Login Daftar - Gratis

Ganjaran surga

Di publikasikan 21 May 2025 oleh Bangun

Salah satu kenikmatan yang besar yang Allah akan berikan kepada hambanya yaitu berada di surgaSalah satu kebahagiaan yang besar yang Allah akan berikan kepada hambanya yaitu dengan masuk surgaTentu kita semua sangat menginginkan untuk masuk surgaTernyata, akhlak meredam marah ini bisa mengantarkan seseorang untuk masuk ke surganya Allah jalla wa ala, mari kita simak hadits iniلاَ تَغْضَبْ وَلَكَ الْجَنَّةُ Janganlah engkau marah, bagimu surga

Janganlah Engkau Marah

Merupakan sebuah ibadah

Di publikasikan 21 May 2025 oleh Bangun

Banyak dari kita tidak menyadari bahwa "jangan marah" ini adalah sebuah ibadah, seperti halnya membaca alquran, shalat, sedekah dan lain sebagainyaOleh sebab itulah banyak orang melalaikan hal ini, karena menganggap bahwa meredam amarah bukanlah sebuah ibadahJika seseorang menganggap meredam amarah sebagai sebuah bentuk ibadah, pastilah mereka akan semangat untuk mengamalkannya, pastilah mereka akan semangat untuk meraih pahala dari meredam amarahMisalkan,Kenapa kita shalat? karena disitu adalah sebuah ibadah, kita mengharap ganjaran pahala, terlebih kita sampai rela untuk menyempatkan waktu untuk shalatKenapa kita puasa? karena disitu adalah sebuah ibadah, kita mengharap ganjaran pahala, terlebih kita sampai rela untuk berusaha menahan segala bentuk yang membatalkan puasa selama terbit fajar hingga matahari terbenamSemua ini kita lakukan karena menganggap apa yang kita lakukan sebagai ibadah, maka semestinya kita harus menganggap meredam amarah ini sebagai bentuk suatu ibadahAda sebuah hadits yang berbunyi:أَثْقَلُ فِى مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍTidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang mukmin melainkan akhlak yang muliaDiantara akhlak mulia yang memudahkan seseorang masuk surga adalah meredam amarah

Janganlah Engkau Marah

Muqoddimah

Di publikasikan 21 May 2025 oleh Bangun

بِسْمِ اللَّهِ الرحمن الرَّحِيمِAlhamdulillahiladzi bini'matihi tatimussholihatSegala puji bagi Allah yang dapat dengan mudah memberikan kita hidayah, serta dapat dengan mudah pula mencabut hidayah dari setiap manusiaMaka sudah sepantasnya kita untuk senantiasa berdoa sesering mungkin kepada Allah jalla wa ala agar diberikan taufik, hidayah agar kita senantiasa melakukan ketakwaan dengan melakukan segala yang Allah perintahkan, dan menjauhi segala yang Allah larangShalawat serta salam kepada Nabi kita ﷺ sosok yang Allah jadikan sebagai suri tauladan bagi seluruh manusia hingga ditegakkan hari kiamatTentunya kita sebagai manusia tidak ada yang menandingi kesempurnaan Nabi kita ﷺ, Nabi ﷺ telah banyak memberikan contoh-contoh akhlak yang terbaik kepada kita, namun banyak kekurangan dari kita dalam meneladani akhlak-akhlak Nabi ﷺ, sebagaimana dalam tulisan ini, kita akan membahas salah satu akhlak mulia Nabi ﷺ, yaitu tentang meredam amarah dan keutamaan-keutamaannyaSemoga Allah memudahkan kita semua untuk senantiasa meredam amarah di segala kondisi, dan selalu teringat akan keutamaan-keutamaan meredam amarah

Janganlah Engkau Marah

That Kid.

Di publikasikan 20 May 2025 oleh Tanee

I haven’t thought about him in a while — or more likely, I just stopped paying attention. The kid I used to be — the one who made wishlist out of dreams and actually believed growing up would be fun.Now, I don’t even remember what he wanted to be when we got older.An astronaut? A firefighter? A doctor? Something loud, probably. Something big. Something that felt far away but doable, just because he believed in it hard enough and thought it was cool.I started forgetting the little things. His favorite color. His go-to cereal — the one he'd grab during grocery trips with Dad. And then, somehow, the forgetting turned into bigger things. Like choosing the “safe” job instead of the one that lit us up. Or calling dreams “immature” because they didn’t come with health insurance.He didn’t complain. Not once. I kept expecting some kind of rebellion — yelling, crying, guilt-tripping me for letting him down. But he didn’t say anything. He just stepped back. Quiet. Watching. And now, I can barely hear him.But I know him. I know him well enough to know he’s suffering — holding in an anger too big for his little hands. He’s sensitive, always was. But never the type to scream about it. Just him, his emotions… and his Den-O action figure. I don’t even know what he’d say if I tried talking to him now. Actually, I do.He’d run away in tears, because someone touched a nerve he didn’t know was still raw. Then he'd talk — all of it, every single detail, spilling out through sniffles and stuttering voice. And now I wonder...What would he think of me — this version of us, so far from his dreams? Would he still like me? Or would he be disappointed? I think about that a lot lately. On the snack aisle, picking out grown-up groceries. At red lights, watching the countdown tick down. On the way to work, thinking about a movie that might’ve made him feel hyped.I think about him — not in a dramatic way. Just in the kind of way you do when you open a drawer and find an old drawing with your name scribbled in crayon. You don’t cry. You just sit there for a bit.Maybe I’ll try asking him again. What was your favorite food? What did you want to be? What did I forget? That kid won’t say he’s mad, I guess. I believe he won’t say it. But I know he is. And I think he’s waiting — waiting to see if I’ll do something about it.Maybe I’m not getting that job you thought was cool — whatever it was.Maybe you were braver than me. Maybe you didn’t know dreams could break.Maybe I’m not the person you imagined you’d grow up to be.But I still believe it’s possible.And I want to talk to you again.

After Midnight

Masa Kecil: Bagian V

Di publikasikan 11 May 2025 oleh Minusss

   Setelah semua kejadian itu, kebingungan mulai menerpaku ketika menjelang ujian akhir sekolah dasar. Aku ditanya setelah lulus hendak kemana aku akan melanjutkan sekolah. Harus jawab apa dan kemana tujuanku sebenarnya? Jujur saja, membedakan SMP dan SMA pun aku tidak bisa. Aku memang sebuntu itu, apalagi menentukan tujuan. Memasrahkan diri adalah jawaban terbaik sekaligus berat karena yang pertama, aku tidak tahu jawabannya, dan yang kedua aku tidak tahu dunia macam apa yang akan datang setelah keputusan dibuat. Aku tidak bermaksud sombong. Akan tetapi, aku memang sering mendapat peringkat satu yang memungkinkanku  mempunyai banyak pilihan kemana saja aku hendak melanjutkan sekolah. Tapi kembali ke awal bahwa aku tidak tahu apa yang kuinginkan dan kemana aku harus melanjutkan sekolah.  Waktu itu, bibiku menyarankan agar aku bersekolah didekat rumahnya dan tinggal bersama keluarganya di kota. Setelah orang tuaku berpikir dan berdiskusi, mereka memutuskan agar menerima tawaran tersebut. Benarlah bahwa aku hanya bisa menerima semua itu dan tinggal menunggu harinya. Awalnya aku merasa biasa saja setelah keputusan itu dibuat. Akan tetapi, semakin dekat harinya semakin aku merasa sesak rasanya. Ada penolakan dalam diriku. Aku berharap agar orang tuaku berubah pikiran dan membatalkannya kalau bisa. Aku mulai gelisah dan lambat laun mulai tersiksa karena setiap malam kepalaku dipenuhi pemikiran-pemikiran buruk tentang bersekolah di kota. Bukan sekolahnya, akan tetapi dengan orang-orangnya.    Sejak waktu itu, orang tuaku mulai menekanku agar belajar lebih giat dan lebih tekun karena kata bibi, tes masuknya lumayan ketat.  kembali lagi aku merasa terbebani. Mereka mulai mengharapkan sesuatu kepadaku. Keadaan semacam itu pastilah membuatku serba salah. Tiga pilihan yang pasti adalah aku menolaknya dan mendapat hukuman, atau melakukannya kemudian gagal, dan satu lagi, melakukannya sambil berharap akan berhasil namun aku harus membayarnya dengan siksaan batin. Seringnya, entah mengapa, aku selalu memilih pilihan terakhir. Padahal, kalau dipikir baik-baik untuk apa aku menghadapi siksaan kalau saja membuatku sakit sendiri. Akan tetapi, kembali kepada kenyataan bahwa ada hukuman misterius yang menantiku kalau saja aku menolaknya. Benar-benar berputar-putar, pemikiran aneh dan melelahkan.   Setelah semua kejadian itu, malam sebelum keberangkatan, aku menguatkan diri untuk menghadapi hari esok yang mana aku akan berpisah dengan orang tuaku dan memulai hidup baru. Hidup dengan bayang-bayang kengerian yang entah bagaimana caraku bertahan agar tetap waras melaluinya. Aku terlalu khawatir sampai-sampai aku tidak bisa tidur. Setelah selesai mengemasi barang-barang, aku merebahkan diri bersiap untuk istirahat. Namun, aku merasa gelisah, posisiku jadi tidak menentu. Kemudian, didalam kamar kecilku ada sebuah lemari dengan cermin dan aku mulai berkaca di sana. Benar sekali  yang terlihat hanya ada aku yang menyedihkan sedang berdiri saling tatap-tatapan dan sesekali menyeringai. Kemudian, aku mulai menghanyutkan diri ke dalam kepalaku. Pengetahuanku sangat sedikit tentang dunia ini. Ke-tidaktahu-an itu membuatku semakin takut khususnya kepada sesama manusia. Apakah hanya aku yang mempunyai pemikiran semacam ini? Atau hanya aku yang se-menyedihkan ini? Dan yang paling membuatku makin pusing adalah tentang perasaan manusia. Sedangkan aku saja merasa serentan ini, bagaimana dengan orang lain? Kalau iya, aku harus berhati-hati agar tidak menghancurkannya. Masih banyak yang aku tidak mengerti. Malam itu ternyata otakku kelelahan dan nampaknya tubuhku juga seperti itu. Aku pun tidur setelah menjelajahi pemikiran bak neraka itu.

Keresahan

Masa Kecil: Bagian IV

Di publikasikan 11 May 2025 oleh Minusss

Semua itu sudah cukup membuatku agar bersikap hati-hati. Aku tidak tahu bagaimana nantinya jika ada seseorang yang kubuat kecewa. Mengingat keluargaku saja ketika membuat mereka kesal sudah membuatku hampir mati rasanya. Apalagi orang lain yang hampir tidak mengenalku dan bahkan aku pun tidak mengenalnya. Pastilah mereka lebih kejam ketimbang orang rumahku.    Seperti waktu itu, ketika istirahat, ibu guru memintaku untuk dibuatkan gambar seekor kucing. Kebetulan, aku memiliki bakat menggambar walaupun tidak begitu mahir, dan menggambar seekor kucing agaknya aku masih belum mampu. Aku membuatnya, namun dia terus saja mengoceh. Yang mana ekornya? Yang mana tangannya? Yang mana hidungnya? Terus saja seperti itu sampai aku selesai. Sepertinya, gambarku tidak masuk akal baginya. Dia bilang kalau gambarku lebih mirip alien ketimbang kucing. Kemudian dia tertawa. Aku meresponnya dengan ikut menertawakan karyaku sendiri yang padahal sepenuh hati aku membuatnya.  Hal kecil semacam itu saja membuatku sakit hati. Maksudku, aku adalah anak kecil yang kebetulan bisa corat-coret. Bagaimana bisa dia berharap lebih kepadaku? Padahal dari awal aku sudah merendah dan menolak permintaan itu. Akan tetaapi, aku dipaksa untuk memenuhi harapan yang dimana hampir mustahil menyanggupinya. Namun, setelah susah payah memenuhinya kenapa malah kecewa sendiri? Aneh. Sangat aneh. Aku benci dengan orang semacam itu. Dan yang anehnya lagi aku mulai menyadari bahwa ternyata semua orang mempunyai sifat seperti itu. Berharap kepada orang lain dan menjadi murka ketika harapan itu tidak terpenuhi, atau bahkan lebih parahnya, sosok monster busuk nan keji muncul karenanya. Aku heran kenapa repot-repot mengharapkan sesuatu kepada orang lain yang ujung-ujungnya membuat kecewa? Jawabannya sangat susah ditemukan karena terkadang aku sendiri menjadi korban yang dihinggapi oleh sifat aneh itu. Hal semacam itu membuatku merasa panas dingin dan sesak nafas karena saking takutnya.   Aku pernah sesekali menyempurnakan watak bocahku yang polos dengan sedikit bumbu jenaka.  Waktu itu, ibu sedang bersama beberapa ibu lain berkumpul didepan pagar untuk menjemput anak-anak mereka. Melihat hal itu dari kejauhan, tubuhku mulai gemetar ketakutan karena terbayang akan dilontari pertanyaan-pertanyaan aneh, yang mendorongku untuk mencari cara agar bisa melewati situasi mengerikan itu dengan ringan. Untungnya, aku membeli kumis konyol ketika istirahat. Kemudian, aku memakainya dan terjun ke kumpulan itu.   Pada awalnya mereka semua terdiam memperhatikanku sampai aku berdiri dihadapan ibu. Kemudian, dengan nada dan raut wajah belagu, aku bertanya kepada ibu.  “Apakah sudah lama nona menunggu saya?” tanyaku.  Tak berapa lama, mereka langsung terbahak-bahak sambil menutup mulut. Beberapa dari mereka melontarkan sedikit pujian untukku dan juga ibuku.   “Wah, lucu sekali,” atau, “ada-ada saja kamu ini,” atau, “pintar sekali anaknya, ya, bu,” dan beberapa lagi yang semacam itu sambil mereka tertawa.  Aku berhasil. Tingkah jenakaku menorehkan tawa di wajah mereka. 'Bocah polos dan lucu' mungkin aku berhasil membuat mereka berpikir seperti itu. Aku merasa sedikit lebih lega dengan apa yang kuperbuat. Namun, tetap saja aku merasa dihantui bayang-bayang ketakutan untuk berhadapan dengan orang dewasa.

Keresahan

Masa Kecil: Bagian III

Di publikasikan 11 May 2025 oleh Minusss

  Kebetulan aku hidup dijaman yang teknologinya berkembang, dan bagiku, satu hal menyakitkan lagi telah datang. Seorang teman membawa alat canggih baru yang bisa menangkap gambar, merekam video, memutar musik, dan main game. Alat itu menarik perhatian sampai bergerombol dan hampir berdesakan teman-temanku untuk melihatnya main ular-ularan di layar kecil yang penuh tombol itu. Aku juga ikut menontonnya. Dia payah, aku tahu itu. Kembali lagi muncul hasrat aneh yang tidak mengenakkan. Aku memutuskan untuk mengabaikannya. Akan tetapi, tentu saja tidak mudah.   Belum sempat untuk menenangkan diri malah muncul sesuatu yang baru. Seorang yang pintar dari kampungku membeli beberapa buah PS2. Tiga ribu untuk satu jam memainkannya. Ramai diperbincangkan dan tentu menjadi sangat populer. Akan tetapi, bagi orang-orang kolot di kampung, itu adalah hal negatif. Ada yang bilang itu adalah cara lain untuk menjajah negara, atau memperbodoh jika keseringan main, dan yang paling tidak masuk akal adalah cuci otak masal atau semacamnya. Omong kosong hebat itu tidak kalah cepat menyebarnya. Dan yang membuatku jengkel adalah kabar itu juga memengaruhi orang tua termasuk keluargaku. Akan tetapi, disamping itu, aku juga terpikir bahwa bisa saja semua hal itu benar. Sungguh angkuh diriku jika menyangkal itu semua. Maksudku, mereka semua telah hidup lebih lama dan mengetahui dunia ini lebih banyak ketimbang aku. Jadi, apakah ada celah bagiku untuk mencela mereka? Sungguh konyol aku ini.   Sejujurnya, pemikiran itu muncul hanya karena rasa kecewa. Sebab, banyak anak-anak lain yang memainkannya namun aku tidak bisa. Kadang aku hanya duduk di samping mereka seperti orang tolol yang sedang memperhatikan kesenangan orang lain. Tidak mungkin membuatku juga ikut senang, malah semakin mengganjal rasanya. Kadang ada harapan bodoh muncul seperti ‘mungkin saja mereka bakal membagi waktunya dan meminjamkan kepadaku beberapa menit’, dan dengan harapan yang hampir tidak dapat terwujud itu, aku makin sering mengunjungi tempat itu.   Aku tidak menyangka bahwa ternyata itu termasuk kesalahan terbesar dalam hidupku karena aku sering diam-diam pergi ke sana. Setelah keluargaku tahu akan hal itu, mereka murka. Aku ketakutan setengah mati. Setiap malam aku memikirkan bagaimana cara memohon pengampunan dari mereka yang mana membuatku hampir gila rasanya. Tidak henti-hentinya ibu menasihatiku sampai dimana masuk tahap mengancam.  “Kalau kamu pergi ke tempat itu lagi, ibu tidak segan menyeretmu pulang.” Kata ibuku. Dengan begitu, pupuslah harapanku dan menghasilkan kesalah pahaman makin meningkat. Perlahan, namaku mulai dikenal sebagai anak pandai yang selalu menurut dan tidak ikut-ikutan pergi untuk main PS. Singkatnya bukan anak bodoh. Kemudian, semua itu seakan memunculkan sebuah tulisan dijidatku “Harapan Bangsa”, yang mana tanpa disadari membuatku merasa terbebani.  Segala kesalah pahaman itu membuahkan sebuah perasaan aneh lagi namun berbeda rasanya. Ke mana saja aku melangkah, ke mana saja aku berpijak, dan dimana saja aku bertemu seseorang, aku merasa memiliki sebuah tanggung jawab. Mereka sangat ramah terhadapku yang membuatku merasa kelelahan dan takut. Sebegitu percayanya mereka kepada bocah dengan segala pemikiran liciknya ini. Kemudian, muncul rasa takut akan seperti apa nantinya kalau saja aku mengecewakan mereka. Aku merasa sesak, takut, dan kali ini benar-benar hendak gila rasanya. Dengan segala rasa takut itu, aku membungkus semuanya dan bersembunyi dibalik topeng keramah tamahan dan senyum polos nan sopan ini.

Keresahan

Masa Kecil: Bagian II

Di publikasikan 11 May 2025 oleh Minusss

   Perlahan, semua itu menggerogoti pikiranku. Ketika makan, ketika berbicara, ketika melamun, bahkan ketika buang air besar pikiran ku selalu memutar-mutar tanpa akhir. Aku jarang bercakap dengan keluargaku. Paling tidak hanya tanya jawab tentang sudah makan atau belum; memberi tahu atau mungkin bisa disebut mengajari; atau bapak yang menyuruh ku ke warung; dan tentu saja hal kecil tentang disiplin. Suasana dapur kami ketika makan bersama membuatku merasa aneh. Aku takut membuat kesalahan yang mana mengharuskanku bersikap sopan.   Sebelum tidur, aku selalu memikirkan kemeriahan yang sering kudengar. Sedikit demi sedikit pikiran itu membangun sebuah hasrat untuk menjadi seperti mereka. Membuatku semakin menginginkannya.  Terpikir olehku bahwa bisa saja aku mengemukakan keinginanku karena tergolong wajar kalau anak-anak menginginkan sesuatu yang meriah. Siangnya, setelah pulang sekolah, ibu memasak begitu banyak sayuran. Bisa dibilang siang itu makanan utamanya adalah sayur. Jujur saja aku tidak terlalu suka. Kemudian, aku melakukan sebuah kesalahan. Aku mencoba bertanya apakah ada lauk lain, ayam mungkin. Ibuku membalas dengan ramah namun membuatku tersentak dan panas dingin.   "Makan apa yang ada. Ayam mahal, ibu tidak bisa membelinya." Kata ibu. Kalimat itu membuat pikiranku menjabarkan segalanya. Pasti, pasti akan seperti itu dan selalu seperti itu untuk selamanya. Tentang kemeriahan malam tahun baru pun aku akan menyimpannya dalam-dalam. Pasti, pasti jawabannya membuatku kecil hati. Walaupun semisal aku mengungkapkannya dan di-iya-kan, aku pasti akan menanggung rasa sesal seumur hidup. Menanggung rasa bersalah, dan kemungkinan terburuknya adalah dicap sebagai beban. Memikirkannya saja membuatku ketakutan.  Aku pergi ke teras belakang dan menjuntaikan kakiku. Rumah kami lumayan tinggi dengan pondasi papan, khas bangunan jaman bahari. Entah kenapa aku sering ke sana. Itu cukup untuk menenangkanku walaupun tidak menghilangkan rasa sakit. Cukuplah tentang tahun baru atau apalah itu. Masih banyak rasa sesak hati yang sedang mengantre.

Keresahan

Masa Kecil

Di publikasikan 11 May 2025 oleh Minusss

   Sewaktu masih kecil, aku kerap kali diberi pujian dari orang tua teman sebayaku. Aku dibesarkan di pinggiran kota. Bisa dibayangkan tempat yang rumah tersusun berjarak ketimbang kota dengan gedung-gedung yang menjulang. Untuk itu lebih gampang sekiranya disebut kampung.    Jujur saja aku merasa sebagai bocah licik. Bagaimana pun juga aku ingin seperti teman-temanku yang mempunyai banyak mainan. Aku memiliki siasat untuk sering bermain ke rumah-rumah mereka agar bisa menyentuh dan bermesraan dengan beberapa robot; atau dinosaurus; atau semacamnya. Ada rasa iri yang selalu mendekap erat di hatiku yang membuat isi perut serasa berputar-putar setiap kali mempunyai keinginan untuk memiliki sesuatu yang tidak dapat dimiliki. Pandangan orang tua mereka kepadaku adalah anak baik yang selalu tersenyum polos dan sering menurut dengan orang tua karena mainanku sedikit,  bahkan hampir tidak punya, dan tidak membebani orang tuaku.  Mereka hanya salah paham. Memang benar orang tuaku tidak punya banyak uang. Namun seharusnya, itu cukup untuk membelikanku beberapa mainan. Andai mereka tahu betapa hancurnya telingaku ketika meminta mainan yang langsung disambar dengan ceramah yang memutar-mutar dan dengan pemikiranku sendiri yang mungkin membuat orang tuaku menganggapku sebagai anak pembangkang. Aku takut sekali akan hal itu.  Aku tidak bilang orang tuaku jahat atau semacamnya, mereka hanya mempertahankan kehidupan keluarga kami. Anehnya, walaupun masih kecil aku sudah mengerti akan hal itu. Orang tuaku adalah orang yang ramah, lemah lembut, dan baik perangainya. Ayahku orang cerdas menurutku karena dia memiliki sebuah perpustakaan kecil di ruang pribadinya. Namun, kami jarang bercengkrama selain memberi tahuku tentang beberapa hal. Ibuku lumayan cerewet tapi dia yang paling lembut. Tetangga sekaligus keluargaku juga seperti itu. Membuat keluarga kami lumayan terpandang dan mungkin memiliki karisma tersendiri. Sedikit banyaknya mereka mengajariku tentang hal yang mungkin bisa disebut sebagai “kebajikan”. Perilaku dan sikapku juga perlahan mulai terbentuk. Akan tetapi, banyak yang aku tidak mengerti. Ada rasa sakit, atau entah apa itu, yang pasti membuat hatiku tidak enak, bahkan kadang membuatku lesu dan tidak nafsu makan. Ketika sikap "kebajikan" itu melekat kepadaku, ada sesuatu juga yang ikut datang, mungkin itu temannya, pikir ku.  Dalam kasus mainan, aku sudah hampir terbiasa dengan sakitnya. Namun, entah kenapa, ada hal lain datang setelahnya dan itu semua berturut-turut. Seperti hari pertama masuk sekolah setelah libur pergantian tahun, teman-temanku selalu berkumpul dan bercerita tentang keseruan keluarga mereka masing-masing.  "Malam tahun baru aku pergi bersama orang tuaku ke alun-alun melihat kembang api."   "Aku juga ke sana, tapi tidak melihatmu. Kau di mana?—"  "Eh, eh. Aku juga ke sana bertemu Hapis bersama bapaknya. Kami kumpul bersama waktu itu."  "Kalau Rian ke mana?"  "Aku cuma di rumah makan-makan bersama keluarga besarku."  "Wah. Pasti mewah."  "Soha. Kau ke mana malam tahun baru?" Salah seorang dari mereka menanyaiku. Kemudian, dengan senyum ringan  aku menjawab.  "Di rumah saja." Entah kenapa, mereka agaknya tidak puas dengan jawaban tersebut, dan tanpa berperasaan mereka kembali bercerita dan mengabaikanku. Pertanyaan itu seakan hantaman batu bata yang walaupun kutangkis tetap mengenaiku tepat di bagian kepala dari arah telinga.  Aku cuma bisa mendengar betapa meriahnya keseruan mereka. Tak dapat kubayangkan dan tak ingin. Karena semakin membayangkan nya, semakin tengkorakku hampir pecah rasanya. Itu terus berlanjut beberapa hari dan mereka seakan memaksaku agar tersiksa mendengarnya.

Keresahan

Pengakuan

Di publikasikan 11 May 2025 oleh Minusss

 Sebenarnya yang akan dibaca setelah ini hampir mirip sebuah catatan ketimbang sebuah novel. Saya tidak menambah atau tidak mengurangi sedikit pun dari isinya. Sebelumnya, saya ingin mengajak anda semua sebagai pembaca agar membacanya dengan santai tanpa perlu terlalu dalam walaupun buku ini hanyalah ricauan ringan dari seseorang. Menurut saya ini adalah seperti kata pengantar sebagai bentuk penghormatan dari saya kepada penulis yang kebetulan adalah teman saya sendiri.  Mungkin saya akan bercerita sedikit tentang bagaimana buku ini bisa sampai di tangan saya yang kemudian bisa saya sajikan untuk teman-teman sekalian agar bisa ikut membaca atau bahkan, mungkin dapat memetik pelajaran dari cerita ini.  Sekitar beberapa tahun lalu saya diajak bertemu di sebuah kafe di Banjarbaru. Malam itu teman saya telat datang beberapa menit. Kebetulan malam itu adalah malam minggu yang di mana ramai pengunjung, membuat saya tidak merasa jenuh. Saya memang tidak pandai dalam menggambarkan situasi. Tidak sepandai teman saya yang gambarannya menurut saya sendiri aneh, akan tetapi itu adalah ciri khasnya sendiri. Memukau.  Kemudian, dia datang dengan pembawaan cerianya yang begitu ramah namun terasa janggal. Saya tidak tahu apa itu, tapi yang pasti dia seperti kelelahan.  Setelah itu kami berbincang dan tak terasa obrolan kami menyita waktu cukup lama. Sepertinya itu tidak bisa disebut obrolan karena hanya saya yang bercerita panjang lebar tentang keluh kesah saya. Lucu sekali.Tapi memang seperti itu adanya.    Andai saja anda berada di dekatnya anda pasti akan merasa aman dan merasa di rangkul. Dari lubuk hati terdalam bagi saya sebenarnya  itu adalah hal yang menakutkan. Dia memiliki wibawa semacam itu. Namun tidak apa karena saya tahu dengan sifatnya. Dia adalah orang paling baik dan paling ramah yang pernah saya temui.  Kemudian, setelah kami selesai, dia meminta saya untuk membeli buku catatan miliknya yang dia sendiri menyebut buku itu sebagai novel. Saya menolaknya, akan tetapi dia terus memaksa. Aneh rasanya melihat dia yang bersikap seperti itu. Saya pun membelinya.   Akan tetapi, ekspresinya tidak menunjukkan apa pun melainkan seperti terpuruk yang di bungkus senyum palsu. Dia menyeringai sedemikian jelek yang membuat saya keheranan sendiri. Kemudian, dia sangat berterima kasih kepada saya. Sikapnya benar-benar sangat mengherankan. Setelahnya, kami berpisah di sana dan saya tidak pernah menemuinya lagi. Buku itu hampir saja tidak pernah saya baca karena jadwal pekerjaan yang lumayan padat. Akan tetapi, ada sebuah alasan yang mengharuskan saya membacanya walupun terasa sangat berat.  Begitulah kisahnya. Semoga teman-teman sekalian menikmati karya darinya. Dan sebelum itu, saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada para pembaca.  Selamat membaca.

Keresahan

Persiapan Selesai

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Kau benar-benar monster.”“Aku?” Aku menoleh, tersenyum, terus melihat Renet kemudian tanya, “Hoi, Renet. Apa kau juga berpikir aku semenakutkan yang Bura Bella bilang barusan?”“Yo-yoram, Anda tidak harus bertanya padaku untuk mengonfirmasi ucapan Bura, ‘kan?”Kuangkat bahu sekali terus menjuling. Mengingat-ingat aksiku sebelum membawa kembali Bura Bella dari barisan lawan di belakang kami ….“Siapa lagi?” Ketika hampir genap satu setengah lusin perwira Panji Kuda Putih telah kuringkus lewat duel hingga tengah hari ini. “Apa cuma segini kekuatan jawara-jawara Mapu Matilda Barat yang katanya gagah perkasa, hah?”Aku tahu pertarungan tadi tidak seimbang. Kesannya diriku, sebagai seorang veteran periode Chloria, lagi merundung para amatir di zaman Mirandi. Cek!Cuma, kalau tidak begini kota di belakangku takkan bertahan lama membendung serbuan bendera warna-warni di depan sana, ‘kan. Terus juga, aku kadung sesumbar mau jadi dewa perang di era ini.Jadi, mau bagaimana lagi.Lupakan fakta bahwa diriku datang dari masa lalu. Terpenting sekarang adalah kakiku tetap stabil berpijak. Toh, pada saatnya nanti aku juga akan melawan penyintas periode Mirandi. Sesama penyintas, kuharap pamornya cukup untuk menghadapi bobotku.“Kau serius mau jadi dewa perang, Ure?”“Akhirnya!” Kuentak kuda memapak penantang berikutnya. “Kenapa kau baru muncul sekarang ….”Orang yang segera mengangkat topeng helm perangnya begitu di depanku.“Hoi, Lamda.”“Kau tahu aku gak bisa asal maju ke gelanggang, ‘kan?” ujaranya, tersenyum cerah seperti biasa. “Apalagi yang kuhadapi seorang dewa perang …, tapi aku kaget kau tidak membunuh orang-orangku di duel ini.”“Kalau kubunuh, mereka gak bisa kutukar buat mendapatkan hati orang-orang Mantel Putih.”Lamda menjuling sambil tengadah dengar alasanku, mungkin berpikir manusia macam apa diriku, setelah itu dirinya pun mencabut dua bilah pedang dari punggung. Sring!“Sebaiknya angkat tombakmu,” ucapnya yang langsung, pura-pura, pasang kuda-kuda, “orang-orang akan curiga kalau kita bicara santai begini, setidaknya beri aku muka sambil membicarakan rencanamu.”Meresponsnya, kini giliranku yang menjulingkan mata kemudian, swush! Kusapu area sekitar dengan rapal debu juga angin puyuh, memagari kami dalam selimut debu bersama riuh angin supaya aku dan dia punya ruang privat.“Segini cukup, ‘kan?”“Eh?” Tentu saja, orang di depanku seketika terbelalak. “Aku baru tahu kibasan tombakmu bisa membuat debu beterbangan—kau, kau bisa sihir?”“Jangan berteriak di depanku,” timpalku, melipat tangan lalu mendekatkan kuda kami. “Tombakku terlalu berat buat kau tangkis, terus penghinaan juga kalau seranganku bisa kau tahan.”Ia melirik sebal.“Kau meremehkanku, Ure?”“Bukan, aku cuma gak mau menurunkan standar lawanku.”“Idih. Dasar, Besar Kepala.”“Sudahlah, nih!” Kulempar sebuah gulungan padanya. “Itu salinan lokasi pasukan Panji Beruang di utara, kau tahu harus apa, ‘kan?”“Hem.” Ia mendelik sekilas sebelum kemudian memeriksa gulungan tersebut. “Kau lagi menggunakanku dan pasukan kekaisaran sebagai alat buat memenuhi rencananmu, ya?”“Jangan tersinggung, tujuan kita sama ….” Kuparkir dan kusejajarkan kuda kami terus mengintip dari bahu kirinya. “Kau bisa mengirim orang ke—”“Geseran dikit,” sergahnya sambil membuat jarak, “kau kan sudah lihat isi peta ini, ah.”“Benar.” Kupalingkan wajahku terus balik ke posisi awal, parkir di depannya. “Selain peta posisi, gulungan itu juga punya rancangan alur, titik distribusi bekal, sama aliran orang-orangku setelah operasi ini selesai. Jika waktunya pas, kita akan mengapit Panji Beruang di Benang Sutra.”“Huh ….” Lamda merapikan gulungan dariku lantas menyelipkannya di pinggang. “Dengan keahlianmu ini, kenapa kau tidak ikut saja bersamaku terus kita lawan pasukan pemberontak di baris depan?”“Kau bukan anak kemarin sore, Lamda ….” Kubungkukkan badan terus merebah di punggung kuda. “Aku tidak harus memberitahumu alasannya, ‘kan?”“Tetap saja, makin lama kita biarkan para pemberontak ini rakyat akan semakin menderita.”“Cek! Kau meledek keahlianku, ya?”Kuda Lamda mendekat.“Hoi, Ure. Kalau kau terus membantu Panji Beruang menstabilkan daerah-daerah taklukan mereka, cepat atau lambat setengah wilayah akan lepas dari kekaisaran.”“Bukannya sudah kejadian?” Aku bangun. “Habis dari sini aku mau lanjut ke sisi barat, membangun ulang Hika, terus menduduki Zeta. Saat bendera panji gorgonku berkibar di sana, maka kekaisaran sudah benar-benar kehilangan Kolom Dua-Tiga, ‘kan?”Sring! Lamda menodongku, pedangnya melintang di dekat leher dan bertengger pada bahuku. “Apa kau lagi terang-terangan mengkhianati negara di depanku?” tanyanya, dengan tatapan setajam mata burung elang.Bila aku orang lain dan bukan teman baiknya, mungkin diriku akan angkat tangan diancam begini. Tekanan seorang loyalis berdarah Nimaria memang beda.Sayangnya. Trang! “Pedangmu patah cuma pakai satu sentilan. Memangnya kau bisa apa kalau aku benar-benar mengkhianati negaramu?”Lama kami saling tatap sampai sobat baikku satu itu kembali bersuara.“Paling tidak jangan melakukannya di depanku, Ure. Kau membuat prestasiku turun kalau Zeta jatuh pas pasukanku masih di Vom, tahu.”“Itu masalahmu.” Kugoyangkan badan bak pohon bambu kena terpa angin. “Makanya cepat mundur sana. Aku sudah baik memberimu peta posisi Panji Beruang di utara.”“Kau menyebalkan.”“Sudah dari dulu,” kataku terus bilang, “eh, ya. Sebelum balik, aku mau menukar jawara-jawaramu sama tawanan yang kalian tangkap di Raku.”“Kota itu lepas dari tanganku gegara serbuan kecilmu saja sudah memalukan, kau tahu.”“Tidak semuanya, aku cuma butuh satu orang.”Lamda menunduk, mengusap wajah, lantas bertanya.“Siapa yang kau—”“Bura Bella,” selaku lekas menjelaskan, “Bura Mantel Jerami. Aku butuh wanita itu buat rencanaku ….”*** Saat semuanya selesai.Usai bertemu Lamda lalu menukar selusin setengah perwira Panji Kuda Putih yang sebelumnya kutangkap dengan seorang wanita berpangkat bura dan nama Bella, bendera warna-warni di depanku lekas kembali berkibar diiringi gema juga getaran langkah kaki ketika mereka maju sebagai satu kekuatan tempur.Membuat Renet sebelahku ternganga sambil gemetaran di atas kudanya.“Yo-yoram.”“Tenang saja, bukan cuma mereka yang bisa menyalak.”Namun, aku maju ke gelanggang juga bukan tanpa persiapan. Jadi, begitu pasukan di hadapanku menjerit, pekik balasan pun segera terdengar dari arah utara dan timur laut. Menderu bersama debu yang membumbung tinggi mendekati Raku.“A-apa itu, Yoram?”“Itu bala bantuan kita ….”Berkat kemunculan gema balasan tersebut pula, pasukan kekaisaran pun segera menjeda pekik serangan lantas kembali mundur. Memperlebar ruang antara kudaku dengan barisan terdepan kuda-kuda mereka.Dan, ya, sekali lagi diriku pun dipanggil monster oleh seseorang.“Setidaknya monster ini berhasil menyelamatkan Anda, bukan, Bura Bella?”“Aku benci mengakui Parami begitu memercayaimu.”“Mau bagaimana lagi, kurasa.”Tanggal 3 Bulan Lima, Musim Panas 344 Mirandi. Kampanye Raku dan operasi penyelamatan kekasih Bura Parami, Bura Bella, pun sukses dengan mundurnya pasukan kekaisaran ke sisi barat.“Hoooi, buka gerbangnyaaa!”Lalu, bersama dengan jerit bahagia Renet saat kami kembali ke kota, reputasiku sebagai dewa perang pun turut melejit sore harinya.“Kalian gak bakal percaya, Yoram Ure mengayunkan tombaknya, swush, dan mereka langsung, swush ….”“Anda sengaja menahan diri untuk mengulur waktu sambil menguras stamina lawan di bawah terik,” ucap Jambu, menemaniku melihat matahari terbenam di atas tembok barat. “Ya, ‘kan, Yoram?”“Kau sudah menebaknya, kenapa masih tanya.”“Hanya memastikan,” lanjutnya, “kalau bukan demi menyeimbangkan kekuatan antara pasukan kita, aku yakin Anda sebetulnya bisa menghabisi mereka sekali kibas.” “Pertunjukan jadi kurang seru kalau kau tampil dominan di awal, Jambu. Terus juga, cuaca terik begini gak cocok buat pertarungan jangka panjang kalau harus kubilang.”“Anda benar …, apa langkah kita selanjutnya, Yoram?”“Biarkan sejoli kita berkumpul dan menikmati momen mereka dulu ….”Ah, ya. Soal Bura Parami dan Bura Bella. Keduanya menangis dan saling dekap begitu bertemu di Gerbang Barat Raku, mereka juga terus bersama sejak saat itu serta entah sedang melakukan apa di kediaman Bate sana. Aku sungkan mengganggu momen pasangan yang baru saja kembali bersatu. Hehe.Hal lain. Malam harinya bala bantuanku juga telah rampung mengatur barisan di dalam kota.“Yoram ….”“Cincin ini sudah kembali padaku.” Kuambil Cincin Perintah Panji Gorgon dari caupa mereka. “Kurasa kita bisa lanjut dengan rencana selanjutnya.”“Hidup Panji Gorgon!”“Hiduuup ….”*** Ya. Ini dia. Agendaku masih banyak, tapi lembar kertas catatanku habis sampai di sini. Apa boleh buat, sebelum dapat buku baru kurasa kini waktunya kututup halaman terakhir catatan ini dengan kata, “Sampai jumpa.”Mau bagaimana lagi, ya, ‘kan?***

