Login Daftar - Gratis

Islam

Di publikasikan 04 Nov 2025 oleh Bangun

Sebagaimana yang disampaikan dalam hadits jibril ketika malaikat jibril menjelma menjadi manusia dan bertanya tentang IslamMalaikat Jibril mengatakan:"Wahai Muhammad jelaskan kepadaku tentang Islam?""Nabi ﷺ menjawab:"Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah Al Haram jika engkau mampu mengadakan perjalanan ke sana.

Istilah-istilah dalam Islam

65 - Wajib Militer, Lagi?

Di publikasikan 04 Nov 2025 oleh Bengkoang

“Selanjutnyaaa!”Hari pertama di Bulan Tiga, 224 Shirena. Waktu di mana aku datang ke Kemah Militer Darurat dengan muka lesu dan aura gak semangat ….“Kau datang dari serikat?”“Ya.”“Mana kelompokmu?”“Di Barak Distrik Timur.”“Hah?!”Muka bingung dua tentara di depanku bisa kumaklumi. Pasalnya, pada buku besar di hadapan mereka diriku tercatat sebagai anggota Regu Bintang Pertiwi dari serikat pemburu Distrik Timur. Namun, surat panggilan yang kubawa menerangkan bahwa Saintess menempatkanku di kesatuan khusus bersama orang-orang pilihannya.Jika merujuk buku besar di sebelah kiri, surat di kanan perintah Saintess. Namun, bila menuruti surat tersebut maka kuota pada buku besar tak tercapai dan harus ada ‘sedikit’ pengaturan ulang.“Bagaimana?” tanyaku beberapa saat kemudian, ketika bosan menunggui tentara di meja registrasi debat adu argumen sekian pertimbangan tanpa hasil jelas. “Aku jadinya masuk ke mana?”“Tunggu!” timpal keduanya kompak, enggan mengalah dan menyudahi debat kusir di sana.Membuatku, yang kala itu sejak awal memang gak semangat, segera melipir lalu memberi isyarat pada orang di belakang. “Kau duluan saja, Saudara. Dua orang yang memeriksaku sepertinya akan lama ….”Selang beberapa waktu seseorang menemuiku, perwira menengah yang katanya baru dapat instruksi langsung dari Dewan Penasihat Tinggi Kuil Widupa. Ia bilang, diriku bebas memilih ingin masuk ke mana.“Kalau begitu aku mau ke Barak Distrik Timur ….”*** Malam hari, masih tanggal yang sama.“Mi!”“Oooi, Miii ….”“Saudara Mi!”Mark, Mita, Ken, dan Erik muncul dengan penampilan baru. Berjalan mendekati tenda Regu Bintang Pertiwi dalam balutan zirah gemerlap bak kena sorot lampu spot di panggung teater ….“Aku baru tahu kalian sene—”“Stop!” Tangan Erik sigap menyelaku. “Aku tahu penampilanku memukau, tapi ini bukan waktu yang tepat buat dirimu menyatakan kekaguman. Hehe.”“Dih.” Aku mendelik geli. “Siapa juga yang mau memujimu. Tadi itu aku mau bilang zirah kalian gak cocok sama bendera kita—tuh, lihat!”Mereka kompak mendongak ke puncak tenda, memperhatikan bendera yang lagi berkibar di atas sana. “Bintang Pertiwi masuk divisi penyerbu, batalion Yoram Anteloe di legiun Bura Namieri, Kepala Serikat jadi caupa kompi kedua, dan kita di sini cuma sampai regu pahlawan datang lalu memimpin kampanye ini.”“Bicaramu macam tanpa jeda, Saudara Mi.”“Aku cuma membacakan apa yang kudengar pas tadi sampai saja, Saudara Ken,” jelasku kemudian mengambil beberapa benda dari kotak yang sejak tadi kududuki, “ngomong-ngomong, persiapan yang kita bahas kemarin sudah selesai, ‘kan?”“Apa itu?”“Botol ajaib.”“Botol ajaib?”“Botol ini macam kantung dimensi yang biasa buat nampung banyak barang,” terangku sembari membagikan benda buatan murid-murid Saintess sama produk khasnya Kuil Widupa tersebut, “sudah teruji, kupakai sarang baru tawon-tawonku.”“Benarkah?”“Benda ajaib begini cocok buatmu, Mita.”“Ya, ya. Macam dirimu enggak butuh saja, Erik.”“Aku gak bilang enggak bu—eh! Kenapa botolmu kelihatan beda?!”“Oh.” Kuambil botol labu di pinggangku. “Ini? Dia kupakai buat jadi sarang tawon. Kan, tadi kubilang ….”Aku enggak perlu bilang blak-blakan kalau botol labuku sudah kumodifikasi sendiri ke mereka, ‘kan? Lagian gak semua hal kudu kujelaskan juga. Atau, haruskah?“Eh, ya! Bareng sama botol, di kotak itu juga ada token buat ambil zirah sama senjata besok pagi. Cuma kek-nya kalian enggak bakal butuh, deh.”“Dih, enak saja! Butuh, lah ….”Erik langsung mengembalikan botol ajaibku lantas melihat isi kotak bersama Mita dan Ken. “Kukira kalian sudah gak perlu gegara punya zirah mengkilat—”“Sembarangan!” timpal ketiganya sambil menoleh, kompak. Yang, segera didukung oleh kapten regu sebelahku. “Kita tetap butuh, Saudara Mi. Apalagi kita juga belum tahu seintens apa perang melawan Serindi nanti, ‘kan?”“Aku paham kalau maksudmu buat cadangan, Mark.”“Ngomong-ngomong, di laporan kemarin katamu tentara bayaran akan membantu kita, ‘kan, Saudara Mi? Aku iseng tanya kenalanku, dan kau tahu mereka bilang apa ….”Kuperhatikan penuturan sang kapten saksama, ingin tahu hasil penyelidikannya.“Mereka juga memberiku kartu nama serupa di lampiranmu.”“Benarkah?”“Ya, hanya beda grup. Kenalan-kenalanku mengirim kartu Kelompok Khimaira dengan Sphink.”“Dua kartu?” Satu alisku terangkat. “Tambah dariku kemarin, berarti ada tiga grup di ekspedisi seka—”“Kukira ada lebih!” timbrung Erik, selesai mengosongkan peti di belakangnya. “Aku sama si Ken juga didekati ‘agen-agen’ ini pas datang ke pertemuan serikat Distrik Selatan.”“Cuma, aku dan Erik langsung menolak mereka waktu itu. Kami tidak berpikir semua ini penting.”“Menurutku panggilan Saintess sekarang gak sesederhana judulnya,” tambah Mita, mengasongkan dua token bagiannya Mark. “Kalian setuju, ‘kan?”Kurasa takkan ada bantahan kalau soal itu ….*** Besoknya, tanggal 2 Bulan Tiga. Seluruh milisi yang datang hari kemarin selanjutnya dikumpulkan di lapang apel ‘tuk diberi perlengkapan, manual militer dasar bakal rujukan selama pelatihan sebelum hari keberangkatan ke Benua Timur, serta diperkenalkan kepada—sambil mendengarkan sepatah dua patah sambutan dari—bura-bura atau para panglima pada kampanye melawan Serindi ini.Seminggu kemudian, tanggal 9 Bulan Tiga. Bintang Pertiwi yang semula masuk kompi kedua di bawah panji serikat dipecah ke lima kompi berbeda lalu diberi pangkat tupa dengan dua upa dan satu peleton khusus. Alasannya hasil tes keahlian tempur kami melampaui atau di atas perkiraan semua orang, begitu.“Jadi ini unitkukah?”“Izin jawab. Benar, Tupa!”Aku menjuling dengar respons tersebut.“Karena kalian unitku ….” Jadi, kugerakkan tangan memanggil mereka mendekat. “Mari perjelas aturan main kita—kemari-kemari!”Kalian tahu, aku gak suka frasa komando militer lama yang apa-apa harus mulai dengan ‘izin’ sebelum kalimat atau keterangan berikutnya. Oleh sebab itu kusuruh mereka membuang kata tersebut selama di depanku ….“Mengerti?”“I—siap, mengerti!”“Gak usah teriak-teriak.”“Me-mengerti.”“Bagus ….”Selesai berkenalan. Peletonku selanjutnya kubawa ke satu bukit tak jauh dari kemah militer, memasang tenda, lalu kusuruh mereka mengamati latihan semua orang dan mencatat apa-apa saja yang terlihat dari atas sana. Sejak hari itu hingga bulan berikutnya, kegiatanku cuma rebahan sambil sesekali menerbangkan merpati.Tidak ada yang lain sampai ….“Suara apa ini?”“Ini panggilan kumpul, Tupa.”“Hem.” Kurentang tanganku, melakukan peregangan buat melemaskan otot sebentar, kemudian bangkit dan melipat kursi malas. “Suruh semua orang kumpul terus bongkar tenda-tenda kita ….”Tanggal 14 Bulan Empat. Gong besar berbunyi, tanda kumpul kalau kata salah seorang upaku, panggilan ‘tuk semua unit agar bergegas kembali ke kemah utama.“Siapa yang kebagian pegang gelas ikan?”Salah seorang prajurit angkat tangan.“Kau telat bangun apa kalah lomba lari?”“Lo-lomba lari, Tupa.” Ia pasang raut lesu pas rekan-rekannya tertawa, reaksi normal buat mereka yang telah mengikuti jadwal pelatihanku sebulan ini. “Aku tidak percaya akan kalah melawan Zadho.”“Gak penting.” Kuasongkan wadah ikan di tanganku ke mukanya. “Yang namanya kalah tetap akan disebut kalah. Pegang gelas ikanku sampai kita turun, kalau ia berenang terbalik tas teman-temanmu kau yang pikul.”“Mengerti ….”Meski wajah si prajurit tampak tidak semangat, aturan tetaplah aturan. Begitu dirinya masuk barisan, kami pun lekas turun gunung. Memenuhi panggilan yang tengah berkumandang ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

64 - Agenda Saintess

Di publikasikan 04 Nov 2025 oleh Bengkoang

“Katamu gak mau terlibat kesumatku pada Serindi. Kenapa sekarang kuil widupamu malah kelihatan jadi yang paling semangat menghujat mereka, hah?”Naila, gadis di depanku, pasang muka polos waktu kusodori pertanyaan seputar tajuk ‘Naik Daun’ dengan isu ‘Panggilan Saintess’ di rubrik sama berita-berita terkait politik benua pada semua surat kabar Zona Netral.Matanya lincah mengerling sana-sini lalu kupingnya kerap pura-pura tidak dengar di sofa Ruang Kerja Kepala Roda Batu sana. Benar-benar bikin gemas ….“Perabot di ruanganmu boleh juga,” ungkapnya, mengganti topik dengan mengulas suasana ruang kerja Miki dan Soran ketika itu. “Padahal bulan lalu belum ada gantungan apa-apa di dinding sebelah sana.”“Ini bukan ruanganku. Terus juga, Roda Batu sudah mau efektif hampir dua bulan. Mana mungkin ruangan CEO-nya gak berubah setelah kami dapat pemasukan stabil, ‘kan?”“Benar juga—eh, ya! Kalau kau bukan kepala, terus apa peranmu di Roda Batu?” tanya sang saintess, topang dagu melihatku sambil merebah di depan sana.Hem. Kalian tahu, kalau bukan gegara dia merupakan penyewa Gerbang Kiri Baruke sekaligus sponsor utama usaha transportasi putriku di sini, diriku sebetulnya malas. “Cek! Saintess. Aku mulai bosan, bisakah kita sudahi basa-basinya terus pindah ke topik serius sekarang?”“Banyak telinga yang menguping ki—”“Rasa penasaran sama ingin tahu keluargaku sangat besar. Selama itu masih sekitar Baruke, di mana pun kita bicara tetap akan ada banyak telinga yang berusaha buat curi-curi dengar.”“Kau kuundang ke istanaku—”“Di sana gantian murid-muridmu yang mengupingi kita.”“Hem.” Ia kini melipat tangan. “Kau yakin mereka boleh menguping?”Kujulingkan mata menanggapi pertanyaan barusan.“Mereka keluargaku, korban Serindi, dan sekarang menjadi penduduk sementara zona netralmu. Bukan orang luar juga. Jika dirimu kemari memang bukan karena ingin bicara serius denganku, kenapa tadi kausuruh anak-anakku memanggilku kemari, Naila?”“Huh.”‘Huh?’ Kalimat panjangku cuma dibalas ‘Huh?’ Aku tidak percaya ini ….*** “Bagaimana tadi, Paman—”Brak! Kugebrak mejanya tatkala Miki menemuiku begitu Saintess pergi, membuat si bocah sontak terperanjat lantas mematung di antara sofa dan ambang pintu Ruang Kerja Kepala Regu Roda Batu bersama semua orang yang mengikutinya ketika itu.Detik berikutnya. Kuayunkan telunjuk dari kiri ke kanan, isyarat agar mereka duduk di sofa, kemudian topang dagu dan pasang muka datar sampai orang terakhir kebagian tempat duduk.Saat suasana di sana cukup kondusif ….“Kalian dengar semuanya, ‘kan?”Miki dan para penyelia Roda Batu silih lirik sebelum mereka pelan-pelan mengangguk.“Bagus,” kataku lalu mundur dari meja dan berjalan ke dekat jendela, “Saintess akan mencabut izin usaha kita jika aku gak pergi ke barak bulan depan ….”Kugenggam pergelangan tanganku di belakang pinggang, mirip posisi istirahat di tempat—tapi lebih santai.“Ini merupakan krisis sekaligus sebuah peluang jika kita mau ambil risiko buat naik ke level berikutnya. Kalian tahu apa yang harus dilakukan selama diriku gak di sini …?”Kalian tahu, Miki dan para penyelia itu cuma bengong waktu kepalaku menoleh.“Oi! Kalian mengerti maksudku, ‘kan?”Mereka menggeleng, jujur.“Ya, ampun ….” Respons yang sontak membuatku geleng-geleng lekas kembali ke Meja Kepala Roda Batu tanpa harapan. “Hopeless-hopeless. Kalian betulan gak tahu harus melakukan apa pas Saintess sama seisi Kuil Widupa fokus ke kampanye melawan Serindi, ya?Benarkah? Oh, ayolah ….Kita ini menunggu kesempatan buat memonopoli lalu lintas di Dataran Tengah, ‘kan?”Miki dengan para penyelia kembali silih lirik. “Dengan jumlah orang yang berkumpul di sini mulai bulan depan besok sampai hari keberangkatan ke Timur tiga atau empat bulan berikutnya, menurut kalian berapa uang yang bisa roda batu kita petik untuk tiap kereta yang mereka sewa …?”Benar-benar.Setelah dibikin gemas oleh Naila yang sedang aji mumpung lewat tajuk naik daun hingga memaksaku masuk ke dalam rencananya demi rencana balas dendamku terhadap Serindi, hari itu diriku pun makin dibuat gemas sama orang-orang Roda Batu yang kekurangan ambisi hingga tidak melihat peluang di depan mata.Hadeuh ….*** “Seharian ini mukamu ditekuk terus. Ada apa?”Kuputar leher, mengusir pegal, sambil terpejam pas lihat Berlian membawakanku teh hangat.“Kata Miki kau tadi marah-marah di kantor, Sayang.”“Bukan marah—terima kasih, Sayang—tapi ngomel. Aku gemas anak itu sama pegawai-pegawainya gak peka kalau ada peluang emas di depan mata. Bulan depan bakal ada banyak orang yang datang kemari, jadi kusuruh mereka buat menghubungi semua hotel sama penginapan di sini terus pesan kamar sebanyak yang kita bisa.”“Pesan kamar hotel, buat apa?”Kutaruh cangkir tehku selesai kucecap.“Buat diiklankan sama kita sewakan lagi,” terangku pada Berlian, “Sayang, barak di luar delapan distrik hanya menampung mereka yang kena wajib militer, bukan keluarga atau kerabat mereka juga.”“Oh!” Mulut istriku membulat, dirinya kemudian mengambil benang dan jarum renda. “Aku paham. Pantas Miki masih kelihatan ceria pas membicarakanmu dengan Soran di beranda tadi. Aku sampai heran dirinya ini sebenarnya sedang mengeluh apa lagi memujimu, Sayang.”“Hem.” Aku menjuling. “Tentu saja, akan kukeplak kepalanya kalau anak itu gak belajar apa-apa dari omelan di kantor tadi. Bagaimana a—”“Eh, ya, Sayang!” Berlian menjeda kegiatan dan menoleh. “Maaf menyela, tapi bukannya mereka begitu juga karena permintaanmu, ya?”“Hah?” Mataku rada mendelik. “Maksudnya?”“Dulu. Katamu jangan terlalu terobsesi sampai ingin cepat-cepat memajukan usaha ini, ‘kan?”Hem, aku lupa. Sepertinya diriku memang pernah berkata begitu ….“Dirimu yang bilang pada Miki supaya dia lebih fokus memperbaiki kegiatan hariannya dulu, kalau masalah perusahaan katamu cukup sampai pemasukan stabil sama bisa melakukan perluasan bertahap saja, ‘kan?”“Kayaknya aku memang pernah bilang gitu, deh, Sayang.”“Nah. Berarti—”“Bukan berarti dia boleh melewatkan kesempatan emas macam begitu juga dong ….”Istriku tersenyum kemudian menggeleng, dirinya lantas melanjutkan kegiatan sembari menemaniku.“Kurasa kemarin dirimu tidak menduga jika Saintess akan memanggil penduduk benua kemari, benar, ‘kan?”“Ya.” Kugeser meja dengan tehku ke pinggir, setelahnya diriku lalu mendekat kepada Lian. “Gadis itu bilang kalau dirinya gak mau meminjamiku Belati Pasir terus jadi kambing hitam atas kesumatku pada Serindi. Eh, sekarang malah dia sendiri yang menjebakku supaya bergabung ke dalam rencananya melawan mereka.”“Bicara soal jebak-menjebak. Sayang, bukankah sebenarnya kau dengan teman-temanmu duluan yang sudah memaksa Nona Saintess mengambil langkah ini, ya?”“Kenapa kau berpikir begitu?”Berlian merebahkan diri ke badanku.“Macam sekarang,” ujarnya sembari terus merajut, “aku takkan bersandar ke badanmu kalau kau tak mendekat padaku barusan, bukan?”“Hem. Aku masih belum mengerti.”“Kau ini. Pura-pura apa sedang menggodaku biar bisa terus memelukku, hah?”“Hehe. Aku suka juling gemasmu, Sayang.”“Ya, iyalah ….”Tanggal 27 Bulan Dua.Apakah hari pembalasanku pada Serindi sungguh telah dekat?Saintess yang kemarin enggan membantuku kini malah memanggil penduduk benua dengan dalih menjawab jerit beserta tangis orang-orang timur. Bahkan, ia sampai mengaturkan situasi di mana diriku tak punya pilihan selain bekerja sama bersama kuil widupanya.Siapa sangka ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

63 - Bibit Konspirasi

Di publikasikan 04 Nov 2025 oleh Bengkoang

“Ah! Kau sudah datang ….”Minggu keempat di Bulan Dua, 224 Shirena. Dua minggu sejak perburuan perdana Bintang Pertiwi serta satu minggu setelah nama kami mulai bergema di delapan distrik zona netralnya Dataran Tengah ….“Maaf baru bisa hadir hari ini,” tuturku, buru-buru melepas lalu mengaitkan mantel basah ke gantungan dekat pintu kemudian segera gabung bersama orang-orang di meja rapat. “Terima kasih. Aku sudah baca rangkuman pertemuan dua hari kemarin, kalian bisa lanjut dari poin sebelum diriku datang.”“Bagus. Mari lanjutkan dari poin permintaan Fujin, Linx, Gorgeo, Patu, Du dengan Ding. Serikat kita sedang naik daun sekarang ….”Naik Daun. Kata tersebut menjadi pembuka pada setiap rapat darurat serikat yang kudatangi, mulai dari serikat di Distrik Timur, Distrik Selatan, bahkan sampai ke serikat-serikatnya distrik kecil sekitaran perbatasan Kuil Widupa dengan Kerajaan Linx dan Fujin. Kata ini jadi penenang tersendiri hingga masalah pelik yang tengah kami hadapi ketika itu seolah-olah menyusut serta tampak tidak ada apa-apanya tatkala mulai dibahas.Alhasil, naik daun pun kini menjelma jadi semacam mantra penenang. Bukan tanpa sebab. Keberhasilan Bintang Pertiwi yang melompat dari kayu ke peringkat besi disusul promosi-promosi regu pemburu lain di banyak serikat setelahnya pada minggu-minggu inilah yang mengaminkan hal tersebut sehingga semua orang percaya angin kejayaan sedang berembus ke Dataran Tengah.“Dua pertiga Kerajaan Sun, seluruh Nadi, seperenam Rari, dua pertiga Tzudi dengan sepertiga wilayah Azura telah jatuh ke tangan Serindi. Dan, karena Zona Netral sepakat membentuk Aliansi Melawan Musuh Bersama, Nona Saintess khusus meminta kita ‘tuk mengirim pemburu peringkat besi sampai baja tempa ke Timur ….”Dengar sendiri, ‘kan? Masalah yang dibahas aslinya benar-benar dan sungguh sangat serius, tetapi wajah presenter di hadapanku sama sekali tak menunjukkan raut tegang. Sebaliknya, senyum tipis yang baru saja ia lempar selesai menandai peta pada papan besar di belakangnya seakan-akan berkata: Ini adalah kesempatan emas buat kita ….*** “Saudara Mi, kau masih di sini?”Kutoleh arah suara yang baru saja menegur, tersenyum, lalu mengangkat tangan menanggapi lambaian orang-orang di belakangnya sebelum mereka lanjut menjauh dan naik kereta masing-masing.“Ya. Mertuaku bilang beliau ada urusan di dekat sini, jadi diriku menunggu.”“Kurasa mertuamu dapat menantu yang baik.”“Terima kasih.” Aku bergeser ke kanan sedikit, memberi orang yang mendekatiku ruang buat duduk. “Diriku hanya sedang senggang. Atau, Anda boleh menyebutku tidak punya pekerjaan, Ketua.”“Aku kagum padamu,” timpalnya yang kemudian mengasongiku secarik kertas, semacam kartu nama dengan logo kepala singa dan tambahan sayap kelelawar. “Kudengar regu berburumu baru menyapu papan misi serikat kalian serta berhasil memecahkan rekor sebagai pemburu pendatang baru di kelas kayu dan batu terbaik.”Diriku cuma senyum menanggapi pujian tersebut.“Saudara Mi, diriku paham bila dengan kaliber seperti ini dirimu juga rekan-rekan di Bintang Pertiwi merasa pekerjaan dari serikat kurang menantang. Kalau mau, aku bisa menawarkan sampingan ….”Sekali lagi, diriku hanya tersenyum pas ia menunjuk kartu di tanganku pakai lirik sama gerakan kepala.“Baiklah.” Orang itu selanjutnya berdiri, memberi hormat, lantas undur diri. “Aku masih ada urusan di tempat lain, semoga harimu menyenangkan. Saudara Mi.”Begitu ia pergi ….‘Sampingan.’ Kuperhatikan kartu pemberiannya sebentar. “Huh. Grup Mantikora. Perusahaan penyedia jasa tentara bayaran ulung dan tepercaya—”“Bagaimana menurutmu?”“Hah?!” Aku hampir jantungan tiba-tiba dengar suara Naila di sebelah. “Kau mengagetkanku, Saintess.”“Oh, ayolah ….” Gadis penguasa Kuil Widupa itu cuma terkekeh ringan lekas acuh tak acuh kemudian duduk di bangku sebelahku. “Diriku muncul dan hilang tiba-tiba bukan hal baru buatmu, ‘kan, Ure? Jangan bersikap seakan-akan ini kali pertama.”“Tadi memang kali pertamaku.”Ia menjulingiku.“Apa?” tanyaku kemudian, masih elus dada bekas kaget sesaat lalu. “Katakan apa maumu dan cepatlah pulang ke istanamu sana, aku bakal repot kalau sampai mertuaku melihat kita lagi bicara berdua begini.”“Dih. Memang kau siapa berani mengaturku segala, hah?”“Aku?” Kutunjuk muka sendiri. “Sohib leluhurmu dari zaman Chloria dengan Mirandi, artinya diriku masuk jajaran leluhur kuil widupamu. Paham?”“Ya, ya, ya. Aku paham. Orang Tua.”Sontak mataku mendelik dengar balasan si gadis muda.“Sudahlah. Diriku kemari bukan mau berdebat denganmu, Ure.”“Terus?”“Kau sudah lihat efek tajuk ‘naik daun’ di surat-surat kabarku, ‘kan?”Seketika, begitu dengar kata naik daun, pikiranku langsung fokus pada satu hal. Seluruh rumor dengan desas-desus mengenai Dataran Tengah yang hendak mendominasi dunia lewat gerakan Melawan Musuh Bersama atau Aliansi Anti-Serindi.“Hah ….”“Jangan cuma hela napas, Ure. Katakan sesuatu, kau sudah melihatnya apa belum?”“Sudah.”“Bagus. Kau akan ikut dalam rencanaku, bukan?” tanyanya dengan mata penuh binar, “bukan cuma membalas Serindi, jika membantuku kau juga akan dikenang sebagai pahlawan yang menyelamatkan benua.”Separuh omongan Naila benar.Surat-surat kabar juga antek gadis sebelahku ini jelas sangat sanggup buat menggoreng reputasi seseorang dari ujung barat hingga pesisir timur benua, tidak ada bantahan akan hal tesebut. Bila ingin cepat menyentuh massa, sejak dulu dukungan dari kuil widupanya mutlak diperlukan oleh para politisi Eldhera.Namun, diriku bukan salah satu dari mereka. Jadi ….“Kenapa aku harus ikut rencanamu?”Wajah Naila spontan masam.“Kau betulan takkan membantuku, Kek?” tanyanya lagi, dengan raut juga delik manja yang khas. “Tajuk naik daunku sudah membantu bintang pertiwimu menarik perhatian Pahlawan, ‘kan? Jangan bilang dirimu be—”“Berhenti di situ, Nona.” Kutunjuk muka sang Saintess, gemas. “Aku belum dengar apa rencanamu dan kau juga baru bicara lagi denganku sekarang. Bagaimana diriku bisa memberi keputusan untuk hal yang sama sekali tidak kutahu, mengerti?”“Hem.” Gadis itu melipat tangan kemudian lenyap dari pandangan. “Masuk akal. Kalau begitu kutunggu kau di istanaku, temui aku segera, Ure.”Begitu suara si empu Kuil Widupa berlalu, Ayah Mertua pun muncul menjemputku. “Menantuuu ….”*** “Kau gak bosan menunggu di sana sendirian, ‘kan?”Kuasongkan benda yang kudapat setelah pertemuan sebelumnya pada Ayah Mertua.“Apa ini?”“Seseorang memberiku kartu nama, Kepala Grup Mantikora dari Distrik Barat Daya ….” Selagi Ayah membolak-balik benda tersebut, kurapikan dudukku lantas bergeser ke pojok gerbong. Hendak menikmati pemandangan di luar jendela selama perjalanan pulang ke Distrik Utara tersebut.“Kurasa roda batuku memang akan butuh regu pengawalan khusus bila suatu saat ingin melebarkan sayap ke luar wilayah,” tuturku kemudian, lanjut memberi keterangan sebelum nanti ditanya-tanya. “Dan, orang yang memberiku benda itu mungkin layak jadi pertimbangan, Ayah.”“Memberimu kartu nama ‘tuk peluang kerja sama di masa depan.” Ayah mertuaku mengoper kartu nama tadi pada Ketua. “Orang ini memang punya pandangan jauh. Visioner.”“Aku belum mau memikirkannya, jujur saja.”“Kenapa?”“Anda belum baca koran hari ini, Besan. Saintess memanggil penduduk benua ‘tuk meredam krisis di Timur.”“Apa hubungannya?”“Macam kata Ketua, diriku akan pergi mewakili keluarga kita,” terangku, membantu Ketua Sekte bicara pada Ayah. “Jadi semua urusan di Roda Batu sementara nanti kupercayakan pada Miki sama Soran.” “Hem. Kau sungguh ingin balas dendam pada mereka?”“Apa lagi yang bisa kulakukan ….”***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

62 - Bintang Pertiwi

Di publikasikan 04 Nov 2025 oleh Bengkoang

“Berhenti melotot padaku dan duduklah yang benar ….”Kutepis muka Erik agar menjauh pas ia menggangguku mengemudikan gerobak saat kami hendak kembali ke Dataran Tengah, pertengahan Bulan Dua, Musim Semi 224 Shirena.Ketika perburuan perdana regu berburuku selesai lebih awal daripada jadwal ….“Saudara Mi, matanya gak akan berhenti menatapmu sampai kau menjelaskan kenapa badak kemarin kita jual ke Bulan Biru padahal mereka hanya butuh tanduknya saja. Aku pernah ada di posisimu. Seminggu penuh dia terus menguntitiku dengan mata seperti itu, kau tahu.”“Oh, ya, Saudara Ken?” Aku menoleh dengar hal tersebut, senyum pada Erik di sebelah, lalu balik konsentrasi mengarahkan gerobak. “Dirimu akan mengerti setelah kita sampai ke Serikat, E—”“Gak mau!” timpal si pemegang anggar poni paruh beo, mulai mendekatkan mukanya lagi. “Aku akan terus menatapmu sampai kau jelaskan kenapa kita gak boleh bawa badak kemarin. Kalau alasanmu cuma regu ketiga, jurus anggarku bisa menyengat pantat mereka sekali ayun.”“Ini bukan soal jurusmu bisa ‘menyengat’ mereka, tapi kalau badak itu ngotot kita bawa pulang semua hewan eksotis yang sudah kau dan aku tangkap akan hilang. Mau, pulang dengan tangan kosong?”“Hah? Kok, bisa gitu?”“Kau akan tahu pas kita sampai Serikat ….”Aku tidak ingin menjelaskannya sekarang. Bicara sambil mengemudi begini merepotkan ….*** Kemarin petang ….“Bagaimana?” Tatkala Selena, penyihir tiga cincin yang menawar badak cula titanium kami, mengatakan harga tertingginya. “Lima keping emas per gram harusnya tidak buruk, bukan? Dua kali pasar, kalian tidak rugi bila mau menjual cula badak itu padaku di sini.”“Kami mengerti, tapi keputusan a—”“Lima keping emas per gram?!” Kalian tahu, Erik terus pasang gelagat tak percaya sejak Mark dengan penyihir wanita di depannya mulai bicara berdua. Bahkan, kalau bukan gegara Ken yang pegangi, dia berkali-kali mau mengacungkan anggar ke kelompok Selena. “Omong kosong! Jangan percaya, Mark! Lebih aman badak ini kita bawa pulang ….”Sampai pada klimaks negosiasi, dirinya tetap menolak bekerja sama walaupun sang kapten sendiri sudah setuju untuk menerima tawaran mereka.“Gak! Aku menolak. Lebih baik kita berkelahi saja sekarang.” Begitu katanya dengan anggar di atas kepala mengarah pada Mark.“Aku mengerti poinmu, tapi kita juga gak bisa membawa badak i—”“Voting!” tuntut Erik tiba-tiba, mengajukan banding dan perlawanan terakhir. “Kuyakin bukan aku saja yang ogah menjual badak di sana ke mereka. Ya, ‘kan, Ken?”Ken, waktu ditembak sohibnya begitu, hela napas lantas angkat tangan sebahu.“Kalian tahu sifatnya.”“Bagus. Dua menolak.”“Aku ikut keputusan kapten,” ujar Mita, pindah ke dekat Mark. “Jangan memusuhiku, ya?”“Ya, ya. Wanita selalu benar ….”Erik kemudian melihatku.“Aku?” Jujur, saat itu diriku pun sebenarnya ingin membawa badak kami pulang. Namun, pas ingat kelompok ketiga yang menunggu kesempatan menyergap di sekitar membawanya bukan pilihan terbaik. Jadi, “Jual.”“Apa?!” “Nah!” sambut Selena semringah, ia lekas mendekat bersama semua anggota Bulan Biru. “Kukira kalian sudah punya keputusan serta telah mufakat, benar?”“Aku gak mau menjualnya padamu.”“Sayang sekali, Pria Muda. Kelompokmu sepertinya tidak mendukung dirimu kali ini ….”Sejak itulah si pemegang anggar berponi beo terus memelototiku. Hingga kami keluar dari Hutan Purtara lalu mengambil gerobak dan kembali ke Dataran Tengah ….*** “Kita sudah di serikat ….”Satu minggu kemudian.“Sekarang beri tahu aku kenapa kalian mau menjual badak kita ke Regu Bulan Biru!”Kutengadahkan kepala ke langit sebelum meladeni Erik. Ia, pemegang anggar dengan poni khas bak paruh beo menutupi mata kanan ini, benar-benar persisten. Tidak mau melepaskanku dan terus melotot sambil menguntit macam yang dikatakan Ken.“Hah ….” Kuhela napas lelah, menggeleng dan berdecak, lantas merangkulnya. “Kau lihat papan di sana itu?”“Mading berita sama buronan serikat?”“Periksa daftar buronnya, gih … lihat dulu ke sana … jangan terus menoleh, kami gak bakal kabur.”Bukan hanya diriku, tapi kurasa Mark dengan Mita pun tahu akan rumor ini. Itu sebabnya mereka satu suara denganku minggu lalu, menjual badak cula titanium kami sekalian ke Regu Bulan Biru.“Bagaimana?”“Jadi, kau tahu kalau jal*ng kemarin sama kelompoknya dicari gegara tukang pe-ka?”“Mulutmu ….”“Apa?!” Erik menepis tangan Mita waktu ia mendekat hendak menyentil bibirnya. “Aku cuma kesal, lagi pula mereka memang pantas buat dimaki, ‘kan?”“Cek! Itu gak bagus buat pembaca kita, tahu!”Hem. Aku masih ada keperluan di tempat lain. Jadi mari biarkan si pemegang anggar sama supervisor Bintang Pertiwi kita dengan urusan mereka di depan mading sana. Mark dan Ken juga tampaknya sepemikiran …. “Saudara Mi, Kapten.”“Saudara Ken, Mark.”“Kita kumpul di kantorku lagi besok, setelah jam makan siang. Bagi hasil sama rencana berikutnya kita bahas di sana sekalian. Ken, Saudara Mi.”Usai bertukar salam, kami bertiga pun berpencar. Hendak kembali ke urusan masing-masing ….*** Minggu ketiga Bulan Dua, 224 Shirena.Perburuan perdana Bintang Pertiwi selesai. Seluruh target di daftar buruan dilaporkan, beberapa hewan eksotis yang kusisihkan kubawa pulang, lalu gerobak dengan kuda-kuda Roda Batu pun kukembalikan.Kemudian, selang dua hari dari laporan kami ke serikat, surat-surat kabar Distrik Timur ramai menulis pada headline berita mereka, ‘Regu Pemburu Dengan Potensi Luar Biasa Kini Telah Lahir di Benua ….’ Berita yang bikin geger seisi Dataran Tengah termasuk orang-orang rumahku tanpa kecuali ….“Berita macam apa ini?” komentar ayah mertuaku, mengacungkan koran pagi yang beliau bawa dari gerbang depan ke muka semua orang pas keluargaku duduk-duduk santai di beranda. “Kelompok pemburu baru naik ke peringkat besi di perburuan perdana. Mustahil. Mereka pasti menyuap pejabat.”“Peringkat besi itu kelas ce, ‘kan, Ayah Lian?”“Dari mana Anda tahu bila mereka menyuap? Bisa saja anak-anak ini memang punya bakat,” tanggap Ketua Sekte, menaruh cangkir teh lantas mengulurkan tangan pada Ayah Mertua. “Coba lihat, Besan ….”“Tidak ada yang mau menjawabku, tah?”“Kau benar, Bocah,” timpalku menanggapi Miki, kasihan. “Peringkat besi itu kelas ce, bintang dua, dan boleh berburu bersama regu-regu lain atau membentuk kelompok berburu besar.”“We, Paman. Kau tahu soal kelas sama peringkat pemburu?”Kini aku menjuling dengar balasannya.“Menurutmu?” kataku lantas kembali pada kegiatan semula, memberi makan Oren dan Ijo bersama primata-primata baruku di tepas tersebut. “Begini-begini aku pernah kerja bareng pemburu sama serikat, loh, ya.”“Katanya formasi regu mereka seorang pendekar berpedang besar, seorang pendekar pemegang anggar, satu orang penyihir penyembuh, satu orang pengguna mantra api, dan satu orang lagi seorang penjinak. Kombinasi tempur petarung jarak menengah dengan fokus pertahanan juga serangan melebar.”“Lihat wajahmu, Ketua. Apa kau tertarik pada mereka?”“Tentu saja!” jawab ketua sekteku semangat, “Besan, Anda juga pasti sudah bisa menebak as di regu ini adalah penyihir api dengan pemegang anggar mereka, bukan?”“Buat apa kau tanya itu?”“Ayolah, berhenti pura-pura di depanku. Tiga pendukung di regu baru ini menjadi jangkar ‘tuk pertempuran jangka panjang. Jangan bilang Anda tidak tahu?”“Aku tahu. Cuma ….”Kalian tahu, kini mataku curi-curi pandang dengar obrolan Ayah dengan Ketua Sekte. Dua orang tua itu mengulas formasi regu di koran tadi bak penonton sepak bola yang baru selesai menonton pertandingan tim kesayangan malam sebelumnya. Heboh, terus penuh dengan bumbu gestur nan lucu.Dan, sebagai salah seorang dari yang lagi mereka bicarakan pada waktu itu. Tanpa sadar diriku mulai geli sendiri ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Muqoddimah

