Tuan, apa Anda memanggilku?”“Enggak.” Aku menggeleng. “Kau kelihatan manis pas mengagumi sesuatu, Re.”“Ayah, lihat!”Mengikuti telunjuk Alexa, dari lorong dekat pojok kiri, seseorang berjalan memasuki ruangan. Perempuan paruh baya.Aku tidak tahu harus menggambarkannya bagaimana, tetapi busana elegan dengan pernak-pernik yang tidak terkesan murahan dan jubah sutranya cocok untuk satu kata: anggun.Sekali lirik orang bisa salah kira jika perempuan inilah sang empunya tempat ….“Salam, Nyonya,” ucapku, menyambut kehadirannya. “Apakah Anda pendamping saintess zaman ini?”Tidak langsung menjawab, perempuan di depanku melirik kami satu per satu seolah cari sesuatu.Jujur, aku tidak suka sikap itu. Kesannya ia sedang meremehkan kami yang datang tanpa undangan atau membawa persembahan macam tamu-tamu lain—bisa saja aku salah, tapi lirikannya benar-benar … argh! Mata wanita ini cukup licik untuk seorang ibu asuh, menurutku.“Siapa yang mengarahkan kalian kemari?” tanyanya, tanpa basa-basi. “Kurasa kepala negara mana pun takkan berani mengirim utusan jubah lusuh ke istana Saintess, bukan?”Jubah lusuh. Istilah Zona Netral, sebutan untuk orang miskin atau tidak punya yang datang mencari dan mengharap bantuan tanpa menyiapkan imbalan apa-apa. Kasarnya, peminta-minta.Siapa sangka aku akan mendengar sebutan itu setelah sekian lama.Terlebih, di sini. Tempat yang biasa kudatangi saat bosan atau sekadar melepas penat di masa lalu.‘Hem. Apa ini gegara aku tidak mengabari mereka?’ tanyaku dalam hati, heran karena baru pertama kali melihat ada ibu asuh model begini. ‘Biasanya mereka sangat ramah dan rendah hati ….’ “Saintess terlalu sibuk untuk menyapa orang-orang rendahan macam kalian,” ucap si wanita, nyelekit dan bikin kuping panas. “Katakan saja mau apa lalu pergi, sepatumu mengotori marmer kuilku.”Aku ingin memukulnya.“Jangan cuma bengong!” bentaknya lagi, “cepat bicara atau pulang saja sa—akh!”Sialan. Kalau bukan gegara bawa Merike dan Alexa, sudah kuremas tengkoraknya da.“Huh.” Kuredam kembali tekanan auraku, melepaskan sang ibu asuh dari jerat bloodlust yang tak sengaja meluap. “Aku ingin bertemu Saintess,” kataku yang lantas memanggil Bonsa, “jika tidak keberatan, tolong katakan, ‘Pemegang Tongkat Bonsa menawarkan senjatanya sebagai pertuka—’”“Tidak perlu!” sela sebuah suara, milik seorang wanita, ia berjalan dari lorong yang sama dengan sang ibu asuh sebelumnya muncul. Lebih anggun dan berwibawa. Dialah Saintess—kukira.Memastikan, kutanya dirinya. “Andakah saintess, sang perapal mana sekaligus mercusuarnya sihir glorian bagi segenap penghuni benua zaman ini?”“Ya.” Perempuan muda itu melirik sang ibu asuh sekilas, lirikan yang sanggup membuat wanita tadi cepat-cepat mundur lalu menunduk, kemudian melihatku. “Aku punya perasaan yang tidak asing padamu, tetapi sulit untuk kujelaskan.”Mata kami bertemu.“Benar. Dirikulah perapal mana zaman ini, tetapi bukan lagi mercusuar sihir glorian bagi semua orang.”Oh. Aku mengerti.‘Larangan sihir matilda, ‘kan …?’ batinku sebelum lanjut menancapkan Bonsa di sebelah, duk! lantas tanya, “Saintess, boleh kutahu apakah kita ini musuh atau sekutu?”Meresponsku, perempuan itu hanya tersenyum. Ia kemudian berjalan ke lorong seberang tempatnya dan si ibu asuh tadi muncul.“Silakan ikuti diriku ….”Air muka perempuan itu mendadak jadi teka-teki.Selain tidak tahu apakah dia kawan atau lawan, karakter ibu asuh yang beda daripada pengalaman lamaku membuat otot-otot kepala ini menegang—terus terang saja.Gestur tidak tertebak, pembawaan misterius, dan aura yang sama sekali asing.Kini aku ragu apakah datang kemari merupakan pilihan tepat sebelum memulai perang benua ….***

Kara: Dunia yang Berbeda