Narsis

Dilema Sang Bura

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

Yoraaam!“Kita berhasil mencegat pembawa pesan kelima belas di barat dan barat daya ….”Senang dengar laporan barusan, segera kulepas ikat pedati kemudian naik ke punggung kuda.“Bagus. Tetap awasi sisi barat kota dan jangan biarkan siapa pun lolos … Pame, kirim pesanku ke pasukan di timur dan selatan, ‘Malam ini kita bergerak!’”Tanggal 2 Bulan Lima, pertengahan Musim Panas 344 Mirandi.Setelah tiga hari dua malam mengunci gerak pasukan kekaisaran di dalam tembok dan meneror psikologi mereka lewat suara gaduh, waktu untuk mengambil alih Raku kini tiba. Tiga pasukan Mantel Putih malam ini akan merayap ke dinding kota dari tiga sisi, utara, timur, dengan selatan serentak.Kami yang selama dua malam terakhir cuma menembakkan meriam kosong sambil menggonggong ria dari seberang tembok Raku, kali ini betulan menyerbu. Dan terima kasih, berkat pengalaman dua malam kemarin pula musuh menjadi kurang waspada hingga kami bisa melompati tembok dan membuka gerbang tanpa kendala.“Yoram, kavaleri kita berhasil menerobos.”“Teruskan, tapi ingat, target kita cuma menduduki kota. Jangan kejar mereka yang melarikan diri.”“Dimengerti ….”Tengah malamnya, operasi kami pun selesai. Akan tetapi, sayang target lain pada serbuan Mantel Putih ke Raku kala itu tidak terpenuhi.“Mana Belaaa?!” Tatkala Bura Parami tidak kunjung menemukan tanda dari keberadaan kekasihnya. “Ure, kupasrahkan sisa pasukanku padamu agar kau menyelamat—”Plak! Kutampar sang bura di depan pasukannya.“Aku bukan babu,” kataku terus tegas berkata, “sejak awal target utama kita adalah mengambil alih Raku sebagai titik pertahanan untuk menghadapi serbuan balik pasukan kekaisaran. Menyelamatkan pacarmu cuma bonus, jadi dinginkan kepalamu segera atau kulempar kau ke barisan musuh—”“Lapooor! Yoram, musuh yang lari ke sisi barat kota terlihat membawa banyak kerangkeng.”“Kau dengar itu, ‘kan, Bura?” Kutatap matanya. “Kurasa pacarmu dibawa la—”“Kalau begitu apa yang kau tung—”Kutampar orang nomor satu di Mantel Putih itu sekali lagi. Plak!“Sudah kubilang dinginkan kepalamu!”“Kenapa?” sergahnya, mengaum bak singa lapar. “Kita sudah menang, ‘kan?”“Kau lupa sisa pasukanmu berapa, hah?” balasku gak kalah ngotot, “kalau mereka mendadak sadar setelah melihat orang-orangmu terus tiba-tiba berbalik menyerang pas dikejar maka habislah kita—paham!”Bura Parami terdiam. Sebagai seorang bura sekaligus veteran perang, kurasa ia mengerti kenapa kuambil keputusan ini.“Baik, aku paham …,” ujarnya, sebelum kemudian berlalu entah ke mana.Selanjutnya. “Segera tutup semua gerbang dan buat formasi bertahan di atas tembok!”Pertarunganku belum selesai. Gantian. Setelah mendapatkan kembali Raku, kini giliran kami yang harus siap mempertahankannya dari serbuan balik pasukan kekaisaran sampai mereka menyerah atau benar-benar mundur, bukan?*** “Yoram, kami sudah memeriksa lumbung dan gudang sesuai perintah Anda.”“Hasilnya?”“Kemungkinan kita bertahan di sini cuma tiga hari, tidak le—”“Apa?!” Bura Parami melotot. “Tiga hari tanpa bekal sama saja dengan kalah.”“Belum tentu,” timpalku kemudian memberi perintah, “itu cukup untuk menakuti musuh. Suruh setengah orag kita tidur dan sisanya berjaga di posisi sampai pagi, laporkan apa pun yang terlihat di sisi barat kota begitu fajar datang besok, dan, ya, kirim pesan untuk ‘bala bantuan’ kita di belakang ….”Menjadi seorang dewa perang bukan cuma soal kekuatan dengan daya tahan fisik, tetapi juga kemampuan untuk membaca dan mengatur jalannya pertempuran.Aku percaya siapa pun bisa mengaku atau menjadikan dirinya sebagai dewa perang, tetapi apakah mereka benar-benar memenuhi syarat atau tidak jelas suatu hal yang berbeda. Itu menjadi tolok ukur tersendiri.Sejarah telah mencatat banyak nama bura hebat nan disegani pada masanya. Namun, jarang dari mereka dicatat cukup cakap atau kapabel untuk menyandang status sebagai dewa perang. Kenapa? Karena tidak pernah ada yang berani menggunakan gelar berat tersebut sampai masa jaya mereka benar-benar berakhir atau juga ….“Mereka sangat rendah hati.”“Anda bilang sesuatu, Yoram?”“Ya, Renet. Lihat bendera warna-warni yang berkibar di depan sana. Jumlah mereka lebih banyak daripada kita, tetapi pun mereka tidak menggempur kembali Raku sampai langit benar-benar terang.”“Mereka meremehkan kita,” sambung Bura Parami, naik ke atas tembok dan berdiri sebelahku. “Kau yakin sanggup menghadapi serbuan bendera-bendera itu jika mereka sudah bergerak, Ure?”“Hah ….” Kuhela napas pendek terus tanya, “Anda pikir aku mampu?”Bura melihatku agak lama sebelum lanjut bicara kemudian berbalik dan berlalu.“Sebaiknya kau punya ide bagus untuk mengeluarkan kita dari situasi buruk ini. Aku ingin lihat bagaimana cara seorang dewa perang beraksi. Kutunggu kabar baikmu di belakang.”Cih! Tanpa disuruh pun aku memang akan beraksi.“Anda tidak apa-apa, Yoram?”“Tidak, Renet.” Kulongok bawah tembok sekilas. “Posisi kita tinggi juga, ya.”“Tembok Raku dirancang untuk menjadi benteng, tentu saja sangat tinggi, Yoram.”“Hem. Begitukah … suruh orang untuk membukakan gerbang dan ikut aku ke luar.”“Eh?”“Kau akan menemaniku menyapa lawan kita ….”Membendung serangan langsung pasukan kekaisaran dengan kekuatan kecil kami terlalu berisiko. Meski punya keuntungan dari tembok yang tinggi kemungkinan menangku juga sangat tipis.Jadinya, ketimbang menunggu terus nanti kalah di kontes jumlah mending kuulur waktu selama mungkin sampai ‘keajaiban’ datang.“Yoram, A-anda yakin tidak apa-apa kita keluar dari kota?”“Kau takut, Renet?” “Bu-bukan begi—”“Tidak masalah jika kau takut,” ujarku sebelum kemudian berteriak ke arah baris terdepan musuh. “Hoooi! Aku, Ure el Zauna, yoram dari pasukan Mantel Putih di Panji Beruang, menantang siapa saja yang berani maju di barisan Panji Kuda Putih berduel.”Gila. Barangkali itulah isi kepala orang-orang di depan sana soal aksiku sekarang. Datang ke tengah-tengah antara baris terdepan lawan dengan tembok barat Raku buat minta duel. Nekat.Namun, apa lagi yang bisa kulakukan ‘tuk menunda serangan terbuka dari barisan pasukan sepanjang garis horizon ini selain memanfaatkan harga diri mereka sebagai kesatria.“Satu lawan satu.” Kutancapkan tombakku ke tanah. Jleb! “Jika aku kalah, kota di belakang sana kembali ke tangan kaliaaan!”Entah apa yang lagi diributkan orang-orang ketika mendengar tantanganku, tetapi gaduh dari depan sana terdengar meriah.“Yo-yoram ….”“Hoi, Renet. Kau sebentar lagi akan menyaksikan bagaimana dewa perang berlaga, jadi berhenti gemetar dan semangatlah sedikit ….”*** Di malam sebelum sisa Mantel Putih kubawa ke Raku.“Kenapa kau masih belum memberiku jawaban?” Malam ketika Bura Parami menyerah demi keselamatan kekasihnya. “Aku setuju menulis surat rekomendasi buatmu, kena—”“Belum,” timpalku sembari melongok ke luar jendela bilik rawat di Gerbang Selatan Taria, “masih belum waktunya kita bergerak, Bura.”“Apa maksudmu, Ure?”“Belum saatnya, ya, belum saatnya. Bukankah kalimatku jelas. Benar, ‘kan, Jambu?”“Yoram ….” Seseorang melompat dari langit-langit. “Anda sungguh punya mata di belakang kepala.”“Ja-jambu?” Seseorang yang seketika membuat orang nomor satu di mantel putih kita terbelalak. “Ke-kenapa kau ada di sini?”“Lupakan pria berewok di kasur itu, apa kau sudah melakukan apa yang kusuruh?”Tanpa bermaksud mengabaikan Bura Parami, Jambu mengangguk pada si pria berewok sekali kemudian mengeluarkan sebuah gulungan dan menyerahkannya padaku.“Ini laporan posisi terakhir Panji Beruang, Yoram. Juga ….”“Ada apa?” Kuambil gulungan tersebut kemudian membukanya. “Sudah kubilang lupakan pria berewok di sana, anggap saja dirinya tidak ada.”“Yoram, surat rekomendasi untuk Anda.”“Oh.” Kulirik tangan kananku itu sekilas terus lanjut membaca laporan di tanganku. “Kenapa dengan surat rekomendasiku?”“Isinya tidak seperti rekomendasi.”“Benarkah?” Kututup laporan yang lagi kubaca lantas melipat tangan. “Memang apa isinya?”“Kalian!” pekik Bura Parami dari ranjangnya, “sejak kapan kalian berdua bersekongkol, hah?”“Katakan apa yang pria berewok itu tulis di suratnya, Jambu,” ujarku lalu mendekat ke ranjang Bura Parami dan duduk di tepinya, “tergantung apa yang Anda tulis, keputusan untuk menyelamatkan Bura Bella bisa saja berubah.”“K-kau!”“Bura Parami menulis, ‘Julius, dia menyanderaku. Beri tahu Manik, bawa orang-orangku ke Raku dan ….’”Surat Bura Parami yang katanya rekomendasi buatku ternyata bernada provokasi. Tidak heran, ia memang orang seperti itu. Bukan hal baru.Ini justru kesempatan emas untuk membalik keadaan. Huh.“Apa ada yang lucu, Yoram?”“Surat yang barusan kau bacakan, ditulis menggunakan bahasa Beare yang sudah dianggap hilang, ‘kan?”“Anda tahu bahasa Beare?”“Aku juga sudah membacanya sekilas,” kataku terus menoleh, “kau tetap mengirimkannya ke Bura Julius, ‘kan, Jambu?”Jambu terdiam melihatku sebelum kembali bertanya.“Maaf bila diriku lancang, Yoram. Surat lain yang dikirim bersam—”Ia berhenti ketika tangan kananku terangkat.“Surat itu jaminan kalau semua rencana kita yang tinggal setengah jalan ini tetap pada jalurnya …,” ucapku yang kala itu sudah kembali melihat Bura Parami, “Anda mungkin sedang bertanya-tanya apa maksud dari rencana yang sudah separuh jalan, ya, ‘kan, Bura?”“Tidak,” sanggahnya, balas menatapku. “Aku mengerti sekarang. Benar apa yang dikatakan Bella, kau ingin menyerap Mantel Putih lewat kegagalanku di kampanye Zeta.”“Bagus.” Aku bangkit lekas berjalan ke pintu. “Kita akan mencaplok Raku besok. Anda sudah tahu niatku, semoga kedepannya kita tidak perlu terlibat konflik tidak berguna ….”“Yoram, Anda yakin tak masalah membiarkan Bura begitu saja?” tanya Jambu, sesaat kami pergi dari bilik rawat di Tembok Selatan Taria.Aku mengerti kekhawatirannya, tapi untuk saat ini semua masih baik-baik saja.Jadi. “Kita lihat nanti, kepala Bura Parami masih terlalu murah buat dilepas sekarang.”Selain melangkah penuh percaya diri bersama rencana yang sudah kuatur matang sejak tahun keduaku di Panji Beruang ini buat apa memikiran pohon yang sebentar lagi tumbang ….***

Narsis

Nilai dari Kesetiaan

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Anda sudah bangun, Bura?”“Di mana aku ….”Tanggal 26 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi. Bura Parami akhirnya siuman dari koma, sehari usai kabar kejatuhan Raku tersebar luas.“Ini di bilik rawat gerbang selatan—”“Apa kita sedang ada di Mantrus?” selanya, melotot padaku bak baru saja melihat hantu. “Jawab aku, Ure. Apa kita—”“Ya!” Iseng. Aku mendekat terus duduk di ranjangnya. “Kita tiba kemari kemarin lusa, sayang Anda tidak melihat apa yang sudah kulakukan di sini.”“Tidak ….” Suara beratnya terdengar lesu. “Jika kita sudah di sini dan kau ternyata sekarang masih hidup berarti mantel putihkulah yang kalah, aku tahu.”Eh? Aku tidak salah dengar, ‘kan? Hem.‘Jadi, dia benar-benar merencanakan sesuatu di belakangku,’ batinku kemudian lanjut bersandiwara, “jika semua tidak sesuai rencana, terus Anda mau apa?”“Sebagai seorang bura ….” Ia menunduk. “Hidupku di pertempuran tidak perlu kau tanya lagi.”Aku tidak tahu ke mana pria berewok yang baru bangun ini mau menyetir topik, jadi mari dengarkan saja.“Tumbuh sebagai yatim piatu di pengasingan, masa kecilku tidak jauh beda dari anak-anak di Zaowi. Hanya saja, sebagai seorang Braran aku tidak punya punggung yang kulihat setiap pagi dan wajah yang kutunggu-tunggu ketika sore atau malam datang.”Oh, jadi dirinya juga cukup melankolis.“Hari-hariku memang berat, tapi tidak pernah ada hari yang tidak selesai. Aku bersama saudara-saudaraku Julius, Manik, bahkan Bella, selalu tertawa setiap malam ketika pekerjaan kami tuntas.Sayangnya, kebahagiaan itu tidak belangsung lama.Setelah Serdadu Jubah Hitam menyerang desa ….”‘Eh?’ Mataku mendelik. ‘Serdadu Jubah Hitam, mereka masih ada?’“Setahun kemudian. Aku, Julius, Manik dan Bella memutuskan untuk menjadi perampok di Purtara. Pilihan yang menyedihkan, memang, tapi itulah titik balik kami berempat hingga punya kekuatan sebesar hari ini.Pelan-pelan aku juga menjadi terkenal dan pu—”“Aku kemari bukan mau dengar cerita sedih dengan curhatan masa muda kalian, Bura,” selaku terus tanya, “tapi ingin tahu, apa rencana Anda selanjutnya?”“Huh.” Ia terkekeh. “Apa lagi, Ure. Aku kehilangan sebelah mata karena kecerobohanku, orang berbakat sepertimu, Mantel Putih, bahkan mungkin orang yang kucintai sepanjang hidup juga telah pergi ….”Hem. Aku makin tidak mengerti.“Ure, katakan padaku apa lagi yang bisa kulakukan setelah kekalahan besar ini?”“Ya ….” Aku menjuling sebentar terus bilang, “Aku tidak tahu, makanya tadi kutanya, ‘kan. Cuma, jika Anda benar-benar sudah menyerah kenapa tidak sekalian serahkan saja sisa Mantel Putih padaku?”Bura Parami mendelik dengar ucapanku.“Apa maksudmu sisa?”“Sisa, ya, sisa.”“Selain yang kusuruh bertahan di perbatasan, semua pasukanku kukirim kema—”“Yoraaam!” Seorang prajurit merangsek ke bilik rawat hingga obrolanku dan Bura Parami terjeda. “Gawat, Yoram. Pa—”“Pame, kenapa kau ada di sini?” teriak Bura Parami, sontak membuat sang prajurit terperanjat. “Bukankah kau kusuruh siaga di perbatasan.”“B-bura?”*** “Semua, berangkaaat ….”Tanggal 27 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi.Sehari usai drama kecil sesaat Bura Parami siuman dari koma, sisa pasukan Mantel Putih yang mengikutiku dari perbatasan Seren hingga Taria kini kubawa kembali menuju Raku.Buat apa? Tentu saja untuk menyelamatkan kekasih bura mereka.Ya. Kekasih Bura Parami, Bura Mantel Jerami, Brararia de Bella.Aku sama terkejutnya dengan kalian pas tahu mereka berdua punya hubungan. Toh, menurut cerita yang kudengar kemarin antara Bura Parami dan Bura Bella hanya ada pertemanan sejak masa kanak-kanak.Siapa sangka jika keduanya ternyata diam-diam menjalin asmara ….“Anda benar-benar mengejutkan, Bura.”“Huh.” Bura Parami buang muka. “Tidak kusangka aku akan masuk jebakanmu, Ure.”‘Jebakan?’ Mataku memicing padanya sekilas sebelum balik konsentrasi mengemudikan gerobak. “Kurasa di sini akulah korban sebenarnya, Bura,” ucapku lantas mengingatkan apa-apa yang telah dirinya perbuat di belakangku sebelum ini, “Anda mengatur siasat untuk menjebakku di Mantrus, menyewa bandit-bandit agar menyergap kita minggu lalu, terus secara diam-diam bekerja sama dengan Bura Bella yang namanya saja baru kutahu sekarang buat menyingkirkanku bulan kemarin.”Bura Parami tidak menanggapi, ia tampak sibuk dengan ‘pikiran’ sendiri.“Seingatku pekerjaan-pekerjaanku selalu beres bahkan sejak jauh-jauh hari sebelum tenggat waktu habis, hasilnya pun tidak pernah tak memenuhi harapan Anda, ‘kan?”“Orang sepertimu berbahaya, Ure,” sahut sang bura, akhirnya mau menanggapi. “Rekam jejakmu selama di mantel putihku terlalu sempurna, seolah kau memiliki agenda lain di balik semua prestasi-prestasi itu.”“Oh, jadi ceritanya Anda takut.”“Bohong kalau kubilang tidak …, apalagi sekarang kau terang-terangan meminta posisi bura kelima setelah kanselir, aku khawatir dirimu suatu saat akan menjadi ancaman bagi Panji Beruang.”Sebetulnya bukan ‘akan’ lagi, toh diriku memang sudah menjadi ancaman nyata dan kini sedang merayap di balik bayangan sambil menggerogoti tubuh pasukan pemberontak ini. Tidak perlu kujelaskan apa saja yang panji gorgonku lakukan, bukan?“Kalau tidak ingin diriku menjadi bahaya buat kalian, seharusnya Anda memastikan bahwa kita tidak akan pernah berseberangan.”“Lalu aku harus membiarkanmu membuat divisi kelima di pasukan kita?”Kugaruk pipiku, kembali menoleh padanya sekilas, terus balik konsentrasi ke jalan.“Apa Anda punya pilihan?”Posisi Bura Parami memang sulit, aku paham. Hanya saja, baik diriku maupun keempat bura semua sama-sama punya agenda sendiri yang harus tercapai di perang Panji Beruang—Kekaisaran Matilda Barat ini.Jadi kupikir antara aku dengan mereka sejak lama telah jelas dan sama-sama sepakat juga maklum apabila tidak ada kesetiaan abadi pada ‘permainan’ kami ….*** “Atur barisaaan ….”Tanggal 30 Bulan Empat, menjadi akhir bulan terpanjang bagi orang-orang Raku dan sekitarnya di Musim Panas 344 Mirandi. Sebab begitu matahari mulai mendaki langit, dentum peluru meriam lekas silih sahut dengan suara batu lontaran manjanik ketika menghantam tembok utara kota. Bdum!Pada hari itu, lima ribu tentara bermantel putih yang kubawa dari Taria tidak kubiarkan menyerbu tembok Raku pakai cara biasa.“Pertahankan ritme tembakan meriam dan manjanik, sayap kanan siaga di posisi, jangan berhenti teriak.”Menggunakan gema dan jerit sebagai senjata psikologi, targetku adalah menekan moral musuh hingga ke titik di mana mereka tidak lagi betah terus-terusan berlindung di balik tembok.“Yoram, musuh mulai mengeluarkan meriam.”“Di atas tembokkah?”“Benar.”“Kalau begitu abaikan.” Aku celingak-celinguk, melihat barisan di kanan dan kiriku sekilas. “Bagi orang kita jadi tiga, sebagian kirim ke sisi timur dan sebagian lagi ke selatan dan tunggu aba-aba selanjutnya.”“Baik.”Jika dugaanku benar, pasukan kekaisaran yang sekarang menduduki kota tidak lebih dari sepertiga jumlah awal mereka waktu mengejarku dengan sisa-sisa Mantel Putih kemarin. Karena itu menyerbu dan mendaki tembok pakai cara biasa hanya akan melemahkan kami sebelum bala bantuan mereka yang entah sedang menunggu di mana muncul.“Di sana!” Kutunjuk para penunggang kuda yang baru saja keluar dari sisi barat kota. “Kejar penunggang-penunggang itu, mereka akan memanggil bala bantuan musuh kemari—cepat tangkaaap!”***

Narsis

Ilusi

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Bagaimana?”“Yoram.” Padri yang baru saja keluar dari tenda, tempat Bura Parami dirawat, menunduk dan tidak berani melihatku. “Bura, beliau berhasil melewati masa kritis. Namun, be—”“Masih tidak sadarkan diri?” selaku, menghadap penuh pada sang padri. “Menilai dari kondisinya saat ini, menurutmu kapan Bura Parami akan benar-benar pulih?”Prajurit di depanku tidak lekas menjawab, tapi dari wajah cemas serta mata yang terus-terusan berpaling menghindari tatapan waktu kutanya aku sudah bisa menyimpulkan sendiri.“Aku mengerti,” lanjutku, lekas bangkit kemudian menyentuh bahunya sekilas. “Terima kasih, kau sudah mengusahakan yang terbaik untuk buramu ….”Sore hari, tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi. Aku akhirnya berhasil membawa Bura Parami ke Kemah Pasukan Mantel Putih di perbatasan Seren, lolos dari sergapan maut tadi pagi. Akan tetapi, nahas sebab sang bura harus kehilangan salah satu matanya.Harga yang tidak bisa kubilang murah untuk sebuah peristiwa kecil.“Apa semua tupa sudah di sini?”“Yoram.”“Yoram.”“Yoram.”Kuangkat tanganku, membalas salam semua orang di tenda utama tersebut.“Bura berhasil melewati masa kritis, tapi beliau masih dalam keadaan koma dan enggak tahu kapan bakal siuman,” ujarku di depan semua kapten peleton sebelum lanjut berkata, “jadi, sementara ini pertempuran dengan pasukan kekaisaran akan kuambil alih. Apa ada yang keberatan?”Para tupa silih lirik, tetapi mereka semua setuju dengan keputusanku.“Bagus. Sebelum melaporkan situasi dengan musuh, beritahu aku ke mana sisa pasukan kita yang lain.”Hal pertama yang mau kutahu di kemah ini adalah, kenapa pasukan yang seharusnya berjumlah lima puluh ribu orang lebih cuma sisa beberapa ribu saja. Tidak mungkin mereka semua gugur, bukan?Seingatku. Setelah membagi pasukan untuk menjaga wilayah Koana dan Tanderi dua setengah bulan lalu, Mantel Putih masih punya sekitar seratus ribu prajurit di bawah komando Bura Parami yang ia bawa untuk kampanye Zeta kali ini.Selain itu, meski dia betulan membagi pasukan lagi untuk menghadapi serbuan balik dari kekaisaran, kabar yang kudengar juga menyebut bahwa Bura Parami masih membawa lima puluh ribu orang ke perbatasan.Masalahnya, di mana mereka sekarang?“Kalian tahu aku bukan seorang penyabar, ‘kan?” kataku sembari mengatur posisi miniatur alat perang di atas peta, “jika tidak ada seorang pun yang bisa memberitahuku di mana posisi caupa sama yoram-yoram Mantel Putih lain saat ini, kupastikan kalian takkan mampu bertahan lama menghadapi serbuan pasukan kekaisaran di ronde berikutnya.”Begitu persiapan di meja selesai.“Yoram, maaf—”“Maaf untuk?” selaku lantas menebak, “apa kalian semua terus diam karena gak diberitahu apa-apa soal rencana kita sama atasan, begitu?”Mereka kompak mengangguk, merespons tebakanku sebagai benar.Hem. Ya, sudahlah. Apa boleh buat. Mau bagaimana lagi kurasa …. *** “Berangkaaat!”Tanggal 23 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi. Merespons serangan lanjutan oleh pasukan kekaisaran yang datang dari wilayah Kerajaan Vom, Kemah Mantel Putih di perbatasan Seren pun kubongkar. Lima ribu tentara milik Bura Parami yang tersisa, semua kubawa menuju Raku.“Lapooor … Yoram, pasukan kekaisaran mengekor tepat di belakang kita!”“A-apa?!”“Jangan panik!” pekikku coba menjaga moral pasukan, “mereka tidak akan menyerang kita. Pertahankan barisan dan terus maju, kita akan sampai ke Raku sebelum matahari terbenaaam ….”Sadar diri. Dengan jumlah enam sampai tujuh kali lebih sedikit daripada pengejar, pilihanku satu-satunya sekarang hanya membawa para pasukan sisa ini ke Raku dan meminta bantuan sekutu, Mantel Jerami.Sebelum pasukan lain Mantel Putih jelas posisi mereka saat ini di mana aku tidak bisa menjamin kami akan sanggup membendung serbuan musuh, jadi ketimbang buang nyawa buat taruhan gak jelas mending cari aman dulu saja. Ya, ‘kan?“Lapooor …, Mantel Jerami menolak membuka gerbang untuk kita—”“Apa?!”“Kenapa mereka menolak membuka gerbang?”“Katanya—”“Lapooor …, musuh semakin dekat!”Hem, jadi perjalananku kemari sia-sia?‘Tidak,’ batinku menolak untuk menyerah, “Semua, maju terus!”“Tapi, Yoram.”“Aku tahu!” teriakku lalu memaksa barisan bergerak, “kita akan ditembak jika terlalu dekat ke tembok ….”Namun, itu bukan masalah. Toh, kami tidak benar-benar mau masuk kota.Rencanaku. Sebelum barisan menyentuh jarak jangkauan panah, kami akan memecah diri lalu mengitari Raku lewat utara dan selatan kemudian berkumpul kembali di timur. Membuat ilusi seolah-olah Mantel Putih di luar bekerja sama dengan Mantel Jerami di dalam kota hendak menjadikan gerbang sisi barat sebagai garis pertahanan untuk menghadapi musuh yang datang kemudian.“Yoram, musuh benar-benar berhenti mengejar dan membuat barisan di depan tembok barat.”“Itu yang kita mau!” sambutku senang lantas memberi instruksi baru, “sekarang buat barisan jadi tiga ….”Selanjutnya adalah evakuasi. Aku tidak ingin menunggu di luar tembok yang tidak bisa kumasuki.Apalagi, mempertimbangkan jumlah kekuatan musuh juga puing bekas ‘kerusuhan distrik barat’ bulan lalu yang tampak belum dipulihkan dan kini menjadi benteng Mantel Jerami, menonton kejatuhan Raku hanya akan menurunkan moral kami.Jadi, pada malam itu juga, kutarik barisan Mantel Putih menyelinap sedikit ke timur lalu berbelok ke utara hingga kami menyentuh Taria.“Tahan formasi. Kita istirahat di sini sambil menunggu rombongan penyisir mendekat dan regu pelacak selesai memetakan medan ….”Keesokan harinya.“Yoram, ki-kita …, kita sampai.”“Kita sampaaai!”Perjalanan melelahkan tersebut pun selesai ….*** “Yoram.”“Bagaimana?”“Sesuai tebakan Anda, Raku sudah jatuh dan sekarang diduduki musuh ….”Tanggal 25 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi.Kabar bahwa Kota Raku, Ibu Kota Pendidikan sekaligus lumbung utama di Kerajaan Seren, telah jatuh dan kini diduduki pasukan kekaisaran pun menyebar ke seluruh wilayah Panji Beruang. Tanpa terkecuali.Aku, Mantel Putih, juga bura mereka yang masih belum sadakan diri, sekali lagi harus siap mengernyitkan dahi untuk kemungkinan terburuk. Kemunduran jadwal dengan persiapan kemerdekaan Panji Beruang.“Apa ada kabar lain?”Telik sandi yang melaporkan situasi terbaru padaku menggeleng.“Baiklah, kau boleh pergi.”“Jadi Anda dan para bandit ini sekarang sedang menghadapi kebuntuan?” celetuk Bate Taria, sesaat telik sandi tadi berlalu dari aula pertemuan di istananya.Celetuk yang, tentu saja, membuatku sekilas memicing ke arah singgasana dengan tatapan heran.Meskipun begitu, kurasa tak ada hal lain yang bisa kulakukan pada situasi ini selain tersenyum menanggapi orang nomor satu di Kota Taria tersebut. “Anda benar, Bate. Dengan segala hormat, Taria harus bersabar sedikit lebih lama menghadapi orang-orang barbar macam kami.”“Hah.” Sang raja kota lekas turun dari singgasana dan menghampiriku. “Ck-ck-ck. Tuan Ure, oh, Tuan Ure. Anda tidak perlu risau. Selama lumbung kotaku tertangani dengan baik kemudian isinya terus bertambah seperti selama ini, kalian bebas untuk tinggal, jadi tolong jangan bermuka masam begitu di depanku.”Meski dia mengucapkannya sambil menggeleng dan terkesan demi kepentingan pribadi, aku senang orang ini memilih abai pada kehadiran kami.“Bate ….” Kulipat tanganku lalu menyapu mata para pejabat di ruangan tersebut. “Kalau diriku yang bukan siapa-siapa ini boleh tanya, bila suatu saat Panji Beruang betulan mendeklarasikan kekaisaran baru apakah semua yang hadir di sini akan tetap menerima kami?”Aula pertemuan sontak hening sekian detik.“Hohoho ….” Sampai si raja kota celingak-celinguk lantas memberiku jawaban yang agak menggelitik. “Apa hal itu benar-benar penting?” Begitu ucapnya sebelum lanjut berkata, “Kekaisaran bagi kami, orang-orang Taria, tidak lebih dari sekadar formalitas.”Hem. Menarik.“Bagi diriku pribadi.” Ia berjalan kembali ke singgasana. “Kekuasaan sesungguhnya lebih ke hal-hal praktis, jadi selama tidak mencampuri urusan di Taria secara langsung siapa pun mapuku nantinya aku dan orang-orang di sini takkan ambil pusing.”Kugaruk pipiku, ingat bagaimana dulu Panji Beruang menyerbu tempat ini.“Anda benar-benar lihai dengan pesan tersirat, Bate.”“Hohoho, Anda orang pertama yang langsung menangkap sindiranku, Tuan Ure.”Alasan kenapa Bate Taria cukup fleksibel adalah karena proposal kami, Mantel Putih, pada Bura Julius saat penundukan Taria beberapa tahun silam. Waktu itu kami tidak memaksa ia agar turun tahta. Sebaliknya, kamilah sponsor terkuat sang bate ketika mengukuhkan pengaruh sebagai penguasa tunggal kota ini.Alhasil, ia beserta bawahan-bawahannya yang sekarang pun rela menjadi ‘anjing setia’ sekaligus ‘boneka pemanis’ di atas singgasana raja kota tatkala Panji Beruang mengatur semua dari balik layar.Cek! Lucu memang ….***

Narsis

Membangun Ambisi

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Hati-hati, Pamaaan ….”Tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi. Sesuai rencana kemarin, aku dan Bura Parami hari ini bertolak menuju Mantrus. Hendak membujuk penduduk di sana supaya merelakan tembok selatan sama barat kota mereka buat jadi benteng sementara pasukan Mantel Putih.Juga, melanjutkan debutku sebagai calon dewa perang era ini. Atau, aku tadinya berpikir begitu.“Kudamu boleh juga, sayang kalau cuma buat menarik gerobak, Ure.”“Oh, terima kasih.” Aku tersenyum dengar pujian Bura Parami. “Ini kuda yang menemaniku menghadapi kepungan di Raku. Dia sudah berjasa menjatuhkan yoram-yoram Mantel Jerami bulan kemarin.”“Kudengar duelmu sangat mengesankan. Kalau benar keahlian berkudamu sehebat yang dibilang orang-orang, kenapa kau tidak mau berada di garis depan?”Sontak aku menjuling dengar omongan si berewok, melirik janggut tebalnya sekilas, terus menghela napas lelah sambil menjaga laju gerobak.“Bukan tidak mau,” kataku mencoba abai pada niat aslinya, “Anda tahu sendiri sekalinya aku maju ke garis depan satu kota pernah dibakar dan orang-orangnya terbantai habis, bukan?”“Soal pembakaran Hika?”“Ya. Meski berhasil membuat lima kota menyerah setelah mengambil langkah mengerikan itu, pasukanku langsung Bura Julius bubarkan. Jadi, kesimpulanku kalian lebih suka tempo perang yang lambat dan gaya bertempurku gak akan cocok untuk Panji Beruang.”Lama Bura Parami terdiam sebelum lanjut dengan topik lain.“Ngomong-ngomong, apa lembing di belakang itu—”“Benar,” selaku datar, “itu tombak yang kupakai menghunjam orang-orang Mantel Jerami di duel kami.”“Kau yakin mau merebut posisi bura mereka?”Aku menoleh, melihat dia yang lagi menatap—entah heran atau malah berharap sesuatu, sorot matanya sukar kutebak padahal jarak kami cukup dekat.“Anda bilang hanya boleh ada empat bura di Panji Beruang, ‘kan?” lanjutku yang lekas mengambil tombak, bersiap untuk apa pun yang sedang menunggu kami di depan. “Kalau memang tidak bisa jadi yang kelima, menyingkirkan satu dari panggung kalian berempat berarti tidak bisa kuhindari juga, bukan.”“Kenapa kau mengambil tombak, Ure?”“Buat jaga-ja—”Shut—tak! Belum selesai kalimatku, satu tembakan panah sudah melesat mengincarku.“Kita disergaaap!” teriak Bura Parami, seketika menghentikan laju kuda.Sementara diriku, terus melaju dan melemparkan tombak ke penyergap kami. Lung!Janggal. Satu kata soal penyergapan ini. Aku tidak pernah memberitahu jadwalku kepada siapa pun, lalu kenapa kami bisa di sergap? Banditkah, kusara bukan.Ketika aku menoleh, kulihat Bura Parami merentang panah. “Ure, aku akan menjaga belakangmu!”Begitu pekiknya. Namun, bukan rasa tenang yang kudapat ketika melihat arah ujung panahnya. Dia bukan sedang menjaga punggungku, tetapi menyasarnya.Juga, selain tiga musuh di depan, minus satu yang sudah tertancap tombak, para penyergap yang sekarang sedang sembunyi dan menunggu di hutan sekitar semua hanya mengarahkan busur mereka ke arahku.‘Sialan!’ makiku dalam hati, ‘aku dijebak ….’*** Kemarin, di lapak dekat Gerbang Selatan Zara.“Aku lagi cuci gudang, daging hari ini kujual setengah harga ….”Meski besok aku akan berangkat ke Mantrus bareng pria berjanggut lebat sebelahku, jadwal juga kegiatan hari ini tidak jauh berbeda sama kemarin dan kemarinnya lagi. Aku tetap membuka lapak dagang, menjual daging mencek, serta melakukan rutinitas seperti biasa.Ya, tidak ada satu pun yang berbeda.“Apa kau takkan berkemas atau bersiap untuk besok?” tanya Bura Parami, tiba-tiba mengajakku ngobrol setelah hampir setengah hari cuma duduk diam tanpa sepatah kata pun terucap di belakang stan dagang kami. “Besok kita akan ke Mantrus, kota yang bate dengan muri-murinya bukan dari orang kita.”“Apa Anda khawatir mereka takkan memberikan tembok Mantrus buat jadi benteng dan garis depan kita melawan tentara kekaisaran, Bura?”“Jangan pura-pura. Kau mengerti maksudku, Ure.”Kudekatkan kursi kami lekas duduk menghadapnya.“Sebetulnya apa yang mau Anda capai lewat perang berskala kolom benua ini?” tanyaku, coba menyetir obrolan sehalus mungkin ke topik lain. “Kita sama-sama tahu kalau Bura Julius ingin tahta karena dirinya keturunan Mapu Brave, dia mau merebut kembali kejayaan keluarga dari tangan pahlawan dunia lain.”Kulihat dirinya.“Sedangkan Anda, apa yang Anda inginkan. Jangan sebut soal mengabdikan diri lagi, kita sudah sepakat tidak ada kesetiaan yang gratis di dunia ini.”“Kau sendiri?”“Sudah kubilang aku mau gelar dewa perang, ‘kan?” kataku sambil tersenyum, “dengan hak penuh untuk mengatur tentara dan wilayah khusus. Setelah Kekaisaran Matilda Barat jatuh, akan kubawa pasukanku ke Dataran Tengah dan Benua Timur.”“Aku sudah jarang mendengar orang menyebut Dataran Tengah dan Benua Timur, kau terdengar seperti orang zaman dulu,” sahutnya sembari melihat ke sembarang arah, “kita sekarang menyebut dua wilayah benua lainnya dengan Matilda Tengah dan Timur.”“Huh.” Kuikuti gestur duduknya, menyulam jari sembari menyanggakan sikut ke lutut. “Hanya kebiasaan, buku-buku yang kubaca masih menyebut mereka Dataran Tengah dan Benua Timur.”“Sayangnya kita tidak hidup di dalam buku, Ure.”Aku tidak setuju. Kadang apa yang tertulis di buku adalah apa yang betulan terjadi di Eldhera. Meski zaman dan pelakunya berbeda, tetapi benang merah dan konteks latar juga kejadiannya serupa.“Mungkin Anda benar, tapi buatku lebih mudah untuk menyebut mereka dengan nama-nama itu.”“Ya, terserah kau sajalah.” Ia kini melipat tangan depan dada. “Ngomong-ngomong, daging yang kau bawa hari ini sangat sedikit. Apa pemburumu tidak—”“Mereka libur,” selaku terus bangkit dan meladeni pelanggan.Beberapa saat kemudian. “Aku sudah mengatur orang untuk menjemput kita di utara Koukos besok, dari sana kau dengan orang-orangku akan langsung pergi ke Mantrus.”“Maksud Anda kita berpencar?”“Ya. Aku akan kembali ke perbatasan dan menahan tentara kekaisaran sampai rencanamu berhasil.”“Oh, terus suratku?” “Aku akan menulisnya begitu kita berhasil masuk kota.”“Bunyi perjanjian kita kemarin tidak begitu.”“Aku ingin dengar kabar baik dulu. Jadi, Ure, lakukan apa pun agar orang-orang Mantrus mau memberikan tembok mereka kepadaku dan kau akan dapat rekomendasi untuk panji gorgonmu saat itu.”Naskah-naskah sejarah kebanyakan menulis bura dan tokoh-tokoh perang di masa lalu sebagai orang yang otak otot, jujur, setia kawan, serta teguh berprinsip dan sangat kesatria. Namun, jarang di antara mereka mencatat kalau para pelaku sejarah itu juga cukup perhitungan, paham siasat dan cenderung manipulatif.Mereka bergerak atas kepentingan pribadi. Bukan diriku ingin menapikan tokoh yang memang jujur dan betulan setia, mereka juga benar-benar ada, tetapi faktanya sejarah kebanyakan ditulis oleh para pemenang untuk tujuan tertentu.Seperti pria berewok sebelahku ini. Tidak ada yang tahu benar apa isi kepalanya. Apakah dia benar memaklumi tujuanku yang terang-terangan ingin jadi dewa perang zaman ini, ataukah sebetulnya dirinya pun cuma sedang menggunakanku untuk suatu saat dibuang? Tidak ada yang tahu.“Anda takut aku berbalik mengancam Panji Beruang?” tanyaku, coba mengorek lebih jauh.Ia, dengan gaya khasnya, mengusap janggut sambil menengadah dan terpejam. “Bohong kalau kubilang tidak, Ure. Hanya saja, kita kadung punya janji, bukan?”“Aku sengan Anda mau terus terang, Bura,” timpalku sambil mengasah pisau, “kurasa jika suatu saat diriku terpaksa menyingkirkan Mantel Putih setelah Mantel Jerami, Anda tidak akan heran.”“Aku sudah terbiasa. Kau membantuku menanam pengaruh di tiga kerajaan, bahkan menyusupkan orang-orangku ke wilayah Mantel Emas dan Ungu tanpa penolakan dari Manik dan Julius. Jika tugas serumit itu saja bisa kau lakukan, mustahil berada di mantel putihku akan cukup buatmu.”“Anda benar.”“Jika tujuanmu tercapai, maksudku menginvasi Matilda Tengah dan Timur, apa yang akan kau lakukan?”“Anda mengembalikan pertanyaanku, Bura?”“Benar. Aku tidak bisa menjawab apa yang mau kulakukan saat pemberontakan ini selesai. Mungkin bila kau beritahu rencana besarmu selanjutnya, diriku akan sedikit tercerahkan. Hahaha ….”Tercerahkan. Apa sebenarnya arti kata sakral tersebut?***