Di publikasikan 03 Nov 2025 oleh Bangun

بِسْمِ اللَّهِ الرحمن الرَّحِيمِAlhamdulillahilladzi bini'matihi tatimussholihatSegala puji bagi Allah, zat yang menciptakan seluruh makhluknya di langit dan di bumi.Shalawat serta salam kita sampaikan kepada manusia terbaik yang Allah ciptakan untuk menjadi contoh teladan bagi manusia seluruhnya sampai akhir zaman, manusia terbaik yang membawa agama yang Allah ridhoi, membawa satu-satunya agama yang akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat.Dalam buku ini, kita akan membahas istilah-istilah yang sering kita dapatkan di dalam syariat Islam.Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada penulis, dan kepada semua pembaca buku ini.Semoga Allah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua.Allahuma amin

Istilah-istilah dalam Islam

61 - Buruan

Di publikasikan 22 Oct 2025 oleh Bengkoang

“Kerja bagus.”Minggu pertama Bulan Dua. Perburuan perdana regu pemburu baruku berjalan mulus, sangat mulus—bahkan. Saking mulusnya, sembilan puluh sekian persen daftar target di tangan Mita sudah tercentang dan gerobak-gerobakku kini penuh sama buruan hidup yang siap kami bawa pulang. Hanya kurang satu ….“Badak cula titanium, di mana kita bisa menemukan hewan ini?”“Apa di kertas itu gak ada keterangannya?” tanyaku, selesai mengikat tali gerobak buruan yang kusisihkan buat koleksi pribadi. “Ayo perjelas bagi hasil perburuan kita sekali lagi, bagianku plus ongkos gerobak-gerobak ini gak bakal kutagih. Asal—”“Semua hewan di gerobak khusus satu sebelahmu itu kau bawa pulang,” sambung Erik, cekak pinggang dekat gerobak buruan kami. “Dirimu sudah mengatakannya belasan kali. Saudara Mi ….” Ia mendekat. “Katakan padaku, kau sebetulnya mau melakukan apa terhadap hewan-hewan di gerobak i—”“Dia penjinak, Erik.”“Nah!” Kutunjuk Ken karena membantuku. “Aku mau membiakkan mereka. Pas usahaku nanti berhasil, kita jadi gak perlu repot keluar buat memburu mereka lagi, ‘kan?”Ting! Chloe mengirim notifikasi, hewan-hewan di Eldhera juga dari semua kanal yang pernah kudatangi telah dibiakkan di Kantong Hati Naga 2.3—nomor seri menara-menara dalam kantung ajaibku, 2.1 ‘tuk klasifikasi batuan; 2.2 flora atau tumbuhan; dan, 2.3 buat fauna.‘Alasan, Chloe,’ balasku lewat telepati, ‘biar mereka gak curiga pas nanti lihat di rumahku ada banyak hewan-hewan aneh sama langka ….’[Oh!] Begitu tulisnya lantas mengirim emotikon senyum. Ting! Balik ke Bintang Pertiwi. “Jadi, bisa ‘kan mereka kubawa ke rumah?”“Hewan-hewan kecilmu gak biasa.” Mita, supervisor perburuan perdana ini, garuk dagu sambil membungkuk dan cekak sebelah pinggang memeriksa kerangkeng binatang-binatang mungil di gerobakku. “Mi, apa mereka betulan mahal kalau dijual pas masih hidup?”“Bukan cuma mahal!” sambarku semringah, reaksi spontan sebab dapat pertanyaan yang kusuka. “Jika mereka berhasil dibiakkan, tren hewan peliharaan para penyuka binatang bisa kita rekayasa sesuka ha—”Oops! Kututup mulutku segera, sadar seringai kelompokku pas dengar hewan-hewan di gerobak sana mampu memanipulasi pasar hewan peliharaan menakutkan. Macam psikopat baru dapat tumbal ….*** “Ini tempatnya?”Dua hari kemudian ….“Tawonku bilang makhluk itu di jantung hutan.” Saat kelompokku berhasil menemukan lokasi badak cula titanium. “Cuma, kita belum bisa masuk sekarang.”“Hah? Kenapa?”“Ada pemburu lain di seberang sama kanan kita,” jelasku lalu toleh kanan kiri, memeriksa sekeliling sebelum lanjut meladeni Erik, terus berbalik dan menghadap pada semua orang. “Kalau maksa jalan sekarang, dia—maksudku si badak, bakal kabur ke arah mereka.”Aku lantas jongkok dan menggambar denah kasar posisi kami di tanah.“Gini …, jadi daripada masuk hutan terus bikin saingan-saingan kita untung, mending gali perangkap di sini sama tunggu mereka ngegiring makhluk itu kemari.”“Oh.” Mulut pemegang anggar sebelahku membulat, sedang tiga sohib di kiri dan seberangnya mengangguk-anggukkan kepala. “Aku paham ….”Tampaknya presentasiku jelas. Aku senang mereka tipe rasional yang bisa diajak kompromi ….*** Setengah jam kemudian. Ketika lima lubang sedalam betis hingga lutut dirangkap jaring berpenutup rumput tambah daun-daun kering telah siap ‘tuk ‘menyambut’ buruan kami ….“Hoi, Mi. Kenapa dia berhenti?”Kuangkat bahu sembari mendorong dua tangan naik ke pundak menanggapi delikan Mita di sebelah, tak tahu kenapa buruan kami tiba-tiba berhenti tepat di depan salah satu lubang yang kelompokku gali.Aku betulan tidak tahu. Ini benar-benar kali pertamaku lihat adegan begitu—kalau kalian percaya. Makhluk putih dengan tanduk di atas hidung itu maju mundur, menoleh, lantas mengejar ujung ekor macam anak anjing pas main di halaman. Kebayang?“Kau yakin dia belum menyadari jebakan kita, kan?”Kulambaikan tangan merespons pertanyaan tersebut, isyarat pada Erik dan Ken supaya bersiap dengan rencana kedua juga sekalian memberitahu Mark agar segera menggunakan keahlian uniknya. Segera ….“Sekaraaang!” Ketika waktunya pas. Diriku melesat bersama Mita mengikuti Erik dan Ken, sementara Mark seketika melompat lantas merapatkan tangan sambil merapal getaran yang sontak menahan kaki lalu menarik tubuh buruan kami ke salah satu lubang bak undur-undur sedang menarik mangsa di kawahnya—kemampuan unik nan menakjubkan.Yang, sigap dibalas dengking disusul terjangan bumerang dari arah berlawanan. “Berhenti kaliaaan!”“Mi, menunduk—huaaa!”Ya. Bisa kalian tebak. Mereka salah satu regu yang kusebut di awal tadi.Alasanku, Mita, Ken, sama Erik cepat-cepat pasang badan buat jadi pagar manusia pas Mark mengurus badak di belakang adalah fakta bahwa mereka sewaktu-waktu mungkin akan menyergap kami macam sekarang.Melempar bumerang besar yang baru saja dihalau gelombang suara oleh mantra jeritan Mita ….“Siapa kaliaaan?!” pekik seseorang dari seberang, muncul dari sela-sela siluet atau bayangan pohon di depanku dan semua orang. “Kami Regu Bulan Biru dari Serikat Pagar Putih, kenapa mencuri buruan kami?”“Omong kosong!” timpal Erik, pasang kuda-kuda memapak mereka. “Kalian gak lihat lubang-lubang di sana, hah? Jelas-jelas badak ini buruan kami.”Mengikuti si pemegang anggar. Aku dan Ken lantas memanggil koloni tawon dan merapal mantra cincin api serentak. Sementara Mita, kala itu sudah mundur untuk ‘menunggui’ lubang tempat badak kami terperangkap sekaligus membantu Mark di belakang.“Ayo perjelas situasi kita,” kataku, mengarahkan mata kelabang merah dan sengat para tawonku ke arah para penyergap. “Kami sudah melacak badak ini sejak meninggalkan Dataran Tengah dan masuk wilayah Purtara, menurut aturan Serikat kita tidak perlu bertikai jika buruan sudah ditandai oleh regu lain, bukan?”“Bacot!” sahut salah seorang dari mereka, pemegang pedang tulang besar. “Aturan pemburu dibuat oleh para pemburu. Kita pakai cara lama, maju—”“Tunggu!” Entah ada apa, tapi salah seorang dari para penyergap itu—wanita dengan topi runcing tinggi sama jubah biru gelap khas para penyihir—tiba-tiba menjeda kawan-kawannya lalu mendekat. “Regu bulan biruku adalah pemburu kelas baja, kami membutuhkan badak cula titanium kalian untuk naik ke baja tempa.”Dengar itu, Ken menurunkan kuda-kuda kemudian maju satu langkah.“Apa kau sedang—”“Benar!” timpal si wanita tanpa sedikut pun ragu atau sungkan, menyela seakan sudah tahu apa isi kepala sang penyihir api berambut merah tanpa perlu ia katakan. “Sebutkan harga kalian dan akan kugandakan ….”Kalian tahu, adegan macam begini mengingatkanku pada banyak kejadian di masa lalu.Ketika dua orang bertemu di jalan secara kebetulan, sama sekali belum saling mengenal dan tanpa ada niat apa-apa sebelumnya, kemudian melakukan sebuah transaksi tak terduga.Arogansi tidak biasa, percaya diri tinggi, tambah aura campur tekanan status serta latar belakang terasa dominan meski belum diungkapkan. Aku suka wanita ini. Cara ia menyeret kami ke ruang negosiasi persis orang-orang (serikat) dagang berpengalaman ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

60 - Perburuan Perdana

Di publikasikan 19 Oct 2025 oleh Bengkoang

“Gak telat, ‘kan?”“Sepuluh dua satu, sembilan menit lebih awal dari janji temu kita.”“Syukurlah ….”Hari pertama Bulan Dua, 224 Shirena. Tanggal perburuan perdana Regu Bintang Pertiwi dari Distrik Timur ….“Semua orang sudah kumpul. Erik, mana kertas misi yang akan kita ambil hari ini?”Erik, pendekar anggar dengan poni melengkung ke kanan bak paruh beo, mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam tas. Bisa kalian tebak berapa jumlahnya? Yup! Kurang lebih. Tebalnya hampir menandingi HVS baru beli. Mataku sampai terbelalak dengar bunyi mereka pas mendarat di lantai gerobak. Dug!“Kau gak salah, Erik?”“Salah?” Ia lantas menggeleng. “Aku mengambil misi semua jenjang. Mulai pemula sampai profesional, tidak ada lagi kertas di papan tugas selain yang kutunjukkan pada kalian sekarang.”“Sebanyak—”“Perburuan perdana harus spesial!” soraknya semangat, “terus, juga harus menjamin pamor kita bakal langsung meroket sampai menembus langit dan melanglang buana di luar angkasa.”“Kau terlalu semangat,” timpal Ken, “lagi pula, tidak ada ruang angkasa di Eldhera.”“Tahu, tapi aku lahir di Bumi yang percaya planet sama luar angkasa.”“Bisakah kalian lebih fokus?”“Si Ken yang mulai, Mita.”“Aku cuma mau meluruskan informasi. Salah?”Aku tersenyum lihat tingkah mereka dalam hati, lalu timbul rasa usil pada benakku seketika.“Aku penganut bumi datar.”“Nah!” Telunjuk Ken mencuat spontan, menunjukku antusias. “Bumi bola itu teori konspirasi. Semua foto dan video yang kita lihat di berita sama film soal planet lain cuma sains fiksi.”“Ngomong-ngomong soal fiksi, kita juga hidup di dunia fantasi.”“Jangan kau tambah lagi, Mi.” Mita menyikut lenganku. “Dua orang di sana sudah membuatku pusing dengan segala macam teori dunia dan kehidupan materialis yang katanya ‘sekadar’ ilusi ….”Ia menjuling sambil membuat tanda petik pakai gerakan jari.“Daripada meladeni mereka, lebih baik bantu aku pilih misi paling mudah sama cepat membuat kita terkenal.”“Kurasa Mark lebih jago soal memilih,” timpal Erik, angkat tangan bersama Ken.Yang sontak didukung orang sebelahnya. “Setuju.”“Aku percaya banyak hal perlu waktu sama butuh proses,” kataku lantas mundur lalu bersandar ke pinggiran gerobak, “kenapa gak ambil semua saja? Toh ….” Kutarik selembar kertas acak pakai Benang Pandora. “Monster paling bahaya di daftar serikat skalanya cuma rusa tanduk petir. Bisa kita jatuhkan dengan beberapa pukulan atau kita tangkap hidup-hidup buat dibiakkan terus jadi persediaan.”“Hem.” Mita melirikku dan tersenyum. “Ide membiakkan ini bagus juga.”“Aku suka percaya dirimu, Saudara Mi. Kita lakukan pakai cara itu. Erik, kau setuju denganku, ‘kan?”“Tanya si Mark, dia kaptennya. Cuma, karena si Mi bilang begitu, berarti tindakanku membawa semua kertas misi di perburuan perdana kita sudah benar.”“Ya, ya, kau benar sudah melakukannya. Puas?”“Sudah.” Mark selesai memilah kertas misi jadi beberapa tumpuk. “Dari paling dekat sampai terjauh, kita bisa menyapu semua sekali jalan.”“Haha. Bagus! Sebagai anggota tercantik di kelompok, aku a—”“Stop!” Ken dan Erik kompak mengacungkan tangan ke muka Mita. “Kami tahu apa yang mau kau lakukan. Sebaiknya jangan ….”Perburuan perdana. Mari lihat apa yang bisa kelompok ini lakukan ….*** “Paman Mi.”Bulan lalu, di Kantor Roda Batu, Gerbang Kanan Baruke.“Apa?” Aku menoleh ke belakang. Kulihat Miki bersama seorang wanita muda—yang, ketika itu tak langsung kukenali bahwa ia adalah Mo Lin. “Siapa ini?”Kujeda kegiatanku, baca harian pagi, lalu mundur dari sofa buat menyapa mereka sebentar.“Hallo, aku Mi. Apa dia pacarmu, Bocah?”“Paman Mi!” Miki melotot, sedang gadis sebelahnya hanya terkekeh. “Kau betulan gak kenal dia ini siapa?”Kugelengkan kepala bingung.“Sia—tunggu! Giok di pinggangmu … ah, aku tahu!”“Bagus. Kau butuh waktu buat mengenali Mo—”“Kau murid Belukar Semak!” tebakku riang pagi itu, “hah. Kurasa aku tahu alasanmu datang kemari, saudari seperguruanmu ada di ….”Aku berhenti bicara pas lihat wajah Miki.“Paman Mi. Apa kau serabun itu sampai gak tahu siapa yang lagi berdiri sebelahku? Dia ini Mo Lin, Mo Lin.”“Mo Lin?” Seketika, kepalaku mundur sesaat kemudian mendekat buat memastikan omongan si Bocah. “Mo Lin. Kau Mo Lin tunangan saudara seperguruanku?”“Maaf tidak langsung memberitau Anda, Leluhur—”“Hayyah! Kau sudah tinggal bersamaku cukup lama, kenapa malah memanggilku leluhur lagi?”“Paman Mi, Mo Lin akan pergi besok.”“Hah?” Aku terbelalak. “Pergi, pergi ke mana?”“Sekteku sedang menghadapi krisis. Ketua memanggil para murid untuk kembali ke perguruan segera. Karena itu ….” Mo Lin memberi hormat. “Diriku rencananya akan berangkat ke Tianwu besok pagi, Leluhur.”“Eh? Kau bisa pergi sesukamu, tidak perlu bersikap formal begini. Jangan panggil leluhur, kau saudari iparku.”“Panggilan pulang ini bukan perintah biasa, Paman Mi,” tambah Miki, ia mendekat lantas menjelaskan situasi gadis itu sambil berbisik. “Kau tahu, Paman, sektenya memaksa Mo Lin agar menjadi ….”Mataku membelalak tiap kali dengar detail pada penjelasan si bocah. Mo Lin bukan sekadar dipaksa pulang, tapi juga harus mengorbankan diri demi menyelamatkan Sekte Belukar Semak di tengah krisis mereka. Masalah pelik yang selanjutnya jadi bahan pikiran Saudara Seperguruan Qin hingga dua hari kemudian ….“Aku tidak bisa membiarkannya, dia calon istriku. Mana mungkin kurelakan dirinya begitu—”“Terus dirimu mau apa, hah?” tanyaku pas menemani si calon ketua sekte plontos main catur, “Mo Lin pulang naik kereta kemarin sore, kalau mau menyusul kau butuh tunggangan yang bisa lari secepat Pelangi-ku.”Saudara Seperguruan Qin berhenti mondar-mandir, menoleh, lalu mendekat.“Junior, kau barusan bilang …?”“Aku gak bilang apa-apa.”“Pinjamkan Pelangi-mu padaku, Junior. Aku akan menyusul calon istriku hari ini—tidak, sekarang juga!”“Percuma!” Kupalingkan badan ke arah lain. “Burung purba satu itu makan banyak, dia menghabiskan belasan kilo dalam seminggu. Kalau mau awet, harus sekalian bawa beberapa sarang tawon terus ….”Kalian tahu, saudara seperguruan plontosku ternyata sudah lenyap waktu diriku menoleh. Dan saat kuperiksa ke kandang, ia betulan membawa Pelangi bersama semua sarang tawon di sana.“Cek! Aku belum bilang kalau tawon-tawonku baru kehilangan ratu lama mereka.”Aku selalu ingin ketawa pas ingat kejadian hari itu ….“Kenapa kau senyam-senyum sendiri, Saudara Mi?”Kembali ke hari ini, perburuan perdana Bintang Pertiwi.“Apa dirimu tidak sengaja menghirup racun monster bunga di sana, hah? Kemarikan tanganmu—”“Aku baik-baik saja.” Sigap kutarik kembali lenganku lalu menggeleng menanggapi Erik. “Barusan … cuma kebayang hal lucu,” kilahku lantas merayapkan ratu tawon baru dari bahu ke punggung tangan, “Cantik, lihat bunga besar di sana itu, ‘kan? Ayo, bawa teman-temanmu buat menyerbuki dia—sana!”Begitu ratu tawon kulepas ke udara, koloni yang menunggu di sekitar segera lepas landas kemudian menyerbu bersama sang ratu. Mengepung buruanku dalam formasi deru nan menggigilkan badan hingga ke tulang ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

59 - Sebelum ke Benua Baru

Di publikasikan 19 Oct 2025 oleh Bengkoang

“Pagi, Sayang.”“Pagi. Tumben, mukamu cerah.”Kukecup kening istriku lantas ikut duduk di meja makan bersama semua orang.“Punya istri cantik, putri yang manis, mertua ….” Kutoleh ayah Berlian terus senyum. “Dermawan dan sangat pengertian, lalu ketua sama saudara seperguruan bisa diandalkan. Apa lagi yang kurang di hidupku?”“Kau belum menyebutku, Paman Mi!” sambar Miki, mengacungkan tangan dari ujung meja. “Apa gak mau memanggil calon menantu yang baik dan penurut ini?”“Ah!” Kutunjuk dirinya ceria. “Kau bocah comblang yang mempertemukanku dengan Nyonya Mi—”“Hahaha.” Semua orang tertawa, kecuali Miki. Ia cemberut sebentar lantas mengalihkan diri pada mangkuk dan makanan di depannya ….*** Tanggal 24 Bulan Pertama, sehari usai dengar kabar bila jalan ke Benua Baru terbentang di utara.“Apa Saintess ada?”“Nona Saintess sedang—”“Ini masih pagi, Ure,” tegur suara perempuan dari belakang, Naila. “Tidak apa-apa, dia tamuku … aku akan berkeliling distrik, kau boleh mengikutiku kalau mau.”Karena hari itu diriku tidak punya kerjaan, plus ada yang mau kubicarakan dengan gadis ini, aku pun naik ke punggung Pelangi.“Aku akan mengikutimu ….”Sesaat kemudian, di perjalanan menuju Alun-Alun Distrik Barat.“Kudengar kau mendaftar ke serikat kemarin, apa benar?” tanya sang Saintess dari tandunya, membuka topik dengan kegiatanku hari kemarin. “Katanya, kelompokmu sekarang isinya para pemburu veteran.”“Mereka penyintas era Chloria.” Kusesuaikan laju Pelangi sejajar dengan tandu milik Naila. “Yang, kau tahu, pernah dipanggil oleh Kaisar Brave.”“Mereka masih ada?”“Setahuku sisa empat orang, yang mendaftar jadi pemburu bersamaku kemarin.”“Oh. Kukira mereka semua punah pas perang besar Kyongdokia—Jian Seng, ternyata masih ada yang bertahan sampai zaman ini.”“Bahasamu ….” Aku menjuling, rada delik sebetulnya, ke arah tandu si saintess. “Kau pikir mereka binatang?”“Eh?”“Punah,” jelasku rada sebal, “cari kata lain yang lebih halus sama enak didengar. Aku kesal kaupakai istilah itu buat merujuk manusia, Naila.”“Ya … apa kata lain yang bisa mengganti situasi macam kematian massal?”Aku berpikir sejenak. Ada kata binasa, habis, langis, musnah, rembas, tumbas, tumpas, sama tumpur. Namun, rasanya aneh kalau mereka dipakai buat ganti punah di kalimat Naila.“Hem. Ada tamat riwayat, tapi masih kurang kena.” Sayang, diriku tak menemukan diksi lain buat mengganti kata punah tadi. “Kurasa di konteks ini aku yang terlalu sensitif. Kau benar.”“Tamat riwayat bisa dipakai. Ehem! Begini, ‘Kukira riwayat mereka benar-benar sudah tamat pas perang besar Kyongdokia—Jian Seng, siapa sangka masih ada yang bertahan sampai zaman ini.’ Bagaimana?”“Apa itu penting?”“Kau yang mulai tadi.”“Ah, iya.” Kuanggukkan kepala setuju. “Agak maksa sih, tapi lumayan.”“Bagus. Sampai mana tadi?”“Tadi?” Kulirik riwayat obrolan di atas sekilas. “Oh, ‘… bertahan sampai zaman ini.’”“Ya. Kupikir mereka—kenapa rasanya kita cuma berputar-putar di situ, Ure?”“Eh?! Benar juga.”“Akh! Intinya aku kaget para penyintas itu masih ada, titik. Jangan diputar-putar lagi!”Aku garuk pipi dengar protesnya.“Jadi apa rencana kalian, Ure?” tanya Naila kemudian, melanjutkan topik sesaat tandunya berhenti guncang-guncang gegara ia tadi kesal. “Aku yakin dirimu takkan memilih serikat kalau cuma buat urusan sepele, apalagi empat orang yang kita bahas sekarang akan lebih aman jika terus sembunyi di balik bayangan. Benar?”“Benar, tapi masuk serikat bukan ideku.”“Hah?”“Aku awalnya minta tolong empat orang ini untuk menyabotase rencana Serindi soal pintu dunia lain, sekalian mencari cara buat mengembalikan mereka ke kanal asal. Pikiranku waktu itu, menyelinap di antara gerakan pasukan Serindi bukan hal sulit dengan keahlian bawaan sistem milik para penyintas.”“Terus kenapa kalian malah mengekspos diri?”“Salah seorang di antara mereka percaya bahwa cara membersihkan gulma adalah dengan mencabut hingga ke akar-akarnya, jadi daripada sekadar sabotase terus memberi kesempatan kedua kenapa gak kami rancang situasi di mana Serindi hanya punya satu pilihan tanpa ada peluang bangkit lagi.”“Dan apa itu?” “Yakni menyerah pada ambisi dominasi mereka.”“Bwahaha!” Saintess terbahak. “Menyerah pada mimpi dominasi mereka—lucu! Ini sangat lucu, benar-benar lucu, Ure. Hahaha ….”Ya. Aku juga begitu pas dengar saran Mark dkk. kemarin.“Bagaimana jika kubilang dengan menyeberangkan Barat ke Timur macam yang kulakukan pada Matilda?”Naila sontak bungkam.Aku tahu benar para saintess punya kebiasaan mencatat sejarah dengan detail lalu mewariskannya sebagai kisah untuk bahan belajar saintess-saintess berikutnya.Jika Naila tahu soal para penyintas dari masa perang Kyongdokia melawan Jian Seng di era Chloria, mustahil dirinya tidak tahu apa yang terjadi pada periode Mirandi, bukan?“Kau sedang membual, ‘kan, Ure?”“Kenapa kau berpikir begitu?”“Menyeberangkan Barat ke Timur bukan sekadar butuh niat, tapi juga sokongan logistik berat tambah sumber daya manusia terlatih. Bagaimana kalian akan melakukannya dengan kekuatan lima orang. Mustahil.”“Kau benar. Empat orang penyintas zaman Chloria tambah diriku mustahil memaksa Barat bergerak ke Timur tanpa sesuatu yang besar, apalagi pasangan penyintas dan sage tambah pahlawan zaman ini masih ada.”“Lantas kenapa dirimu terdengar sangat percaya diri?”Kudongakkan kepala bangga sebelum menjawab Naila.“Pertama, aku punya dirimu. Saintess sekaligus satu-satunya suar sihir glorian.”“Apa maksudmu?”“Menyeberangkan Barat ke Timur cuma bisa dilakukan lewat satu jalan, yaitu Dataran Tengah, benar?”“Jangan bertele-tele, langsung beri tahu aku!”“Akan kupancing regu pahlawan tambah penyintas dunia lain bersama pasangannya kemari—”“Aaah!” Kudengar sorak panjang dari arah tandu. “Kau mau bikin gara-gara di wilayah kuilku. Sialan.”“Dengan kemunculan regu baru yang lebih mendominasi daripada pahlawan bersama rengrengan-nya, kurasa sulit buat menemukan tempat terbaik selain kuil widupamu. Naila, Bintang Pertiwi cuma akan tinggal di sini sampai kuping pahlawan panas dengar nama kami. Setelah itu aku dan empat orang tadi akan langsung pergi.”“Itu yang kubenci dari kalian,” keluhnya, “kenapa tidak sekalian lambungkan pamorku sampai ke ujung—”“Ya, lalu menyebarkan delusi utopiamu ke seluruh benu—”“Hei!” Ia memekik dari dalam tandu. “Utopiaku bukan delusi, ya! Enak saja! Kau lihat sendiri semua ras yang hidup di sini berada dalam harmoni—har-mo-ni!” “Selama masih di wilayah delapan distrikmu, ya!” timpalku sembari menoleh ke tandu Naila, “semua tampak baik-baik saja dan berada dalam harmoni macam yang kau bilang. Namun ….” Kutengadahkan kepala sejenak lantas tanya, “Pernahkah dirimu mengintip ke luar tembok utara atau selatan?”Tidak ada sahutan, jadi kulanjut narasiku.“Bertempur sudah merupakan naluri alami bangsa monster. Sulit mengubah itu dalam tempo singkat walau kaupaksa sedemikian rupa ….”Ya, aku pun gagal melakukannya dan beralih dengan mempelajari mereka bersama Letta. Simpulan kami ialah tak perlu ada utopia, melainkan cukup sediakan wadah di mana makhluk-makhluk buas ini mampu melaksanakan peran tanpa takut gangguan pihak luar—atau, pada kasus kami kala itu, manusia.Makhluk yang katanya memiliki akal dan dianugerahi kemampuan berpikir, tapi kerap hanya ia gunakan ‘tuk memikirkan diri mereka sendiri. Egois.***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

