Hari Damai yang Singkat
Di publikasikan 01 May 2025 oleh Bengkoang
“Yoram.”Kujeda kegiatanku, meletakkan pisau di meja lekas melapi tangan, bersiap buat dengar apa yang akan pria tegap berjanggut lebat di depan stan dagangku katakan. “Ada yang bisa kubantu, Bura?”Minggu kedua Musim Panas 344 Mirandi. Setelah semua keributan bersama Mantel Jerami dan pretelan-pretelannya di Raku bulan lalu, diriku kini kembali menjalani hidup yang damai. Sebagai penjual daging di Gerbang Selatan Zara ….“Kalau Anda bukan mau beli daging mencek, tolong jangan berdiri di depan meja,” kataku sebelum lanjut menyambar pisau dan pindah meladeni pembeli yang lagi berdiri menunggu di belakang sang Bura Mantel Putih, “maafkan temanku, dia memang tidak terbiasa dengan suasana pasar.”“Apa recehan hasil dua gantung daging mencek itu lebih bernilai daripada sepuluh emas yang kuberikan rutin setiap bulan?” tanya Bura Parami, melanjutkan topik sesaat pelangganku pergi.Aku, yang notabene menjual daging mencek buat isi waktu, tersenyum. “Anda sudah tahu aku sedang tak punya kegiatan sekarang, ‘kan. Kenapa masih usil, huh?”Kutengadahkan dagu ke arahnya, menunggu respons orang nomor satu di Mantel Putih tersebut.“Ya.” Pria kekar berjanggut tebal itu berdiri, melepas zirah sama senjata di pinggang, kemudian membawa kursi dan pindah duduk ke sebelahku. “Jika boleh jujur, aku penasaran pada hidupmu yang macam tanpa tekanan.” Begitu ujarnya sebelum lanjut tanya, “kenapa tidak buka lowongan untuk seorang asisten?”Pertanyaan yang sontak membuatku terbelalak, heran barang sekejap.“Jangan melihatku seperti itu.” Ia lalu melipat tangan dan menghadap lurus ke depan. “Aku merasa, dirimu kelihatan jauh lebih cerah waktu meladeni orang-orang dari belakang stan ini ketimbang saat mengatur kota di kantor muri dan bate bersama orang-orangku.”“Tentu saja!” timpalku terus duduk, “pas lagi jadi kanselir, aku baca banyak kertas aduan sama surat-surat keluhan setiap hari. Apa Anda pikir itu tidak menguras pikiran, ya?”“Aku tahu, tapi selama ini kau juga sudah membuktikan tidak ada orang lain yang mengatur kota secakap dirimu di Panji Beruang, ‘kan?” Ia sigap bangkit waktu pembeli datang, bahkan lebih cepat daripada diriku, si empunya lapak. “Aku pegawai baru ….”Hem.Melihat ia tersenyum hangat dan tertawa lepas ketika meladeni pembeli, penilaianku tentang dirinya yang selama ini kaku jadi sedikit berubah. Siapa sangka, seorang Bura Parami, komandan dua ratus ribu tentara bermantel putih di Panji Beruang, punya sisi humoris.“Hah ….” Sekian kali semangat meladeni pembeli, sang bura pun merebah ke tumpukan jerami di belakang stan dagang, tepar pada akhirnya. “Hoi, Ure. Apa pelanggan-pelangganmu selalu sebawel tadi, hah?”Kuambil sebotol air.“Ini …, mereka rewel gegara cara Anda memotong daging, Bura.”“Terima kasih …, maksudnya?”“Anda tadi memotong daging terlalu pas, itu yang bikin para pembeliku komplain.”“Hah?” Dia kelihatan bingung sehabis menenggak air minum. “Bukankah harusnya mereka senang, aku ini orang yang jujur.”“Benar, tapi cara berdagangku agak sedikit beda kalau harus kubilang.”Bura Parami terdiam, tidak mengatakan apa pun sampai aku selesai membereskan stan dengan dagangan.“Ini.” Selanjutnya kubagi sang bura upah. “Kita tadi menjual tiga puluh lima kilo pas, semua jadi lima puluh dua perak sama lima puluh perunggu. Karena Anda tiba-tiba menawarkan diri buat membantu terus kita belum sempat membahas mau bagi hasil bagaimana, kuambil tiga puluh lima perak buat diriku.”“Kau serius mau memberiku sepertiga dari hasil penjualan?” tanyanya, tak langsung menerima uang yang kusodorkan. “Kuki—”“Cuma buat hari ini,” potongku lekas melempar kantung uang itu padanya, “kalau Anda besok masih mau bekerja padaku, aku akan memakai sistem upah standar Kongsi Dagang Gorgon Lama.”“Standar kongsi dagang?”“Ya. 83 perunggu per hari buat upah buruh lepas.”“Jauh sekali!” Bura Parami mendelik. “Tidak bisa lebih tinggi?”“Bisa. 150 perunggu per hari, tapi status Anda bakal jadi pegawai tetap dan harus bekerja padaku selama dua bulan paling sebentar. Mau?”“Kau lupa aku ini seorang bura—”“Di Mantel Putih, ya,” selaku lantas balik badan dan menggendong keranjang daging, “tapi bukannya Anda sudah tahu kalau di luar militer status itu tidak berguna, ya?”“Hahaha!” Ia terbahak sejenak lekas bangkit dan merapikan diri. “Aku tahu bagaimana dirimu. Sekarang kau mau ke mana, Ure?”“Pulang ….”*** “Paman Ure!”