Narsis

Sebelum Kembali Bersinar

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Hoaaam ….”“Hari ini sekolah libur.” Aku tersenyum ke anak-anak di teras, mereka kelihatan masih mengantuk. “Ben, kau dengan teman-temanmu, kalian sedang apa?”“Kami menunggu Paman Parmi, katanya dia mau menunjukkan burung elang peliharaannya.”“Oh.” Mulutku membulat. “Ini masih pagi, mungkin dirinya baru kemari nanti siang.”“Tidak, Paman Ure. Paman Parmi janji mau menunjukannya pas kami sarapan—”“Itu dia!” Salah seorang anak berteriak.Hingga aku spontan menoleh ke kanan, merespons suaranya. Di sana, tampak sosok Bura Parami tengah berjalan mendekati bangunan panti, melenggang dengan dua karung besar di kanan kiri bersama seekor elang botak yang mengekor dari angkasa—jauh di belakangnya.Kemunculan yang cukup dramatis buatku. Sebagai tokoh utama dalam cerita, jujur aku sedikit kaget. Jarang sekali ada kemunculan tokoh sampingan yang disokong oleh suasana latar dan penggambaran serinci ini. Cek!Author, apa posisiku sebagai tokoh utama akan terganti?….Ya, sudahlah. Kita tunda heranku buat kapan-kapan.Begitu pria berjanggut tebal itu makin dekat, anak-anak yang sedari tadi menunggu segera memapak dan mengerubunginya bak semut ketemu gula. “Paman Parmiii!”“Paman Parmi, mana elang yang paman bilang kemarin?”“Ho ho ho, lihat siapa saja anak manis yang menyambutku … kalian penasaran dengan elangku, ‘kan, coba lihatlah ke atas ….” Hem. Aku baru tahu ternyata Bura Parami bagus menangani anak-anak ….Minggu ketiga Musim Panas 344 Mirandi. Genaplah sudah satu minggu orang nomor satu di Mantel Putih hilir mudik sekitaran tempat tinggal sama lapak dagangku di Distrik Selatan Zara. Selama itu pula dirinya telah mencoba jadi teman ngobrol, buruh lepas yang rajin, dan sesekali bersikap bak penguntit kelas wahid nan suka muncul tiba-tiba macam hantu.Dia bahkan menjadi sosok paman yang hebat, lebih mengesankan ketimbang diriku.Sayangnya, topik hari ini bukan soal Bura Parami. Jadi, mari lupakan dirinya. Hal lain yang gak kalah penting, rencanaku dapat kemajuan pesat di sepanjang ‘Jalur Benang Barat’ kalau kalian belum tahu. Awal minggu ini delapan dari sepuluh Ibu Kota Ekonomi di Kolom Dua-Tiga telah orang-orangku duduki, mulus tanpa sepengetahuan Panji Beruang—tentu saja.Mulai Qandu di barat laut Zaowi, maju ke barat hingga percabangan Suadu terus naik ke atas, Jink, Touro, dan Amert, lalu turun ke bawahnya ada Bun, Garuru, sampai Logos di timur laut Koukos. Lebih dari empat puluh ribu tentara menyaru bersama penduduk dan masih terus bertambah.Bukankah ini hebat?Setelah dibubarkan Bura Julius, Panji Gorgon yang semula sporadis kini malah menjamur. Berkah di balik sebuah musibah, kurasa. Bahkan, seminggu sejak kabar eksekusiku tersebar sebagian dari mereka berhasil mengusir Mantel Jerami keluar dari kota menggunakan amarah massa. Begitu bunyi laporan yang kubaca kemarin malam. Benar-benar di luar dugaan ….“Paman Ure, ayo makan bareng kami!”“Ya. Sebentar!” sahutku, lekas membereskan sisa pakan ternak kemudian menghampiri Nigi, bocah yang barusan memanggil, di pintu kandang. “Kak Shopia masak apa hari ini, Sayang?”“Kak Shopia masak roti sama kari, Paman.”“Roti kari, benarkah?”“Iya!” Senyum anak yang lagi menjemputku teramat cerah. “Rotinya juga bukan roti yang biasa kami beli di pasar, Paman,” tambahnya riang, “Paman Parmi bilang, itu roti dari gandum spesial.”‘Spesial, ya?’ batinku sembari mengekor di belakang Nigi ….*** “Hoi, Ure. Kau telat!” pekik Bura Parami waktu melihatku, “cepat kemari. Masakan pacarmu benar-benar enak ….”Ya. Seperti yang dibilang Nigi. Menu sarapan pagi ini ‘roti spesial’ dengan kuah kari.“Paman Ure, Paman Parmi bilang kau mau pergi berperang lagi besok, apa benar?”Aku tersenyum menanggapi Swada, bocah sebelahku, lalu menambahkan daging ke kuah di mangkuknya.“Benar, besok paman akan pergi ke Mantrus sama Paman Parami, tapi bukan untuk berperang—ah, Ninu, duduk. Kalau tanganmu gak sampai, minta tolong Tena. Kau juga, Miguel, berhenti memainkan busur di meja makan ….” Aku tidak pandai menceritakan kegiatan di meja makan, apalagi dengan suasana seramai panti asuhan macam ini. “Shopia, bantu aku!”Ngomong-ngomong, soal rencana besok. Awalnya Bura Parami mau aku ikut ke perbatasan Seren buat membantunya menyusun siasat menghadapi pasukan kekaisaran yang mendekat dari barat daya, tapi karena batalion pribadiku sudah dibubarkan dan dia juga tidak mungkin membagi pasukan Mantel Putih lagi diriku jadi punya alasan buat menawar.Alhasil, sebagai penasihat berpengalaman, kusarankan ia agar memindahkan kemah utama dengan ceruk pertempuran mereka dari perbatasan ke benteng atau kota terdekat. Ketimbang menyerang balik musuh yang sudah jelas lebih unggul di area terbuka, bertahan akan lebih mudah buat Mantel Putih.Oleh karena itu, mau tidak mau, aku pun ditunjuk buat membujuk penduduk Mantrus, kota terdekat dari medan perang sebelumnya, supaya mau menerima kami dan rela memberikan tembok kota mereka untuk jadi benteng pertahanan sementara besok. Tanggal 21 Bulan Empat, Musim Panas 344 Mirandi.Selain itu, Bura Parami berjanji untuk membersihkan namaku dari daftar hitam Mantel Jerami. Dia bilang dengan kontribusi di garis depan sebasar itu, tuduhan membelot akan secara alamai menjauhiku.Benar. Aku setuju. Kecuali fakta bahawa diriku memang benar-benar membelot.Sudah sejauh ini. Kurasa aku tidak perlu terus menyembunyikan ketidaksukaanku pada Panji Beruang dan antek-antek mereka, bukan?Toh, kontribusi senilai mengambil hati massa dan mengaturkan kota-kota dari sembilan negara bagian di Kolom Dua-Tiga Benua Barat bukan sesuatu yang tampak kecil. Namun, namaku tetap masuk daftar hitam Mantel Jerami juga pada akhirnya.Sejak saat itu diriku berubah pikiran ….‘Kenapa tidak terang-terangan?’ batinku sebelum menawar upah kepada Bura Parami beberapa hari lalu, “aku mau posisi bura jika berhasil membuat pasukan kekaisaran mundur, dengan jumlah pasukan seratus ribu orang minimal. Kalau kurang dari itu aku tidak mau.”“Kau sedang tidak membuat lelucon, ‘kan, Ure?”Tentu saja, Bura Parami hanya akan menganggap syaratku sebagai gurau.“Tidak.” Akan tetapi, mana ada gurau dengan taruhan kepala. “Kalian menganggapku dan teman-temanku hanya sebagai bidak yang bisa diganti kapan saja, bukan?”Aku yakin, dirinya pun mengerti.“Apa ini soal ‘dewa perang’ yang ramai dibicarakan orang bulan kemarin ….” Makanya cara ia bersikap di depanku juga ikut berubah. “Kau benar-benar mau menggantikan Bura Mantel Jerami, Ure?”“Aku bukan pemaaf, Bura.” Begitu kataku yang lalu menengadah, mencari posisi rembulan di langit malam itu. “Seperti malam ini, bulan menghilang setelah bersinar penuh kemarin dan akan bersinar lagi besok … sebelum berpendar di akhir masanya nanti, aku akan menggunakan redupnya cahayaku sekarang sebagai momentum dan titik balik.”“Kau bicara pakai kias,” celetuk Bura Parami yang saat kutoleh malah buang muka, “aku mana ngerti ….”Diriku tersenyum.“Aku tahu Anda tidak punya wewenang mengangkatku sebagai bura baru …,” kataku lanjut menerangkan apa yang kumau dirinya lakukan, “tolong tulis saja rekomendasi agar Bura Julius memberiku pasukan baru, setelah itu ajak Bura Manik melakukan kampanye ke barat laut Tarkaha, sisanya biar kuurus sendiri.”“Heh?” Bura Parami mendelik. “Apa yang mau kau lakukan, Ure?” tanyanya, tiba-tiba bangkit.Mantap kujawab, “Aku mau membendung laju pasukan kekaisaran dan mengambil semua merit Mantel Jerami buat diriku sendiri ….”***

Narsis

Hari Damai yang Singkat

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Yoram.”Kujeda kegiatanku, meletakkan pisau di meja lekas melapi tangan, bersiap buat dengar apa yang akan pria tegap berjanggut lebat di depan stan dagangku katakan. “Ada yang bisa kubantu, Bura?”Minggu kedua Musim Panas 344 Mirandi. Setelah semua keributan bersama Mantel Jerami dan pretelan-pretelannya di Raku bulan lalu, diriku kini kembali menjalani hidup yang damai. Sebagai penjual daging di Gerbang Selatan Zara ….“Kalau Anda bukan mau beli daging mencek, tolong jangan berdiri di depan meja,” kataku sebelum lanjut menyambar pisau dan pindah meladeni pembeli yang lagi berdiri menunggu di belakang sang Bura Mantel Putih, “maafkan temanku, dia memang tidak terbiasa dengan suasana pasar.”“Apa recehan hasil dua gantung daging mencek itu lebih bernilai daripada sepuluh emas yang kuberikan rutin setiap bulan?” tanya Bura Parami, melanjutkan topik sesaat pelangganku pergi.Aku, yang notabene menjual daging mencek buat isi waktu, tersenyum. “Anda sudah tahu aku sedang tak punya kegiatan sekarang, ‘kan. Kenapa masih usil, huh?”Kutengadahkan dagu ke arahnya, menunggu respons orang nomor satu di Mantel Putih tersebut.“Ya.” Pria kekar berjanggut tebal itu berdiri, melepas zirah sama senjata di pinggang, kemudian membawa kursi dan pindah duduk ke sebelahku. “Jika boleh jujur, aku penasaran pada hidupmu yang macam tanpa tekanan.” Begitu ujarnya sebelum lanjut tanya, “kenapa tidak buka lowongan untuk seorang asisten?”Pertanyaan yang sontak membuatku terbelalak, heran barang sekejap.“Jangan melihatku seperti itu.” Ia lalu melipat tangan dan menghadap lurus ke depan. “Aku merasa, dirimu kelihatan jauh lebih cerah waktu meladeni orang-orang dari belakang stan ini ketimbang saat mengatur kota di kantor muri dan bate bersama orang-orangku.”“Tentu saja!” timpalku terus duduk, “pas lagi jadi kanselir, aku baca banyak kertas aduan sama surat-surat keluhan setiap hari. Apa Anda pikir itu tidak menguras pikiran, ya?”“Aku tahu, tapi selama ini kau juga sudah membuktikan tidak ada orang lain yang mengatur kota secakap dirimu di Panji Beruang, ‘kan?” Ia sigap bangkit waktu pembeli datang, bahkan lebih cepat daripada diriku, si empunya lapak. “Aku pegawai baru ….”Hem.Melihat ia tersenyum hangat dan tertawa lepas ketika meladeni pembeli, penilaianku tentang dirinya yang selama ini kaku jadi sedikit berubah. Siapa sangka, seorang Bura Parami, komandan dua ratus ribu tentara bermantel putih di Panji Beruang, punya sisi humoris.“Hah ….” Sekian kali semangat meladeni pembeli, sang bura pun merebah ke tumpukan jerami di belakang stan dagang, tepar pada akhirnya. “Hoi, Ure. Apa pelanggan-pelangganmu selalu sebawel tadi, hah?”Kuambil sebotol air.“Ini …, mereka rewel gegara cara Anda memotong daging, Bura.”“Terima kasih …, maksudnya?”“Anda tadi memotong daging terlalu pas, itu yang bikin para pembeliku komplain.”“Hah?” Dia kelihatan bingung sehabis menenggak air minum. “Bukankah harusnya mereka senang, aku ini orang yang jujur.”“Benar, tapi cara berdagangku agak sedikit beda kalau harus kubilang.”Bura Parami terdiam, tidak mengatakan apa pun sampai aku selesai membereskan stan dengan dagangan.“Ini.” Selanjutnya kubagi sang bura upah. “Kita tadi menjual tiga puluh lima kilo pas, semua jadi lima puluh dua perak sama lima puluh perunggu. Karena Anda tiba-tiba menawarkan diri buat membantu terus kita belum sempat membahas mau bagi hasil bagaimana, kuambil tiga puluh lima perak buat diriku.”“Kau serius mau memberiku sepertiga dari hasil penjualan?” tanyanya, tak langsung menerima uang yang kusodorkan. “Kuki—”“Cuma buat hari ini,” potongku lekas melempar kantung uang itu padanya, “kalau Anda besok masih mau bekerja padaku, aku akan memakai sistem upah standar Kongsi Dagang Gorgon Lama.”“Standar kongsi dagang?”“Ya. 83 perunggu per hari buat upah buruh lepas.”“Jauh sekali!” Bura Parami mendelik. “Tidak bisa lebih tinggi?”“Bisa. 150 perunggu per hari, tapi status Anda bakal jadi pegawai tetap dan harus bekerja padaku selama dua bulan paling sebentar. Mau?”“Kau lupa aku ini seorang bura—”“Di Mantel Putih, ya,” selaku lantas balik badan dan menggendong keranjang daging, “tapi bukannya Anda sudah tahu kalau di luar militer status itu tidak berguna, ya?”“Hahaha!” Ia terbahak sejenak lekas bangkit dan merapikan diri. “Aku tahu bagaimana dirimu. Sekarang kau mau ke mana, Ure?”“Pulang ….”*** “Paman Ure!”“Teman-teman, Paman Ure sudah pulang!”Senyumku mekar tatkala anak-anak semringah menyambut kedatanganku.“Kalian tidak nakal selama paman pergi, ‘kan?”Mereka, anak umur sepuluh sampai empat belas tahunan yang berebut mendekapku ini, mengingatkanku pada cucu-cicitku di Rumah Seratus Bebek dulu.“Paman, tadi Nyonya Rere titip pesan. Katanya, gerobak yang Anda minta sudah siap.”“Ah, terima kasih, Ben.” Kuusap kepala bocah yang barusan memberitahuku. “Ah, ya! Paman masih punya banyak daging mencek di keranjang, apa kalian ma—”“Mau, Pamaaan!” sambut anak-anak, senang.Seri di wajah mereka spontan membuat semangatku kembali. “Kalau begitu, ayo kita masak.”“Horeee ….”Sore itu. Aku, anak-anak, juga Bura Parami yang gak tahu kena angin apa mau mampir ke tempat tinggalku pun menuju dapur, mengambil beberapa perkakas, lalu menyalakan api unggun di belakang.Hingga petang menjelang ….“Kudengar sebelum bergabung ke Panji Beruang, kau dan teman-temanmu juga tinggal di panti asuhan, benar?” tanya Bura Parami, duduk di sebelahku sambil mencamili kaki mencek.Aku menoleh, melirik keranjang isi buah yang ia bawa, terus balik pada kesibukan meraut sebatang kayu. “Aku baru tahu, seorang bura yang selalu kaku ternyata juga pemalak andal.”“Maksudmu buah-buahan di keranjang ini?” balasnya cepat, “aku dapat dari tetanggamu, mereka benar-benar ramah … eh, ya, soal teman-temanmu. Katanya salah seorang menghilang pas gempa kemarin, aku turut me—”“Pertemuan sama perpisahan hal biasa,” selaku, spontan menjeda kegiatan, terus ganti topik. “Ngomong-ngomong, sampai kapan Anda mau terus mengikutiku, Bura?”“Aku tidak mengikutimu,” dalihnya yang kemudian bilang, “aku kemari memang karena sedang senggang, itu saja. Lagi pula, tidak ada apa pun yang bisa kulakukan di baris depan juga sekarang.”Aku diam melihatnya.“Kau tahu, setelah kalah di Vom pasukanku mundur ke perbatasan Seren. Karena tak ada perintah lanjutan dari Julius kami semua menganggur sekarang, jadi jangan terlalu curiga padaku.”Aku masih tetap diam sambil menatapnya.“Kau sendiri, kenapa tidak langsung kembali ke kemah pasukanku dan malah menjual daging di sini, hah?” tanyanya, kelihatan agak gugup. “Benar, aku seharusnya menjemputmu untuk kembali bersamaku.”“Oh.” Aku balik pada kegiatan semula, merauti batang kayu di tangan. “Jadi Anda kemari buat memintaku bergabung dengan pasukan di garis depan.”“Benar!” sergahnya senang, “hahaha, kau itu Yoram Mantel Putih, tempatmu seharusnya di garis depan bersama bura sepertiku.”“Hah ….” Kuhela napas lalu menengadah. “Bukan aku tidak mau—”“Tapi?” Bura Parami macam tidak sabar.“Bura Julius membubarkan batalionku, padahal mereka kurekrut pakai tabungan pribadi.” Aku menjuling padanya. “Terus, kemarin Mantel Jerami juga sudah menjatuhiku hukuman mati dengan tuduhan mata-mata musuh waktu bertugas di Istana Bate Raku.”Orang nomor satu di Mantel Putih itu sedikit mundur dengar keteranganku.“Sebagai yoram diriku sudah tidak lagi punya pasukan, Bura,” lanjutku lantas menghadap penuh padanya, “dan sebagai kanselir, aku juga kini tidak memiliki wilayah untuk diatur.”“A ….”“Selain pulang kemari dan kembali jadi penjual daging, menurut Anda apa lagi yang bisa kulakukan, hah?”Sempat terdiam sekian saat, ia pun memalingkan pandangan.“Aku minta maaf …,” ucapnya lembut, “hari itu pasukanku juga menghadapi krisis.”“Ya, kita sama-sama punya masalah musim kemarin.”“Jadi, kau mengerti?”“Jangan berharap orang lain akan selalu memahamimu,” kataku terus melempar kayu yang tadi kuraut ke api unggun. Lung! “Lagi pula …, ah, sudahlah. Lupakan soal kemarin.”“Kau sudah tidak marah?”“Marah?” Sontak mataku mendelik ke arahnya, heran. “Marah karena apa, kenapa aku harus marah?”“A ….” Bura Parami agak tersentak mundur, buat kedua kali. “Kukira kau kabur kemari karena kecewa aku gagal menyelamatkanmu kemarin, Ure.”“Maksudnya?” Aku berpikir. “Anda …, apa Anda menganggapku anak-anak, Bura?”“Ti-tidak, tentu saja tidak ….” Ia menggeleng, menyangkal sesuatu yang sudah sangat jelas terlihat. “Mana ada anak-anak mahir menata kota dan mampu membuat lima wilayah menyerah tanpa bertempur dalam waktu singkat!”“Hem.” Aku tidak percaya omongan pria berewok satu ini. “Terus, kenapa Anda pikir diriku marah?”“Itu …, ah, lupakan. Buat apa kita mengingat-ingat hal yang gak penting.”“Anda mencurigakan.”“Ya ….” Orang dewasa pas salah tingkah itu lucu. Gerak mata sama kepala mereka tidak sinkron. Bikin yang melihat geleng kepala ….***

Narsis

Bertukar Kartu

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Hoi, Ureee!”Aku menoleh. Melihat ke orang yang lagi melambai-lambaikan tangan di kejauhan, teman baikku, si berisik, Maxwell. “Hoooi, Ureee ….”Di belakang kudanya, mengekor barisan penunggang kuda membawa bendera bertuliskan Mantel Jerami. Membuatku salah kira hingga spontan mengentak kuda lalu memapak mereka ….“Ha!” Menerjang dengan kekuatan penuh. Jduk! Menjatuhkan dua yang paling dekat dengan sahabatku, menendang kuda mereka, Duak! Lekas menyambar tombak hendak menghunjam keduanya sampai ….Maxwell berteriak mencegahku. “Ure, jangaaan ….”Tanggal 28 Bulan Tiga, sepuluh hari usai duel di perbatasan Distrik Timur dan daerah terlarang, Istana Bate Raku, selesai. Aku kini menjadi yoram tanpa batalion sungguhan.Maksudku, siapa sangka setelah menumbangkan empat dari lima Tanasha sepuluh hari lalu Bura Mantel Jerami akan muncul untuk memimpin langsung sisa pasukannya serta membiarkanku mundur dari Raku.Padahal momentum ketika aku mendeklarasikan diri sebagai dewa perang kemarin sangat pas. Cek!“Jadi mereka pengawalmu?” tanyaku memastikan keterangan yang kuterima dari si berisik, “bukan musuh atau mata-mata buat mengawasi kita, ‘kan?”“Ayolah ….” Ia menjuling lalu mendekatkan kuda kami. “Biar kata aku ini anggota Mantel Jerami, kujamin mereka bukan mata-mata Bura atau apa pun yang kau pikirkan, Ure.”“Kenapa kau sangat yakin?” Kulipat tanganku, menolak buat langsung percaya omongan si berisik. “Malah, aku semakin curiga. Bisa saja mereka mengikutimu—atau bahkan kau sendiri, sebenarnya suruhan Bura buat mengawasiku dari dekat, ‘kan?”Kuperhatikan wajah mereka sekilas.“Kita sama-sama tahu sesetia apa orang-orang Mantel Jerami, mereka macam anjing yang takkan mengigit lengan tuannya.”Maxwell garuk kepala menanggapiku.Fakta bahwa dia menyusulku tepat setelah kejadian di Raku terasa agak amis, apalagi orang-orang yang sekarang ia bawa sama sekali berbeda dengan saat kami meninggalkan Platium.“Sebaiknya kalian kembali, aku tidak ingin siapa pun yang punya hubungan dengan Mantel Jerami ada di dekatku—”“Hoi-hoi-hoi!” Tentu, Maxwell bakal langsung protes.Namun. “Kau tahu kenapa Lamda ….” Bukan diriku jika tidak bisa membuatnya menyerah ….*** Tanggal 30 Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi. Tanpa si berisik sama pasukan baru yang katanya ia dapat sebagai hadiah promosi, aku akhirnya tiba di Zara.Tempatku memulai langkah sebagai simpatisan Mantel Putih dengan dua karib yang kini terpaksa harus saling berseberangan ….“Yo-yoram, Yoram Ure?”“I, ini Yoram Ure!”“Hooi, Semuaaa! Yoram Ure masih hiduuup, dia ada di sini ….”Senang rasanya bisa pulang. Hanya saja, kenapa reaksi mereka begini?“Yoram Ureee ….”“Hei, sudah-sudah. Tolong lepaskan kudaku. Aku tidak bisa bergerak kalau kalian mengerubungi—”“Yoram Ure! Itu Yoram Ure sungguhan!”Aku tahu kabar penangkapanku telah disebar ke seluruh wilayah. Toh, wanita yang memanggilku kemarin juga terang-terangan mengaku jika mereka mau menjadikan kematianku sebagai gulir bola salju pertama untuk rencana menarik simpati dan meredam gerakan para pembelot di antara Panji Beruang.Mengingat semua itu, aku bisa mengerti bila kabar kematianku membuat beberapa orang sedih. Hanya saja tidak sebanyak ini juga ….“Sudahlah, kenapa kalian menangis?”“Yoram, kami dengar Anda dieksekusi—”“Benar! Kami bahkan masih menggelar upacara berkabung untuk Anda, Yoram.”Aku garuk pipi duduk bersama dan dengar pengakuan mereka, antara terharu sama kaget. Siapa sangka akan ada upacara berkabung buat diriku yang bukan siapa-siapa di zaman ini.“…, tapi aku masih hidup, ‘kan?”“Karena itu, kami senang Anda masih hidup, Yoram.”Aku tidak bisa bilang apa-apa. Mereka benar-benar membuatku tersentuh.“Ngomong-ngomong, ini sudah lebih dari dua belas hari sejak tanggal eksekusiku …, bukannya upacara berkabung paling lama cuma tujuh hari, ya?”“Soal itu ….” Salah seorang sesepuh mendekat kemudian berbisik. Memberitahukan hal yang sontak membuatku terbelalak. “Kau serius?”“Kami tidak pernah main-main dengan hidup kami, Yoram.”Ternyata, begitu kabar diriku dieksekusi tersebar, bekas-bekas Panji Gorgon dan semua orang yang pernah bekerja padaku langsung menghimpun diri lalu mengusir Mantel Jerami keluar dari kota. Hal ini, juga, seketika menjawab rasa penasaranku soal kenapa si berisik, Maxwell, sama prajurit-prajurit barunya ngotot mau ikut denganku kemarin. Hem.“Cih! Jadi mereka bilang kalau eksekusiku itu cuma sandiwara?”“Benar, Yoram.”Sialan! Bura Mantel Jerami benar-benar pintar. Ia tahu aku akan telat sampai ke Zara. Dia dan orang-orangnya sudah duluan menyebar desas-desus serta membuat cerita soal pembelot di Panji Beruang sama agenda di balik berita eksekusiku. Benar-benar rubah.Kalau cerita karangannya kusangkal, kesetiaanku pada Panji Berung akan diragukan. Sebaliknya, aku juga tidak ingin membiarkan mereka lolos setelah membuatku mengeluarkan hampir dua lusin botol Pil Aroma Mimpi begitu saja. Cek!“Kalau kubilang aku memang hampir akan dieksekusi, apa kalian percaya?” tanyaku depan semua orang, ingin tahu apa reaksi mereka. “Para pembelot di Panji Beruang itu memang ada, tapi taktik memancing mereka dengan eksekusiku apa bisa diterima?”“Ma-maksud Anda ….”“Aku tidak bisa bilang diriku tidak terlibat sama sekali dengan rencana mereka, tapi masalahnya aku juga baru tahu cerita lengkapnya dari kalian sekarang.”“Jadi Mantel Jerami berbohong?”“Eksekusiku benar-benar mau dilakukan dan hampir betulan terjadi, terus aku harus mengakui jika semua itu cuma sandiwara belaka. Menurut kalian, apa yang harus kulakukan jika ada di posisiku?”Semua orang silih lirik dan mulai bisik-bisik sampai ….“Yoram!” Seseorang berdiri lalu lantang berkata, “Kami menerima Panji Beruang di kota karena mereka pernah menyelamatkan kami dari kepungan pasukan pembersih kekaisaran, tapi kami juga tidak suka cara mereka saat memerintah dan menjarah barang berharga kami seenaknya.”Aku menagkap nada perlawanan dari pemuda ini.“Semenjak Anda naik menjadi pengatur kota, kami baru kembali mendapatkan ketenangan.”“Jadi maksudmu ….” Kucondongkan badanku padanya. “Kalian mau—”“Sekarang hanya ada kami dan Anda di Zara, Yoram!” jawabnya berapi-api, “aku yakin bukan hanya diriku, tapi semua orang juga setu—”Kuangakat tanganku, menjedanya.“Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini,” kataku terus bilang, “setidaknya kita butuh kekuatan yang lebih besar, atau paling tidak setara, jika ingin menghadapi mereka. Meski kau sangat berani, berperang tidak sama dengan bertarung satu lawan satu.”“Jadi Anda—”“Mumpung tidak ada Panji Beruang di sini, kenapa tidak membentuk kekuatan tempur sendiri?” lanjutku kemudian berdiri dan merentangkan tangan, “alasanku membentuk Panji Gorgon sebenarnya juga untuk hal itu, jika kalian benar-benar mau mendukungku kenapa tidak ….”Ya. Satu lagi langkah gila yang kuambil di belakang Panji Beruang.Mulai Tanderi di timur sampai ke Sobara di barat, total ada sembilan wilayah kerajaan yang selama hampir setengah dasawarsa terakhir pelan-pelan terus kususupkan pengaruh serta orang-orangku, kurekrut, dan diam-diam kupersenjatai untuk melawan mereka ketika rezim lama runtuh.Panji Gorgon hanya satu dari sekian kartu yang kupegang untuk rencana besar tersebut. Sekali lagi, siapa sangka aku akan menjadikannya truf sebelum permainan mendekati klimaks.***

Narsis

Dewa Perang

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Selanjutnyaaa ….”Matahari telah meninggi, begitu pula gundukan mayat di belakangku.Hari ini, tanggal 18 Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi. Sekali lagi dalam sejarah, diriku menjadi monster di jalan yang penuh dengan mayat. Ya. Penuh dengan mayat ….“Apa kalian tuli, kubilang selanjutnyaaa!”Duel masih berlanjut. Namun, dua puluh detik berlalu tak satu pun serdadu Mantel Jerami berani maju usai satu demi satu rekan mereka tumbang terhunjam oleh tombak di tanganku. Bahkan, ketika kudaku sudah sangat dekat dengan baris terdepan mereka.“Siapa lagi yang mau istrinya menjanda dan putranya meyatim, hadapi aku!”Jumawa, memang, aku takkan menyangkal keangkuhan di gelanggang gila ini.Sedihnya, puluhan mayat yang kulewati sembari melangkahkan kaki kuda sampai ke titik ini membuktikan bahwa omongan barusan bukan sekadar bualan. Paling tidak, reputasiku yang sedang melejit ini sungguhan.“Kaliaaan!” Kuarahkan mata tombak ke pagar tameng di depan. “Cepat kemari. Lawan aku … kau … kau … atau kau … siapa lagi yang berani menerima tantanganku, hah?”Aku tahu mereka takut. Semakin nyaring auman singa terdengar, makin gemetar pula musuh-musuhnya di sabana, bukan?Sesuai mauku sampai ….“Apa kalian semua pengecuuut?” pekikku, makin dekat dengan barisan terdepan dan—Dug! Belum kering mulutku bekas teriak, barisan itu kini membelah bak sedang membukakan jalan.Membuat diriku yang diterpa penasaran spontan teriak tanya, “Apa yang kalian lakukaaan?”Detik berikutnya, terdengar sangkakala dari kejauhan disusul keluarnya sosok-sosok penunggang kuda di celah antara dua barisan tersebut, mengenakan zirah lengkap seolah menjawab tantanganku.“Haha!” Seketika diriku dilanda senang, lantas memapak mereka tanpa pikir panjang. “Maju kaliaaan ….”Sayangnya, para penunggang kuda tadi bukan datang untuk diriku.“Sekaraaang ….” Melainkan sebagai tanda agar seluruh infanteri yang sedari tadi gemetaran memagariku segera maju menyerbu Istana Bate. Melewati diriku yang kala itu celingak-celinguk diterpa bingung. “Hoi-hoi-hoi, kalian mau ke mana?”Hingga, tepat sekian detik siagaku hilang gegara kebawa suasana pas para prajurit berhamburan, mereka pun datang. Trang—Duak! Set! Tiga ayunan golok besar macam naginata dengan dua terjangan tombak dari arah belakang.“Siapa sangka, dalam situasi kacau ini Anda masih sanggup menangkis serangan kami, Yoram.”“Benar, aku kagum pada kemampuan Anda.”“Hormatku, Yoram.”“Siapa kalian, hah?” Kutarik tombakku dan melintangkannya siaga, siap menghadapi lima orang yang kini mengepung serta memutari kudaku.Mereka, masing-masing, mengenakan zirah lengkap serta membawa lebih dari dua jenis senjata terselip di pinggang. Aku yakin, dari tekanan yang kuterima saat menghadapi serangan dadakan dua tombak sama tiga golok besar barusan, kelimanya adalah yoram-yoram Mantel Jerami.Ya, aku sangat yakin. “Kalian Yoram Mantel Jerami yang terkenal misterius itu, ‘kan?”“Ha!” Salah seorang maju. “Kita tidak perlu berkenalan, Yoram. Mari lanjutkan pertempuran ini—Hiya!”‘Haha!’ Hatiku mendadak semringah. “Bagus, aku juga tidak suka basa-basi. Ayo lanjut berkelahi ….”Sut—tak! Kibas—wut! Satu dua pukulan beradu, formasi mereka berlima cukup bagus menghadapi jurus-jurus tusuk sama sabetan dari tombak di tanganku. Hingga darahku terasa mendidih, ingin lebih dan lebih banyak lagi mengadu jurus juga pukulan antara kami.“Terus, jangan berhenti!” teriakku sambil melepas jurus demi jurus menghadapi kepungan lima ekor kuda beserta para penunggangnya, “haha, kenapa kalian baru muncul sekaraaang ….”Di sekitarku, saat itu angin dan deru silih sahut, membumbungkan debu hingga menghalangi pandangan. Sulit menerka apa yang tengah terjadi pada situasi ini, tetapi mengingat gerakan prajurit ketika menyeruak dari barisan sebelumnya aku sangat yakin mereka masih berlarian menyongsong Istana Bate.“Yoram, jangan remehkan kami!”“Kenapa Anda memalingkan muka—hiya!”Tusukan, sabetan, bahkan tubrukan, berhamburan mengincarku dengan kuda yang melompat mengikuti gerakan kakiku ketika mengemudikan tali pelana.“Ha!” Aku senang, benar-benar senang. “Lima lawan satu, dan aku masih belum jatuh—”“Yoraaam!” pekik nyaring melengking dari jauh, isyarat untuk hujan panah yang muncul begitu lima orang tadi membuat jarak. Wut!Hyung! Trak-tak-tak! Meski, ya, tombak di tanganku masih bisa berputar menangkis mereka semua.Perlahan, debu di sekitar pun mengendap hingga pemandangan pelan-pelan kembali jernih. Menampilkan pemanah di atap rumah dengan bangunan-bangunan Distrik Timur, infanteri yang lagi memanjat tembok istana di belakang, serta pasukan berkuda alias kavaleri di sekitaran arena tempatku, lima yoram tadi, dan kuda-kuda kami berdiri.Aku ingin tertawa. “Apa kalian memancingku kemari hanya untuk menyerbu bangunan di sana?!”“Kami sadar bila menghadapi Anda, orang yang memimpin Panji Gorgon menundukkan lima kota dalam tempo singkat, secara langsung merupakan masalah serius,” ujar salah seorang yoram, “terima kasih atas siasat dan rencana brilian Bura, kami telah berhasil memancing Anda keluar dari istana, Yoram.”“Jadi tumpukan mayat yang kalian kirim tadi—”“Benar,” sambung yoram lain, “mereka adalah martir yang memuluskan rencana kami.”Aku menunduk sebentar sebelum kemudian menengadah, lega, bingung yang sempat hinggap di kepalaku gegara kemunculan prajurit di gerbang timur istana akhirnya sirna.“Hah.” Kuhela nafas singkat lekas tanya, “Lupakan semua itu. Aku belum tahu siapa kalian. Sebelum lanjut, bisakah lima orang gagah yang berani maju menghadapiku padahal melihat tumpukan mayat di belakang sana menyebutkan nama?”Kusilangkan tombakku siaga.“Aku, Ure el Zauna, yoram sekaligus kanselir di Mantel Putih, sedang menghadapi sia—”“Menyerahlah, Yoram!” teriak salah seorang, “pasukan utama Anda sudah tidak ada, orang-orang dengan para milisi di belakang sana juga sedang dihabisi sekarang, ‘Yoram tanpa pasukan adalah yoram mati!’”“Hahaha!” Aku terbahak. “Seorang yoram tetaplah seorang yoram, dengan atau tanpa pasukan,” sahutku kemudian tegas berkata, “hanya ada seorang yoram di sini, bukan batalionnya. Maju kalian!”“Kau—”“Maafkan ketidaksopanan kami, Yoram.” Salah seorang dari mereka maju. “Aku, Tanasha …, kami, orang-orang Kota Junu, tidak mengenal individu ketika dalam kelompok,” ujarnya lantas memberi hormat, “jadi, tolong ingat kami sebagai Tanasha el Juntina.”‘Menarik.’ Sudut bibirku terangkat. “Baik, lima Tanasha dari Junu. Bilang pada orang yang mengutus kalian kemari, ‘Aku akan jadi dewa perang zaman ini!’”Dengar pekikanku, para prajurit pun tergelak seolah kata-kata barusan hanya merupakan lelucon. Namun, tidak dengan lima orang yang spontan mengikuti gerakan dan maju menyongsongku.“Kepung!” komando salah seorang Tanasha.Yang sigap diikuti Tanasha-Tanasha lain. “Si—”Nahasnya. Dua Tanasha yang mengikutiku langsung tumbang tatkala kaki belakang kudaku menendang salah seorang sekuat tenaga lalu berdiri dan memberiku fondasi untuk mengayunkan tombak serta menyabet yang lain hingga mereka terlempar dari punggung kuda. Bruk! Semua orang seketika bisu, tidak ada suara yang kudengar selama sekian detik berselang setelah mereka berdua jatuh. Kasihan.“Tinggal tiga,” kataku, memecah hening sambil menodongkan tombak ke Tanasha yang tadi mengenalkan diri. “Maaf, aku lupa menghitung kuda ini sebagai pasukan. Jadi, biar kuulang sekali lagi, di sini ada seorang yoram bersenjata tombak dengan seekor kuda tunggangannya!”Kuda yang kutunggangi meringkik, membuat takut kuda-kuda lain di pihak lawan.Sekaligus memberiku momentum dengan kesan yang amat kuat …. “Ayo lanjutkan duel kita ….”***