58 - Serikat Petualang

Di publikasikan 19 Oct 2025 oleh Bengkoang

“Kau yakin kita mau mendaftar jadi pemburu di sini?”Semua orang kompak menoleh Mark dengar pertanyaan Erik. Pria jangkung itu lantas menegapkan badan, merapikan postur sebagai tanda kebulatan tekad sebelum kakinya lanjut melangkah menuju pintu gedung di hadapan kami. Sedang diriku dan tiga orang lainnya, menyusul usai silih lirik sama saling timpal pakai gerakan bahu.Minggu keempat Bulan Pertama 224 Shirena ….“Anda berlima satu kelompokkah?”“Ya. Aku seorang tanker, Erik damage dealer, Ken mage, Mi dan Mita support.”Resepsionis melongo dengar penuturan Mark.“Maksudnya orang ini pengguna pedang besar,” jelasku, menggeleng di depan meja resepsionis. “Sebelahnya pemegang anggar, yang itu penyihir elemen, terus wanita di sana penyembuh, terakhir aku seorang penjinak. Ini tamonku, ratu tawon dengan koloni mereka di luar.”“Oh.” Mulut resepsionis membulat dan kepalanya mengangguk dua kali. “Saya akan segera kembali, silakan tunggu di bangku sebelah sana.”“Terima kasih ….”Sesaat kami berlima duduk.“Hei, apa kalian pikir kita lagi main game?”“Jangan tanya aku.” Erik mundur, membiarkanku melongok Ken.Gerakan yang segera orang sebelahnya tepis dengan ikutan mundur. “Aku juga gak mau jawab. Mark.”“Kita sama-sama belum punya pengalaman sebagai pemburu serikat,” timpal orang ketiga, menyulam jari dan menumpu sikut pada lutut saat Ken selesai mundur. “Tadi itu spontan.”“Pengalaman pertama, kalian berharap apa?” tanggap Mita dari ujung, duduk tumpang kaki sembari melihati kaca bedak dan merapikan lipstik sebelah Mark. “Masih untung keterima juga—”“Tunggu!” Kegiatan yang sontak menggugah rasa penasaranku. “Mita. Bedak sama liptsik yang kau pegang, apa mereka dari bumi?”“Ini?” Ia tunjukkan dua benda di tangannya. “Jangan ngawur, mana mungkin barang dari zaman itu masih ada sampai sekarang, huh. Mereka kubeli waktu liburan ke Benua Baru.”“Benua Baru?”“Ya. Aku membelinya sebelum berlayar kemari ….”Kalian tahu, bak dengar geledek siang bolong, mataku terbelalak dan tubuhku terperanjat seketika Mita bilang ia dan kawan-kawannya baru kembali dari Benua Baru empat dekade lalu. Kabar yang juga sontak membuatku melesat ke Baruke lantas kembali dengan sebuah peta lama ….“Tunjukkan!” kataku begitu peta tersebut kugelar, “tunjukkan di mana letak pelabuhan yang kau bilang tadi.”“Hem.” Mita dan teman-temannya tampak ragu. “Aku tidak yakin, tapi ….”Lihat titik yang mereka tunjuk, kutahu bila empat sekawan itu datang bukan lewat timur atau barat.“Kalian yakin ini tempatnya?” “Saudara Mi, kenapa kau kelihatan sangat cemas?”“Bertahun-tahun aku mencari putriku di Benua Lama,” tuturku di depan mereka, “Benua Baru adalah satu-satunya harapanku untuk menemukan dirinya. Itu kenapa kubilang kemarin ingin pergi ke sana ….”*** “Apa hari ini melelahkan?”Senyumku mekar tatkala Berlian menyambutku di halaman depan rumah, meskipun detik berikutnya ia lekas melayu lantaran apa yang kudengar tadi siang. Sore hari, tanggal 23 Bulan Pertama, selesai mendaftarkan Bintang Pertiwi, kelompoknya Mark dkk., sebagai regu pemburu dari Distrik Timur Kuil Widupa yang bersertifikat dan diakui serikat.“Kenapa wajahmu murung lagi?” tanya Lian, membuka topik dengan menekan dua pipiku gemas. “Kau gak senang melihatku, ya?”Kupegang kedua tangannya terus ambruk, terduduk di tengah-tengah antara gerbang sama teras depan, hingga sang Nyonya Mi seketika ikut tersungkur dan jatuh ke badanku.“Ya, ampuuun—Sayang!”“Jangan bangun dulu.” Sigap kutarik lagi lengannya agar ia duduk bersamaku. “Aku mau cerita soal tadi.”“Apa gak bisa di dalam saja?”“Di dalam banyak orang.”“Di sini kotor.”“Tinggal mandi.”Berlian menjuling.“Kata Soran, kau tadi dari sini—”“Aku dapat kabar soal Miaw,” selaku lantas merebah ke pangkuannya, “Benua Baru ternyata bisa diseberangi lewat utara. Sayang ….”Istriku tak lekas menanggapi, ada jeda hening sekian detik sebelum dirinya merespons dengan bertanya.“Siapa Miaw?”“Balqiria de Miaw el Tiltina.”Berlian menatapku, tanda tanya di wajahnya makin kentara.“Putriku,” terangku lalu bangkit kemudian duduk menghadapnya, “putri sulung dari istri pertamaku ….”*** Malamnya, masih tanggal yang sama. Sehabis membersihkan diri bersama istri ….“Hah.” Aku duduk selonjoran di karpet ruang tengah, menyalakan kemenyan di pedupaan, terus menengadah sembari memikirkan kejadian-kejadian yang kulalui sejak meninggalkan Istana Naga Letta. “Kenapa gak tanya dia, ya?” gumamku meratapi diri, “padahal kemarin kami—”“Siapa lagi?” jeda Berlian, muncul dalam balutan gaun malam dan handuk masih terikat di kepala. Ia kemudian duduk depan meja rias, membuka kotak ‘perlengkapan dan alat tempur’ para wanita, lalu tersenyum padaku lewat pantulan mukanya di kaca. “Kau lagi memikirkan siapa tadi, hah?”“Tika,” jawabku terus terang, aku selanjutnya mendekat dan memeluk pinggang Lian dari belakang. “Pemilik Kemah Tikar Dagang.”Berlian menoleh, mencolek pipiku, terus lanjut pada kegiatan sebelum tidurnya.“Aku mampir ke tempat wanita itu pas Ekspedisi Tujuh Panji kemarin, malahan sempat lihat peta dunia baru yang ada kedua benua di Kantor Layanan Tikar Dagang Dua Pekan di sana.”Kucium leher istriku lantas memejamkan mata di pundaknya.“Cuma sayang, kesempatan buat tanya cara menyeberang ke Benua Baru kulewatkan begitu saja.”“Hem.” Berlian menempelkan kepala kami. “Kau ini, bukanya tadi baru dapat kabar bagus?” ucapnya lembut, “kenapa malah menyesali yang sudah lama terjadi?”“Benar, tapi aku masih kepikiran. Kalau—”“Ssst! Jangan katakan lagi. Mengeluh takkan mengembalikan waktu yang sudah hilang.”“Benar lagi.” Kubuka mataku dan tersenyum. “Toh, sekarang aku tahu kita bisa pergi ke Benua Ba—”“Eh, ya! Jadi kapan?”“Kapan?” Aku melotot. Sedetik kemudian diriku paham. “Oh. Tunggu urusan dengan Serindi beres dulu. Aku kadung minta bantuan banyak orang buat melumat mereka, Sayang.”Berlian mengangguk, selang beberapa saat dirinya pun rampung berdandan.“Aku sudah selesai. Ayo tidur ….”*** Tadi siang, pas dengar jalan ke Benua Baru terbentang lebar di utara.“Kalian gak lagi bohong padaku, ‘kan?”Aku masih belum bisa percaya, padahal sudah kuulang pertanyaan itu sekian kali di depan Mark dkk. Namun, rasanya bagai mimpi. Selama ini diriku dan Letta percaya bahwa satu-satunya cara ‘tuk menyeberang ke Benua Baru adalah dengan menyingkap tabir pembatas benua setelah mengalahkan raksasa penjaga di selatan.Siapa sangka bila sejak perang besar era Chloria dan Yamadi memilihku sebagai penerus, pembatas yang dahulu menghalau gelombang serbuan ultrus beserta para pemegang manik darah tidak pernah muncul kembali.Siapa sangka bila siklus Eldhera ternyata terputus di zamanku ….“Kalian benar gak lagi bohong?”“Saudara Mi, kau terus menanyakan itu dari tadi. Apa gak bosan?”“Benar. Aku mulai mual.”“Kalian benar baru berlayar dari Benua Baru empat puluh tahun lalu?” tanyaku sekali lagi, ganti kalimat supaya jangan monoton. “Seperti apa di sana sekarang? Apa Eldheran masih ada? Kekaisaran Sirena bagai—Famora?!”“Kerajaan bajak laut dan semua yang baru saja kausebut sudah lama runtuh, Saudara Mi.”“Mark!” Aku mendelik. “Bilang kalau yang kudengar ini bohong.”“Kami tidak bohong,” tegas Mita, bangkit lantas melipat tangan. “Sirena yang terakhir berdiri sebelum orang-orang memberontak terus menuntut revolusi. Sejak itulah Benua Baru bukan lagi peradaban pascaprimitif atau era pertengahan prakolonial.”“Apa maksudnya?”“Saudara Mi, kau mungkin belum tahu. Benua Baru sudah mengulangi siklus kehancuran dan pembangunan ulang berkali-kali. Aku bahkan sudah tak ingat kami berhenti menghitung di kehancuran keberapa ribu—”“Benar kata Erik!” dukung Ken, “bahkan penyintas angkatan kita yang punya keahlian regenerasi dengan daya tahan tubuh luar biasa saja sekarang cuma sisa empat orang. Aku, Mita, Mark, sama Erik. Kau tidak kuhitung karena tinggal di Benua Lama.”“Saudara Mi. Bukan maksudku memupuskan harapan atau apa, tapi kurasa putrimu tidak ada di Benua Baru.”“Mark benar, kami adalah penyintas terakhir yang berhasil selamat dari kehancuran massal ….”Siang itu sekitarku tiba-tiba jadi hening. Mita dan Erik yang tampak adu mulut sambil memperagakan tangan di depanku sama sekali tidak terdengar. Muka serius Mark. Ken yang lanjut melihati peta lamaku.Aku mendadak tidak bisa fokus untuk mendengar apa-apa lagi.Entah harus kutuliskan bagaimana situasi tadi. Namun, satu hal tidak berubah meski berita yang kudengar dari mereka separuhnya benar merupakan kabar duka. Harapanku masih enggan pupus ….***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

57 - Kelompok Penyintas

Di publikasikan 19 Oct 2025 oleh Bengkoang

“Kukira kalian takkan datang.”“Awalnya memang tidak,” timpal salah seorang dari mereka yang kutunggu malam itu, ia melompat dari atas gerobak lantas cekak pinggang menghadapku. “Namun, dia yang tahu tentang asal-usul Puncak Hijau dengan bekas lokasi Kemah Penyintas bukan orang sembarangan—”“Atau bukan seseorang yang seharusnya ada di zaman ini …,” sambung orang kedua yang turun dari gerobak tersebut, “benar begitu, ‘kan?”“Benar.” Aku tersenyum menyambut mereka ….*** “Paman Mi?”“Kau telat setengah dupa, Bocah!” ujarku pas Miki tiba, “para pegawaimu sudah pada berangkat ke pangkalan. Apa sanksi yang kau minta hari ini?”Minggu ketiga Musim Semi 224 Shirena. Ketika Baruke efektif kembali di Dataran Tengah …. “Hehe. Aku belum terbia—”“Kamarmu cuma sekian langkah dari sini,” selaku yang lalu menaruh laporan hari kemarin di sudut meja kerja anak itu, “apa perlu kupotong gaji atau sekalian mencopot jabatan kepala usaha sementaramu bulan i—”“Potong gaji!” sambar Miki, cepat-cepat menungkup laporan tersebut. “Aku akan berusaha buat bangun lebih pagi, Paman. Kau boleh pegang kata-kataku. Hehe.”“Baiklah.” Kuangkat bahu dan kugerakkan kepala sekali. “Roda Batu akan jadi perusahaan Soran. Kalau kau masih gak bisa menangani posisi kepala perusahaan ini sampai musim semi selesai, aku terpaksa turun langsung buat mengajari gadis itu—”“Percaya padaku, Paman.” Miki mengangguk, mantap. “Percaya padaku, ya? Akan kubantu Soran menangani semua urusan perusahaan sepenuh hati ….”Kusenyumi dirinya singkat.“Hem. Jangan buru-buru mau memajukan perusahaan, mulai dengan menstabilkan pemasukan terus buat satu atau dua rencana perluasan bertahap pakai modal kita. Baca laporan di tanganmu, pahami, lalu atur poin-poin yang perlu dibahas bersama para penyelia nanti sore.”“Siap, Bos!”“Bagus. Aku ada urusan di luar, jadi gak akan mengawasimu hari ini.”“Tenang saja, Paman.” Anak itu mengacungkan jempol. “Kau akan bangga setelah lihat hasil kerja calon me—maksudku hasil kerjaku bulan ini. Ya, hasil kerjaku!”“Kalau begitu buktikan. Mulai dengan memperbaiki kebiasaan bangun telatmu—aku pergi ….”*** Siangnya, di salah satu kantor usaha penyintas Puncak Hijau.“Ini.” Kusodorkan peta yang kuterima dari Pilo-Pato tadi pagi ke orang di meja direktur. “Serindi menarik pasukan mereka dan balik membuat pagar manusia enam mare dari pesisir timur.”“Maksudmu, Saudara Mi?”“Mereka ganti strategi,” timpal pria di sofa tamu, menjawabkan buatku. “Saudara Mi, apa sumbermu juga menyebut alasan kenapa Serindi mundur dari Ding?”“Kalau dugaanku benar ….” Aku pindah ke sofa lantas duduk dan merebah. “Orang-orang gila itu akan fokus mencaploki pintu-pintu dunia lain di sekitar Pi, Vu, dengan Kerajaan Nare lebih dulu. Mengumpulkan artefak putih di sana terus mempersenjatai bura atau yoram andalan mereka buat lanjut menggeser pagar.”“Huh.” Orang di meja direktur kemudian beranjak. “Aku akan mencocokkan peta ini dengan data kita. Erik, kau panggil Mita dan Ken kemari ….”Sesaat kemudian.“Mark belum kembali?”“Belum.” Kugelengkan kepala lantas balik rebahan sambil melihat langit cerah di seberang jendela. “Kurasa dia sekalian mencatat temuan-temuan baru di petaku.”“Bicaramu macam kami tidak pernah benar-benar kerja,” timpal Mita, satu dari dua orang yang dibawa Erik ke kantor tersebut. “Eh, ya! Ngomong-ngomong, kau yakin kita akan menemukan portal ke bumi pakai cara ini, Mi?”“Enggak.”“Lah, terus?”“Kalau dugaanku benar,” jelasku sebelum lanjut berkata, “kita mungkin bisa melacak saluran yang terhubung lewat kanal-kanal kecil itu buat menemukan portal ke bumi. Jadi, gak langsung Eldhera—Bumi.”“Bukannya kita dulu dipanggil ke dunia ini sekaligus?”“Benar, tapi para penyihir yang merapal mantra pemanggil saat itu langsung tewas begitu kita datang, bukan?”“Hah ….” Ken dan Erik kompak merebah di sofa sebelahku. “Seandainya dulu kita tidak terpencar—”“Cukup dengan keluhan kalian …,” sahut suara dari belakang, Mark. Ia kembali lalu menggelar peta besar di meja tengah-tengah ruangan. “Aku sudah menyalin semua koordinat dari peta baru kita. Coba lihat kemari.”“Ini peta—”“Yang Saudara Mi bilang mau kita pakai buat melacak portal ke bumi.”“Haha.” Ken tampak antusias. “Saudara Mi, bagaimana kita akan memulai penca—”“Jangan buru-buru,” ujar Mark, “Benua Timur sedang kacau gegara invasi Serindi. Bergerak tanpa persiapan sama saja dengan mengantar nyawa.”“Terus apa rencananya?” tanya Erik, mencondongkan diri pada sang direktur. “Portal-portal ke dunia kecil itu sekarang adalah harapan kita, kalau kau takut mati gegara manusia-manusia dunia ini aku—”“Mark benar,” tambahku selesai memeriksa penampakan peta di atas meja, “aku hidup bersama orang-orang Eldhera, mereka bukan npc atau mob yang bisa kita tebas terus abaikan begitu saja. Setidaknya buatlah rencana supaya kita bisa bergerak di antara portal-portal itu tanpa melibatkan diri pada urusan dunia ini.”“Setuju.”“Setuju.”“Hei, aku juga tanya itu tadi. Apa rencana kita?”“Aku belum punya,” aku Mark, merebah lemas di sofanya. “Selama ini aku cuma merekrut orang dan mencari penyintas yang tersisa sampai kita berlima bertemu, tapi kalian tahu sendiri ….” Ia sapu tatapan semua orang sekali kerling. “Selain jutaan tahun yang berjalan sangat lambat, diriku hanya ingin hidup tenang tanpa pernah benar-benar memikirkan bagaimana cara kita pulang.”Pulang? Aku ingin ketawa dengar kata itu.“Aku ingin ke Benua Baru.”“Eh? Maksudnya, Saudara Mi?”“Bicara soal pulang …,” sambungku, balik merebah ke sandaran sofa. “Aku sudah gak punya pikiran ke sana.”“Hah?”“Rumahnya di sini, Erik.” Mita bangkit lalu berdiri dekat jendela. “Maksud si Mi, kita sudah kadung tinggal lama di Eldhera dan secara tidak langsung juga telah menjadi bagian dari dunia ini.”“Menjadi bagian bagaimana, Mita?!” bantah Erik, ikut bangkit dari sofa. “Jelas-jelas kita semua dipanggil paksa waktu datang kemari, bukan manusia asli yang lahir di dunia i—”“Memang!” timpal Mita, menoleh singkat lantas melipat tangan dan menatap ke luar. “Aku paham poinmu, tapi maksudku manusia bukanlah batu. Kadang aku sendiri merasa takdir kita memang bukan untuk kembali. Apa bedanya datang lewat lingkaran mantra dengan lahir dari wanita Eldhera?”“Jika maksudmu beradaptasi kita sudah lama melakukannya,” timbrung Ken, “lihat ….”Bush! Pria itu memamerkan sihir burung apinya di hadapan kami.“Kuyakin kita semua pernah terkesan bahkan mempelajari keahlian dunia ini, ‘kan?”Aku senyum merespons dirinya kemudian ikut menjentikkan jari. Ctak! Memanggil ratu tawon beserta koloni di sekitar ‘tuk datang dan berkumpul di depan jendela.“A-apa i—”“Itu tawon-tawonku,” kataku, melambai-lambaikan tangan sembari mendekat ke jendela. “Bagaimana cara membuka kaca-kaca ini?”“Yang bisa dibuka ada di sudut, Saudara Mi.”“Ah, terima kasih.” Lekas kudekati jendela yang bisa dibuka lalu menjulurkan tangan, isyarat agar ratu tawon hinggap ke lenganku. “Pintar. Suruh kolonimu kembali, Sayang.”Setelah sisa tawon-tawonku bubar.“Keahlianmu menakutkan.”“Kau sendiri yang bilang kita mempelajari hal-hal mengesankan, Saudara Ken?” balasku lantas kembali ke sofa bersama ratu tawon merayap di lengan. “Lihat, bukankah ratu satu ini imut?”“Ahaha.” Erik telan ludah. “Tawon-tawonmu memang … mengesankan.”“Huh. Kupikir para pria hanya akan memilih keahlian-keahlian tidak berguna,” sindir Mita, yang juga hendak memamerkan keahlian. “Aku bi—”“Cukup.” Namun, baru juga wanita itu mau merapal, Mark sudah berdiri terus jalan ke meja direktur. “Kita di sini untuk membahas apa yang akan para ‘penyintas’ lakukan. Bukan malah adu kepandaian.”Kalimat bagus. Aku suka dia yang fokus.“Setuju,” ucapku sambil rebahan, “tiap periode punya penyintasnya sendiri-sendiri, akan bagus kalau kita bisa mengumpulkan mereka semua.”“Cita-citamu ketinggian,” sahut Ken, “tapi aku setuju.”“Alasan Ken dan Mark mendirikan kelompok ini juga itu, ayo lakukan.”“Huh. Kudengar penyintas zaman ini lumayan tampan. Ayo mulai dari dirinya ….”Memetakan koordinat portal kanal kecil dan mengumpulkan penyintas dunia lain, apakah langkahku tepat?***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

56 - Gerbang Baruke

Di publikasikan 19 Oct 2025 oleh Bengkoang

“Sekarang bagaimana?”Hari ketiga Musim Semi 224 Shirena.Aku, ayah mertuaku, Ketua, lalu Miki. Kami berempat merebah di sofa lobi sehabis mengulas gerakan Serindi yang nekat menerobos Tzudi dan Azura hingga sisi timur Ding. Langkah aneh yang menurut mertuaku disebabkan oleh beliau ….“Apa lagi?” ujar Ayah, balik tanya pada Ketua. “Gelang putih ini tidak boleh jatuh kembali ke tangan mereka atau kita semua takkan berakhir baik di hadapan manusia-manusia gila itu.”Miki menoleh padaku lalu kubalas spontan pakai gerak bahu tidak tahu. Sementara Ketua dan Ayah Mertua, keduanya terus menatapi gelang dalam kotak di meja serius.‘Sebenarnya apa rahasia gelang Ayah?’ batinku sebelum bangkit ‘tuk undur diri, “aku lapar. Ayah, Ketua, kami akan makan siang di luar. Ayo, Bocah ….”***“Eh, ya, Paman Mi.”Sekian saat kemudian, di warung pinggir jalan dua blok dari hotel kami.“Jangan tanya apa-apa dulu!” pintaku, menunjuk Miki tak semangat terus balik topang dagu memperhatikan orang lalu-lalang sembari bergumam. “Kuil Widupa selalu jadi tempat teramai di benua. Semua orang datang kemari, tapi kenapa mereka gak membuka gerbang macam dulu?”Miki selanjutnya pindah duduk ke sebelahku, dan pangsit di mangkuknya masih ia camili ketika itu.“Paman Mi, kau sebenarnya sedang melihat apa?”“Kubilang jangan tanya apa-apa dulu, ‘kan—”“Tapi, Paman, melihatmu melamun begini bikin aku penasaran. Lihat mangkukku, ini sudah yang ketiga sejak kita duduk di sini ….”Kulirik mangkuk di tangan anak itu sekilas, dia benar-benar lahap untuk ukuran pemuda kurus.“Aku lagi mikir,” kataku kemudian, kembali melihat orang-orang di depan sana. “Bagaimana kalau kita buka usaha jasa antar sama angkutan umum?”“Ma-maksudnya?”“Kau lihat orang-orang yang lalu-lalang ini. Mereka hilir mudik dengan banyak belanjaan, benar?” “Terus?”“Kenapa gak kita bawakan tas mereka buat satu atau dua keping perung—benar juga!”Kalian tahu, bak kena siram air segar, mataku membelalak seketika.Lekas kuajak Miki ke Kantor Muri ‘tuk mendaftarkan kelompok usaha, membeli enam belas gerbong kereta dengan dua puluh empat ekor kuda dari pasar setelahnya, terus pasang iklan lowongan pekerjaan guna mencari enam belas pegawai lapangan tambah empat orang penyelia merangkap juru tulis. Belum cukup sampai di situ. Sorenya kubuka kembali gerbang Baruke buat jadi kantor sekaligus pangkalan dengan depo pertama usaha jasa angkut dan transportasi umum tadi ….“Hem.” Hingga satu minggu kemudian, tanggal 10 Bulan Pertama. “Aku baru tahu kau punya rencana untuk membuka tempat ini lagi, Ure.” Saintess datang dan menyalamiku selesai acara peresmian usaha baru tersebut. “Dari mana ide jasa angkut dengan transfortasi umum ini, hah?”“Jangan menggodaku …,” timpalku, senyum pada Naila lalu lanjut mengintip armada Roda Batu—kelompok usaha baruku—di luar lewat jendela. “Daripada kuberikan Baruke padamu cuma-cuma, mending kupakai dia buat menambah pemasukan.”“Alasan itu bisa kuterima.”“Huh.” Aku mendengkus. “Masalah ide, kau bisa tanya bocah sebelah sana.”“Bocah?” “Jangan tanya aku!” Miki sigap angkat tangan waktu sang saintess menoleh. “Minggu lalu Paman Mi melamun sambil melihat kerumunan depan warung pangsit. Terus dia bergumam, ‘Kenapa gak kita bawakan tas mereka buat satu atau dua keping perunggu.’ Setelah i—”“Miki …,” panggilku yang lantas kembali ke meja kerja, “jangan bongkar detail kegiatanku depan gadis ini. Dirinya bisa meniru banyak hal sekali dengar, kau tahu?” “Oh. Ayolah, Ure.” Naila menggeleng sembari menyusul mundur dari depan jendela lalu duduk di sofa tamu. “Para pendahuluku bilang tak ada ruginya bekerja sama denganmu ‘tuk memajukan Kuil Widupa, jadi jangan bersikap pelit di depanku begitu.”“Pelit?” Kulirik dirinya sebal. “Aku keluar sepuluh ribu keping perak tambah lima puluh emas buat modal kereta, kuda, dan upah dua bulan pertama pegawai. Kalau rincian itu kuberitahukan padamu, besok atau bulan depan mungkin akan ada pesaing di usaha tranportasi ini—paham maksudku?”Gadis itu menjuling sebelum menjawab.“Jangan khawatir. Saintess-Saintess pendahuluku bilang usaha terbaik jika kita bekerja sama adalah bank, jadi aku takkan tertarik pada hal lain.”“Benarkah?”“Kau bisa pegang kata-kataku. Dirimu bahkan boleh memonopoli ba—”“Kata-kata penguasa Kuil Widupa kurasa bukan bualan,” potongku lantas menyiapkan kertas dan pena, “mari catat apa saja yang bisa kita lakukan buat melengkapi utopiamu, Naila.”“Bagus. Omongan leluhurku benar ….”Alasan Saintess zaman ini datang ke peresmian Roda Batu adalah Gerbang Kiri Baruke. Atas arahan leluhur di Altar Jiwa, pagi itu ia menawariku keleluasaan gerak di Dataran Tengah meliputi segala urusan terkait izin tinggal, membuka usaha, bea cukai, pun seabrek tetek bengek administrasi yang nanti akan melibatkan dirinya dengan Kantor Pengadilan. Sebagai timbal balik diriku hanya perlu menandatangani berkas pengalihan sebagian properti Baruke, gerbang kiri tadi, jadi atas nama mereka.Hal yang takkan pernah kulakukan jika bukan gegara tidak punya pilihan ….“Ogah!” Jadi, kugelengkan kepala tegas. “Kalau kuil widupamu mau pinjam sisi timur tempat ini buat kantor bank macam dulu, dia bisa kusewakan setengah harga sebab kita kenalan lama.”“Apa tawaranku kurang besar, Ure?”“Bukan soal tawaran, Naila, tapi karena dia kenangan terakhirku. Rumah Permata Biru dan Rumah Seratus Bebek sudah hilang, jika Baruke dengan Rumah Kecil kalian ambil juga lantas di mana aku harus menunggu putriku saat dirinya kembali?”“Akh!” Sang saintess tidak puas, pasti. “Sadarlah, Ure! Putrimu sudah hilang jutaan tahun la—”“Diam!” Aku tak mau dengar. “Jangan asal bicara! Meskipun kau dengar semua dari Salsabila, aku tetap akan menunggunya pulang ….”Benar. Putriku masih hidup. Takkan kubiarkan siapa pun memupuskan harapanku. Istana Naga Timur masih berdiri. Ini bukti kuat dan tak terbantahkan bila Miaw masih hidup meski aku tidak tahu di mana rimbanya ….*** “Paman Mi.”Aku menoleh.“Jadi Soran betulan bukan putri sulungmu?”“Kau bukan baru pertama kali mendengarnya,” ujarku sebelum kemudian berbalik dan kembali ke Gerbang Kanan Baruke, “terus juga, sedikit yang kau tahu soal ini akan lebih baik, jangan katakan apa pun depan istriku atau kau jangan pernah dekati Soran lagi—”“Eh! Kau tenang saja, Paman Mi. Mulutku tertutup rapat ….”224 Shirena. Baruke kembali kubuka dan beroperasi di Dataran Tengah, merespons keserakahan Saintess atas utopia Kuil Widupa, sebagai penyedia layanan publik macam dulu.Sekaligus alasan untuk menjauhkan keluargaku dari keributan di timur ….“Saintess sudah pulang,” kataku pada mereka yang menguping dari balik pintu, “kalian boleh keluar—”Srek—bruk! Ketua, Senior Qin, dengan ayah mertuaku ambruk begitu pintu kugeser. Sedang Soran, ibunya, juga Saudari Ipar terkekeh pelan dari kursi di belakang mereka.“Sudah selesaikah?”“Kuil Widupa akan mengirim orang buat ‘menata’ Gerbang Kiri besok atau nanti sore paling cepat,” tuturku pada Berlian, “apa pun yang mereka lakukan, tolong jangan mendekat ke sana.”Selanjutnya kusenyumi semua orang lantas undur diri, hendak kembali ke ruang kerja di sebelah.“Hei, apa-apaan barusan itu? Menantu, Menantu—”“Ayah Lian, Paman Mi harus memeriksa rencana operasi Roda Batu. Jadi abaikan saja dia. Biar kuceritakan hasil pertemuan dengan Saintess pada kalian ….”Ini kali kedua keluargaku mengungsi setelah tragedi Kauro. Apa kami masih perlu menunggu kali ketiga untuk membalas Serindi?***

Segenggam Cinta 'tuk Berlian

Kesemutan di Kaki dan Selimut Hangat

Di publikasikan 12 Oct 2025 oleh Titik Nol

Satu jam berlalu dalam sekejap. Di pangkuan Adi, Lestari tidak hanya tidur, tetapi seolah-olah sedang melakukan perjalanan jauh ke dasar kesadarannya, ke sebuah tempat di mana tidak ada pager berbunyi atau monitor EKG yang berisik. Tidurnya begitu lelap, begitu damai, hingga Adi sendiri hampir ikut terbuai, meski kakinya sudah mulai mengirimkan sinyal protes.Kesadaran kembali pada Lestari secara perlahan, seperti saat ia terbangun di pagi hari tadi. Bukan karena suara, melainkan karena pergeseran internal. Ia merasa telah cukup beristirahat. Saat membuka mata, pemandangan pertama yang ia lihat adalah langit-langit apartemen yang temaram. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba memetakan kembali posisinya. Bantal empuk di bawah lehernya, sofa di punggungnya, dan... sesuatu yang hangat dan kokoh di bawah kepalanya. Adi.Ia tersadar. Ia tertidur di pangkuan Adi.Dengan gerakan sepelan mungkin, ia mengangkat kepalanya, mencoba untuk duduk tanpa membangunkan Adi, yang ia kira juga ikut tertidur. Namun, Adi ternyata terjaga. Matanya yang tenang menatap Lestari dalam cahaya redup."Sudah bangun?" bisik Adi, suaranya sedikit serak."Maaf, aku ketiduran. Kamu pasti pegal sekali," balas Lestari, juga berbisik.Saat itulah ia melihatnya. Saat Adi mencoba sedikit menggeser posisinya untuk memberinya ruang, Lestari menangkap sebuah ringisan kecil di wajahnya, sebuah tarikan otot yang coba ia sembunyikan."Kakimu..." kata Lestari pelan, naluri dokternya langsung aktif. "Kenapa tidak membangunkanku?"Adi mencoba tertawa, meski terdengar sedikit kaku. "Membangunkanmu? Rasanya lebih mudah membangunkan macan yang sedang tidur daripada melakukan itu." Lalu ia menambahkan dengan nada jenaka yang dipaksakan, "Oh, kakiku? Tidak apa-apa. Cuma lagi proses ganti wujud jadi agar-agar."Lestari melihat saat Adi mencoba meluruskan kakinya. Ia melihat bagaimana otot-otot di betisnya menegang dan bagaimana ia harus menahan napas untuk menahan sensasi ribuan jarum yang menusuk-nusuk kakinya. Kesemutan. Bukan kesemutan biasa, tapi kesemutan hebat yang datang setelah aliran darah terhambat untuk waktu yang lama. Seketika, sebuah pemahaman yang hangat dan menyakitkan membanjiri hati Lestari. Pria ini telah duduk tanpa bergerak, mungkin selama lebih dari satu jam, menahan kram dan ketidaknyamanan, hanya agar ia bisa tidur...........................................................Deklarasi cinta yang paling agung sering kali tidak diucapkan dengan kata-kata, melainkan dengan ketidaknyamanan yang ditanggung dalam diam: kaki yang dibiarkan kram, sisi tempat tidur yang lebih dingin, atau perjalanan memutar di tengah malam hanya untuk membeli makanan kesukaannya.Cinta adalah bahasa pengorbanan-pengorbanan kecil...........................................................Tanpa berkata apa-apa lagi, Lestari turun dari sofa, berlutut di lantai di hadapan Adi. Peran mereka kini berbalik."Jangan digerakkan dulu," katanya lembut, namun dengan nada otoritas seorang dokter yang tidak bisa dibantah. "Pegang pundakku."Adi menurut. Lestari meletakkan tangannya yang hangat di betis Adi yang kaku. Dengan keahlian yang terlatih, jemarinya mulai memijat dengan lembut, tidak terlalu keras, hanya cukup untuk merangsang kembali sirkulasi darah. Setiap pijatannya terasa begitu fokus, penuh dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan."Lain kali, bangunkan saja aku," kata Lestari pelan, matanya masih terfokus pada pekerjaannya."Tidak akan pernah," jawab Adi sederhana. Suaranya terdengar begitu mantap, begitu final, hingga Lestari tidak bisa membantahnya.Mereka berada dalam posisi yang aneh. Seorang dokter brilian yang sedang memijat kaki pasangannya yang kesemutan di ruang tengah yang remang-remang. Sebuah adegan "receh" yang terasa jauh lebih romantis daripada makan malam di restoran paling mewah sekalipun. Di sinilah cinta mereka hidup. Bukan dalam puisi atau janji, melainkan dalam tindakan nyata. Dalam kesediaan untuk saling menjaga, bahkan dari hal sekecil kesemutan.Setelah beberapa menit, Adi akhirnya bisa menggerakkan kakinya kembali, meski masih dengan sedikit rasa baal. "Sudah jauh lebih baik, Dok," katanya sambil tersenyum. "Terima kasih atas konsultasinya."Lestari bangkit, lalu mengulurkan tangannya. "Ayo. Pindah ke tempat tidur. Kasihan kakimu."..........................................................Hubungan yang kuat bukanlah tentang siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih sering memberi. Ia adalah sebuah tarian di mana peran penjaga dan yang dijaga bisa berganti tanpa perlu diminta.Hari ini aku menjadi pelabuhanmu, besok mungkin kau yang akan menjadi mercusuarku...........................................................Adi menerima uluran tangan itu dan berdiri, sedikit terhuyung, bersandar pada Lestari. Kini Lestari yang menopangnya. Sebelum mereka berjalan ke kamar, Lestari melihat sebuah selimut wol yang terlipat rapi di sandaran kursi. Ia mengambilnya dan menyampirkannya di bahu Adi."Untuk apa ini?" tanya Adi, bingung.Lestari tersenyum. "Gantian aku yang jaga," bisiknya. "Malam ini, pastikan kamu tidak kedinginan."Adi menatapnya, hatinya terasa begitu penuh hingga ia tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya bisa mengangguk.Bersama-sama, mereka berjalan pelan menuju kamar tidur. Satu orang yang baru saja pulih dari kelelahan jiwa, menopang satu orang yang baru saja pulih dari kelelahan fisik. Meninggalkan di belakang mereka ruang tengah yang sedikit berantakan, piring martabak yang belum habis, dan sebuah pelajaran penting tentang cinta. Bahwa cinta, pada akhirnya, adalah tentang kesediaan untuk saling bergiliran menjaga satu sama lain, bahkan saat keduanya sama-sama merasa lelah.