“Teman-teman, Paman Ure sudah pulang!”Senyumku mekar tatkala anak-anak semringah menyambut kedatanganku.“Kalian tidak nakal selama paman pergi, ‘kan?”Mereka, anak umur sepuluh sampai empat belas tahunan yang berebut mendekapku ini, mengingatkanku pada cucu-cicitku di Rumah Seratus Bebek dulu.“Paman, tadi Nyonya Rere titip pesan. Katanya, gerobak yang Anda minta sudah siap.”“Ah, terima kasih, Ben.” Kuusap kepala bocah yang barusan memberitahuku. “Ah, ya! Paman masih punya banyak daging mencek di keranjang, apa kalian ma—”“Mau, Pamaaan!” sambut anak-anak, senang.Seri di wajah mereka spontan membuat semangatku kembali. “Kalau begitu, ayo kita masak.”“Horeee ….”Sore itu. Aku, anak-anak, juga Bura Parami yang gak tahu kena angin apa mau mampir ke tempat tinggalku pun menuju dapur, mengambil beberapa perkakas, lalu menyalakan api unggun di belakang.Hingga petang menjelang ….“Kudengar sebelum bergabung ke Panji Beruang, kau dan teman-temanmu juga tinggal di panti asuhan, benar?” tanya Bura Parami, duduk di sebelahku sambil mencamili kaki mencek.Aku menoleh, melirik keranjang isi buah yang ia bawa, terus balik pada kesibukan meraut sebatang kayu. “Aku baru tahu, seorang bura yang selalu kaku ternyata juga pemalak andal.”“Maksudmu buah-buahan di keranjang ini?” balasnya cepat, “aku dapat dari tetanggamu, mereka benar-benar ramah … eh, ya, soal teman-temanmu. Katanya salah seorang menghilang pas gempa kemarin, aku turut me—”“Pertemuan sama perpisahan hal biasa,” selaku, spontan menjeda kegiatan, terus ganti topik. “Ngomong-ngomong, sampai kapan Anda mau terus mengikutiku, Bura?”“Aku tidak mengikutimu,” dalihnya yang kemudian bilang, “aku kemari memang karena sedang senggang, itu saja. Lagi pula, tidak ada apa pun yang bisa kulakukan di baris depan juga sekarang.”Aku diam melihatnya.“Kau tahu, setelah kalah di Vom pasukanku mundur ke perbatasan Seren. Karena tak ada perintah lanjutan dari Julius kami semua menganggur sekarang, jadi jangan terlalu curiga padaku.”Aku masih tetap diam sambil menatapnya.“Kau sendiri, kenapa tidak langsung kembali ke kemah pasukanku dan malah menjual daging di sini, hah?” tanyanya, kelihatan agak gugup. “Benar, aku seharusnya menjemputmu untuk kembali bersamaku.”“Oh.” Aku balik pada kegiatan semula, merauti batang kayu di tangan. “Jadi Anda kemari buat memintaku bergabung dengan pasukan di garis depan.”“Benar!” sergahnya senang, “hahaha, kau itu Yoram Mantel Putih, tempatmu seharusnya di garis depan bersama bura sepertiku.”“Hah ….” Kuhela napas lalu menengadah. “Bukan aku tidak mau—”“Tapi?” Bura Parami macam tidak sabar.“Bura Julius membubarkan batalionku, padahal mereka kurekrut pakai tabungan pribadi.” Aku menjuling padanya. “Terus, kemarin Mantel Jerami juga sudah menjatuhiku hukuman mati dengan tuduhan mata-mata musuh waktu bertugas di Istana Bate Raku.”Orang nomor satu di Mantel Putih itu sedikit mundur dengar keteranganku.“Sebagai yoram diriku sudah tidak lagi punya pasukan, Bura,” lanjutku lantas menghadap penuh padanya, “dan sebagai kanselir, aku juga kini tidak memiliki wilayah untuk diatur.”“A ….”“Selain pulang kemari dan kembali jadi penjual daging, menurut Anda apa lagi yang bisa kulakukan, hah?”Sempat terdiam sekian saat, ia pun memalingkan pandangan.“Aku minta maaf …,” ucapnya lembut, “hari itu pasukanku juga menghadapi krisis.”“Ya, kita sama-sama punya masalah musim kemarin.”“Jadi, kau mengerti?”“Jangan berharap orang lain akan selalu memahamimu,” kataku terus melempar kayu yang tadi kuraut ke api unggun. Lung! “Lagi pula …, ah, sudahlah. Lupakan soal kemarin.”“Kau sudah tidak marah?”“Marah?” Sontak mataku mendelik ke arahnya, heran. “Marah karena apa, kenapa aku harus marah?”“A ….” Bura Parami agak tersentak mundur, buat kedua kali. “Kukira kau kabur kemari karena kecewa aku gagal menyelamatkanmu kemarin, Ure.”“Maksudnya?” Aku berpikir. “Anda …, apa Anda menganggapku anak-anak, Bura?”“Ti-tidak, tentu saja tidak ….” Ia menggeleng, menyangkal sesuatu yang sudah sangat jelas terlihat. “Mana ada anak-anak mahir menata kota dan mampu membuat lima wilayah menyerah tanpa bertempur dalam waktu singkat!”“Hem.” Aku tidak percaya omongan pria berewok satu ini. “Terus, kenapa Anda pikir diriku marah?”“Itu …, ah, lupakan. Buat apa kita mengingat-ingat hal yang gak penting.”“Anda mencurigakan.”“Ya ….” Orang dewasa pas salah tingkah itu lucu. Gerak mata sama kepala mereka tidak sinkron. Bikin yang melihat geleng kepala ….***