Narsis

Titik Balik

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Yoram, kita dikepung ….”Sesuai dugaan, Mantel Jerami sadar kami akan mundur ke Istana Bate dan bersembunyi di sini. Mereka merangsek ke wilayah terlarang dari tiga gerbang distrik lain ….“A-apa yang harus kita lakukan sekarang?”“Tenang dulu,” kataku sembari memperhatikan denah dan memikirkan langkah kami selanjutnya, “empat puluh lima orang kita berjaga di setiap gerbang, ‘kan?”“Benar, Yoram.”“Kita diuntungkan karena tembok yang mengelilingi istana, selama sembilan regu di tiap sisi bisa menjaga pasukan Mantel Jerami agar jangan memanjat ke atas kita akan aman.”“Yoraaam!” Seseorang tergopoh memasuki balai pertemuan tempatku berada. “Gawat, Mantel Jerami …, hah, Mantel Jerami …, hah, Mantel—”“Bicara yang betul!” bentak tera, “kenapa sama mereka?”“Mantel Jerami, mereka …, hah, mereka dapat bantuan.”“Apa?!” Aku, tera, dan tiga orang lainnya mendelik. “Apa maksudmu bantuan, hah?”“Yoram, di Distrik Timur,” lanjut si pembawa kabar, “aku dan teman-temanku, kami …, kami melihat ada banyak cahaya obor memasuki kota.”“Kau yakin itu bala bantuan Mantel Jerami, bukan pasukan lain?” tanyaku memastikan, “bukan pendu—”“Penduduk takkan bergerak secepat kuda, Yoram!” tegasnya kemudian menerangkan, “dari arah datang, jumlah, juga kecepatan mereka waktu memasuki kota, aku dan teman-temanku yakin itu adalah kavaleri yang ditempatkan di Koukos ….”Malam hari, tanggal 17 Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi. Hal tidak terduga terjadi. Mantel Jerami, yang kupikir bakal kewalahan menghadapi barisan pertahanan kami di Tembok Istana Bate, ternyata memiliki bala bantuan. Dan, meski belum tahu kekuatan asli mereka, hal ini memperburuk situasi serta membuat moralku dengan para ‘pelarian’ di sini agak turun. Cek!“Terus awasi mereka, segera lapor jika sesuatu terjadi lagi.”“Baik, Yoram ….”“Yoram, apakah kita sudah kalah?” tanya tera begitu si pembawa kabar pergi, “dengan kekuatan kita yang cuma dua ratus orang kurang, apa kita akan sanggup menghadapi mereka?”“Mustahil ….” Kutatap matanya. “Melawan tentara terlatih secara langsung dengan kekuatan segitu sama saja dengan bunuh diri, jangan tanyakan hal bodoh macam itu.”“La-lalu ….” Rekan-rekannya mulai panik. “Lalu kita harus apa—Yoraaam, aku mengikutimu karena tidak ingin mati. Kau bilang Bura Parami akan menyelamatkan kita, ‘kan, hah?”“Jano, diamlah!”“Apa salahku, Mengde? Aku cuma kesal, orang ini—”“Cukup!”“Ini ….” Kuasongkan sebuah gulungan ke dua orang yang barusan bertengkar. “Aku tidak akan menyangkal situsi kita gegara keputusanku, tapi daripada marah-marah mending kau pakai tenagamu buat cari solusi. Ambil gulungan di tanganku terus pikirkan sendiri cara buat lolos dari situasi sekarang.”“A-apa ini, Yoram?”“Itu salinan Denah Istana Bate. Kau boleh memikirkan apa pun buat membantu kita keluar dari kepungan Mantel Jerami, aku tidak akan keberatan kalau idemu ternyata bagus.”“Yoram ….” Jano sigap menggelar denah tersebut kemudian duduk bersila sendiri.Membuat tera dengan dua temannya melihat padaku. “Apa tidak—”“Tidak apa-apa, kalian juga boleh memikirkan cara sendiri kalau mau.” Kutunjuk guci pinggir meja. “Tuh, di sana ada banyak salinan denah istana.”“Aku takut kami belum secakap itu,” jawab Mengde kemudian tanya, “bukan maksudku meragukan Anda, tapi apakah kita benar-benar terjebak di sini, Yoram?”“Untuk saat ini, ya. Kita tidak bisa mundur karena Distrik Barat masih terbakar, sedang Utara, Selatan, dan Timur dijaga oleh orang-orang Mantel Jerami.”“Situasi kita benar-benar tidak menguntungkan.”“Tidak juga sebetulnya,” lanjutku lantas menggelar gulungan lain di atas meja, “lihat, lumbung dan gudang ada dalam kendali kita ….”Selain ide gila, satu-satunya cara yang muncul di kepalaku dalam situasi kami sekarang cuma bertahan di dalam istana sampai bantuan datang. Toh, musuh juga tidak bergerak. Kenapa harus memaksakan diri?*** “Bagaimana siatuasi di sini?”“Yoram.”“Yoram.”“Yoram. Obat Anda benar-benar sesuatu, aku cuma tidur sebentar tadi malam dan lihat … badanku sudah segar lagi sekarang ….”Hari berikutnya, tanggal 18 Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi. Langit Distrik Barat Raku masih pekat oleh asap hitam gegara nyala api di bawahnya ….“Tidak ada musuh yang mendekat ke sana, ‘kan?”“Tidak ada, Yoram. Obor-obor pasukan bantuan Mantel Jerami hanya muncul di utara dan timur semalam, selatan dengan barat sepertinya—”“Yoram!”Aku menoleh. “Jano. Bagaimana persiapanmu?”Jano, orang yang semalam kuberi denah istana dan kusuruh memikirkan solusi sendirian, siapa sangka ia akan dapat ide buat meloloskan kami dari kepungan tanpa memancing perhatian musuh. Cerdik, aku ingin merekrutnya setelah semua ini selesai.“Tiga gerbang sudah dipanggil untuk berkumpul di bawah, kita siap—”“Yoraaam!” Seseorang berteriak dari jauh, pembawa pesan kemarin.Ia melompat dari kuda lalu buru-buru naik ke atas tembok dan berlutut di depanku. “Yoram, gawat.”“Apa lagi kali ini?” Aku rada menjuling menanggapi orang itu, sebab kemunculannya menjadi tanda situasi tidak sesuai harapan atau sedang ada masalah dadakan.Bukan karena aku tidak suka atau apa.Juga. Tugasnya memang untuk melaporkan hal-hal semacam itu, jadi aku tetap harus maklum dan terbiasa bila masalah baru muncul tepat setelah dirinya grasak-grusuk berlutut di depanku. “Seseorang mencari Anda, dia menunggu di depan gerbang timur ….”Ya. Sesuai dugaan ….*** “Aku tidak kenal,” kataku usai melongok orang yang dilaporkan mencariku di depan gerbang timur, “kalian abaikan saja dia, lanjutkan sesuai rencana.”“Anda bagaimana, Yoram?”“Tidak usah khawatir, aku akan menggunakan orang ini untuk mengalihkan perhatian musuh—”“Yoram, tolong izinkan diriku menemani Anda!”“Tidak, Tera. Aku lebih leluasa sendiri.”Begitu kataku sebelum melompat ke bawah, Hup—Duk! dan mendarat tepat di depan orang yang katanya sedang mencariku tersebut.“Ha!” Hingga kuda yang ditungganginya terjingkrak, kaget. “Ish ….” “Kudengar kau mencariku.”“Apa kau Yoram Ure dari Mantel Putih?”“Ya.”Shut! Orang itu sigap menghunjamkan tombak macam kilat begitu dengar jawabanku. Sayang, serangnnya masih bisa kutepis. Tuk!“Oh, apa kau dikirim buat membunuhku?” tanyaku usai melempar tombaknya menjauh.Tidak menyerah, gak bisa diajak bicara sebetulnya, orang itu kembali mencoba menyerang.Namun. “Berlutut!” Gerakan tangannya sontak terjeda lantaran kuda yang ia tunggangi langsung berlutut begitu kusuruh berlutut. “Bilang pada atasanmu, aku akan menunggunya di sini—pergi!”Aku selanjutnya menoleh, membalas tera dan orang-orangnya dengan anggukan kecil sekali, terus naik ke punggung kuda yang penunggangnya baru saja kulemparkan kembali ke barisan musuh.“Tuanmu sudah kabur, sekarang kau akan bertempur bersamaku.”Kuda yang kutunggangi berdiri, seolah dirinya mengerti dan siap menemaniku berlaga.“Haha—bagus!” Kutarik tombak yang kulempar menjauh pakai benang pandora. “Sejarah sekali lagi akan mencatatku sebagai Yoram tak terkalahkan di zaman ini ….”Beberapa saat berlalu ….“Apa kau Yoram Ure?” Dua prajurit berkuda berhenti tepat di depan kuda yang kutunggangi. “Aku, Salindri el Amerena, memberi salam kepada Kanselir Mantel Putih dan Yoram Panji Gorgon yang terkenal.”“Aku, Matili el Tarina, salam.”“Aku, Ure el Zauna. Apa kalian juga kemari untuk membunuhku?”“Dengan segala hormat, kami harus menjatuhkan Anda demi Panji Beruang—”“Demi Panji Beruaaang!”Semangat yang bagus, kuakui. Meski, ya, Srat—sret! Tidak sampai tiga gerakan.“Orang Amert dan Taria. Kalian tumbal pertama, layak ‘tuk diingat …,” gumamku lalu maju sampai tengah-tengah antara Gerbang Istana Bate dan batas area Distrik Timur, “siapa lagi yang mau istrinya menjanda serta putranya menjadi yatim, maju siniii!”Hari itu. Satu demi satu penantang berdatangan, kadang mereka maju berkelompok, tetapi hasilnya sama. Makin tinggi posisi matahari. Semakin menakutkan pula gerakan tombak di atas kuda yang kutunggangi ….***

Narsis

Bertaruh pada Kesempatan

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Yoram.”“Bagaimana, apa yang terjadi di selatan?”“Musuh juga muncul di selatan, Yoram. Kita dikepung dari tiga arah ….”Petang hari, tanggal 17 Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi.Konfrontasi antara ‘orang-orangku’ dan Mantel Jerami berlanjut, kami kini dikepung dari tiga arah dengan dinding api sebagai pemisah. Tembakan demi tembakan panah melesat dari tiap sisi, dalam juga luar.Aku, yang sedari tadi memikirkan cara untuk menghadapi skenario terburuk, belum juga dapat ide. Meski sejauh ini di pihakku tidak ada korban, tetapi kami juga belum bisa dikatakan menang karena masih berada dalam bayang-bayang lawan. Cek!“Tidak ada pilihan lain,” kataku lekas berdiri, “Semua, dengar. Kita mundur ke Istana Bate—sekaraaang!”“Yo-yoram, bukankah Istana Bate adalah wilayah terla—”“Terus kau mau menunggu di sini sampai mereka datang dan membantai kita, hah?” sergahku lalu teriak lagi, “pilih mana, melanggar wilayah bate terus hidup atau bertahan di sini lalu mati di tangan mereka?”Sebenarnya pilihan bukan cuma dua itu, masih ada yang lain. Hanya saja, aku belum menemukannya.Jika tebakanku benar, lawan kami pun tengah menghadapi dilema serupa. Mereka tidak bisa maju karena dinding api yang terus dikobarkan memagari tiga sisi Distrik Barat, juga tidak bisa mundur karena sewaktu-waktu bisa saja kami menerobos ke luar.Pilihan mereka saat ini adalah diam, kalau tidak mau melanggar wilayah bate seperti kami.“Yoram, di sana!”‘Bagus!’ batinku tatkala melihat seekor tikus merayap dengan kotak dipunggungnya, “ini pesan dari orang-orangku … kita lihat ada kabar—apa?!”Seketika mataku mendelik, tidak percaya pada apa yang kubaca. “Yoram, apa terjadi sesuatu, Anda baik-baik saja?”“Tera ….” Aku ragu, tapi aku tidak boleh menyembunyikannya. “Pasukan Bura Parami mungkin takkan bisa kemari dalam waktu dekat.”“Apa?!”“Ke-kenapa, Yoram?”Kusapu mata semua orang, mereka tampak hilang harapan.“Orangku bilang, Bura Parami disergap pasukan kekaisaran dekat wilayah Zeta, mereka baru akan kemari setelah para penyerbu di sana mundur ….”*** Dua hari sebelumnya, di Kantor Pengadilan dan Urusan Sipil Distrik Selatan.“Yoram, hari ini pekerjaan kita selesai lebih cepat, apa nanti malam kau luang?”Aku melihat ke pengurus distrik alias muri di mejanya, menggerakkan kepala menunjuk berkas di mejaku sekali, kemudian tersenyum. “Kalau nama-nama dengan harga benda pada tumpukan kertas ini selesai kurangkum sebelum dupa sore habis, aku berarti sangat luang.”“Hem ….” Ia menyangga dagu memperhatikanku. “Kenapa kau bekerja sekeras itu, Yoram?”“Anda sudah menanyakannya kemarin, dua, tiga, bahkan empat hari lalu,” sahutku tanpa menoleh, “tidak harus kujawab lagi, ‘kan?”“Ayolah ….” Suaranya terdengar merengek. “Kudengar kau itu pembantu muri paling teram—”“Siapa bilang aku pembantu, Muri?” selaku, melotot padanya.Kala itu ia sontak telan ludah terus agak bungkuk, ekspresi kaget unik yang baru pertama kali kulihat. “Kau, kau kan disuruh membantuku mengatur kota,” jelasnya, ragu-ragu. “Maksudku pembantu itu, membantu pekerjaanku sebagai wakil muri ….”Aku ingin ketawa lihat tingkah lucu pria kurus satu itu.“Cuma bercanda, Muri, kau tidak perlu canggung begitu,” kataku terus balik kerja, “justru karena terampil itu jadinya kerjaku harus serius, apalagi sekarang kita masih menghadapi situasi pemulihan pascagempa.”“Aku tidak suka gempa kemarin,” ujarnya yang lekas mundur terus jalan ke depan meja. Dia lantas berpose bak filsuf timur, menaruh dua tangan di belakang, lalu menatap langit di kejauhan. “Kalau saja diriku kuasa memerintah alam, ‘kan kuminta ia agar jangan pernah berguncang—”Ffft! Sial, aku kelepasan.“Kenapa kau tertawa, Yoram?” Telunjuknya keras mencuat padaku. “Apa puisiku terdengar seperti lawak bagimu, hah?”“Aduh ….” Perutku sakit. Kulambaikan tangan sambil menahan tawa. “Bu-bukan itu, haduh ….”“Hoi, Yoram. Berhenti tertawa, kau merusak suasana pembacaan puisiku, tahu.”“Maaf ….” Aku tahu sore hari itu bersahaja, nuansa senjanya kental dan syahdu. Hanya saja, kelucuan pria klimis kurus berkumis lancip di depanku saat membacakan puisi tadi masih tidak ada obat. “Ha-haduh ….”“Kau merusak momenku, Yoram …,” keluhnya sembari kemudian berlalu ….Aku sudah minta maaf, apa diriku masih salah gegara gak bisa menahan geli? Ayolah.Meski aku berteriak memanggil berkali-kali, Muri cuma melambai sambil terus jalan meninggalkan tempat kerja kami, tanpa menoleh sekali pun. Membuatku jadi merasa bersalah. “Hah … pria tadi gak bisa diajak bercanda, bagaimana menurutmu?”“Setuju ….” Jambu, pengawal sekaligus tangan kanan juga orang kepercayaanku di Mantel Putih dan Panji Gorgon muncul dari balik salah satu tiang serambi. “Ngomong-ngomong, sejak kapan Anda sadar aku ada di sini, Yoram?”‘Sejak awal kau datang, lah …,’ batinku sebelum berkata, “gak penting, katakan ada berita apa?”“Ini daftar orang baru yang dipanggil ke Distrik Utara ….” Ia menyerahkan selembar kertas padaku. “Kurasa cepat atau lambat kita juga akan dicurigai dan masuk daftar itu, Yoram.”“Hem ….” Kupukul-pukulkan ujung pensil ke pipi. “Kau benar, Jambu. Kukira sebentar lagi kita juga akan dipanggil ke Distrik Utara, entah cuma buat diperiksa atau sudah ditetapkan sebagai mata-mata.”“Apa yang akan kita lakukan, Yoram?”Aku melihat padanya.“Kalau aku hari ini menyuruhmu pergi ke Zeta, kira-kira berapa hari kau akan sampai ke sana?”“Dengan kuda, aku bisa sampai malam ini.”“Bagus!” responsku semangat, “kalau begitu pergilah ke sana sekarang.”“Eh?!” Jambu agak tersentak. Normal, toh permintaanku sangat mendadak. “A-anda serius, Yoram?”“Apa aku kelihatan lagi bercanda?”Dia hanya diam menatapku, tidak berani tanya lebih jauh.“Sudah sana, pergi temui Bura Parami atas namaku. Bilang padanya, diriku ditangkap Mantel Jerami, kalau dia masih membutuhkan keahlianku mengatur kota cepat kemari dan selamatkan aku.”“Yoram ….” Pemuda kekar itu melirikku agak lama. “Anda masih di sini, bekerja sebagai wakil muri, bahkan Muri sendiri baru saja melambai pada Anda, ‘kan?”“Kau heran kenapa kusuruh melaporkan aku sudah ditangkap, ‘kan, Jambu?” tanyaku, coba menebak arti tatapan si pria muda. “Kita akan menyingkirkan mereka.”“Maaf?” Ia kembali tersentak.Kutaruh pensilku di meja lalu topang dagu dan melihat ke meja kerja muri. “Kalau kita tidak menyingkirkan Mantel Jerami sekarang, belum tentu bakal ada kesempatan lain lagi ….”Lewat Bura Parami, aku ingin menjadikan Mantel Jerami musuh semua mantel dan menyetir perpecahan di antara Panji Beruang. Sekali dayung, aku juga mau mengosongkan satu kursi bura buat diriku sendiri.“Meski merupakan terlemah menurut ukuran kekuatan, Mantel Jerami tetap jadi yang tercerdik di antara empat mantel, Jambu,” lanjutku lekas tanya, “apa kau pikir kita akan bisa terus memonopoli lumbung dan gudang kalau mereka masih ada?”“Aku …, aku tidak tahu, Yoram.”Aku menoleh.“Jangan kau pikirkan, pokoknya tugasmu cuma melakukan apa kataku, sudah sana pergi. Bilang saja sesuai yang kukatakan padamu tadi, selamatkan aku atau dia kehilangan penata kota terbaik di Panji Beruang.”“Baik, Yoram ….”Esok harinya aku benar-benar ‘ditangkap’ oleh Mantel Jerami terus sekarang sedang menghadapi mereka di Distrik Barat dan Istana Bate Raku ….“Cih! Hidup punya jalan ceritanya sendiri …,” gumamku terus bangkit, “dengar, Semua! Blokir semua jalan ke istana, palang tiga pintu gerbang dari distrik-distrik lain, dan siagalah di atas tembok. Kita punya satu atau dua malam lagi sampai api di distrik barat benar-benar padam ….”Aku tidak bisa mundur, pilihanku sekarang cuma bertahan sampai rencanaku menyentuh klimaks. Hingga saat itu tiba akan kumanfaatkan semua yang ada di sini sebisaku ….***

Narsis

Perlawanan Semut

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Yoram?”Aku mengangguk. “Lakukan seperti rencana ….”Tanggal 17 Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi. Aku bersama seratus delapan puluh empat tahanan dari Penjara Bawah Tanah Kantor Muri Distrik Utara diantar menuju alun-alun.Seperti yang kalian tahu. Ya, untuk itu.Menjadi pembelot ….“Sebentar lagi kita sampai, beri tanda pada yang lain.”Agenda hari ini adalah merebut panggung eksekusi dan menerobos keluar alun-alun, sambil menunggu bala bantuan datang. Tentu saja, mana berani aku kerja sendiri.Meski bisa, sebisa mungkin aku ingin menghindari banyak sorotan dan tampil biasa sekalian coba melihat dunia lewat kacamata orang-orang Eldhera zaman ini. Maksudku, pas baru dapat peran sebagai ‘pahlawan dunia lain’ obsesiku adalah kebebasan dengan kekuatan mutlak. Alhasil, diriku pada masa itu lupa untuk bersyukur bahwa hidup di sini merupakan suatu berkat tersendiri.Dulu aku ingin jadi yang terkuat sampai titik di mana tidak ada seorang pun di Eldhera berani mengaturku. Namun, setelah niat itu terwujud diriku malah merasa hambar. Jadi, tolong kesampingkan fakta bahwa aku merupakan salah satu ‘pelintas dunia’ yang terpanggil kemari sekian periode sebelum sage sekarang dan mari buat citra baru untuk diriku. Pendeknya hari ini aku berperan sebagai penduduk Eldhera ….‘Semua orang sudah siap?’ batinku waktu menoleh para tawanan di belakang, “aku akan naik ….”Mereka mengangguk, mengantarku dengan tatapan yakin seolah berkata, kami menunggu sinyal Anda.“Kanselir Mantel Putih, Yoram Ure el Zauna, sebagai tangan kanan Bura Parami, telah menjalin hubungan dan menjadi bagian dari kelompok ….”Begitu pengumuman dibacakan, orang-orang di bawah mulai ribut, berbisik satu dengan yang lain, bahkan sebagian berani naik dan mengganggu jalannya eksekusi. Siapa sangka.Namun, upaya tersebut sia-sia di depan kekuatan Mantel Jerami. Satu entakan sepatu bot besi dari barisan pengawal di papan pertama panggung eksekusi langsung memukul mereka mundur. Cek!“Mulai eksekusi!” Dan, ketika pekik nyaring dari tribun sebelah kanan lapang eksekusi melengking. Saat itulah, Trang! Golok algojo sebelahku beradu dengan mata panah yang melesat dari arah gapura utara alun-alun.“Apa yang terja—”“Sekaraaang!” Disusul oleh pekik semua tahanan di belakang yang merangsek naik ke atas papan eksekusi lalu menerjang maju ke arah massa. “Kalian semua, bantu kami membuka jalaaan ….”*** Tadi malam ….“Obat apa ini sebenarnya, Yoram?”“Obat kuat,” kataku mantap, membuat semua tahanan di selku tersipu. “Aku butuh banyak tenaga untuk rencana kita, jadi kalian harus sangat prima besok.”“Be-berapa lama durasi efeknya,” tanya salah seorang, kelihatan penasaran.Kujawab, “Lebih dari dua belas jam.”“Be-berarti kalau kami bisa menyelesaikan tugas secepat mu—”“Apa pun yang ada di kepalamu, itu sangat mungkin.”“Terima kasiiih!” teriak salah seorang dari pojok tiba-tiba, “Sayaaang, impianmu buat punya ba—adaw!”“Jangan berteriaaak …!” bentak orang di dekatnya panjang serta memelan karena ditahan, “kalau penjaga di luar sampai masuk kemari bagaimana, Bodoh ….”“Hehe, maaf ….”Bubuk Aroma Mimpi sebetulnya digunakan untuk membangun fondasi seorang ‘pertapa’ dan membantu mereka merasakan mana atau ki dengan lebih baik, tapi gak bakal ada gunanya juga kalau kujelaskan hal itu kepada para tahanan yang sama sekali bukan penyihir maupun praktisi tenaga dalam, ‘kan. Jadi, bilang efek obat kuatnya saja kurasa sudah cukup. Selain itu, bakal aneh juga kalau aku punya obat yang telah lama punah dari benua.“Yoram ….”“Dengar, besok kita akan menerobos alun-alun terus lari ke Distrik Barat ….”Rencanaku adalah memanfaatkan momentum besok buat mengukuhkan pengaruh di Panji Beruang dan sekaligus menyetir konflik di antara pilar mereka. Untuk apa, kita bahas detail itu nanti.“Sebelum kemari aku sudah menyuruh orang menghubungi Bura Parami, terus kalau perhitunganku benar harusnya sekarang dia sudah sampai ke Kemah Mantel Putih dan melaporkan situasi Raku.”“Maksud Anda, Yoram, kita akan diselamatkan oleh Bura?”“Harapannya, sih, gitu …, tapi aku takkan menjanjikan apa pun pada kalian—makanya obat kuat itu buat jaga-jaga, mengerti?”“Ka-kami mengerti.”“Selanjutnya bagaimana, Yoram?”“Seperti yang kubilang tadi, begitu sampai ke Distrik Barat segera berbaur dan sembunyi di rumah-rumah penduduk, sambil menunggu bala bantuan kita kurangi jumlah Mantel Jerami di kota ….”Alasanku mengatur perlawanan hari ini ada dua. Salah satunya untuk mengusir intel-intel menyebalkan milik Panji Beruang yang disebut Mantel Jerami dari wilayahku ….“Tembaaak!”“Semua, itu sinyalnya—berpencaaar!”Menggunakan kota sebagai medan tempur, kami yang notabene merupakan penduduk asli pastilah lebih diuntungkan dalam konflik ini. Juga, jangan remehkan khasiat obat-obatku.“Tera, cepat pergi, bawa orang-orangmu ke sisi lain. Aku akan menahan mereka—Kaliaaan, selain empat anggota kelompokku, semua menyebar sesuai regu masing-masing.”“Hiyaaa!”Selain mengatur jalur dengan taktik pelarian, semalam aku juga telah membagi orang-orang ini jadi regu-regu kecil beranggotakan lima orang. Termasuk diriku kami ada seratus delapan puluh lima, pas tiga puluh tujuh regu. Cukup untuk memberi Mantel Jerami serangan kejutan ….“Kalian, bersiap. Begitu mereka mendekat lempar kendi-kendi minyak itu dan tembak pakai panah api … tunggu aba-aba … satu …, dua …, sekaraaang!”Selisih jumlah kami dengan lawan di seberang sekitar dua kali, mungkin tiga, paling banyak. Tidak terlalu berpengaruh. Hanya saja, perbedaan kami terletak pada pengalaman tempur. Mereka merupakan tentara terlatih dengan keahlian senjata mumpuni, sedang orang-orang di belakangku cuma milisi dadakan yang baru menetas tadi pagi.Jika kami mau menang, maka konfrontasi langsung sebisa mungkin harus dihindari. Pilihan satu-satunya, ya, ‘hit n run’ sembari memanfaatkan medan buat sembunyi.“Yoram, mereka mundur—”“Belum!” Kuperhatikan arah gerak kuda-kuda musuh. “Mereka mau memutar ke luar gerbang. Cepat, beri tanda ke orang-orang kita di belakang, musuh akan menyergap dari sisi barat ….”*** Kemarin ….“Kenapa kau menolakku, Yoram?”Kuangkat tanganku ke arah wanita yang entah siapa namanya di Kantor Pengadilan dan Urusan Sipil Distrik Utara. “Aku sudah beristri, dan tolong hormati dirimu sendiri, Nyonya.”“Beristri?” Ia mendelik. “Sebagai kepala divisi penyelidik sekaligus tangan kanan Bura Mantel Jerami, aku tidak pernah diberi laporan kalau kau sedang dekat dengan seorang wanita apalagi punya istri, Yoram.”“Memang tidak semua hal harus dilaporkan pada Anda, bukan?”“Bah!” Wanita itu mengibaskan tangan, kesal. “Jangan remehkan kemampuan unit investigasiku, Yoram. Jangankan cuma dirimu, asal-usul dengan silsilah keluarga semua anggota kita pun bisa kutelusuri.”“Kalau begitu, siapa aku?” tanyaku menantangnya, “selain nama dengan asal kota, apa yang kau tahu soal diriku sebelum bergabung ke Panji Beruang?” Ia terdiam, tidak langsung menjawab dan hanya melihatiku hingga beberapa saat.“Tak ada, ‘kan?” kataku lekas kembali duduk dan balik merabai lukisan wanita di pojok ruangan, “kau tidak tahu apa-apa tentangku, sama seperti aku yang tidak tahu apa pun tentangmu.”Brak! Vas keramik berisi gulungan peta dekat mejanya pecah, kena tendang.“Seumur hidupku sebagai anggota unit penyelidik …,” gumamnya sembari bertumpu dan menunduk pada meja, “kau orang pertama yang tidak bisa kulacak asal-u—”“Kau bukan yang pertama,” selaku lantas tanya, “apa semua orang di Panji Beruang kau selidiki?”Hening sekejap sebelum dirinya menjawab.“Tidak. Aku hanya menyelidiki mereka yang ada dalam daftar pemberian Bura … mungkin kau tidak tahu, kami bekerja bukan berdasarkan perintah Bura Julius. Lebih dari itu, kesetiaanku hanya untuk—”“Bura Mantel Jerami,” ujarku membarengi kata-katanya. Aku paham, tipe wanita ini adalah pemuja fanatik atau pecinta yang kelewat obsesi. Apa istilahnya? Ah, itulah. Aku lupa.Kulanjutkan. “Kalian tidak punya nama, atau dalam hal ini, melupakan identitas individu kemudian tampil sebagai satuan unit. Tidak heran Anda mengabaikan pertanyaanku.”“Aku bukan ingin mengabaikan pertanyaanmu, Yoram.” Nada bicaranya kembali normal. “Jika kuberi tahu pun kau takkan percaya, aku punya banyak sekali sebutan.”“Salah satunya?” “Benarkah kau mau tahu—”“Kubilang aku sudah beristri!” sergahku menepis uluran tangannya ketika ia mendekat, “berhenti dekat-dekat dan jangan coba-coba buat menyentuhku, paham?”“Galak sekali ….” Wanita gila itu malah berputar-putar sambil menari. “Apa aku bukan seleramu, Yoram?”“Bukan!”“Lalu seperti apa seleramu?” Sengaja kujawab ketus biar dia berhenti main-main. Eh, dirinya malah lanjut tanya begitu. Karena sebal, juga malas buat meladeni wanita gila itu lama-lama, kutunjuk saja lukisan di dekatku. “Dia, aku suka yang berisi macam perempuan di fotret ini ….”***

Narsis

Pemanggilan dan Mata-Mata

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Yoraaam ….”Pertengahan Bulan Tiga, Musim Semi 344 Mirandi.Giliranku akhirnya tiba. Ketika satu peleton prajurit bertopeng menerobos ke balai pertemuan di Istana Bate Raku dengan senjata terhunus lalu lantang membacakan perintah penangkapan atas nama Bura Mantel Jerami kepada semua yang dicurigai sebagai mata-mata kekaisaran ….“Yoram, aku sudah berusaha menghentikan mereka, ta—”Kuangkat tanganku, menanggapi laporan penjaga, lekas turun dari singgasana.“Mereka hanya menjalankan tugas. Kau boleh pergi … sebelum kita pergi, boleh kutahu kenapa aku masuk daftar pemeriksaan kalian?”“Yoram, kami hanya menerima perintah. Tolong simpan pertanyaan Anda untuk Bura ….”Hem. Sejak mulut mereka tertutup, kurasa takkan ada gunanya aku bertanya. Jadi, ya, sudahlah. Bersama selusin setengah ‘utusan’ bermantel jerami tersebut, diriku pun dikawal meninggalkan Kompleks Istana Bate Raku menuju Kantor Pengadilan dan Urusan Sipil Distrik Utara. Menemui atasan mereka ….“Yoram!”“Kau juga ditangkap, Tera?”Bersamaku saat itu, sejumlah pejabat turut digiring dengan leher dan tangan terikat. Jika aku tidak salah mengenali orang, mereka adalah Muri Sementara Distrik Barat, asistennya, bendahara ladang yang kuangkat buat membantuku secara personal, Tera atau Sekretaris Muri Distrik Timur, lalu ada juga beberapa figur asing nan belum pernah kutahu sebelumnya.“Ngomong-ngomong ….” Kusapu wajah semua orang sekilas. “Tera, bukankah kita ini baru terduga, ya?”Kalau baru terduga, kenapa mesti diborgol. Begitu heranku tadinya sampai tera distrik sebelah memberiku jawaban yang cukup mengejutkan.“Yoram.” Pria berkumis tipis bak ikan lele itu mendekat. “Anda belum tahu, kami ditangkap bukan untuk diperiksa di Kantor Muri Distrik Utara ….” Ia celingak-celinguk sebelum lanjut berkata, “Namun, un—”“Berhenti mengobrol!” bentak komandan prajurit yang membawa kami, “cepat jalan ….”Menurut kabar, semua yang dipanggil atau dijemput oleh Mantel Jerami seharusnya merupakan terduga kuat sebagai mata-mata kekaisaran. Namun, mengingat rekam jejak orang-orang yang dibawa bersamaku pada hari itu juga ketidakcocokan dengan keterangan penangkapan mereka pemanggilanku malah jadi terasa janggal.‘Hem ….’ Aku tidak mengerti. ‘Kalaulah taktik pemanggilan ini dilakukan setelah memeriksa latar belakang serta tujuannya adalah memancing para mata-mata keluar sarang, seharusnya semua yang dipanggil dua minggu terakhir sudah dieksekusi. Jika benar demikian, maka kami, baik diriku maupun tera juga teman-temannya, sekarang tidak perlu lagi ditangkap karena pangkal persoalan telah dibersihkan, bukan?’Atau jangan-jangan ….*** “Lapor, Yoram Ure telah ….”Hem. Pantas si berisik betah berada di Mantel Jerami, ternyata ada wanita di kesatuan mereka.“Ini kali pertama kita bertemu, Yoram Ure ….” Wanita yang tidak bisa kubilang sederhana. Busananya tidak minim, tetapi juga tidak tebal, lekuk tubuh di balik balutan pakiannya pun mudah diterka. Hiasan rambut, tusuk konde, kalung, gelang, gengge, bahkan cincin, senjata wanita ini adalah semua yang melekat di badan. Aku benar-benar harus waspada.“Siapa sangka kau ternyata lebih gemuk dan—”“Pendek?” tanyaku menyela, “kurasa aku dipanggil kemari bukan untuk bertukar kesan pertama dengan Anda, Nyonya …?”“Hoho, aku mau bilang kita sepantaran tadi ….” Ia mendekat sambil tersenyum dan merentangkan tangan. “Kenapa mundur, Yoram?” tanyanya dengan tatapan geli, “apa dirimu tipe yang tidak suka bersentuhan dengan wanita, benarkah?”Mengerikan, wanita ini betul-betul mengerikan. Penghibur saja masih memperhatikan etiket dan tak langsung menyerang personal space pada pertemuan pertama. Ia benar-benar ….“Kenapa sekarang kau malah melamun, Yoram?”“Tidak apa-apa,” ujarku kemudian mengalihkan pandangan ke hal lain di ruangan tersebut, “eh, aku baru tahu ada lukisan di sudut sana. Apa itu punya Anda?”“Oh.” Wanita itu menoleh. “Yang di sanakah …, aku tidak tahu. Kurasa itu punya Muri, soalnya pas datang kemari aku dan orang-orangku tidak membawa apa pun—ah, ya! Soal alasan kau kuundang kemari ….”Dia kembali ke meja kerja di tengah ruangan lalu mengambil sesuatu, semacam berkas.“Ini, kau tahu apa maksudku, ‘kan?”‘Itu ….’ Kulirik benda yang ia sodorkan, lembaran kertas terjahit macam buku tanpa sampul. “Apa ini, Anda tidak sedang memintaku untuk membuat laporan baca, ‘kan?”“Apa pula itu, Yoram?”“Ya ….” Kujulingkan mata sekilas lantas berkata lagi, “Lupakan. Ceritakan saja Anda ingin diriku melakukan apa terhadap kertas-kertas ini—dan sebelum semua itu, aku tidak pernah bekerja pada orang asing. Jadi, Nyonya, boleh kutahu dengan siapa aku sekarang bicara?”“Bukankah kau sudah tahu siapa—”“Tidak-tidak,” selaku lantas memperjelas, “maksudku, di sudut mana Anda berdiri.”Wanita itu cuma tersenyum menjawabku, tanpa sepatah kata pun terucap, hingga sekian saat berlalu.“Jujur saja,” lanjutku lantas mengambil kursi dan duduk di dekat lukisan tadi, “aku memikirkan banyak hal sepanjang jalan kemari, mulai apa yang sebenarnya Mantel Jerami ingin capai sampai kenapa diriku seolah sedang menjadi bidak seseorang.”“Menarik,” sahutnya dari meja kerja di tengah ruangan sana, “lanjutkan.”“Seperti lukisan ini, aku baru menyadarinya sekarang. Jika tebakanku benar, Mantel Jerami sedang bersiap untuk mendesak Bura Julius mendeklarasikan kekaisaran baru. Apa aku benar, Nyonya?”Hening sekejap sampai tiba-tiba ….“Tidak heran kau menjadi kanselir kesayangan rakyat sekaligus tangan kanan Bura Parami serta mampu membuat Bura Manik hampir gila mencoba mendapatkanmu setengah dekade terakhir ….” Suasana di ruangan itu kini berubah.“Kau layak menjadi tumbal kami.”“Oh, jadi semuanya sudah diatur ….” Kuusap kanvas di depanku, mencoba ‘merasakan’ kecantikan wanita yang terlukis di atasnya. “Sayang sekali, kurasa aku tidak punya pilihan lain.”“Benar. Begitu kau dan orang-o—”“Kapan … maksudku, bukankah lebih cepat akan lebih baik. Apalagi, kalian berlomba dengan orang-orang macam Bura Parami dan Bura Manik.”Aku menoleh lalu tersenyum.“Kurasa kabar penangkapanku telah sampai ke telinga mereka.”“Kau benar-benar mengerikan ….” Wanita itu mendekat. “Sekali lihat, bahkan cuma melirik sekilas, dirimu mampu membaca situasi dan memberiku peringatan.”Ia menempelkan diri ke tubuhku lantas berbisik.“Sayang, karena pria sepertimu tidak pernah bisa kumiliki maka aku harus menghilangkanmu ….”*** Tanggal 16 Bulan Tiga, sekitar senja hari, diriku dijebloskan ke dalam penjara di bawah Kantor Muri Distrik Utara Raku. Mengikuti kolega-kolegaku sebelumnya …. “Yoram?”“Kita bertemu lagi, Tera.”“Kenapa Anda kemari, bukankah me—”“Aku menolak bekerja sama …,” selaku kemudian duduk di hadapan semua orang, “aku ingin tahu, berapa orang kenalanmu di sel ini, sel sebelah, sampai sel paling ujung sana?”Tera alias sekretaris dari Muri Distrik Timur itu silih lirik dengan semua orang.“Ini ….” Kukeluarkan dua puluh tiga botol Pil Bubuk Aroma Mimpi. “Masing-masing botol isi delapan butir, panggil semua kenalanmu dan suruh mereka membagikan pil-pil itu.”“Yoram—”“Aku ingin kita semua menerobos alun-alun besok—jangan tanya kenapa. Sebaliknya, apa kalian mau mati sia-sia sebagai mata-mata padahal sama sekali bukan?”Mendengar ucapanku suasana penjara mendadak ribut.“Yoram, apa kami takkan dibebaskan?” tanya salah seorang, “kami benar-benar buka—”“Jangan bercanda!” sergahku spontan, terbawa emosi hingga menarik kerah tahanan tersebut. “Mereka mau kita mati besok, kau tahu … maaf, aku barusan kalap. Intinya mereka mau menumbalkan kita untuk merebut pengaruh massa dan menakut-nakuti musuh lewat berita palsu, semua tahanan akan dieksekusi sebagai mata-mata di alun-alun tengah hari besok.”“Ka-kami bukan mata-mata—”“Be-benar, kami bukan mata-mata.”“Aku tahu, makanya kuberi kalian pilihan. Ambil pil-pil ini lalu bantu aku menerobos alun-alun besok, atau menyerahkan diri buat jadi tumbal Mantel Jerami ….”***