Garis Langit Abu-abu

Napas yang Melambat dan Channel Televisi yang Terlewat

Di publikasikan 12 Oct 2025 oleh Titik Nol

Setelah semua cerita dibagikan, keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka. Tapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Lebih padat, lebih kaya, seolah setiap molekul udaranya telah menyerap pemahaman dan empati yang baru saja mereka tukar. Lestari tetap berbaring dengan kepala di pangkuan Adi, matanya terpejam. Adi terus membelai rambutnya, sebuah gerakan ritmis yang menjadi satu-satunya denyut kehidupan di ruangan yang tenang itu.Perlahan, Adi mulai merasakan sebuah perubahan. Ia merasakannya melalui berat kepala Lestari di pangkuannya yang terasa sedikit lebih pasrah. Ia mendengarnya dalam napas Lestari yang berubah dari tarikan napas sadar menjadi embusan napas yang lebih dalam, lebih lambat, dan sepenuhnya teratur. Ia melihatnya di wajah Lestari yang diterpa cahaya temaram; setiap otot terakhir dari ketegangan profesionalnya kini telah benar-benar luruh. Lestari tidak lagi hanya beristirahat. Ia telah tertidur.Momen itu terasa begitu sakral bagi Adi. Di pangkuannya, tidak ada lagi Dokter Ayu yang heroik atau Lestari sang kekasih yang jenaka. Yang ada hanyalah esensi paling murni dari seorang manusia yang merasa cukup aman untuk melepaskan seluruh pertahanannya. Melihatnya begitu damai, begitu rapuh, Adi merasakan gelombang perasaan protektif yang begitu kuat, sebuah insting purba untuk menjaga tidur ini dari gangguan apa pun...........................................................Ada tingkat keintiman yang melampaui kata-kata dan sentuhan. Yaitu saat kau dipercaya untuk menjaga tidur seseorang. Menyaksikan napasnya yang teratur, wajahnya yang damai tanpa topeng.Di saat itulah kau tidak hanya melihat orang yang kau cintai, kau sedang melihat jiwanya yang sedang beristirahat...........................................................Adi sadar ia tidak bisa bergerak. Sedikit saja pergeseran, dan ia berisiko membangunkan Lestari dari istirahat yang jelas sangat dibutuhkannya. Jadi, ia tetap diam. Namun, pikirannya yang aktif butuh sesuatu untuk menyibukkan diri. Dengan gerakan yang sangat pelan agar tidak menimbulkan guncangan, tangannya meraba-raba meja kopi di sampingnya, mencari benda yang menjadi sahabat bagi mereka yang terjebak di sofa: remot televisi.Ia menekan tombol daya, dan layar televisi menyala tanpa suara—ia selalu mengatur volumenya di angka nol saat mematikannya. Di tengah keheningan apartemen, layar itu menjadi satu-satunya jendela yang bergerak. Adi mulai menekan tombol channel secara acak, sebuah kegiatan "receh" yang tidak membutuhkan konsentrasi.Layar itu menampilkan potongan-potongan dunia luar yang terasa begitu jauh. Sebuah siaran berita menampilkan grafik-grafik ekonomi yang rumit dan wajah-wajah politisi yang serius. Ia menekannya lagi. Sebuah sinetron lokal dengan adegan melodrama yang dilebih-lebihkan. Ia menekannya lagi. Sebuah acara memasak. Lagi. Sebuah dokumenter alam tentang kehidupan singa di sabana Afrika.Adi berhenti sejenak, menyaksikan gambar-gambar tanpa suara itu. Singa-singa yang sedang berburu, sebuah dunia yang penuh perjuangan untuk bertahan hidup. Ia tersenyum tipis. Mungkin, dunianya dan dunia Lestari tidak jauh berbeda. Hanya saja, sabana mereka terbuat dari beton, dan mangsa serta predatornya memiliki wujud yang lebih abstrak. Kaki kanannya mulai terasa kesemutan, tetapi ia mengabaikannya...........................................................Ukuran cinta yang sesungguhnya sering kali tidak terlihat dalam pengorbanan yang besar dan heroik. Ia tersembunyi dalam pengorbanan-pengorbanan kecil yang tak terlihat: membiarkan kakimu kram agar tidurnya tak terganggu, bangun di tengah malam untuk menyelimutinya, atau memberikan potongan martabak terakhir yang sebenarnya kau inginkan...........................................................Lestari sedikit bergerak dalam tidurnya, kepalanya bergeser, dan ia mengeluarkan sebuah gumaman pelan yang tidak jelas artinya. Adi seketika membeku. Ia berhenti bernapas sejenak, tangannya yang tadi membelai rambut Lestari kini diam, hanya menempel ringan di bahunya, menawarkan rasa aman bahkan di dalam mimpi. Setelah beberapa detik, napas Lestari kembali teratur. Ia kembali terlelap.Adi menatap wajah lelah yang damai itu. Haruskah ia membangunkannya? Memindahkannya ke tempat tidur yang lebih nyaman? Logika berkata ya. Tapi hatinya berkata tidak. Membangunkannya sekarang terasa seperti sebuah kejahatan kecil, seperti mengganggu sebuah proses penyembuhan yang sedang berlangsung.Ia membuat keputusan. Malam ini, sofa ini adalah tempat tidur mereka. Atau lebih tepatnya, tempat tidur Lestari. Dan pangkuannya adalah bantalnya.Dengan gerakan yang lebih hati-hati dari seorang penjinak bom, Adi meraih bantal sofa yang tidak terpakai. Ia sedikit mengangkat kepalanya, menyelipkan bantal itu di bawah leher Lestari untuk memberinya topangan yang lebih baik. Kemudian, ia mematikan televisi, mengembalikan ruangan itu ke dalam kegelapan yang menenangkan, hanya diterangi oleh pendar cahaya kota dari jendela.Ia bersandar ke belakang, membiarkan kepalanya menempel di sandaran sofa, memejamkan matanya sendiri. Ia tidak akan tidur senyenyak Lestari, ia tahu itu. Tapi malam ini, ia tidak sedang mencari kenyamanan untuk dirinya sendiri. Ia sedang menjadi kenyamanan itu. Di tengah keheningan malam, ia berjaga. Seorang penjaga yang diam, yang bayarannya adalah suara napas teratur dari orang yang paling ia cintai di dunia.

Garis Langit Abu-abu

Cerita yang Dibagi dan yang Disimpan Sendiri

Di publikasikan 12 Oct 2025 oleh Titik Nol

Keheningan pertama setelah Lestari keluar dari kamar mandi adalah keheningan yang sakral. Mereka duduk di sofa, berbagi piring berisi martabak keju-cokelat yang masih sedikit hangat. Untuk beberapa menit pertama, tidak ada percakapan. Hanya ada suara kecil dari piring keramik, tegukan teh melati, dan alunan piano lembut yang Adi putar. Ini bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh rasa syukur. Keduanya sedang mengisi kembali energi mereka, tidak hanya dengan makanan, tetapi dengan kehadiran satu sama lain.Lestari memejamkan mata sambil mengunyah potongan martabak pertamanya. Manisnya cokelat dan gurihnya keju terasa seperti sebuah hadiah di penghujung hari yang pahit. "Martabak ini," katanya pelan, matanya masih terpejam, "rasanya seperti kemenangan kecil."Adi tersenyum. Ia memperhatikan Lestari dengan tatapan seorang penulis yang sedang mempelajari karakternya. Ia melihat sisa-sisa kelelahan yang tidak bisa disembunyikan oleh piyama yang nyaman, dan sebuah keteduhan yang baru. Ia tahu ada cerita besar di balik hari ini. Tapi ia tidak akan menanyakannya secara langsung. Pertanyaan "Bagaimana harimu?" terasa terlalu kecil untuk menampung semua yang mungkin telah Lestari lalui.Sebaliknya, ia menunggu Lestari menghabiskan kunyahannya, lalu berkata dengan lembut, "Wajahmu tadi waktu pulang... kelihatannya lebih dari sekadar lelah biasa. Ada jejak pertempuran di sana."Pertanyaan itu adalah sebuah undangan. Sebuah kunci yang ditawarkan dengan hati-hati untuk membuka pintu yang mungkin masih tertutup rapat. Lestari membuka matanya, menatap Adi. Ia tahu ia bisa menceritakan semuanya. Tentang kepanikan perawat, tentang garis lurus di monitor, tentang sensasi dingin dari bantalan defibrilator. Tapi untuk apa? Untuk membagi beban, atau untuk menularkan trauma?..........................................................Berbagi cerita dengan pasangan bukanlah tentang melaporkan setiap detail dari harimu. Seni sejati dari keintiman adalah mengetahui detail mana yang harus diceritakan, dan detail mana yang harus kau simpan sendiri—bukan untuk menyembunyikan, tetapi untuk melindungi hati mereka dari gema pertempuran yang tidak perlu mereka dengar...........................................................Lestari mengambil napas, lalu mulai bercerita. Ia memilih kata-katanya dengan saksama, seperti seorang dokter yang sedang memilih dosis obat yang tepat."Paginya lumayan berat," mulainya. "Ada pasien yang kondisinya tiba-tiba drop. Kami harus... bertindak cepat." Ia berhenti sejenak, mencari kata yang pas. "Cukup... intens."Kata "intens" itu menggantung di udara, sarat dengan makna yang tidak terucapkan. Adi, sebagai pendengar yang peka, tidak mendesak untuk detail lebih lanjut. Ia mengerti. "Intens" adalah kode Lestari untuk situasi di mana ia harus berdiri di garis depan antara hidup dan mati. Itu sudah cukup.Lalu, Lestari mengubah arah ceritanya, membawanya ke sebuah tempat di mana Adi bisa masuk. "Tapi yang lucu," lanjutnya, sebuah senyum tipis kini bermain di bibirnya, "setelah semua kekacauan itu selesai, hal pertama yang aku pikirkan adalah betapa aku butuh kopi dosis kedua. Dan entah kenapa, aku merasa harus mengirim pesan konyol soal telepati itu ke kamu. Seolah-olah, pesan itu adalah penutup dari semua drama tadi."Adi mendengarkan dengan saksama. Ia mengerti apa yang sedang Lestari lakukan. Lestari tidak sedang membebaninya dengan detail traumatis dari pekerjaannya. Sebaliknya, ia sedang menunjukkan pada Adi peran pentingnya dalam proses pemulihannya. Ia menjadikan Adi pahlawan di babak akhir ceritanya.Kini giliran Adi. Ia tahu, cerita tentang rapat sinkronisasi data terasa begitu pucat jika dibandingkan dengan cerita Lestari. Tapi ia juga tahu bahwa ini bukanlah kompetisi."Aku juga tadi sempat 'drop' di ruang rapat," kata Adi, dengan sengaja meminjam istilah medis Lestari, sebuah "hal receh" yang membuat Lestari tersenyum. "Bukan henti jantung, tapi henti semangat."Ia menceritakan tentang kebosanan, tentang perasaan terasing, tentang bagaimana ia secara impulsif mengirim pesan itu di bawah meja. "Dan jujur saja," Adi mengaku, "balasan darimu tadi, lelucon soal telepati itu... itu adalah hal paling nyata dan paling penting yang terjadi di ruang rapat itu seharian ini. Rasanya seperti jangkar yang ditarik."..........................................................Dua orang tidak harus berjalan di jalan yang sama untuk bisa saling memahami. Mereka hanya perlu menyetel hati mereka pada frekuensi yang sama. Di frekuensi itu, keluhan tentang rapat yang membosankan bisa terdengar sama pentingnya dengan cerita tentang nyawa yang diselamatkan, karena keduanya adalah nada dalam lagu yang sama: lagu tentang perjuangan menjalani hari...........................................................Lestari menatap Adi, hatinya terasa penuh. Ia baru sadar. Pagi tadi, Adi telah memberinya kekuatan untuk menghadapi harinya. Dan ternyata, di tengah kelelahannya, ia tanpa sadar telah memberikan kekuatan kembali pada Adi untuk menghadapi harinya. Hubungan mereka bukanlah jalan satu arah di mana Adi selalu menjadi penopang. Hubungan mereka adalah sebuah siklus, sebuah pertukaran energi yang terus-menerus.Sisa martabak kini terasa tidak lagi penting. Cerita-cerita mereka telah dibagikan. Beban hari itu tidak hilang, tetapi terasa lebih ringan karena kini ditanggung berdua, bukan sebagai masalah, melainkan sebagai pemahaman bersama.Lestari menggeser posisinya, merebahkan kepalanya di pangkuan Adi. Sebuah gerakan yang penuh kepercayaan dan penyerahan diri. Adi secara naluriah mulai membelai rambut Lestari yang masih sedikit lembap, jemarinya bergerak dengan ritme yang lambat dan menenangkan.Mereka tidak lagi berbicara. Semua yang perlu dikatakan telah terucap, baik secara verbal maupun non-verbal. Kini yang tersisa adalah menikmati buah dari kejujuran dan pemahaman mereka. Di tengah keheningan yang nyaman itu, diiringi oleh sisa aroma martabak dan teh melati, mereka tidak hanya sedang beristirahat dari hari Senin yang panjang. Mereka sedang merayakan kemenangan kecil mereka: kemampuan untuk selalu menemukan jalan pulang, bukan hanya ke sebuah apartemen, tetapi juga ke dalam hati satu sama lain.

Garis Langit Abu-abu

Pintu yang Terbuka dan Aroma Martabak Keju

Di publikasikan 12 Oct 2025 oleh Titik Nol

Adi tiba lebih dulu. Saat ia membuka pintu apartemen, ia disambut oleh keheningan yang ia tinggalkan tadi pagi. Namun, keheningan itu kini terasa berbeda. Tadi pagi, keheningan itu penuh dengan gema kehadiran Lestari. Malam ini, keheningan itu terasa penuh dengan antisipasi akan kepulangannya.Ia meletakkan kotak martabak yang masih hangat di atas meja dapur, aromanya yang manis dan gurih langsung menyebar, seolah mengusir aura steril dari hari kerjanya. Dengan sebuah helaan napas panjang, ia melonggarkan ikatan dasi abu-abunya dan melepaskannya dari leher. Gerakan itu terasa begitu membebaskan, sebuah simbol pelepasan peran formalnya. Ia menggulung lengan kemejanya hingga ke siku, dan seketika itu juga, ia merasa lebih seperti dirinya sendiri.Ia tidak langsung duduk atau menyalakan televisi. Sebaliknya, ia berkeliling apartemen, membereskan hal-hal kecil. Merapikan bantal sofa, mengumpulkan beberapa majalah yang berserakan. Ia sedang mempersiapkan "sarang" mereka, memastikan tempat itu siap menyambut rekannya yang pasti jauh lebih lelah. Ia melirik jam di ponselnya: 18:45. Seharusnya Lestari sudah hampir sampai. Ia menunggu, mendengarkan dengan seksama setiap suara dari koridor.Lima menit kemudian, ia mendengarnya. Suara langkah kaki yang familier, diikuti oleh bunyi kunci yang dimasukkan ke dalam lubang. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Pintu terbuka. Dan di sana, berdiri Lestari.Ia terlihat persis seperti yang Adi bayangkan. Lelah. Rambutnya yang tadi pagi tertata rapi kini sedikit berantakan. Ada lingkaran samar di bawah matanya, dan bahunya tampak sedikit merosot, seolah menanggung beban yang tak terlihat. Tapi saat mata mereka bertemu, semua kelelahan di wajah Lestari seolah sedikit terangkat, digantikan oleh kelegaan yang begitu dalam...........................................................Ada pelukan perpisahan yang berat, ada pelukan perayaan yang riang. Namun, ada satu jenis pelukan yang paling jujur: pelukan "aku pulang".Ia tidak mengandung gairah atau euforia, melainkan kelegaan murni. Sebuah transfer beban tanpa kata, di mana satu tubuh berkata pada yang lain, "Tugas jagaku sudah selesai, sekarang giliranmu.".........................................................."Hei," kata Lestari, suaranya serak dan pelan."Hei," balas Adi lembut.Tidak ada lagi kata yang diperlukan. Lestari melangkah masuk, melepaskan tas kerjanya hingga jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk pelan. Ia berjalan lurus ke arah Adi dan langsung membenamkan wajahnya di dadanya, melingkarkan lengannya di pinggang Adi. Adi balas memeluknya, menopang tubuh Lestari yang terasa begitu lelah. Mereka berdiri seperti itu selama hampir satu menit penuh. Lestari menghirup aroma tubuh Adi yang khas, aroma rumah. Adi merasakan ketegangan di punggung Lestari perlahan mulai mengendur di dalam pelukannya."Aku bawa amunisi tambahan," bisik Adi di dekat telinga Lestari, sebuah callback jenaka dari percakapan mereka tadi pagi.Lestari tertawa kecil, suaranya teredam di dada Adi. "Aku mencium aromanya," jawabnya. Ia melepaskan pelukannya, meski masih tetap berdiri dekat. Matanya kini terlihat lebih hidup. "Terima kasih," katanya tulus. Kemudian, ia mengumumkan dengan nada yang tidak bisa diganggu gugat, "Aku mandi dulu. Aku merasa seperti membawa pulang separuh kuman dari rumah sakit."Sementara suara pancuran air mulai terdengar dari kamar mandi, Adi tersenyum. Ia mengambil kotak martabak, memindahkannya ke sebuah piring besar, dan menyeduh dua cangkir teh melati hangat. Ia meredupkan lampu utama di ruang tengah dan menyalakan alunan musik piano yang sama seperti tadi malam. Ia tidak sedang mencoba mengulang malam yang lalu. Ia sedang menciptakan sebuah kontinuitas, sebuah sinyal bahwa kedamaian yang mereka miliki adalah sesuatu yang bisa selalu mereka ciptakan kembali, setiap hari...........................................................Pancuran air hangat di penghujung hari adalah sebuah upacara sakral. Ia tidak hanya membersihkan debu dan keringat, tetapi juga mencuci bersih peran yang kita mainkan seharian.Di bawahnya, residu dari rapat yang alot, kekecewaan, dan beban tanggung jawab luruh bersama air, menyisakan hanya diri kita yang asli dan rapuh...........................................................Lima belas menit kemudian, Lestari muncul dari kamar. Transformasinya begitu menakjubkan. Ia mengenakan setelan piyama katun yang longgar, rambutnya yang basah terbungkus handuk, dan wajahnya bersih tanpa riasan. Jas dokter putih yang angkuh dan wibawa Dokter Ayu yang tajam telah sepenuhnya luruh, tergantikan oleh kelembutan Lestari yang apa adanya.Ia berhenti sejenak di ambang ruang tengah, melihat pemandangan yang telah disiapkan Adi. Martabak yang sudah dipotong-potong, dua cangkir teh yang mengepulkan uap wangi, dan alunan musik yang menenangkan. Matanya berkaca-kaca karena rasa haru yang tiba-tiba membuncah. Semua pertempuran yang ia hadapi seharian tadi—Kode Biru, pasien yang sulit, tumpukan laporan—terasa sepadan jika di penghujung hari ia bisa pulang ke pemandangan seperti ini."Sini," panggil Adi lembut dari sofa, menepuk-nepuk ruang kosong di sampingnya.Lestari berjalan dan duduk di sampingnya. Ia tidak langsung mengambil martabak. Ia hanya duduk di sana, menyerap suasana, membiarkan kedamaian itu meresap ke dalam pori-porinya. Adi tidak mendesaknya untuk bercerita. Ia tahu, sebelum berbagi cerita, Lestari butuh waktu untuk kembali menjadi dirinya sendiri.Di apartemen lantai tujuh belas itu, diiringi oleh musik yang lembut dan aroma martabak keju, dua dunia yang tadinya terpisah kini telah kembali menyatu dengan sempurna. Hari Senin mereka yang panjang dan berat, akhirnya, benar-benar selesai.

Garis Langit Abu-abu

Jarum Jam yang Merangkak Pulang

Di publikasikan 12 Oct 2025 oleh Titik Nol

Di kantor Adi, jarum jam di dinding seolah merangkak dengan sangat lambat menuju angka lima. Namun, tepat saat jarum panjang itu menyentuh angka dua belas, sebuah energi kolektif yang tak terlihat langsung menyebar ke seluruh ruangan. Suara ketukan keyboard yang tadinya konstan kini berganti menjadi suara klik mouse yang mematikan aplikasi, derit kursi yang didorong mundur, dan ritsleting tas yang ditarik. Pertanda jam kerja telah usai.Adi menyelesaikan kalimat terakhir dalam emailnya, menekankan tombol "kirim" dengan perasaan lega yang luar biasa. Ia menutup semua jendela aplikasi di komputernya satu per satu, seolah sedang menutup toko untuk hari itu. Terakhir, ia menatap wallpaper di layarnya—foto Lestari yang tersenyum di tepi sebuah danau—sebelum akhirnya mematikan komputer. Misinya hari ini selesai."Langsung pulang, Di?" sapa Pak Heru yang sudah menyampirkan tas di bahunya."Iya, Pak. Ada misi lain di rumah," jawab Adi sambil tersenyum."Hati-hati, jalanan lagi sadis-sadisnya," nasihat Pak Heru.Adi membereskan mejanya, memastikan semuanya kembali rapi seperti pagi tadi. Saat ia berjalan keluar dari gedung kantor yang dingin dan formal itu, ia merasakan sebuah kelegaan yang luar biasa, seolah baru saja melepaskan sebuah kostum yang berat. Persona Aditia Wibawa Sena, sang staf pemerintah, kini ia tinggalkan di mesin absensi sidik jari. Saat kakinya melangkah menuju parkiran motor, ia kembali menjadi Adi. Pikirannya tidak lagi dipenuhi oleh disposisi dan laporan, melainkan oleh pertanyaan yang jauh lebih penting: Malam ini masak apa, ya? Dan bagaimana kabar Lestari seharian ini?..........................................................Ada dua jenis lelah di dunia ini. Lelah karena jiwamu terkuras oleh rutinitas yang hampa, dan lelah karena jiwamu kau berikan seutuhnya untuk sebuah perjuangan yang bermakna.Keduanya membuat tubuhmu ingin rebah, namun hanya satu yang membuat hatimu merasa penuh...........................................................Satu jam kemudian, di belahan kota yang lain, jam di dinding ruang perawat menunjukkan pukul enam lebih. Lestari sedang duduk, menyelesaikan catatan perkembangan pasien terakhirnya untuk hari itu. Tubuhnya terasa berat, punggungnya sedikit pegal, dan matanya perih karena terlalu lama menatap catatan medis dan layar monitor. Hari ini, setelah insiden Kode Biru di pagi hari, sisa harinya dipenuhi oleh serangkaian "api-api kecil" lainnya: pasien yang kadar gulanya tiba-tiba anjlok, keluarga pasien yang meminta penjelasan berulang-ulang, dan tumpukan hasil lab yang harus ia analisis. Perisainya memang tidak retak, tetapi kini terasa sedikit penyok di beberapa bagian.Setelah menyerahkan laporannya kepada tim jaga malam, secara teknis tugasnya sudah selesai. Tapi ia tidak langsung pergi. Ia berjalan menyusuri koridor yang kini lebih tenang. Tujuannya: ruang ICU dan kamar nenek yang tadi pagi ia tenangkan.Di ICU, ia melihat dari balik kaca, pasien pria paruh baya yang tadi pagi ia tarik dari ambang kematian. Kondisinya kini stabil, mesin-mesin di sekitarnya berbunyi dengan ritme yang teratur. Sebuah kemenangan. Lalu, ia berjingkat ke kamar sang nenek dan mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Nenek itu sedang tertidur pulas, wajahnya terlihat damai, dan di meja samping tempat tidurnya ada sebuah gambar krayon hasil karya cucunya. Sebuah kemenangan kecil lainnya.Melihat kedua pemandangan itu, rasa lelah di tubuh Lestari seolah menemukan maknanya. Ini adalah alasannya. Inilah yang membuat semua kelelahan ini sepadan. Dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, ia kembali ke ruang ganti. Ia melepaskan jas dokter putihnya, menggantungnya di loker. Melepas jas itu terasa seperti melepaskan seluruh beban hari itu. Ia kembali menjadi Lestari. Dan Lestari ingin pulang...........................................................Perjalanan pulang bukanlah sekadar pergerakan fisik dari titik A ke titik B. Itu adalah proses alkimia di mana seorang profesional perlahan larut dan kembali menjadi manusia seutuhnya.Tujuan akhirnya bukanlah sebuah gedung, melainkan sebuah pelukan...........................................................Di atas sepeda motornya, Adi membelah kemacetan senja kota Bandung. Angin malam yang mulai dingin menerpa wajahnya, membersihkan sisa-sisa kepenatan dari ruang rapat tadi. Di tengah perjalanan, matanya menangkap sebuah gerobak penjual martabak manis yang ramai dikunjungi. Sebuah ide "receh" yang brilian melintas di benaknya. Ia menepikan motornya. "Satu martabak keju-cokelat, Mas. Yang spesial," pesannya. Ia tahu ini adalah salah satu "obat" favorit Lestari setelah hari yang panjang.Sementara itu, di dalam mobilnya, Lestari terjebak di tengah lautan lampu merah dan klakson. Tapi ia tidak merasa terganggu. Ia menyalakan musik, sebuah daftar putar berisi lagu-lagu folk akustik yang Adi buatkan untuknya. Alunan gitar yang lembut dan vokal yang menenangkan menjadi kepompong yang melindunginya dari hiruk pikuk di luar. Pikirannya tidak lagi pada pasien atau penyakit. Pikirannya sudah berada di depan pintu apartemennya. Membayangkan sebuah pancuran air hangat, secangkir teh, dan keheningan yang nyaman bersama Adi.Dua perjalanan yang berbeda, dari dua dunia yang kontras. Satu di atas sepeda motor yang lincah, membawa oleh-oleh hangat. Satunya lagi di dalam mobil yang nyaman, dibuai oleh alunan musik. Keduanya tidak tahu detail dari hari yang baru saja dilewati pasangannya. Tapi keduanya tahu satu hal yang pasti: jalan yang mereka tempuh, meski berbeda, akan berakhir di titik yang sama. Di sebuah pintu di lantai tujuh belas. Di sebuah tempat yang mereka sebut rumah. Dan antisipasi untuk saat itu membuat sisa perjalanan terasa jauh lebih ringan.

Garis Langit Abu-abu

PENGENALAN TOKOH

Di publikasikan 10 Oct 2025 oleh Neo Paradox

Rumah keluarga Narendra adalah representasi sempurna dari kesuksesan yang elegan dan terukur. Sebuah rumah di kawasan Menteng yang didominasi oleh kaca dan batu alam, dengan aura hangat namun sedikit formal. Di pusat rumah itu, di lantai dua, terletaklah misteri terbesar keluarga: Ruang Pribadi Ayah. Sebuah pintu mahoni gelap, tanpa pegangan, hanya panel kode digital, terletak di ujung koridor sunyi, diapit oleh perpustakaan dan ruang kerja utama.Ruangan itu adalah simbol. Simbol dari privasi absolut yang dijunjung oleh sang kepala keluarga, Rendra Narendra.Rendra Narendra (58 tahun): Ayah dan suami. CEO perusahaan konstruksi besar. Karakternya stoik, sangat logis, sukses, dan mencintai keluarganya dengan cara yang rigid—melalui materi dan kestabilan, bukan afeksi verbal.Dian Paramita (56 tahun): Ibu dan istri. Ibu rumah tangga yang anggun. Secara emosional, ia adalah jangkar keluarga, namun ia kini mulai merasa lelah dan galau dengan jarak yang diciptakan Rendra.Arka Narendra (30 tahun): Anak sulung. Seorang pengacara perusahaan yang pragmatis dan sinis. Ia melihat hidup dalam angka dan fakta. Paling tidak percaya pada hal-hal emosional dan paling curiga terhadap 'rahasia' ayahnya.Gia Narendra (28 tahun): Anak tengah. Seorang desainer interior yang sensitif dan baper. Ia mendambakan kedekatan emosional dan merasa paling terasingkan dari ayahnya.Kenan Narendra (20 tahun): Anak bungsu. Mahasiswa IT yang chill dan sedikit cuek. Secara fisik paling jauh, tetapi memiliki kemampuan teknis yang membuatnya menjadi kunci pemecah misteri.Lani (30 tahun): Istri Arka. Sosok yang realistis, namun mudah terpengaruh oleh drama keluarga. Ia bertindak sebagai 'agen provokator' tidak langsung.

RUANG PRIBADI AYAH

Chapter: I - Kunci Digital & Kecurigaan

Di publikasikan 10 Oct 2025 oleh Neo Paradox

[Sabtu malam]1 Bulan Menjelang ulang tahun Rendra yang ke-59Malam itu, keluarga berkumpul untuk makan malam. Suasana terasa intim namun tegang. Rendra, seperti biasa, tampak sibuk dengan ponselnya, bahkan saat Dian menyajikan hidangan favoritnya."Ayah, apa sih yang lebih penting dari makan malam keluarga?" protes Gia dengan nada merajuk.Rendra mendongak, tatapannya lelah. "Maaf, Nak. Ada urusan mendesak dengan proyek di Kalimantan. Ini proyek besar, Nak, deadline sudah mepet."Arka menyahut, "Proyek Kalimantan? Bukannya rumornya perusahaan Ayah sedang kritis di sana? Ada issue utang sama supplier besar?"Rendra membanting ponselnya pelan. "Arka, jaga bicaramu. Itu masalah internal, dan tidak ada yang namanya 'kritis'. Bisnis ada naik turunnya."Sejak Rendra tiba-tiba menjadi sangat protektif terhadap ponsel dan laptopnya dalam beberapa bulan terakhir, kecurigaan keluarga semakin membesar. Namun, yang paling mengganggu adalah perlakuan Rendra terhadap Ruang Pribadi.Sore harinya, saat Kenan tanpa sengaja melewati koridor lantai dua, ia melihat Rendra memasuki ruangan itu. Rendra memasukkan kode dengan sangat gercep dan langsung mengunci pintu. Namun, Kenan sempat melihat sekilas: di dalam ruangan itu, ada cahaya kuning remang-remang, dan ia bersumpah mendengar suara aneh, seperti getaran atau gesekan yang ritmis.Malam itu, di ruang keluarga, Arka, Gia, Kenan, dan Lani berkumpul. Dian sudah tidur, lelah."Ayah makin aneh, deh," kata Gia, baper dengan sikap Ayahnya di meja makan. "Gue yakin dia lagi ada masalah. Perubahan sikapnya ini kayak dia lagi galau berat.""Galaunya nggak penting," potong Arka, suaranya tajam. "Yang penting itu perusahaannya. Gue yakin Ruang Pribadi itu isinya dokumen ilegal atau surat utang!" lanjut Arka.Lani mengangguk setuju. "Iya, Ken. Lo harus spill the tea soal ruangan itu. Lo kan jago tech. Apa susahnya sih bobol pintu digital itu?"Kenan, yang selama ini chill, merasa tertekan. "Waduh, kak. Itu panelnya lumayan canggih. Bukan cuma PIN, tapi ada sensor sidik jari cadangan. Lagipula, itu kan privasi Ayah. Nggak etis.""Privasi apa, Ken?" balas Arka dengan nada menghakimi. "Dia itu kepala keluarga! Kalau dia bikin bangkrut, kita semua yang kena. Kita nggak mau image keluarga kita hancur cuma karena Ayah sok perfect di luar tapi bangkai di dalam!"Kenan mendesah. Ia mulai merasa, demi kebaikan dan kedamaian hati ibunya, misteri ini harus dipecahkan.Keputusan dibuat, mereka harus masuk ke Ruang Pribadi Ayah sebelum pesta ulang tahun Rendra. Kenan, sebagai tech-guy, ditugaskan mencari cara untuk bypass keamanan.Ketegangan di rumah meningkat. Dian mulai merasa ada yang disembunyikan anak-anaknya. Ia sering melihat mereka berbisik-bisik di dapur. Sementara itu, Rendra menjadi semakin tertutup.Arka menghubungi Kenan setiap hari. Ia mengiriminya data-data keuangan perusahaan Rendra yang ia dapat dari koneksinya. Angka-angka memang terlihat merah, menguatkan dugaannya soal kebangkrutan yang disembunyikan.“Ken, lo harus sat-set! Kalau sampai Ayah keburu pindahin aset, tamat kita! Itu pasti surat-surat saham bodong di sana!”Gia menemukan dompet lama Rendra di laci meja tamu. Di dalamnya, ada foto lama yang buram. Foto seorang wanita muda, bukan Dian, dengan coretan tulisan tangan di belakangnya. Gia langsung nangis Bombay.“Ya Tuhan, Arka! Kenan! Ini pasti mantan Ayah yang mau dia temui lagi! Dia mau ninggalin Ibu, Ar! Ruangan itu pasti isinya surat cinta dan kenangan masa muda mereka!” timpal Lani.Keluarga terbagi dua, Arka fokus pada kehancuran finansial, Gia fokus pada kehancuran pernikahan. Keduanya sama-sama takut.Dua hari sebelum ulang tahun Rendra, mereka melancarkan aksi. Rendra sedang berada di luar kota untuk rapat darurat. Dian tidur lebih awal karena sakit kepala.Kenan membawa peralatan lengkapnya. Ia berhasil menonaktifkan sensor sidik jari, tetapi PIN-nya tetap menjadi masalah."PIN itu pasti tanggal penting," bisik Lani, yang ikut deg-degan."Gue udah coba semua tanggal lahir kita, tanggal jadian Ayah-Ibu, tanggal pernikahan," kata Kenan, wajahnya berminyak karena keringat dingin. "Nggak ada yang berhasil!"Saat Kenan hampir menyerah, Gia teringat. "Coba... coba tanggal lulus kuliah Ayah, Ken. Dia kan selalu bilang masa kuliah itu momen paling mantul dalam hidupnya."Kenan memasukkan tanggal itu. BIP... BIP... BIP... KLIK!Pintu mahoni itu terbuka.Anggota keluarga itu berdiri di ambang pintu, menahan napas. Mereka siap menghadapi tumpukan surat utang, atau mungkin lukisan seorang wanita misterius, atau bahkan dokumen gugatan cerai.Namun, pemandangan di dalamnya membuat mereka terdiam.Ruangan itu... Tidak seperti yang mereka bayangkan.Bersambung..

RUANG PRIBADI AYAH

Bab 2 Warna Diantara Kita ( The Color Between Us )

Di publikasikan 09 Oct 2025 oleh MUFARA`

Kafe itu kini tak lagi terasa sepi seperti dulu.Hari demi hari telah berlalu, ini adalah hari ketiga setelah kedatangan Hana, membuat hari ku yang terasa hampa menjadi lebih berwarna, hari di mana semuanya berubah dan membuat setiap langkah hidupku ini semakin terasa lebih mudah.Bukan karena pengunjung yang terus bertambah, tapi karena Hana selalu muncul membawa suara, warna, tingkah laku lucu dan aneh yang dia miliki. Karena nya membuat suasana di kafe ini terasa jauh lebih hidup.seperti yang ku katakan sebelum nya ia terus duduk di kursi yang sama di samping ku, selama tiga hari berturut-turut. Kadang sambil memotret kopi, kadang menulis sesuatu di buku catatan kecil berwarna kuning.Hari ini, seperti biasa, Hana datang dengan wajah cerah dan kamera yang terus tergantung di lehernya. Tanpa menunggu izin dariku ia duduk di sampingku dan berkata,"Aku kira kamu nggak datang hari ini. Kafe ini sepi banget tanpa kamu." Aku hanya menatap nya sekilas dan melanjutkan untuk meminum kopiku yang sudah dingin. "Aku selalu datang jam segini.""Iya, tapi aku selalu saja mengkhawatirkanmu," Katanya ringan sambil mengedipkan mata. " kamu tuh tipe orang yang bisa hilang tiba-tiba, nggak sih?" Aku terdiam sejenak. Kata-kata yang di ucapkannya membuat hatiku tertampar sedikit, tapi aku menajawabnya dengan pelan, "Mungkin saja." Hana mengamati ekspresiku.Ia seakan tahu apa yang aku sembunyi kan di balik tatapan ku yang datar, walaupun tau tapi ia tidak menanyakan hal itu lebih jauh. Sebaliknya, ia tersenyum dan meletakkan kameranya di meja."Aku ingin memotretmu."Aku menoleh dengan cepat ke arahnya."Apa?""Kamu. Aku ingin ambil foto kamu. Tapi jangan senyum dulu, ya.""Kenapa?""Karena wajahmu seperti orang yang ingin belajar hidup kembali." kata nya sambil terseyum dan memegang kamera nya yang sudah siap.Klik. Satu jepretan kamera yang terdengar.Aku terdiam. Aku tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Tapi entah mengapa jantungku terasa berdetak lebih keras dari biasanya.Hana menatap hasilnya, lalu tersenyum kecil. "Lihat? Bahkan wajah mu yang tanpa senyum itu, terasa... lebih nyata."Aku menatap nya, lama.Ada sesuatu pada cara Hana berbicara.sederhana, tapi penuh makna yang menembus segala bentuk pertahanan yang sudah ku pertahankan selama ini.Hari-hari berikutnya berlalu seperti warna-warna lembut di kanvas yang sedang di lukis. Kadang kami hanya duduk diam, saling menatap jendela tanpa berbicara. Kadang Hana bercerita panjang lebar tetang hal-hal kecil seperti, kucing liar yang ia temui, aroma roti dari toko roti sebelah, atau langit sore, yang menurutnya "terlalu indah untuk di abaikan.""Kamu tahu nggak, Rei," katanya di suatu sore, "langit itu ngga pernah benar-benar biru ya. Kadang cuma abu-abu yang pura-pura bahagia."Aku menatap langit di luar jendela. "Mungkin kayak manusia, ya" kata ku. Hana terseyum kecil mendengar ku dan berkata, "kamu juga pura-pura bahagia.""Aku hanya belum lupa caranya," jawabku pelan."Nggak apa-apa. Kalau kamu lupa... aku bisa mengigatkanmu."Aku menatapnya.Ada sesuatu di mata gadis ini. Cahaya hangat yang membuat dunia di sekitarku terasa hidup kembali.Malam itu, ketika Hana sudah pulang, Aku menatap foto yang tadi sempat diambil oleh gadis itu. Wajahku sendiri di balik foto hasil dari jepretan yang ia buat. Datar, tapi dengan tatapan yang entah bagaimana terasa... berwarna kembali. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menulis sesuatu di buku catatannya :"Ada seseorang yang membuat diamku terasa berbunyi."🌸🌸🌸

SILENCE IN BLOOM

Bab 1 Pertemuan Di Kafe Senja ( The First Bloom )

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh MUFARA`

Langit sore yang tampak oranye.Hujan baru saja berhenti, aroma tanah basah yang menyebar dan suara rintik kecil dari sisa hujan membuat atap dari kafe yang kutempati, menciptakan sebuah suara yang begitu tenang. Kafe yang terletak di pinggir jalanan itu adalah tempat favoritku. Namaku Rei, seperti biasa aku hanya duduk sendirian di kafe tersebut menikmati secangkir kopi dingin dan menatap ke arah jendela yang buram. ya, jendela tersebut berembun karena sehabis hujan. Kaca yang memantulkan bayangan wajahku yang samar serta asing.Aku tidak tahu berapa lama aku sudah hidup seperti ini. Datar, sunyi, tanpa alasan untuk tersenyum.Sampai akhir nya keheningan yang aku rasa kan tadi... terpecah saat mendengar suara pintu kafe terbuka.Bel berbunyi pelan.Dan suara langkah tergesa terdengar mendekat."Ah! Akhirnya... dapat juga nih kursi yang kosong !"Tanpa meminta izin, seorang gadis berambut cokelat muda dengan jaket kuning pastel langsung duduk tepat di samping ku.Tatapannya hidup, matanya berkilau seperti matahari yang menembus hujan. Aku menatapnya sebentar.Gadis itu membalas dengan tersenyum lebar."Apa kau keberatan ? Semua meja penuh, aku cuma mau duduk sebentar.""Tidak," Jawabku datar."Syukurlah." Gadis itu membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kamera kecil, dan menatap keluar jendela. Ia mengambil foto dari rintik air yang jatuh dari atap, lalu berkata pelan tanpa menoleh:"Cantik, ya? Dunia setelah hujan itu... kayak baru mulai bernapas lagi, seperti orang baru yang terlahir kembali dan menjalani nya dengan sepenuh hati." Dia terseyum kembali.Aku tidak menjawabnya.Namun entah mengapa, kalimat yang di ucapkan nya terasa menusuk di dadaku. Aku menatap gadis itu diam-diam.Caranya tersenyum, caranya menikmati hal sederhana, seolah setiap detik nya kehidupan yang ia lalui itu sangat lah berharga baginya. "Nama ku Hana," kata nya sambil menatap ku. "Dan kamu?""... Rei.""Rei?"Ia tersenyum lagi. "Nama yang sangat cocok untuk auramu yang terlihat tenang."Aku menundukkan kepalaku. Aku belum pernah merasa ada seseorang yang bicara padaku seakrab itu sebelumnya. Lalu gadis itu menatap langit di luar jendela, menutup kameranya, dan berbisik pelan:"Aku suka tempat ini. Rasanya damai. Mungkin aku akan datang lagi besok."Ia berdiri, melambai singkat, lalu pergi sebelum aku sempat berkata apapun. Hanya aroma samar parfum bunga tertinggal di udara. Perasaan senang dan penasaran yang tak bisa di jelaskan oleh kata kata, karena gadis tersebut hadir sesaat di kafe favoritku. Menjadikan ini sebuah perjalanan awal dari kisahku selanjutnya. Aku menatap kursi kosong di sampingku dan tersenyum kecil. Nama yang sangat indah, Hana yang berarti bunga sesuai dengan bau parfum yang ia tinggalkan.Hari itu dan untuk pertama kalinya aku merasa dunia yang sudah kuanggap hampa, berwarna kembali datang menemui ku saat aku sudah putus asa akan kehidupan. 🌧️🌧️🌧️

SILENCE IN BLOOM

Eps.10

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 10: Fajar Kebenaran​Malam tiba. Clara menyelinap ke ruang bawah tanah Kristal Luna. Raja Theodoric dan Entitas Luna sudah menunggunya.​"Clara, jangan!" teriak Raja Theodoric, menangis.​Ratu Lysandra (Entitas Luna) maju. "Theodoric, biarkan dia. Sudah waktunya bagi Gloriana untuk hidup."​Clara menarik busurnya. "Ibu," bisik Clara, air mata membasahi pipinya, "Aku tidak bisa membiarkanmu menanggung beban ini lagi. Aku tidak mau kedamaian yang dibangun dari penderitaanmu."​"Maka tembaklah, Pemanahku," jawab Ratu dengan senyum sedih.​Clara memejamkan mata dan melepaskan tali busur.​FSSSH! KRACK!​Panah Perak menembus Kristal Luna. Kristal itu pecah, dan jutaan partikel cahaya biru melayang ke atas, menyebar ke seluruh Gloriana. Raja Theodoric jatuh berlutut. Ratu Lysandra (Entitas Luna) bersinar, dan ia menghilang.​Clara merasakan gelombang emosi yang kuat menyentuhnya: rasa bersalah, kegembiraan, kepahitan. Ia merasakan segalanya.​Pagi hari di Gloriana tidak lagi sempurna. Terdengar tangisan keras dan teriakan kebingungan, diikuti oleh tangisan lega. Orang-orang mulai merasa lagi.​Clara, yang kini berdiri sendirian di balkon, mengamati kekacauan dan kebangkitan di bawahnya.​"Gloriana," gumamnya, menghapus air mata, "selamat datang kembali ke dunia yang nyata."​Ia adalah putri yang menghancurkan kedamaian palsu, tetapi yang membawa pulang kebenaran. Gloriana telah hidup.... Next "CLARA AND... "

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.09

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 9: Keputusan yang Menghancurkan​Clara kembali menemui Elara. "Elara, aku harus menghancurkannya. Aku tidak bisa membiarkan Ibu... Entitas Luna... terus menderita demi sebuah kebohongan."​Elara mengeluarkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya, terbaring sebuah Anak Panah Perak Murni yang diukir dengan simbol penolakan sihir kuno.​"Ini adalah warisan keluarga saya," jelas Elara. "Panah ini akan membongkar energi itu, membiarkannya kembali ke tempat asalnya, yaitu pikiran rakyat."​Clara mengambil panah itu. "Aku akan melakukannya. Aku akan membayar harga untuk kebenaran."... Eps.10

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.08

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 8: Clara dan Sang Raja​Clara mencari Raja Theodoric. "Ayah tahu Ibu... Ratu Lysandra... bukanlah Ibu kandungku. Ayah tahu dia adalah Entitas Luna."​Raja Theodoric mengangguk. "Aku mencintainya. Ketika dia datang, mengambil bentuk istriku yang meninggal, dia menawarkan Gloriana kehidupan, dan aku menawarkan dia perlindungan. Kami saling membutuhkan."​"Ayah menjual kedamaian palsu dengan mengorbankan Entitas itu! Dia menanggung rasa sakit seluruh Gloriana!" seru Clara.​"Itu adalah pilihannya!" balas Raja. "Dan itu adalah pilihanku untuk mempertahankannya! Jika kristal itu hancur, dia akan hancur karena semua energi yang tersimpan akan dilepaskan sekaligus. Gloriana akan kehilangan kedamaiannya, dan aku akan kehilangan dia!"​Clara memalingkan wajahnya. "Aku adalah Pemanah. Aku tidak akan pernah memanah kebohongan."... Eps.09

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.07 {star of story}

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 7: Pengakuan Sang Ratu ​Clara menghadapi Ratu Lysandra di taman mawar.​"Ibu, aku tahu tentang Kristal Luna. Bagaimana Ibu bisa membiarkan kita hidup dalam kebohongan?"​Ratu Lysandra tersenyum, tetapi matanya memancarkan rasa sedih yang aneh. "Aku membiarkannya, Sayangku, karena aku melihat apa yang bisa dilakukan oleh kesedihan. Gloriana bunuh diri dengan amarahnya sendiri."​Ratu kemudian memegang tangan Clara. Jari-jarinya terasa dingin. "Aku harus mengakui sesuatu yang lebih besar dari Kristal Luna. Clara, kamu adalah putriku, tetapi aku bukan ibumu yang sebenarnya. Putri Clara yang asli meninggal saat bayi. Aku adalah Entitas Luna, makhluk yang ditugaskan untuk menjaga kristal itu. Aku mengambil bentuk ibumu, Lysandra, agar aku bisa memastikan operasi Pelepasan Emosi berjalan lancar."​Clara terhuyung mundur. "Ibu... Ibu adalah makhluk lain?"​"Ya," jawab Ratu. "Dan inilah hukuman yang aku tanggung. Karena aku adalah penjaga, aku adalah satu-satunya makhluk di seluruh Gloriana yang mengingat semua emosi negatif yang diserap kristal selama tiga abad. Semua keputusasaan, semua kemarahan... aku merasakannya setiap detik. Aku adalah keranjang sampah emosional Gloriana. Aku adalah true ibu Gloriana, dalam penderitaan yang tak terbatas."... Eps.08

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.06

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 6: Dilema Moral​Keesokan harinya, Raja Theodoric memanggilnya. Raja tampak lelah.​"Clara, aku melihat kamu banyak menghabiskan waktu dengan dayang itu, Elara. Dan kamu terlihat semakin gelisah. Apa yang kamu cari?"​Clara menatap ayahnya tanpa gentar. "Aku mencari kebenaran, Ayah. Aku telah menemukan Kristal Luna."​Raja Theodoric menghela napas. "Aku tahu hari ini akan tiba. Kami membangun surga untukmu, Clara. Sebuah surga yang kami beli dengan rahasia. Apakah kamu ingin menghancurkannya dan membawa neraka kembali ke Gloriana?"​"Neraka apa, Ayah? Neraka mengingat? Kebahagiaan tanpa rasa sakit bukanlah kebahagiaan sejati. Itu adalah ketiadaan!"​"Kau masih muda," jawab Raja dengan suara yang lebih keras. "Kau belum tahu betapa kejamnya dunia tanpa kristal ini. Jangan bertindak berdasarkan idealisme yang dangkal! Tugasmu adalah melindungi kerajaan ini."... Star of story Eps.07

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.05

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

​Episode 5: Petunjuk dari Bawah Tanah​Elara memberikan petunjuk: sebuah simbol bulan sabit terbalik di lantai gudang anggur tua.​Malam itu, mereka turun ke bawah tanah. Udara menjadi lebih dingin. Di ujung tangga, ada sebuah ruangan besar. Di tengah ruangan itu, Kristal Luna memancarkan cahaya biru redup, berdenyut pelan.​"Lihat prasasti itu," bisik Elara. "Ini adalah perjanjian. Pelepasan Agung."​Clara membaca ukiran kuno itu: "Kedamaian Abadi akan dibayar dengan Ketiadaan Memori. Semua kesedihan rakyat Gloriana terkumpul di sini, sebagai pengorbanan suci. Penjaga harus menjaga keheningan."​Clara merasa mual. Ia menyentuh pilar batu dan merasakan gelombang emosi yang tertekan mengalir di sana. "Kristal ini," kata Clara dengan suara bergetar, "adalah pembohong terbesar di Gloriana. Kita hidup di surga yang dibangun dari keputusasaan yang dicuri."... Eps.06

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps. 04

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 4: Pertemuan dengan Elara​Setelah mencari, Clara menemukan Elara, seorang dayang muda di dapur yang terlihat mekanis.​"Permisi," sapa Clara. "Namamu Elara, bukan?"​Wanita itu menjatuhkan piring. Piring itu pecah, dan Elara menunjukkan ekspresi kekosongan. "Maafkan saya, Yang Mulia. Itu akan saya ganti."​Clara menunjukkan lukisan itu. Mata Elara akhirnya menunjukkan secercah emosi: ketakutan. Ia cepat-cepat menarik Clara ke ruang penyimpanan bahan makanan.​"Bagaimana Yang Mulia tahu nama itu?" bisik Elara, suaranya parau. "Nama itu seharusnya tidak ada!"​"Aku menemukan ini di arsip rahasia Proyek Luna. Apa itu, Elara? Bisakah kamu memberitahuku mengapa kedamaian Gloriana terasa begitu dingin?"​"Proyek Luna... adalah alasan mengapa saya bisa menangis," Elara berbisik, air mata mulai menggenang. "Saya adalah keturunan dari mereka yang menolak kristal itu 300 tahun yang lalu. Ingatan kami diwariskan melalui lisan—satu-satunya hal yang tidak bisa diserap kristal sepenuhnya. Kristal Luna memompa kebahagiaan palsu ke seluruh negeri dengan menyerap semua rasa sakit. Ayah dan Ibu Anda... mereka bukan penguasa, mereka adalah penjaga penjara."... Eps.05

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.03

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

​Episode 3: Sang Pemanah Rahasia​Clara teringat cerita Ibunya, “Di bawah busur panahmu, tersembunyi kunci untuk melihat yang tak terlihat.” Ia menggunakan alat kecil di liontinnya untuk membuka mekanisme tersembunyi di busur panah keramatnya. Di sana, tersembunyi kunci kuno.​Ia menyelinap di tengah malam menuju sayap barat. Kunci itu membuka sebuah pintu baja di balik permadani tua.​Di dalamnya, ia menemukan kantor yang dingin. Sebuah gulungan dokumen menarik perhatiannya: "Proyek Luna: Kodeks Pelepasan Emosi."​Gulungan itu berisi diagram dan rumus. Inti dari catatan itu berbunyi: "Demi stabilitas 300 tahun, seluruh beban emosi negatif (kesedihan, kemarahan, ketakutan, iri hati) akan dipindahkan ke Resonator Kristal Luna. Subjek akan mengalami kebahagiaan yang konstan, namun kosong. Operasi ini harus dirahasiakan mutlak."​Clara tersentak. "Tidak mungkin... kedamaian kita... itu buatan?" Di sudut ruangan, ia menemukan lukisan wanita yang mirip dirinya, namun tatapannya sedih. Di belakangnya, tertulis satu nama: Elara.... Eps.04

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.02

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 2: Bisikan di Balik Dinding​Clara sering menghabiskan waktu di Perpustakaan Agung. Saat menjelang senja, ia mencari buku-buku yang tidak ada di katalog resmi. Suatu sore, saat memanjat tangga gulir, ia mendengar sesuatu: Bisikan.​$Srak... srak... srak...​Clara membeku. Bisikan itu terdengar seperti suara wanita yang sangat sedih, terperangkap. "Dingin... gelap... jangan percaya pada cengkerama keheningan..."​Keesokan harinya, ia kembali mendengarnya di koridor sayap barat, kali ini disertai isak tangis yang tertahan.​"Siapa di sana?" seru Clara, suaranya sedikit gemetar.​"Mereka mengambilnya... semua kebenahan. Hanya kebahagiaan yang tersisa..."​Clara berlari ke arah suara itu, tetapi hanya menemukan dinding marmer yang kokoh. "Ini adalah rahasia yang tersembunyi," gumamnya pada diri sendiri. "Sesuatu yang tertekan dan mencoba keluar."... Eps.03

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Eps.01

Di publikasikan 08 Oct 2025 oleh Fakhrin bella

Episode 1: Kemegahan yang Damai​Kerajaan Gloriana adalah simfoni keindahan yang hening. Kastil Aethelgard berkilauan di bawah matahari, dikelilingi oleh taman mawar emas yang tak pernah layu. Putri Clara (18 tahun) duduk di balkonnya, mengamati penduduk kota di bawah. Mereka tersenyum, selalu tersenyum. Sebuah kedamaian yang terasa hampir tidak wajar.​Seorang ajudan, Sir Kael, menghampirinya dengan hormat. "Putri Clara, Yang Mulia Raja menanti Anda di ruang sarapan. Ada pengumuman mengenai festival musim semi."​Clara mengangguk, meletakkan bukunya tentang astronomi. "Terima kasih, Kael. Kadang-kadang, aku merasa sedikit... bosan dengan kedamaian ini. Apakah tidak ada hal lain selain festival dan panen?"​Kael tersenyum canggung. "Putri, kedamaian adalah anugerah terindah. Kita adalah kerajaan yang dicemburui dunia. Tidak ada intrik, tidak ada kesedihan."​"Itu yang membuatku bertanya," gumam Clara sambil berjalan. "Apakah kebahagiaan yang konstan itu benar-benar kebahagiaan?"​Di ruang makan, Raja Theodoric dan Ratu Lysandra menyambutnya. "Clara, sayangku," kata Ratu Lysandra dengan suara lembut. "Kau terlihat gelisah. Apakah buku-bukumu membuatmu terlalu banyak berpikir?"​"Ayah, Ibu, aku hanya merenungkan. Apakah Gloriana pernah menghadapi masalah besar? Sejarah kita begitu steril, begitu sempurna."​Raja Theodoric tertawa pelan. "Kami memastikan kamu hidup dalam keindahan, Clara. Keberanian sejati adalah menjaga agar sejarah tetap tenang. Sekarang, makanlah. Dan bersiaplah untuk latihan memanahmu. Besok, kamu adalah Pemanah Gloriana."... Eps.02

Putri Clara dan kristal kebahagiaan

Kopi Dosis Kedua dan Jeda Lima Menit

Di publikasikan 05 Oct 2025 oleh Titik Nol

Setelah insiden Kode Biru, Lestari akhirnya melangkah menjauh. Adrenalin yang tadi membuatnya begitu tajam dan fokus kini mulai surut, dan efek sampingnya mulai terasa: sebuah kelelahan yang bergetar di seluruh sel tubuhnya. Tangannya tidak lagi gemetar, tetapi ia merasakan sebuah kekosongan, sebuah ruang hampa yang ditinggalkan oleh ketegangan yang baru saja lenyap.Ia tahu persis apa yang ia butuhkan. Bukan istirahat panjang—itu adalah kemewahan yang tidak ia miliki. Bukan juga makanan—perutnya masih terasa mual oleh sisa-sisa adrenalin. Ia butuh sebuah penanda, sebuah ritual singkat untuk memisahkan antara krisis yang baru saja berlalu dan krisis berikutnya yang mungkin sudah menanti. Ia butuh kopi.Perjalanannya menuju kafetaria di lantai dasar terasa seperti melewati sebuah dimensi lain. Koridor yang beberapa menit lalu menjadi saksi bisu adegan hidup-mati, kini kembali normal. Para pengunjung berjalan santai, para perawat mendorong troli obat dengan tenang. Seolah-olah tidak ada hal luar biasa yang baru saja terjadi. Realitas rumah sakit yang kejam sekaligus menakjubkan adalah kemampuannya untuk terus bergerak maju, tidak peduli seberapa besar drama yang baru saja berlangsung di salah satu sudutnya.Di kafetaria yang ramai dan bising, ia mengantre di belakang beberapa perawat dan keluarga pasien. Kelelahan membuatnya sedikit melamun, pikirannya kembali pada kehangatan paginya. Tiba-tiba, sebuah ide iseng yang terasa begitu Adi melintas di benaknya. Ia mengeluarkan ponselnya, mengabaikan tatapan beberapa orang di antrean yang mungkin berpikir seorang dokter seharusnya tidak bermain ponsel di jam kerja. Ia membuka percakapan dengan Adi. Jari-jemarinya mengetik cepat, sebuah permintaan tolong yang dibungkus dengan lelucon.“Butuh kopi dosis kedua. Kirim lewat telepati, bisa?”..........................................................Bagi seorang prajurit, jeda di tengah pertempuran bukanlah kemewahan, melainkan strategi. Lima menit untuk menarik napas, meneguk air, dan mengingat kembali untuk apa ia berjuang.Tanpa jeda-jeda kecil itu, bahkan prajurit terkuat pun akan tumbang bukan oleh pedang musuh, melainkan oleh bebannya sendiri...........................................................Ia tidak berharap akan mendapat balasan cepat. Ia tahu Adi mungkin sedang sibuk dengan dunianya yang penuh dokumen dan rapat. Ia mengirim pesan itu lebih untuk dirinya sendiri, sebuah cara untuk melempar sauh ke dunianya yang lain. Namun, belum sampai ia di depan kasir, ponselnya bergetar. Balasan dari Adi.“Sinyal telepatinya sedang sibuk, terhubung ke rapat yang maha penting. ;) Kopi fisik menyusul nanti malam. Bertahanlah, pahlawan.”Sebuah senyum yang tulus, lebar, dan begitu lepas merekah di wajah Lestari. Senyum itu terasa begitu kontras dengan suasana hatinya beberapa menit yang lalu, hingga terasa sedikit asing di otot-otot wajahnya sendiri. Seorang perawat muda yang mengantre di sampingnya memperhatikan senyum itu."Wah, kelihatannya ada yang dapat 'vitamin' semangat ya, Dok?" godanya dengan ramah.Lestari tertawa kecil, tawa yang terdengar jernih dan nyata. "Bisa dibilang begitu, Sus." Vitamin. Ya, kata itu terasa sangat tepat. Pesan singkat dari Adi adalah dosis vitamin C untuk jiwanya yang sedang rawan terserang kelelahan.Ia memesan kopi hitamnya, mengambil cangkir kertas yang panas itu, dan mencari sebuah meja kosong di sudut paling jauh dari keramaian. Ia tidak langsung meminumnya. Ia hanya duduk di sana, memegang cangkir itu dengan kedua tangannya, membiarkan kehangatannya menjalar, seolah sedang melakukan infus kehangatan pada dirinya sendiri...........................................................Kekuatan untuk menghadapi hari yang berat sering kali tidak datang dari motivasi internal atau disiplin baja. Ia datang dalam bentuk notifikasi pesan singkat, dalam lelucon receh dari seberang kota, dalam kesadaran sederhana bahwa ada seseorang yang dunianya menjadi sedikit lebih baik karena kau ada di dalamnya.Kekuatan sejati bersifat eksternal; ia adalah pinjaman dari hati orang lain...........................................................Di sudut kafetaria yang bising itu, Lestari menciptakan gelembung kedamaiannya sendiri. Ia memejamkan mata selama sepuluh detik. Pikirannya memutar ulang film pendek paginya: interaksi lembut dengan nenek yang rewel, deru adrenalin saat memimpin tim Kode Biru, dan kini, pesan jenaka dari Adi. Tiga adegan yang sangat berbeda, namun terasa saling terhubung.Ia sadar, kemampuannya untuk tetap tenang saat memegang defibrilator tadi, sebagian besar bersumber dari kedamaian yang ia bawa dari rumah. Dan kemampuannya untuk pulih dengan cepat setelahnya, kini dimungkinkan oleh jembatan digital yang baru saja ia seberangi untuk terhubung dengan Adi. Dunianya di dalam rumah sakit dan dunianya di luar rumah sakit tidak lagi terpisah seperti dua benua yang berbeda. Keduanya kini terhubung oleh serangkaian jembatan kecil—jembatan yang dibangun dari aroma kopi, lelucon receh, dan pesan-pesan singkat.Ia membuka matanya dan akhirnya menyesap kopi hitam dari kafetaria itu. Rasanya pahit, sedikit gosong, dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kopi buatan Adi. Tapi di saat itu, di tengah kelelahannya, kopi itu terasa seperti minuman paling nikmat di seluruh dunia.Lima menitnya telah habis. Jeda singkatnya sudah usai. Lestari bangkit, membuang cangkir kosongnya, dan berjalan keluar dari kafetaria. Langkahnya kini terasa lebih mantap, punggungnya sedikit lebih tegap. Ia mungkin masih lelah, tetapi ia tidak lagi merasa kosong. Vitamin dari seberang kota itu telah bekerja. Ia siap untuk pasien berikutnya.