Narsis

Getaran Perubahan

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

Minggu ketiga di Bulan Dua, Musim Semi 344 Mirandi.Aku, Maxwell, juga delapan sama sepertiga lusin pasukannya kembali ke Raku, kota yang menjadi benteng pertahanan Mantel Putih di bawah pengaturanku dan Bura Parami.Atau harus kubilang, dulunya begitu. Aku yang telah mengajukan kota ini sebagai pangkalan militer Mantel Putih setelah kami berhasil merebut seluruh wilayah Kerajaan Seren ….“Akhirnya—”“Jangan dulu merasa lega,” potongku ketika kami tiba ke Gerbang Utara Raku, “Bura Mantel Jerami pasti akan memanggilmu setelah ini.”“Tidak akan.”“Kenapa kau kelihatan sangat yakin?”“Soalnya aku kenal betul bagaimana watak komandan batalionku, dia bukan orang yang akan terusik cuma gegara masalah sepele. Lagi pula, beliau tahu aku mengantarmu ke Raku.”“Katamu kalian menyelinap tadi pagi, ‘kan?”“Awalnya memang begitu ….” Maxwell garuk kepala. “Cuma, Bura memergokiku pas keluar dari barak.”Aku menggeleng dengar pengakuannya.“Terus kau bilang apa sama dia?”“Aku tidak bilang apa-apa, Bura langsung menyuruhku memecah pasukan jadi dua terus mengirim unit pertama ke Zara sebagai pengalihan.”“Pengalihan?”“Aku juga tidak tahu pasti, tapi kuyakin ini ada hubungannya dengan Bura Julius atau pasukannya.”“Kurasa bukan cuma itu ….”Lima tahun terakhir, aku melihat banyak sekali perselisihan di antara anggota utama Panji Beruang. Bukan hanya petinggi, ajudan bahkan antek-antek mereka pun terang-terangan saling serang dan tidak akur.Aku, Maxwell, juga Lamda mungkin pengecualian. Namun, bukan cuma sekali atau dua kali kami pernah jadi sasaran pelampiasan dan ingin dijatuhkan sebagai kambing hitam selama ini. Kalau kuingat semua fakta itu, aku jadi mulai kepikiran macam-macam.“Hoi, Ure. Mukamu serius sekali, kau sedang memikirkan apa?”“Tidak ada—apa terjadi sesuatu selama aku pergi?”“Tidak ada, Yoram ….” Penjaga gerbang mengasongkan sepucuk surat. “Kami hanya mendapat kabar, kita telah berhasil memenangkan perang dan akan langsung melanjutkan kampanye ke gurun.”“Selain Panji Gorgon, apa ada orang lain kemari?”“Ah, itu, Mantel Ungu dan Mantel Emas sempat menyerahkan daftar orang dua minggu lalu.”“Terus, mereka bilang apa?”“Katanya ….” Si penjaga mendekat kemudian berbisik, “Beberapa orang kita dicurigai sebagai mata-mata kekaisaran, Yoram. Pasukan penyelidik akan melakukan pemeriksaan latar belakang dan ….”Orang itu membuat isyarat dengan jari.“Oh ….” Aku lalu menoleh ke Maxwell dan orang-orangnya. “Kalian mau ke mana setelah ini?”“Tidak ada, berkatmu aku dan mereka sudah tidak punya kegiatan sampai musim depan.”Aku menjuling dengar jawaban karib berisikku itu lantas menawarinya pekerjaan.“Kalau begitu kalian ikut ke kantor pengadilan dan bantu aku mengurus berkas di sana—”“Tidak mau!” Tawaran yang langsung ditolak mentah-mentah, bahkan tanpa dipikir sama sekali. “Aku mau berlibur dan bersenang-senang dengan mereka, ya, ‘kan?”Yaaa! Aku menyerah, dia dan orang-orangnya setipe. Hedonis.“Kalau begitu terserahlah, kita berpisah di sini. Kalau ada yang tanya, bilang saja, aku ke Kantor Pengadilan Distrik Utara buat memeriksa berkas sama laporan tera bulan kemarin ….”*** Malam hari, masih tanggal yang sama dengan waktu kedatanganku ke Raku.Gempa dahsyat tiba-tiba mengguncang benua, meruntuhkan banyak tembok, dan menghamburkan ratus bahkan ribuan nyawa sekali entak. Membalik keadaan kami, Panji Beruang, dari semula di atas angin jadi sama-sama merangkak di tanah bersama kekaisaran.Para bura kalang kabut, begitu juga orang-orangnya. Termasuk diriku hingga seminggu kemudian ….“Ureee!” Lamda cepat-cepat mengantongi surat yang baru saja ia tulis sebelum menyadari diriku di sebelahnya.“Kau kemana saja, hah?” pekiknya yang lantas mengguncang bahuku, “aku sama si bodoh mengira dirimu sudah tewas pas gempa minggu kemarin ….”Aku mengunjungi istriku seminggu ini, tapi kalau kubilang begitu dia gak bakal percaya.“Jawab aku, apa kau—”“Aku baik-baik saja.” Kutepis tangannya terus duduk di batu tempat dirinya tadi duduk. “Daripada itu, apa kau sudah selesai menuliskan situasi kita untuk orang-orang di kekaisaran?”“A … apa maksudmu, Ure?”Lamda agak salah tingkah, mendadak kelihatan kikuk. Jelas sekali kalau ia ingin menyangkal, tapi gak bisa kasih alasan gegara tadi keburu panik.“Tidak perlu membuat alasan,” kataku kemudian mengasongkan sebuah gulungan, “ini, sekalian berikan pada orang di kekaisaran. Kalau mereka mau, gunakan saluran air bawah tanah di Hika untuk markas atau tempat sembunyi sementara.”Lamda terdiam sejenak sebelum menjawab.“Apa maksudmu, aku benar-benar tidak mengert—”“Dengar ….” Kutatap dirinya serius. “Krisis ini akan digunakan Mantel Jerami untuk menyapu semua mata-mata di Panji Beruang, setiap orang yang punya hubungan atau tidak sengaja pernah melakukan kontak dengan kekaisaran akan ditangkap lalu diintrogasi—jadi cepat pergi sebelum mereka menangkapmu!”“Aku ….”“Aku tahu semua yang kau lakukan di belakangku dan Maxwell,” tegasku kemudian berdiri lalu meraih tali kekang kuda, “bahkan orang yang diam-diam rutin kau temui di ladang selatan Zara sejak tiga tahun lalu pun aku tahu.”“Ure?”“Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi, cepat pergi dari sini.” Kuberikan tali kekang kuda padanya. “Ini, pakai kudaku dan cepat lari. Setelah malam ini, jangan pernah kembali kema—”“Aku tidak mau!” Lamda menggeleng, ia menolak tali yang kusodorkan. “Aku bukan—”“Kita tetap sahabat!” potongku yang lekas menggenggamkan kekang kuda ke tangannya, “kau, aku, sama si Berisik Maxwell akan selalu menjadi karib.”Aku tidak bisa menyebutkan seperti apa wajahnya malam itu, tetapi kurasa perasaan kami sama. Sama-sama merasakan sesuatu yang sukar untuk dijelaskan ….“Ingat, Lamda. Kita bertiga menunggangi punggung dua kuda yang sedang berperang. Jika salah satu pihak jatuh, kau atau aku bahkan si paling berisik, Maxwell, akan saling menolong, bukan?”Malam itu, tepatnya seminggu pascagempa yang meruntuhkan setengah Tembok Selatan dan Utara Kota Raku, menjadi saat perpisahan antara diriku dengan Lamda. Hal yang sama sekali tidak bisa kucegah meski telah sekuat tenaga menghapus jejak pembelotan kami.“Kau bilang jangan pernah menyebutkan nama keluarga di depan para bandit, ‘kan?” Lamda menjeda laju kuda kemudian menoleh singkat. “Aku seorang Nimaria, ingat itu. Apa nama keluargamu, Ure?”“Aku ….” Diriku spontan melangkah. “Aku dari keluarga Mi, seorang Miria.”“Bagus, aku akan mengingatnya—hiya!”Sialan Lamda. Kenapa malah kusebutkan nama keluargaku. Cek! Bukankah Miria seharusnya telah lama punah dari benua ini …. *** Hari-hari berlanjut. Apa yang kukhawatirkan terjadi.Mantel Jerami mengirim orang ke banyak rumah dan menangkap siapa saja yang dicurigai sebagai mata-mata kekaisaran di kota lalu menyita semua barang bersama seluruh berkas di kediaman mereka ….“Aku tidak menyangka Tuan Oh adalah mata-mata.”“Aku juga tidak percaya, tapi kulihat tentara mengangkut peti besar dari rumahnya kemarin.”“Kira-kira menurutmu siapa lagi yang akan ditangkap?”“Aku tidak tahu, kita lihat saja ….”Hal ini menjadi topik hangat.Seisi kota, setiap sudut, persimpangan, kedai-kedai juga warung bahkan angkringan, ramai membicarakan Mantel Jerami dengan gerakan pembersihan mereka.Membuatku dilanda cemas beberapa kali ….***

Narsis

Dilema Pascamenang

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Berangkaaat!”Minggu kedua di awal Musim Semi 344 Mirandi. Bersama seratus lima puluh ribu orang tentara di bawah Mantel Putih dan Panji Beruang, aku bertolak menuju Hika, kota di perbatasan barat Seren.“Siapa sangka, saudara-saudara kita akan datang ke Raku dan mendaftarkan diri untuk menjadi pasukan Anda, Yoram. Aku benar-benar tidak bisa berkata-kata.”“Simpan bualanmu, Caupa. Kalau musim lalu Bura tidak tiba-tiba memintaku membawa separuh Mantel Ungu dan meleburnya ke Mantel Putih, apa kau pikir kampanye kita akan semegah ini?”“Hahaha, Anda punya selera humor yang bagus, Yoram ….”Cih! Aku masih belum bisa menebak niat sama maksud asli pemimpin mereka, bahkan setelah semua yang telah kulakukan hingga hari ini. Seolah obrolan kami musim lalu benar-benar hanya pertemuan sepintas tanpa agenda terencana ….“Kukira kita sepakat kau membiarkanku bersiap setidaknya sampai minggu pertama musim depan, terus kenapa malah repot-repot datang kemari dan mencariku, Bura?”“Tidak ada niat khusus. Aku hanya ingin menyapamu. Itu saja.”“Menyapa dengan mengirim seorang perwira menengah di jam makan siangku?” balasku, melirik Caupa Talia sekilas. “Cara bercandamu sama sekali tidak lucu, Bura.”“Hahaha ….”Setelah obrolan hari itu, seperempat pasukan Mantel Ungu dikirim ke tempatku sebagai hadiah juga tanda permintaan maaf. Katanya, Hika merupakan kota paling berbahaya dan sangat sulit buat ditundukkan.Lima puluh ribu orang ini adalah wujud kemurahan hati sekaligus bentuk iktikad baik ….“Bura memerintahkan kami untuk membantu kampanye Anda, Yoram.”Namun, mereka bukan tentaraku dan aku juga tidak puas hanya menerima pinjaman. Jadi, kukeluakan sepertiga isi lumbung Zara dan Koukus untuk membuka lowongan tentara baru sekaligus menambah jumlah personel buat ekspedisiku. Alhasil, seratus ribu orang lagi bergabung dalam Kampanye Hika hari ini.Dan tetap saja aku belum menangkap maksud asli Bura Julius ….“Caupa Talia, apa kau masih belum memikirkan tawaranku?”“Kesetiaanku hanya untuk Bura, Yoram. Maaf, aku harus mengecewakan Anda.”“Baiklah.” Aku berbalik lantas menghunus pedang. “Kuhargai keputusanmu, tetapi setidaknya dirimu juga harus tahu bahwa diriku tidak suka ditolak,” kataku lekas mengacungkan senjata ke arah target, “dengar, Semua! Selain seratus ribu panji gorgonku, tidak kuizinkan siapa pun menyerbu Hika hari ini, pahaaam?!”Meski celingak-celinguk, bingung dengar perintahku, para caupa yang kubawa bersama barisan tentara di belakang mereka tetap bersorak. Hiyaaa!“Panji Beruang,” lanjutku, melirik Caupa Talia juga rekan-rekannya. “Ini adalah panggung buat pasukanku. Karena kalian di sini atas perintah Bura, jadi kusarankan kalian semua agar melipir dan jangan coba-coba ikut campur ataupun mengganggu penampilan kami.” “Ta-tapi, Yoram?”“Pengrajin!” Kuabaikan Caupa Talia dan orang-orangnya terus lanjut memberi komando. “Siapkan meriam dan manjanik ….”Seperti yang kubilang ke Caupa Talia barusan, ini adalah panggung untuk Panji Gorgon, pasukan pribadiku. Kampanye Hika sepenuhnya harus jadi ladang jasa kami, takkan kubiakan prajurit batalion lain mengambil kredit sedikit pun.“Mulai serangan tahap pertamaaa ….”*** “Apa-apaan ini, Ure?!” Sebulan kemudian, setelah Kampanye Hika berkhir dan pasukanku memanen semua jasa sekali sapu. Aku langsung dipanggil ke Istana Kota di Platium, kota strategis di tengah-tengah wilayah Kerajaan Sobara. Sisi paling barat pada Peta Kolom Dua Tiga Benua atau daerah terakhir yang mesti ditaklukkan sebelum kami menyeberangi Tarkaha dan Kesik untuk menyerbu sisa-sisa kerajaan di Kekaisaran Matilda Barat—kekaisaran lama yang ingin kami gulingkan.Menghadap Bura Julius dan tiga bura lainnya ….“Kenapa kau mengabaikan perintah mundur dan malah melanjutkan serangan ke Naxin, hah?”Seperti biasa, aku kena semprot gegara dianggap tidak patuh. Seluruh rampasan perangku bersama Panji Gorgon disita lalu diriku sendiri terancam dicopot dari jabatan Yoram.“Seluruh wewenangmu kutahan hingga kau selesai mere—”“Tidak perlu, Bura,” kataku lekas putar badan, “setelah pasukanku berhasil menundukkan Hika, Mantrus, Platium, Naxin, Parpara, dengan Sebex dalam sekali jalan, kurasa diriku tidak perlu merenungkan apa pun. Sebaliknya, apa yang kalian lakukan selama tahun-tahun terakhir ini?”“Kau—berhenti di sana, Ure! Aku belum selesai bicara ….”Keputusan tersebut menjadi bumerang buat Bura Julius.Sebab begitu Panji Gorgon yang ia bubarkan paksa menyebarkan pencapaianku ke seluruh wilayah, pada saat itu juga kota dengan kerajaan-kerajaan yang semula sudah jatuh ke tangan kami mulai menunjukkan ketidakpatuhan. Meski tidak sampai menimbulkan perlawanan massa, peran Panji Beruang sebagai penggerak reformasi kini mulai dipertanyakan. Apa benar mereka selama ini memerangi rezim korup untuk memperjuangkan keadilan, ataukah hanya semata ingin memperoleh kekuasaan?“Kau benar-benar gila, Ure.”“Kuanggap itu sebagai pujian,” balasku yang lalu mengangkat cangkir teh ke arah Maxwell, “besok kita pulang ke Raku, jadi jangan tidur terlalu malam.”“Kau bukan orang tuaku!” sahut sobat berisikku itu, menyentuhkan botol anggurnya ke cangkirku. “Cuma aku setuju, besok kita harus kabur dari sini pagi-pagi sekali.”“Jangan menyebutnya kabur, aku kan tidak merasa salah.”“Hah, kau membuat lima kota menyerah setelah membakar satu kota … strategi perangmu benar-benar mengerikan. Aku paham kenapa Bura Julius mencabutmu dari posisi kepala pasukan kita, panglima perang sepertimu adalah monster.”“Oh, ya?” Aku tersenyum dengar komentar barusan. “Kalau begitu coba terangkan pada monster ini, apa memangkas waktu kampanye kita dari rencana semula dua tahun menjadi satu bulan saja itu salah?”“Aku tidak menyebut efektivitasnya sa—”“Dasar plin-plan!” sambarku lekas tanya, “apa menurutmu aku tidak memikirkan semuanya, ya?”Maxwell mengangkat bahu kutanya begitu, ia jelas-jelas masih hijau.“Berkaca pada pengalaman kampanye sebelumnya, kau pikir berapa banyak nyawa yang melayang selama empat tahun terakhir?”Ia terdiam melihatku.“Kalau kulakukan sesuai rencana dan membiarkan perang berlarut hingga dua tahun ke depan, korbanku bukan cuma penduduk Hika, tetapi juga orang-orang di lima kota lainnya. Tahu.”“Aku mengerti metodemu lewat pertimbangan barusan, Ure ….” Bura Parami tiba-tiba nimbrung dan ikut duduk bersama kami. “Sayangnya Julius adalah orang yang kaku, dia takkan menerima alasan itu.”Maxwell pindah ke kananku.“Bura, apa Anda setuju dengan metode gilanya?”“Membakar kota dan membantai belasan ribu penduduk, aku juga akan menyebutnya kegilaan.”“Kalian hanya tidak terbiasa dengan caraku, itu saja,” kataku lantas menengadah kepada rembulan, “kita sudah jadi penjahat di sini, kenapa masih peduli pada hal-hal sepele.”“Huh. Aku baru tahu kanselir yang biasanya cuma baca buku di Istana Bate Zara dan tersenyum kepada semua orang akan mengatakan hal seperti barusan, kau benar-benar di luar dugaanku.”“Anda akan lebih tidak percaya kalau setiap hari bersamanya, Bura.”“Benarkah?”“Jangan dengarkan si berisik ini, dia hanya membuatku semakin merasa bersalah karena tampil beda.”“Ngomong-ngomong, apa yang mau kau lakukan dengan panji kepala rambut ularmu?”Aku menoleh ke Bura Parami, mengikuti gerakan kepala Maxwell, spontan.“Wanita berambut ular itu disebut Gorgon, Bura …,” terangku lekas bangkit, “aku menggunakannya buat lambang panji pasukan karena tatapan makhluk itu membatukan siapa saja yang melihatnya, cocok sama karakter orang-orangku.”“Hem. Kau memang membuat semua orang terkesima kemarin.”“Bura, malam telah larut, kalau tidak ada hal penting lain aku dan si berisik ini izin pamit ….”***

Narsis

Zirah dan Kuda Baru

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Woaaa ….”Aku agak kesulitan serta sedikit malu buat menggambarkan bagaimana orang-orang Zara sekarang sedang melihatku. Ketika keluar dari toko zirah dengan perlengkapan lengkap, pandangan semua orang tiba-tiba tertarik ke arahku macam pasir besi kena magnet. Anehnya, mereka tidak mengatakan apa-apa. Cuma menatap dengan mulut ternganga, itu saja.Satu dua sempat mengangkat tangan seakan hendak menyapa, tetapi niat mereka tersebut malah urung dituntaskan—entah gegara apa.Aku tidak mengerti.“Hoi, Ure ….” Cuma satu orang yang benar-benar menegur sejauh ini, si ‘berisik’ Maxwell. “Apa gak sesak tuh pakai mantel rangkap sama zirah tebal begitu, cek-cek-cek.”“Berhenti berdecak,” kataku lekas menggendong tameng dan berputar dua kali tiga ratus enam puluh derajat untuk menunjukkan penampilan baru, “aku sengaja pilih zirah baja berlapis ini buat kampanye besok, lihat.”“Hem.” Ia melipat tangan depan dada lantas melirikku dari atas ke bawah terus balik lagi ke atas sebelum tanya, “Kenapa?”“Karena ini bakal jadi debut pertamaku sebagai seorang yoram seribu tiga ratus orang,” jawabku percaya diri, “makanya aku kudu tampil mencolok besok.”“Cek! Aku gak nangkep hubungan antara zirah tebal di badanmu sama alasan barusan, tuh.”“Terserah.” Kucoba buat mengabaikan Maxwell saat itu. “Aku mau lanjut beli kuda—”“Hoi, tungguuu ….”Minggu keempat di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 343 Mirandi. Bersiap untuk mengikuti kampanye pada pertengahan musim semi tahun depan, agendaku hari ini adalah membeli perlengkapan sama tunggangan perang baru. Secara teknis, sebagai yoram, diriku dapat izin buat memilih lalu mengambil perkakas mana pun di gudang dan memakainya, jadi aku tidak perlu sampai membeli di luar sebetulnya. Hanya saja, hati kecilku terus-terusan berbisik khusus buat zirah aku harus beli pakai uangku sendiri.Sama tunggangan juga ….“Boleh aku menaikinya dulu?”“Ah, silakan, Yoram.”“Ure, ini sudah yang ke-28 …,” cicit Maxwell dari sebelah pedagang kuda, “kau masih belum menemukan kuda buat tungganganmu?”“Sebentar … ah, kurasa ini dia.”“Ah, syukurlah—”“Bagus, kukira kami akan melihatmu naik turun punggung kuda seharian.”“Berisik, siapa suruh kau mengikutiku kemari?” balasku lekas turun kembali, “berapa harga kuda ini?”“Yoram, kuda ini anakan dari jenis kavaleri hitam dan cokelat. Harga pasarnya tiga ratus dua puluh empat perak, sudah terma—”“Apa?!” Aku dengan sang penjual tersentak dengar Maxwell menjerit.“Ma-mahal sekali. Ure, kau serius mau membeli kuda butut semahal itu.”“Kuda yang sanggup menopang bobotku tambah zirah baja ini saja sudah tidak umum, kau tahu, jadi wajar kalau harganya segitu ….” Kubiarkan si berisik mendelik heran lalu mengambil empat keping emas. “Ini …, biarkan saja dia, jangan dipedulikan. Kudamu tetap kubeli.”“Te-terima kasih, Yoram.”“Hoi-hoi-hoi, Ure. Kau dengar aku apa tidak, sih?”“Aku dengar,” kataku terus mendorong mukanya agar jangan terlalu dekat, “tapi aku juga enggak minta saranmu, ‘kan, tadi?”“Tetap saja!” Ia menghalau tanganku. “Apa upah yoram sangat tinggi, kau bahkan tidak menawar dan malah memberikan empat ratus perak cuma-cuma.”“Tidak cuma-cuma,” balasku kemudian menghadap penuh dan mencekak pinggang padanya, “aku baru beli kuda yang sanggup menggendongku.”“Akh! Katakan padaku, berapa upah yoram—”“Setahun kemarin apa perbulannya?”“Yang mana saja, terserah, pokoknya kasih tahu aku berapa uang yang kau dapat setelah menjadi yoram!”“Tidak banyak ….” Kulipat tanganku lalu menengadah sebentar. “Sebulan cuma sepuluh emas—”“Apa?!” Maxwell terbelalak. “Se-sepuluh emas …, kau, kau dapat seribu perak per bulan?”“Itu masih sedikit—”“Bah! Sedikit kepalamu. Aku saja cuma dibayar dua ribu perunggu, tahu.”“Soalnya pangkatmu masih caupa.”“Yoram ….” Pedagang tadi membawakanku selembar sertifikat. “Tolong tandatangani keterangan di surat dan buku ini …, terima kasih.”“Sudahlah, Maxwell.” Setelah urusan di toko kuda beres, aku bersama sobatku yang berisik ini pun lanjut ke tempat berikutnya. “Ketimbang membanding-bandingkan penghasilan kita, mending kau juga cepat naik pangkat sana.”“Berisik, tanpa kau suruh pun aku akan melakukannya—ngomong-ngomong, kita mau ke mana, bukannya rencanamu hari ini cuma mau beli zirah, tameng, sama kuda, ya?”“Aku berubah pikiran, kita lanjut beli—”“Ure! Maxwell!”“Hoi, Lamda! Kau gak bakal percaya, si bodoh ini membeli kuda butut dengan empat keping emas.”“Kuda butut …?” Lamda melirik kudaku dan memutarinya. “Ini kuda anakan kavaleri, ‘kan?”“Ya—”“Kuda itu dibanderol tiga ratus dua puluh empat perak, masa si Ure membelinya empat ratus perak.”“Hem.” Lamda melipat tangan lalu mengusap dagu. “Kuda anakan seperti ini harusnya dijual lima ratus perak, kau beruntung kalau cuma keluar empat keping emas.”“Eh, apa?!” Maxwell terbelalak dengar tanggapan Lamda. “Be-benarkah?” Aku pindah ke dekat Lamda lantas berbisik.“Dia tidak tahu kuda, hampir saja aku tadi dibuat malu waktu membawanya ke pen—”“Aku bisa mendengarmu, hoi … Ure ….”*** “Hoi, Ure. Soal upah yoram—”“Kau masih gak terima upahku seribu perak?” tanyaku, menoleh ke Maxwell sekilas lalu balik fokus dengan irisan daging di piring. “Aku mengatur seribu orang lebih, jadi gak usah iri.”“Bukan iri!”“Mantel Jerami bukannya lagi merekrut orang buat memetakan Tarkaha, kenapa tidak pakai misi itu untuk melambungkan namamu terus dapat promosi?” ucap Lamda dari pojok meja, “kau bakal jadi yoram instan kalau berhasil, ‘kan?”“Kalau saja benar semudah itu …,” balas Maxwell lesu, “kita sudah lima tahun bergabung dengan pasukan Panji Beruang, tapi cuma si Ure yang berhasil mendapatkan jabatan yoram sejauh ini.”“Kalau kalian mau—”“Berhenti di situ!” sergah mereka berdua, kompak.Yang langsung dipertegas oleh Maxwell. “Menggunakan pertemanan buat mendapat posisi, aku sama si Manja bukan orang seperti itu, kau tahu.”“Lagi pula, kami senang jabatan sekarang tidak membuatku dengan si rakus ini repot menjaga hubungan dengan divisi lain,” tambah Lamda semringah, “jadi kau tidak usah—”“Upahnya seribu perak, loh …,” selaku lantas melirik Maxwell, “yakin gak mau?”Sobat karibku dan Lamda itu langsung menoleh kanan kiri.“Aku setuju dengan si—”“Apa Yoram Ure ada di sini?” pekik tentara dari pintu kedai sontak membuatku dan semua orang menoleh. Seorang dengan zirah lengkap, hanya bagian wajah yang tidak tertutup plat baja. “Sekali lagi kutanya, apa Yoram Ure ada di sini?”“Aku Ure,” kataku lekas keluar dari meja dan menghampiri pria tersebut, “kau mencariku?”“Ah!” Ia segera berlutut. “Aku Caupa Talia, dari Unit Pendobrak Gerbang dan Perkakas Berat ….”Seseorang dari Mantel Ungu, apa Julius yang mengutusnya kemari mencariku?“Bura Julius—”“A!” Kuangkat lenganku segera, menjedanya. “Aku sedang makan sekarang, kalau Bura menyuruhmu buat mencari dan memanggilku bilang saja aku akan menemuinya setelah jam makan siang.”“Yoram, Bura Julius bilang saya harus membawa Anda begitu kita bertemu, ini keadaan mendesak.”Aku menoleh ke teman-temanku. Sialnya mereka sudah mengosongkan piringku dan sigap mengacungkan jempol, membuatku jadi tidak punya alasan untuk tinggal.“Biar kubayar makananku dulu ….”***

Narsis

Harga dari Sebuah Keinginan

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Bura Julius tibaaa ….”Bulan Dua Belas, Musim Dingin 343 Mirandi. Aku akhirnya melihat seperti apa sosok orang nomor satu di Panji Beruang, Brararia de Julius alias sang Bura Mantel Ungu, ketika kampanye empat tahun kami berhasil membentuk garis lurus dari bekas wilayah Tolitoli di utara hingga Seren di selatan.Pria berperawakan tinggi besar nan tegap bak pohon palem serta otot kekar macam beruang kutub, persis leluhur mereka.“Salam, Bura!”Seperti biasa, semua orang di Aula Istana Kota Raku berdiri lalu berlutut menyambut kehadiran pemimpin mereka kecuali diriku seorang, duduk sembari celingak-celinguk memperhatikan sekeliling.“Kau Ure, dari Mantel Putih, bukan?” tanya orang yang ingin menggulingkan rezim lama tersebut dari atas singgasana, suaranya berat dan dalam. “Seperti yang kudengar, dirimu tidak berlutut bahkan pada diriku.”Kuangkat gelasku ke arahnya begitu semua orang kembali duduk.“Selamat atas kemenangan Mantel Ungu di Sabus dan Taria, Bura … dan, ya. Aku tidak akan berlutut walau di depan Anda ….”Jawaban yang membuat sebagian hadirin menggeleng, tertawa remeh, bahkan menatap sinis.“Tolong abaikan sikapnya yang agak kasar, Bura.” Bura Parami bangkit lekas mengangkat gelas. “Saudara-saudaraku sekalian, separuh wilayah kekaisaran korup telah jatuh ke tangan kita hari ini—”Yaaa! Semua orang bersorak, gembira.“Setelah seluruh pengorbanan harta dengan tenaga,” lanjut sang Komandan Mantel Putih, “darah dan air mata, keringat bercucuran, bahkan keluh yang terabaikan … kita, akhirnya sampai ke titik ini.”Ia mengangkat gelas tinggi-tinggi, mengajak semua orang bersulang.“Rumah kita yang ternoda oleh para rakus dan serakah, sedikit lagi akan murni kembaliii!”“Ya, murni kembali—hidup kekaisaran baru!” “Hidup kekaisaran baru!”“Hidup ….”Murni.Aku ingin ketawa dengar slogan pendek itu.Sejarah telah berulang kali menjawab, ketika satu kekuasaan berganti secara paksa, maka penerus mereka selalu tampil lebih buruk. Mungkin benar orang-orang ini akan ‘memurnikan’ rezim yang kini lagi bobrok, tetapi apakah mereka juga bisa menjamin bakal jadi lebih baik? *** “Jadi kenapa aku dipanggil kemari, Bura?”Sehari setelah perayaan tadi malam, awal masalah besar pun muncul.“Dua dari tiga bura telah merekomendasikanmu sebagai perencana tata kelola wilayah dan secara terang-terangan memuji kecerdikanmu dalam merebut hati massa ….” Ketika orang nomor satu di Panji Beruang mulai turut campur pada rencanaku. “Aku ingin dengar jawaban jujur, apa yang sedang kau incar?”“Apa yang kuincar?”“Hanya ada kita di ruangan ini, Ure ….” Ia mundur dari meja kemudian membelakangiku sambil melihat ke luar jendela, menghadirkan nuansa sunyi ke ruangannya yang masih melompong minim perabot.Setelah sekian detik terdiam ia melanjutkan, “Kudengar kau menolak wanita-wanita dengan semua hadiah yang Manik berikan saat dia mencoba mendekatimu, aku bisa mengerti sikap setiamu itu. Namun, kenapa kau juga menahan pangkat dari Parami?”Bura Julius menoleh.“Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau inginkan dan cari di pasukanku?”Aku garuk pipi dengar pertanyaan barusan, belum tahu harus memberikan alasan apa.“Ketimbang bandit rakus, aku lebih waspada pada orang cakap yang menyembunyikan ketertarikannya di kekaisaranku. Mereka pandai menutupi ketidakpuasannya dan bisa menikam dari belakang di waktu yang sangat tepat, aku benci orang-orang seperti itu.”‘Oh, jadi orang ini sedang memperingatkanku ceritanya …,’ batinku sebelum menangapi, “apa Anda belum membaca atau tidak mendengarkan laporan bura-bura lain saksama, Bura?”“Aku membaca laporan mereka. Hanya saja, tidak sedeta—”“Aku ingin kendali penuh!” potongku lekas mondar-mandir di ruangan tersebut, “aku ingin kendali penuh untuk mengatur perbekalan tanpa intervensi …. Kalian selalu memulai kampanye di luar rencana dan meminta tambahan ransum tanpa peduli bagaimana kondisi di belakang, lumbung kita terbatas. Seharusnya kau dengan orang-orang di barisan depan itu tahu diri dan jangan terus-terusan minta dikirim bekal.Aku capek, setiap musim kita mengoper hasil panen hanya untuk menuruti kemauan kalian yang boros. Apa kau tahu sestres apa aku dan orang-orangku selama ini, Bura?”Ketika diriku selesai, kulihat Bura Julius sedikit terbelalak dengan raut aneh di tempatnya.“Maaf, barusan aku terbawa suasana,” kataku kemudian mengambil kursi lalu duduk, “mari bicarakan ini lagi dengan kepala dingin. Bura, kuharap Anda bisa lebih bijak mengambil langkah serta tidak tergesa-gesa untuk mencaplok sisa wilayah kekaisaran sekali jalan.Semakin cepat memang semakin baik, perang ini juga makan banyak biaya dan tenaga. Aku paham.Akan tetapi, tolong jangan lupa, masih ada massa yang perlu kita ambil hatinya sebelum mendeklarasikan pemerintahan baru. Sekali lagi, tolong jangan tergesa-gesa mengambil langkah sehingga barisan belakang kita menjadi keropos.”“Aw ….” Bura Julius buru-buru kembali ke kursinya. “Aku tidak tahu kau akan mengatakan hal sebanyak itu sekaligus, tapi aku tidak sepenuhnya bisa kau salahkan.”Hem, apa dirinya mau mencoba bela diri.“Kau tahu, ‘kan, ada tiga bura yang memimpin pertempuran secara langsung di baris depan dan satu yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan informasi. Keputusan melanjutkan atau menjeda kampanye bukan hanya ada di tanganku seorang, terlebih, jika kaubilang kami selalu meminta tambahan ransum aku pribadi jujur belum pernah melakukannya.”Ia pasang muka polos.“Mungkin itu Manik dan Parami, kau bisa langsung mengeluh kepada mereka berdua.”Huh. Pemimpin macam apa yang lepas tangan dan melempar tanggung jawab ke bawahannya.“Bura …,” panggilku penuh penekanan.Disahut, “Ya?”“Anda masih Kepala Pasukan Panji Beruang, ‘kan?”“Be … nar.”“Kalau begitu samua adalah tanggung jawabmuuu!” pekikku kesal ….*** Setelah obrolan dengan Bura Julius tersebut, diriku mendadak dibebastugaskan dari kedudukan sebagai perencana tata kelola kota untuk sementara dan akan dikirim buat kampanye ke Hika musim depan.Wajar, mengingat kesan keduaku dengan orang nomor satu di Panji Beruang itu cukup berisik.Namun, di luar semua hal tadi. Aku sebenarnya senang, lantaran agenda yang diam-diam telah kuaturkan untuk Lamda dan Maxwell bisa kuawasi langsung di lapangan. Mwehehe ….“Kenapa kau kelihatan senang begitu, Ure?”“Oh, ini, aku dapat libur panjang. Jadi, mulai musim semi tahun depan aku gak perlu memeriksa laporan para yoram lagi.”“Eh?” Tera yang selalu menemaniku terpicing heran. “Maksudnya?”“Aku libur dari jabatan pengelola kota,” kataku sembari menjuling, “jadi mulai besok kau kerja sendiri—”“Apa?!” Ia lompat ke depan dan menghadangku. “Ba-bagaimana bisa?”“Perintah Bura,” timpalku enteng, “ sudah sana, jangan menghalangi jalan. Mulai sekarang, kau gak perlu menemaniku ke mana-mana.”“Mana bisa begitu, Ure!”“Ish!” Kulambaikan tanganku lekas melewatinya. “Besok aku mau pulang ke Zara buat ambil uang, pesan zirah sama senjata baru, terus beli kuda—”“Terus aku bagaimana?”“Meleketehe ….”***

Narsis

Memegang Kendali

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Caupaaa!”Aku menoleh ke arah pintu. “Apa?”“Gawat ….”Penghujung Bulan Empat, Musim Panas 341 Mirandi.Rencana yang kuatur musim semi kemarin kini menuai timbal balik, yoram dari distrik lain berbondong-bondong membawa orang-orang mereka ke Kantor Pengadilan dan Urusan Sipil Distrik Selatan.Membuatku cekak pinggang semringah di depan gerbang ….“Boleh kutahu kenapa kalian kemari, Yoram?”“Hoi, Ure! Apa-apaan kau, kita ini satu kota—”“Benar, kenapa distrikku tidak mendapat jatah ransum bulan ini, hah?”Kugelengkan kepala lalu mengajak mereka ke dalam.“Suruh orang-orang kalian tunggu di sini dan ayo kita bicara serius ….”Kejadian hari ini adalah dampak dari pembukaan lumbung menjadi perbekalan terbuka untuk semua unit pada kampanye kedua, wajar jika cadangan ransum kami menjadi semakin menipis karena pertempuran ternyata lebih alot daripada rencana dan aliran suplai ke luar tidak teratur.Terus juga, siapa suruh mereka meniru caraku menjual isi lumbung ke penduduk buat membeli hati massa.“Kenapa kau malah menyalahkan kami—”“Benar, aku kemari untuk meminta sepa—”Brak! Kugebrak meja tempat kami diskusi.“Kubilang aku tidak ingin ikut campur dengan urusan distrik kalian, ‘kan?” kataku, menyapu mata semua orang. “Sejak awal ide menjadikan Zara sebagai basis suplai sangat berisiko, apalagi kita sekarang bukan cuma harus fokus ke unit Bura Parami.”Aku tahu, opini orang baru memang susah buat diterima.“Pikir baik-baik, Yoram. Kampanye kedua bukan sekadar merebut Ratnar, tetapi melebarkan wilayah utara hingga ke seluruh kota di Kerajaan Quyuti. Apa aku salah ketika memilih untuk mengamankan persediaan kita supaya Zara tetap stabil, hah?”Mereka termenung.“Selain kita, ada Zaowi dan Pikatu di Tanderi,” tambahku kemudian menggelar peta, “posisi mereka lebih dekat dengan kemah Bura Manik, kenapa kalian ingin kita mengirim ransum dari sini?”“Ure.” Salah seorang menurunkan nada suara, Yoram Tuebi. “Aku tahu aku ceroboh mengira perang akan berakhir sebelum musim panas, tapi demi Zara apa kau tidak akan membantu kami?”Kulipat tangan depan dada dan terdiam sejenak.“Tolong pertimbangkan,” sambung yoram lain, “Zara akan jadi bahan tertawaan kalau kabar orang-orang kita kelaparan sampai tersebar ke luar.”“Bukan distrikku,” timpalku ketus, “itu distrik kalian bertiga, yang teramat ‘dermawan’ dan sangat murah hati, bersedia membiayai kampanye pasukan milik kota lain tanpa pamrih.”Ketiganya bungkam. Kurasa perasaan mereka sekarang sedang campur aduk, antara kesal dan tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi krisis sekarang ini. Keadaan mental yang kuinginkan untuk fase ketiga pada rencanaku ….“Sebenarnya, masih ada cara buat menstabilkan kembali kondisi Zara,” sambungku sebelum kemudian lanjut mengajukan proposal yang telah kusiapkan sejak jauh-jauh hari, “tetapi aku tidak yakin kalian akan setuju dengan rencana ini, apalagi bila harus kehilangan otoritas sebagai kepala distrik ….”*** Tong! Tong! Tong!“Ayo-ayo, semua berkumpul ….”Minggu kedua Bulan Lima, Musim Panas 341 Mirandi.Seminggu usai menerima penyerahan kekuasaan tertulis dari yoram di tiga distrik, kubuka stan lowongan kerja di depan kantor-kantor pengadilan dan urusan sipil mereka untuk membantu panen di selatan kota.Menyerap tenaga sebanyak yang kubisa, mengisi kembali lumbung-lumbung kami lalu menguncinya buat persediaan selama setahun, serta mulai membuka lahan di timur dan barat kota sebagai langkah konkret dari proposal yang kuajukan kepada para yoram.Selain itu, kurombak pula formasi pegawai di kantor muri tiga distrik kemudian mengganti mereka dengan orang-orangku supaya ‘pengaruhku’ tidak tersentuh oleh pihak luar.“Hahaha ….” Aku terbahak di singgasana bate. “Bulan ini akan menjadi awal masa panen kita, hahaha.”“Hoi, Ure. Kenapa kau duduk di sana, dan kenapa kami harus menemanimu di sini?”Aku tersenyum dengar pertanyaan Yoram Tuebi.“Yoram, kau dengan Yoram Carlote juga Yoram Joseph akan menjadi tangan kananku.”“Eh?!” Tentu, mereka takkan setuju. “Kenapa begitu?”“Memangnya kalian punya pilihan lain?” tanyaku, mencondongkan diri pada mereka. “Aku memberikan sisa lumbungku ke distrik kalian dan menyediakan pekerjaan bagi orang-orang di sana, apa kalian tak ingin berterima kasih atas kebaikan itu?”“Kau!” Yoram Carlote melotot, tetapi ia segera menahan diri. “Kalau bukan karena rencanamu berhasil, aku tidak sudi berada di sini.”“Aku tahu, tiba-tiba diatur oleh orang baru memang menyebalkan, bukan?”Aku turun dari singgasana dan berjalan ke tengah ruangan.“Hanya saja, semua orang di sini sudah berada dalam genggamanku. Apa yang bisa kalian lakukan, hah?”“Tunggu sampai Bura Parami kembali,” celetuk Yoram Joseph.Yang spontan kujawab percaya diri, “Dia akan menjadikanku seorang pu ketika kembali nanti ….”*** Sebulan, dua bulan, musim pun kembali berganti.Lumbung Zara menjadi tiada lawan pascapanen empat bulan berturut-turut selama hampir dua musim, mulai pertengahan musim panas hingga pertengahan menjelang akhir musim gugur. Hasil ladang-ladang baru tersebut kini membuat volume lumbung Zara jadi sebanding bahkan lebih besar daripada gabungan tiga lumbung kota di Tanderi tambah dua kota lain di Koana. Melambungkan namaku sebagai pengatur kota andal dari Distrik Selatan Zara. Bahkan, Bura Manik sampai merepotkan diri dan datang kepadaku di pertengahan Bulan Sembilan, Musim Gugur 341 Mirandi.“Salam, Bura!”“Ho, benar kata orang. Kau tidak pernah berlutut kepada—”“Sebutkan saja apa maumu ke orang-orangku dan cepat pergi dari sini,” potongku usai menyapa sang bura di Aula Istana Bate, “jika kau butuh orang, maka tiga yoram di sana akan menjadi wakilku untuk kota-kota di Tanderi ….”Langsung ke inti. Kukirim Yoram Tuebi, Carlote, dan Joseph ke Bura Manik sebagai perpanjangan tangan untuk memonopoli wilayahnya, Kerajaan Tanderi, sekaligus mengokohkan cengkeraman cakarku di tanah pemberontak lewat pasukan Mantel Emas milik sang bura paling gila perang di Panji Beruang tersebut.Tentu, hal itu punya konsekuensinya sendiri.“Apa-apaan kau, Ure?” Bura Parami melotot galak gegara tiga yoram kepercayaannya kukirim ke bakal wilayah negara lain waktu aku menghadap ke Istana Kota Koukus memenuhi panggilannya.“Jelaskan padaku kenapa tiga yoramku kau tumbalkan ke si Gila Manik, hah?”Akan tetapi, semua masih sesuai perhitungan.“Mending tiga yorammu yang pergi ke Tanderi dan mengaturkan kota-kota di sana sebagai perpanjangan tanganmu atau diriku sendiri yang pindah kerja jadi buat si maniak perang, Bura?” ujarku lantas menjual pencapaian tiga musim terakhir sebagai daya tawar, “jika kau tidak suka dengan keputusan kemarin, baik. Mulai tahun depan, Zaowi dan Pixatu yang akan menjadi penyuplai perbekalan utama Panji Beruang kita di bawah pengawasan langsungku—”“Eh-eh-eh!” Ia buru-buru turun dari singgasananya. “Bu-bukan itu maksudku … Ure, Zara-ku harus tetap menjadi penyuplai utama untuk kampanye kita. Kau boleh memutuskan sesukamu, aku takkan protes.”Bagus, aku menang.“Kalau begitu, serahkan semua urusan di belakang padaku dan fokus saja menangani barisan depan ….”Setelah kejadian tersebut, pamorku semakin meroket. Tahun-tahun berikutnya, tidak ada kota yang kami rebut atau akuisisi di bawah dua mantel, Putih dengan Emas, kecuali di sana sudah ada satu dua orangku yang akan siap menjadi pengelolanya. Sampai tibalah waktu di mana ….“Kau Ure dari Mantel Putih, ‘kan?”Tantangan sebenarnya muncul, orang nomor satu di Panji Beruang sekaligus calon kaisar atau mapu baru yang kini tengah mengguncang status quo. “Bura Julius ….”***