Garis Langit Abu-abu

Rapat Koordinasi dan Pesan Singkat di Bawah Meja

Di publikasikan 05 Oct 2025 oleh Titik Nol

Saat Lestari sedang mengatur napasnya di koridor rumah sakit, Adi justru sedang menahan napasnya karena bosan. Ia duduk di salah satu dari dua belas kursi identik yang mengelilingi sebuah meja mahoni panjang di ruang rapat utama. Udara di dalam ruangan terasa pengap, campuran antara aroma kertas, kopi instan yang sudah dingin, dan ambisi yang terpendam.Di depan, seorang kepala seksi sedang mempresentasikan materi di layar proyektor. Judulnya: "Optimalisasi dan Sinkronisasi Data Laporan Triwulan Berbasis Aplikasi Digital." Adi mendengarkan dengan saksama—atau setidaknya, berusaha terlihat seperti itu. Ia mengangguk di saat yang tepat, membuat beberapa catatan di buku blocknote-nya, dan menjaga ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tertarik. Ini adalah bagian dari seni bertahan hidup di dunia birokrasi.Pikirannya, bagaimanapun, melayang jauh. Ia melihat wajah-wajah di sekelilingnya. Pak Heru yang sesekali mencuri pandang ke arah jam dinding. Bu Diah dari bagian keuangan yang tatapannya kosong. Mereka semua memainkan peran mereka dengan baik, menjadi roda-gigi yang efisien dalam sebuah mesin besar yang bergerak lambat. Adi bertanya-tanya, seperti apa pagi mereka? Siapa yang mereka tinggalkan di rumah? Apa "Kode Biru" dalam kehidupan mereka masing-masing? Mungkin bukan tentang hidup dan mati, tetapi tentang tagihan yang jatuh tempo, atau anak yang sedang sakit.Ia merasakan sebuah jurang yang begitu lebar antara dunia ini dan dunia Lestari. Di sini, urgensi diukur dengan tenggat waktu dan tumpukan dokumen. Di sana, urgensi diukur dengan setiap detik detak jantung. Kesadaran itu membuatnya merasa sedikit terasing, sedikit tidak pada tempatnya. ..........................................................Dunia orang dewasa penuh dengan "urgensi" buatan: tenggat waktu laporan, target penjualan, rapat evaluasi. Kita begitu sibuk memadamkan api-api kecil di atas kertas, hingga terkadang lupa bahwa di tempat lain, ada orang-orang yang sedang benar-benar berjuang memadamkan api kehidupan yang sesungguhnya...........................................................Dorongan itu datang tiba-tiba, sebuah kebutuhan mendesak untuk membangun jembatan di atas jurang pemisah itu. Sebuah kebutuhan untuk terhubung dengan dunianya yang nyata. Dengan gerakan yang sangat halus dan terlatih, seolah sedang melakukan operasi intelijen, Adi meraih ponselnya dari dalam saku celananya. Ia menempatkannya di bawah meja, di atas pangkuannya, melindunginya dari pandangan para petinggi di ujung meja.Jemarinya bergerak cepat di atas layar sentuh. Ia tidak memikirkan kata-kata yang rumit atau puitis. Ia hanya ingin mengirimkan sepotong kecil dari kehangatan pagi mereka, sebuah pengingat.“Teh pagiku tidak seenak aroma kopimu. Semangat hari ini, Dok.”Ia menekan tombol kirim, dan seketika itu juga, ia meletakkan kembali ponselnya di saku. Ia mengangkat wajahnya, kembali memasang topeng perhatiannya, bahkan sempat mengajukan sebuah pertanyaan basa-basi tentang salah satu slide untuk menunjukkan bahwa ia "hadir" di dalam rapat itu. Tidak ada yang curiga. Di permukaan, ia adalah Aditia Wibawa Sena, staf yang berdedikasi. Tapi di bawah meja, ia adalah Adi, seorang kekasih yang sedang mengirimkan sinyal cinta ke medan perang.Beberapa menit berlalu. Rapat masih berjalan dengan ritme yang monoton. Lalu, ia merasakan sebuah getaran singkat di sakunya. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat, sebuah antisipasi yang terasa lebih nyata daripada seluruh isi rapat itu. Dengan gerakan yang sama hati-hatinya, ia kembali melirik ponselnya di bawah meja. Sebuah balasan telah tiba. Dari Lestari.“Butuh kopi dosis kedua. Kirim lewat telepati, bisa?”..........................................................Di zaman modern, romansa sering kali tidak berbentuk surat cinta yang panjang, melainkan notifikasi getar di dalam saku. Sebuah pesan singkat yang datang di tengah rapat yang membosankan, sebuah emoji yang dikirim di sela-sela kesibukan.Itu adalah sinyal-sinyal kecil yang menegaskan: "Aku memikirkanmu, bahkan saat dunia kita sedang terpisah jauh."..........................................................Adi harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan senyum yang ingin merekah di wajahnya. Ia hanya bisa menunduk sedikit, berpura-pura sedang membaca catatannya, padahal di dalam dirinya sedang terjadi sebuah ledakan kebahagiaan kecil. Pesan singkat itu, dengan sedikit sentuhan jenaka khas Lestari, terasa seperti seberkas cahaya matahari yang menembus masuk ke dalam ruang rapat yang suram.Pesan itu adalah bukti. Lestari baik-baik saja. Ia sedang berjuang, ia lelah, tetapi ia masih punya kekuatan untuk bercanda. Dan Adi, entah bagaimana, merasa telah berkontribusi pada kekuatan itu.Tiba-tiba, suara kepala seksi yang sedang berbicara tidak lagi terdengar membosankan. Tumpukan dokumen di mejanya tidak lagi terlihat mengintimidasi. Rapat koordinasi itu tidak lagi terasa seperti sebuah penjara. Semuanya menjadi latar belakang. Karena inti dari harinya, jangkar dari dunianya, baru saja bergetar di dalam sakunya.Saat rapat akhirnya selesai dan semua orang mulai beranjak dari kursi mereka, Adi kembali ke kubikelnya dengan langkah yang terasa lebih ringan. Ia menatap foto Lestari di mejanya. Senyum di dalam foto itu kini terasa hidup, seolah sedang membalas senyumnya sendiri. Ia mungkin terjebak dalam dunia abu-abu birokrasi, tetapi hatinya baru saja diberi warna. Dan dengan bekal warna itu, ia siap menghadapi sisa harinya.

Garis Langit Abu-abu

Detak Jantung yang Berlari dan Tangan yang Tenang

Di publikasikan 05 Oct 2025 oleh Titik Nol

Perasaan hangat dari interaksi dengan pasien lansia tadi masih membekas di hati Lestari saat ia berjalan menyusuri koridor menuju ruang pasien berikutnya. Ia tersenyum kecil sambil membaca status di tangannya. Pagi ini terasa berbeda. Lebih terkendali, lebih manusiawi. Ia merasa seperti seorang dokter, bukan sekadar mesin medis.Tiba-tiba, kedamaian itu pecah."KODE BIRU! RUANG MAWAR, BED DUA! KODE BIRU, RUANG MAWAR, BED DUA!"Suara dari pengeras suara di langit-langit koridor itu terdengar metalik, tajam, dan tanpa ampun. Seketika, seluruh atmosfer di sekitarnya berubah. Para perawat yang tadinya berjalan kini berlari. Wajah-wajah yang tadinya santai kini menegang. Bagi orang awam, itu adalah suara kepanikan. Bagi Lestari, itu adalah panggilan tugas.Dalam sepersekian detik, Lestari yang reflektif dan lembut itu lenyap, seolah tidak pernah ada. Yang mengambil alih adalah Dokter Ayu, seorang profesional terlatih yang pikirannya langsung beralih ke mode darurat. Ia tidak panik. Adrenalin memang membanjiri sistemnya, tetapi rasanya dingin dan tajam, bukan panas dan kacau. Ia menjatuhkan status pasien yang dipegangnya ke meja perawat terdekat. "Saya ke sana!" serunya, suaranya jelas dan tegas. Ia berlari, langkahnya cepat dan mantap, menuju Ruang Mawar. Pikirannya sudah berpacu, memproses kemungkinan: henti jantung, henti napas, emboli paru? Ia siap untuk segala kemungkinan...........................................................Seorang penyembuh yang hebat harus memiliki dua hal yang bertolak belakang: hati yang cukup lembut untuk merasakan kepedihan orang lain, dan pikiran yang cukup dingin untuk membuat keputusan dalam hitungan detik.Seni sejati adalah mengetahui kapan harus menjadi penyair, dan kapan harus menjadi seorang prajurit...........................................................Saat Lestari tiba di depan Bed Dua, pemandangan itu adalah sebuah kekacauan yang terkendali. Seorang perawat muda sedang melakukan kompresi dada (RJP) pada seorang pasien pria paruh baya, wajahnya pucat dan berkeringat. Perawat lain sedang menyiapkan jalur infus. Monitor di samping tempat tidur mengeluarkan bunyi alarm yang memekakkan telinga, menampilkan garis yang nyaris lurus.Lestari tidak membuang waktu. Ia tidak bertanya "ada apa?". Ia langsung mengambil alih komando. Suaranya menjadi instrumen utamanya, memimpin orkestra resusitasi ini."Lanjutkan kompresi, 30 banding 2! Jaga ritmenya!" perintahnya pada perawat pertama. Suaranya tenang namun begitu kuat hingga menembus kepanikan di ruangan itu. "Rina, siapkan Adrenalin satu ampul, masukkan lewat jalur IV. Budi, siapkan defibrilator, set ke 200 joule. Berapa saturasi oksigen terakhir?"Setiap kalimatnya adalah perintah yang jelas dan terukur. Di tengah suara napas yang terengah-engah dan bunyi mesin yang riuh, pikirannya terasa seperti sebuah ruang komando yang sunyi dan dingin. Ia melihat data di monitor, menganalisis ritme jantung pasien, dan memproses informasi dari para perawat secara simultan. Inilah dunianya. Dunia di mana tidak ada ruang untuk keraguan.Saat perawat sedang menyiapkan defibrilator, untuk satu milidetik yang singkat, bayangan Adi yang sedang membuatkannya teh jahe semalam melintas di benaknya. Anehnya, bayangan itu tidak mengganggunya. Sebaliknya, bayangan ketenangan itu justru berfungsi sebagai sauh, jangkar yang menjaga pikirannya tetap stabil di tengah badai."Semua mundur!" seru Lestari saat bantalan defibrilator sudah terpasang di dada pasien. Ia menekan tombol. Tubuh pasien itu terangkat sedikit karena sengatan listrik. Semua mata tertuju pada monitor. Garis lurus itu bergetar, lalu perlahan mulai membentuk kembali irama sinus yang lemah namun teratur...........................................................Paradoks dari pekerjaan menyelamatkan nyawa adalah: untuk membuat sebuah jantung kembali berdetak, kau harus terlebih dahulu membisukan detak jantungmu sendiri. Mengabaikan rasa takutmu, menekan empatimu, dan menjadi mesin yang efisien.Harganya adalah kelelahan batin yang baru bisa kau bayar lunas setelah pertempuran usai..........................................................."Kita dapatkan kembali denyutnya," kata Lestari, nadanya masih datar dan profesional. Kelegaan di ruangan itu nyaris bisa diraba, tetapi pekerjaan belum selesai. "Stabilkan pasien, siapkan transfer ke ICU. Monitor tanda-tanda vital setiap lima menit."Ia tetap di sana selama beberapa menit lagi, memastikan pasien benar-benar stabil dan proses transfer berjalan lancar. Baru setelah pasien didorong keluar dari ruangan menuju ICU, orkestra itu bubar. Adrenalin mulai surut, meninggalkan jejak kelelahan yang nyata.Lestari melangkah keluar dari kamar, bersandar sejenak di dinding koridor yang dingin. Tangannya, yang tadinya begitu mantap saat memegang defibrilator, kini terasa sedikit gemetar. Napasnya yang tadinya teratur kini terasa berat. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan dirinya merasakan dampak dari pertempuran barusan.Seorang dokter koas yang tadi ikut membantu menghampirinya. "Kerja yang luar biasa, Dok. Tadi itu... luar biasa," katanya dengan napas masih terengah.Lestari hanya mengangguk, belum sanggup merangkai banyak kata. Ia melihat ke bawah, ke jas dokternya. Ada sedikit noda cairan infus di ujung lengannya. Sebuah hal receh yang terasa begitu nyata. Ia berpikir, jas ini benar-benar butuh dicuci. Pikiran yang begitu biasa dan duniawi setelah baru saja menarik seseorang dari ambang kematian. Mungkin, itulah cara otaknya melindungi diri.Ia mendorong tubuhnya dari dinding, kembali menegakkan punggungnya. Pertempuran pertama hari ini telah dimenangkan. Ia melirik jam tangannya. Baru pukul sembilan pagi. Masih ada hari yang panjang di hadapannya. Tapi ia tahu, bekal ketenangan dari paginya bersama Adi telah terbukti. Perisai itu tidak retak. Ia hanya sedikit bergetar, dan kini sudah kembali kokoh.

Garis Langit Abu-abu

Ritual Birokrasi dan Baris Puisi yang Tersembunyi

Di publikasikan 05 Oct 2025 oleh Titik Nol

Sementara Lestari melangkah di atas lantai vinil rumah sakit yang berkilauan, Adi sedang memarkir sepeda motornya di basement gedung pemerintahan yang megah namun terasa kaku. Udara di sini pun berbeda. Bukan aroma antiseptik yang tajam, melainkan aroma kertas tua dan udara dari pendingin ruangan sentral yang sudah bekerja puluhan tahun. Ini adalah benteng formalitas, sebuah dunia yang dibangun di atas aturan, hierarki, dan prosedur.Ia berjalan melewati lobi yang lengang, membalas sapaan seorang petugas keamanan dengan anggukan sopan, lalu menempelkan ibu jarinya pada mesin absensi sidik jari. Bunyi bip singkat yang keluar dari mesin itu adalah lonceng penanda dimulainya peranannya hari ini. Di lift yang membawanya ke lantai empat, ia berdiri bersama beberapa pegawai lain. Tidak ada percakapan, hanya keheningan yang mapan dan saling pengertian khas Senin pagi.Kantornya adalah sebuah ruang besar berkonsep terbuka yang diisi oleh deretan kubikel-kubikel identik. Suasananya tenang, hanya diisi oleh dengung serempak dari unit komputer dan ketukan keyboard yang ritmis. Ini adalah keheningan yang sangat berbeda dari keheningan tegang di rumah sakit. Ini adalah keheningan rutinitas.Adi tiba di kubikelnya, sebuah kotak kecil yang telah ia sulap menjadi sudut pribadinya. Di sana, di antara tumpukan map dan sebuah kalender meja, berdiri sebuah bingkai foto sederhana. Foto dirinya dan Lestari yang sedang tertawa di sebuah kedai kopi, diambil beberapa bulan lalu. Benda itu menjadi satu-satunya sumber warna dan kehangatan di tengah lautan warna krem dan abu-abu. Ia menyentuh sudut bingkai itu sejenak, sebuah kontak fisik singkat dengan dunianya yang lain, sebelum akhirnya menekan tombol daya di komputernya...........................................................Ada keheningan rumah sakit yang tegang, penuh dengan doa yang tak terucap. Dan ada keheningan kantor di pagi hari yang mapan, penuh dengan rutinitas yang tak perlu dipertanyakan lagi.Keduanya menuntut versi diri yang berbeda untuk bisa bertahan...........................................................Saat komputernya masih dalam proses booting yang terasa lambat, sebuah kepala muncul dari atas sekat kubikel di sebelahnya. Itu adalah Pak Heru, rekan kerjanya yang paling senior, seorang pria paruh baya yang selalu punya stok lelucon "bapak-bapak"."Selamat pagi, calon pujangga!" sapa Pak Heru dengan suara berbisik yang nyaring. "Sudah siap bertarung dengan tumpukan map dan naga birokrasi hari ini?"Adi tersenyum. "Siap, Pak. Amunisi sudah diisi penuh sejak subuh tadi.""Baguslah. Pagi ini langsung ada oleh-oleh dari Kepala Bidang di emailmu. Selamat menikmati," kata Pak Heru sebelum kepalanya kembali menghilang, diiringi oleh kekehan kecil.Benar saja. Email pertama yang muncul di layar adalah sebuah disposisi untuk merevisi draf surat edaran. Adi membukanya. Matanya langsung disuguhi oleh parade kalimat-kalimat formal yang kaku: Menindaklanjuti... Berdasarkan peraturan... Sehubungan dengan hal tersebut...Sebagai seorang pegawai, tugasnya adalah memastikan kalimat-kalimat ini sesuai dengan kaidah tata bahasa resmi dan tidak menimbulkan ambiguitas. Tapi sebagai seorang penulis, jiwanya terasa sedikit meronta. Bahasa ini terasa begitu jauh, dingin, dan tidak memiliki nyawa. Bahasa ini didesain untuk menciptakan jarak, bukan untuk membangun koneksi. Ia menghabiskan hari-harinya menavigasi dua samudra bahasa yang bertolak belakang: bahasa yang ia gunakan untuk bekerja, dan bahasa yang ia gunakan untuk hidup...........................................................Bahasa birokrasi diciptakan untuk menghilangkan ambiguitas, untuk membangun tembok kepastian. Bahasa puisi diciptakan untuk merayakan ambiguitas, untuk membuka jendela kemungkinan.Manusia yang utuh adalah ia yang mampu berbicara dalam keduanya, tanpa membiarkan yang satu membunuh jiwa dari yang lainnya...........................................................Dengan kesabaran seorang profesional, Adi mulai mengerjakan tugasnya. Ia membaca setiap kalimat dengan teliti, memperbaiki tanda baca, menyelaraskan format. Ia adalah pegawai yang baik dan kompeten. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, otaknya bekerja dalam mode logis dan terstruktur. Ia bisa melakukan ini dengan mata tertutup.Namun, di tengah-tengah proses merevisi sebuah paragraf yang luar biasa kaku, sebuah kalimat melintas di benaknya. Sebuah pemberontakan kecil dari jiwa penulisnya. Tangannya berhenti sejenak. Ia dengan cepat menekan kombinasi tombol di keyboardnya, memunculkan sebuah aplikasi sticky note digital berwarna kuning pucat yang tersembunyi di balik tumpukan jendela aplikasi lainnya. Di sana, di antara puluhan fragmen pemikiran dan baris-baris puisi acak, ia mengetikkan sebuah kalimat baru, sebuah "hal receh" yang hanya ia yang mengerti.Di balik setiap kata 'Dengan hormat', ada hati yang rindu pulang.Ia membacanya sekali, tersenyum tipis, lalu dengan cepat menutup kembali catatan itu, menyembunyikannya dari dunia. Aksi itu hanya butuh waktu tiga detik, tidak lebih. Sebuah penyelundupan emosi di tengah lautan formalitas. Setelah itu, ia kembali ke dokumen surat edaran, wajahnya kembali datar dan fokus. Aditia Wibawa Sena, sang staf pemerintah, telah kembali mengambil alih sepenuhnya. Tapi di dalam dirinya, Adi sang penulis baru saja diberi kesempatan untuk bernapas. Dan napas kecil itulah yang membuatnya bisa bertahan menjalani sisa harinya, sambil menunggu waktu untuk kembali ke dunianya yang sesungguhnya. Dunia di mana Lestari berada.

Garis Langit Abu-abu

Garis Batas Antara Dua Dunia

Di publikasikan 05 Oct 2025 oleh Titik Nol

Saat Lestari mendorong pintu kaca lobi utama rumah sakit, dunia seketika berubah. Udara sejuk dari pendingin ruangan yang beraroma khas antiseptik langsung menyambutnya, menggantikan kehangatan sisa matahari pagi di luar. Suara-suara di sekitarnya pun memiliki timbre yang berbeda. Di luar tadi adalah simfoni kekacauan kota; di dalam sini adalah polifoni ketegangan yang teredam—pengumuman dari pengeras suara, derit roda kursi dorong, bisik-bisik cemas dari keluarga pasien di ruang tunggu, dan langkah-langkah cepat yang berirama dari para perawat.Secara naluriah, postur tubuh Lestari berubah. Ia tidak lagi berjalan santai, melainkan dengan langkah yang lebih panjang dan bertujuan. Senyum tipis yang tadi terukir saat memikirkan Adi kini tersimpan di dalam, digantikan oleh ekspresi yang lebih netral, fokus, dan siap sedia. Ia mengangguk singkat pada petugas keamanan di lobi, membalas sapaan seorang perawat senior yang berpapasan dengannya, dan pikirannya sudah mulai bekerja, memindai suasana, mencoba merasakan "denyut nadi" rumah sakit pagi itu.Ia langsung menuju ruang jaga dokter untuk serah terima dengan tim malam. Di sana, ia menemukan Dokter Bima, seorang internis senior, sedang meregangkan punggungnya di depan meja yang penuh dengan cangkir kopi kosong dan tumpukan status pasien. Wajah Dokter Bima terlihat seperti kertas lecek; lelah, sedikit kuyu, dengan kantung mata yang menandakan malam yang panjang."Pagi, Ayu," sapa Dokter Bima, suaranya serak. "Selamat menikmati hari Senin." Ada nada ironi yang tipis dalam ucapannya."Pagi, Dok. Kelihatannya semalam cukup meriah," balas Lestari dengan nada empati.Dokter Bima menghela napas. "Meriah itu kata yang terlalu sopan. UGD seperti pasar malam. Ada kecelakaan beruntun dari tol jam dua, ditambah pasien serangan jantung jam empat. Sisanya standar, pasien bed 3 demam post-operasi, lab darahnya sudah di meja. Pasien baru di bed 7, observasi tifoid. Semua detail ada di laporan."Lestari mendengarkan rentetan informasi klinis itu sambil memindai laporan dengan cepat. Pikirannya langsung beralih ke mode analisis, menyerap data, dan menyusun prioritas. Namun, di tengah proses itu, sebagian kecil dari dirinya melihat Dokter Bima dengan cara yang berbeda pagi ini. Ia tidak hanya melihat seorang kolega yang kelelahan; ia melihat cerminan dirinya sendiri 24 jam yang lalu. Ia tahu persis seperti apa rasa lelah yang menggerogoti tulang itu. Dan ia merasa bersyukur memiliki Adi, tempatnya untuk memulihkan diri...........................................................Ada sebuah garis batas tak terlihat yang kita lewati setiap pagi saat masuk ke tempat kerja. Di satu sisi garis itu, kita adalah kekasih, anak, dan teman. Di sisi lainnya, kita adalah peran yang kita mainkan.Keahlian bertahan hidup adalah kemampuan untuk melewati garis itu tanpa melupakan siapa diri kita yang sesungguhnya...........................................................Setelah serah terima selesai dan Dokter Bima bergegas pulang untuk menebus utang tidurnya, Lestari mengambil setumpuk status pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Ia memutuskan untuk memulai dari kamar yang paling ujung, kamar yang dihuni oleh seorang pasien lansia yang menurut catatan keperawatan "sedikit rewel" malam tadi.Ia mengetuk pintu pelan sebelum masuk. Di dalam, seorang nenek sedang duduk di tempat tidur, wajahnya cemberut."Pagi, Nek," sapa Lestari dengan suara yang ia usahakan sehangat mungkin."Pagi," jawab sang nenek ketus. "Dokter baru? Semalam perawatnya bolak-balik terus, berisik sekali, saya jadi tidak bisa tidur. Susu yang dikasih juga dingin."Lestari yang sedang terburu-buru mungkin akan langsung memotong dengan pertanyaan medis. Tapi Lestari yang hari ini membawa bekal kesabaran dari paginya bersama Adi, memilih untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menarik sebuah kursi kecil dari sudut ruangan dan duduk di samping tempat tidur, membuat posisi matanya sejajar dengan sang nenek."Oh ya? Wah, maaf ya, Nek, kalau jadi terganggu tidurnya," kata Lestari dengan nada tulus. "Semalam memang ada beberapa pasien darurat yang harus segera ditangani, jadi mungkin suasananya sedikit sibuk. Soal susunya, nanti saya pastikan ke bagian gizi supaya disajikan lebih hangat, ya."Ia tidak membantah, tidak membela diri atau stafnya. Ia hanya mendengarkan dan memvalidasi keluhan sang nenek...........................................................Resep yang paling manjur terkadang bukanlah obat yang paling mahal, melainkan lima menit waktu untuk duduk dan mendengarkan.Karena sebelum menyembuhkan sebuah penyakit, sering kali kita harus terlebih dahulu menenangkan jiwa yang menanggungnya...........................................................Setelah mendengarkan keluhan sang nenek, barulah Lestari memulai pemeriksaan medisnya. Ia melakukannya dengan gerakan yang lembut dan tidak tergesa-gesa, sambil terus mengajak sang nenek berbicara tentang hal-hal ringan. Ia memeriksa tekanan darah, mendengarkan detak jantungnya dengan stetoskop, dan menanyakan keluhan fisiknya."Nyeri di perutnya masih terasa, Nek?"Wajah sang nenek yang tadinya cemberut kini sedikit melunak. Ia merasa didengarkan. "Sudah sedikit berkurang, Dok. Tapi masih sering kembung.""Baik. Obatnya dilanjutkan terus, ya. Dan coba lebih banyak minum air putih hangat," kata Lestari sambil merapikan selimut sang nenek. Sebelum bangkit, ia bertanya, "Anak-cucu rencananya menjenguk hari ini?"Pertanyaan sederhana di luar konteks medis itu berhasil memecah sisa-sisa pertahanan sang nenek. Wajahnya langsung berbinar. "Oh, iya, Dok. Cucu saya yang paling kecil katanya mau datang. Bawa gambar buat saya, katanya.""Wah, pasti senang sekali, ya," kata Lestari sambil tersenyum tulus. "Baiklah, Nenek istirahat lagi, ya. Nanti siang saya periksa lagi."Saat Lestari berjalan keluar dari kamar itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Keluhan sang nenek tidak menguras energinya. Sebaliknya, melihat wajah pasiennya yang berubah dari cemberut menjadi lebih cerah memberinya suntikan energi positif. Perisai tak terlihatnya ternyata tidak hanya berfungsi untuk melindungi. Ia juga bisa memancarkan kehangatan.Ia berhenti sejenak di koridor yang sibuk, menarik napas, dan melihat jam tangannya. Hari masih panjang, dan tantangan lain pasti sudah menunggu. Tapi ia merasa siap. Senin paginya tidak dimulai dengan kekacauan, melainkan dengan sebuah tindakan penyembuhan kecil. Dan itu membuat segalanya terasa lebih mungkin untuk dihadapi.

Garis Langit Abu-abu

Gema Sunyi dan Secangkir Teh Pagi

Di publikasikan 28 Sep 2025 oleh Titik Nol

Bunyi pintu apartemen yang tertutup disusul oleh suara kunci yang diputar dari luar terdengar begitu final. Dan kemudian, sunyi. Adi berdiri terpaku di ruang tengah selama beberapa detik, mendengarkan kesunyian itu. Ini adalah fenomena yang aneh. Apartemennya kini secara teknis kosong, tetapi rasanya justru lebih penuh. Penuh dengan sisa-sisa kehadiran Lestari.Ada lekukan samar di bantal sofa tempat mereka duduk tadi. Ada aroma lembut dari parfum Lestari yang masih tertinggal di udara, berbaur dengan sisa-sisa wangi kopi. Bahkan keheningan itu sendiri terasa berbeda; bukan keheningan yang hampa, melainkan keheningan yang bergema, seolah dinding-dinding apartemen masih menyimpan getaran dari tawa dan percakapan mereka beberapa saat yang lalu.Adi tersenyum tipis. Ia berjalan ke dapur dan mulai membereskan piring-piring sarapan mereka. Mencuci piring adalah salah satu pekerjaan paling membosankan di dunia, tetapi pagi ini, kegiatan itu terasa seperti sebuah meditasi. Saat membilas piring yang tadi digunakan Lestari, ia teringat ekspresi wajahnya saat menceritakan tentang pasiennya, lalu bagaimana ekspresi itu berubah menjadi tawa renyah karena leluconnya yang "receh". Piring-piring itu bukan lagi sekadar benda kotor, melainkan artefak dari sebuah pagi yang berharga.Setelah dapur kembali bersih, barulah tiba waktunya untuk ritual pribadinya. Jika kopi adalah bahan bakar Lestari yang beroktan tinggi, maka minuman Adi adalah solar yang bekerja lambat dan stabil. Ia memasak air hingga mendidih, lalu menuangkannya ke dalam sebuah gelas bening yang sudah diisi dengan dua sendok teh tubruk dan sedikit gula batu. Ia mengaduknya perlahan, memperhatikan daun-daun teh itu menari-nari sebelum akhirnya mengendap di dasar. Teh tubruk. Minuman para pemikir dan perenung, begitu katanya pada Lestari suatu waktu...........................................................Kesendirian setelah melepas seseorang pergi bukanlah kesepian. Itu adalah sebuah ruang hening yang masih hangat, sebuah jeda di mana gema tawa dan sisa-sisa percakapan masih menari-nari di udara.Itu adalah bukti bahwa sebagian dari dirinya memilih untuk tetap tinggal...........................................................Sambil membawa gelas tehnya yang hangat, Adi duduk di singgasananya: meja kayu kecil di dekat jendela. Di sinilah Aditia sang staf pemerintah beristirahat, dan Adi sang penulis mengambil alih. Pemandangan dari jendela kini lebih ramai. Lalu lintas Senin pagi sudah mencapai puncaknya. Dari ketinggian apartemennya, semua mobil dan motor itu tampak seperti mainan yang bergerak lambat. Ia bertanya-tanya, di antara lautan kendaraan itu, di manakah mobil Lestari sekarang? Apakah perisai tak terlihatnya bekerja dengan baik?Ia membuka buku catatan kulitnya yang sudah usang. Halaman-halamannya penuh dengan coretan, kalimat-kalimat acak, dan sketsa-sketsa kecil. Ia tidak berniat menulis sebuah bab atau bahkan paragraf. Ia hanya ingin menangkap satu momen kecil dari pagi ini sebelum menguap. Jarinya yang memegang pena berhenti sejenak, lalu ia menulis:Robot kayu di kaca spion. Malaikat pelindung paling konyol di jalanan Bandung. Tugasnya: memastikan sang dokter tidak ikut-ikutan barbar seperti supir angkot.Ia membaca kembali tulisan itu dan terkekeh pelan. Sebuah "hal receh" yang hanya akan ia dan Lestari mengerti. Inilah cara kerjanya. Ia mengumpulkan fragmen-fragmen kecil dari kehidupannya, menyimpannya seperti harta karun, yang suatu saat nanti mungkin akan ia rangkai menjadi sebuah cerita utuh.Namun, jam di dinding terus berdetak tanpa kompromi. Waktu untuk Adi sang penulis sudah habis. Ia menatap jam, lalu menghela napas. Waktunya untuk bertransformasi...........................................................Di dalam diri setiap orang yang menjalani rutinitas, sering kali hidup seorang penyair, pelukis, atau musisi yang terpaksa diam.Kebahagiaan adalah kemampuan untuk membiarkan suara tersembunyi itu berbisik sesekali—mencatat satu baris puisi di sela-sela laporan, atau menyenandungkan lagu di tengah koridor yang kaku...........................................................Adi menutup buku catatannya dengan sebuah gerakan tegas. Ia menghabiskan sisa tehnya dalam satu tegukan, seolah sedang menelan kembali persona penulisnya, menyimpannya di dalam untuk sementara waktu. Ia kembali ke kamar, berganti pakaian dengan kemeja dan celana bahannya, mengikat dasi abu-abunya dengan gerakan yang sudah di luar kepala. Transformasi itu kini selesai.Sebelum berangkat, ia melakukan patroli terakhir di apartemen. Mematikan lampu dapur, memastikan jendela terkunci. Matanya tertumbuk pada cangkir kopi biru tua milik Lestari yang sudah bersih dan berdiri terbalik di rak pengering. Sebuah benda mati yang terasa begitu hidup. Ia menyentuhnya sekilas dengan ujung jarinya, sebuah perpisahan tanpa suara.Ia meraih tas kerjanya, sebuah tas selempang praktis yang isinya jauh dari kata puitis: laptop, dokumen, dan kotak makan siang. Saat ia membuka pintu apartemen untuk melangkah keluar, udara di dalam terasa berbeda dengan udara di luar koridor. Udara di dalam masih menyimpan kehangatan pagi mereka.Ia menarik pintu hingga tertutup. Memutar kunci. Bunyi klik dari gerendel yang mengunci terasa seperti penutup dari babak pagi itu. Apartemen itu kini kembali menjadi ruang yang sunyi, sebuah sangkar emas yang akan dengan sabar menunggu kedua penghuninya kembali pulang. Adi berbalik, melangkah menuju lift, siap untuk memainkan perannya di panggungnya sendiri.