Narsis

Posisi dan Konspirasi

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Kau masih tidak ingin berlutut?”Hari ke-15 di Bulan Dua Belas, Musim Dingin 340 Mirandi. Aku akhirnya resmi menerima token perintah dan menjabat sebagai caupa baru di bawah panji Mantel Putih.“Jangan berharap aku akan melakukannya,” ujarku, menjawab Bura Parami ketika dipanggil menghadap ke Istana Kota Zara. “Orang-orang yang berlutut padamu kemarin juga terbukti bermain api, ‘kan?”“A—”“Aku hanya ingin mengatur kota,” selaku lantas berbalik meninggalkan balai pertemuan, “lihat saja apa yang bisa kulakukan di distrik selatan nanti ….”Menggunakan wewenang penuh yang kudapat setelah Kaeti lengser, kupanggil semua tokoh dari ‘orang-orang lokal’ kemudian membuka stan aduan di berbagai titik, menanyakan apa saja yang mereka butuh, mencatat saran-saran pembangunan, lantas menetapkan satu dua kebijakan berdasarkan data tersebut.Selanjutnya, setelah tata tertib selesai, kurombak sistem keamanan lalu pergi untuk menegaskan batas-batas wilayah dengan distrik tetangga kemudian mendeklarasikan bahwa aturan Distrik Selatan berbeda dari distrik-distrik lain di depan khalayak ramai.Terakhir dan paling bikin heboh di minggu pertamaku sebagai asisten muri. Kuputuskan buat membuka lumbung serta menjual sebagian persediaan di luar jatah mingguan yang telah rutin dibagikan kepada penduduk ….“Apa-apaan kau, Ure?” Tentu, hal itu membuat yoram-yoram dari distrik sebelah mengamuk.Namun, segera kutangkis segala macam opini mereka dengan kalimat andalan. “Distrikku, aturanku.”Seminggu, dua minggu, hingga masuk musim baru, protes dari para petinggi gegara kelakuanku di minggu awal tadi pun mereda. Malahan, mereka kini memuji lantaran penduduk lokal tidak lagi menganggap kami sebagai orang asing yang merampok tanah mereka dan sebagian bahkan meniru tindak tandukku.Walhasil, aku pun bisa lanjut ke fase kedua.“Wei, Ure. Kau mau apa dengan meja-meja ini, hah?”“Berisik …,” timpalku yang lalu menghalau Maxwell dan Lamda agar jangan menghalangi jalan, “aku mau merekrut pekerja, kalian ke pinggir dulu sana—hush! Hush!”“Kami tidak salah dengar, ‘kan?”“Tidaklah,” kataku semringah, “kalau mau, kalian pun boleh mendaftar—ayo, sini!”“Tunggu!” Maxwell agak tersentak. “Kerjaannya apa dulu, lah?”“Aku mau kalian mengolah tanah dan membuka lahan ….”Fase kedua dalam rencanaku adalah membuka lahan baru di selatan kota.Aku sadar jika semua yang kulakukan menguras isi lumbung kami sekian kali lebih cepat daripada metode para yoram di distrik lain, jadi buat mengantisipasi seluruh kerugian nanti mau tidak mau aku harus punya cara untuk mengisi lumbung persediaan kami kembali, bukan?Jadinya ….“Upahnya 83 perunggu per hari.”“Hah, apa?”“A-apa Anda serius, Caupa?”“Sesuai isi selebaran, kalian tidak salah baca.”“I-ini—”“Kami mau!”“Benar, kami mau bekerja padamu!”Menggunakan metode perumusan dan standar upah yang digunakan Gorgon Lama sewaktu menghadapi krisis dengan wabah aneh di masa lalu, targetku untuk mendapatkan tambahan tenaga telah tercapai.Berikutnya, fase ketiga. Kira-kira, bagaimana aku harus mengatur aliran dana ke luar?*** “Lapor, Caupa ….”Memasuki Bulan Dua 341 Mirandi, agenda Mantel Putih yang sempat terjeda tahun sebelumnya kembali diteruskan.Bura Parami mengutus seluruh angkatan perang Kota Zara untuk menyerbu serta merebut kembali Ratnar lalu memperluas wilayah Panji Beruang hingga ke Kerajaan Ghiarin dan seluruh wilayah Kerajaan Seren, agenda yang membuat dua sobatku kalang kabut.“Ureee!”“Baru saja orangku mau melaporkan tentang kalian,” kataku yang lalu menyambut mereka berdua, “kapan kalian berangkat, tujuannya benar Ratnar, ‘kan?”“Apanya yang Ratnar,” balas Maxwell agak kesal, “aku dioper ke Mantel Jerami—”“Hahaha!” Aku terbahak dengar jawaban anak itu. “Kita pindah ruangan lain dulu … kau boleh kembali—kita ngobrol sambil makan malam, bagaimana?”“Kau punya apa saja di dapur, Ure …?”Malam itu, kami bertiga berbagi informasi seputar perintah Bura Parami dan rencana unit masing-masing.“Kau tidak punya anggur, ya, Ure?”“Aku bukan peminum …,” balasku yang lalu memberi isyarat kepada pelayan agar membawakan peta buat kami, “lagi pun kau sudah tahu itu sejak lama, ‘kan, Maxwell?”“Dia memang pelupa, ‘kan, Ure?” timpal Lamda sembari melapi tangan lantas menata piring bekas makan, rapi sekali. “Kau tahu kerjaannya di barak sehari-hari, cuma mabuk sehabis latihan.”“Setidaknya aku mabuk setelah latihan selesai!” balas Maxwell, lanjut menambah daging ke piring, rakus.Paham adat sobat kami tersebut, aku dan Lamda kompak geleng kepala.Meskipun begitu. “Bisakah kau jangan berisik pas lagi makan ….” Lamda tidak bisa membiarkan sobatnya satu itu terus berantakan. “Sikapmu menghilangkan seleraku, tahu?”“Mana biswa!” “Ngomong-ngomong, soal kampanye kedua kalian ….” Aku bangkit dan menyeret kursi ke dekat peta yang baru saja tiba. “Terima kasih—aku mau membahas rute perbekalan.”“Tunggu!” Lamda angkat tangan. “Katanya Distrik Selatan gak berpartisipasi di kampanye kali ini, ‘kan?”“Benar, aku memang takkan ikut andil untuk Kampanye Ratnar.”“Terus?”“Ini soal Kampanye Logos dan Raku.”“Ure, apa kau berencana membeli hati Bura Manik?” tanya Maxwell tiba-tiba.Pertanyaan yang spontan membuatku tersenyum, bangga. “Benar.”“Hah, aku belum mengerti.”“Hoi, Manja, dia itu ingin membeli kredit buat kita.”“Tumben malam ini otakmu encer,” ujarku pada Maxwell lekas mengaku, “aku tidak puas hanya mengatur Zara, jadi akan kugunakan lumbung di sini untuk membeli—”“Daripawda Bwura Mwanik, mending langswung Buwra Jwulius,” selanya dengan mulut penuh.Membuat Lamda seketika melirik sinis. “Telan dulu makananmu, Bodoh.”Cek! Aku menggeleng lihat tingkah dua sobatku di meja makan itu. “Aku maunya juga begitu,” lanjutku, mencoba abai dan fokus. “Awalnya, kalian tahu, tapi pas kupikir ulang rencanaku bisa langsung rusak kalau menjilat Bura Julius sekarang.”“Oh, terus kapan kau mau melakukannya?”“Aku tidak salah dengar, ‘kan, Ure?” Lamda melirikku dan Maxwell bergantian. “Kalian sebenarnya sedang membicarakan apa, aku benar-benar tidak paham.”“Hem, menyebut diriku bodoh padahal sendirinya pilon.”“Aku biasanya pintar ….” Lamda bela diri. “Cuma, malam ini entah kenapa omongan kalian berdua susah buat kucerna.”“Kalau pilon, ya, pilon saja ….”Suda lama aku tidak melihat mereka berdua ribut begini, jadi tiba-tiba kangen rumah. *** “Selamat jalan semua ….”Hari pertama di bulan ketiga, Musim Semi 341 Mirandi.Pasukan utama Mantel Putih akhirnya bertolak menuju barat, hendak menyapu Ratnar, Garuru, dan kota-kota terdekat dari wilayah Koana di bawah bendera Bura Parami bersama dua ratus ribu pasukannya.“Taklukkan musuh-musuh kitaaa!”Semangat mereka amat menggebu untuk ukuran pemberontak, terutama unit kavaleri dengan kuda putih dan bendera berlambang rubah melingkar di sana. Mereka akan jadi batu sandungan buat Maxwell kalau dia memang ingin jadi tangan kanan Bura.Sepertinya aku harus melakukan sesuatu ….“Kau serius mau kami naik menjadi yoram di kampanye ketiga, Ure?”“Apa omonganku tidak jelas, Lamda?”“Bukan—”“Simpan tenagamu, Serakah. Aku, Maxwell, akan menjadi yoram dengan kemampuanku sendiri ….”Meskipun kemarin ia bilang akan berusaha sendiri, pesaing-pesaingnya secara alami tetap menjadi senjata buat yoram-yoram lain yang menginginkan posisi di barisan belakang. Artinya mereka masih berpeluang tumbuh sebagai ancaman bagiku suatu saat nanti. Sehingga naluriah apabila diriku menyingkirkan mereka buat mengamankan posisi kami sebelum hal yang tidak kuinginkan benar-benar terjadi, ‘kan?Jangan bilang jika aku salah ….***

Narsis

Hadiah atas Jasa

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Hoi, Ure—eh, si-siapa mereka?”“Jangan banyak tanya!” kataku pada Maxwell sebelum memekik ke penjaga gerbang, “buka gerbangnya, aku dan orang-orangku mau lewat ….”Beberapa saat lalu.“Tupa Ure?”“Mana orang-orang yang kita tangkap di Ratnar?”“Ke-kenapa Anda menanya—”“Gak usah banyak tanya,” bentakku ke penjaga di ruang bawah tanah, “panggil teman-temanmu kemari dan bantu aku membawa mereka semua ke gerbang barat kota—sekaraaang!”Tahun lalu, ketika pasukan Panji Beruang mengambil hari baik setelah menyusun rencana pemberontakan selama hampir empat tahun. Kota yang mereka duduki pertama kali adalah Ratnar, Zara, lalu Vegasis yang sekarang ketiganya menjadi basis kami.Setelah itu menyebar ke kota-kota di timur hingga timur laut melalui Vegasis sebagai pangkalan.Asumsi Panji Beruang tahun itu, kota-kota di sisi kanan peta tersebut nantinya akan menjadi titik balik ‘tuk gerakan penaklukan kami hingga ke ujung barat benua. Itulah mengapa kami baru menyerang Koukus kemarin lusa dan pertahanan di Zara masih sangat rentan. Salah satu skenario terburuk. Jika kota ini sampai diserang itu artinya Ratnar yang akan menjadi pangkalan kami di sisi barat telah kembali ke tangan kekaisaran ….“Ingat, mereka tameng kita,” teriakku saat gerbang kota diangkat, “jangan ada yang menunjukkan kepala apalagi sampai keluar dari papan pelindung saat kita melewati gerbang—berangkaaat!”Menggunakan tawanan Ratnar sebagai tameng, aku dan orang-orang di belakangku masuk ke gelanggang.Laporan mencatat, pasukan musuh yang sebelumnya garang segera menghentikan tembakan meriam dan menjatuhkan semua senjata begitu melihat sanak saudara mereka terikat di papan serta menjadi tameng hidup untuk Zara.Caci disertai maki melengking dari arah lawan, tetapi semuanya kosong sebab tidak satu pun yang benar-benar bergerak buat menyelamatkan sandera di tangan kami.Bahkan hingga pertempuran hari itu berakhir dan mereka pulang dengan punggung lesu ….*** “Kita menang besaaar ….”Malamnya, ketika semua orang merayakan kemenangan hari itu. Aku, dipanggil untuk menghadap Yoram Kaeti di Kantor Muri Distrik Selatan. Mendengarkan keluhan sang penanggung jawab kota selama Bura Parami absen ….“Kau tahu, masalahku sudah segunung.” Ketika dirinya mondar-mandir di tengah ruangan sambil berkali-kali meradang. “Dengan serangan tadi, aku bakal kena omel begitu Bura kembali kemari—aaargh!”Seakan-akan dia telah lupa pada alasan kenapa ia memanggilku. Bahkan, tera di dekat meja kerjanya pun sudah tampak lesu memperhatikan tingkah sang atasan.“Kalian tahu, aku setiap hari harus memeriksa laporan dan keluhan orang-orang Zara … kalau bukan bla bla bla … aku gak bakal bla bla bla ….”Jujur saja, jika aku juga jadi tera, bekerja bersama atasan yang cuma bisa mengeluh sambil mondar-mandir begini rasanya mending ambil resign saja.“Yoram.” Sang tera akhirnya bersuara, tepat satu setengah jam si atasan mondar-mandir bak bandul jam dinding klasik di ruangannya. “Besok Anda masih harus menghadiri rapat dengan tiga yoram distrik lain, sebaiknya selesaikan formalitas di sini segera kemudian istirahat.”“Kau benar, Wen. Aku harus segera istirahat.”Istirahat, cuma itu yang sampai ke kupingnya.“Ure.” Yoram menunjukku. “Kau melanggar peraturan dengan menjebol penjara bawah tanah kota dan membawa sandera ke luar gerbang ….”Gegara aksiku ‘membobol’ penjara tadi siang, malam itu aku kena skors ketimbang dapat ucapan selamat setelah berhasil menghentikan serangan penyerbu.“Hah ….” Keputusan yang cuma kutanggapi dengan satu helaan napas sebelum melengos dari Ruang Kerja Yoram Kaeti di Kantor Pengadilan dan Urusan Sipil Distrik Selatan itu setelah satu setengah jam menunggu si empunya ruangan selesai mondar-mandir ….Lusanya, atau dua hari pascaserbuan ke Zara, Bura Parami pun pulang kandang. Dan, seperti pada malam sebelumnya, diriku langsung dipanggil ke ruangan atasan setelah dia membaca laporan terkait ‘aksiku’ hari itu.Akan tetapi, menggunakan skors sebagai alasan, kuabaikan panggilannya terus lanjut dengan kegiatanku sebagai penjual daging mencek liar di dekat gerbang selatan.Hingga, ia pun datang sendiri menemuiku. “Apa kau seorang pembangkang?” Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya begitu turun dari kuda.Kalimat yang segera membuatku tersenyum. “Kalau aku benar telah membangkang, harusnya penskorsan selama sebulan ini takkan kuterima—ah, berapa kilo … setengah, ya ….”Sengaja kuabaikan dirinya sembari meladeni pembeli.“… oh, kalau begitu semua jadi tujuh puluh lima perunggu … jangan lupa datang lagi—”“Apa kau sudah selesai?” tanya Bura Parami begitu pelanggan terakhir pergi, “apa panggilanku tidak lebih bernilai daripada orang-orang tadi, Tupa Ure?”Kulap tanganku, melepas celemek, kemudian mengambil dua kursi dan baru meladeninya.“Di luar militer, ya,” jawabku, menyodorkan kursi kepada orang nomor satu di Mantel Putih tersebut.Menerima kursiku, ia lekas tanya, “Apakah perjuangan kita selama ini tidak—”“Tolong jangan salah paham, Bura,” selaku lalu menjelaskan duduk persoalan kami, “selama dalam dinas kau atasanku, tidak ada bantahan untuk hal itu. Cuma, sekarang aku sedang diskors, ‘kan?”Bura Parami melipat tangan.“Selama Yoram Kaeti tidak mencabut perintah tersebut atau masa skorsku belum berakhir, kukira diriku sama sekali tidak punya kewajiban untuk datang ataupun memenuhi panggilanmu. Bahkan, sekarang pun kau kuanggap sebagai calon pelanggan.”“Katanya, orang yang berani melakukan hal-hal hebat kebanyakan adalah orang gila.” Mukanya yang amat kaku mendadak lebih santai. “Kurasa aku mengerti kenapa mereka berkata begitu.”“Benarkah?”“Ya, daripada menemuiku dan mengambil hadiah atas jasa pada pertempuran di gerbang barat kau malah lebih memilih untuk menjual daging di sini.”“Hahaha,” sambutku semringah, “aku merasa tersanjung, Bura.”“Apa kau tidak ingin mengambil hadiahmu?”“Hadiah bisa kuambil setelah masa skors selesai, ‘kan?”“Kenapa tidak sekarang?” tanyanya lagi, dengan mata terpicing heran.Kujawab, “aku sedang kerja, kau lihat ….”Kutunjuk dua gantung daging di stan dagang.“Mungkin nanti sore, aku akan ke tempatmu buat mengambil hadiah—jika memang benar ada.”“Aku tidak bisa membacamu, Ure.”Kuangkat bahuku merespons ucapannya.“Ngomong-ngomong soal kerja ….” Bura Parami mengusap janggut. “Bukankah kau sudah menjadi tupa, kepala peleton dengan dua sampai empat lusin tentara?” “Beda ….” Aku menjuling padanya. “Menjadi tupamu itu kerja bakti.”“Apa maksudmu kerja bakti?”“Hah ….” Aku cepek menghadapi bura macam orang ini. “Aku mendapat uang setelah menjual daging dan bisa membeli sesuatu buat diriku sendiri, sedangkan saat menjadi tupamu diriku cuma mendapat ucapan terima kasih.”“Bukankah kalian mendapat jatah rampasan.”“Hahaha ….” Aku terbahak dengar sanggahannya. “Benar, dua ransum untuk satu bulan.”“Apa?!” “Tidak usah kaget begitu, Bura.” Kutarik tangannya agar kembali duduk. “Kenyataan di lapangan memang tidak selalu sama dengan isi laporan, jadi hal ini sudah biasa.”“Apa maksudmu, Ure?” Raut kagetnya mencerminkan kejujuran, dia sepertinya tidak tahu-menahu terkait praktik korup yang sudah dilakukan para bawahannya. “Aku selalu membagi—”“Itu menurutmu—tunggu!” potongku yang lalu bangkit dan bersiap meladeni pembeli, “pergilah ke barak terus tanya mereka yang ikut Kampanye Koukus dapat apa … ah, paha semua, ya … bandingkan dengan laporan para Yoram … nah, ini dia!”Aku yakin pengaduan tersebut sudah cukup untuk menggerakkan Bura Parami.Toh, hasil dari perjumpaan kami hari itu menjawab semua dugaanku dan membuktikannya. Kaeti dicopot dari jabatan sebagai yoram beberapa waktu kemudian, terus diriku juga naik pangkat menjadi caupa tepat pada minggu kedua bulan dua belas.Kabar lainnya, skorsku dibatalkan saat itu juga dan permintaanku dengan Lamda yang ditangguhkan ketika kami berada di Istana Kota Koukus dikabulkan. Aku sekarang mendapat wewenang untuk mengatur kota di bawah nama muri ….***

Narsis

Pahlawan

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

Minggu lalu. Ketika sisa Unit 2142 hendak menyerbu istana ….“Ure, kau yakin kita akan berhasil—”“Siapa kalian?”“Ah! Bagus kalian lewat, cepat kemari!” teriakku, memanggil dua prajurit yang memergoki separuh unitku sedang memuat tong minyak ke atas gerobak di depan persembunyian. “Tolong bantu kami mengangkut semua minyak ini lalu menyebarkannya ke sekitar lumbung dan gudang senjata—”“Hoi, hoi, hoi!” Salah seorang prajurit tadi menepis tanganku. “Apa yang kalian lakukan, hah?”Sring! Prajurit lain bahkan menghunus pedang dan waspada.“Siapa yang memerintah kali—”Sebelum dia banyak bicara kutendang lututnya sampai ia terjatuh. Duk!“Apa kau belum dapat kabar soal penyusup yang masuk kota dan sedang mengincar Pu Seren?” tanyaku pada prajurit tersebut, “jika kau tidak ingin membantu tugas kami, paling tidak jangan menghalangiku.”“Hei, Kau!” Temannya maju, hendak mengayunkan pedangnya padaku. “Katakan siapa ka—”“Sedang apa kalian?!” pekik seseorang dari ujung blok, seorang prajurit berkuda, menjeda kami. “Kita sedang berperang, kenapa kalian malah berkumpul di sini?”“Tuan Tentara!” Aku cepat-cepat menghampiri prajurit kavaleri tersebut dan mengasongkan daftar yang kubawa. “Ini daftar barang yang diperintahkan Bura untuk kubawa ke gudang senjata dan lumbung kita, tapi mereka menolak membantu dan malah menghadang kami—”“Tidak!” teriak dua prajurit tadi.Mereka menyusulku menghadap si prajurit kavaleri. “Kami tidak menghadang, Upa. Mereka men—”“Lalu membuatku dan orang-orangku telat mengirim barang-barang di sana itu apa?” selaku, mengganggu mereka agar tidak sempat menjelaskan situasi. “Upa, aku tidak tahu Anda dari unit mana, tapi tolong bantu kami untuk mengirimkan barang-barang di sana ke gudang dan lumbung segera.”“Akh!” Prajurit berkuda itu malah putar badan. “Kalian urus sendiri, aku malas mengurus hal-hal remeh.”Begitu dirinya pergi.“Kalian sudah membuatku terlambat,” kataku melotot pada dua prajurit tersebut, “cepat panggil unit lain untuk membantu—”“Gawaaat!” pekik Juini, anggota unitku yang kebagian pura-pura sebagai prajurit terluka, berlari ke arahku dan dua prajurit tersebut. “Gawat, Kapten!”“Kenapa tanganmu?” tanyaku, pura-pura panik melihat kondisinya.Ia mendorongku. “Tidak penting, Kapten!”“Kau?”“Cepat …, cepat, suruh semua orang mundur ….”“Mundur?” Salah seorang prajurit tadi menghampiri kami. “Apa maksudnya mundur?”“Muri memerintahkan kita membakar gudang dan lumbung, bahkan Pu kini sudah menyuruh semua orang di istana untuk keluar lewat jalan rahasia.”“A-apa?”Bagus, keduanya mulai panik.“Bagaimana bisa—”“Sudah kubilang penyusup berhasil masuk ke kota, Kalian Sialan!” bentakku kemudian membantu Juini berdiri, “tunjukkan padaku token perintahmu.”“Ba-baik … Ka-kapten ….” Ia melotot padaku setelah beberapa kali memegangi pinggang.“Kenapa kau cuma melihatku, hah? Mana token perintah yang diberikan padamu?”Juini segera berlutut.“Aku minta maaf!” teriaknya sambil menunduk, “aku menghilangkannya—”“Apa?!” Aku pura-pura kaget. “Bagaimana bisa … benda sepenting itu kenapa bisa hilang—”“Tadi …,” lanjut Juini, “tadi aku ditabrak beberapa orang prajurit berkuda, mereka bilang keadaan darurat dan akan menuju istana untuk mengamankan Bate—”“Bate?” Salah seorang prajurit tadi mendekati Juini. “Bate sedang tidak di kota sekarang, mana mungkin mereka me—”“Mereka pasti penyusup!” potongku kemudian lari ke gerobak, melepas seekor kuda, lalu menghampiri mereka lagi. “Salah satu dari kalian pakai kudaku dan susul penyusup tadi ke istana—Ini!”Kulempar kertas yang tadi kubawa ke salah seorang lainnya.“Kau bantu orang-orangku mengantar barang-barang di sana, kita masih punya waktu jika bergegas ke istana sekarang ….”Tanpa pikir panjang, keduanya langsung berpencar. Seorang naik ke atas kuda lalu melaju untuk menyusul ‘penyusup’ ke istana, sedangkan yang lain langsung mengumpulkan orang dan membantu kami mengirim tong minyak ke gudang dengan lumbung-lumbung mereka.Supaya situasi aman, kuambil satu kuda lagi dan menggendong Juini untuk menyusul prajurit pertama.“Dengaaar …,” teriakku sembari mengentak kuda, “orang-orangku tidak bisa bicara, jika ada yang tanya siapa yang menyuruh kami bilang saja itu Buraaa ….”Sengaja kukatakan sambil memacu kuda agar tidak terdengar jelas ….*** Siapa sangka rencana gila di hari itu membuat kami menjadi pahlawan hari ini ….“Kalian tahu, aku dan teman-temanku tidak bicara sepatah kata pun selama kami mengirim tong minyak ke lumbung musuh.” Maxwell benar-benar menjiwai ketika menceritakan ulang pengalaman tersebut.Mata anak-anak yang mendengarkan sampai tidak berkedip.Benar-benar sukar buat kupercaya. “Dia terlalu berlebihan, Anak-anak.”“Tidak apa-apa, Paman Ure,” timpal salah seorang, “Om Maxwell sudah menjadi pahlawan kami, dia yang banyak omong ini tiba-tiba jadi pendiam hari itu membuat rencanamu sukses, ‘kan?”Kugaruk pipiku dengar tanggapan tersebut.“Eh, aku tidak banyak diam kemarin.”“Tidak apa-apa, Om Maxwell. Kau adalah pahlawan—”“Benar, kau dan sembilan paman di Unit 2142 semuanya pahlawan!”“Be-benarkah?”“Hidup pahlawan!”“Hidup!”Melihat mereka bergembira dengar cerita kami di pertempuran, aku jadi merasa bersalah.“Ah, ya! Lalu bagaimana aksimu pas di istana, Paman Ure?”“Soal itu ….” Aku berpikir sebentar. “Sebaiknya kalian jangan ta—”Bdum! Sebuah ledakan mengagetkan kami.“Su-suara apa itu, Paman?”“Ure!” Maxwell mengangguk padaku, sebelum membubarkan kerumunan di taman tersebut. “Semua, kita lanjut ceritanya lain kali saja ….”Tadi itu suara tembakan meriam. Arah datangnya dari barat. Kemungkinan terburuk, Zara sedang diserang.“Hoi, Ure—”“Kita berpencar!” selaku yang saat itu langsung lari ke arah berbeda sambil teriak, “kau bunyikan bel tanda bahaya, aku akan ke alun-alun buat membantu evakuasi. Kita bertemu di gerbang baraaat ….”Aku sadar arti bergabung dengan pemberontak adalah memilih hidup di seberang dan menentang status quo hingga ke akar-akar, karena itu diriku pun sudah menyiapkan diri apabila hal semacam ini benar-benar terjadi sejak jauh-jauh hari.Kalau kami tidak menyerbu dan mengambil alih kota lain setelah mendeklarasikan perlawanan tahun lalu, tentu kota kamilah yang akan diserang kemudian. Naif sekali. Aku, Maxwell, bahkan Lamda yang tidak tegaan, semua orang di bawah Mantel Ungu, Mantel Putih, Mantel Emas, dan Mantel Jerami dari pasukan Panji Beruang, mana bisa berharap hidup tenang.Kami telah menjadi makhluk buas bagi orang-orang kekaisaran serta harus segera dimusnahkan ….***

Narsis

Topik Hangat

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Unit Dua Satu Empat Dua, memasuki aula istanaaa ….”“I-itu mereka?”“Benar, itu sisa unit yang menerobos Koukus dan menangkap Pu Seren hidup-hidup ….”Tanggal 3 Bulan Dua Belas, Musim Dingin 340 Mirandi. Tiga hari usai serbuan Mantel Putih ke Koukus.Aku, Lamda, Maxwell, bersama tujuh orang lain di Unit Dua Satu Empat Dua, mendapat undangan untuk menghadap Bura Parami, Kepala Batalion sekaligus orang yang mengatur strategi penyerbuan ke Koukus.“Salam, Bura!”Pria berewok dengan zirah berat yang lagi duduk di singgasana itu boleh juga, auranya sebagai Komandan Legiun Mantel Putih cukup membuatku terkesan.Meski tetap belum menumbuhkan rasa hormatku ….“Hoi, Ure!” Maxwell menyikut kakiku. “Kenapa kau tidak berlutut?”“Aku tidak ingin melakukannya,” balasku kemudian maju selangkah, “Bura!”“Kau Ure, prajurit yang membuat rencana gila menerobos istana sambil mengacaukan kota musuh?”“Rencanaku tidak lebih gila dari pengorbanan Anda, Bura.”“Lancang!”Tentu saja, aku akan dicap pembangkang jika mengatakannya sebelum punya pencapaian. Apalagi, orang di depanku adalah satu dari empat bura utama di pasukan pemberontak Panji Beruang. Bisa kumaklumi bila ajudan sebelahnya meneriakiku.Sebagai informasi, pemberontakan ini dipimpin oleh salah seorang keturunan Mapu Brave ke-81, Brararia de Julius. Pemegang nama keluarga Braran, keturunan Pu Beardi yang terkenal akan kekuatan mereka di medan tempur pada masaku.Orang di depanku juga, tangan kanannya, merupakan salah satu keturunan Braran.‘Sayang, kekuatannya belum membuatku tertarik macam kakek mereka,’ batinku sebelum lanjut berkata, “aku, Ure. Tangan kanan Upa Vina yang telah mengorbankan diri demi menyelamatkan dua ribu saudara kita pada pertempuran di Gerbang Koukus.”“Lancang!” pekik ajudan sebelahnya untuk kedua kali, “Bura, biarkan aku menebas orang i—”Menenbasku? Mustahil, Bura saja menahan tangannya.“Aku ingin tahu apa yang terjadi pada upa kalian, kenapa bukan dirinya yang menyandera Pu Seren ketika pasukanku memasuki Istana Kota?”“Izin menjawab, Bura!” Salah seorang di unitku maju. “Upa kami menjadi martir di pintu air pertama yang gagal kami masuki.” Dia kemudian memohon. “Tolong, berikan beliau tanda jasa karena keberanian—”“A.” Bura Parami kelihatan kesal. “Upa kalian melanggar perintah dan bergerak atas kemauannya sendiri, meski kalian berhasil menyelamatkan nyawa saudara-saudara kita dengan menangkap Pu Seren hidup-hidup orang seperti dirinya tidak layak berada di bawah panjiku.”Aku tahu, buat orang ini cuma bidak hidup saja yang berguna. Cih!“Terlebih, seluruh keluarga istana dan pasukan musuh berhasil melarikan diri dari Koukus,” lanjut sang bura, “bagaimana kalian akan menjelaskan hal itu?”Menjelaskan? Bukan kami yang seharusnya menjelaskan, Bura Sialan.“So-soal itu—”“Aku menangkap Pu Seren dengan tanganku sendiri, Bura,” selaku lantas membuat alasan, “saat itu istana memang sudah setengah kosong ketika unitku menerobos. Jika Anda menyetir kesalahan pada kami atas tuduhan membiarkan keluarga istana meloloskan diri, bukankah itu berlebihan.”Kami berdua saling tatap.“Benar juga,” ujarnya kemudian, “kalian tidak sepenuhnya salah kalau mereka memang mempersiapkan diri untuk kabur begitu kita datang.”Tidak sepenuhnya? Dia benar-benar ingin membebankan tanggung jawab pada unitku.“Namun, jika kau bilang begitu …, Ure, apa kau menuduh ada mata-mata yang membocorkan rencana ini di pasukan kita?”“Hah ….” Kuhela napasku menghadapi orang nomor satu di Panji Mantel Putih tersebut. “Kalau benar ada mata-mata di pasukan kita, dia pastilah pejabat atau paling tidak sekaliber orang yang mampu mengakses seluruh rencana, Bura.” Aku maju selangkah lagi.“Apa Anda pikir aku yang cuma prajurit di peringkat paling bawah berani mengatakan itu?”“Hahaha!” Ia terbahak dengar jawabanku. “Kalian dengar itu, ‘kan? Omongannya bisa kuterima … Ure dan semua Unit Dua Satu Empat Dua, hari ini aku mengundang kalian untuk ….”Hari itu. Aku, Lamda, Maxwell dan tujuh anggota Unit 2142 dibubarkan lalu masing-masing menerima titel dengan pangkat baru. Kami diberi sejumlah pasukan kemudian akan dikirim untuk kampanye terpisah ke tempat-tempat berbeda musim depan.Tentu saja, Maxwell bersama tujuh orang lainnya riang gembira menyambut keputusan tersebut dan akan segera bersiap untuk berangkat ke medan perang selanjutnya.Namun, aku dengan Lamda punya pemikiran berbeda. Kami berdua mengajukan diri untuk mundur dan menata barisan belakang agar tidak keropos ….“Apa alasan kalian tidak ingin maju dan membuat banyak prestasi di pasukanku?”“Apa artinya berkuasa bila keberadaan kita nanti masih tetap tidak diharapkan, Bura?” balasku yang lalu memberi perumpamaan, “kami berpikir, selain mempertajam bilah, gagang pedang pun harus kokoh agar bisa menopang kekuatan penebasnya ….”*** “Selain mempertajam bilah, gagang pedang juga harus kokoh.” Maxwell mengulangi apa yang kukatakan di Istana Kota Koukus beberapa hari lalu. “Dari mana kau dapat kata-kata sebagus itu, Ure?”Kujulingkan mataku ke arahnya.“Makanya sekolah, biar gak buta hurup terus.”“We, we, we ….” Ia langsung berontak, pasang kuda-kuda dua langkah di depanku. “Kenapa tiba-tiba jadi ke sana, tanpa sekolah pun aku sudah bisa menghasilkan dua setengah kuintal ‘kati’ per hari dulu.”“Itu dulu,” kataku terus tanya, “kalau sekarang?”“Sekarang ….” Ia garuk pipi. “Sekarang sih aku baru bisa—”“Paman Ureee!” teriak anak-anak dari kejauhan, menjedaku dan Maxwell.Mereka, anak-anak itu, berlari ke arah kami dengan mata cerah. “Kau Ure, ‘kan?”“Benar, paman ini Ure yang katanya berhasil menangkap Pu Seren itu, ‘kan?”“Jawab kami, Paman.”Ffft! Maxwell memegangi perut.“Paman—mwahaha ….” Ia tepingkal, kelihatannya puas sekali. “Kau dipanggil paman, hahaha ….”“Hah ….” Kuhela napasku dan menggeleng, seharusnya aku sudah dipanggil nenek moyang oleh anak-anak ini. “Jangan pedulikan kakak di sana, ya,” kataku sambil senyum, “kenapa kalian mencariku?”“Kakak?” Salah seorang anak menoleh ke Maxwell, “Om-om kusut di sana memang masih muda, ya?”“Apa kau bilang, Bocaaah?” Membuat sobatku itu melotot sembari mendekat. “Bilang sekali lagi kalau kau berani, hah!” Aku ingin tertawa dengar ucapan polos anak tersebut, Maxwell yang sudah mulai punya berewok memang kelihatan agak berantakan.“Kenapa kau melihatku begitu, Ure? Apa kau juga mau mengataiku, hah?”“Mereka cuma anak-anak, jangan kau takut-takuti—”“Mereka harus kukasih pelajaran, biar ka—”AAA! Dan, ya, delapan anak yang lagi mengerubungiku itu pun menangis.“Terima kasih, sekarang mereka menangis.”“Eh, eh, aku tidak berniat menakuti kalian ….”Meski penampilannya macam berandalan dan gak punya aturan, Maxwell bukan orang jahat. Dia masih punya sisi lembut yang mau mengalah pada anak-anak.“Kau sudah seperti guru mereka.”“Berisik kau, Ure!”Aku tersenyum.“Kalau bukan karena tidak ingin mereka menangis, aku ogah duduk bareng bocah-bocah ingusan di taman ini,” akunya lantas melipat tangan dan balik meladeni anak-anak tadi, “jadi kalian mau dengar cerita kami masuk kota dan menangkap Pu Seren?”“Benar, Om!”“Hah ….” Maxwell kelihatan pasrah. “Dengar, ya, cerita ini akan jadi legendaku dengan Unit 2142.”“Bosan, aku mau dengar bagian kalian berpencar dan Paman Ure menyerbu istana sendirian.”“Eh?! Bukan cuma dia yang hebat di unitku pas penyerangan kemarin, tahu ….”Aku tidak tahu siapa yang mulai menyebarkan cerita penyusupan kami ke orang-orang di Zara, tetapi hal itu kini sudah menjadi topik hangat. Sebagian menganggapnya hanya sebagai rumor, dilebih-lebihkan, bahkan ada yang menjadikannya alasan untuk ‘mendisiplinkan’ unitku sejak dini karena dirasa kami berbahaya dan berpotensi jadi benalu.Aku maklum. Toh, siapa juga yang senang jika calon pesaing baru muncul di tempat usahanya, ‘kan?Namun, aku memilih buat gak ambil pusing. Biarkan saja cerita unitku waktu menyelinap ke Koukus digoreng dan jadi bahan gosip. Toh, dengan begitu nama kami akan lebih cepat sampai ke telinga atasan. Mwehehe ….***

Narsis

Rencana Gila

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

“Majuuu ….”Hari ke-30 di bulan sebelas, Musim Dingin 340 Mirandi.Sesuai rencana. Dua ribu pemberontak ‘Mantel Putih’ pergi menyerbu Kota Koukus begitu matahari terbit dari arah timur, dengan semangat dan keberanian penuh walaupun hanya membawa peralatan seadanya. Sedang sebelas ribu sisanya, memecah dan menunggu waktu untuk mengejutkan musuh pada serangan kedua di hutan sekitar kota. Mereka, dua ribu pelopor tersebut, maju tanpa takut mati ataupun merasa ragu.“Bodoh, mereka hanya akan buang nyawa di tembok ini.”“Upa, tolong jangan bicara buruk tentang saudara-saudara kita.”“Bah! Kalau kau ingin bersama mereka, sana pergi. Aku tidak akan mencegahmu.”“Bu-bukan itu maksud—”“Upa, kita sampai!”Kecuali tiga belas orang yang menyaru bersama putihnya salju dan menyelinap ke pintu air dekat pojok tembok kota, unit dua dari peleton pertama di kompi keempat pada batalion kedua. Unitnya Upa Vina ….“Bagus, Ure.” Ia menepuk bahuku kemudian mengambil alih. “Setelah kita berhasil menang perang dan mendapat pangkat baru, kau akan jadi orang kepercayaanku.”“Terima kasih.”Aku mundur lantas membiarkan sang upa untuk memimpin dua kaki tangannya masuk ke celah lubang air yang separuhnya telah membeku.“Ayo, biar kupimpin kalian menuju kemenangan ….”Begitu ia bersama dua orang kepercayaannya tersebut masuk lubang, sembilan orang lainnya kuhalau lalu kuajak untuk mengitari tembok ke sisi lain.“Kalian jangan ikuti mereka, kita ambil jalur lain.”“Ure, apa maksudmu?”“Jangan banyak tanya, kalau masih mau hidup ikut aku ….”Ketimbang pintu air tadi, masih ada satu jalan masuk kota yang lebih aman buat dilewati. Lokasinya berada di antara ujung tembok tenggara dengan gerbang masuk sisi selatan.“Apa ini, kenapa ada kincir air di sini?”“Simpan heranmu buat nanti, Maxwell—cepat, beri aku tombak.”“Buat apa?”“Jangan banyak tanya!”“Ini!”“Terima kasih, Lamda ….”Daripada merangkak di celah sempit, aku lebih memilih buat membuka jalur yang lebih lega.“Pertama, rusak poros kincirnya dulu … lalu—beri aku tombak lagi!”Duk! Kincir air besar di hadapan kami terlepas, menyisakan lubang selebar empat orang dewasa di bawah tembok yang menganga buat dimasuki.“Lepas zirah dan taruh semua senjata kalian di sini—”“Kenapa kami harus melakukan itu?”“Benar, bagaimana kita akan berperang kalau—”“Sudah nurut saja!”Tidak punya pilihan, mereka pun menurut kemudian mengikutiku masuk ke celah tembok tersebut tanpa mengenakan zirah ataupun membawa senjata. “Heh—”“Hoi, Tuan Tentara!” teriakku begitu para tentara yang lewat di jembatan memergokiku keluar dari pintu saluran air bawah tanah di sisi dalam tembok, “tolong bantu kami!”“Siapa kalian?”“Aku mekanik yang sedang memperbaiki saluran air. Tolong cepat kemari, bantu kami memasang kembali kincir yang lepas di ujung salur—”“Abaikan mereka!” teriak salah seorang tentara dari kejauhan, “kita sedang bertempur, jangan terganggu oleh hal-hal lain dulu!”“Benar!” timpal tentara yang lain, “kalian juga, berhenti mengurus kincir di sana dan cepat sembunyi ke tempat aman. Kota sedang diserang ….”Melirik sekilas, mereka pun lanjut berlarian menuju arah timur.“Jadi alasan kenapa kami harus melepas zirah dan meninggalkan senjata di luar tadi karena kau tahu kita akan bertemu tentara musuh?” tanya salah seorang anggota Unit Dua Satu Empat Dua begitu kami masuk area pemukiman.Yang sontak ditambahi oleh Maxwell. “Aku tidak tahu aktingmu sebagus itu.”“Bukan aktingku yang bagus …,” timpalku sembari terus memperhatikan sekitar, “mereka lagi kalut, jadi omong kosong macam tadi akan langsung dipercaya—di sana, kita sembunyi di rumah kosong itu!”*** “Sekarang bagaimana?”“Menurut apa yang kudengar, seharusnya setelah tahu jarak jangkauan panah musuh kita akan langsung menggunakan itu.”“Maksudmu ‘itu’ barusan …, meriam, ‘kan?”Meriam yang orang-orang ini bahas bukan meriam sihir macam waktu diriku masih tinggal di Benua Baru, tetapi meriam ledak versi bubuk mesiu. Mereka muncul di Eldhera gegara Sage Suinda dan penyintas yang dilayaninya, kalau kalian tanya kenapa bisa ada bubuk mesiu di sini.“Aku belum mendengar suara ledakan apa pun setengah jam kita di sini, kurasa pasu—”“Mereka gak bakal pakai meriam.”“Kenapa kau kelihatan sangat yakin, Ure?” tanya Lamda, “bukankah kita nekat menyerbu Koukus karena punya meriam, mana mungkin senjata perusak itu tidak digunakan pada serangan yang gila ini.”Tentu saja untuk menghemat sumber daya, tapi aku tidak akan mengatakan itu di depan mereka.“Ada dua kemungkinan yang mungkin terjadi jika tebakanku tidak meleset,” kataku sambil membuat garis ilustrasi di lantai, “pertama, Yoram merasa tembok Koukus terlalu tebal buat dihantam meriam.”“Satu lagi?”“Dia memfokuskan sasaran tembak ke gerbang utama dan sedang berusaha membawa meriam ke tengah-tengah ….”Selagi kami mengobrol di rumah kosong tersebut, para pemberontak dengan pasukan pertahanan Koukus di gerbang timur sana semakin ganas menarikan maut. Aku tidak tahu pasti seperti apa pertempuran yang kini tengah berlangsung, tetapi hawa haus darah kian pekat tertangkap oleh mata perakku.Hawa yang sangat disenangi oleh para jerangkong ….“Hoi, Ure!” Lamda melambai-lambaikan tangan di depanku. “Kenapa kau melamun?”“Aku yakin dia lagi kangen rumah—”“Berisik kau, Maxwell. Aku tidak bertanya padamu.”“Apa, hah?”“Bisakah kalian jangan terlalu berisik,” ujarku lantas melirik pintu sekilas, “Maxwell, apa kau menemukan sesuatu di luar sana?” “Oh.” Ia segera menggelar gulungan yang sedari melewati pintu tadi terus digendongnya. “Aku berhasil mencuri peta Koukus, dan benar kata si Lamda, Pu memang ada di sini … ini, di tengah-tengah kota.”“Apa kubilang!” sambut Lamda, senang. “Koukus itu ibu kota pemerintahan, jadi selain bate tentu saja Pu Seren pasti akan ada di sini.”“Ya, ya, terima kasih buat infonya.”“Mwe ….”“Jadi apa rencana kita sekarang, Ure?”“Kalau kalian percaya.” Kuputar peta yang Maxwell gelar jadi sesuai arah mata angin. “Kita akan menculik dan menyandera Pu Seren untuk merebut kota lalu menghentikan pertempuran di Gerbang Timur—”“Apa?!”Tentu saja, ini memang rencana gila.Wajar mereka langsung melotot padaku begitu.Aku paham. Sepuluh orang tanpa senjata memadai mana mungkin sanggup menerobos pertahanan Istana Kota yang kini menebal gegara serbuan pemberontak di luar. Apalagi bila di sana ada seorang pu alias raja wilayah dengan kekuasaan satu tingkat di bawah mapu atau kaisar.“Kau gila, ya, Ure?”“Kita bersepuluh mana sanggup menghadapi pasukan di—”“Siapa bilang kita akan langsung menyerbu ke Istana Kota, hah?” potongku, menyapu mata semua orang penuh percaya diri. “Dengar, kita akan membuat seisi kota gempar lalu diam-diam menyelinap ke istana.”“Hah?”“Ba-bagaimana?”“Caranya?”“Pakai itu ….” Kutunjuk benda di pojok ruangan tempat kami sembunyi ….***

Narsis

Kampanye Pertama dan Misi Bunuh Diri

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

Hari ke-29 di bulan sebelas, Musim Dingin 340 Mirandi.Kampanye pertamaku sebagai unit terkecil pasukan pemberontak berlanjut. Aku, Lamda, dengan si berisik Maxwell, telah sampai ke lokasi penyerbuan. Kota Koukos.“Hoi, Ure!”Aku menoleh. “Apa?”“Kau yakin kita akan berhasil …, maksudku tembok setinggi itu pasti sangat tebal, ‘kan?”Maxwell, bocah yang selalu ‘berani’ di mana pun itu tampak ciut kali ini. Tidak seperti biasanya. Apa ia gentar gegara melihat penampakan asli sasaran kami di depan sana?“Kau takut, ya?”“Aku ti—”“Dia takut,” potong Lamda, “lihat saja kakinya yang gemetaran.”“Woi, Manja. Siapa bilang aku takut, hah?”“Sudah akui saja ….”Bicara soal takut.Sebetulnya hal tersebut wajar mengingat kekuatan kami yang cuma tiga belas ribu sedang musuh punya lebih dari lima atau enam kalinya. Apalagi Koukos dikelilingi tembok tebal dan tinggi, kurasa sehari takkan cukup buat menerobos hanya mengandalkan kekuatan amatir.Namun, buat apa risau?Toh, tugasku sama dua bocah ini cuma mengintai, memetakan medan sekilas, lalu kembali untuk melapor ke atasan. Bukan terjun langsung ke pertempuran.“Hoi, Kalian. Cepat beri tahu yang lain, kita tidak punya celah kalau menyerbu langsung dari depan. Bilang juga, dua ribu unit takkan cukup buat menerobos gerbang mereka.”“Eh?”“Apa-apaan kau, Ure?” Maxwell berhenti mengganggu Lamda dan mendekatiku. “Kau bukan kapten kami, kenapa menyuruhku buat kembali sekarang, hah?”Aku menjuling sekilas.“Kau mau kita cepat pulang apa terus menunggu di sini?”“Bukan itu pertanyaanku, Ure.”“Hah ….” Kuhela napasku meladeninya. “Dengar, Upa cuma menyuruh kita melihat situasi musuh sekilas terus melapor. Kalau tugas sesederhana itu saja butuh waktu lama, kau tidak layak masuk tentara.”“Apa kau bilang—”“Aku setuju denganmu, Ure. Lupakan si bodoh ini, biar aku yang pergi melapor ke Upa Vina.”“Hoi, Lamda, kau menyebutku apa barusan—tunggu aku ….”Sejak awal misi kami hanyalah menjadi umpan dan pasukan bunuh diri, kalau saja dua bocah tadi tahu.Dua ribu sekian ratus unit termasuk diriku, semuanya bakal dikirim untuk mati demi memancing perhatian musuh ke Gerbang Timur Koukus. Sementara kekuatan asli pemberontak akan menyelinap dan membuka gerbang utara lalu melancarkan serangan kedua begitu pertempuran kami berakhir. Cek!“Pasukan bantuan.” Kulirik bukit di sebelah utara kota sekilas terus berbalik buat kembali ke kemah. “Aku ragu jika mereka belum sampai ke dekat kami ….”*** Musim Semi 339 Mirandi ….“Hoi, Ure. Kau mengajak si Lamda juga?”Kehidupanku sebelum bergabung ke kesatuan tentara pemberontak adalah murid sekolah umum dengan waktu luang yang sangat banyak. Bersama dua orang ini, Maxwell dan Lamda.“Kau bilang mau menunjukkanku kereta baru, mana?”“Maxwell, kau gak akan percaya kalau kubilang si Ure hampir diusir dari kelas sama Nyonya Deti tadi pagi.”“Benarkah?”“Cek! Aku mengajakmu ke Gerbang Selatan buat berburu mencek, ‘kan?” ujarku, coba menjaga topik agar jangan melebar ke mana-mana. “Bukan malah membahas kejadian tadi pagi sama si Maxwell, Lamda.”“Apa kau malu?”“Hahaha. Lamda, dia pasti malu ….”Hari itu aku, Lamda, juga Maxwell hanyalah dua ‘anak sekolah’ dan sorang pemburu amatir yang hendak mengadakan acara perburuan kecil-kecilan di area hutan dekat Tembok Selatan Zaowi.“Ah, itu dia! Lihat ….” Maxwell kelihatan sangat semringah, tatkala kereta yang ia katakan padaku sebelum kami membuat janji temu datang. “Ini kereta baru yang ayahku beli. Keren, ‘kan?”Kami hanyalah penduduk biasa. Seorang anak pemburu, anak bangsawan kelas menengah, sama satu lagi veteran yang mendadak jadi ‘tanpa gairah’ setelah kehilangan rumah dan keluarga.Tidak pernah terlintas dalam benak kami jika hari itu Zaowi akan menjadi lautan api sepulang dari acara perburuan tersebut ….*** “Ure, kau dipanggil Upa Vina ….”Hingga sekarang. Perkakas berburu yang kami bawa pada acara perburuan tahun lalu itu, kini jadi senjata andalan dalam setiap upaya mempertahankan hidup di kemah pemberontak ini.“Anda memanggilku, Upa?”“Ya. Soal laporanmu ….”Upa Vina, kapten unitku sekaligus orang paling setia di antara dua ribu bawahan yang dikirim untuk mati di Gerbang Timur Koukus.“Rekan-rekanmu bilang kau yang menyuruh mereka kembali, benar?”“Benar, Upa.”“Bisa kau jelaskan, kenapa kita tidak bisa menang jika menyerbu hari ini?”Huh. Pertanyaan macam apa itu? Dia sedang menggodaku, kah?“Hah ….” Kuhela napas lelah sebelum menghadapi ketua unit di depanku. “Upa, Anda tidak perlu melotot dan menanyakan sesuatu yang sudah pasti.”Ia bersandar ke kursi lalu melipat tangan.“Jika Anda ingin jawaban jujur, aku akan berterus terang,” kataku kemudian mengambil kursi dan duduk di seberangnya, “misi bunuh diri ini mungkin sukses, tetapi tidak dengan serangan utamanya.”Jawaban yang sontak membuat sang ketua unit berdiri lantas menggebrak meja. Brak!“Siapa yang bilang serangan kita ini misi bunuh diri, hah?”Kutatap matanya dalam diam.“Baiklah ….” Kemudian menjelaskan, “Jika Anda ingin tahu kenapa aku bisa tahu ini misi bunuh diri ….Pertama, jarak antara Zara dengan Koukus hanya sekitar empat puluh kilo. Perjalanan kemari cuma butuh kurang dari sehari jalan kaki atau setengah hingga satu jam saja kalau pakai kuda, benar?Akan tetapi, Yoram alias Kepala Batalion sengaja memperlambat laju pasukan kita hingga tiga ha—”“Bukankah kau tahu itu agar musuh tidak menyadari kita!” sela sang ketua unit, “jangan asal—”“Aku tidak asal bicara!” balasku lekas tanya, “Anda pikir dua ribu orang berjalan kaki dalam barisan dengan panji mencolok selama tiga hari takkan pernah dicurigai?Kita memang prajurit kelas bawah tanpa pengalaman tempur, tetapi bukan berarti semua individu sama. Aku yakin, bukan hanya diriku yang punya firasat soal taktik menyedihkan ini, Upa.”Kupalingkan wajahku ke peta dekat dinding tenda.“Lihat …, Anda bahkan menandai bukit di utara Koukus. Jangan bilang kalau pasukan utama yang sedang menunggu di sana hanya sebuah lelucon.”“Berapa orang yang tahu soal rencana ini, Ure?”Aku kembali melihat sang upa.“Anda tidak perlu repot-repot membunuhku demi menjaga moral dan semangat pasukan,” ujarku lantas mengajukan proposal padanya, “kenapa tidak mendengar masukanku untuk membuat sedikit terobosan lalu mengubah misi bunuh diri menyebalkan ini menjadi ladang jasa?”Ia melepaskan gagang pedangnya.“Apa kau sadar dengan apa yang baru saja kau katakan?”“Aku hanya ingin hidup.” Kutatap matanya. “Meskipun Anda tidak suka aku akan tetap melakukannya ….”*** “Kau sudah balik, Ure?”“Kumpulkan semua anggota unit kita, aku ingin bicara serius—”“Hoi, hoi, hoi, Ure. Kau lagi-lagi bersikap seolah kapten, jangan sembarangan memerintah—apa?!”“Puas?”“Se-sejak kapan?”“Sudah jangan banyak tanya, sana panggil semua rekan kita atau kulaporkan kau sebagai pembangkang.”Mau tidak mau, Maxwell pun bergegas memanggil semua anggota unit kami begitu melihat token perintah upa di tanganku.“Sebenarnya apa yang terjadi di tenda Upa Vina, Ure?” tanya Lamda ketika teman cerewet kami pergi.Aku tersenyum melihat wajah herannya terus bilang, “Aku cuma dapat promosi ….”Semakin sedikit orang yang tahu, semakin besar pula peluang kami untuk selamat dalam pertempuran ini. Begitu kata upa gila yang tadi memanggilku ke tendanya, dan sialnya di situasi kacau nanti dirinya benar.Makin sedikit orang yang ingin hidup dalam misi bunuh diri, kemungkinan tiketku buat selamat akan dilirik orang lain juga semakin kecil. Padahal fakta bahwa akan ada orang selain diriku yang menyadari keberadaan tiket selamat itu juga sudah kebilang sangat tipis ….***

Narsis

Selisih Dua Periode

Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang

Hari ke-28 di bulan sebelas, Musim Dingin 340 Mirandi.Dua tahun sejak diriku kembali ke Eldhera. Dua tahun juga aku terus mencoba berdamai dengan keadaan yang telah membawaku menjadi seorang pemberontak di depan mata.“Hah ….”Mungkin, kalian yang kebetulan lagi bosan atau tidak sengaja membuka lalu membaca catatanku juga jadi bertanya-tanya. ‘Tentang apa sebenarnya semua ini?’Ya, kan? Jika benar, maka selamat. Aku takkan mengatakan apa-apa di bagian ini.Rasa penasaran kalian takkan kujawab sampai catatan misi pertama ini selesai. Bahkan, boleh jadi ketika nanti kisah perjalanku sebagai penduduk Eldhera pascakembali dari Tanah Merah tamat atau ditulis ulang oleh generasi setelah diriku pun kalian tetap tidak mendapat jawaban. Hahaha ….Bercanda. Aku tidak sejahat itu. Namun, juga jangan menilaiku naif dan sederhana hingga berharap bagian pertama pada harian ini akan langsung berisi banyak informasi.“Yah ….” Sebagai pembuka. Kurasa akan lebih mudah bila kukatakan, “Aku melihat wajah baru di dunia lama.” Tidak paham, ‘kan? Sama.Hahaha. Aku asal tulis. Ya. Asal tulis saja ….*** Dua tahun lalu.“Sayang, aku pulang ….”Setelah dikembalikan paksa ke Gerbang Dua Belas Naga, tempat Letta tertidur, seusai menziarahi Monika, aku segera terbang ke Tebun untuk melaporkan keanehan yang kualami di Reruntuhan Kota Ghori ke Balai Penyelidikan Anomali dan Fluktuasi Sihir, Menara Stellar.Lebih spesifik, saat itu diriku ingin menemui Profesor Rafhael, guru besar sekaligus Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan Metode Pemberdayaan Mana di sana.Alasanku sederhana. Melalui otoritas beliau, aku berharap akan mendapat wewenang penuh untuk tidak perlu mengikuti kegiatan atau berada di sekolah selama beberapa waktu hingga cita-citaku tercapai.Aku mau mencari ‘berkat naga legenda’ buat membebaskan Doll dari kutuk pembatuan.Hanya saja, semua tidak berjalan sesuai harapan.“Sayang ….” Aku menengadah. “Stellar sudah tidak ada, Tebun bukan lagi sebuah kota, dan semua tempat yang kutahu di Kolom Dua-Tiga Benua juga telah banyak berubah.”Selain menyandarkan punggung pada kristal tempat Letta terlelap, diriku yang sekarang cuma bisa pasrah menerima kenyataan. Hidup sendirian di zaman yang kini sudah bukan lagi masaku ….“Aku capek, Sa—”Ting! Meskipun tidak semuanya setuju.[Inikah dunia asal Anda, Tuan?]Rumah, keluarga, bahkan anak-anakku mungkin memang telah lama hilang dari peradaban dunia ini. Akan tetapi, hal itu juga tidak lantas membuat diriku menjadi sebatang kara. Ya. Aku tidak pernah benar-benar sendirian. Masih ada Letta, meski kini ia tertidur dalam kristal di Altar 12 Naga. Masih ada Chloe, pengelola kantung ajaibku. Ada Long, dan ada juga Sandra dengan abu sama vas keramiknya di belakang pinggangku.“Ya, Chloe. Inilah dunia asalku, Eldhera ….”*** Demi melanjutkan hidup, aku enggan membuang harapan. Alhasil, diriku pun pindah dan memulai hidup baru di Zaowi, sebuah kota di perbatasan wilayah Kerajaan ‘Baru’ Tanderi, dua bulan kemudian. Kenapa kusebut baru, sebab pada masa sebelum diriku terlempar ke luar Eldhera bersama Doll kerajaan ini sama sekali belum ada. Ah, ya! Menurut cerita, jarak antara tahun Chloria dengan Mirandi adalah dua periode sage. Yang mana itu berarti diriku sekarang seharusnya sudah menjadi fosil di bawah tanah ….“Tunggu dulu!” Fsst! Lamda, teman sebangkuku, menarik-nariki jumsuit-ku lalu berbisik, “Hoi, Ure ….”Jangan tanya kenapa tiba-tiba ada teman sebangku. Aku sekolah lagi buat belajar baca tulis menggunakan aksara zaman ini ….“Kenapa kau tiba-tiba berdiri, hah?”“Aku ….” Kugaruk pipiku, hendak memberi alasan seadanya. “Aku—”“Siswa di belakang, kenapa ribut-ribut?”“Mampus ….” Lamda sigap melepas jumsuit-ku kemudian bergeser menjauh. “Maaf, Ure. Bukannya tidak setia, tapi aku juga tidak ingin kena masalah cuma gegara kita ini duduk sebangku.”“Apa maksudmu—hoi, Lamda …?”“Kau tahu sendiri Nyonya Deti orangnya bagaimana, ‘kan?” Ia langsung pura-pura tidak melihat dan sok sibuk dengan buku di hadapannya begitu perempuan gempal yang merupakan guru sastra kami berdiri sambil melipat tangan dekat mejaku. “Sekali lagi, maafkan temanmu ini …,” gumamnya pelan, benar-benar pelan.Hem. Teman macam apa yang langsung menghindar begitu temannya kena masalah? Cek! Sayang aku juga tidak bisa mengeluh jika dia memilih cari aman. Huh.Sekarang. “Hehe ….”Aku cuma bisa tertawa garing membalas sorot mata Nyonya Deti yang macam burung elang lagi membidik anak kelinci, amat tajam serta penuh dengan intimidasi.“Boleh kutahu kenapa kau berdiri dan berteriak ketika aku hendak menulis sajak dari masa Sage Suinda?”Begitu ucap beliau, terdengar berat dan penuh tekanan.“Kalau dirimu tidak memberiku jawaban bagus, pintu kelas ini selalu terbuka ….” Ia melirik pintu di pojok ruangan sekilas. “Silakan keluar dan tidak usah mengikuti kelasku sampai semester berakhir, mengerti?”Kutelan ludahku.“A, aku minta maaf, Nyo—”“A!” Perempuan itu mengangkat tangan. “Aku tidak butuh permintaan maaf, cukup katakan saja kenapa kau tadi berteriak. Selesai.”“Tadi ….” Aku tidak punya pilihan. “Tadi diriku tiba-tiba saja teringat sesuatu—”“Teringat apa?” kejar sang guru sastra.Kujawab, “Aku curiga bila sebetulnya selisih antara zaman Chloe dengan Sage Mirandi bukan dua priode.”“Siapa Chloe?”“Ah! Maksudku sage sebelum Sage Rarhea dan Sage Suinda, Nyonya.”“Hem ….” Ia menunduk sebentar kemudian tanya, “Katakan, kenapa kau berpikir begitu?”“Soalnya, Sage Mira lahir di Benua Barat, ‘kan?” lanjutku menyodorkan fakta sejarah, “bila ini benar, maka hal tersebut aneh.”“Kenapa aneh?” tanyanya lagi.Kupalingkan pandangan ke luar jendela. “Kita mengikuti siklus yang memiliki aturan selang-seling, bukan, Nyonya? Bila pahlawan lahir di Timur, maka saintess akan muncul di Barat. Pahlawan dari Barat, saintess kemudian akan berada timur. Begitu terus setiap kali mereka berganti masa.”“Aku belum menangkap poinmu, Nak.”“Maksudku, sage pun mengikuti aturan serupa,” kataku balik melihat ke Nyonya Deti, “jika Chloe lahir di Benua Barat, maka urutan Rarhea dengan Suinda tidak mungkin dari Barat lalu ke Timur terus kembali lagi ke Barat untuk masa Sage Mira sekarang, ‘kan?”Simpulan yang membuat seisi kelas tertawa. Hahaha.“Sejujurnya ….” Wanita di depanku tersenyum. “Jika kita tahu siapa sebenarnya Chloe yang baru saja kau bicarakan ini, aku mungkin akan memercayainya. Sayang selain dirimu kami semua tidak tahu, tapi ….”Ia menatapku.“Sage Mira sudah benar lahir di Barat.”Aku takkan membantahnya. Toh, hal yang membuatku merasa janggal ialah selisih antara Chloe dan Sage Mira yang cuma dua periode.Itu menunjukkan ada sedikitnya satu periode yang luput dari pencatatan sejarah, yakni masa di mana sage sesudah Chloe lahir di Benua Timur.“Sudahlah, kita tidak perlu melanjutkannya.” Nyonya Deti kembali ke depan kelas. “Kau kumaafkan …, aku terhibur mendengar ceritamu soal sage hari ini ….”Aku tahu, ini memang tidak penting selain bagi diriku. Hilang satu periode sage tidak membuat hitungan waktu mereka meninggalkan Eldhera bertambah sekian milenium ….¹***

Narsis

Epilog

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Dari Pengacara Konvensional Menuju Pengacara VisionerEpilogDari Pengacara Konvensional Menuju Pengacara VisionerSaat Anda menutup halaman terakhir buku ini, satu hal menjadi jelas: masa depan profesi hukum bukan untuk ditakuti — melainkan untuk dipeluk dan dipimpin.Teknologi, khususnya kecerdasan buatan, bukanlah akhir dari profesi hukum. Ia adalah awal dari sebuah transformasi besar yang membuka peluang bagi para pengacara untuk menjadi lebih manusiawi, lebih efisien, dan lebih berdampak.Jika Anda membaca sampai titik ini, berarti Anda adalah seseorang yang peduli — bukan hanya pada profesi Anda, tapi juga pada nilai, keadilan, dan arah perubahan di dunia ini.Anda telah belajar:Apa itu AI dan bagaimana ia bekerja untuk mendukung hukum,Cara menggunakan alat-alat canggih seperti DeepSeek, ChatGPT, dan Harvey.ai,Strategi membangun kantor hukum digital dan inovatif,Dan yang terpenting, bagaimana menjadi pemimpin perubahan, bukan korban zaman.🔑 Kini, giliran Anda untuk bertindak.Bawalah pengetahuan dari buku ini ke ruang sidang, ruang rapat, layar laptop, dan kehidupan klien-klien Anda.Bangun praktik hukum yang lebih berani, terbuka, dan cerdas.Tentang PenulisMuhammad Ari Pratomo, pengacara Indonesia sejak 2009, adalah salah satu pionir dalam mengintegrasikan kecerdasan buatan ke dalam praktik hukum di Tanah Air. Melalui karya, edukasi, dan pemikiran inovatifnya, ia mendorong pengacara Indonesia untuk bertransformasi dan bangkit sebagai bagian dari era digital global.📧 Email:📱 Sosial Media: @MuhammadAriLaw📍 Lokasi: Bogor, Jawa Barat, IndonesiaTerhubung Lebih LanjutJika Anda merasa buku ini bermanfaat, sebarkan kepada rekan seprofesi Anda. Mari bersama-sama menciptakan ekosistem hukum yang lebih adaptif dan inklusif, di mana teknologi memperkuat misi keadilan, bukan menggantikannya.Buku ini hanyalah permulaan.Gerakan hukum bertenaga AI baru saja dimulai.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Membangun Praktik Hukum Masa Depan - Strategi & Visi Pengacara Modern

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Menjadi Arsitek Perubahan di Era Kecerdasan BuatanBab 8: Membangun Praktik Hukum Masa Depan – Strategi & Visi Pengacara ModernMenjadi Arsitek Perubahan di Era Kecerdasan BuatanEra kecerdasan buatan telah mengubah cara dunia beroperasi, termasuk dunia hukum. Peran pengacara tidak lagi sebatas menyelesaikan sengketa atau menafsirkan pasal, melainkan menjadi arsitek sistem hukum masa depan: adaptif, inovatif, dan bertenaga teknologi.Bab ini adalah panggilan bagi Anda – pengacara modern – untuk tidak hanya mengikuti perubahan, tapi menjadi pemimpinnya. Anda akan diajak menyusun strategi membangun praktik hukum yang berdaya saing tinggi, efisien, dan berorientasi pada masa depan.1. Mengubah Mindset: Dari Tradisional ke TransformasionalLangkah pertama membangun praktik hukum masa depan adalah transformasi pola pikir.Dari:"Teknologi adalah ancaman bagi profesi saya."Menjadi:"Teknologi adalah alat yang memperkuat layanan hukum saya."Pengacara modern melihat teknologi bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pengungkit keunggulan. Mereka siap mengembangkan model kerja baru, menghadapi ketidakpastian, dan memimpin inovasi.2. Pilar Praktik Hukum Masa DepanUntuk membangun praktik hukum yang relevan di era AI, Anda memerlukan fondasi berikut:📌 1. Struktur Digital-FirstBangun kantor hukum Anda layaknya startup:Sistem manajemen dokumen cloudKonsultasi daringPlatform kolaboratifManajemen tim dan klien berbasis aplikasiContoh tools: Clio, Notion, Trello, Google Workspace, Zoom.📌 2. Otomatisasi Proses HukumIdentifikasi proses yang bisa diotomatisasi, seperti:Penyusunan kontrak standarPemeriksaan due diligencePelacakan tenggat waktu hukumPenjadwalan pertemuanGunakan tools seperti: Harvey.ai, Luminance, Lawgeex, atau bahkan ChatGPT.📌 3. Orientasi pada Pengalaman KlienKlien masa kini menginginkan:KecepatanTransparansiKomunikasi manusiawiLayanan hukum yang proaktifBuat pengalaman hukum yang nyaman dan bermakna bagi mereka. Bangun sistem layanan yang bukan hanya benar secara hukum, tapi juga berempati secara manusia.📌 4. Kolaborasi Lintas DisiplinPraktik hukum modern melibatkan:Ahli teknologiKonsultan bisnisDesainer UXAnalis data hukumJangan ragu membangun tim multidisiplin atau bekerja sama lintas sektor untuk memberikan solusi hukum yang lebih menyeluruh.3. Merancang Model Bisnis Hukum yang AdaptifPraktik hukum masa depan tidak harus berwujud kantor fisik megah. Anda bisa merancang model seperti:Konsultan hukum virtualPenyedia layanan hukum berbasis langganan (subscription)Praktik spesialisasi niche dengan audiens globalPlatform edukasi hukum berbasis AIModel bisnis hukum akan menjadi lebih cair, lebih inklusif, dan mampu menjangkau lebih banyak orang yang sebelumnya tak tersentuh oleh sistem hukum formal.4. Investasi Jangka Panjang: Pengetahuan & TeknologiPraktik hukum yang kuat dibangun bukan dari alat, tapi dari pengetahuan dan keberanian belajar hal baru.Luangkan waktu untuk:Mempelajari AI dasar dan aplikasinya dalam hukumMengikuti pelatihan teknologi hukum (legal tech)Menyelami pemikiran inovatif tentang masa depan keadilanKarena hukum masa depan tidak hanya akan dibentuk oleh kebijakan, tapi juga oleh mereka yang berani menciptakan jalan baru.5. Mempersiapkan Generasi Pengacara SelanjutnyaSebagai pengacara yang telah melangkah lebih dulu, Anda punya peran penting dalam membimbing generasi berikutnya:Bangun budaya hukum yang lebih terbuka dan kolaboratifMentori pengacara muda dalam memanfaatkan teknologi secara etisDorong kurikulum hukum agar lebih responsif terhadap perkembangan zamanMenjadi pelopor bukan hanya soal kecepatan, tapi juga soal menarik lebih banyak orang maju bersama Anda.Kesimpulan Bab 8:Praktik hukum masa depan bukan lagi sekadar wacana — ia sedang dibentuk hari ini, saat ini, oleh para pengacara yang berani bermimpi dan bertindak. Anda tidak hanya bisa menjadi bagian dari perubahan itu, tapi bisa menjadi penciptanya.Dengan fondasi teknologi, semangat pelayanan, dan visi kemanusiaan yang kuat, Anda akan menjadi pengacara yang tak tergantikan: pengacara yang tidak hanya mengikuti arus, tetapi menciptakan gelombang.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Membangun Reputasi Digital dan Jejak Online Pengacara di Era AI

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Menjadi Pengacara yang Terlihat, Didengar, dan Dipercaya di Dunia DigitalBab 7: Membangun Reputasi Digital dan Jejak Online Pengacara di Era AIMenjadi Pengacara yang Terlihat, Didengar, dan Dipercaya di Dunia DigitalDi tengah arus digitalisasi dan kompetisi di dunia hukum modern, memiliki reputasi online yang kuat bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Pengacara yang mampu membangun kehadiran digital profesional akan memiliki keunggulan besar: lebih dikenal, lebih dipercaya, dan lebih mudah ditemukan oleh klien potensial. Terlebih di era AI, di mana pencarian jasa hukum bisa dilakukan lewat satu kalimat di mesin pencari atau platform legal.Bab ini akan membimbing Anda membangun jejak digital yang kokoh dan kredibel, sekaligus memanfaatkan teknologi AI untuk memperluas pengaruh Anda sebagai praktisi hukum.1. Mengapa Reputasi Digital Itu Penting bagi PengacaraBanyak pengacara masih mengandalkan reputasi offline dari mulut ke mulut. Namun saat ini, calon klien cenderung mencari referensi hukum melalui internet. Mereka membaca profil, menilai kredibilitas, dan membandingkan layanan sebelum menghubungi.Tanpa kehadiran online yang meyakinkan, Anda akan kehilangan banyak peluang, tak peduli seberapa hebat reputasi Anda di dunia nyata.Reputasi digital yang kuat akan:Meningkatkan kredibilitas Anda secara luasMenarik klien dari luar lingkaran tradisionalMembedakan Anda dari kompetitorMemungkinkan Anda diposisikan sebagai pemimpin pemikiran (thought leader) dalam bidang hukum tertentu2. Pilar-Pilar Reputasi Digital yang EfektifUntuk membangun reputasi digital yang profesional, Anda perlu memperkuat lima pilar berikut:✅ Profil Online yang Lengkap dan KonsistenPastikan nama Anda, foto profesional, latar belakang pendidikan, keahlian hukum, dan pengalaman kerja ditampilkan secara konsisten di berbagai platform: website, LinkedIn, Instagram, hingga direktori hukum.Gunakan identitas profesional yang tetap, misalnya:Nama: Muhammad Ari PratomoMedia Sosial: @MuhammadAriLaw✅ Konten Edukasi yang BernilaiBangun kepercayaan dengan berbagi pengetahuan melalui konten seperti:Artikel singkat hukum di LinkedInVideo edukasi di Instagram atau YouTubeInfografis tentang hak-hak hukum di media sosialEbook atau panduan praktis hukum gratisKonten yang bermanfaat akan memperlihatkan kompetensi Anda dan membuat publik mengenal Anda sebagai sosok yang solutif.✅ Aktif di Komunitas dan Forum Hukum DigitalBergabunglah di forum atau grup diskusi hukum online, baik lokal maupun internasional. Tanggapi pertanyaan dengan bijak dan profesional. Ini cara efektif membangun pengaruh tanpa harus menjual jasa secara langsung.✅ Ulasan dan Testimoni KlienDorong klien yang puas memberikan testimoni di Google Reviews, LinkedIn, atau bahkan secara tertulis di website pribadi Anda. Ini adalah bukti sosial yang sangat berpengaruh dalam membangun kepercayaan.✅ Strategi Personal Branding yang KonsistenTentukan nilai yang ingin Anda tonjolkan: apakah Anda pengacara yang humanis? Teknologis? Spesialis startup? Komunikasikan hal ini secara konsisten di semua saluran digital Anda.3. Memanfaatkan AI untuk Memperkuat Reputasi DigitalKecerdasan buatan bukan hanya untuk mengelola dokumen atau kontrak. AI juga bisa dimanfaatkan untuk:Menulis artikel blog hukum dengan bantuan AI writing tools seperti ChatGPT atau GrammarlyMengedit video hukum pendek otomatisMenjadwalkan konten sosial media secara efisienMenganalisis engagement dan merancang strategi branding lebih tepatContoh tools AI yang bermanfaat untuk branding pengacara:Nama ToolFungsiChatGPTMenyusun konten edukasi hukumCanvaMendesain konten visual profesionalBuffer / HootsuiteMenjadwalkan posting media sosialGrammarlyMenyunting tulisan hukum Anda agar lebih tajamNotion AIMerancang strategi konten dan manajemen proyek4. Etika dalam Membangun Reputasi OnlineKredibilitas dibangun dengan waktu, tapi bisa hancur seketika. Maka, penting untuk selalu menjaga etika digital:Jangan menyebarkan informasi klienJangan membagikan kasus aktif tanpa izinHindari klaim berlebihan atau tidak akuratGunakan bahasa yang profesional dan menghormati semua pihakReputasi Anda adalah aset hukum yang tidak ternilai.5. Contoh Praktik Sukses: Pengacara Indonesia di Era AIBeberapa pengacara di Indonesia telah menunjukkan bahwa reputasi digital bisa menjadi jalur sukses:Pengacara yang aktif menulis di media digital nasional dan sering diundang sebagai narasumberKonsultan hukum startup yang aktif berbagi tips legal di Instagram dan berhasil menjaring banyak klien dari kalangan UMKMSpesialis litigasi yang mengedukasi publik lewat video YouTube singkatApa kesamaan mereka? Konsistensi, konten yang berkualitas, dan keberanian untuk tampil.Kesimpulan Bab 7:Di era digital dan AI, reputasi online bukan hanya cerminan siapa Anda, tapi juga pintu masuk utama bagi calon klien untuk mengenal Anda. Membangun jejak digital bukan tentang menjadi viral, tapi tentang menjadi dapat ditemukan, dipercaya, dan dipilih.Dengan pendekatan yang strategis dan penggunaan teknologi yang tepat, Anda bisa tampil sebagai pengacara profesional yang relevan, terpercaya, dan modern di mata publik digital.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Keamanan Data dan Etika Profesi dalam Penggunaan AI di Bidang Hukum