Garis Langit Abu-abu

Perisai Tak Terlihat di Jalanan

Di publikasikan 28 Sep 2025 oleh Titik Nol

Langkah kaki Lestari menggema pelan di koridor apartemen yang sepi. Udara pagi masih terasa sejuk, sebuah kontras yang tajam dengan kehangatan yang baru saja ia tinggalkan di dalam unitnya. Saat pintu lift terbuka dan membawanya turun ke lantai parkir basement, ia bisa merasakan perubahan atmosfer yang drastis. Keharuman kopi dan roti panggang digantikan oleh aroma beton yang lembap dan sisa-sisa gas buang. Ini adalah gerbang pertama menuju dunia luar.Ia menemukan mobilnya di sudut yang familier. Saat ia membuka kunci dan duduk di belakang kemudi, ia disambut oleh keheningan yang berbeda dari keheningan di apartemen. Ini adalah keheningan yang mekanis, yang mengisolasi. Matanya tertumbuk pada sebuah gantungan kunci berbentuk robot kayu kecil yang sedikit konyol, tergantung di kaca spion tengah. Hadiah iseng dari Adi beberapa bulan lalu. "Biar ada yang jagain kamu di jalan," kata Adi waktu itu. Lestari tersenyum, menyentuh kepala robot kayu itu dengan ujung jarinya. Sebuah ritual kecil yang selalu ia lakukan.Mesin mobil menyala dengan deru yang teredam, dan saat mobilnya perlahan keluar dari basement menuju jalanan utama, Lestari menarik napas. Waktu bermain sudah selesai. Panggungnya kini adalah kota Bandung yang sedang menggeliat bangun.Jalanan di pagi hari adalah sebuah simfoni kekacauan yang terorganisir. Angkot berwarna hijau dan biru berhenti dan melaju sesuka hati, motor-motor menyelinap di celah-celah sempit seperti ikan-ikan kecil, dan para pedagang kaki lima sudah memulai perniagaan mereka di trotoar. Klakson bersahut-sahutan, menciptakan musik latar yang khas untuk pagi hari di kota besar. Biasanya, simfoni ini akan membuat otot-otot di bahu Lestari menegang. Ia akan menggenggam setir lebih erat, bibirnya terkatup rapat, fokusnya terbagi antara jalan di depan dan daftar tugas yang sudah berputar di kepalanya.Tapi pagi ini, ada sesuatu yang berbeda. Ada sebuah lapisan penyangga yang tak terlihat di antara dirinya dan kekacauan di luar...........................................................Fondasi hari yang kokoh tidak akan menghentikan badai-badai kecil di luar sana—klakson yang bising, jalanan yang macet, atau antrean yang panjang.Tapi ia akan berfungsi sebagai perisai tak terlihat, memastikan bahwa riak-riak kecil itu hanya membasahi ujung kaki, tidak sampai menenggelamkan seluruh jiwa...........................................................Sebuah angkot di depannya tiba-tiba mengerem mendadak untuk menaikkan penumpang. Lestari menginjak rem dengan sigap, mobilnya berhenti hanya beberapa senti dari bemper angkot itu. Lestari yang kemarin mungkin akan menghela napas panjang, sedikit menggerutu di dalam hati. Lestari yang hari ini hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum. Ia teringat percakapannya dengan Adi saat sarapan.“Tingkat urgensinya sedikit berbeda, ya.”Ia membayangkan Adi duduk di sampingnya sekarang, mungkin akan berkomentar jenaka, "Nah, itu dia. Urgensi supir angkot dalam mengejar setoran jelas mengalahkan urgensi kita untuk sampai di tempat kerja tepat waktu. Skala prioritas, Sayang." Bayangan itu membuatnya terkekeh sendiri di dalam mobil. Tiba-tiba, kemacetan tidak lagi terasa begitu menyebalkan. Itu hanya menjadi bagian dari pemandangan pagi.Ia menyalakan radio, tetapi bukan untuk mencari berita pagi yang sering kali penuh dengan kabar buruk. Ia mencari stasiun yang memutar lagu-lagu lama yang menenangkan. Pikirannya melayang kembali pada kehangatan cangkir kopi di tangannya tadi, pada cara Adi merapikan kerahnya, pada kecupan singkat di ambang pintu. Kenangan-kenangan kecil itu menjadi perisai tak terlihatnya. Setiap klakson yang menusuk telinga, setiap motor yang memotong jalurnya, seolah memantul dari perisai itu, tidak mampu menembus kedamaian yang telah ia bangun bersama Adi pagi ini.Setelah dua puluh menit yang terasa lebih ringan dari biasanya, gedung rumah sakit yang megah dan familier mulai terlihat di kejauhan. Sebuah benteng putih yang menjadi rumah keduanya...........................................................Kekuatan sejati seorang profesional bukanlah topeng tanpa emosi yang ia kenakan. Kekuatan sejatinya adalah hati yang terisi penuh sebelum ia berangkat kerja; terisi oleh kehangatan, oleh rasa aman, oleh keyakinan bahwa ada seseorang yang menunggunya pulang.Amunisi terbaik bukanlah ketangguhan, melainkan kelembutan...........................................................Lestari membelokkan mobilnya memasuki gerbang rumah sakit, melambai pada petugas keamanan yang sudah mengenalnya. Di sini, kekacauan jalanan digantikan oleh ketertiban yang tegang. Ambulans siaga di depan UGD, orang-orang berjalan dengan langkah cepat dan tujuan yang jelas. Ini adalah dunia yang menuntut fokus seratus persen.Ia memarkir mobilnya di area parkir khusus dokter. Sebelum mematikan mesin, ia berhenti sejenak. Keheningan di dalam mobil kembali terasa. Ini adalah momen transisi terakhir. Di sini, di ruang kecil ini, ia akan melepaskan sisa-sisa dari Lestari sang kekasih, dan sepenuhnya menjadi Dokter Ayu sang profesional.Ia menatap pantulan dirinya di kaca spion. Merapikan beberapa helai rambutnya yang keluar dari ikatan. Ia melihat matanya sendiri. Ada ketenangan di sana, ya, tetapi kini juga ada ketajaman, sebuah kesiapan yang terlatih. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Udara yang ia hirup terasa seperti kedamaian dari paginya bersama Adi. Udara yang ia embuskan terasa seperti resolusi untuk menghadapi apa pun yang akan hari ini lemparkan padanya.Ia menyentuh kepala robot kayu di spionnya untuk terakhir kali. "Doakan aku beruntung," bisiknya pada benda mati itu. Lalu, ia membuka pintu mobil. Kakinya yang berbalut sepatu datar yang praktis menapak di atas aspal parkiran. Pintu mobil ditutup dengan bunyi yang mantap. Perisai tak terlihat itu kini telah menyatu dengan dirinya. Ia berjalan tegap menuju pintu lobi rumah sakit. Ia siap.

Garis Langit Abu-abu

Dasi Abu-Abu dan Jas Dokter yang Putih

Di publikasikan 28 Sep 2025 oleh Titik Nol

Setelah tegukan kopi terakhir, energi mulai menjalari tubuh Lestari. Kabut kantuk telah sepenuhnya terangkat, digantikan oleh kesadaran jernih akan hari yang terbentang di hadapannya. Mereka pindah dari kamar ke dapur, sebuah pergeseran dari ruang istirahat ke ruang fungsional. Adi, yang sudah lebih dulu bergerak, sedang menyiapkan sarapan yang paling efisien namun penuh perhatian: dua tangkup roti gandum panggang dengan alpukat yang ditumbuk dan sedikit taburan lada hitam."Silakan, sarapan untuk para juara," kata Adi sambil meletakkan piring di depan Lestari.Lestari tersenyum sambil mengambil rotinya. "Juara, ya? Rasanya lebih seperti gladiator yang akan masuk ke arena."Adi terkekeh sambil mengoleskan selai pada rotinya sendiri. "Tugasmu hari ini: menyelamatkan nyawa, membuat keputusan sepersekian detik, menjadi harapan bagi banyak orang. Tugas saya: memastikan notulensi rapat kemarin tidak tersesat di antara meja A dan meja B, dan merespons tiga belas email dengan kata pembuka 'Dengan hormat'. Tingkat urgensinya sedikit berbeda, ya."Lestari tertawa, tawa renyah pertama di hari Seninnya. "Jangan meremehkan dirimu. Tanpa orang-orang yang memastikan dokumen tidak tersesat, para gladiator ini tidak akan pernah digaji."Mereka menyantap sarapan dalam irama yang cepat namun tidak tergesa-gesa, diiringi oleh obrolan-obrolan ringan. Membicarakan hal-hal kecil—seperti menebak apakah jalanan akan macet atau tidak—terasa seperti sebuah kemewahan, cara mereka menunda sejenak beban pikiran tentang pekerjaan masing-masing. Ini adalah momen terakhir mereka sebagai "kita" sebelum terbagi menjadi "aku" dan "kamu" untuk delapan atau sepuluh jam ke depan."Aku mungkin pulang malam," kata Lestari di sela-sela kunyahannya, sebuah kalimat yang sudah menjadi bagian dari rutinitas mereka."Aku tahu," jawab Adi. "Aku akan sisakan makan malam. Atau kalau mau, aku bisa samperin ke rumah sakit nanti malam, bawain sesuatu yang hangat."Lestari menatapnya, rasa terima kasih terpancar di matanya. Tawaran sederhana itu terasa lebih berarti daripada ribuan janji romantis...........................................................Setiap pagi kita mengenakan seragam kita masing-masing, entah itu jas putih, dasi, atau sekadar senyum profesional. Kita menjadi arsitek, dokter, penulis.Tapi cinta sejati adalah tentang memiliki seseorang yang, saat menatapmu dalam seragam itu, masih bisa melihat dengan jelas anak kecil yang pernah bermimpi untuk menjadi itu semua...........................................................Selesai sarapan, mereka berpisah ke pos persiapan masing-masing. Sebuah tarian tanpa suara yang sudah mereka hafal di luar kepala.Adi masuk ke kamar, membuka lemari, dan memilih senjatanya untuk hari itu: kemeja katun biru muda yang disetrika rapi, celana bahan berwarna gelap, dan sebuah dasi abu-abu bermotif garis halus. Ia mengenakannya dengan gerakan yang efisien dan terlatih. Saat ia berdiri di depan cermin untuk mengikat dasinya, simpul four-in-hand yang sempurna itu seolah mengunci persona Aditia Wibawa Sena, sang staf pemerintah, pada tempatnya. Pikirannya sudah mulai memetakan tugas-tugas birokratis yang menunggunya. Namun, di balik tatapan matanya yang fokus pada simpul dasi, sebagian kecil dari benaknya—bagian sang penulis—sedang mencatat detail pagi itu: warna cahaya, rasa roti alpukat, dan tawa renyah Lestari.Di saat yang bersamaan, di kamar mandi, Lestari sedang melalui transformasinya sendiri. Ia mengikat rambutnya ke belakang dengan cepat dan praktis. Ia mengenakan setelan scrub hijaunya yang terasa seperti kulit kedua. Lalu, dari gantungan di belakang pintu, ia mengambil jubah kebesarannya: jas dokter berwarna putih bersih. Saat ia memasukkan lengannya ke dalam jas itu, ia bisa merasakan sebuah perubahan subtil terjadi pada postur tubuhnya. Bahunya menjadi sedikit lebih tegap, dagunya sedikit lebih terangkat. Ia memasukkan stetoskop ke dalam saku kanan dan ponsel kerja ke saku kiri. Dokter Lestari Cendana Ayu kini telah mengambil alih. Pikirannya tidak lagi di dapur, tetapi sudah berada di koridor UGD, mengantisipasi kasus-kasus yang mungkin akan datang...........................................................Ucapan "sampai jumpa" di pagi hari adalah sebuah janji yang sunyi. Itu adalah kesepakatan bahwa dua dunia yang berbeda akan dijalani secara terpisah, dengan keyakinan penuh bahwa di penghujung hari, kedua dunia itu akan kembali bertemu di titik yang sama: rumah...........................................................Beberapa menit kemudian, mereka bertemu lagi di ruang tengah, dekat pintu keluar. Keduanya telah berubah. Lestari dalam balutan warna putih yang fungsional dan berwibawa. Adi dalam balutan warna biru dan abu-abu yang rapi dan formal. Mereka berdiri berhadapan sejenak, saling memandang versi profesional satu sama lain."Jas putihmu terlihat jauh lebih heroik daripada dasi abu-abuku," kata Adi sambil tersenyum, merapikan kerah kemeja Lestari yang sedikit terlipat."Tapi dasimu memastikan para pahlawan tetap bisa membayar cicilan rumah," balas Lestari, sambil mengulurkan tangan untuk mengencangkan simpul dasi Adi yang sudah sempurna.Momen itu singkat, hanya beberapa detik, tetapi penuh dengan rasa saling menghormati. Mereka tidak hanya melihat pasangan mereka, tetapi juga seorang profesional yang berdedikasi pada dunianya masing-masing."Aku berangkat dulu," kata Lestari, meraih tas kerjanya."Aku juga sebentar lagi," sahut Adi.Di ambang pintu, mereka berhenti. Adi mencondongkan tubuhnya dan memberikan kecupan singkat di bibir Lestari. Kecupan itu terasa berbeda dari kecupan di malam hari. Ini lebih seperti sebuah stempel persetujuan, sebuah bekal, sebuah transfer energi."Hati-hati di jalan," kata mereka hampir bersamaan, sebuah kalimat standar yang terdengar seperti doa.Lalu, Lestari membuka pintu dan melangkah keluar, membawa serta aroma kopi dan kehangatan pagi mereka. Adi memperhatikannya hingga punggungnya menghilang di tikungan koridor, sebelum akhirnya menutup pintu. Senin telah dimulai. Pertarungan mereka masing-masing telah menanti. Tapi pagi itu, mereka tidak berangkat dari titik nol. Mereka berangkat dari titik yang bernama "kita".

Garis Langit Abu-abu

Pintu Menuju Senin

Di publikasikan 28 Sep 2025 oleh Titik Nol

Udara malam yang basah mulai terasa menggigit kulit. Lestari menarik napas dalam-dalam untuk yang terakhir kalinya, seolah ingin menyimpan kesegaran udara pasca-hujan itu di dalam paru-parunya sebagai cadangan untuk seminggu ke depan. Adi merasakannya sedikit menggigil di dalam rangkulannya."Sudah waktunya," kata Adi pelan. "Sang naga bernama Senin sudah mengintai di depan sana. Para ksatria butuh istirahat."Lestari tertawa kecil mendengar analogi itu. "Baiklah, Panglima. Mari kita mundur ke markas."Mereka melangkah masuk kembali ke dalam kehangatan apartemen. Adi menggeser pintu kaca hingga tertutup rapat. Bunyi pelan saat pintu itu terkunci pada tempatnya terasa begitu simbolis. Dunia luar, dengan segala tuntutan dan kebisingannya, secara resmi telah ditinggal di belakang. Malam ini, yang tersisa hanyalah dunia kecil mereka.Tidak ada lagi percakapan panjang. Yang ada hanyalah sebuah rutinitas malam yang mereka jalani dalam keheningan yang nyaman. Lestari masuk ke kamar mandi lebih dulu. Ia menatap pantulan dirinya di cermin saat membasuh wajahnya. Air dingin itu terasa menyegarkan, membersihkan bukan hanya sisa riasan tipis, tetapi juga sisa kelelahan emosional. Pantulan yang balas menatapnya kini jauh berbeda dari wanita pucat dan tegang yang ia lihat tadi sore. Matanya lebih jernih, sorotnya lebih tenang.Sementara itu, Adi bergerak di dapur tanpa suara, mengambil dua gelas tinggi dan mengisinya dengan air putih, lalu meletakkannya di nakas di kedua sisi tempat tidur mereka. Sebuah kebiasaan kecil yang ia mulai sejak mereka sering menghabiskan akhir pekan bersama. Ia tahu Lestari sering terbangun di tengah malam karena haus setelah jadwal jaga yang panjang. Adi tidak pernah lupa. Ini adalah salah satu dari sekian banyak bahasa cintanya yang tak terucap...........................................................Keintiman sejati sering kali tidak ditemukan dalam percakapan besar, melainkan dalam ritual-ritual kecil tanpa suara: cara ia menyiapkan air minum untukmu, caramu menunggunya selesai menyikat gigi.Dalam tarian hening inilah, dua kehidupan benar-benar menyatu...........................................................Saat Lestari keluar dari kamar mandi, Adi masuk bergantian. Mereka berpapasan di ambang pintu, hanya bertukar senyum kecil yang hangat. Beberapa menit kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam kamar, yang kini terasa seperti sebuah kepompong yang aman dan nyaman. Lampu utama sudah padam, menyisakan hanya cahaya temaram dari lampu tidur di sisi nakas Adi, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang lembut di dinding.Lestari menarik selimut hingga ke dadanya, merasakan kainnya yang sejuk dan bersih di kulitnya. Ia memperhatikan Adi yang sedang membaca beberapa baris dari bukunya—ritual terakhirnya sebelum tidur."Malam ini," kata Lestari pelan, membuat Adi menurunkan bukunya dan menatapnya. "Aku akan tidur sebagai Lestari."Adi mengerti sepenuhnya makna di balik kalimat itu. Itu bukan sekadar pernyataan, melainkan sebuah deklarasi kemenangan kecil atas hari yang berat. Kemenangan atas trauma, atas kelelahan, atas zirah dokter yang kadang terasa begitu berat.Adi mencondongkan tubuhnya dan mengecup kening Lestari, sebuah kecupan yang terasa seperti sebuah segel, sebuah berkat. "Tidurlah yang nyenyak, Lestari," bisiknya. "Dan besok pagi, saat kamu bangun, aku yang akan membuatkan kopimu. Agar Dokter Ayu punya energi yang cukup untuk kembali menyelamatkan dunia."Jantung Lestari menghangat. Adi tidak memintanya untuk memilih. Ia tidak memintanya untuk menjadi Lestari saja atau Dokter Ayu saja. Ia mencintai keduanya. Ia merawat yang satu di malam hari, dan berjanji akan menyokong yang satunya lagi di pagi hari.Adi meletakkan bukunya, lalu mematikan lampu tidur terakhir. Ruangan itu kini gelap total, namun kegelapan itu terasa bersahabat, penuh dengan janji istirahat...........................................................Cinta bukanlah tempat untuk bersembunyi dari dunia. Ia adalah titik nol untuk memulai hari, sebuah markas tempat kita mengisi kembali amunisi batin.Ia adalah fondasi yang membuat kita cukup kuat untuk melangkah keluar pintu setiap pagi, tahu bahwa seberat apa pun pertarungan di luar sana, kita selalu punya tempat untuk pulang...........................................................Dalam kegelapan yang menenangkan itu, Lestari membalikkan tubuhnya menghadap Adi. Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya garis samar siluetnya. Tapi ia bisa mendengar hal yang paling penting: suara napas Adi yang dalam dan teratur. Ritme itu adalah musik pengantar tidur terbaik di dunia. Ritme yang mengatakan, "Aku di sini. Kamu aman. Beristirahatlah."Pikiran Lestari tidak lagi melompat ke daftar pasien atau jadwal operasi. Pikirannya kini berlabuh dengan tenang. Ia tidak lagi merasa cemas tentang pintu menuju hari Senin yang akan segera terbuka. Karena ia tahu, fondasi tempatnya berpijak malam ini begitu kokoh, begitu hangat, begitu nyata.Ia memejamkan matanya, membiarkan sisa-sisa kesadarannya larut ke dalam tidur. Napasnya perlahan mulai mengikuti ritme napas Adi, hingga keduanya menjadi satu harmoni yang hening. Di malam yang dibasuh hujan itu, di sebuah apartemen di Bandung, Lestari tidak sedang melarikan diri dari hari esok. Ia sedang memulihkan diri untuk menyambutnya. Dan itu adalah sebuah perbedaan yang sangat besar.

Garis Langit Abu-abu

Sebelum Esok Kembali Datang

Di publikasikan 28 Sep 2025 oleh Titik Nol

Lagu terakhir dari daftar putar itu mengalun hingga nadanya yang terakhir, lalu menghilang, meninggalkan keheningan yang terasa lebih pekat dari sebelumnya. Keheningan yang kini hanya diisi oleh suara napas mereka dan sisa-sisa melodi hujan yang telah reda. Di luar, langit Bandung telah sepenuhnya gelap, dan lampu-lampu kota mulai menyala satu per satu, berkelip seperti bintang buatan manusia. Di dalam gelembung kecil apartemen mereka, waktu terasa berjalan begitu lambat, begitu murah hati.Lestari menarik napas panjang, sebuah helaan napas yang menandai akhir dari sebuah jeda. Ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Adi, bukan untuk menjauh, tetapi untuk merengkuh kedua lututnya sendiri."Besok sudah Senin lagi, ya," desahnya.Satu kalimat sederhana itu memiliki kekuatan untuk mengubah seluruh atmosfer di dalam ruangan. Gelembung kedamaian mereka tidak pecah, tetapi menjadi sedikit lebih tipis, memungkinkan realitas dari dunia luar merembes masuk. Senin. Sebuah kata yang bagi Lestari berarti kembali mengenakan seragam hijaunya, kembali menjadi garda terdepan antara hidup dan mati, kembali pada jadwal tak menentu dan keputusan-keputusan berat.Dalam sekejap, pikirannya sudah mulai menyusun daftar: rapat pagi, visite pasien, jadwal operasi yang mungkin datang tiba-tiba. Ia bisa merasakan dirinya secara mental mulai mengenakan kembali zirah "Dokter Ayu", lapisan pelindung yang membuatnya tetap fokus dan profesional, tetapi juga membuatnya sedikit lebih kaku, sedikit lebih jauh. Lestari yang lembut dan rapuh yang telah dirawat Adi sepanjang hari ini, harus kembali bersembunyi di baliknya...........................................................Kita semua memiliki lebih dari satu versi diri: versi yang kita tunjukkan pada dunia, versi yang kita pakai untuk bekerja, dan versi asli yang tersembunyi di baliknya.Beruntunglah mereka yang memiliki seseorang yang tidak hanya mengenal, tetapi juga merawat versi asli itu saat ia sedang lelah...........................................................Adi, dengan kepekaannya yang terlatih, merasakan pergeseran itu. Ia melihatnya dalam cara Lestari menegakkan punggungnya sedikit, dalam tatapan matanya yang kini menembus dinding, menatap pada esok hari yang belum tiba. Adi tahu, tidak ada gunanya mengatakan "jangan dipikirkan" atau "semuanya akan baik-baik saja." Kekhawatiran Lestari itu nyata, dan tugasnya bukanlah untuk meniadakannya, melainkan untuk menemaninya di dalamnya."Mau cari udara sebentar di luar?" tawar Adi lembut, dagunya menunjuk ke arah pintu kaca yang menuju ke balkon kecil apartemen mereka.Lestari menoleh dan mengangguk. Sebuah perubahan pemandangan, meski hanya beberapa langkah, terasa seperti ide yang bagus.Adi bangkit dan menggeser pintu kaca itu. Seketika, udara malam yang sejuk dan lembap menyelinap masuk, membawa serta aroma khas kota setelah hujan: campuran wangi tanah basah, aspal, dan kesegaran yang terasa membersihkan paru-paru. Mereka melangkah keluar, ke balkon sempit yang menghadap langsung pada panggung gemerlap lampu kota.Pemandangannya indah. Lampu-lampu dari gedung dan kendaraan di bawah sana berkelip-kelip di atas jalanan yang masih basah, menciptakan pantulan cahaya yang tak terhitung jumlahnya. Dari kejauhan, terdengar dengung samar dari kehidupan kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Berdiri di sana, mereka seolah berada di antara dua dunia: keheningan apartemen mereka di belakang, dan kesibukan tak berujung di depan...........................................................Kekhawatiran tentang hari esok tidak akan bisa kita hilangkan. Tapi kita bisa membuatnya lebih kecil dengan cara memperluas momen hari ini.Dengan menarik napas dalam-dalam, menggenggam sebuah tangan, dan berkata: esok adalah urusan nanti, malam ini adalah urusan kita...........................................................Mereka berdiri berdampingan, bersandar pada pagar balkon yang dingin, menatap cakrawala buatan manusia itu. Untuk beberapa saat, mereka tidak berbicara, hanya menyerap suasana. Lestari menarik napas dalam-dalam, merasakan udara sejuk memenuhi dirinya, seolah sedang melakukan pembersihan terakhir sebelum kembali berperang."Dunia di luar sana boleh menuntut apa saja besok," kata Adi akhirnya, suaranya tenang namun mantap. Matanya masih menatap lurus ke depan. "Mereka boleh menuntut kekuatanmu, waktumu, energimu. Tapi malam ini, dunia kita hanya seluas balkon ini. Hanya dari ujung tembok ini sampai ujung tembok itu. Dan di dunia ini, kamu tidak perlu menjadi apa-apa. Cukup jadi Lestari saja."Kata-kata itu meresap ke dalam hati Lestari lebih dalam dari obat mana pun. Ia tidak sedang diberi semangat. Ia sedang diberi izin. Izin untuk menjadi rapuh. Izin untuk menjadi lelah. Izin untuk menjadi manusia.Ia menyandarkan kepalanya di bahu Adi. Pagar balkon yang dingin di depan, kehangatan tubuh Adi di samping. Kontras itu membuatnya merasa begitu nyata, begitu membumi."Terima kasih, Adi," bisiknya.Adi merangkulkan lengannya di bahu Lestari, menariknya lebih dekat. "Untuk apa?""Karena sudah menjagaku. Bukan hanya menjagaku dari dunia luar, tapi juga dari diriku sendiri."Mereka berdiri di sana, di bawah langit malam yang mulai cerah, menjadi dua siluet yang menyatu dengan latar gemerlap kota. Senin memang akan datang. Dengan segala tuntutan dan tekanannya. Tapi malam ini, mereka telah mengisi kembali bekal mereka. Bukan bekal makanan atau energi fisik, melainkan bekal ketenangan, pemahaman, dan keyakinan bahwa seberat apa pun hari esok, mereka tidak akan menghadapinya sendirian. Dan untuk saat ini, keyakinan itu adalah segalanya.

Garis Langit Abu-abu

Geometri Duka

Di publikasikan 21 Sep 2025 oleh Titik Nol

Jari telunjuk Bara menekan ikon hijau di layarnya. Sebuah tindakan sederhana yang terasa membelah waktu menjadi dua: sebelum dan sesudah. Ia menempelkan ponsel ke telinga, dan dunia di sekelilingnya—dengungan server, ketukan keyboard yang ritmis, pendingin ruangan yang berdesis—seketika meredup, menjadi latar yang tidak relevan.Di seberang sana, bukan sapaan yang ia dengar, melainkan isak tangis yang tertahan, suara ibunya yang terdistorsi oleh duka. Bara tidak menyela. Ia menunggu. Dalam benaknya, sebuah prosesor mulai bekerja, mencoba menganalisis data audio yang tidak lengkap ini, mencari pola, mencari makna."...Senja..." Suara ibunya pecah. "Bar... Kakakmu... Senja sudah tidak ada."Kata-kata itu tiba. Bukan sebagai ledakan emosi, melainkan sebagai serangkaian data baru yang masuk ke dalam sistem Bara. Input: Senja sudah tidak ada. Status: Final. Konsekuensi: Belum terdefinisi. Tidak ada air mata. Tidak ada napas yang tercekat. Respons pertamanya adalah sebuah pertanyaan logis."Di mana?" suaranya sendiri terdengar asing, datar dan tanpa getaran. "Rumah sakit mana? Apa langkah berikutnya?"Ia mencatat detail-detail yang diberikan ibunya dengan presisi seorang manajer proyek: nama rumah sakit, nomor kamar jenazah, alamat rumah duka yang sudah dihubungi oleh paman mereka. Prosedur. Langkah-langkah yang harus dieksekusi. Setelah panggilan berakhir, ia berdiri. Dunianya, yang beberapa menit lalu adalah sebuah simfoni keteraturan, kini menjadi sebuah sistem yang mengalami critical error. Tapi kepanikan bukanlah respons yang efisien.Ia berjalan ke meja atasannya, menunggu sang manajer menyelesaikan panggilan teleponnya. Saat tatapan mereka bertemu, Bara berkata dengan nada yang sama datarnya, "Saya harus pergi. Ada urusan keluarga."Tidak ada penjelasan lebih. Dan anehnya, tidak ada yang bertanya.***Rumah duka beraroma campuran lili dan melati dengan konsentrasi yang pekat. Di dalam ruangan yang didominasi warna putih dan krem itu, duka memiliki geometrinya sendiri: barisan kursi yang lurus, karangan bunga yang membentuk lingkaran dan oval, serta peti jenazah berwarna cokelat tua yang menjadi titik pusat dari semuanya. Manusia-manusia bergerak di antara bentuk-bentuk ini, wajah mereka basah oleh air mata, suara mereka bergetar.Bara berdiri di sudut, sebuah anomali dalam ekosistem emosi ini. Ia menerima pelukan dari para kerabat, membalasnya dengan kekakuan yang canggung. Ia mengucapkan, "Terima kasih sudah datang," berulang kali hingga kalimat itu kehilangan makna dan menjadi sekadar skrip. Ia mengamati tangisan tantenya, menganalisisnya: getaran di bahu, interval isak tangis, volume suara yang naik turun. Fenomena yang menarik, namun ia tidak bisa merasakan resonansinya. Ia mencoba mengakses data internalnya, mencari respons emosional yang sesuai untuk situasi ini. File not found.Pandangannya terpaku pada sebuah lukisan abstrak yang tergantung di dinding rumah duka, sebuah hiasan standar. Sapuan kuasnya yang acak dan warnanya yang cerah terasa tidak pada tempatnya. Sapuan warna itu menariknya ke dalam sebuah memori, begitu jelas hingga aroma melati di sekitarnya seolah berganti menjadi aroma kopi dan kertas.Satu tahun yang lalu. Sebuah kafe kecil di pinggiran kota. Hujan di luar. Bara baru saja meluncurkan aplikasi analisis pasar saham pribadinya. Dengan bangga, ia menunjukkan grafik-grafik di tabletnya kepada Senja."Lihat, Nja. Algoritma ini bisa memprediksi pergerakan harga dengan akurasi 82%. Semua berdasarkan data historis dan analisis sentimen. Logika murni."Senja, yang sedang asyik membuat sketsa di buku catatannya, melirik sekilas. Ia tersenyum, senyum yang selalu tampak menyimpan rahasia kecil. Ia tidak melihat tablet Bara, melainkan menunjuk ke cangkir kopinya yang mulai dingin."Angka-angkamu bisa memprediksi segalanya, Bar," katanya lembut, jemarinya yang sering ternoda cat menari di atas kertas. "Tapi bisakah mereka memprediksi rasa kopi ini saat diminum sambil tertawa? Atau memprediksi warna langit besok sore saat bertemu dengan hujan? Ada hal-hal yang tidak untuk diprediksi. Hanya untuk dirasakan."Bara saat itu hanya mendengus pelan, menganggapnya sebagai romantisme naif seorang seniman. Logika adalah kebenaran. Perasaan adalah variabel pengganggu.Sebuah tepukan lembut di bahunya menarik Bara kembali dari ingatan. Pamannya menatapnya dengan khawatir. "Kamu tidak apa-apa, Bar? Kamu pucat."Bara hanya mengangguk. Tapi di dalam kepalanya, sebuah pertanyaan mulai terbentuk. Sebuah kalkulasi yang tidak pernah ia coba lakukan sebelumnya.Bagaimana cara mengukur tawa Senja saat itu? Berapa bobot kenangannya? Jika sebuah hal tidak bisa dikuantifikasi, apakah itu berarti ia tidak nyata?Malam semakin larut. Para pelayat mulai pulang, meninggalkan keheningan yang lebih pekat. Bara berjalan menyusuri lorong, menjauh dari ruang utama. Ia berhenti di depan sebuah pintu kamar yang disediakan untuk keluarga. Kamar peristirahatan sementara Senja.Dengan ragu, ia mendorong pintu itu hingga terbuka.Di dalamnya bukan lagi kamar steril rumah duka. Kerabat mereka telah membawa beberapa barang pribadi Senja. Selendang kain berwarna-warni tersampir di kursi. Beberapa buku sketsa tergeletak di meja. Aroma samar cat minyak dan kertas menguar di udara, menimpa aroma lili dan melati. Itu adalah arsip dari sebuah kehidupan yang ia anggap sebagai kekacauan.Ia berdiri di ambang pintu, menatap ke dalam fragmen dunia kakaknya. Untuk pertama kalinya sejak telepon tadi siang, prosesor di kepalanya berhenti bekerja. Tidak ada data untuk dianalisis. Tidak ada prosedur untuk dieksekusi.Sebagai gantinya, ia merasakan sesuatu yang asing. Sebuah lubang hitam di dalam sistemnya. Kekosongan yang tidak bisa diukur.

Arah yang Tak Tertulis di Peta

Frekuensi Keteraturan

Di publikasikan 21 Sep 2025 oleh Titik Nol

05:00:00Bukan sebuah alunan melodi yang membangunkan Bara Adhitama, melainkan getaran singkat dan presisi dari pergelangan tangannya. Di layar jam pintarnya, angka-angka berpendar putih di atas latar belakang hitam pekat. Pola tidur: 7 jam, 58 menit. Fase tidur dalam: 94%. Detak jantung istirahat: 52 bpm. Efisiensi: 98%. Data yang memuaskan untuk memulai sebuah hari.Tidak ada tombol tunda. Menunda adalah variabel anomali, sebuah cacat dalam sistem yang tidak bisa ia tolerir.Dunia Bara adalah dunia yang berjalan di atas frekuensi keteraturan. Apartemennya di lantai 28 sebuah menara di pusat distrik bisnis adalah bukti nyata dari filosofi itu. Dindingnya berwarna kelabu muda, perabotnya minimalis dengan garis-garis tegas. Tidak ada hiasan, tidak ada foto, tidak ada apa pun yang tidak memiliki fungsi. Baginya, ornamen adalah noise—data yang tidak relevan.Tujuh menit di bawah pancuran air dengan suhu yang diatur di 38 derajat Celsius. Tiga menit untuk mengenakan setelan pakaian yang sudah disiapkan malam sebelumnya: kemeja putih tanpa corak, celana bahan berwarna arang, sepatu kulit hitam tanpa tali. Semuanya adalah bagian dari sebuah algoritma yang telah teruji efisiensinya.Sarapannya adalah cairan berwarna hijau pucat di dalam sebuah tabung blender. 150 gram bayam, setengah buah alpukat, satu sendok takar bubuk protein, 300 ml air dingin. 280 kalori, 25 gram protein, 15 gram lemak, 12 gram karbohidrat. Bahan bakar, bukan kenikmatan. Ia meminumnya sambil berdiri, menatap hamparan kota dari jendela apartemennya yang menjulang. Di bawah sana, jutaan kehidupan bergerak dalam kekacauan yang tak terduga. Macet, telat, salah jalan. Variabel-variabel yang membuat Bara muak sekaligus bersyukur atas keteraturan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.06:45:00. Aplikasi Laju di ponselnya menunjukkan mobil pesanan akan tiba dalam tiga menit. Tepat sesuai prediksinya. Ia melangkah keluar dari lobi apartemen tepat saat sedan hitam itu menepi. Perjalanan menuju kantor adalah satu-satunya bagian dari harinya yang tidak sepenuhnya bisa ia kendalikan, namun setelah tiga tahun melewati rute yang sama, ia sudah hafal polanya. Ia tahu di persimpangan mana akan terjadi perlambatan, di ruas jalan mana kecepatan bisa kembali optimal.Pintu kaca markas besar Aksarafin bergeser tanpa suara pada pukul 07:30:17. Aksarafin bukan sekadar perusahaan fintech, melainkan sebuah katedral data. Di sinilah angka-angka dipuja, dan algoritma adalah kitab sucinya. Bara adalah salah satu pendeta tertingginya. Sebagai Lead Data Scientist, tugasnya adalah menerjemahkan kekacauan pasar menjadi pola-pola yang bisa diprediksi, mengubah ketidakpastian menjadi keuntungan.Hari ini adalah hari yang baik. Algoritma prediktif yang ia dan timnya kembangkan selama enam bulan terakhir akan diluncurkan. Proyek "Arus Biru". Sebuah nama puitis yang diberikan oleh tim pemasaran, namun bagi Bara, Arus Biru adalah serangkaian 1,4 juta baris kode yang elegan, sebuah mahakarya logika.Ia melewati jajaran meja kerja dalam keheningan yang khusyuk. Hanya ada suara ketukan papan ketik yang ritmis. Rekan-rekannya mengangguk singkat, sebuah pengakuan keberadaan yang efisien tanpa perlu pertukaran kata-kata basa-basi. Bara duduk di kursinya, dan dunianya menyempit menjadi tiga layar monitor yang menampilkan barisan angka dan grafik yang bergerak dinamis. Di sini, di frekuensinya, ia merasa utuh.Pukul 15:30:00, email notifikasi masuk. Implementasi Arus Biru: SUKSES. Akurasi prediktif awal: 98,7%. Melampaui target. Ada dengungan kepuasan yang sunyi di dalam ruang kerja. Beberapa orang saling melempar senyum tipis. Bagi mereka, ini adalah bonus akhir tahun. Bagi Bara, ini adalah keindahan dari sebuah sistem yang bekerja sempurna.Ia menyandarkan punggungnya sejenak, sebuah kemewahan yang jarang ia lakukan. Pandangannya kembali ke luar jendela, ke kota yang kini mulai diselimuti cahaya sore. Ia melihat jalanan yang padat, manusia yang bergerak seperti partikel tak beraturan. Kekacauan yang sama seperti tadi pagi. Ia memikirkan semua emosi yang mendorong keputusan-keputusan tidak logis di luar sana—cinta, amarah, harapan, cemburu. Variabel-variabel acak yang mengotori data.Manusia adalah variabel yang paling tidak bisa diandalkan, batinnya. Angka, sebaliknya, tidak pernah berbohong.Itu adalah momen kepuasan puncaknya. Sebuah kesimpulan sempurna di hari yang sempurna. Keteraturan telah menang.15:32:15.Ponselnya di atas meja bergetar. Bukan notifikasi sistem atau email pekerjaan. Pola getarannya berbeda.Di layar, sebuah nama muncul. Sebuah anomali. Sebuah data yang seharusnya tidak berada di frekuensi hari ini.Ibu.Frekuensi keteraturan itu retak. Untuk sepersekian detik, Bara Adhitama hanya bisa menatap nama itu, dan untuk pertama kalinya hari ini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Arah yang Tak Tertulis di Peta

Musik Hujan di Jendela Kaca

Di publikasikan 20 Sep 2025 oleh Titik Nol

Selesai makan, mereka membereskan sisa-sisa perjamuan sederhana mereka dalam sebuah harmoni tanpa kata. Lestari mengumpulkan piring-piring kertas dan kotak nasi, sementara Adi mengelap meja kopi yang basah oleh tetesan air minum. Gerakan mereka sinkron, sebuah tarian domestik yang sudah sering mereka lakukan. Tidak ada perintah, tidak ada permintaan, hanya pemahaman timbal balik tentang tugas-tugas kecil yang membuat sebuah ruang terasa seperti rumah.Mereka kembali ke sofa, perut kenyang dan hati yang terasa lebih lapang. Hujan di luar masih setia menemani, meski kini ritmenya lebih lembut, seperti bisikan panjang. Keheningan di antara mereka terasa nyaman, terisi penuh oleh kepuasan dan ketenangan. Lestari menyandarkan punggungnya, membiarkan seluruh bebannya ditopang oleh empuknya sofa.Adi menatap wajah Lestari yang diterpa cahaya temaram dari lampu baca. Ia melihat sisa-sisa kelelahan di sana, tetapi kini dilapisi oleh keteduhan. Sebagai seorang yang hidup dari kata-kata, Adi tahu kapan harus menggunakannya dan kapan harus membiarkan hal lain yang berbicara."Mau dengar apa malam ini?" tanyanya pelan, memecah keheningan dengan lembut. "Musik untuk menemani hujan, atau musik untuk melawannya?"Pertanyaan itu membuat Lestari tersenyum. Adi selalu melihat dunia dalam narasi seperti itu. Bukan sekadar "mau dengar lagu apa?", melainkan pilihan antara menyerah pada suasana atau mencoba mengubahnya. Malam ini, ia tidak punya keinginan sedikit pun untuk melawan. Ia ingin larut."Musik untuk menemani hujan," jawab Lestari. "Aku ingin mendengar sesuatu yang tidak berusaha membuatku ceria. Sesuatu yang jujur saja."Adi mengangguk mengerti. Ia mengambil ponselnya, jarinya menari sejenak di layar, lalu meletakkannya kembali. Beberapa detik kemudian, alunan piano minimalis mulai mengalir dari pengeras suara kecil di sudut ruangan. Nada-nadanya sederhana, jernih, dan sedikit melankolis. Setiap notnya terasa seperti tetesan hujan yang diubah menjadi melodi, mengisi ruangan tanpa membuatnya terasa penuh. Musik itu tidak menuntut perhatian, ia hanya hadir, menjadi latar bagi apa pun yang sedang mereka rasakan...........................................................Ketenangan jiwa bukanlah tentang kesunyian mutlak. Terkadang, ia adalah tentang menemukan harmoni yang tepat—alunan musik yang lembut, ritme hujan di jendela—yang mampu meredam riuh rendah suara tuntutan dunia di dalam kepala kita...........................................................Lestari memejamkan matanya, membiarkan musik itu membawanya. Pikirannya melayang, menyusuri koridor-koridor minggu yang baru saja ia lewati. Pikirannya terbiasa dengan "musik" yang berbeda: ritme cepat dari langkah kaki di lorong rumah sakit, nada-nada tajam dari alarm ventilator, disonansi dari puluhan suara yang berbicara bersamaan di ruang jaga. Selama ini, ia tidak sadar betapa bisingnya dunia profesionalnya, dan betapa ia merindukan harmoni sesederhana ini.Alunan piano itu, berpadu dengan suara gerimis di luar, terasa seperti sedang melakukan proses detoksifikasi pada jiwanya. Ia bisa merasakan simpul-simpul tegang di bahunya perlahan mengendur. Ia bisa merasakan napasnya menjadi lebih dalam, lebih teratur. Di sini, di sofa ini, ia bukanlah Dokter Ayu yang harus membuat keputusan dalam hitungan detik. Ia adalah Lestari, yang tugasnya malam ini hanyalah mendengarkan, merasakan, dan membiarkan dirinya disembuhkan oleh hal-hal yang tak terlihat. Ia merasa bersyukur, sebuah rasa syukur yang begitu dalam, bukan hanya untuk musiknya, tetapi untuk sang konduktor dari ketenangan ini: pria yang duduk diam di sampingnya.Sementara itu, Adi tidak memejamkan matanya. Ia justru sedang memperhatikan Lestari. Ia melihat bagaimana kerutan tipis di antara alis Lestari perlahan menghilang. Ia melihat bagaimana sudut bibirnya yang biasanya terkunci rapat kini sedikit mengendur, membentuk ekspresi damai yang begitu Adi sukai. Baginya, inilah mahakarya yang sesungguhnya. Bukan novel yang sedang ia tulis, bukan puisi yang ia rangkai, melainkan raut wajah tenang dari wanita yang ia cintai.Adi tidak merasa perlu untuk memotret momen ini atau menuliskannya dalam buku catatannya. Ia tahu, beberapa keindahan diciptakan hanya untuk dinikmati saat itu juga, bukan untuk diabadikan. Ia merasa sebuah kebahagiaan yang murni dan tanpa pamrih. Kebahagiaan karena telah berhasil menciptakan sebuah gelembung kecil berisi kedamaian di tengah dunia yang bising, sebuah surga sederhana untuk tempat Lestari pulang...........................................................Puncak kebahagiaan dalam sebuah hubungan sering kali bukanlah tawa yang berderai atau petualangan yang mendebarkan.Melainkan momen-omen hening tak terucap, di mana dua jiwa duduk berdampingan, mendengarkan musik yang sama, dan merasa utuh tanpa perlu berkata apa-apa...........................................................Satu lagu selesai, berganti dengan lagu berikutnya yang tak kalah menenangkan. Lestari membuka matanya, dan pandangannya langsung bertemu dengan tatapan Adi yang sedari tadi menjaganya. Tidak ada kata yang terucap. Hanya ada sebuah senyum kecil yang dibagikan di antara mereka, sebuah senyum yang mengatakan segalanya: terima kasih, aku mengerti, aku di sini, aku juga merasakannya.Di tengah alunan musik dan bisikan hujan di jendela kaca, mereka menemukan sebuah percakapan yang jauh lebih dalam daripada yang bisa diutarakan oleh kata-kata. Lestari meraih tangan Adi dan menggenggamnya. Kali ini, bukan genggaman untuk mencari kekuatan saat rapuh, melainkan genggaman untuk berbagi ketenangan saat utuh.Mereka duduk seperti itu untuk waktu yang lama, membiarkan musik dan malam melakukan tugasnya. Di apartemen kecil di Bandung itu, diiringi oleh duet antara piano dan hujan, dua manusia menemukan kembali arti dari kata "bersama". Bukan sekadar berada di tempat yang sama, tetapi berada di frekuensi jiwa yang sama.

Garis Langit Abu-abu

Makan Malam dan Peta Luka Batin

Di publikasikan 20 Sep 2025 oleh Titik Nol

Lestari mengangkat kepalanya dari bahu Adi, merasakan kehangatan yang tertinggal di pipinya. Rasa lelahnya telah berubah menjadi kantuk yang nyaman, dan perutnya yang sejak pagi diabaikan kini mulai mengirimkan sinyal lembut. Kelaparan. Sebuah tanda yang begitu mendasar, begitu manusiawi. Sebuah tanda bahwa ia telah kembali ke tubuhnya sendiri."Aku lapar," bisiknya, hampir seperti sebuah pengakuan.Adi tersenyum, seolah sudah menunggu kata-kata itu. "Aku juga. Dunia kecil kita butuh pasokan logistik." Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja. "Mari kita lihat, kurir mana yang bersedia menembus hujan demi kita malam ini."Mereka bergeser posisi, duduk berdampingan di sofa yang lapang, layar ponsel yang terang menjadi satu-satunya sumber cahaya utama di ruangan yang temaram itu. Hujan di luar semakin deras, membuat ide untuk tetap berada di dalam terasa seperti kemewahan terbesar di dunia. Jari Adi menggulir daftar restoran di aplikasi, melewati gambar-gambar makanan yang menggiurkan. Ini adalah ritual modern yang mereka nikmati: berdebat kecil tentang pilihan makan malam, sebuah negosiasi sederhana yang terasa seperti permainan."Sate? Atau mau coba soto baru itu?" tawar Adi.Mata Lestari yang masih sedikit mengantuk terpaku pada sebuah gambar yang berwarna-warni. "Wah, ini kelihatannya enak sekali," katanya, menunjuk sebuah hidangan dengan antusiasme yang tulus. "Lihat, udang bakar madunya..." Kalimatnya menggantung di udara begitu ia menyadarinya. Udang. Sesuatu yang begitu lezat baginya, namun berbahaya bagi Adi. Seketika, pipinya terasa hangat karena malu. "Oh, maaf. Adi, aku... aku lupa."Adi hanya tertawa kecil, tawa yang sama sekali tidak menghakimi. Ia mengusap punggung tangan Lestari dengan ibu jarinya. "Tidak apa-apa, Sayang. Itu artinya kelihatannya memang enak sekali sampai kamu lupa," katanya menenangkan. "Kita cari yang lain."Namun bagi Lestari, itu bukan sekadar lupa. Itu adalah sebuah sengatan kecil, pengingat bahwa mencintai seseorang berarti ikut memikul kewaspadaan atas kerapuhannya. Alergi Adi bukanlah hal besar, bukan sebuah penyakit kronis yang rumit. Tapi itu adalah bagian dari dirinya, sebuah batas yang harus selalu Lestari ingat. Di dunianya sebagai dokter, ia dilatih untuk menghafal ratusan kontraindikasi obat. Malam ini ia diingatkan, dalam hubungan pun ada "kontraindikasi" semacam itu—hal-hal kecil yang harus dijaga agar pasangannya tetap aman...........................................................Merawat sebuah hubungan bukanlah tentang janji-janji besar di masa depan.Ia adalah tentang perhatian-perhatian kecil hari ini; mengingat alerginya, membuatkan teh saat ia lelah, atau sekadar membiarkannya memilih film..........................................................."Aku benar-benar minta maaf," ulang Lestari, kali ini lebih sungguh-sungguh.Adi meletakkan ponselnya, memberikan perhatian penuh pada Lestari. "Hei, lihat aku. Semuanya baik-baik saja," katanya lembut. "Sebenarnya, ada cerita di balik alergi itu."Lestari menatapnya, tertarik. Ini adalah salah satu keahlian Adi sebagai penulis: kemampuannya mengubah momen canggung menjadi sebuah gerbang menuju cerita."Waktu aku umur tujuh tahun," Adi memulai, matanya menerawang, "aku ikut orang tuaku ke acara makan-makan di pantai. Aku tidak tahu kalau alergi. Aku makan banyak sekali udang karena rasanya enak. Lalu tiba-tiba, napasku jadi sesak. Tenggorokanku seperti dicekik. Aku ingat bukan rasa sakitnya, tapi rasa takutnya. Dan yang lebih kuingat lagi adalah ekspresi panik di wajah Ibuku. Itu pertama kalinya aku melihat orang tuaku, pahlawanku, terlihat begitu tidak berdaya."Lestari mendengarkan dalam diam, tangannya kini menggenggam tangan Adi. Ia bisa membayangkannya dengan jelas: seorang anak laki-laki kecil yang kebingungan, dan sepasang orang tua yang dunianya serasa akan runtuh. Sebuah luka kecil yang meninggalkan bekas yang dalam.Keberanian Adi untuk berbagi kerapuhannya membuka sesuatu di dalam diri Lestari. Ia merasa aman untuk menunjukkan salah satu sudut gelap di dalam hatinya sendiri. "Aku juga punya memori seperti itu," katanya pelan. "Bukan tentang diriku, tapi tentang pasien pertamaku yang meninggal. Seorang gadis kecil, leukemia. Aku masih koas waktu itu. Aku sudah melakukan semuanya sesuai prosedur, semua yang diajarkan di buku. Tapi tubuhnya tetap menyerah."Lestari menarik napas. "Aku ingat saat harus memberitahu orang tuanya. Aku mengucapkan kalimat-kalimat yang sudah dilatih, tentang 'kami sudah berusaha semaksimal mungkin'. Tapi mataku tidak berani menatap mereka. Malam itu, aku pulang dan menangis di kamar mandi selama berjam-jam. Sejak saat itu, aku berjanji pada diriku untuk tidak akan pernah terlalu 'terikat' pada pasien. Aku membangun dinding kecil. Dinding yang sama yang kadang-kadang masih kubawa pulang ke sini."Kini giliran Adi yang mendengarkan, menyerap setiap kata dengan pemahaman penuh. Mereka tidak sedang membandingkan luka. Mereka sedang saling menunjukkan peta, peta dari bagian-bagian jiwa mereka yang pernah terluka dan membentuk mereka menjadi seperti sekarang...........................................................Setiap orang memiliki peta luka batinnya masing-masing. Kau tahu kau berada di tempat yang aman ketika kau tidak lagi merasa perlu menyembunyikan peta itu.Dan justru berani menunjukkannya pada seseorang—percaya bahwa ia tidak akan tersesat, melainkan akan memahaminya...........................................................Setelah hening yang panjang dan penuh arti itu, Adi mengambil ponselnya lagi. Kali ini, ia langsung menggulir ke sebuah restoran Sunda yang sudah sering mereka pesan. "Nasi Timbel Komplit saja, ya? Ayam goreng, tahu, tempe, sambal, lalapan. Aman untuk semua," usulnya dengan nada yang kembali ringan."Setuju," jawab Lestari sambil tersenyum. Sebuah pilihan yang sederhana, hangat, dan membumi. Persis seperti yang mereka butuhkan.Empat puluh menit kemudian, saat makanan mereka tiba, hujan di luar sudah mereda menjadi gerimis halus. Mereka makan malam di lantai, beralaskan karpet tebal, dengan piring-piring yang diletakkan di atas meja kopi. Tidak ada lagi percakapan berat. Hanya ada suara sendok beradu dengan piring dan komentar-komentar kecil tentang betapa enaknya sambal malam ini.Beban dari cerita yang mereka bagi tadi seolah telah menguap, meninggalkan ruang yang lebih luas di antara mereka. Ruang yang kini terisi bukan hanya dengan cinta, tetapi juga dengan pemahaman yang lebih dalam. Malam itu, dengan perut yang kenyang dan hati yang terasa lebih utuh, mereka belajar bahwa terkadang, makanan paling lezat bukanlah yang paling mewah, melainkan yang disantap setelah dua jiwa selesai saling membuka diri.

Garis Langit Abu-abu

Aroma Hujan dan Teh Jahe

Di publikasikan 20 Sep 2025 oleh Titik Nol

Kesadaran datang kepada Lestari bukan seperti alarm yang berbunyi, melainkan seperti kabut pagi yang perlahan menipis. Hal pertama yang menyentuh indranya bukanlah cahaya, melainkan suara. Suara yang ritmis, menenangkan, dan begitu alami. Bukan derit roda brankar, bukan bunyi monitor EKG yang monoton, bukan pula panggilan darurat dari interkom. Ini adalah suara titik-titik air yang menabuh jendela kamarnya. Hujan.Ia membuka matanya perlahan. Ruangan itu tidak terang benderang, melainkan diselimuti cahaya senja yang lembut dan malu-malu. Sinar matahari sudah lama pamit, digantikan oleh pendar abu-abu dari langit yang basah. Tidak ada lampu neon yang menusuk mata, hanya ada kelembutan yang memeluknya. Lestari meregangkan tubuhnya di bawah selimut, merasakan setiap ototnya yang sebelumnya kaku kini terasa lebih rileks, lebih ringan. Lelah yang mengakar itu belum sepenuhnya hilang, tetapi cengkeramannya telah melonggar.Ia bangkit dan duduk di tepi tempat tidur selama beberapa saat. Bayangannya terpantul samar di cermin lemari yang gelap. Ia melihat seorang wanita dengan rambut yang sedikit kusut dan wajah tanpa riasan. Pucat, ya, tapi matanya tidak lagi menyorotkan ketegangan yang sama seperti tadi pagi. Di sana, di cermin itu, ia tidak melihat Dokter Ayu yang harus selalu sigap dan kuat. Ia melihat Lestari. Hanya Lestari. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa cukup hanya dengan menjadi dirinya sendiri.Perlahan, ia melangkah keluar dari kamar, dari ruang perlindungannya. Keheningan apartemen menyambutnya, sebuah keheningan yang terasa dijaga dengan baik. Matanya menyapu ruang tengah yang rapi. Gelas dan cangkir kotor telah lenyap dari meja makan. Seragam jaganya yang ia lempar sembarangan tadi pagi kini sudah terlipat di atas kursi, seolah menunggunya dengan sabar. Lestari menyentuh kain yang terlipat itu. Sebuah tindakan kecil dari Adi, namun terasa seperti sebuah pelukan besar yang tak terlihat. Ia tidak hanya membersihkan apartemen, ia sedang membersihkan sisa-sisa kekacauan dari pikiran Lestari...........................................................Rumah bukanlah tentang empat dinding atau atap di atas kepala.Rumah adalah tindakan; seseorang yang merapikan duniamu saat kau terlalu lelah untuk melakukannya, dan menyediakan kehangatan bahkan sebelum kau sadar kau merasa kedinginan...........................................................Lestari menemukan Adi di sofa, tidak sedang menatap layar gawai, melainkan tenggelam dalam sebuah buku bersampul sederhana. Kakinya disilangkan, tubuhnya rileks, dan secercah cahaya dari lampu baca di sampingnya menerangi halaman yang sedang ia baca. Kehadirannya memancarkan kedamaian yang menular. Melihatnya seperti itu, Lestari merasa detak jantungnya yang biasanya terpacu oleh adrenalin kini melambat, menemukan ritme yang tenang dan stabil.Adi pasti merasakan kehadirannya, karena ia perlahan menurunkan bukunya. Ia tidak terkejut. Ia hanya tersenyum, senyum yang begitu tulus dan melegakan."Hei," sapanya lembut. "Selamat datang kembali.""Hei," balas Lestari, suaranya masih sedikit serak. "Sudah lama hujannya?""Sekitar satu jam," jawab Adi. Matanya menunjuk ke sebuah cangkir dan termos kecil yang sudah tersedia di meja kopi di hadapannya. "Aku pikir kamu akan butuh sesuatu yang hangat saat bangun."Adi tidak bertanya apakah Lestari mau minum. Ia sudah tahu jawabannya. Ia menuangkan cairan berwarna keemasan dari termos ke dalam cangkir keramik. Aroma jahe yang pedas dan menenangkan langsung menguar, bercampur dengan aroma tanah basah dari hujan di luar. Teh jahe. Bukan kopi yang akan membuatnya kembali terjaga, melainkan sesuatu yang akan menghangatkan tubuhnya dari dalam, menenangkannya lebih jauh. Adi selalu tahu apa yang ia butuhkan, bahkan lebih baik dari dirinya sendiri. Lestari menerima cangkir hangat itu, membiarkan uapnya menyentuh wajahnya. Rasanya seperti menghirup ketenangan...........................................................Setelah melewati badai, yang paling kita rindukan bukanlah pelangi yang megah.Melainkan langit yang tenang, secangkir teh hangat, dan percakapan ringan tentang hal-hal yang tidak penting...........................................................Lestari duduk di samping Adi, menjaga sedikit jarak agar tidak mengganggunya, namun cukup dekat untuk merasakan kehadirannya. Mereka duduk dalam keheningan yang nyaman selama beberapa saat, hanya ditemani oleh musik hujan di luar jendela dan desah napas mereka sendiri. Tidak ada tekanan untuk mengisi kekosongan dengan kata-kata. Tidak ada tuntutan untuk menjelaskan atau menganalisis apa yang telah terjadi."Bukunya tentang apa?" tanya Lestari akhirnya, memecah keheningan dengan pertanyaan yang ringan."Tentang seorang pria tua yang belajar menemukan kembali makna hidup dari hal-hal kecil," jawab Adi, menunjukkan sampulnya. "Judulnya, Harapan dari Tempat Paling Jauh."Lestari tersenyum. "Sepertinya buku yang cocok untuk hari ini.""Sangat cocok," sahut Adi.Mereka tidak lagi membahas tentang pasien yang hilang, tentang kelelahan, atau tentang beratnya menjadi seorang dokter. Mereka berbicara tentang hujan yang mungkin akan membuat jalanan macet, tentang makan malam apa yang akan mereka pesan nanti, tentang karakter di dalam buku yang dibaca Adi. Percakapan-percakapan biasa yang terasa luar biasa menenangkan.Sambil menyesap teh jahenya, Lestari merasakan sisa-sisa terakhir dari ketegangan di pundaknya mencair, larut ke dalam kehangatan cangkir dan percakapan mereka. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Adi, sebuah gerakan impulsif yang terasa begitu alami. Adi tidak mengatakan apa-apa, hanya sedikit menggeser posisinya agar Lestari bisa bersandar lebih nyaman.Di tengah derai hujan senja itu, di sebuah apartemen yang tenang, Lestari akhirnya benar-benar pulang. Bukan hanya pulang ke sebuah bangunan, tetapi pulang ke sebuah perasaan aman, di mana ia tidak perlu menjadi pahlawan. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Dan itu lebih dari cukup.

Garis Langit Abu-abu

Dunia yang Dijaga

Di publikasikan 20 Sep 2025 oleh Titik Nol

Adi menutup pintu kamar Lestari dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Bunyi klik pelan dari gerendel pintu menjadi satu-satunya penanda, sebuah segel tak terlihat yang memisahkan dunia luar dari ruang suci tempat Lestari memulihkan dirinya.Apartemen itu kini terasa begitu hening. Berbeda dengan keheningan canggung atau kosong, ini adalah keheningan yang penuh—penuh dengan tujuan. Adi berdiri sejenak di koridor, membiarkan keheningan itu meresap. Inilah tugasnya sekarang: menjadi penjaga keheningan ini.Ia berjalan kembali ke dapur. Di atas meja, cangkir kopi Lestari yang sudah kosong dan cangkir tehnya yang masih terisi setengah berdiri berdampingan. Sebuah potret kecil dari pagi mereka. Adi membawa kedua cangkir itu ke wastafel. Ia membasuhnya perlahan di bawah air mengalir, membersihkan sisa-sisa percakapan berat mereka, membasuh jejak lelah dari bibir cangkir Lestari.Ini bukan sekadar pekerjaan rumah tangga; ini adalah ritual. Sebuah cara untuk menata kembali dunia kecil mereka setelah diguncang badai kecil.Pandangannya kemudian jatuh pada sebuah kursi makan, tempat Lestari melempar seragam jaganya. Pakaian itu tergeletak begitu saja, kusut dan tak berdaya, seolah masih menyimpan gema dari semua peristiwa semalam. Adi mengangkatnya. Kainnya terasa kaku dan tercium samar aroma khas rumah sakit—campuran antiseptik, obat, dan sesuatu yang tak terlukiskan, mungkin aroma dari kecemasan itu sendiri.Dengan hati-hati, Adi melipat seragam itu. Bukan lipatan yang rapi sempurna, melainkan lipatan yang penuh hormat. Ia sedang tidak melipat sepotong kain; ia sedang merawat sebuah zirah, baju perang milik pejuang yang paling ia cintai...........................................................Menjaga seseorang bukanlah tentang memikul semua bebannya.Terkadang, ia sesederhana membereskan hal-hal kecil di sekitarnya, agar saat ia kembali membuka mata, dunianya terasa sedikit lebih ringan...........................................................Setelah dapur kembali rapi dan zirah itu tersimpan aman, Adi berjalan menuju sudut favoritnya: sebuah meja kayu kecil di dekat jendela yang menghadap ke hiruk pikuk kota. Di sinilah dunianya yang lain berada. Dunia kata-kata, kalimat, dan paragraf. Ia membuka buku catatannya yang tebal, mengambil pena, dan menatap halaman kosong di hadapannya.Biasanya, setelah sebuah momen yang begitu kaya akan emosi, jemarinya akan menari-nari, ingin segera menangkap semua perasaan itu ke dalam tulisan. Tapi hari ini berbeda. Halaman itu tetap kosong. Pikirannya tidak bisa menemukan kata yang tepat.Ia menyadari sesuatu. Apa yang baru saja ia saksikan—kerapuhan Lestari, kekuatan dalam diam mereka—terlalu suci untuk segera diubah menjadi sebuah cerita. Rasanya seperti sebuah pengkhianatan. Momen itu adalah milik mereka berdua, bukan untuk konsumsi pembaca.Adi tidak mencintai Lestari untuk dijadikan materi tulisan. Ia mencintai sang dokter dengan tangan yang cekatan dan hati yang kadang berantakan. Ia mencintai perempuan yang bisa menjelaskan patofisiologi penyakit jantung dengan fasih, namun kesulitan menjelaskan luka di hatinya sendiri. Ia mencintai semua versi Lestari yang ada.Ia sadar, tugasnya sebagai seorang penulis dan sebagai pasangan Lestari kadang bertentangan. Penulis ingin mengabadikan, pasangan ingin melindungi. Hari ini, ia memilih untuk menjadi yang kedua...........................................................Mencintai seseorang berarti mencintai semua versi dirinya yang ada.Versi yang kuat saat menyapa dunia, versi yang lelah saat menutup pintu, dan versi rapuh yang hanya berani ia tunjukkan kepadamu...........................................................Adi menutup kembali buku catatannya. Mungkin nanti, suatu saat, ia akan menulis tentang ini. Bukan tentang detailnya, melainkan tentang rasanya. Tentang bagaimana cinta terkadang bukanlah tentang kata-kata besar, melainkan tentang kehadiran yang tak bersuara.Ia bangkit dari kursinya dan pindah ke sofa. Sinar matahari siang mulai menerobos masuk melalui jendela, menciptakan pola-pola cahaya di lantai kayu. Adi tidak menyalakan televisi atau musik. Ia hanya duduk di sana, dalam keheningan yang ia jaga dengan segenap hatinya.Ia memejamkan mata, mendengarkan deru napas kota di kejauhan, dan detak jantungnya sendiri yang tenang. Di dalam kamar, Lestari sedang tidur, mengisi kembali energinya. Dan di ruang tengah, Adi sedang berjaga, mengisi kembali dunianya dengan kedamaian.Ini adalah pembagian peran yang tak pernah mereka tulis dalam perjanjian apa pun. Lestari menjaga kehidupan di luar sana. Adi menjaga kehidupan kecil mereka di dalam sini. Dan untuk saat ini, keseimbangan itu terasa begitu sempurna. Begitu cukup.

Garis Langit Abu-abu

Pagi Setelah Jaga Malam

Di publikasikan 20 Sep 2025 oleh Titik Nol

Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi bagi Lestari, ini adalah senja. Senja dari hari sepanjang 48 jam yang baru saja ia lalui di rumah sakit. Ia membuka pintu apartemennya pelan, berharap tidak membangunkan Adi.Namun, Adi sudah duduk di meja makan. Dengan secangkir teh kamomil yang uapnya menari-nari di udara. Di samping cangkirnya, ada segelas air putih, secangkir kopi dan sepiring roti bakar. Untuk Lestari.Adi tidak bertanya, "Bagaimana semalam?" Ia tahu pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab sekarang. Sebagai seorang penulis, ia adalah pembaca raut wajah yang ulung. Ia bisa melihat sisa-sisa pertarungan semalam di mata Lestari yang sayu, di bahunya yang sedikit merosot."Duduklah, Dok. Pasienmu hari ini hanya roti bakar ini," kata Adi lembut, menarik kursi untuknya.Lestari tersenyum tipis, meletakkan tasnya, dan membiarkan tubuhnya jatuh ke kursi. Ia meraih cangkir kopinya yang sudah disiapkan Adi—hitam, sedikit gula, persis seperti yang ia suka. Tangan yang terlatih membedah dan menjahit itu kini terasa sedikit gemetar saat memegang cangkir. Lelah........................................................... Beban terberat di pundak seorang penyembuh adalah jeda sunyi setelah ia selesai menyelamatkan orang lain.Saat adrenalin surut dan yang tersisa hanyalah kehampaan dan pertanyaan, "Sudah cukup baikkah aku?"..........................................................Mereka duduk dalam diam selama beberapa menit. Lestari menyesap kopinya, membiarkan pahitnya kafein membangunkan kembali sel-sel tubuhnya yang tertidur. Adi menyesap tehnya, kehadirannya terasa seperti selimut hangat."Aku tidak berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu," bisik Lestari akhirnya. Suaranya serak. Kalimat itu menggantung di udara, berat dengan segala hal yang tidak terucapkan.Adi tidak mengatakan, "Kamu sudah melakukan yang terbaik," atau "Itu bukan salahmu." Klise-klise itu tidak akan pernah cukup. Sebaliknya, ia menggeser kursinya, mendekat, dan meletakkan tangannya di atas tangan Lestari yang dingin. Ia hanya diam dan menggenggam.Genggaman itu berkata: “Aku tidak mengerti rasa sakitmu sepenuhnya, tapi aku di sini. Kamu tidak sendirian di dalamnya.”..........................................................Cinta yang dewasa tidak selalu tentang menawarkan solusi. Sering kali, ia adalah tentang keberanian untuk duduk bersama di tengah masalah yang belum ada jawabannya.........................................................."Terima kasih untuk kopinya," kata Lestari, membalas genggaman Adi."Sama-sama," jawab Adi. "Sekarang habiskan rotimu, lalu tidurlah. Biar aku yang jaga dunia hari ini."Pagi itu, di sebuah dapur kecil, seorang dokter yang lelah menemukan tempatnya untuk sembuh. Bukan karena obat atau perawatan, melainkan karena kehadiran seseorang yang mengerti bahwa pahlawan pun butuh tempat untuk pulang dan menjadi manusia biasa.

Garis Langit Abu-abu