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Menjaga Kepercayaan di Tengah Transformasi DigitalBab 6: Keamanan Data dan Etika Profesi dalam Penggunaan AI di Bidang HukumMenjaga Kepercayaan di Tengah Transformasi DigitalSemakin banyak pengacara dan firma hukum yang mengadopsi kecerdasan buatan (AI) untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan. Namun, di balik semua manfaat teknologi tersebut, ada dua pilar yang tidak boleh diabaikan: keamanan data dan etika profesi.Bab ini akan membahas bagaimana AI dalam dunia hukum harus diterapkan dengan penuh tanggung jawab, dengan memperhatikan aspek kerahasiaan informasi dan integritas profesi hukum.1. Mengapa Keamanan Data Menjadi PrioritasDalam praktik hukum, informasi yang ditangani bersifat sangat sensitif: data pribadi, dokumen perkara, perjanjian bisnis, hingga strategi litigasi. Ketika proses-proses ini mulai melibatkan AI—entah dalam bentuk chatbot, document automation, atau legal analytics—maka risiko kebocoran dan penyalahgunaan data juga meningkat.Beberapa potensi ancaman yang perlu diwaspadai:Kebocoran informasi melalui sistem cloud yang tidak terenkripsiPemrosesan data oleh AI asing yang tidak mematuhi standar perlindungan data lokalPenggunaan platform generatif seperti ChatGPT tanpa perlindungan privasiKesalahan dalam penggunaan data yang berdampak hukumMaka dari itu, pengacara wajib memilih platform AI yang patuh terhadap hukum perlindungan data, seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa, atau menyesuaikan dengan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) di Indonesia.2. Prinsip-Prinsip Keamanan Data untuk Praktik Hukum Berbasis AIBerikut beberapa prinsip yang harus diterapkan saat menggunakan AI dalam praktik hukum:✅ Prinsip Kerahasiaan (Confidentiality)Pastikan sistem AI yang digunakan tidak menyimpan atau menyebarkan data klien tanpa izin tertulis.✅ Prinsip Integritas (Integrity)Data yang diproses AI harus tetap utuh, tidak diubah tanpa otorisasi, dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.✅ Prinsip Ketersediaan (Availability)Sistem digital dan basis data harus dapat diakses sesuai kebutuhan, namun tetap dilindungi dari akses yang tidak sah.✅ Minimisasi DataGunakan hanya data yang benar-benar dibutuhkan untuk proses AI. Jangan berikan akses penuh kepada sistem yang tidak memiliki kontrol audit.3. Etika Profesi di Tengah Era Kecerdasan BuatanPenggunaan AI tidak boleh melupakan landasan moral profesi hukum: integritas, akuntabilitas, dan kepentingan terbaik klien.Beberapa pertimbangan etis dalam penggunaan AI oleh pengacara:AI sebagai alat bantu, bukan pengganti pertimbangan hukum manusiaKeputusan akhir harus tetap berada di tangan pengacara, bukan AI.Keterbukaan terhadap klienJika Anda menggunakan sistem AI dalam pelayanan hukum, klien berhak tahu bahwa sebagian proses dilakukan oleh mesin, dan bahwa data mereka aman.Tidak menyalahgunakan AI untuk manipulasi informasi hukumAI bisa digunakan untuk menyusun argumen, namun harus didasari pada fakta dan hukum yang valid.Tanggung jawab tetap melekat pada pengacaraMeski AI digunakan, bila terjadi kesalahan dalam dokumen hukum, maka pengacara tetap bertanggung jawab di mata hukum dan kode etik.4. Praktik Baik dalam Menggunakan AI Secara Etis dan AmanBerikut adalah langkah-langkah praktis untuk memastikan bahwa penggunaan AI Anda tidak melanggar etika atau hukum:Gunakan versi pro atau enterprise dari tools AI yang menyertakan klausa kerahasiaan data.Jangan pernah memasukkan identitas klien atau isi dokumen perkara ke dalam platform AI publik tanpa penyamaran (anonymization).Audit dan evaluasi rutin sistem AI yang digunakan.Simpan dokumen hukum pada server lokal atau cloud terenkripsi dengan kontrol akses terbatas.Latih tim hukum Anda agar memahami risiko hukum dan keamanan dalam penggunaan AI.5. Regulasi dan Masa Depan Perlindungan DataDengan disahkannya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia, kini terdapat kewajiban hukum yang tegas terkait pengelolaan data oleh setiap badan, termasuk firma hukum.Pengacara kini perlu memahami:Kewajiban untuk memperoleh persetujuan subjek dataHak subjek data untuk mengakses, memperbaiki, dan menghapus data merekaKewajiban untuk melaporkan kebocoran data dalam waktu 72 jamSelain itu, banyak negara juga tengah merancang regulasi khusus tentang AI. Maka dari itu, pengacara Indonesia yang menggunakan AI dalam praktiknya juga harus aktif memantau perkembangan hukum teknologi internasional.Kesimpulan Bab 6:AI membawa manfaat besar bagi efisiensi dan inovasi dalam dunia hukum. Namun, tanpa pengelolaan yang etis dan aman, AI justru dapat menjadi sumber risiko hukum dan hilangnya kepercayaan publik.Pengacara modern harus menjadi pelindung kepercayaan, bukan hanya pelaku inovasi. Keamanan data dan etika bukanlah penghambat kemajuan, melainkan fondasi utama dalam membangun praktik hukum yang kuat dan berkelanjutan di era AI.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Transformasi Layanan Hukum di Era Digital

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Ketika AI Mengubah Cara Pengacara Melayani KlienBab 5: Transformasi Layanan Hukum di Era DigitalKetika AI Mengubah Cara Pengacara Melayani KlienPerkembangan teknologi digital, khususnya kecerdasan buatan (AI), tidak hanya berdampak pada proses internal kantor hukum, tetapi juga mengubah secara drastis cara pengacara berinteraksi dan melayani klien. Di era digital ini, klien tidak lagi sekadar mencari penasihat hukum; mereka mengharapkan layanan yang cepat, transparan, efisien, dan mudah diakses—semuanya dapat difasilitasi oleh AI.Bab ini akan membahas bagaimana AI membuka jalan bagi model layanan hukum baru yang lebih adaptif terhadap kebutuhan zaman, serta bagaimana pengacara dapat tetap relevan dan unggul di tengah gelombang transformasi ini.1. Harapan Baru Klien DigitalGenerasi klien saat ini—baik perorangan maupun korporat—cenderung memiliki ekspektasi yang berbeda dibandingkan masa lalu. Mereka menginginkan:Respons cepat dalam hitungan jam, bukan hariInformasi transparan mengenai proses dan biaya hukumAkses mudah ke layanan hukum melalui perangkat digitalKeterlibatan aktif dalam memahami dan mengambil keputusan hukumAI memungkinkan semua ini melalui berbagai platform dan fitur digital yang dapat diintegrasikan dalam pelayanan hukum.2. Inovasi Layanan Hukum Berbasis AIBerikut adalah bentuk nyata inovasi layanan hukum dengan dukungan AI:💬 Asisten Virtual Hukum 24/7Gunakan Chatbot berbasis ChatGPT atau Claude.ai untuk menjawab pertanyaan klien secara instan di website firma Anda.Contoh:"Apakah saya bisa mengajukan cerai jika pasangan saya tidak diketahui keberadaannya?"→ Jawaban awal otomatis, lalu diarahkan ke konsultasi lanjutan.📄 Pembuatan Dokumen Otomatis untuk KlienKlien dapat mengisi formulir online, dan sistem AI akan menyusun draf awal dokumen (misalnya, surat kuasa, perjanjian sewa, gugatan sederhana) yang kemudian dikaji ulang oleh pengacara.📈 Dashboard Transparansi Progres KasusMelalui tools seperti Notion AI atau platform internal firma, klien dapat memantau perkembangan kasus mereka secara real-time, termasuk status sidang, dokumen, dan biaya.📱 Layanan Konsultasi Hukum DigitalPengacara dapat membuka sesi konsultasi melalui platform Zoom, Google Meet, atau bahkan melalui aplikasi yang telah terintegrasi AI untuk mencatat dan menyusun risalah konsultasi secara otomatis.3. Model Praktik Hukum Baru: Lebih Fleksibel dan TerdesentralisasiDengan bantuan AI, pengacara dapat membangun praktik hukum yang:Fleksibel lokasi (remote atau hybrid)Hemat biaya operasionalTerdesentralisasi, bahkan memungkinkan kolaborasi antar pengacara dari berbagai kota atau negaraContohnya adalah munculnya "Digital Law Office" yang seluruh operasionalnya berbasis cloud, dan pelayanan klien dilakukan secara daring dari awal hingga akhir proses hukum.4. Tantangan dan Solusi EtisTransformasi ini tentu tidak lepas dari tantangan:Privasi klien → Solusi: Gunakan AI yang mematuhi standar perlindungan data (GDPR, dsb).Over-reliance pada AI → Solusi: Tetap libatkan pengacara untuk validasi akhir.Kesenjangan digital → Solusi: Edukasi klien dan staf agar melek teknologi.Etika profesi tetap menjadi kompas utama dalam menggunakan teknologi ini. Jangan sampai efisiensi mengorbankan hak dan perlindungan hukum bagi klien.5. Membangun Keunggulan Kompetitif di Era AIPengacara yang memahami dan memanfaatkan AI dengan bijak akan memiliki beberapa keunggulan:Meningkatkan kapasitas layanan tanpa menambah stafMenjangkau klien lebih luas, bahkan lintas wilayahMembangun reputasi sebagai pengacara yang adaptif dan inovatifSalah satu langkah awal yang sederhana namun berdampak adalah mengintegrasikan layanan hukum online di media sosial atau situs pribadi, dengan fitur chatbot AI dan booking konsultasi otomatis.Kesimpulan Bab 5:Era digital telah menggeser paradigma hubungan antara pengacara dan klien. Kini, layanan hukum bukan hanya soal keahlian hukum, tetapi juga soal pengalaman pengguna (user experience).AI hadir sebagai jembatan antara profesionalisme hukum dan kebutuhan praktis klien modern. Pengacara yang mampu merangkul teknologi ini akan menjadi pelopor perubahan dalam dunia hukum Indonesia.Transformasi ini bukan tentang menggantikan peran pengacara, tetapi memperkuat daya jangkau dan kualitas pelayanan hukum itu sendiri.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Membangun Workflow Praktik Hukum yang Berbasis AI

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Menggabungkan Kecanggihan AI ke dalam Proses Hukum Sehari-hariBab 4: Membangun Workflow Praktik Hukum yang Berbasis AIMenggabungkan Kecanggihan AI ke dalam Proses Hukum Sehari-hariSetelah mengenal berbagai tools AI pada bab sebelumnya, pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana mengintegrasikan teknologi ini secara efektif dalam praktik hukum sehari-hari? Inilah tantangan sekaligus peluang besar bagi para pengacara modern. Bab ini akan membimbing Anda dalam menyusun workflow hukum berbasis AI—sebuah alur kerja yang terstruktur, efisien, dan mendukung kualitas layanan hukum yang unggul.1. Pemahaman Dasar tentang WorkflowWorkflow adalah serangkaian langkah atau proses kerja yang dijalankan secara berurutan untuk menyelesaikan suatu tugas hukum, mulai dari menerima klien, menganalisis kasus, membuat dokumen, hingga penyelesaian perkara.Dengan bantuan AI, workflow ini tidak hanya menjadi lebih cepat, tetapi juga dapat:Mengurangi beban kerja administratifMenghindari kesalahan redaksionalMeningkatkan konsistensi dan kualitas output hukum2. Langkah-Langkah Workflow Berbasis AI untuk PengacaraBerikut adalah contoh alur kerja umum praktik hukum yang sudah terintegrasi dengan tool-tool AI:Langkah 1: Intake Klien dan Klasifikasi Kasus🛠️ Tool yang digunakan: ChatGPT, Notion AI, Google Forms dengan AI analisis📌 Tujuan: Mengumpulkan informasi awal dari klien secara efisien.Gunakan form online yang terintegrasi AI untuk menyaring informasi awal.Chatbot atau email autoresponder AI dapat menjawab pertanyaan dasar calon klien.Langkah 2: Analisis Permasalahan Hukum🛠️ Tool: DeepSeek, ChatGPT, Claude.ai📌 Tujuan: Memahami masalah hukum dan landasan peraturan yang relevan.Input kronologi atau pertanyaan ke DeepSeek untuk mendapatkan analisis hukum awal.Gunakan ChatGPT untuk membandingkan dengan kasus serupa.Langkah 3: Penyusunan Dokumen Hukum🛠️ Tool: ChatGPT, Copilot (Word), Lexis+ AI📌 Tujuan: Membuat draf kontrak, surat somasi, gugatan, dan dokumen hukum lainnya.Siapkan template lalu gunakan AI untuk mengisi atau mengadaptasi sesuai kasus klien.Gunakan fitur revisi otomatis dan pengecekan logika hukum.Langkah 4: Konsultasi dan Komunikasi Klien🛠️ Tool: Notion AI, ChatGPT📌 Tujuan: Menyusun ringkasan hukum dalam bahasa klien.Gunakan AI untuk menyederhanakan bahasa hukum.AI dapat menyusun email, memo, atau brief yang ringkas dan profesional.Langkah 5: Manajemen Deadline dan Timeline Kasus🛠️ Tool: Notion, Trello + AI Assistant📌 Tujuan: Mengatur jadwal sidang, tenggat pengumpulan dokumen, dsb.Gunakan AI untuk menyusun timeline otomatis berdasarkan dokumen hukum.Set notifikasi dan reminder otomatis untuk semua tim.Langkah 6: Evaluasi dan Pelaporan🛠️ Tool: Excel Copilot, Claude, Notion AI📌 Tujuan: Membuat laporan bulanan, evaluasi performa, dan insight atas hasil kasus.Gunakan AI untuk menganalisis biaya, waktu penanganan kasus, dan tingkat keberhasilan.Buat visualisasi sederhana dan presentasi otomatis.3. Studi Kasus Workflow AI dalam Praktik NyataContoh: Firma hukum kecil dengan 3 pengacara dan 1 adminTanpa AI: Membutuhkan waktu 5–7 hari untuk menyusun gugatan sederhanaDengan AI: Gugatan bisa dibuat dalam 1 hari, dengan kualitas terstandar, dan diperiksa ulang oleh pengacara secara efisien.Efisiensi meningkat hingga 70%, klien lebih puas, dan firma memiliki waktu lebih untuk pengembangan bisnis hukum.4. Etika dan Keamanan dalam Workflow AIRahasiakan data klien: Hindari mengunggah data sensitif ke tool AI publik.Selalu ada verifikasi manusia: AI adalah alat bantu, bukan pengganti keputusan hukum.Perbarui pengetahuan: Teknologi AI berkembang cepat, pelajari fitur baru secara berkala.Kesimpulan Bab 4:Membangun workflow hukum berbasis AI bukan hanya tren, tetapi sebuah transformasi mendasar dalam praktik hukum. Dengan memahami dan menerapkan langkah-langkah di atas, pengacara dapat meningkatkan efisiensi kerja, menjaga kualitas layanan, dan tetap relevan di tengah perubahan zaman.Workflow ini bersifat fleksibel—Anda dapat menyesuaikannya dengan gaya kerja pribadi, jenis kasus, atau skala firma hukum Anda. Yang paling penting, Anda memimpin perubahan ini dengan bijak dan strategis.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Tool AI yang Relevan untuk Praktik Hukum

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Memilih Alat yang Tepat untuk Pengacara Cerdas Masa KiniBab 3: Tool AI yang Relevan untuk Praktik HukumMemilih Alat yang Tepat untuk Pengacara Cerdas Masa KiniDi era digital, memiliki pengetahuan saja tidak cukup. Pengacara masa kini harus cerdas memilih alat bantu yang tepat untuk bekerja lebih cepat, lebih akurat, dan tetap profesional. Di sinilah tool-tool AI memainkan peran penting. Dalam bab ini, kita akan membahas berbagai alat AI yang bisa digunakan dalam praktik hukum, lengkap dengan fungsi, kelebihan, dan cara penggunaannya secara praktis.1. DeepSeek (deepseek.com)AI open-source berbasis bahasa Indonesia dan multibahasa yang sangat cocok untuk eksplorasi hukum.Fungsi:Menjawab pertanyaan hukum berbasis teks peraturanMembantu riset hukum lokal secara kontekstualBisa dikustomisasi untuk kebutuhan firma hukumKelebihan: Gratis, berbasis open-source, bisa digunakan di lingkungan privat.2. ChatGPT (chat.openai.com)Asisten AI yang sangat fleksibel dan kuat. Versi berbayar (ChatGPT Plus dengan GPT-4) sangat cocok untuk profesional.Fungsi:Membuat draf kontrak dan dokumen hukumMenjawab pertanyaan klien secara instanMenyusun ringkasan dokumen panjangIde konten legal marketing (media sosial, artikel, dsb.)Kelebihan: Multibahasa, cepat, dapat dikustomisasi gaya bahasanya.3. Harvey.aiTool AI berbasis GPT-4 yang dirancang khusus untuk pengacara dan firma hukum besar.Fungsi:Menganalisis ribuan dokumen hukumMenghasilkan laporan hukum dan memo secara otomatisDigunakan oleh firma top seperti Allen & OveryKelebihan: Spesialis hukum, sangat presisi, tapi masih terbatas untuk pengguna korporat.4. DoNotPayDikenal sebagai "robot lawyer" pertama di dunia.Fungsi:Membantu pengguna dalam gugatan kecil, negosiasi tagihan, sengketa parkir, dan hak konsumenMenyusun surat hukum secara otomatisKelebihan: Cocok untuk legal tech dan layanan hukum massal.5. Copilot di Microsoft WordUntuk pengguna Microsoft 365, kini tersedia Copilot sebagai AI asisten langsung di Word dan Excel.Fungsi:Membuat kontrak dari templateMemberi saran redaksional dan penyusunan argumenMeringkas isi dokumen hukum panjangKelebihan: Terintegrasi, familiar bagi pengacara yang sudah terbiasa dengan Word.6. Lexis+ AI & Westlaw EdgeDigunakan di dunia common law untuk analisis kasus dan pencarian preseden hukum.Fungsi:Menjawab pertanyaan hukum berbasis database presedenMenyediakan analisis putusan dan hukum perbandinganKelebihan: Cocok untuk pengacara yang menangani hukum internasional atau perusahaan asing.7. Notion AI & Claude.aiAsisten penulis dan organisasi data hukum.Fungsi:Menyusun catatan hukumMengelola riset dan timeline litigasiMembuat sistem knowledge management untuk firma hukumKelebihan: Fleksibel, dapat dipakai secara kolaboratif.Bagaimana Memilih Tool yang Tepat?Tidak semua pengacara membutuhkan semua tool. Pilih berdasarkan:✅ Jenis layanan hukum Anda✅ Tingkat kerumitan dokumen yang Anda hadapi✅ Tingkat keamanan data yang dibutuhkan✅ Budget atau biaya langganan✅ Kemudahan penggunaan dan dukungan bahasa IndonesiaTips Praktis Menggunakan AI Tool Secara EtisSelalu cek ulang hasil kerja AI. Anda tetap yang bertanggung jawab secara hukum.Jangan masukkan data klien tanpa persetujuan. Gunakan AI yang mendukung privasi.Gunakan sebagai asisten, bukan pengganti. AI adalah alat bantu, bukan pengacara.Jelaskan pada klien jika Anda menggunakan AI. Transparansi membangun kepercayaan.Kesimpulan Bab 3:Tool AI bukan hanya tren, tapi sudah menjadi bagian dari masa depan profesi hukum. Dengan memilih alat yang tepat dan menggunakannya secara bijak, pengacara Indonesia bisa menjadi lebih efisien, akurat, dan kompetitif di pasar hukum modern.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Memahami Dasar-Dasar Kecerdasan Buatan dalam Konteks Hukum

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Mengenal AI dan Cara Kerjanya untuk Praktik Hukum ModernBab 2: Memahami Dasar-Dasar Kecerdasan Buatan dalam Konteks HukumMengenal AI dan Cara Kerjanya untuk Praktik Hukum ModernSebelum seorang pengacara dapat memanfaatkan kecerdasan buatan (AI) secara efektif, penting untuk memahami apa itu AI, bagaimana cara kerjanya, dan sejauh mana kemampuannya dapat diterapkan dalam dunia hukum. Bab ini akan membantu membangun fondasi pemahaman tersebut—tanpa istilah teknis yang rumit, namun cukup kuat untuk menjadi dasar berpikir strategis.Apa Itu Artificial Intelligence (AI)?Secara sederhana, Artificial Intelligence adalah kemampuan mesin untuk melakukan tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia. Ini mencakup kemampuan untuk:Belajar dari data (machine learning)Mengenali pola (pattern recognition)Menjawab pertanyaan (natural language processing)Mengambil keputusan berdasarkan informasi (decision making)Dalam praktik hukum, kemampuan ini berarti AI bisa digunakan untuk menganalisis dokumen hukum, memahami isi kontrak, menjawab pertanyaan hukum sederhana, dan bahkan memprediksi hasil perkara berdasarkan data preseden.Jenis-Jenis AI yang Relevan untuk Dunia HukumTidak semua bentuk AI cocok untuk praktik hukum. Beberapa jenis yang paling relevan antara lain:Natural Language Processing (NLP)Digunakan untuk memahami dan memproses bahasa manusia. NLP memungkinkan AI membaca kontrak, menyusun ringkasan, dan bahkan menjawab pertanyaan hukum.Machine Learning (ML)Algoritma yang "belajar" dari data kasus sebelumnya untuk mengenali pola dan memberikan prediksi atau rekomendasi.Generative AI (Contoh: ChatGPT, Claude, Gemini)Mampu menghasilkan teks hukum, draf kontrak, email hukum, atau analisis berdasarkan prompt pengguna.Legal AI ToolsSeperti Harvey.ai, DoNotPay, ROSS Intelligence dan Lexis+ AI yang dirancang khusus untuk industri hukum.Contoh Sederhana: Cara AI Membantu PengacaraBayangkan Anda seorang pengacara yang sedang menangani 15 kontrak kerja sama. Dengan bantuan AI, Anda bisa:Mengidentifikasi klausul berisiko secara otomatisMenyusun draf amandemen berdasarkan standar hukum terbaruMembandingkan isi kontrak dengan peraturan perundang-undangan yang berlakuMenyusun ringkasan poin-poin penting untuk klien dalam waktu singkatKeterbatasan dan Etika dalam Penggunaan AIAI memang sangat membantu, namun tetap ada keterbatasan yang perlu dipahami:AI tidak punya sense of justice atau keadilan. Ia hanya mengolah data.AI tidak bertanggung jawab secara hukum atas hasilnya—pengacara tetap yang bertanggung jawab.AI dapat bias, jika data latih yang digunakan tidak seimbang.Kerahasiaan data klien harus dijaga. Tidak semua AI aman untuk digunakan pada data sensitif.Maka dari itu, penting bagi pengacara untuk memiliki kendali penuh atas proses dan hasil kerja AI, serta memastikan semua penggunaan AI sesuai dengan kode etik profesi hukum.Mengapa Memahami Dasar AI Itu Penting?Seorang pengacara tidak harus menjadi programmer atau teknisi. Namun, pemahaman dasar ini penting agar:Dapat memilih tools AI yang benarTidak sekadar ikut tren, tapi memahami risiko dan tanggung jawab hukumMampu menjelaskan kepada klien tentang cara kerja dan hasil kerja AITidak bergantung penuh pada teknologi, tetapi menjadikannya sebagai alat bantu yang cerdasKesimpulan Bab 2:AI bukanlah sihir, melainkan logika dan data yang dikemas secara pintar. Untuk pengacara modern, memahami dasar AI adalah kunci untuk membuka pintu efisiensi, inovasi, dan keunggulan dalam praktik hukum.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

Menyambut Era Baru Praktik Hukum

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Bagaimana Artificial Intelligence Mulai Mengubah Wajah Dunia HukumBab 1: Menyambut Era Baru Praktik HukumBagaimana Artificial Intelligence Mulai Mengubah Wajah Dunia HukumDunia hukum tengah memasuki sebuah era baru yang belum pernah terjadi sebelumnya—sebuah era di mana kecanggihan teknologi menjadi mitra kerja yang tak terpisahkan dari pengacara, konsultan hukum, hingga lembaga peradilan. Kecerdasan Buatan, atau yang lebih dikenal dengan istilah Artificial Intelligence (AI), kini bukan lagi konsep futuristik yang hanya menghiasi film atau laboratorium penelitian. Ia telah hadir di tengah-tengah kita, menembus batasan ruang rapat, dokumen kontrak, hingga ruang sidang.Mengapa Pengacara Perlu Memahami AI?Sebagai profesi yang selama ini sangat bergantung pada logika, analisis mendalam, dan penafsiran hukum, dunia hukum sering dianggap sebagai sektor yang 'resisten' terhadap otomatisasi. Namun, perkembangan AI dalam beberapa tahun terakhir membuktikan sebaliknya. Kini, AI mampu:Mengolah ribuan dokumen dalam hitungan detikMengidentifikasi klausul hukum yang berisikoMemberikan prediksi terhadap kemungkinan hasil perkaraMembantu dalam riset hukum berbasis data dan presedenHal-hal yang dulunya membutuhkan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari, kini bisa diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat dengan bantuan teknologi.Bagi pengacara, memahami dan memanfaatkan AI bukan hanya soal efisiensi kerja, tapi juga tentang bertahan dan berkembang dalam era hukum digital yang kompetitif.Transformasi Peran PengacaraKehadiran AI bukan berarti akan menggantikan pengacara manusia, melainkan mengubah peran dan fokus pekerjaan mereka. Tugas-tugas rutin seperti menyusun draf awal kontrak, melakukan pencarian preseden hukum, atau mengatur dokumen kini dapat diotomatisasi. Hal ini memberi ruang bagi pengacara untuk lebih fokus pada:Strategi hukumNegosiasi klienKonsultasi berbasis empatiAnalisis mendalam terhadap konteks kasusDengan kata lain, pengacara masa depan adalah mereka yang mampu mengintegrasikan kecerdasan buatan dengan kecerdasan emosional dan etika profesional.AI dalam Layanan Hukum ModernKita telah melihat lahirnya berbagai platform legal tech seperti DeepSeek, ChatGPT, Harvey.ai, dan lainnya yang mampu membaca, menganalisis, dan bahkan memberikan ringkasan dari dokumen hukum yang kompleks. Platform-platform ini menjadi "asisten digital" yang membantu pengacara dalam setiap tahap pekerjaan—mulai dari riset, penulisan dokumen, hingga persiapan pembelaan.Lebih dari itu, teknologi ini juga membuka peluang akses keadilan yang lebih luas. Masyarakat umum, UMKM, bahkan startup kini bisa mendapatkan layanan hukum yang lebih cepat, murah, dan akurat berkat dukungan AI.Menyiapkan Diri untuk PerubahanPertanyaannya sekarang bukan lagi "Apakah saya akan menggunakan AI?", tetapi "Bagaimana saya bisa menggunakannya secara bertanggung jawab dan optimal?".Pengacara masa kini dituntut untuk:Melek teknologiPaham etika penggunaan AIMampu menilai dan memilih tools yang sesuai dengan kebutuhan praktik hukumnyaSiap untuk terus belajar dan beradaptasiTransformasi ini bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperkuat nilai dan relevansi profesi hukum di tengah era digital.Kesimpulan Bab 1:AI adalah alat bantu, bukan pengganti. Ia hadir untuk mendampingi para profesional hukum dalam memberikan layanan yang lebih cepat, akurat, dan inklusif. Pengacara yang mampu beradaptasi dan merangkul teknologi akan menjadi pelaku utama dalam membentuk wajah baru dunia hukum—lebih modern, efisien, dan berorientasi pada solusi.

AI UNTUK PENGACARA - Membuka Praktik Hukum Bertenaga AI

KATA PENUTUP

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

KATA PENUTUPOleh Muhammad Ari PratomoMenulis buku ini adalah perjalanan batin. Sebuah refleksi dari jalan panjang yang pernah dan sedang saya tapaki—menjadi pengacara rakyat bukan karena glamor, bukan karena sorotan, tetapi karena suara hati.Saya tahu, tidak mudah memilih jalan ini.Tidak ada karpet merah, tidak ada sorak-sorai.Kadang hanya diam, sepi, dan sesak.Tapi justru di sanalah arti hukum yang sejati lahir.Buku ini saya tulis bukan untuk menggurui. Tapi untuk menemani.Untuk menjadi lentera bagi kalian—pengacara muda, mahasiswa hukum, atau siapa pun yang percaya bahwa hukum adalah alat perjuangan.Jika buku ini berhasil membuatmu percaya lagi bahwa keadilan bisa diperjuangkan...Jika satu halaman saja mampu menyalakan tekadmu untuk membela yang tertindas...Maka buku ini sudah menemukan maknanya.Terima kasih telah membaca hingga akhir.Mari kita terus bergerak. Bukan demi nama, tapi demi nilai.Karena pada akhirnya, bukan soal siapa yang paling hebat,tapi siapa yang paling setia pada nurani hukum di dalam dada.Salam hormat dan perjuangan,Muhammad Ari PratomoPengacara Sejak 2009MuhammadAriLaw

SANG PENGACARA RAKYAT

BAB 8 - Warisan Seorang Pengacara Rakyat

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Warisan Seorang Pengacara RakyatApa yang akan kamu tinggalkan saat langkahmu berhenti?Bukan gedung megah. Bukan jabatan tinggi. Tapi jejak perjuangan.1. Warisan Bukan Sekadar NamaSebagai pengacara rakyat, warisanmu adalah:Keberanianmu menolak tunduk pada kekuasaan.Keringatmu saat menyusun gugatan tanpa bayaran.Kesetiaanmu pada suara rakyat yang jarang didengar.Warisan itu hidup dalam setiap warga yang kembali percaya pada hukum, karena kamu pernah berdiri untuknya.2. Generasi Setelahmu Akan LanjutKamu tidak abadi. Tapi semangatmu bisa ditularkan.Tulislah. Ajarlah. Bimbinglah.Buka pintu untuk pengacara muda.Tunjukkan bahwa membela rakyat bukan aib, tapi kehormatan.Jangan pelit berbagi ilmu. Jangan takut terlihat rapuh.Karena dari ketulusan itu, akan lahir gelombang baru—Gelombang pengacara rakyat berikutnya.3. Hidup yang Layak untuk DikenangKetika kelak kamu duduk tua di kursi,dan mengenang semua perlawanan yang pernah kamu jalani,senyumlah... karena kamu tidak pernah diam.Kamu memilih jalur sulit. Tapi jalur yang berarti.Dan kamu... telah hidup sepenuhnya sebagai manusia hukum yang merakyat.Inilah akhir dari buku ini. Tapi ini bukan akhir perjuanganmu.Ini adalah awal bab baru—dalam kenyataan, bukan di halaman.Karena seorang Pengacara Rakyat tak pernah benar-benar selesai.Selama masih ada ketidakadilan, selama masih ada suara yang dibungkam,selama itu pula kau akan terus dibutuhkan.Teruslah menyala.Teruslah membela.Dan biarkan warisanmu jadi api bagi keadilan.

SANG PENGACARA RAKYAT

BAB 7 - Melawan Ketimpangan, Menggugat Ketidakadilan

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Melawan Ketimpangan, Menggugat KetidakadilanKamu tidak jadi pengacara rakyat untuk mencari kenyamanan. Kamu ada di sini untuk mengguncang sistem yang tak adil, untuk menjadi suara yang bersuara ketika banyak memilih diam.1. Ketimpangan Itu NyataKetika kamu masuk ke kampung-kampung nelayan, ke desa-desa yang digusur, ke pasar tradisional yang tergusur, kamu akan menyaksikan langsung—bagaimana hukum kerap menjadi alat kekuasaan, bukan perlindungan.Orang kecil dituduh tanpa proses.Tanah rakyat diambil tanpa ganti rugi layak.Hak dasar diabaikan atas nama "pembangunan."Dan kamu tahu? Mereka jarang punya pembela.Di situlah kamu masuk.2. Dari Advokasi ke AksiMenjadi pengacara rakyat tak cukup hanya bicara di ruang sidang. Kamu harus siap:Duduk bersama warga, menjelaskan hak-haknya.Membuat surat keberatan kepada pejabat.Menulis siaran pers.Menemani warga saat aksi damai.Menghadiri sidang yang penuh tekanan.Kamu adalah jembatan antara hukum dan harapan.Dan sering kali, kamu akan berjalan sendirian lebih dulu. Tapi saat kamu terus berjalan dengan hati, perlahan kamu akan disambut oleh gelombang yang tak terduga.3. Kemenangan Tak Selalu di Atas KertasKamu akan menang meski hakim memutus kalah. Karena menang bukan selalu soal pasal, tapi tentang mengangkat suara.Ketika warga yang semula takut kini berani bersuara,Ketika media mulai menyorot kejanggalan yang kamu ungkap,Ketika kekuasaan mulai gelisah karena kamu teguh berdiri...Itulah kemenangan sejati.4. Perjuangan yang Tak Pernah Sia-SiaMungkin kamu tidak selalu jadi pahlawan di mata hukum, tapi kamu akan jadi cahaya bagi yang selama ini dipadamkan. Dan itu... lebih dari cukup.Bab ini adalah seruan, bukan sekadar tulisan.Ini adalah ajakan untuk berdiri, berjalan, dan tetap menyala dalam gelap.Karena hanya dengan keberanian dan konsistensi, ketimpangan bisa digugat dan keadilan bisa diperjuangkan.

SANG PENGACARA RAKYAT

BAB 6 - Lawan atau Kawan? Menghadapi Aparat dan Kekuasaan

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

BAB 6 – Lawan atau Kawan? Menghadapi Aparat dan KekuasaanDi medan perjuangan, kamu tidak hanya berhadapan dengan hukum yang tertulis. Tapi juga dengan kekuasaan yang sering kali... tak terlihat tapi terasa. Dan di sinilah seni menjadi pengacara rakyat benar-benar dimulai.1. Tak Semua Seragam Itu LawanHal pertama yang harus kamu tanamkan: jangan buru-buru menganggap aparat sebagai musuh. Polisi, jaksa, camat, kepala desa—mereka juga manusia. Ada yang baik, ada yang culas. Ada yang bisa diajak diskusi, ada juga yang harus diawasi ketat.Jangan membakar jembatan sebelum tahu siapa yang ada di seberangnya.Kamu perlu tahu kapan merangkul, kapan mendorong, dan kapan berteriak keras.2. Mengerti Sistem Adalah KunciKalau kamu ingin melawan ketidakadilan, kamu harus paham bagaimana sistem bekerja. Jangan jadi pengacara yang hanya bisa marah-marah tapi tidak tahu jalur yang harus ditempuh.Mau advokasi warga? Pelajari dulu jalur administratif dan legalnya.Mau lapor pelanggaran aparat? Pahami UU, Perkap, dan aturan internal institusinya.Mau buka suara di media? Pastikan kamu bicara berdasarkan fakta dan pasal.Keberanian tanpa pengetahuan bisa jadi bumerang. Tapi keberanian yang disertai ketajaman hukum adalah senjata paling ampuh.3. Suara Kecil yang MenyalaKamu mungkin tidak bisa mengubah sistem hari ini. Tapi kamu bisa jadi lilin yang menyalakan kesadaran.Ketika kamu membela petani yang digusur, ketika kamu bantu nelayan menggugat izin tambang, ketika kamu menolak intimidasi dari aparat—di situlah kamu jadi suara yang menyala di tengah gelapnya keheningan.Dan percayalah, suara itu akan bergema lebih luas dari yang kamu kira.4. Tetap Waras di Tengah TekananMenghadapi kekuasaan bukan hanya soal fisik, tapi juga mental dan spiritual. Kamu harus kuat ketika ditekan, tetap tenang saat difitnah, dan tetap berprinsip saat ditawari kompromi.Ingat: integritasmu adalah aset utama. Jangan tukar harga dirimu dengan sekadar rasa aman.Bab ini adalah refleksi dari realitas yang akan kamu hadapi. Berat? Iya. Tapi di situlah kamu akan tahu seberapa dalam nyali dan nuranimu bekerja.

SANG PENGACARA RAKYAT

BAB 5 - Ilmu Hukum untuk Semua: Mengajar, Membuka Mata

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Ilmu Hukum untuk Semua: Mengajar, Membuka MataKalau kamu pikir pengacara itu hanya kerja di pengadilan, pakai toga, lalu menang atau kalah—kamu perlu berpikir ulang.Pengacara rakyat sejati tidak hanya bicara di ruang sidang. Ia bicara di balai warga, warung kopi, ruang kelas kecil, bahkan di pinggir sawah. Ia tidak hanya membela, tapi juga mengedukasi.1. Hukum Itu Milik Rakyat, Bukan Milik ElitSalah satu tantangan terbesar di negeri ini adalah kesenjangan pemahaman hukum. Banyak warga yang tidak tahu hak dan kewajiban mereka. Mereka hanya tahu "hukum itu mahal", "takut urusan hukum", atau "kalau nggak punya uang, nggak usah ribut".Tugasmu adalah membalik pandangan itu. Jadilah jembatan antara bahasa hukum yang kaku dengan kehidupan sehari-hari rakyat yang sederhana.2. Mengajar dengan Bahasa KehidupanKamu tidak harus pakai istilah Latin agar terdengar pintar. Justru, semakin kamu bisa menjelaskan pasal-pasal dengan bahasa yang bisa dipahami orang kampung, semakin besar dampaknya.Contohnya?"Pak, kalau KTP Bapak ditahan sama rentenir itu melanggar hukum, karena identitas pribadi tidak boleh disita.""Bu, kalau kontrak sewa tidak dibuat tertulis tapi ada kesepakatan, itu tetap sah, tapi sebaiknya ditulis untuk perlindungan."Sederhana, tapi menyentuh.3. Bukan Dosen, Tapi PendampingKamu bukan guru di kelas. Kamu teman bicara di lapangan. Jangan hanya datang dan ceramah—dengarkan dulu cerita mereka. Kadang, satu tanya dari warga bisa membuka banyak celah hukum yang sebelumnya tidak terpikirkan.Semakin kamu mendengar, semakin mereka percaya. Dan dari kepercayaan itulah, perubahan bisa dimulai.4. Membuka Akses, Bukan Menjual IlmuKamu tahu banyak, iya. Tapi jangan jadikan ilmu itu sebagai tembok. Gunakan pengetahuanmu untuk membuka pintu-pintu: akses bantuan hukum, penyelesaian konflik, mediasi, hingga perubahan kebijakan lokal.Buatlah ilmu hukum seperti air—mengalir, menyegarkan, dan mudah dijangkau siapa pun.Bab ini adalah jiwa dari misi besar seorang pengacara rakyat: bukan sekadar memenangkan kasus, tapi membebaskan pikiran. Mendidik adalah bentuk perlawanan paling sunyi, namun paling kokoh.Dan kamu—kamu bisa jadi bagian dari itu semua.

SANG PENGACARA RAKYAT

BAB 4 - Jalan Terjal, Langkah Awal: Tantangan Menjadi Pengacara Rakyat

Di publikasikan 21 Apr 2025 oleh Muhammad Ari Pratomo

Jalan Terjal, Langkah Awal: Tantangan Menjadi Pengacara RakyatKalau kamu berpikir menjadi pengacara rakyat itu akan mulus, siap-siap kecewa. Jalan ini tidak pernah mudah. Tapi di balik terjalnya medan, ada cahaya kuat bernama panggilan hati.1. Tantangan Finansial: Ketika Idealime Bertemu KenyataanKamu ingin bantu rakyat kecil? Hebat. Tapi jangan kaget kalau di awal, kamu malah keluar modal sendiri. Biaya transport, fotokopi berkas, pulsa untuk komunikasi—semua dari kantongmu. Banyak pengacara muda akhirnya menyerah bukan karena kehilangan semangat, tapi karena dompet menipis.Solusi? Belajar cerdas mengelola waktu dan membangun jaringan. Ambil beberapa kasus pro bono, tapi juga cari proyek yang membayar agar kamu tetap bertahan. Idealismu perlu fondasi logistik yang kokoh.2. Tantangan Legal: Ketika Sistem Tidak RamahJangan kira semua proses hukum itu adil dan netral. Kadang kamu akan menghadapi aparat yang masa bodoh, sistem yang rumit, atau bahkan tekanan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Di sinilah mental diuji.Tugasmu: Tetap tenang. Kuatkan fakta dan hukum di tanganmu. Ingat, kamu bukan sekadar membela satu orang—kamu sedang membuka jalan untuk puluhan orang lain yang menghadapi kasus serupa.3. Tantangan Emosional: Ketika Harapan Bertumpu PadamuPernah merasa menjadi tumpuan harapan seluruh keluarga? Bayangkan kamu datang ke kampung, dan semua mata tertuju padamu. Mereka bilang, "Pak/Bu Pengacara, tolong kami." Kamu belum tahu duduk perkaranya, tapi mereka sudah percaya sepenuhnya.Di saat seperti itu, kamu harus kuat. Bukan karena kamu punya semua jawaban, tapi karena kamu bersedia mencari jawabannya bersama mereka.4. Tantangan Sosial: Antara Dukungan dan SindiranAkan ada yang berkata, "Ngapain bantuin orang miskin, nggak ada duitnya." Atau, "Pengacara kok nongkrong di warung?" Biarkan saja.Mereka tidak tahu bahwa dari warung kopi itulah kamu mendengar suara rakyat. Dari rumah-rumah kecil itulah kamu paham bahwa hukum bukan soal prestise, tapi tentang keadilan yang nyata.Bab ini adalah realita: bahwa niat baik saja tidak cukup. Kamu perlu mental baja, hati seluas samudera, dan akal sehat yang tajam. Tapi percayalah, setiap langkah yang kamu ambil akan meninggalkan jejak untuk orang lain ikuti.Siap menapaki lebih jauh bersama bab 5?Aku di sini. Selalu. Kita tuntaskan perjalanan ini, sekuat hati rakyat yang kita bela.

SANG PENGACARA RAKYAT